Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengetahuan mengenai identifikasi (pengenalan jati diri seseorang) pada
awalnya berkembang karena kebutuhan dalam proses penyidikan suatu tindak
pidana khususnya untuk menandai ciri pelaku tindak kriminal, dengan adanya
perkembangan masalah- masalah sosial dan perkembangan ilmu pengetahuan
maka identifikasi dimanfaatkan juga untuk keperluan-keperluan yang
berhubungan dengan kesejahteraan umat manusia.

Pengetahuan identifikasi secara ilmiah diperkenalkan pertama kali oleh


dokter Perancis pada awal abad ke 19 bernama Alfonsus Bertillon tahun 1853-
1914 dengan memanfaatkan ciri umum seseorang seperti ukuran anthropometri,
warna rambut, mata dan lain-lain. Kenyataan cara ini banyak kendala-
kendalanya oleh karena perubahan- perubahan yang terjadi secara biologis pada
seseorang dengan bertambahnya usia selain kesulitan dalam menyimpan data
secara sistematis.
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari 13.667 pulau
dengan batas luasnya sebesar 2.027.087 km2 mempunyai kurang lebih 129
gunung merapi. Secara geologis Indonesia terletak di pertemuan di antara 3 plat
tektonik utama (Eurasia, Indo- Australia dan Mediterania) dan secara demografi
terdiri dari bermacam-macam etnik, agama, latar belakang sosial dan budaya,
dimana keadaan tersebut memberikan petunjuk bahwa Indonesia berisiko tinggi
sebagai negara yang rawan dari bencana alam terjadinya gempa bumi, Tsunami,
longsor, banjir maupun kecelakaan baik darat, laut maupun udara.
Bencana massal didefinisikan sebagai suatu peristiwa yang disebabkan
oleh alam atau karena ulah manusia, yang dapat terjadi secara tiba-tiba atau
perlahan-lahan, yang menyebabkan hilangnya jiwa manusia, kerusakan harta
benda dan lingkungan, serta melampaui kemampuan dan sumber daya
masyarakat untuk menanggulanginya. Umumnya korban yang hidup telah
banyak dapat diatasi oleh tim medis, para medis dan tim pendukung lainnya.
Namun berbeda bagi korban yang sudah mati yang perlu ditangani secara
khusus dengan membentuk tim khusus pula. Dalam penggolongannya bencana

3
massal dibedakan menjadi 2 tipe. Pertama, Natural Disaster, seperti Tsunami,
gempa bumi, banjir, tanah longsor dan sejenisnya. Sedangkan yang kedua,
dikenal sebagai ‘Man Made Disaster’ yang dapat berupa kelalaian manusia itu
sendiri seperti: kecelakaan udara, laut, darat, kebakaran hutan dan sejenisnya
serta akibat ulah manusia yang telah direncanakannya seperti pada kasus
terorisme.
DVI (Disaster Victim Identification) adalah suatu definisi yang diberikan
sebagai sebuah prosedur untuk mengidentifikasi korban mati akibat bencana
massal secara ilmiah yang dapat dipertanggung-jawabkan dan mengacu kepada
standar baku Interpol. Adapun proses DVI meliputi 5 fase, dimana setiap
fasenya mempunyai keterkaitan satu dengan yang lainnya, yang terdiri dari ‘The
Scene’, ‘The Mortuary’, ‘Ante Mortem Information Retrieval’, ‘Reconciliation’
and ‘Debriefing’.
Dalam melakukan proses tersebut terdapat bermacam-macam metode dan
tehnik identifikasi yang dapat digunakan. Namun demikian Interpol menentukan
Primary Indentifiers yang terdiri dari Fingerprints, Dental Records dan DNA
serta Secondary Indentifiersyang terdiri dari Medical, Property dan
Photography. Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan membandingkan
data Ante Mortem dan Post Mortem, semakin banyak yang cocok maka akan
semakin baik. Primary Identifiers mempunyai nilai yang sangat tinggi bila
dibandingkan dengan Secondary Identifiers.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana management identifikasi pada korban bencana alam menurut
prosedur DVI ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui prosedur apa saja yang dilakukan untuk identifikasi
korban bencana alam.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
a. Bencana
Bencana adalah suatu peristiwa yang terjadi secara mendadak dan tidak
terencana atau secara perlahan tetapi berlanjut yang menimbulkan dampak
terhadap pola kehidupan normal atau kerusakan ekosistem sehingga diperlukan
tindakan darurat dan menyelamatkan korban yaitu manusia beserta
lingkungannya.
Bencana yang terjadi secara akut atau mendadak dapat berupa rusaknya
rumah serta bangunan, rusaknya saluran air, terputusnya aliran listrik, jalan raya,
bencana akibat tindakan manusia, dan lain sebagainya. Sedangkan bencana yang
terjadi secara perlahan-lahan atau slow onset disaster, misalnya perubahan
kehidupan masyarakat akibat menurunnya kemampuan memperoleh kebutuhan
pokok, atau akibat dari kekeringan yang berkepanjangan, kebakaran hutan dengan
akibat asap atau haze yang menimbulkan masalah kesehatan.
b. Identifikasi forensik
Identifikasi forensik merupakan upaya yang dilakukan dengan tujuan
membantu penyidik untuk menentukan identitas seseorang. Identifikasi personal
sering merupakan suatu masalah dalam kasus pidana maupun perdata.
Menentukan identitas personal dengan tepat amat penting dalam penyidikan
karena adanya kekeliruan dapat berakibat fatal dalam proses peradilan.
Peran ilmu kedokteran forensik dalam identifikasi terutama pada jenazah
tidak dikenal, jenazah yang rusak, membusuk, hangus terbakar dan kecelakaan
masal, bencana alam, huru hara yang mengakibatkan banyak korban meninggal,
serta potongan tubuh manusia atau kerangka. Selain itu identifikasi forensik juga
berperan dalam berbagai kasus lain seperti penculikan anak, bayi tertukar, atau
diragukan orangtuanya. Identitas seseorang yang dipastikan bila paling sedikit dua
metode yang digunakan memberikan hasil positif (tidak meragukan).

5
c. Disaster Victim Identification (DVI)
DVI (Disaster Victim Identification) adalah suatu definisi yang
diberikan sebagai sebuah prosedur untuk mengidentifikasi korban mati akibat
bencana massal secara ilmiah yang dapat dipertanggung-jawabkan dan
mengacu kepada standar baku Interpol. Adapun proses DVI meliputi 5 fase,
dimana setiap fasenya mempunyai keterkaitan satu dengan yang lainnya, yang
terdiri dari ‘The Scene’, ‘The Mortuary’, ‘Ante Mortem Information
Retrieval’, ‘Reconciliation’ and ‘Debriefing’.
Dalam melakukan proses tersebut terdapat bermacam-macam metode
dan tehnik identifikasi yang dapat digunakan. Namun demikian Interpol
menentukan Primary Indentifiers yang terdiri dari Fingerprints, Dental
Records dan DNA serta Secondary Indentifiersyang terdiri dari Medical,
Property dan Photography. Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan
membandingkan data Ante Mortem dan Post Mortem, semakin banyak yang
cocok maka akan semakin baik. Primary Identifiers mempunyai nilai yang
sangat tinggi bila dibandingkan dengan Secondary Identifiers.
3. Dasar – Dasar Identifikasi Forensik
Dasar hukum dan undang-undang bidang kesehatan yang mengatur
identifikasi jenasah adalah :
A. Berkaitan dengan kewajiban dokter dalam membantu peradilan diatur dalam
KUHP pasal 133:
1. Dalam hal penyidik untuk membantu kepentingan peradilan menangani
seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang di duga karena
peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan
permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter
dan atau ahli lainnya.
2. Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas
untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan
bedah mayat.
3. Mayat yang dikirimkan kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter
pada rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh

6
penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuatkan
identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yang diilekatkan pada ibu
jari kaki atau bagian lain badan mayat.

