Anda di halaman 1dari 20

TUGAS REFERAT 4 November, 2017

DISASTER VICTIM IDENTIFICATION


(ODONTOLOGI, DNA DAN SIDIK JARI)

DISUSUN OLEH :
Hasna N 111 17 007
Musyarafa N 111 17 058
Lia Aswika Via Kosta N 111 17 028
Bonita Ratnasari N 111 16 117

PEMBIMBING
Dr. dr. Hj. Annisa Anwar Muthaher, S.H, M.Kes, Sp.F

DIBUAT DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
RUMAH SAKIT KABELOTA DONGGALA
PALU
2017
BAB I
PENDAHULUAN
Identifikasi forensik merupakan upaya yang dilakukan dengan tujuan
membantupenyidik untuk menentukan identitas seseorang. Identifikasi personal
sering merupakan suatumasalah dalam kasus pidana maupun perdata. Menentukan
identitas personal dengan tepatamat penting dalam penyidikan karena adanya
kekeliruan dapat berakibat fatal dalam prosesperadilan. Peran ilmu kedokteran
forensik dalam identifikasi terutama pada jenazah tidakdikenal, jenazah yang rusak ,
membusuk, hangus terbakar dan kecelakaan masal, bencanaalam, huru hara yang
mengakibatkan banyak korban meninggal, serta potongan tubuhmanusia atau
kerangka. Selain itu identifikasi forensik juga berperan dalam berbagai kasuslain
seperti penculikan anak, bayi tertukar, atau diragukan orang tuanya. Identitas
seseorangyang dapat dipastikan bila paling sedikit dua metode yang digunakan
memberikan hasilpositif (tidak meragukan).
Pada dasarnya prinsip identifikasi adalah membandingkan data antemortem
(datasemasa hidup) dan data postmortem (data setelah kematian) pada orang yang
tidak dikenal.Data yang diduga sebagai orang hilang terkadang kurang lengkap,
bahkan tidak ada.Identifikasi dilakukan melalui berbagai metode, seperti sidik jari,
medik, odontologi (ilmugigi dan mulut), anthropologi sampai dengan pemeriksaan
biomolekuler. Pada kasus bencanamassal dengan potongan tubuh yang sulit dikenal,
memerlukan keahlian kedokteran forensikyang meliputi berbagai bidang keilmuan
dan bidang keahlian penunjang untuk dapatmelakukan identifikasi. Identifikasi
korban tak dikenal dalam pelaksanaannya dapat bekerjasama dengan berbagai disiplin
ilmu, antara lain keahlian bidang forensik patologi, forensikodontologi, forensik
anthropologi, ahli sidik jari, ahli DNA, radiologi dan fotografer.
Bencana dapat diakibatkan baik oleh alam maupunmanusia. Kondisi alam
memegang peran pentingakan timbulnya suatu bencana, termasukIndonesia.
Indonesia merupakan negara kepulauanyang sangat luas dengan luas keseluruhan
lima jutakilometer persegi. Terletak pada pertemuan tigalempeng tektonik utama
dunia yang memilikisetidaknya 400 gunung berapi dengan 150diantaranya adalah
gunung berapi aktif. Disampingitu iklim tropis membuat beberapa bagian
daerahbasah oleh curah hujan yang melimpah sehinggaberesiko timbul bencana banjir
dan longsor.Sebaliknya pada daerah lain dapat mengalamikekeringan. Faktor manusia
juga turut berperanmenimbulkan bencana. Hal ini sering menyebabkanbanjir ataupun
longsor akibat penggundulan hutan,kecelakaan lalu lintas dan terorisme.Berbagai
kejadian yang memakan banyak korbanjiwa, terutama sejak kejadian Bom Bali I
membuatkegiatan identifikasi korban bencana massal(Disaster Victim Identification )
menjadi kegiatanyang penting dan dilaksanakan hampir pada setiapkejadian yang
menimbulkan korban jiwa dalamjumlah yang banyak. Tujuan utama
pemeriksaanidentifikasi pada kasus musibah bencana massaladalah untuk mengenali
korban. Dengan identifikasiyang tepat selanjutnya dapat dilakukan upayamerawat,
mendoakan serta akhirnya menyerahkanDisaster Victim Identificationkepada
keluarganya. Proses identifikasi ini sangatpenting bukan hanya untuk menganalisis
penyebabbencana, tetapi memberikan ketenangan psikologisbagi keluarga dengan
adanya kepastian identitaskorban.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi DVI (Disaster Victim Identification)

