Anda di halaman 1dari 52

PROPOSAL

PENELITIAN DISERTASI

HAKEKAT PENCATATAN KAWIN SIRI PADA KARTU KELUARGA

Oleh:
Muhammad Erfan Muktasim Billah
210730101005

PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS JEMBER
2022
PERSETUJUAN
Proposal Penelitian Disertasi

Proposal disertasi dengan judul “HAKEKAT PENCATATAN KAWIN SIRI


PADA KARTU KELUARGA” telah disetujui pada:

Hari, Tanggal : Senin, 5 Desember 2022


Tempat : Fakultas Hukum Universitas Jember

Plt. Koordinator Program Studi Doktor Ilmu Hukum


Fakultas Hukum Universitas Jember

Dr. Y.A. Triana Ohoiwutun, S.H., M.H.


NIP: 196401031990022001

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................i


LEMBAR PERSETUJUAN ..........................................................................ii
HALAMAN DAFTAR ISI ............................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................1
1.1. Latar Belakang ....................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah ...............................................................................15
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...........................................................16
1.4. Orisinalitas Penelitian .........................................................................16
1.5. Metode Penelitian ...............................................................................30
a. Tipe Penelitan ...............................................................................30
b. Pendekatan Masalah .....................................................................31
c. Bahan Hukum ...............................................................................33
d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ............................................34
e. Analisis Bahan Hukum .................................................................35
BAB II KERANGKA TEORITIS DAN KONSEPTUAL...........................36
2.1...............................................................................................................Kera
ngka Teoritis ........................................................................................36
2.2...............................................................................................................Kons
eptual ....................................................................................................38
2.3...............................................................................................................Kera
ngka Alur Pikir Disertasi .....................................................................43
2.4...............................................................................................................Siste
matika Penulisan ..................................................................................45
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................46

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam kehidupan manusia di dunia ini, yang berlainan jenis kelaminnya
(laki-laki dan perempuan) secara alamiah mempunyai daya tarik antara satu
dengan yang lainnya untuk dapat hidup bersama, atau secara logis membentuk
suatu ikatan lahir dan batin dengan tujuan menciptakan suatu keluarga/rumah
tangga yang rukun, sejahtera, bahagia dan abadi.1 Perkawinan merupakan suatu
upaya untuk menyalurkan naluri seksual suami istri secara halal dalam rumah
tangga sekaligus sarana untuk menghasilkan keturunan yang dapat menjamin
kelangsungan eksistensi manusia di atas bumi. Keberadaan itu sejalan
dengan lahirnya manusia di atas bumi dan merupakan fitrah manusia yang
diberikan oleh Allah SWT kepada hambanya.2 Perkawinan merupakan suatu cara
yang dipilih oleh Allah SWT sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang
biak dan melestarikan hidupnya.3 Artinya melalui perkawinan tersebut umat
manusia mempertahankan eksistensi kemanusiaannya di muka bumi ini dengan
menciptakan suatu masyarakat kecil dalam bentuk keluarga.4
Perkawinan juga merupakan sunnah Nabi yang patut dilakukan, sebab
perkawinan merupakan kehendak kemanusiaan, kebutuhan rohani dan jasmani.
Perkawinan disyariatkan agar umat manusia mempunyai keturunan dan keluarga
yang sah menuju kehidupan bahagia di dunia dan akhirat, di bawah naungan cinta
dan ridha Ilahi.5 Dalam mewujudkan perkawinan, pada hakikatnya merupakan

1
Djoko Prakoso, I Ketut Murtika. Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia. (PT Bina Aksara:
Jakarta, 1987), h. 24.
2
Burhanuddin S. Menjawab Semua Pertanyaan tentang Kawin siri. (Pustaka Yustisia:
Yogyakarta, 2010), h. 12.
3
H.M.A. Tihami, Fiqih Munakahat, (Jakarta, Rajawali pers, 2009), h.6.
4
Syaikh Abdul Aziz bin Abdurrahan Al-Musa Khalid bin Ali Al-Anbari, Perkawinan dan
Masalahnya, (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 1993), terjemah, h.14
5
Arso Sosroatmodjo, dkk, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, ), h.33.

