Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH KEPERAWATAN BENCANA II

Konsep Penanganan Korban Meninggal

KELOMPOK 4
1. Clintha Desi Caroline
2. Dasinem
3. Ayu Centya Elita

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MH THAMRIN
JAKARTA
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah tentang keperawatan bencana.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu
kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Terlepas dari semua itu, kami
menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan
kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang keperawatan bencana ini
dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Indonesia merupakan salah satu Negara yang mengalami globalisasi


dalam berbagai bidang, baik bidang teknologi, social maupun budaya.
Globalisasi yang terjadi mempengaruhi banyak hal di Indonesia. Seperti
perubahan cuaca yangmeningkatkan potensi bencana alam, pada moral
manusia hingga timbul berbagaimacam tindak kejahatan. Kondisi ini tercermin
dari pemberitaan media massayang seringkali memuat berita mengenai
kejadian bencana, seperti aksi teror bom,kecelakaan transportasi, gempa
bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, letusangunung berapi, puting beliung,
pembunuhan anak, kekerasan dalam rumah tanggadan lain-lain. Badan
Nasional Penanggulangan Bencana telah memiliki datasebaran kejadian
bencana di Indonesia mulai dari tahun 1815 – 2012 , dan angka kejadian
bencana cenderung meningkat dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir.

Definisi bencana sangat bervariasi. Menurut WHO, bencana adalah setiap


kejadian yang menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis, hilangnyanya
manusia atau memburuknya derajat kesehatan atau pelayanan kesehatan
pada skala tertentu yang memerlukan respon dari luar masyarakat atau
wilayah yang terkena. Undang-undang Nomor 24 tahun 2007 mendefinisikan
bencana sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupandan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik
oleh faktor alam atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis.Singkatnya, bencana
merupakan suatu kejadian di luar harapan yang dapat menimbulkan korban
luka maupun meninggal.Suatu bencana dengan jumlah korban massal
memiliki patokan yang berbeda- beda. Dari sudut pandang medis, 25 orang,
menurut Popzacharieva dan Rao, 10 orang. Silver dan Souviron menyatakan
patokan ini tentunya akan berbeda-beda tergantung dari lokasi bencana,
terkait dengan sumber daya dan fasilitas yang tersedia. Sebagai contoh,
jumlah lemari pendingin yang tersedia untuk menyimpan jenazah akan
bervariasi dari 4 hingga 400 unit antara satu rumah sakit dengan rumah sakit
lainnya.

Dengan demikian, menurut Hadjiiski, suatu bencana digolongkan sebagai


bencana massal apabila jumlah korban melebihi 10% dari kapasitas tempat
yang tersedia di masing-masing rumah sakit. Sedangkan menurut pedoman
penanganan bencana di bidang kesehatan Menteri Kesehatan RI, korban
massal adalah korban akibat kejadian dengan jumlah relatif banyak oleh
karena sebab yang sama dan perlu mendapatkan pertolongan kesehatan
segera dengan menggunakan sarana, fasilitas, dan tenaga yang lebih dari
yang tersedia sehari- hari. Penting untuk membedakan apakah suatu
bencana bersifat terbuka atau tertutup. Bencana terbuka merupakan bencana
besar yang menyebabkan kematian sejumlah orang yang tidak diketahui
identitasnya dan tidak tersedia data yang jelas tentang para korban tersebut.
Sulit untuk memperoleh informasi yang akurat tentang jumlah korban pada
kejadian bencana jenis ini. Bencana tertutup adalah bencana besar yang
menyebabkan kematian sejumlah orang yang memiliki identitas yang dapat
diketahui dengan jelas (misalnya, kecelakaan pesawat yang memiliki data-
data penumpang). Pada kasus bencana tertutup biasanya data antemortem
dapat diperoleh dengan cepat.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Menjelaskan tentang DVI (Disaster Victim Identification)
2. Mendeskripsikan pengertian Postmortem dan Antimortem
3. Menjabarkan fase-fase Postmortem dan Antemortem