Identifikasi forensik adalah sebuah upaya kerjasama dan koordinasi aparat


penegak hukum, patologi forensik, dokter gigi forensik, antropologi forensik,
ahlu ilmu hukum pidana dan spesialisasi terkait lainnya. Identifikasi korban yang
tidak diketahui identitasnya wajib dilakukan sebagaimana yang telah
diamanatkan di dalam Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009
.Prosedur identifikasi yang dilakukan terhadapkorban bencana alam banjir dan
tanah longgsor, kecelakaan lalu lintas, terorisme, kebakaran, kecelakaan
kerja.Identifikasi penting untuk dilakukan terkait pelaksanaan penyelidikan kasus
kriminal, penentuan tatacara prosesi pemakaman, pembayaran asuransi kematian.

Disaster Victim Identification (DVI) adalahsuatu definisi yang diberikan


sebagai sebuahprosedur untuk mengidentifikasi korban mati akibatbencana
massal secara ilmiah yang dapatdipertanggungjawabkan dan mengacu pada
standar baku Interpol. Proses DVI meliputi 5 faseyang pada setiap fase memiliki
keterkaitan antarasatu dengan yang lain. Proses DVI menggunakanbermacam-
macam metode dan teknik. Interpoltelah menentukan adanyaPrimary Identifier
yangterdiri dari fingerprint (FP), dental records DR) danDNA sertaSecondary
Identifiers yang terdiri darimedical(M), property (P) dan photography
(PG),dengan prinsip identifikasi adalah membandingkandata antemortem dan
postmortem.Primaryidentifiers mempunyai nilai yang sangat tinggi
biladibandingkan dengan secondary identifiers.

Setiap bencana massal yang menimbulkan banyakkorban jiwa, baik


akibatNatural Disaster ataupunMan Made Disaster, memiliki spesifikasi
tertentuyang berbeda antara kasus yang satu dengan yanglain. Perbedaan ini
menyebabkan tindakanpemeriksaan identifikasi dengan skala prioritasbahan
yang akan diperiksa sesuai dengan keadaanjenazah yang ditemukan. Kejadian
bencanamassal tersebut akan menghasilkan keadaanjenazah yang mungkin dapat
intak, separuh intak,membusuk, tepisah berfragmen-fragmen, terbakarmenjadi
abu, separuh terbakar, terkubur ataupunkombinasi dari bermacam-macam
keadaan. Masalah akan timbul dengan berbagai variasitingkat kesulitan dimana
tindakan identifikasitermudah dan sederhana yaitu secara visual tidaklagi dapat
digunakan. Demikian juga pada jenazahyang mengalami pembusukan lanjut,
pemeriksaanidentifikasi primer berdasarkan sidik jari akan sulitdilakukan, maka
dapat digantikan denganpemeriksaan gigi geligi karena gigi bersifat lebih tahan
lama terhadap proses pembusukan. Namunkeadaan gigi tersebut juga
dipengaruhi faktorlingkungan tempat jenazah itu berada. Faktapengalaman di
lapangan menunjukkan bahwaidentifikasi korban meninggal massal melalui
gigigeligimempunyai kontribusi yang tinggi dalammenentukan identitas
seseorang.

2.2 Tuags DVI (Disaster Victim Identification)

Tugas utama DVI secara umum adalah sebagai berikut :

1. Melakukan koordinasi dengan tim medis dan aparat keamanan untuk


melakukan evakuasi korban meninggal dan tempat kejadian
2. Malakukan koordinasi dengan rumah sakit setempat atau rumah sakit
tempat rujukan korban meninggal
3. Melakukan identifikasi terhadap korban meninggal dengan sumber daya
yang ada
4. Membuat kesimpulan sementara terhadap hasil pemeriksaan
5. Melaporkan hasil identifikasi kepada badan pemerintahan terkait.
2.3 Tahap – tahap DVI (Disaster Victim Identification)

Tahap DVI

Proses DVI tersebut mempunyai lima fase, dimana setiap fasenya mempunyai
keterkaitan satu dengan yang lainnya. Fase-fase tersebut yaitu :

a. Fase I – TKP (The Scene)