B. Undang-undang Kesehatan Pasal 79


1. Selain penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia juga kepada
pejabat pegawai negeri sipil tertentu di Departemen Kesehatan diberi
wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam UU No
8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan
tindak pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
2. Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang :
a. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan.
b. Melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan.
c. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan usaha.
d. Melakukan pemeriksaan atas surat atau dokumen lain.
e. Melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti.
f. Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan.
g. Menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti
sehubungan dengan tindak pidana di bidang kesehatan.
3. Kewenangan penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan
menurut UU No 8 tahun 1981 tentang HAP.
3. Disaster Victim Identification
Disaster Victim Identification (DVI) adalah suatu istilah atau definisi yang
diberikan sebagai sebuah prosedur untuk mengidentifikasi korban meninggal
akibat bencana massal yang dapat dipertanggungjawabkan secara sah oleh hukum
dan ilmiah serta mengacu pada standar baku Interpol DVI Guideline. Tim DVI
terdiri dari dokter spesialis forensik, dokter gigi, ahli anthropology (ilmu yang
mempelajari tulang), kepolisian, fotografi, dan ahli DNA.
DVI diperlukan untuk menegakkan Hak Asasi Manusia, sebagai bagian
dari proses penyidikan, jika identifikasi visual diragukan, sebagai penunjang
kepentingan hukum (asuransi, warisan, status perkawinan) dan dapat
dipertanggungjawabkan. Prosedur DVI diterapkan jika terjadi bencana yang

7
menyebabkan korban massal, seperti kecelakaan bus dan pesawat, gedung yang
runtuh atau terbakar, kecelakaan kapal laut dan aksi terorisme. Dapat diterapkan
terhadap bencana dan insiden lainnya dalam pencarian korban. Prinsip dari proses
identifikasi ini adalah dengan membandingkan data ante-mortem dan post-
mortem, semakin banyak yang cocok maka akan semakin baik.
Penerapan prosedur DVI Interpol di Indonesia diawali dengan
dilakukannya identifikasi korban bencana massal akibat Bom Bali yang terjadi
pada bulan Oktober 2002 dimana terdapat korban meninggal sebanyak 202 orang.
Pada proses identifikasi yang berjalan kurang lebih 3 bulan tersebut berhasil
diidentifikasi sebesar hampir 99% yang teridentifikasi secara positif melalui
metode ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.
Penatalaksanaan korban mati mengacu pada Surat Keputusan Bersama
Menteri Kesehatan dan Kapolri No. 1087/Menkes/SKB/IX/2004 dan No. Pol
Kep/40/IX/2004 Pedoman Pelaksanaan Identifikasi Korban Mati pada Bencana
Massal.
Rujukan Hukum :
a. UU No.24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
b. UU No.2 tahun 2002 tentang Polri
c. UU No.23 tentang kesehatan
d. PP No.21 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
e. Resolusi Interpol No.AGN/65/RES/13 year 1996 on Disaster Victim
Identification
f. MOU Depkes RI-Polri tahun 2004
g. MOU Depkes RI-Polri tahun 2003

1. PROSES DISASTER VICTIM IDENTIFICATION


Penanggung jawab DVI adalah Kepolisian yang dalam pelaksanaan
operasinya dapat bekerjasama dengan berbagai pihak lintas institusi, sektoral dan
fungsi. Ketua tim dan koordinator fase berasal pihak kepolisian. Pada kasus yang
lebih mementingkan aspek penyidikan, kecepatan dan hot issues seperti pada man
made disaster, ketua tim DVI lebih mengedepankan timnya sesuai dengan
keahlian dan pengalaman, sedangkan pada kasus yang lebih mengedepankan

8
aspek kemanusiaan pada natural disaster maka ketua DVI dapat melibatkan
beberapa tim dari berbagai institusi.
Prinsip dalam bekerja bagi tim DVI adalah team work sesuai dengan
keahlian/kompetensi dan pengalaman. Masing‐masing tim yang bekerja dalam
masing‐masing fase mempunyai tanggung jawab, keahlian dan pengalaman yang
berbeda yang menjadi pertimbangan bagi seorang ketua tim DVI. Misalnya tim
DVI fase I diperuntukkan bagi tim yang telah terlatih dan mempunyai pengalaman
di TKP dibandingkan dengan seorang dokter forensik/dokter gigi forensik yang
lebih berkompeten di DVI fase 2 untuk memeriksa jenasah.
Proses DVI meliputi 5 fase, dimana setiap fasenya mempunyai keterkaitan
satu dengan yang lainnya, yang terdiri dari :
a. Fase 1 : Fase TKP/The Scene
Dilaksanakan oleh tim DVI unit TKP dengan aturan umum sebagai berikut:
1. Tidak diperkenankan seorang pun korban meninggal yang dapat dipindahkan
dari lokasi, sebelum dilakukan olah TKP aspek DVI;
2. Pada kesempatan pertama label anti air dan anti robek harus diikat pada setiap
tubuh korban atau korban yang tidak dikenal untuk mencegah kemungkinan
tercampur atau hilang;
3. Semua perlengkapan pribadi yang melekat di tubuh korban tidak boleh
dipisahkan;
4. Untuk barang‐barang kepemilikan lainnya yang tidak melekat pada tubuh
korban yang ditemukan di TKP, dikumpulkan dan dicatat;
5. Identifikasi tidak dilakukan di TKP, namun ada proses kelanjutan yakni masuk
dalam fase kedua dan seterusnya.
Pada prinsipnya untuk fase tindakan awal yang dilakukan di situs bencana,
ada tiga langkah utama. Langkah pertama adalah to secure atau untuk
mengamankan, langkah kedua adalah to collect atau untuk mengumpulkan dan
langkah ketiga adalah documentation atau pelabelan.

9
Pada langkah to secure organisasi yang memimpin komando DVI harus
mengambil langkah untuk mengamankan TKP agar TKP tidak menjadi rusak.
Langkah – langkah tersebut antara lain adalah :
1) Memblokir pandangan situs bencana untuk orang yang tidak berkepentingan
(penonton yang penasaran, wakil – wakil pers, dll), misalnya dengan
memasang police line.
2) Menandai gerbang untuk masuk ke lokasi bencana.
3) Menyediakan jalur akses yang terlihat dan mudah bagi yang berkepentingan.
4) Menyediakan petugas yang bertanggung jawab untuk mengontrol siapa saja
yang memiliki akses untuk masuk ke lokasi bencana.
5) Periksa semua individu yang hadir di lokasi untuk menentukan tujuan
kehaditan dan otorisasi.
6) Data terkait harus dicatat dan orang yang tidak berwenang harus meninggalkan
area bencana
Pada langkah to collect organisasi yang memimpin komando DVI harus
mengumpulkan korban – korban bencana dan mengumpulkan properti yang
terkait dengan korban yang mungkin dapat digunakan untuk kepentingan
identifikasi korban.8
Pada langkah documentation organisasi yang memimpin komando DVI
mendokumentasikan kejadian bencana dengan cara memfoto area bencana dan
korban kemudian memberikan nomor dan label pada korban. Setelah ketiga
langkah tersebut dilakukan maka korban yang sudah diberi nomor dan label
dimasukkan ke dalam kantung mayat untuk kemudian dievakuasi.8

