Anda di halaman 1dari 4

TIM IDENTIFIKASI

DVI (Disaster Victim Identification) adalah sebuah proses identifikasi korban


bencana yang telah meninggal dunia yang diakibatkan oleh bencana.

Bencana dapat berupa: bencana alam, seperti banjir, gempa, longsor, gunung
meletus, tsunami, serta angin topan. Ada pula bencana yang diakibatkan oleh ulah
manusia, misalnya ledakan bom dan kecelakaan transportasi seperti pesawat jatuh,
atau kapal tenggelam.

DVI tertuang dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan


yaitu tentang pemberian amanat kepada pemerintah dan kepada masyarakat untuk
melakukan upaya identifikasi kepada mayat yang tidak dikenal untuk
dikembalikan kepada keluarga korban dan dikubur secara layak sesuai dengan
keyakinan semasa hidup sebagai pemenuhan hak korban. Dalam proses
identifikasi korban DVI mengacu pada standar baku International Criminal
Organization (Interpol).

Tim DIV Indonesia yang dibentuk oleh Kementrian Kesehatan dan Kepolisian RI
pada tahun 1999 terdiri atas 3 Tim yaitu Tim DVI Nasional, Tim DVI Regional
dan Tim DVI Provinsi. Tim DVI termasuk kedalam salah satu sub klaster
kesehatan saat penanganan bencana. Tim DVI terdiri dari: dokter spesialis
forensik, dokter gigi, antropolog, kepolisian, fotografi dan ada yang berasal dari
masyarakat.

Tim DVI Indonesia dibagi menjadi 3 Tim, yaitu:

1. Tim DVI Nasional (Badan Pelaksana Tingkat Pusat): Membina dan


mengkoordinasikan semua usaha dan kegiatan identifikasi pada tingkat
regional dan provinsi.
 Memberi masukan kepada eselon tentang kebijakan teknis maupun
managerial dalam pelaksanaan DVI.
 Membina dan mengendalikan operasi, mengevaluasi dan
Menyusun rencana dan program.
 Melakukan hubungan dan kerja sama lintas fungsi dan lintas
sectoral.
2. Tim DVI Regional (Badan Pelaksana Tingkat Regional):
Menyelenggarakan Sesuatu koordinasi dan kegiatan identifikasi dalam
regional (Provinsi-Provinsi) yang menjadi tanggung jawabnya seperti:
 Mengkoordinasikan tim identifikasi provinsi di daerah regionalnya
dengan semua unsur terkait (Pemerintah, Swasta dan Masyarakat).
 Merencanakan, membina, dan mengendalikan pelaksanaan proses
identifikasi massal di tingkat provinsi.
 Membina Kerjasama dengan unsur-unsur terkait
 Melakukan monitoring dan evaluasi hasil tim identifikasi provinsi
di wilayah kerjanya.
 Melaporkan hasil kerja ke tim identifikasi tingkat nasional.
3. Tim DVI Provinsi (Badan Pelaksana Tingkat Provinsi):
Menyelenggarakan suatu koordinasi kegiatan Identifikasi dalam Provinsi,
seperti:
 Melakukan koordinasi dengan tim medik dan apparat keaamanan
untuk melakukan evakuasi korban di TKP.
 Melakukan koordinasi dengan Rumah Sakit Setempat.
 Melakukan identifikasi terhadap korban dengan memanfaatkan
berbagai sumber yang ada.
 Membuat kesimpulan sementara terhadap hasil pemeriksaan.
 Melaporkan hasil identifikasi kepada kepala dinas kesehatan
provinsi, kepala kepolisian daerah setempat, serta tim identifikasi
tingkat regional.
 Menyalurkan bantuan tenaga teknis dan material dari Lembaga
asing/negara asing.

Prinsip Kerja Tim DIV

Prinsip Kerja yang dilakukan oleh Tim DIV adalah Mencari dan Mencocokkan
data Ante Mortem dengan data Post Mortem pada Korban meninggal dunia.
Semakin banyak data yang cocok, maka akan semakin baik identifikasinya.

Proses Identifikasi terdiri dari 5 fase yaitu: The Scene, Post Mortem Examination,
Ante Mortem Information Retrieval, Reconciliation dan Debriefing.
1. Fase Pertama (The Scene): tim awal datang ke TKP lalu memilah antara
korban yang hidup dan yang mati. Pada korban mati diberikan label
sebagai penanda. Label ini harus memuat informasi tim pemeriksa, lokasi
penemuan, dan nomor tubuh/mayat.
2. Fase kedua (Post Mortem Examination): fase pemeriksaan mayat. Fase
kedua berlangsung bersamaan dengan fase pertama dan ketiga. Fase ini
dilakukan oleh para ahli identifikasi, dokter forensik dan dokter gigi
forensic. Data yang diambil adalah Sidik jari, pemeriksaan terhadap gigi,
seluruh tubuh, dan barang bawaan yang melekat pada mayat dan dapat
dilakukan pengambilan sample jaringan untuk pemeriksaan DNA.
3. Fase ketiga (Ante Mortem Information Retrieval): fase pengumpulan data
antemortem, dimana terdapat tim kecil yang menerima laporan orang yang
diduga menjadi korban. Tim meminta masukan data sebanyak-banyaknya
dari keluarga korban. Data yang diminta mulai dari pakaian yang terakhir
dikenakan, ciri-ciri khusus (tanda lahir, tato, tahi lalat, bekas operasi, dan
lainlain), data rekam medis dari dokter keluarga dan dokter gigi korban,
data sidik jari dari pihak berwenang (kelurahan atau kepolisian), serta
sidik DNA apabila keluarga memilikinya.
4. Fase Keempat (Rekonsiliasi): mayat dapat dinyatakan teridentifikasi
apabila memenuhi kecocokan antara data Ante Mortem dan Post Mortem
dengan kriteria minimal 1 macam Primary Identifiers atau 2 macam
Secondary Identifiers.
5. Fase Kelima (Debriefing): fase ini dilakukan setelah 3-6 bulan setelah
proses identifikasi selesai. Pada fase ini semua orang yang terkait dengan
proses identifikasi dikumpulkan untuk melakukan evaluasi terhadap semua
hal yang berkaitan dengan pelaksanaan proses identifikasi korban bencana,
baik sarana, prasarana, kinerja, prosedur, serta hasil identifikasi.

DAFTAR PUSTAKA

Henky, html, & Safitry, O. (2012). new/detail-39-61-indonesian-journal-of-legal-


and-forensic-sciences-ijlfs Identifikasi Korban Bencana Massal: Praktik DVI
Antara Teori dan Kenyataan. In Indonesian Journal of Legal and Forensic
Sciences (Vol. 2, Issue 1). http://ejournal.unud.ac.id/
https://www.interpol.int/How-we-work/Forensics/Disaster-Victim-Identification-
DVI diakses pada 29 September 2021 pukul 05:00 WIB.
https://biddokkespoldariau.org/dokpol/dvi diakses pada 29 September 2021 pukul
06:00 WIB.

Anda mungkin juga menyukai