C. TUJUAN
1. Memahami tentang DVI (Disaster Victim Identification)
2. Memahami pengertian Postmortem dan Antimortem
3. Memahami fase-fase Postmortem dan Antemortem
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi DVI (Disaster Victim Identification)

Identifikasi forensik adalah sebuah upaya kerjasama dan koordinasi


aparat penegak hukum, patologi forensik, dokter gigi forensik, antropologi
forensik,ahlu ilmu hukum pidana dan spesialisasi terkait lainnya. Identifikasi
korban yang tidak diketahui identitasnya wajib dilakukan sebagaimana yang
telahdiamanatkan di dalam Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun
2009.Prosedur identifikasi yang dilakukan terhadap korban bencana alam
banjir dantanah longgsor, kecelakaan lalu lintas, terorisme, kebakaran,
kecelakaan kerja.Identifikasi penting untuk dilakukan terkait pelaksanaan
penyelidikan kasuskriminal, penentuan tatacara prosesi pemakaman,
pembayaran asuransi kematian.Disaster Victim Identification (DVI) adalah
suatu definisi yang diberikansebagai sebuahprosedur untuk mengidentifikasi
korban mati akibat bencana massal secara ilmiah yang dapat dipertanggung
jawabkan dan mengacu pada standar baku Interpol.

Proses DVI meliputi 5 faseyang pada setiap fase memiliki keterkaitan


antara satu dengan yang lain. Proses DVI menggunakan bermacam-macam
metode dan teknik. Interpoltelah menentukan adanya Primary Identifier yang
terdiri dari finger print (FP), dental records DR) danDNA serta Secondary
Identifiers yang terdiri dari medical(M), property (P) dan
photography(PG),dengan prinsip identifikasi adalah membandingkan data
antemortem dan postmortem.Primary identifiers mempunyai nilai yang sangat
tinggi bila dibandingkan dengan secondary identifiers.Setiap bencana massal
yang menimbulkan banyak korban jiwa, baik akibat Natural Disaster ataupun
Man Made Disaster, memiliki spesifikasi tertentu yang berbeda antara kasus
yang satu dengan yanglain. Perbedaan ini menyebabkan tindakan
pemeriksaan identifikasi dengan skala prioritas bahan yang akan diperiksa
sesuai dengan keadaan jenazah yang ditemukan. Kejadian bencana massal
tersebut akan menghasilkan keadaan jenazah yang mungkin dapat intak,
separuh intak,membusuk, tepisah berfragmen-fragmen, terbakar menjadi abu,
separuh terbakar, terkubur ataupun kombinasi dari bermacam-macam
keadaan. Masalah akan timbul dengan berbagai variasi tingkat kesulitan
dimanatindakan identifikasitermudah dan sederhana yaitu secara visual
tidaklagi dapatdigunakan.

Demikian juga pada jenazah yang mengalami pembusukan lanjut,


pemeriksaan identifikasi primer berdasarkan sidik jari akan sulit dilakukan,
maka dapat digantikan dengan pemeriksaan gigi geligi karena gigi bersifat
lebih tahan lama terhadap proses pembusukan. Namun keadaan gigi tersebut
juga dipengaruhi faktor lingkungan tempat jenazah itu berada. Fakta
pengalaman dilapangan menunjukkan bahwa identifikasi korban meninggal
massal melalui gigi geligi mempunyai kontribusi yang tinggi dalam
menentukan identitas seseorang.