Gambar 1. Kontainer dan perbendaharaan pemeriksaan badan korban post mortem.9

1.1.2. Rincian yang harus dilakukan pada saat di TKP adalah sebagai
berikut: 1

10
1) membuat sektor‐sektor atau zona pada TKP;
2) memberikan tanda pada setiap sektor;
3) memberikan label orange (human remains label) pada jenazah dan potongan
jenazah, label diikatkan pada bagian tubuh / ibu jari kiri jenazah;
4) memberikan label hijau (property label) pada barang‐barang pemilik yang
tercecer.
5) membuat sketsa dan foto setiap sektor;
6) foto mayat dari jarak jauh, sedang dan dekat beserta label jenasahnya;
7) isi dan lengkapi pada formulir Interpol DVI PM dengan keterangan sebagai
berikut :
a. pada setiap jenazah yang ditemukan, maka tentukan perkiraan umur,
tanggal dan tempat tubuh ditemukan, akan lebih baik apabila di foto pada
lokasi dengan referensi koordinat dan sektor TKP;
b. selanjutnya tentukan apakah jenazah lengkap/tidak lengkap, dapat dikenali
atau tidak, atau hanya bagian tubuh saja yang ditemukan;
c. diskripsikan keadaannya apakah rusak, terbelah, dekomposisi/membusuk,
menulang, hilang atau terlepas;
d. keterangan informasi lainnya sesuai dengan isi dari formulir Interpol DVI
PM
8) masukkan jenazah dalam kantung jenazah dan atau potongan jenazah di
dalam karung plastik dan diberi label sesuai jenazah;
9) formulir Interpol DVI PM turut dimasukkan ke dalam kantong jenasah
dengan sebelumnya masukkan plastik agar terlindung dari basah dan robek;
10) masukkan barang‐barang yang terlepas dari tubuh korban ke dalam kantung
plastik dan diberi label sesuai nomor properti;
11) evakuasi jenasah dan barang kepemilikan ke tempat pemeriksaan dan
penyimpanan jenazah kemudian dibuatkan berita acara penyerahan kolektif.
b. Fase 2 : Fase pengumpulan data jenazah Post Mortem/ The Mortuary
Pengumpulan data post-mortem atau data yang diperoleh paska kematian
dilakukan oleh post-mortem unit yang diberi wewenang oleh organisasi yang
memimpin komando DVI. Pada fase ini dilakukan berbagai pemeriksaan yang

11
kesemuanya dilakukan untuk memperoleh dan mencatat data selengkap–
lengkapnya mengenai korban.1,6,8
Kegiatan pada fase 2 sebagai berikut : 1
a. Menerima jenazah/potongan jenazah dan barang bukti dari unit TKP;
b. Mengelompokkan kiriman tersebut berdasarkan jenazah utuh, tidak utuh,
potongan jenazah dan barang‐barang;
c. membuat foto jenazah;
d. mengambil sidik jari korban dan golongan darah;
e. melakukan pemeriksaan korban sesuai formulir interpol DVI PM yang
tersedia;
f. melakukan pemeriksaan terhadap property yang melekat pada mayat;
g. Pemeriksaan antropologi forensik : pemeriksaan fisik secara keseluruhan, dari
bentuk tubuh, tinggi badan, berat badan, tatto hingga cacat tubuh dan bekas
luka yang ada di tubuh korban.
h. Pemeriksaan odontologi forensik : bentuk gigi dan rahang merupakan ciri
khusus tiap orang ; tidak ada profil gigi yang identik pada 2 orang yang
berbeda
i. membuat rontgen foto jika perlu;
j. mengambil sampel DNA;
k. menyimpan jenasah yang sudah diperiksa;
l. melakukan pemeriksaan barang‐barang kepemilikan yang tidak melekat di
mayat yang ditemukan di TKP;
m. mengirimkan data‐data yang telah diperoleh ke unit pembanding data.

Data – data hasil pemeriksaan tersebut kemudian digolongkan ke dalam data


primer dan data sekunder sebagai berikut : 8
1) Primer (sidik jari, profil gigi, DNA)
2) Sekunder (visual, fotografi, properti jenazah, antropologi, medis)
Di dalam menentukan identifikasi seseorang secara positif, Badan
Identifikasi DVI Indonesia mempunyai aturan-aturan atau syarat identifikasi yang
tepat, yaitu menentukan identitas seseorang secara positif berdasarkan
Identification Board DVI Indonesia adalah didukung minimal salah satu primary
identifiers positif atau didukung dengan minimal dua secondary identifiers positif.

12
Selain mengumpulkan data pasca kematian, pada fase ini juga sekaligus dilakukan
tindakan untuk mencegah perubahan–perubahan paska kematian pada jenazah,
misalnya dengan meletakkan jenazah pada lingkungan dingin untuk
memperlambat pembusukan.7,8
Data‐data post mortem diperoleh dari tubuh jenazah berdasarkan
pemeriksaan dari berbagai keahlian antara lain dokter ahli forensik, dokter umum,
dokter gigi forensik, sidik jari, fotografi, DNA dan ahli antropologi forensik.1

Gambar 2. Skema Pemeriksaan Post Mortem Jenazah. 6

Dalam skema Gambar 9, meskipun DNA merupakan salah satu bagian dari
pemeriksaan primer namun diletakkan dalam sisi yang . Hal ini mengingat
bagaimanapun pemeriksaan DNA, baik nukleus maupun mitokondria merupakan
pemeriksaan identifikasi yang terpercaya, dalam pelaksanaannya tetap
memerlukan waktu dan biaya yang relatif mahal, meskipun bersifat sensitive.
Sebaliknya pemeriksaan sekunder tetap dilakukan sebagai tugas rutin sesuai
prosedur meskipun hasil pemeriksaan primer sudah dapat dilakukan identifikasi.7
Dalam melakukan proses tersebut terdapat bermacam-macam metode dan
tehnik identifikasi yang dapat digunakan. Namun demikian Interpol menentukan,
Primary Indentifiers yang terdiri dari :

13
1) Fingerprints
2) Dental Records
3) DNA
serta Secondary Indentifiers yang terdiri dari :
1) Medical
2) Property
3) Photography
Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan membandingkan data Ante
Mortem dan Post Mortem, semakin banyak yang cocok maka akan semakin baik.
Primary Identifiers mempunyai nilai yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan
Secondary Identifiers. 3,7,8

C. IDENTIFIKASI

Identifikasi forensik merupakan upaya yang dilakukan dengan tujuan


membantu penyidik untuk menentukan identitas seseorang. Identifikasi personal
sering merupakan suatu masalah dalam kasus pidana maupun perdata.
Menentukan identitas personal dengan tepat amat penting dalam penyidikan
karena adanya kekeliruan dapat berakibat fatal dalam proses peradilan.9
Peran ilmu kedokteran forensik dalam identifikasi terutama pada jenazah
tidak dikenal, jenazah yang telah membusuk, rusak, hangus terbakar dan pada
kecelakaan masal, bencana alam atau huru-hara yang mengakibatkan banyak
korban mati, serta potongan tubuh manusia atau kerangka. Selain itu identifikasi
forensik juga berperan dalam berbagai kasus lain seperti penculikan anak, bayi
yang tertukar atau diragukan orang tuanya. Identifikasi korban bencana, biasanya
menjadi tanggung jawab polisi, adalah latihan yang sulit dan menuntut yang
hanya dapat membawa kepada kesimpulan yang sukses jika direncanakan dengan
baik dan yang memang harus melibatkan partisipasi aktif dari banyak lembaga
lainnya.9
Tujuan utama pemeriksaan identifikasi pada kasus musibah bencana
massal adalah untuk mengenali korban serta membangun identitas setiap korban
dengan membandingkan dan mencocokkan hasil ante mortem dan post mortem.
Dalam banyak kasus , meskipun, mengidentifikasi korban sungguh kompleks, dan