Merupakan tindakan awal yang dilakukan di tempat kejadian peristiwa


(TKP) bencana.Ketika suatu bencana terjadi, prioritas yang paling utama
adalah untuk mengetahui seberapa luas jangkauan bencana.Sebuah
organisasi resmi harus mengasumsikan komando operasi secara
keseluruhan untuk memastikan koordinasi personil dan sumber daya
material yang efektif dalam penanganan bencana.Dalam kebanyakan
kasus, polisi memikul tanggung jawab komando untuk operasi secara
keseluruhan. Sebuah tim pendahulu (kepala tim DVI, ahli patologi
forensik dan petugas polisi) harus sedini mungkin dikirim ke TKP untuk
mengevaluasi situasi berikut :

1) Keluasan TKP : pemetaan jangkauan bencana dan pemberian


koordinat untuk area bencana
2) Perkiraan jumlah korban
3) Keadaan mayat
4) Evaluasi durasi yang dibutuhkan untuk melakukan DVI
5) Institusi medikolegal yang mampu merespon dan membantu
proses DVI
6) Metode untuk menangani mayat
7) Transportasi mayat
8) Penyimpanan mayat
9) Kerusakan properti yang terjadi

Pada prinsipnya untuk fase tindakan awal yang dilakukan di situs bencana,
ada tiga langkah utama.Langkah pertama adalah to secure atau untuk
mengamankan, langkah kedua adalah to collect atau untuk mengumpulkan dan
langkah ketiga adalah documentation atau pelabelan.

Pada langkah to secure organisasi yang memimpin komando DVI harus


mengambil langkah untuk mengamankan TKP agar TKP tidak menjadi rusak.
Langkah – langkah tersebut antara lain adalah :

1) Memblokir pandangan situs bencana untuk orang yang tidak


berkepentingan (penonton yang penasaran, wakil – wakil pers, dll),
misalnya dengan memasang police line.
2) Menandai gerbang untuk masuk ke lokasi bencana.
3) Menyediakan jalur akses yang terlihat dan mudah bagi yang
berkepentingan.
4) Menyediakan petugas yang bertanggung jawab untuk mengontrol siapa
saja yang memiliki akses untuk masuk ke lokasi bencana.
5) Periksa semua individu yang hadir di lokasi untuk menentukan tujuan
kehaditan dan otorisasi.
6) Data terkait harus dicatat dan orang yang tidak berwenang harus
meninggalkan area bencana

Pada langkah to collect organisasi yang memimpin komando DVI


harus mengumpulkan korban – korban bencana dan mengumpulkan properti
yang terkait dengan korban yang mungkin dapat digunakan untuk
kepentingan identifikasi korban.
Pada langkah documentation organisasi yang memimpin komando
DVI mendokumentasikan kejadian bencana dengan cara memfoto area
bencana dan korban kemudian memberikan nomor dan label pada korban.

Setelah ketiga langkah tersebut dilakukan maka korban yang sudah


diberi nomor dan label dimasukkan ke dalam kantung mayat untuk kemudian
dievakuasi.

b. Fase II – Kamar Mayat/Post Mortem (The Mortuary)

Pengumpulan data post-mortem atau data yang diperoleh paska


kematian dilakukan oleh post-mortem unit yang diberi wewenang oleh
organisasi yang memimpin komando DVI.Pada fase ini dilakukan
berbagai pemeriksaan yang kesemuanya dilakukan untuk memperoleh dan
mencatat data selengkap–lengkapnya mengenai korban. Pemeriksaan dan
pencatatan data jenazah yang dilakukan diantaranya meliputi :

1) Dokumentasi korban dengan mengabadikan foto kondisi


jenazah korban
2) Pemeriksaan fisik, baik pemeriksaan luar maupun pemeriksaan
dalam jika diperlukan
3) Pemeriksaan sidik jari
4) Pemeriksaan rontgen
5) Pemeriksaan odontologi forensik : bentuk gigi dan rahang
merupakan ciri khusus tiap orang ; tidak ada profil gigi yang
identik pada 2 orang yang berbeda
6) Pemeriksaan DNA
7) Pemeriksaan antropologi forensik : pemeriksaan fisik secara
keseluruhan, dari bentuk tubuh, tinggi badan, berat badan, tatto
hingga cacat tubuh dan bekas luka yang ada di tubuh korban.
Data – data hasil pemeriksaan tersebut kemudian digolongkan ke
dalam data primer dan data sekunder sebagai berikut :

1) Primer (sidik jari, profil gigi, DNA)


2) Sekunder (visual, fotografi, properti jenazah, antropologi
medis)

Di dalam menentukan identifikasi seseorang secara positif, Badan


Identifikasi DVI Indonesia mempunyai aturan-aturan, yaitu minimal apabila
salah satu identifikasi primer dan atau didukung dengan minimal dua dari
identifikasi sekunder.