B. Tugas DVI (Disaster Victim Identification)

Tugas utama DVI secara umum adalah sebagai berikut :

1. Melakukan koordinasi dengan tim medis dan aparat keamanan


untukmelakukan evakuasi korban meninggal dan tempat kejadian.
2. Malakukan koordinasi dengan rumah sakit setempat atau rumah
sakittempat rujukan korban meninggal.
3. Melakukan identifikasi terhadap korban meninggal dengan sumber
daya yang ada.
4. Membuat kesimpulan sementara terhadap hasil pemeriksaan.
5. Melaporkan hasil identifikasi kepada badan pemerintahan terkai

C. Tahap – tahap DVI (Disaster Victim Identification)

Tahap DVIProses DVI tersebut mempunyai lima fase, dimana setiap fasenya
mempunyaiketerkaitan satu dengan yang lainnya. Fase-fase tersebut yaitu :
a. Fase I– TKP (The Scene)
Merupakan tindakan awal yang dilakukan di tempat kejadian
peristiwa(TKP) bencana.Ketika suatu bencana terjadi, prioritas yang
paling utamaadalah untuk mengetahui seberapa luas jangkauan
bencana.Sebuahorganisasi resmi harus mengasumsikan komando
operasi secarakeseluruhan untuk memastikan koordinasi personil dan
sumber dayamaterial yang efektif dalam penanganan bencana.Dalam
kebanyakankasus, polisi memikul tanggung jawab komando untuk
operasi secarakeseluruhan. Sebuah tim pendahulu (kepala tim DVI,
ahli patologiforensik dan petugas polisi) harus sedini mungkin dikirim
ke TKP untuk mengevaluasi situasi berikut :
Keluasan TKP : pemetaan jangkauan bencana dan
pemberiankoordinat untuk area bencana
 Perkiraan jumlah korban
 Keadaan mayat
 Evaluasi durasi yang dibutuhkan untuk melakukan DVI5
 Institusi medikolegal yang mampu merespon dan membantu
proses DVI6
 Metode untuk menangani mayat
 Transportasi mayat
 Penyimpanan mayat
 Kerusakan properti yang terjadi

Pada prinsipnya untuk fase tindakan awal yang dilakukan di situs bencana,ada
tiga langkah utama.Langkah pertama adalah to secure atau untukmengamankan,
langkah kedua adalah to collect atau untuk mengumpulkan danlangkah ketiga
adalah documentation atau pelabelan.Pada langkah to secure organisasi yang
memimpin komando DVI harusmengambil langkah untuk mengamankan TKP agar
TKP tidak menjadi rusak.

Langkah – langkah tersebut antara lain adalah :

1) Memblokir pandangan situs bencana untuk orang yang tidak berkepentingan


(penonton yang penasaran, wakil– wakil pers, dll),misalnya dengan
memasang police line.
2) Menandai gerbang untuk masuk ke lokasi bencana.
3) Menyediakan jalur akses yang terlihat dan mudah bagi yang berkepentingan.
4) Menyediakan petugas yang bertanggung jawab untuk mengontrol siapasaja
yang memiliki akses untuk masuk ke lokasi bencana.
5) Periksa semua individu yang hadir di lokasi untuk menentukan
tujuankehaditan dan otorisasi.
6) Data terkait harus dicatat dan orang yang tidak berwenang
harusmeninggalkan area bencana

Pada langkah to collect organisasi yang memimpin komando DVI harus


mengumpulkan korban – korban bencana dan mengumpulkan propertiyang terkait
dengan korban yang mungkin dapat digunakan untuk kepentingan identifikasi
korban. Pada langkah documentation organisasi yang memimpin komandoDVI
mendokumentasikan kejadian bencana dengan cara memfoto area bencana dan
korban kemudian memberikan nomor dan label pada korban.Setelah ketiga langkah
tersebut dilakukan maka korban yang sudah diberi nomor dan label dimasukkan ke
dalam kantung mayat untuk kemudiandievakuasi.

a. Fase II– Kamar Mayat/Post Mortem (The Mortuary)