14
dapat terjadi permasalahan. Permasalahan yang dapat terjadi adalah tantangan
untuk mendapatkan informasi ante mortem dan post mortem sebagai
perbandingan. Dengan identifikasi yang tepat selanjutnya dapat dilakukan upaya
merawat, mendoakan serta akhirnya menyerahkan kepada keluarganya. Proses
identifikasi ini sangat penting bukan hanya untuk menganalisis penyebab bencana,
tetapi memberikan ketenangan psikologis bagi keluarga dengan adanya kepastian
identitas korban. 7,10,11

a. Identifikasi Korban
Untuk mengidentifikasi korban bencana, diperlukan dua macam data : 8
A. Data orang hilang (misal : orang yang berada di tempat kejadian namun
terdaftar sebagai korban selamat)
B. Data dari jenazah yang ditemukan di tempat kejadian
Dalam mengidentifikasi korban, Interpol DVI Guide membentuk beberapa
tim atau unit, diantaranya : 8, 10
A. Bagian Korban Hilang (Missing Brunch), terdiri dari :
1) Unit pengumpulan data ante-mortem (Ante-mortem record unit)
2) Unit pendataan berkas ante mortem (Ante-mortem files unit)
3) Daftar korban (Victim list)
B. Pengumpulan dan klasifikasi jenazah (Victim Recovery), terdiri dari :
1) Koordinator tim pemulihan (Recovery Co-ordinatory)
2) Tim pencari (Search teams)
3) Tim dokumentasi (Photography)
4) Tim pemulihan jenazah (Body Recovery team)
5) Tim pemulihan barang-barang pribadi (Property Recovery team)
6) Tempat administrasi dan penyimpanan sementara jenazah (Morgue Station)
C. Bagian Kamar Mayat (Mortuary Branch), terdiri dari :
1) Unit keamanan (Security unit)
2) Unit transportasi jenazah (Body movement unit)
3) Unit pengumpul data post-mortem (Post-mortem record unit)
4) Unit pemeriksa jenazah (Body Examination unit), terdiri dari:
a) Unit dokumentasi (Post-mortem photography unit)

15
b) Unit sidik jari (Post-mortem property unit)
c) Unit barang-barang pribadi (Post-mortem property unit)
d) Unit media (Post-mortem medical unit)
e) Unit pemeriksa gigi geligi (Post-mortem dental unit)
D. Pusat Identifikasi (Identification Centre), terdiri dari :
1) Bagian administrasi berkas identifikasi (Identification centre file section)
2) Bagian khusus pusat identifikasi (Identification centre specialized section),
terdiri dari:
a) Bagian penyelidikan data dokumentasi (Photography section)
b) Bagian penyelidikan sidik jari (Finger print)
c) Bagian penyelidkan barang-barang pribadi (Property section)
d) Bagian penyelidikan medis (Medical section)
e) Bagian penyelidikan gigi geligi (Dental section)
f) Bagian analisis DNA (DNA analysis)
g) Badan identifikasi (Identification board)
h) Bagian pelepasan jenazah (Body realese section)

b. Metode dan Teknik Identifikasi


Secara umum, identifikasi yang akurat diperoleh dari mencocokan data ante
mortem dengan post mortem. Dahulu dikenal 2 metode pokok identifikasi yaitu
:1,3,8
A. Metode Sederhana yakni, visual, kepemilikan (perhiasan dan pakaian) dan
dokumentasi.
B. Metode Ilmiah yakni, sidik jari, serologi, odontologi, antropologi, biologi
molekuler.
C. Identifikasi dengan Teknik Superimposisi.
Khusus pada korban bencana massal, saat ini berdasarkan standar Interpol
untuk proses identifikasi pada DVI telah ditentukan metode identifikasi yang
dipakai yaitu :1,3
A. Metode identifikasi primer, yaitu sidik jari, gigi geligi, DNA.
B. Metode identifikasi sekunder, yaitu medis, property, fotografi/visual

16
A. Metode Sederhana / Identifikasi sekunder
1. Visual/Photography dan Medis
Termasuk metode yang sederhana dan mudah dikerjakan yaitu dengan
memperlihatkan tubuh terutama wajah korban kepada pihak keluarga, metode
ini akan member hasil jika keadaan mayat tidak rusak berat dan tidak dalam
busuk lanjut. Metode visual tidak dipakai di dalam metode identifikasi untuk
DVI saat ini karena metode ini tidak dapat diterapkan bila mayat telah busuk,
terbakar, mutilasi serta tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah oleh
karena melibatkan faktor psikologi keluarga yang melakukannya (sedang
berduka, stress, sedih dll).8,13

Gambar 3. Jenazah dapat Gambar 4. Pemeriksaan sekunder medis:


Diidentifikasi sederhana secara visual.7 adanya sikatrik.7

Gambar 5. Pemeriksaan sekunder medis: Gambar 6. Pemeriksaan sekunder medis


dari
pada korban terlihat kumis, tahi lalat.7 tatto sebagai sarana identifikasi.7

Gambar 7. Pemeriksaan sekunder medis dari sex dan Tinggi Badan.7

17
2. Kepemilikan/Property
Termasuk metode identifikasi yang baik walaupun tubuh korban telah
rusak atau hangus. Initial yang terdapat pada cincin dapat memberikan
informasi siapa si pemberi cincin tersebut, dengan demikian dapat diketahui
pula identitas korban. Sedangkan dari pakaian, dapat diperoleh model
pakaian, bahan yang dipakai, merek penjahit, label binatu yang dapat
merupakan petunjuk siapa pemilik pakaian tersebut dan tentunya identitas
korban.8,13

Gambar 8. Barang bukti berupa pakaian dan perhiasan .8

3. Dokumentasi : KTP, SIM, Paspor, kartu pelajar dan tanda pengenal lainnya
merupakan sarana yang dapat dipakai untuk menentukan identitas.8,13

Gambar 9. Pemeriksaan sekunder properti dari KTP yang melekat. 7

B. Metode Ilmiah (Identifikasi Primer)


1. Sidik jari
Sidik jari atau Finger prints dapat menentukan identitas secara pasti oleh
karena sifat kekhususannya yaitu pada setiap orang akan berbeda walaupun
pada kasus saudara kembar. Keterbatasannya hanyalah cepat

18
rusak/membusuknya tubuh. Walaupun Fingerprinting sangat sulit karena
kondisi tubuh tetapi dapat berhasil dilakukan oleh ahli ilmiah. Teknik
pengembangan sidik jari pada jari telah keriput, serta mencopotnya kulit ujung
jari yang telah mengelupas dan memasangnya pada jari yang sesuai jari
pemeriksa, baru kemudian dilakukan pengambilan sidik jari, merupakan
prosedur yang harus diketahui oleh dokter.9,13,14
Dalam persiapan untuk fingerprinting, jari dan tangan harus bersih dengan
air atau dengan sabun emulsi dan dikeringkan dengan kain atau handuk
selulosa. Pembersihan tangan pertama kali memakai alcohol akan
menghasilkan print yang lebih bagus.14
Tergantung pada kondisi dari tangan, jari-jari (jika permukaan kulit masih
melekat), permukaan kulit yang terpisah atau dermis (setelah pemberian
acetone) diwarnai dengan bubuk sidik jari dengan menggunakan sikat (zephr,
fairy hair atau kosmetik). Kemudian pelindung belakang dikeluarkan dari
herma adhesive label berwarna putih (ukuran 32 mm x 40 mm), lalu label
diletakkan pada body pan dengan permukaan yang halus dibawah, dan
permukaan yang cekung menghadap keatas. Cetakan individu kemudian
diambil dengan body pan, lalu diperiksa viabilitasnya dan dijajarkan dari
sebelah kanan ke kiri (ibu jari dikanan, jari kelingking di kiri) pada slide
transparan. Lalu kemudian slide dibalik. Hasilnya akan terlihat satu set sidik
jari normal (positif dan memiliki warna akurat) pada latar putih. 14
Kulit pada jari dihapus dengan dengan hati-hati dengan teknik
‘degloving’dan ditempatkan pada ujung jari salah satu dari dua operator.
Setelah powdering, sidik jari kemudian dicetak di kertas. Penggunaan terpisah
kamar untuk pemeriksaan sidik jari terbukti berguna. 9

