No. Soal
1. Kasus 1
2. Kasus I
Jakarta, Beritasatu.com – Konsep omnibus law dinilai kurang tepat dipakai dalam Rancangan Undang-
Undang (RUU) Cipta Kerja (Ciptaker). Sebab omnibus law hanya menghilangkan sejumlah pasal dalam
undang-undang (UU) tertentu. Menurut peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas,
Charles Simabura, kodifikasi atau penyatuan UU yang sebenarnya lebih ideal.
“Kodifikasi tentu lebih baik, karena undang-undang yang lama enggak berlaku lagi. Kalau omnibus law
hanya mencabut beberapa pasal. Tapi undang-undangnya masih hidup,” kata Charles saat diskusi
bertajuk Sistem Presidensial, Omnibus Law dan Tata Kelola Hukum 2005-2019, di Kantor Centre for
Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta, Senin (24/2/2020).
1 dari 2
HKUM4403-2
Charles menyatakan, perencanaan dan pembahasan RUU Ciptaker terkesan terburu-buru. RUU Ciptaker
pun keluar dari agenda penataan regulasi presiden.
“Ini (RUU Ciptaker) patut diduga merupakan penumpang gelap karena semata-mata bicara tentang
kemudahan investasi dan tidak dalam rangka menyelesaikan problem penataan regulasi secara
keseluruhan,” ujar Charles.
Charles menambahkan, peranan presiden untuk membentuk peraturan perundang-undangan di bawah
UU semestinya diperkuat. Selain itu dibutuhkan integrasi lembaga yang berwenang dalam pembentukan
sebuah regulasi. Charles pun mengusulkan revisi atas UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan dengan memuat omnibus law.
Pada kesempatan yang sama pengamat hukum dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
Andi Syafrani mengatakan, RUU Ciptaker menuai sorotan tajam dari publik akibat kompleksitas dan
luasnya ruang lingkup. Konsep omnibus law RUU Ciptaker, lanjut Andi, berbeda dengan tiga RUU lainnya.
Ketiga RUU itu yakni tentang pemindahan ibu kota, perpajakan, dan kefarmasian.
“Jika dilihat RUU ibu kota, pajak, dan farmasi lingkupnya sama. Bisa dibaca oleh kita topiknya. Kenapa
RUU Ciptaker jadi mumet? Karena topik dan lingkupnya sangat lebar. RUU Ciptaker menabrak cara pikir
aspek hukum,” kata Andi.
Andi juga mengeritik rencana pengesahan RUU Ciptaker dalam 100 hari kerja. Menurut Andi, DPR
sepatutnya memperjuangkan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terlebih dahulu untuk
disahkan. Sebab RUU KUHP sudah dibahas puluhan tahun.
“Pastikan dulu RUU KUHP selesai. Setidaknya membuat wajah DPR tidak tertampar,” tukas Andi.
Sementara itu, Direktur Eksekutif CSIS Philips J Vermonte yang menjadi moderator mengatakan, problem
pembentukan perundang-undangan sudah berlangsung sejak era Reformasi.
“Banyak hal yang harus kita evaluasi. Ke depan yang harus dijaga prinsipnya, kita harus tetap menjadi
negara demokratis, mewujudkan kesejahteraan masyarakat,” kata Philips.
Sumber: BeritaSatu.com
Dari Kasus I, Jelaskan yang dimaksud dengan Kodifikasi, Modifikasi dan Ratifikasi serta berikan
contohnya yang pernah dilakukan di Indonesia?
Pertanyaan:
Jelaskan yang dimaksud dengan verordnung dan Autonome Satzung serta berikan contoh produk
hukumnya dan bila terjadi pertentangan norma yang diatur terhadap norma hukum yang lebih tinggi maka
dimana dapat diselesaikan?
2 dari 2