Pengumpulan data post-mortem atau data yang diperoleh paskakematian
dilakukan oleh post-mortem unit yang diberi wewenang olehorganisasi yang
memimpin komando DVI.Pada fase ini dilakukan berbagai pemeriksaan yang
kesemuanya dilakukan untuk memperoleh danmencatat data selengkap –
lengkapnya mengenai korban. Pemeriksaan dan pencatatan data jenazah
yang dilakukan diantaranya meliputi :
1) Dokumentasi korban dengan mengabadikan foto kondisi jenazah
korban
2) Pemeriksaan fisik, baik pemeriksaan luar maupun pemeriksaandalam
jika diperlukan
3) Pemeriksaan sidik jari
4) Pemeriksaan rontgen
5) Pemeriksaan odontologi forensik : bentuk gigi dan rahangmerupakan
ciri khusus tiap orang ; tidak ada profil gigi yangidentik pada 2 orang
yang berbeda
6) Pemeriksaan DNA
7) Pemeriksaan antropologi forensik : pemeriksaan fisik
secarakeseluruhan, dari bentuk tubuh, tinggi badan, berat badan,
tattohingga cacat tubuh dan bekas luka yang ada di tubuh korban

Data – data hasil pemeriksaan tersebut kemudian digolongkan kedalam data primer
dan data sekunder sebagai berikut :

1) Primer (sidik jari, profil gigi, DNA)


2) Sekunder (visual, fotografi, properti jenazah, antropologimedis)Di dalam
menentukan identifikasi seseorang secara positif, BadanIdentifikasi DVI
Indonesia mempunyai aturan-aturan, yaitu minimal apabilasalah satu
identifikasi primer dan atau didukung dengan minimal dua dariidentifikasi
sekunder.Selain mengumpulkan data pasca kematian, pada fase ini juga
sekaligus dilakukan tindakan untuk mencegah perubahan – perubahan paska
kematian pada jenazah, misalnya dengan meletakkan jenazah pada
lingkungan dingin untuk memperlambat pembusukan.

b. Fase III– Ante Mortem


Pada fase ini dilakukan pengumpulan data mengenai jenazah
sebelumkematian.Data ini biasanya diperoleh dari keluarga jenazah maupun
orangyang terdekat dengan jenazah. Data yang diperoleh dapat berupa foto
korbansemasa hidup, interpretasi ciri – ciri spesifik jenazah (tattoo, tindikan,
bekasluka, dll), rekaman pemeriksaan gigi korban, data sidik jari korban
semasahidup, sampel DNA orang tua maupun kerabat korban, serta
informasi – informasi lain yang relevan dan dapat digunakan untuk
kepentingan identifikasi, misalnya informasi mengenai pakaian terakhir yang
dikenakan korban.

c. Fase IV– Rekonsiliasi


Pada fase ini dilakukan pembandingan data post mortem dengan
dataante mortem. Ahli forensik dan profesional lain yang terkait dalam
prosesidentifikasi menentukan apakah temuan post mortem pada jenazah
sesuaidengan data ante mortem milik korban yang dicurigai sebagai
jenazah.Apabila data yang dibandingkan terbukti cocok maka dikatakan
identifikasi positif atau telah tegak. Apabila data yang dibandingkan ternyata
tidak cocokmaka identifikasi dianggap negatif dan data post mortem jenazah
tetapdisimpan sampai ditemukan data ante mortem yang sesuai dengan
temuan post mortem jenazah.

d. Fase V– Debriefing
Korban yang telah diidentifikasi direkonstruksi hingga didapatkankondisi
kosmetik terbaik kemudian dikembalikan pada keluarganya
untukdimakamkan. Apabila korban tidak teridentifikasi maka data post
mortem jenazah tetap disimpan sampai ditemukan data ante mortem yang
sesuaidengan temuan post mortem jenazah, dan pemakaman jenazah
menjaditanggung jawab organisasi yang memimpin komando DVI. Sertifikasi
jenazah dan kepentingan mediko-legal serta administrative untuk
penguburan menjadi tanggung jawab pihak yang menguburkan jenazah.