Gambar 10. Glove on. Teknik Fingerprinting.9 Gambar 11. Analisis Sidik Jari. 8

19
Gambar 12. Pada foto pertama tampak Prosedur Hand boiling dan pada foto
kedua tampak foto sidik jari setelah Hand boiling.14

Gambar 13. Kulit terlepas, double-rowed pappillaries sudah tampak pada kondisi tangan
setelah hand boiling. Pada gambar kedua, tampak jejak dari ibu jari dan jari telunjuk
tangan kanan setelah dilakukan hand boiling, diwarnai dengan bubuk arang, dicetak
dengan adhesive labels dan ditekankan pada slide transparan.14

2. Serologi
Prinsipnya ialah dengan menentukan golongan darah, dimana pada
umumnya golongan darah seseorang dapat ditentukan dari pemeriksaan darah,
air mani, dan cairan tubuh lainnya. Penentuan golongan darah yang diambil
baik dari dalam tubuh korban, maupun bercak darah yang berasal dari bercak
yang terdapat pada pakaian, akan dapat mengetahui golongan darah si korban.
Orang yang demikian termasuk golongan sekretor (penentuan golongan darah
dapat dilakukan dari seluruh cairan tubuh) 75-80% dari penduduk termasuk
dalam golongan ini. Pada mereka yang termasuk non-sekretor, penentuan
golongan darah hanya dapat dilakukan dengan pemeriksaan darahnya saja.13,14

D. Odontologi

20
Odontology adalah cabang kedokteran forensic yang melibatkan dokter
gigi. Gigi adalah bagian tubuh yang paling keras dan yang paling tahan
terhadap trauma, pembusukan, air, dan api. Penentuan identifikasi forensik
berdasarkan pemeriksaan primer masih dapat dilakukan dengan pemeriksaan
gigi geligi yaitu pada jenazah terbakar karena gigi merupakan medium yang
tidak mudah rusak seperti fingerprint tissue dan memiliki daya tahan terhadap
dekomposisi dan panas. Gigi merupakan suatu sarana identifikasi yang dapat
dipercaya, khususnya bila rekam dan foto gigi pada waktu masih hidup yang
pernah dibuat masih tersimpan dengan baik. Pemeriksaan gigi ini menjadi amat
penting apabila mayat sudah dalam keadaan membusuk atau rusak, seperti
halnya kebakaran. 1,15,16

Gambar 14. Gigi tetap dalam keadaan utuh pada suhu yang tinggi,
walaupun tubuh telah rusak, tetapi gigi masih dapat diidentifikasi.16

Gigi dapat juga dipakai untuk membantu dalam hal perkiraan umur serta
kebiasaan /pekerjaan dan kadang-kadang golongan suku tertentu. Kebiasaan
merokok akan meninggalkan pewarnaan akibat nikotin pada gigi, gigi yang
dipangur (diratakan) menujukkan ras/suku tertentu.13

Adapun dalam melaksanakan identifikasi manusia melalui gigi, kita


dapatkan 2 (dua) kemungkinan: 1
a). memperoleh informasi melalui data gigi dan mulut untuk membatasi atau
menyempitkan identifikasi; Informasi ini dapat diperoleh antara lain
mengenai umur, jenis kelamin, ras, golongan darah, bentuk wajah dan salah
satu sampel DNA. Dengan adanya informasi mengenai perkiraan batas‐batas
umur korban misalnya, maka pencarian dapat dibatasi pada data‐data orang

21
hilang yang berada di sekitar umur korban. Dengan demikian penyidikan
akan menjadi lebih terarah.1
b). mencari ciri‐ciri yang merupakan tanda khusus pada korban tersebut; Disini
dicatat ciri‐ciri yang diharapkan dapat menentukan identifikasi secara lebih
akurat dari pada sekedar mencari informasi tentang umur atau jenis kelamin.
Ciri‐ciri demikian antara lain : misalnya adanya gigi yang dibungkus logam,
gigi yang ompong atau patah, lubang pada bagian depan biasanya dapat lebih
mudah dikenali oleh kenalan atau teman dekat atau keluarga korban.1
Forensik odontologis akan melakukan pemeriksaan terhadap gigi, gusi,
bagian lain dari kavitas oral, rahang/maxilla, dan komponen dari hidung pada
wajah. Pemeriksaan ini meliputi pencatatan data gigi (Odontogram) dan rahang
yang dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan manual, sinar X dan
pencetakan gigi dan rahang. Odontogram memuat data tentang jumlah,
bentuk, susunan, tambalan, protesa gigi, dan sebagainya. 3,14,15

Gambar 15. Pemeriksaan gigi : pada gigi emas terdapat inisial korban16

Kondisi pembusukan awal juga masih memungkinkan diidentifikasi


melalui proses pemeriksaan primer yang bersifat ekonomis dan efisien yaitu
pemeriksaan gigi, meskipun keluarga tidak dapat merinci kondisi gigi korban
dengan tepat. Semakin lama terpapar dalam air maka proses pembusukan juga
akan berlangsung dengan cepat sehingga akan menyebabkan terbatasnya upaya
pemeriksaan primer. Proses identifikasi pada konsisi harus dilakukan
kombinasi pemeriksaan primer dengan sekunder secara cermat dan akurat.
Pada kasus ini korban berikutnya ditemukan setelah 9-29 hari setelah kejadian
sehingga tidak ada satu pun yang berhasil diidentifikasi berdasarkan

22
pemeriksaan primer yang terjangkau yaitu sidik jari maupun gigi karena terjadi
pembusukan lanjut. 7
Selain itu akibat pemanasan terjadi koagulasi protein yang menyebabkan
otot mengecil diikuti mengkerutnya kulit, termasuk pengerutan peridontal
ligament atau periodontal membran sebagai jaringan penyangga tulang dan
gigi. Hal ini akan sulit dilakukan pada jenazah yang meninggal dengan cara
tenggelam. Pada jenazah yang meninggal dalam air pada saat proses
pembusukan berlangsung disertai dengan proses pembusukan pada maksila dan
mandibula yang akan diikuti dengan terlepasnya gigi dari tulang akibat lisis
jaringan penyangga. Gigi yang terlepas akan sulit dilakukan pemeriksaan
karena sebagian besar akan jatuh dalam air. Hal ini pula yang mempengaruhi
keberhasilan identifikasi primer melalui pemeriksaan gigi geligi pada korban
tenggelam.7

Gambar 16. Pemeriksaan Primer Gigi Tidak Akurat Akibat Avulsi Gigi
Postmortem dan Hilangnya Jaringan Lunak. 7

Gambar 17. Proses Pemeriksaan Jenazah Terbakar : Pemeriksaan gigi


yang tetap utuh dan merupakan ciri khas masing-masing.7

a). Identifikasi Forensik Odontology


Batasan dari forensik odontologi terdiri dari:17

23
1. Identifikasi dari mayat yang tidak dikenal melalui gigi, rahang dan
kraniofasial.
2. Penentuan umur dari gigi.
3. Pemeriksaan jejas gigit (bite-mark).
4. Penentuan ras dari gigi.
5. Analisis dari trauma oro-fasial yang berhubungan dengan tindakan
kekerasan.
6. Dental jurisprudence berupa keterangan saksi ahli.
7. Peranan pemeriksaan DNA dari bahan gigi dalam identifikasi personal.