Selain mengumpulkan data pasca kematian, pada fase ini juga


sekaligus dilakukan tindakan untuk mencegah perubahan–perubahan paska
kematian pada jenazah, misalnya dengan meletakkan jenazah pada
lingkungan dingin untuk memperlambat pembusukan.

c. Fase III – Ante Mortem

Pada fase ini dilakukan pengumpulan data mengenai jenazah sebelum


kematian.Data ini biasanya diperoleh dari keluarga jenazah maupun orang
yang terdekat dengan jenazah. Data yang diperoleh dapat berupa foto korban
semasa hidup, interpretasi ciri – ciri spesifik jenazah (tattoo, tindikan, bekas
luka, dll), rekaman pemeriksaan gigi korban, data sidik jari korban semasa
hidup, sampel DNA orang tua maupun kerabat korban, serta informasi –
informasi lain yang relevan dan dapat digunakan untuk kepentingan
identifikasi, misalnya informasi mengenai pakaian terakhir yang dikenakan
korban.
d. Fase IV – Rekonsiliasi

Pada fase ini dilakukan pembandingan data post mortem dengan data
ante mortem. Ahli forensik dan profesional lain yang terkait dalam proses
identifikasi menentukan apakah temuan post mortem pada jenazah sesuai
dengan data ante mortem milik korban yang dicurigai sebagai jenazah.
Apabila data yang dibandingkan terbukti cocok maka dikatakan identifikasi
positif atau telah tegak. Apabila data yang dibandingkan ternyata tidak cocok
maka identifikasi dianggap negatif dan data post mortem jenazah tetap
disimpan sampai ditemukan data ante mortem yang sesuai dengan temuan
post mortem jenazah.

e. Fase V – Debriefing

Korban yang telah diidentifikasi direkonstruksi hingga didapatkan


kondisi kosmetik terbaik kemudian dikembalikan pada keluarganya untuk
dimakamkan. Apabila korban tidak teridentifikasi maka data post mortem
jenazah tetap disimpan sampai ditemukan data ante mortem yang sesuai
dengan temuan post mortem jenazah, dan pemakaman jenazah menjadi
tanggung jawab organisasi yang memimpin komando DVI. Sertifikasi
jenazah dan kepentingan mediko-legal serta administrative untuk
penguburan menjadi tanggung jawab pihak yang menguburkan jenazah.

2.4 Metodologi Identifikasi

Metode identifikasi forensik dibagi menjadi metode identifikasi primer dan


sekunder.Identifikasi primer (DNA, sidik jari dan odontologi) adalah metode
identifikasi ilmiah yang mampu bertahan secara global dan telah terbukti sebagai
metode identifikasi yang efektif.DNA dan sidik jari seringkali tidak dapat
digunakan apabila telah terjadi kerusakan berat dan meluas terhadap jaringan
lunak korbanseperti pada kasus terbakar, skeletonisasi dan dekomposisi.Jaringan
pada tubuh yang kerasseperti gigi sangat dibutuhkan terkait kendala
tersebut.Jaringan gigi dilapisi oleh materi anorganik kristal hidroksiapatit
sehingga resisten terhadap beragam jenis pengaruh eksternal, iritasi mekanik,
termal dan kimia.

Untuk metode ilmiah biasa disebut dengan identifikasi primer yaitu :

a. Pemeriksaan DNA

Pemeriksaan identifikasi forensik merupakan pemeriksaan yang


pertama kali dilakukan, terutama pada kasus tindak kejahatan yang
korbannya tidak dikenal walaupun identifikasi juga bisa dilakukan pada
kasus non kriminal seperti kecelakaan, korban bencana alam dan perang,
serta kasus paternitas (menentukan orang tua).DNA merupakan gambaran
pola potongan DNA dari setiap individu.