D. Metodologi Identifikasi
Metode identifikasi forensik dibagi menjadi metode identifikasi primer
dansekunder.Identifikasi primer (DNA, sidik jari dan odontologi) adalah
metodeidentifikasi ilmiah yang mampu bertahan secara global dan telah
terbukti sebagaimetode identifikasi yang efektif.DNA dan sidik jari seringkali
tidak dapatdigunakan apabila telah terjadi kerusakan berat dan meluas
terhadap jaringan lunak korban seperti pada kasus terbakar, skeletonisasi
dan dekomposisi.Jaringan pada tubuh yang kerasseperti gigi sangat
dibutuhkan terkait kendala tersebut.Jaringan gigi dilapisi oleh materi
anorganik kristal hidroksiapatitsehingga resisten terhadap beragam jenis
pengaruh eksternal, iritasi mekanik,termal dan kimia.Untuk metode ilmiah
biasa disebut dengan identifikasi primer yaitu :
1) Pemeriksaan DNA

Pemeriksaan identifikasi forensik merupakan pemeriksaan


yang pertama kali dilakukan, terutama pada kasus tindak
kejahatan yangkorbannya tidak dikenal walaupun identifikasi juga
bisa dilakukan padakasus non kriminal seperti kecelakaan,
korban bencana alam dan perang,serta kasus paternitas
(menentukan orang tua).DNA merupakan gambaran pola
potongan DNA dari setiap individu.
Para ahli menggunakan daerah yang berbeda ini untuk
menghasilkan profil DNA dari seseorang individu, menggunakan
sampel dari darah,tulang, rambut atau jaringan tubuh yang lain.
Pada kasus kriminal, biasanya melibatkan sampel dari barang
bukti dan tersangka,mengekstrak DNAnya, dan menganalisanya
untuk melihat suatu daerah khusus pada DNA (marker ). Para
ilmuwan telah menemukan marker didalam sampel DNA dengan
mendesain sepotong kecil DNA (probe) yang masing-masing
akan mencari dan berikatan dengan sekuen DNA
pasangan/komplementernya pada sampel DNA. Satu seri probe
akan berikatan dengan DNA sampel dan menghasilkan pola yang
berbedaantara satu individu dengan individu yang lain. Para ahli
forensik membandingkan profil DNA ini untuk menentukan
apakah sampel dari tersangka cocok dengan sampel pada bukti.
Marker sendiri biasanya tidak bersifat khusus untuk setiap
individu, jika dua sampel DNA mirip padaempat atau lima daerah,
sampel tersebut mungkin berasal dari individuyang sama. jika
profil sampel tidak sama, berarti seseorang tersebut bukan
pemilik DNA yang ditemukan pada lokasi kriminalitas.
Jika pola yang ditemukan sama, tersangka tersebut
kemungkinan memiliki DNA pada sampel bukti. DNA yang biasa
digunakan dalam tes adalah DNA mitokondria dan DNA inti sel.
DNA yang paling akurat untuk tes adalahDNA inti sel karena inti
sel tidak bisa berubah sedangkan DNA dalam mitokondria dapat
berubah karena berasal dari garis keturunan ibu, yangdapat
berubah seiring dengan perkawinan keturunannya. Kasus-
kasuskriminal, penggunaan kedua tes DNA di atas, bergantung
pada barang bukti apa yang ditemukan di Tempat Kejadian
Perkara (TKP). Seperti jika ditemukan puntung rokok, maka yang
diperiksa adalah DNA inti selyang terdapat dalam epitel bibir
karena ketika rokok dihisap dalam mulut,epitel dalam bibir ada
yang tertinggal di puntung rokok.Epitel ini masihmenggandung
unsur DNA yang dapat dilacak.Misalnya dalam kasuskorban
ledakan bom, serpihan tubuh para korban yang sulit dikenali
diambil sekuens genetikanya.Bentuk sidik DNA berupa garis-garis
yangmirip seperti bar-code di kemasan makanan atau minuman.
Membandingkan kode garis-garis DNA, antara 30 sampai 100
sekuensrantai kode genetika, dengan DNA anggota keluarga
terdekatnya, biasanya ayah atau saudara kandungnya, maka
identifikasi korbanforensik atau kecelakaan yang hancur masih
dapat dilacak. Untuk kasus pemerkosaan diperiksa spermanya
tetapi yang lebih utama adalah kepalas permatozoanya yang
terdapat DNA inti sel di dalamnya.Jika di TKP ditemukan satu
helai rambut maka sampel ini dapat diperiksa asal adaa karnya.
Namun untuk DNA mitokondria tidak harus ada akar, cukup
potongan rambut karena diketahui bahwa pada ujung rambut
terdapat DNA mitokondria sedangkan akar rambut terdapat DNA
inti sel. Teknologi DNA memiliki keunggulan mencolok dalam hal
potensidiskriminasinya dan sensitifitasnya maka tes sidik DNA
menjadi pilihandalam penyelidikan kasus-kasus forensik
dibanding teknologikonvensional seperti serologi dan
elektroforesis.