 Penentuan Usia berdasarkan gigi


Perkembangan gigi secara regular terjadi sampai usia 15 tahun.
Identifikasi melalui pertumbuhan gigi ini memberikan hasil yang lebih
baik daripada pemeriksaan antropologi lainnya pada masa pertumbuhan.
Pertumbuhan gigi desidua diawali pada minggu ke 6 intra uteri. 16
Mineralisasi gigi dimulai saat 12-16 minggu dan berlanjut setelah
bayi lahir. Trauma pada bayi dapat merangsang stress metabolik yang
mempengaruhi pembentukan sel gigi. Kelainan sel ini akan
mengakibatkan garis tipis yang memisahkan enamel dan dentin di sebut
sebagai neonatal line. Neonatal line ini akan tetap ada walaupun seluruh
enamel dan dentin telah dibentuk. Ketika ditemukan mayat bayi, dan
ditemukan garis ini menunjukkan bahwa mayat sudah pernah dilahirkan
sebelumnya. Pembentukan enamel dan dentin ini umumnya secara kasar
berdasarkan teori dapat digunakan dengan melihat ketebalan dari struktur
di atas neonatal line. Pertumbuhan gigi permanen diikuti dengan
penyerapan kalsium, dimulai dari gigi molar pertama dan dilanjutkan
sampai akar dan gigi molar kedua yang menjadi lengkap pada usia 14 – 16
tahun. Ini bukan referensi standar yang dapat digunakan untuk
menentukan umur, penentuan secara klinis dan radiografi juga dapat
digunakan untuk penentuan perkembangan gigi. Penentuan usia antara 15
dan 22 tahun tergantung dari perkembangan gigi molar tiga yang
pertumbuhannya bervariasi. Setelah melebihi usia 22 tahun, terjadi
degenerasi dan perubahan pada gigi melalui terjadinya proses patologis

24
yang lambat dan hal seperti ini dapat digunakan untuk aplikasi forensik.
16,18

Gambar 18. memperlihatkan gambaran panoramic X ray pada anak-anak (a)


gambaran yang menunjukkan suatu pola pertumbuhan gigi dan perkembangan
pada usia 9 tahun (pada usia 6 tahun terjadi erupsi dari akar gigi molar atau gigi 6
tapi belum tumbuh secara utuh). Dibandingkan dengan diagram yang diambil dari
Schour dan Massler (b) menunjukkan pertumbuhan gigi pada anak usia 9 tahun.
18

 Penentuan Jenis Kelamin berdasarkan gigi


-Ukuran dan bentuk gigi juga digunakan untuk penentuan jenis
kelamin. Gigi geligi menunjukkan jenis kelamin berdasarkan kaninus
mandibulanya. Anderson mencatat bahwa pada 75% kasus, mesio distal
pada wanita berdiameter kurang dari 6,7 mm, sedangkan pada pria lebih
dari 7 mm. Saat ini sering dilakukan pemeriksaan DNA dari gigi untuk
membedakan jenis kelamin.18

 Penentuan Ras berdasarkan gigi


Penentuan ras pada gigi dan rahang tidak dapat diandalkan,
meskipun beberapa morfologi menunjukkan statistic perbedaan dalam
frekuensi antara ras. Contoh gambaran gigi pada ras mongoloid adala,
Insisivus berbentuk sekop. Insisivus pada maksila menunjukkan nyata
berbentuk sekop pada 85-99% ras mongoloid. 2 sampai 9 % ras kaukasoid
dan 12 % ras negroid memperlihatkan adanya bentuk seperti sekop
walaupun tidak terlalu jelas. Dens evaginatus. Aksesoris berbentuk

25
tuberkel pada permukaan oklusal premolar bawah pada 1-4% ras
mongoloid, Akar distal tambahan pada molar 1 mandibula ditemukan pada
20% mongoloid, Lengkungan palatum berbentuk elips, serta batas bagian
bawah mandibula berbentuk lurus.18

Gambar 19. Gigi seri berbentuk sekop pada wanita cina. 17

b). Langkah langkah penanganan aspek odontologi forensik:


- Bila rahang atas dan bawah lengkap : 12
1. Pembukaan rahang bawah untuk melepaskan rahang bawah.
2. Melakukan pembersihan rahang bawah dan rahang atas.
3. Melakukan dental charting/odontogram.
4. Melakukan rontgen foto pada seluruh gigi geligi di rahang atas dan
rahang bawah.
5. Pencabutan gigi molar 1 atas atau bawah untuk pemeriksaan DNA.
6. Melakukan pemotretan dengan ukuran close-up
7. Melakukan perbandingan data dental antemortem dengan post mortem
8. Proses rekonsilasi untuk penentuan identifikasi.
- Pada rahang yang tidak utuh : 12
Melakukan rekonstruksi bentuk rahang serta susunan gigi geliginya
dengan menggunakan wax/malam. Kenudian diperkuat dengan
menggunakan self curing acrylic. Lalu melakukan pencetakan, dilakukan
pemotretan close-up, dan pengembalian pada jenazah.Tujuan rekonstruksi
diharapkan dapat memperoleh gambaran perkiraan raut wajah korban
untuk membantu memudahkan identifikasi.12

E. DNA
DNA adalah materi genetik yang membawa informasi yang dapat
diturunkan. Di dalam sel manusia DNA dapat ditemukan di dalam inti sel dan di

26
dalam mitokondria. Hampir semua sampel biologis dapat dipakai untuk tes DNA,
seperti buccal swab (usapan mulut pada pipisebelah dalam), darah, rambut beserta
akarnya, walaupun lebih dipilih penggunaan darah dalam tabung (sebanyak 2 ml)
sebagai sumber DNA. Tes DNA dilakukan dengan berbagai alasan seperti
persoalan pribadi dan hukum antara lain ; tunjangan anak, perwalian anak, adopsi,
imigrasi, warisan dan masalah forensik (dalam identifikasi korban bencana).18

F. Antropologi
Ahli Antropologi forensik adalah seseorang yang ahli dalam
mengidentifikasikan tulang dan rangka manusia. Ilmu mereka mencakup
tentang jenis kelamin, suku, usia, dan perkiraan waktu kematian.18
a). Penentuan jenis kelamin pada rangka.14
Penentuan ini didasarkan pada ciri-ciri yang mudah dikenali pada tulang,
seperti tulang panggul, tengkorak, tulang panjang, tulang dada. Tulang
mempunyai nilai tinggi dalam hal penentuan jenis kelamin, yaitu tulang
panggul dan baru kemudian tengkorak. Secara umum dapat dikatakan bahwa
rangka wanita mempunyai bentuk dan tekstur yang lebih halus bila
dibandingkan dengan rangka seorang pria.
 Panggul : Dari pemeriksaan panggul secara tersendiri tanpa pemeriksaan
lain, jenis kelamin sudah dapat ditentukan pada sekitar 90% kasus. Indeks
ischium-pubis pada wanita 15% lebih besar dari pria, ini terdapat pada lebih
dari 90% wanita. Indeks tersebut diukur dari ischium dan pubis dari titik
tempat mereka bertemu pada acetabulum. Bentuk dari “Greater schiatic
notch”mempunyai nilai tinggi dalam penentuan jenis kelamin dari tulang
panggul, 75% kasus dapat ditentukan hanya dari pemeriksaan tersebut.