Para ahli menggunakan daerah yang berbeda ini untuk menghasilkan


profil DNA dari seseorang individu, menggunakan sampel dari darah,
tulang, rambut atau jaringan tubuh yang lain. Pada kasus kriminal,
biasanya melibatkan sampel dari barang bukti dan tersangka,
mengekstrak DNAnya, dan menganalisanya untuk melihat suatu daerah
khusus pada DNA (marker). Para ilmuwan telah menemukan marker di
dalam sampel DNA dengan mendesain sepotong kecil DNA (probe) yang
masing-masing akan mencari dan berikatan dengan sekuen DNA
pasangan/komplementernya pada sampel DNA. Satu seri probe akan
berikatan dengan DNA sampel dan menghasilkan pola yang berbeda
antara satu individu dengan individu yang lain. Para ahli forensik
membandingkan profil DNA ini untuk menentukan apakah sampel dari
tersangka cocok dengan sampel pada bukti. Marker sendiri biasanya tidak
bersifat khusus untuk setiap individu, jika dua sampel DNA mirip pada
empat atau lima daerah, sampel tersebut mungkin berasal dari individu
yang sama. jika profil sampel tidak sama, berarti seseorang tersebut
bukan pemilik DNA yang ditemukan pada lokasi kriminalitas. Jika pola
yang ditemukan sama, tersangka tersebut kemungkinan memiliki DNA
pada sampel bukti. DNA yang biasa digunakan dalam tes adalah DNA
mitokondria dan DNA inti sel. DNA yang paling akurat untuk tes adalah
DNA inti sel karena inti sel tidak bisa berubah sedangkan DNA dalam
mitokondria dapat berubah karena berasal dari garis keturunan ibu, yang
dapat berubah seiring dengan perkawinan keturunannya. Kasus-kasus
kriminal, penggunaan kedua tes DNA di atas, bergantung pada barang
bukti apa yang ditemukan di Tempat Kejadian Perkara (TKP). Seperti
jika ditemukan puntung rokok, maka yang diperiksa adalah DNA inti sel
yang terdapat dalam epitel bibir karena ketika rokok dihisap dalam mulut,
epitel dalam bibir ada yang tertinggal di puntung rokok.Epitel ini masih
menggandung unsur DNA yang dapat dilacak.Misalnya dalam kasus
korban ledakan bom, serpihan tubuh para korban yang sulit dikenali
diambil sekuens genetikanya.Bentuk sidik DNA berupa garis-garis yang
mirip seperti bar-code di kemasan makanan atau minuman.
Membandingkan kode garis-garis DNA, antara 30 sampai 100 sekuens
rantai kode genetika, dengan DNA anggota keluarga terdekatnya,
biasanya ayah atau saudara kandungnya, maka identifikasi korban
forensik atau kecelakaan yang hancur masih dapat dilacak. Untuk kasus
pemerkosaan diperiksa spermanya tetapi yang lebih utama adalah kepala
spermatozoanya yang terdapat DNA inti sel di dalamnya.Jika di TKP
ditemukan satu helai rambut maka sampel ini dapat diperiksa asal ada
akarnya. Namun untuk DNA mitokondria tidak harus ada akar, cukup
potongan rambut karena diketahui bahwa pada ujung rambut terdapat
DNA mitokondria sedangkan akar rambut terdapat DNA inti sel.
Teknologi DNA memiliki keunggulan mencolok dalam hal potensi
diskriminasinya dan sensitifitasnya maka tes sidik DNA menjadi pilihan
dalam penyelidikan kasus-kasus forensik dibanding teknologi
konvensional seperti serologi dan elektroforesis.

b. Pemeriksaan Odontologi

Gigi merupakan suatu cara identifikasi yang dapat dipercaya,


khususnya bila rekam dan foto gigi pada waktu masih hidup yang pernah
dibuat masih tersimpan dengan baik. Pemeriksaan gigi ini menjadi amat
penting apabila mayat sudah membusuk atau rusak.