2) Pemeriksaan Odontologi
Gigi merupakan suatu cara identifikasi yang dapat
dipercaya,khususnya bila rekam dan foto gigi pada waktu masih
hidup yang pernahdibuat masih tersimpan dengan baik.
Pemeriksaan gigi ini menjadi amat penting apabila mayat sudah
membusuk atau rusak.Adapun dalam melaksanakan identifikasi
manusia melalui gigi, kitadapatkan 2 kemungkinan:
1. Memperoleh informasi melalui data gigi dan mulut
untukmembatasi atau menyempitkan identifikasi.
Informasi ini dapatdiperoleh antara lain mengenai:
a) Umur
b) Jenis kelamin
c) Ras
d) Golongan darah
e) Bentuk wajah DNA

Dengan adanya informasi mengenai perkiraan batas-batas umur korban


misalnya, maka pencarian dapat dibatasi pada data-data orang hilang yang berada
di sekitar umur korban. Dengan demikian penyidikan akan menjadi lebih terarah.

Mencari ciri-ciri yang merupakan tanda khusus pada korbantersebutDi sini dicatat
ciri-ciri yang diharapkan dapat menentukanidentifikasi secara lebih akurat dari pada
sekedar mencariinformasi tentang umur atau jenis kelamin. Ciri-ciridemikianantara
lain:misalnya adanya gigi yang dibungkus logam,gigi yangompong atau patah,
lubang pada bagian depanbiasanya dapat lebihmudah dikenali oleh kenalan atau
teman dekat ataukeluargakorban. Disamping ciri-ciri di atas, juga dapat
dilakukanpencocokan antara tengkorak korban dengan fotokorban semasahidupnya.
Metode yang digunakan dikenal sebagaiSuperimposedTechnique yaitu untuk
membandingkan antaratengkorak korban dengan foto semasa hidupnya.

1. Pemeriksaan Sidik jari


Mengidentifikasi pada pola-pola garis sidik jari seseorang (garis
papiler) yang secara genetik permanen melekat pada seseorang.3
Polaatau gambaran sidik jari terdiri dari 3, yaitu arch, whorl, dan
loop.Masing-masing pola terbagi beberapa subgroup dan
yangmembedakan adalah pada keberadaan core dan delta pada
lukisansidik jarinya. Populasi sidik jari terbesar adalah loop, lalu whorl
dan paling sedikit arch.Cara atau teknik pengambilan sidik jari mayat
tergantung keadaanmayat yang bersangkutan. Masing-masing
keadaan membutuhkan cara atau teknik penanganan yang berbeda
a) Pada jenasah yang baru
 Pada jenazah dengan jari-jari yang bisa digerakkan:
- Telungkupan mayat
- Jari seperti biasa
 Pada jenazah dengan jari-jari yang sulit digerakkan
- Gunting Formulir AK-23 pada batas kolom
tangan kiri dankanan tangan kiri dan kanan.
- Jepit potongan formulir tersebut pada kedua
sisi sendokmayat bagian cekung dengan
kolom sidik jari menghadapke luar (dapat
juga pada bagian cembung).
- Bersihkan jari mayat dengan hati-hati,
kemudian bubuhkantinta dengan alat
pembubuh tinta atau dengan roller
setelahtintanya diratakan
- Capkan jari mayat tersebut dengan
menekannya padakolom sidik jari dari
formulir yang terjepit di sendokmayat. Geser
formulir menurut kolom sidik jarinyasehingga
semua jari terekam.
- Rekatkan hasil pengambilan tersebut pada
sehelai formulirAK-23 dan rumuslah sidik jari
tersebut