Gambar 20. Struktur dari pelvis a) wanita dan b) pria.19

27
 Tengkorak : Untuk dapat menentukan jenis kelamin dari tengkorak,
diperlukan penilaian dari berbagai data ciri-ciri yang terdapat pada
tengkorak tersebut. Ciri utama adalah tonjolan di atas orbita (supraorbital
ridges); prosesus mastoideus; palatum; serta bentuk rongga mata dan rahang
bawah. Ciri-ciri tersebut akan tampak jelas setelah usia 14-16 tahun.
Menurut Krogman ketepatan penentuan jenis kelamin atas dasar
pemeriksaan tengkorak dewasa adalah 90%. Luas permukaan prosesus
mastoideus pada pria lebih besar dibanding wanita. Hal ini dikaitkan dengan
adanya insersi otot leher yang lebih kuat pada pria.

Gambar 21. Perbedaan tulang tengkorak pria dan wanita.16

Gambar 33. Pelvis pria memiliki sudut subpubic yang lebih sempit,bentuk triangular
pubic,dan sacrum yang lebar, berbeda dengan sudut subpubic yang lebar, tubuh persegi
pubic dan sacrum yang lebih kecil pada wanita. Tengkorak pria memiliki dahi yang
menonjol, proc.mastoid yang besar,dagu yang cekung disertai ramus yang tertekuk dan
oksipital yang menonjol. Pada wanita, dahi kurang menonjol, ramus lurus, dan dagu
bulat.18

28
 Tulang dada : Rasio panjang dari manubrium sterni dan korpus sterni
menentukan jenis kelamin. Pada wanita manubrium sterni melebihi separuh
panjang korpus sterni; dan ini mempunyai ketepatan sekitar 80%.
 Tulang panjang : Pria pada umumnya memiliki tulang yang lebih panjang,
lebih berat, dan lebih kasar, serta impresinya lebih banyak. Tulang paha
(Os.Femur) merupakan tulang panjang yang dapat diandalkan dalam
penentuan jenis kelamin. Ketepatannya pada orang dewasa sekitar 80%.
Konfigurasi, ketebalan, ukuran dan caput femoris serta bentukan dari otot
dan ligament serta perangai radiologis perlu diperhatikan.

b). Penentuan Tinggi Badan 13


Penentuan tinggi badan menjadi penting pada keadaaan dimana yang harus
diperiksa adalah tubuh yang sudah terpotong-potong atau yang didapatkan
rangka, atau sebagian dari tulang saja.
Pada umumnya perkiraan tinggi badan dapat dipermudah dengan
pengertian bahwa tubuh yang diperiksa itu pendek,sedang atau jangkung.
Perkiraan tinggi badan dapat diketahui dari pengukuran tulang panjang
yaitu,
 Tulang paha (femur) menunjukkan 27% dari tinggi badan
 Tulang kering (tibia) 22% dari tinggi badan
 Tulang lengan atas (humerus) 35% dari tinggi badan
 Tulang belakang, 35% dari tinggi badan
Yang perlu diperhatikan di dalam pengukuran tulang :
 Pengukuran dengan osteometric board
 Tulang harus dalam keadaan kering (dry bone)
 Formula yang dapat dipergunakan untuk pengukuran tinggi badan adalah :
1. Formula Stevenson
TB Femur = 61,7207 + 2,4378 x Femur + 2,1756
TB Humerus = 81,5115 + 2,8131 x Humerus+2,8903
TB Tibia = 59,2256 + 3,0263 x Tibia + 1,8916
TB Radius = 80,0276 + 3,7384 x Radius + 2,6791
2. Formula Trotter dan Gleser

29
TB = 70,37 + 1,22 (Femur + Tibia) + 3,24
Untuk mendapatkan tinggi badan yang mendekati ketepatan sebaiknya
pengukuran dilakukan menurut kedua formula tersebut.

C. Identifikasi dengan Teknik Superimposisi.


Superimposisi adalah suatu system pemeriksaan untuk menentukan identitas
seseorang dengan membandingkan korban semasa hidupnya dengan tengkorak
yang ditemukan. Foto ante mortem dan post mortem korban dibuka dan digabung
menggunakan Adobe Photoshop.

Gambar 22. Teknik Superimposisi yang menggunakan anterior dari gigi sebagai
panduan. Tingkat kejernihan : a. 1% b. 25% c. 50% dan d. 90%. 20

30
Gambar 23. Teknik ini menggunakan Adobe Photoshop-Mediated superimposition

Kesulitan dalam menggunakan tehnik ini adalah: 3,20


1) Korban tidak pernah membuat foto semasa hidupnya.
2) Foto korban harus baik posisinya maupun kwalitasnya.
3) Tengkorak yang ditemukan sudah hancur dan tidak berbentuk lagi.
4) Membutuhkan kamar gelap yang perlu biaya tersendiri.

1.3. Fase 3: Fase pengumpulan data jenazah Ante Mortem/Ante Mortem


Information Retrieval

Pada fase ini dilakukan pengumpulan data mengenai jenazah sebelum


kematian. Data ini biasanya diperoleh dari keluarga jenazah maupun orang yang
terdekat dengan jenazah.1,8
Kegiatan : 1
a. menerima keluarga korban;
b. mengumpulkan data‐data korban semasa hidup seperti foto dan lain-lainnya
yang dikumpulkan dari keluarga terdekat yang kehilangan anggota
keluarganya dalam bencana tersebut;
c. mengumpulkan data‐data korban dari instansi tempat korban bekerja,
RS/Puskesmas/Klinik, dokter pribadi, dokter yang merawat, dokter‐dokter
gigi pribadi, polisi (sidik jari), catatan sipil, dll;

31
d. data‐data Ante Mortem gigi‐geligi;
a. data‐data Ante Mortem gigi‐geligi adalah keterangan tertulis atau
gambaran dalam kartu perawatan gigi atau keterangan dari keluarga atau
orang yang terdekat;
b. sumber data‐data Ante Mortem tentang kesehatan gigi diperoleh dari klinik
gigi RS Pemerintah, TNI/Polri dan Swasta; lembaga‐lembaga pendidikan
Pemerintah/TNI/Polri/Swasta; praktek pribadi dokter gigi.

5 mengambil sampel DNA pembanding;


6 apabila diantara korban ada warga Negara asing maka Data‐data Ante Mortem
dapat diperoleh melalui perantara Set NCB Interpol Indonesia dan perwakilan
Negara asing (kedutaan/konsulat);
7 memasukkan data‐data yang ada dalam formulir Interpol DVI AM;
8 mengirimkan data‐data yang telah diperoleh ke Unit Pembanding Data.