Adapun dalam melaksanakan identifikasi manusia melalui gigi, kita


dapatkan 2 kemungkinan:

1. Memperoleh informasi melalui data gigi dan mulut untuk


membatasi atau menyempitkan identifikasi. Informasi ini dapat
diperoleh antara lain mengenai:

a. Umur
b. Jenis kelamin
c. Ras
d. Golongan darah
e. Bentuk wajahDNA

Dengan adanya informasi mengenai perkiraan batas-batas umur


korban misalnya, maka pencarian dapat dibatasi pada data-data
orang hilang yang berada di sekitar umur korban. Dengan
demikian penyidikan akan menjadi lebih terarah.
2. Mencari ciri-ciri yang merupakan tanda khusus pada korban
tersebutDi sini dicatat ciri-ciri yang diharapkan dapat menentukan
identifikasi secara lebih akurat dari pada sekedar mencari
informasi tentang umur atau jenis kelamin. Ciri-ciridemikian
antara lain:misalnya adanya gigi yang dibungkus logam,gigi yang
ompong atau patah, lubang pada bagian depanbiasanya dapat lebih
mudah dikenali oleh kenalan atau teman dekat ataukeluarga
korban. Disamping ciri-ciri di atas, juga dapat
dilakukanpencocokan antara tengkorak korban dengan foto
korban semasahidupnya. Metode yang digunakan dikenal sebagai
SuperimposedTechnique yaitu untuk membandingkan antara
tengkorak korban dengan foto semasa hidupnya.

c. Pemeriksaan Sidik jari

mengidentifikasi pada pola-pola garis sidik jari seseorang (garis


papiler) yang secara genetik permanen melekat pada seseorang.3 Pola
atau gambaran sidik jari terdiri dari 3, yaitu arch, whorl, dan loop.
Masing-masing pola terbagi beberapa subgroup dan yang
membedakan adalah pada keberadaan core dan delta pada lukisan
sidik jarinya. Populasi sidik jari terbesar adalah loop, lalu whorl dan
paling sedikit arch.

Cara atau teknik pengambilan sidik jari mayat tergantung keadaan


mayat yang bersangkutan. Masing-masing keadaan membutuhkan
cara atau teknik penanganan yang berbeda

1. pada jenasah yang baru

a. Pada jenazah dengan jari-jari yang bisa digerakkan :


- Telungkupkan mayat
- Jari seperti biasa

b. Pada jenazah dengan jari-jari yang sulit digerakkan


- Gunting Formulir AK-23 pada batas kolom tangan kiri dan
kanan tangan kiri dan kanan.
- Jepit potongan formulir tersebut pada kedua sisi sendok
mayat bagian cekung dengan kolom sidik jari menghadap
ke luar (dapat juga pada bagian cembung).
- Bersihkan jari mayat dengan hati-hati, kemudian bubuhkan
tinta dengan alat pembubuh tinta atau dengan roller setelah
tintanya diratakan
- Capkan jari mayat tersebut dengan menekannya pada
kolom sidik jari dari formulir yang terjepit di sendok
mayat. Geser formulir menurut kolom sidik jarinya
sehingga semua jari terekam.
- Rekatkan hasil pengambilan tersebut pada sehelai formulir
AK-23 dan rumuslah sidik jari tersebut
c. Mayat telah kaku dan mulai membusuk
- Tarik jari-jari mayat tersebut sehingga menjadi lurus; bila
jari-jari sulit diluruskan, sayatlah pada bagian dalam jari
pada ruas kedua sehingga jari dapat diluruskan. Untuk ibu
jari sayatan antara ibu jari dan telunjuk.
- Ambilah sidik jari mayat tersebut dengan menggunakan
sendok mayat seperti dijelaskan pada di atas
d. Ujung-ujung jari mayat sudah lembek (belum rusak tetapi
sudah mengkerut):
- Suntiklah jari tersebut dengan cairan pengembang (tissue
builder) atau air panas sehingga kulit jari mengembang.
Jarum suntik ditusuk pada ujung jari atau pada bagian
dalam jari antara ruas pertama dan kedua.
- Ambil sidik jari mayat tersebut denga menggunakan
sendok mayat seperti dijelaskan di atas.
e. Mayat mulai membusuk/awal dekomposisi (kulit ari mulai
terlepas):
- Periksa kulit jari tersebut apakah masih baik atau ada
bagian yang rusak. Bersihkan kulit jari tersebut dengan
hati-hati.