 Mayat telah kaku dan mulai membusuk

- Tarik jari-jari mayat tersebut sehingga menjadi lurus;


bila jari-jari sulit diluruskan, sayatlah pada bagian
dalam jari
- pada ruas kedua sehingga jari dapat diluruskan.
Untuk ibu jari sayatan antara ibu jari dan telunjuk.
- Ambilah sidik jari mayat tersebut dengan
menggunakansendok mayat seperti dijelaskan pada
di atas
 Ujung-ujung jari mayat sudah lembek (belum rusak
tetapisudah mengkerut
- Suntiklah jari tersebut dengan cairan pengembang
(tissue builder) atau air panas sehingga kulit jari
mengembang.Jarum suntik ditusuk pada ujung jari
atau pada bagiandalam jari antara ruas pertama dan
kedua.
- Ambil sidik jari mayat tersebut denga
menggunakansendok mayat seperti dijelaskan di atas.

 Mayat mulai membusuk/awal dekomposisi (kulit ari mulai


terlepas)
- Periksa kulit jari tersebut apakah masih baik atau ada
bagian yang rusak. Bersihkan kulit jari tersebut
denganhati-hati.
- Kulit dipasang kembali pada jari mayat atau
dimasukkandalam jari terugas sehingga pengambilan
dapat dilakukan.
- Jika kulit jari sudah terlepas sama sekali:
i. Kulit ari diolesi tinta
ii. Kulit jari yang bertinta tersebut dijepit diantara
2 (dua)lembar kaca kemudian di
potret/direproduksi.
iii. Tempelkan potret sidik jari tersebut pada
formulir AK-23 sesuai kolomnya dan rumuslah
sidik jari mayat tersebut.

Setelah dilakukan pengambilan sidik jari, maka dilakukan perbandingan antara


sidik jari yang dicurigai dan sidik jari yangdiketahui dengan melihat pola sidik jari dan
galton detail yang ada.Galton detail atau karakteristik adalah garis-garis papiler yang
terdapat pada tapak jari, telapak tangan dan telapa kaki yang bentuknya berupagaris
membelah, garis pendek, garis berhenti,pulau, jembatan, taji dan titik.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Metode identifikasi terus berkembang, berbagai ilmu pengetahuan baik


yang bersifat ilmiah, komputerized atau yang sederhana lebih
meningkatkanakurasi indentifikasi korban mati atau hidup. Tantangan yang
dihadapi para pelaksana identifikasi di kemudian hari adalah apabila ada
bencana massal,karena kuantitas korban makin meningkat.
Penanganan identifikasi korban bencana massal berdasarkan standar
yang berlaku merupakan suatu proses yang dapat dipertanggung-jawabkan,
baiksecara ilmiah dan secara hukum. Diperlukan kerjasama dan pengertian
yang baik di antara semua pihak yang terlibat dalam penerapannya, sehingga
proses identifikasi mencapai ketepatan dalam identifikasi dan bukan
hanyakecepatan dalam prosesnya.
Tes DNA dalam identifikasi forensik terbukti sangat efektif
karenamenunjukkan sensitifitas dan akurasi yang luar biasa sehingga
dapatmemberikan sumbangan berharga bagi kepentingan penyidikan kasus-
kasuskriminal maupun musibah masal, namun pelaksanaannya
memerlukankeahlian, keterampilan dan pengalaman. Hal ini berkaitan dengan
prosedur pemeriksaannya yang harus bersih dari kontaminasi karena
dapatmenurunkan tingkat kepercayaan apabila dipakai sebagai barang bukti
forensik pada persidangan.

Anda mungkin juga menyukai