1.4. Fase 4 : Fase Analisa/Reconciliation


Pada fase ini dilakukan pembandingan data post mortem dengan data ante
mortem. Ahli forensik dan profesional lain yang terkait dalam proses identifikasi
menentukan apakah temuan post mortem pada jenazah sesuai dengan data ante
mortem milik korban yang dicurigai sebagai jenazah. Apabila data yang
dibandingkan terbukti cocok maka dikatakan identifikasi positif atau telah tegak.
Apabila data yang dibandingkan ternyata tidak cocok maka identifikasi dianggap
negatif dan data post mortem jenazah tetap disimpan sampai ditemukan data ante
mortem yang sesuai dengan temuan post mortem jenazah.1,6,8
Kegiatan :1
1) mengkoordinasikan rapat‐rapat penentuan identitas korban mati antara Unit
TKP, Unit Post Mortem dan Unit Ante Mortem;
2) mengumpulkan data‐data korban yang dikenal untuk dikirim ke Rapat
Rekonsiliasi;
3) mengumpulkan data‐data tambahan dari Unit TKP, Unit Post Mortem dan
Unit Ante Mortem untuk korban yang belum dikenal;

32
4) membandingkan data Ante Mortem dan Post Mortem;
5) check and Recheck hasil Unit Pembanding Data;
6) mengumpulkan hasil identifikasi korban;
7) membuat sertifikat identifikasi, surat keterangan kematian untuk korban yang
dikenal dan surat‐surat lainnya yang diperlukan;
8) publikasi yang benar dan terarah oleh Unit Rekonsiliasi sangat
membantunmasyarakat untuk mendapatkan informasi yang terbaru dan
akurat.

1.5. Fase 5 : Fase Evaluasi/Debriefing


Korban yang telah diidentifikasi direkonstruksi hingga didapatkan kondisi
kosmetik terbaik kemudian dikembalikan pada keluarganya untuk dimakamkan.
Apabila korban tidak teridentifikasi maka data post mortem jenazah tetap
disimpan sampai ditemukan data ante mortem yang sesuai dengan temuan post
mortem jenazah, dan pemakaman jenazah menjadi tanggung jawab organisasi
yang memimpin komando DVI. Sertifikasi jenazah dan kepentingan mediko-legal
serta administrative untuk penguburan menjadi tanggung jawab pihak yang
menguburkan jenazah.1,6,8
Fase ini dilakukan 3-6 bulan setelah proses identifikasi selesai. Pada fase
debriefing, semua orang yang terlibat dalam proses identifikasi berkumpul untuk
melakukan evaluasi terhadap semua hal yang berkaitan dengan pelaksanaan
proses identifikasi korban bencana, baik sarana, prasarana, kinerja, prosedur, serta
hasil dentifikasi.2
Perawatan jenazah yang dapat dilakukan meliputi antara lain: 3
a. Perbaikan atau rekonstruksi tubuh jenazah
b. Pengawetan jenazah (bila memungkinkan)
c. Perawatan sesuai agama korban
d. Memasukkan dalam peti jenazah
Kemudian jenazah diserahkan kepada keluarganya oleh petugas khusus dari
Komisi Identifikasi berikut surat-surat yang diperlukan pencatatan yang penting
pada proses serah terima jenazah yakni, Tanggal dan jam, Nomor registrasi
jenazah, Diserahkan kepada siapa, alamat lengkap penerima, hubungan keluarga
dengan korban, serta Dibawa kemana atau dimakamkan dimana

33
Perawatan jenazah setelah teridentifikasi dilaksanakan oleh unsur
Pemerintah Daerah, dalam hal ini Dinas Sosial dan Dinas Pemakaman yang
dibantu oleh keluarga
korban. Sangat penting untuk tetap memperhatikan file record dan segala
informasi yang telah dibuat untuk dikelompokkan dan disimpan dengan baik.
Dokumentasi berkas yang baik juga berkepentingan agar pihak lain (Interpol
misalnya) dapat melihat, mereview kasusnya, sehingga menunjukkan bahwa
proses identifikasi ini dikerjakan dengan baik dan penuh perhatian.3
Pada prinsipnya, tim identifikasi pada korban massal tetap berada di bawah
koordinasi Badan Penanggulangan Bencana seperti: Badan Penanggulangan
Bencana
Daerah yang telah terbentuk di Provinsi Sumatera Utara diketuai oleh Gubernur
dan instansi terkait seperti: Kepolisian Daerah Sumatera Utara/Polda Sumut,
Dinas Kesehatan Tk. I Sumut, Universitas Sumatera Utara, Dinas Perhubungan,
Dinas Sosial, Palang Merah Indonesia dan instansi terkait lainnya serta Bakorlak,
Satkorlak dan Satlak. Khusus tim identifikasi di lapangan berada di bawah tim
investigasi (Penyidik Polri/PPNS) yang melakukan peyelidikan dan penyidikan
sebab dan akibat dari bencana massal tersebut, karena hasil identifikasi korban
banyak membantu dalam proses penyelidikan sebab dan akibat, selain tentunya
pengeluaran surat-surat legalitas harus melalui tim investigasi.3
Secara teoritis, kelima fase DVI seharusnya dikerjakan sesuai standar pada
setiap kasus bencana. Namun pada kenyataannya, banyak hambatan dan kendala
yang ditemui di lapangan untuk menerapkan prosedur DVI.2
Pada kasus tenggelamnya kapal Rimba III, mayat sudah dalam kondisi membusuk
lanjut. Proses identifikasi sesuai kelima fase tersebut menemui hambatan karena
polisi mengirimkan mayat ke instalasi kamar jenazah dengan Surat Permintaan
Visum yang sudah berisi identitas korban. Identifikasi dilakukan oleh pihak
penyidik bersamasama dengan keluarga di TKP berdasarkan property (pakaian,
tas, dompet, perhiasan) yang melekat pada tubuh korban. Akibat tindakan
tersebut, keluarga menolak dilakukan pemeriksaan terhadap korban dengan alasan
sudah dikenali. Properti yang ada pada jenazah juga sudah langsung diserahkan

34
pada keluarga di TKP, sehingga sempat terjadi insiden tertukarnya jenazah. Hal
ini dapat diatasi setelah dilakukan pemeriksaan fisik terhadap mayat korban.

35
BAB III

KESIMPULAN

Bencana adalah suatu peristiwa yang terjadi secara mendadak dan tidak
terencana atau secara perlahan tetapi berlanjut yang menimbulkan dampak
terhadap pola kehidupan normal atau kerusakan ekosistem sehingga diperlukan
tindakan darurat dan menyelamatkan korban yaitu manusia beserta
lingkungannya. Identifikasi forensik merupakan upaya yang dilakukan dengan
tujuan membantu penyidik untuk menentukan identitas seseorang. Identifikasi
personal sering merupakan suatu masalah dalam kasus pidana maupun perdata.
Menentukan identitas personal dengan tepat amat penting dalam penyidikan
karena adanya kekeliruan dapat berakibat fatal dalam proses peradilan.
Jenis metode identifikasi primer dan yang paling dapat diandalkan, yaitu
identifikasi sidik jari, analisis komparatif gigi dan analisis DNA. Jenis metode
identifikasi sekunder meliputi deskripsi personal, temuan medis serta bukti dan
pakaian yang ditemukan pada tubuh. Jenis identifikasi ini berfungsi untuk
mendukung identifikasi dengan cara lain dan biasanya tidak cukup sebagai satu-
satunya alat identifikasi.
Diperlukan kerjasama dan pengertian yang baik di antara semua pihak
yang terlibat dalam penerapannya, sehingga proses identifikasi mencapai
ketepatan dalam identifikasi dan bukan hanya kecepatan dalam prosesnya.

Daftar Pustaka

36
1. Gani, M.Husni, dr. DSF. Ilmu Kedokteran Forensik. Fakultas Kedokteran

Universitas Andalas, Padang, Indonesia 2002

2. (Inggris) Reichs, KJ. Forensic Osteology Advances In The Identification

of Human Remain. Charles C Thomas Publisher, Springfield Illinois USA

1986.

3. (Inggris) Krogman WM and Iscan MY. The Human Skeleton In Forensic

Medicine.Charles C Thomas Publisher, Springfield Illinois, USA 1985

4. (Inggris) Launtz, LL. Handbook For Dental Identification. JB Lippincott

Company, Philadelphia and Toronto 1973

37

Anda mungkin juga menyukai