- Kulit dipasang kembali pada jari mayat atau dimasukkan


dalam jari terugas sehingga pengambilan dapat dilakukan.
- Jika kulit jari sudah terlepas sama sekali:
a. Kulit ari diolesi tinta
b. Kulit jari yang bertinta tersebut dijepit diantara 2 (dua)
lembar kaca kemudian di potret/direproduksi.
c. Tempelkan potret sidik jari tersebut pada formulir AK-
23 sesuai kolomnya dan rumuslah sidik jari mayat
tersebut.
Setelah dilakukan pengambilan sidik jari, maka dilakukan
perbandingan antara sidik jari yang dicurigai dan sidik jari yang
diketahui dengan melihat pola sidik jari dan galton detail yang ada.
Galton detail atau karakteristik adalah garis-garis papiler yang terdapat
pada tapak jari, telapak tangan dan telapa kaki yang bentuknya berupa
garis membelah, garis pendek, garis berhenti,pulau, jembatan, taji dan
titik.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Metode identifikasi terus berkembang, berbagai ilmu pengetahuan baik yang


bersifat ilmiah, komputerized atau yang sederhana lebih meningkatkan
akurasi indentifikasi korban mati atau hidup. Tantangan yang dihadapi para
pelaksana identifikasi di kemudian hari adalah apabila ada bencana massal,
karena kuantitas korban makin meningkat.
2. Penanganan identifikasi korban bencana massal berdasarkan standar yang
berlaku merupakan suatu proses yang dapat dipertanggung-jawabkan, baik
secara ilmiah dan secara hukum. Diperlukan kerjasama dan pengertian yang
baik di antara semua pihak yang terlibat dalam penerapannya, sehingga
proses identifikasi mencapai ketepatan dalam identifikasi dan bukan hanya
kecepatan dalam prosesnya.
3. Tes DNA dalam identifikasi forensik terbukti sangat efektif karena
menunjukkan sensitifitas dan akurasi yang luar biasa sehingga dapat
memberikan sumbangan berharga bagi kepentingan penyidikan kasus-kasus
kriminal maupun musibah masal, namun pelaksanaannya memerlukan
keahlian, keterampilan dan pengalaman. Hal ini berkaitan dengan prosedur
pemeriksaannya yang harus bersih dari kontaminasi karena dapat
menurunkan tingkat kepercayaan apabila dipakai sebagai barang bukti
forensik pada persidangan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Dikshit Pc. Forensic Medicine And Toxicology. New Delhi:


Peepeepublishersand Distributors Ltd:2014.

2. Amri A. Ilmu Kedokteran Forensik. Medan: Percetakan Ramadan: 2010. 


3. Bernard K. Forensic Pathology. New York: Oxforduniversitypressinc: 2011.


4. Gladys L. Monica, Et All. Identifikasi Personal Dan Identifikasi Korban
Bencana Massal Di Blu Rsup Prof Dr R.D Kandou Manado Periode Januari
2010 – Desember 2012. Jurnal Biomedik (Jbm), Volume 5, Nomor 1,
Suplemen: 2013
5. Prawestiningtyas, Dkk. Forensic Identification Based On Both Primary And
Secondary Examination Priority In Victim Identifiers On Two Different Mass
Disaster Cases. Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol. Xxv No. 2: 2009
6. Ibrahim E. Aplikasi Analisis Dna Di Bidang Forensik. Jurnal Kedokteran Gigi
Universitas Indonesi Volune 3. :2009
7. Rose Nandiasa, Dkk. Penggunaan Radiograf Gigi Untuk Kepentingan
Identifikasi Forensik. Odonto Dental Journal. Volume 3. Nomer 1: 2016
8. Pertiwi,Kr. Penerapan Teknologi Dna Dalam Identifikasi Forensik. Jurnal
Kedokteran. Bandung:2011
9. Wilianto, Wl. Pratikum Pembuatan Odontogram Pada Kepaniteraan Klinik
Dokter Muda Di Departemen Ilmu Kedokteran Forensik Dan Medikolegal Fk
Unair – Rsud Dr Soetomo Surabaya. Jurnal Kedokteran Forensik Indonesia,
Vol. 15 No. 1: 2013
10. Saliyah, Kusuma,Se. Pengambilan Sidik Jari Pada Jenazah Guna Identifikasi.
Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia The Indonesian Association Of
Forensic Medicine: 20017

Anda mungkin juga menyukai