iv
pelaksanaan dari ajaran agama, didalamnya mengatur perkawinan dengan
memberi batasan melalui rukun serta syarat-syarat yang harus dipenuhi, jika tidak
memenuhi ketentuan yang sudah diatur, baik itu rukun maupun syarat maka
peran tersebut menjadi batal. Selain agama, negara juga mengatur sedemikian
rupa dalam undang-undang, menilik bahwa negara kita merupakan negara
hukum.6
Negara mengatur ketertiban perkawinan dengan ketentuan mengenai sahnya
suatu perkawinan dalam undang-undang, yaitu “Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya”,
dinyatakan juga tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.7 Apabila seseorang kawin dengan tanpa memenuhi kedua
persyararatan yang telah diaturkan seperti dalam agama maupun negara, atau
hanya memenuhi persyaratan agama saja maka perkawinan tersebut tidak
memiliki kepastian hukum atau bisa disebut dengan kawin sirri. Menurut M.
Zuhdi Muhdhar, kawin sirri adalah perkawinan yang dilangsungkan diluar
pengetahuan Petugas Pencatat Nikah (PPN) atau Kepala Urusan Agama (KUA)
sehingga sepasang suami istri dari perkawinan sirri tersebut tidak memiliki surat
yang sah, dan biasanya suami istri tersebut dikawinkan oleh Kyai (ulama’) yang
dipandang mengerti dan memahami hukum Islam.8
Kawin sirri sampai detik ini masih banyak dilaksanakan oleh masyarakat
Indonesia karena masih ada anggapan bahwa pencatatan perkawinan hanyalah
persoalan administrasi semata, dan bukan kewajiban yang dituntut oleh
ajaran agama.9 Padahal dengan melakukan perkawinan sirri akan
menyebabkan banyak madhIarat atau dampak negatif yang akan melanda mereka
dikemudian hari. Dampak negatif timbul manakala terjadi perselisihan yang

6
Indonesia adalah Negara hukum yang berkedaulatan rakyat dan merupakan Negara kesatuan
yang berbentuk Republik, Lihat lebih jelas dalam Pasal 1 ayat (1), (2), (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
7
Djoko Prakoso, I Ketut Murtika. Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia. (PT Bina Aksara:
Jakarta, 1987), h. 10.
8
M. Zuhdi Muhdhar, Memahami Hukum Perkawinan: Kawin, Talak dan Rujuk Menurut Hukum
Islam UU No. 7 Tahun 1989, dan KHI di di Indonesia, (Bandung:Al-Bayan, 2000), h. 22.
9
Suyono, Hukum Keluarga: Perspektif Antropologi Hukum Islam, dalam Jurnal Ilmiyah Asy-
Syir`ah Vol. 16 No. I Tahun 2018, Institut Agama Islam Negeri 9 IAIN) Manado.

v
tidak dapat diselesaikan atau syiqaq antara suami dan istri, maka pihak lain tidak
dapat melakukan upaya hukum “pembelaan diri”, karena tidak memiliki bukti-
bukti yang sah dan otentik dari perkawinan yang dilangsungkannya. 10 Lebih
memprihatinkan lagi adalah jika tidak diakuinya seorang istri, tidak berhak atas
nafkah, dan waris serta anak yang dilahirkan juga dianggap tidak sah.11
Teori Receptio In Complexu diperkenalkan oleh Lodewijk Willem Christian
Van Den Berg menyatakan bahwa hukum Islam diterima di seluruh masyarakat
Indonesia. Selain itu, menurut Vandenberg, hukum Islam dalam hukum keluarga
dan hukum waris Islam diterima di Jawa dan Madura, dengan beberapa
pengecualian.12 Kawin mutoa (kawin kontrak) dan kawin siri (kawin dibawah
tangan) merupakan bagian dari hukum keluarga. Namun, penyimpangan dalam
memahami perkawinan Mutoa dan Siri itu tidak dibahas secara mendetail. 13
Snouck Hurgrounje menentang teori Receptie In Complexu, hukum Islam tidak
diterima oleh masyarakat, yang berlaku bagi masyarakat hukum adat, dan
pengaruh hukum Islam hanya sah jika benar-benar diterima oleh hukum adat,
kemudian hukum Islam menjadi hukum adat, teori ini dikenal sebagai teori
resepsi.14
Perkawinan siri umumnya dilakukan karena ada sesuatu yang dirahasiakan
atau ada masalah dengannya, sehingga masalah tersebut mempengaruhi individu,
termasuk anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan. 15 Faktor-faktor
yang melatarbelakangi terjadinya perkawinan siri adalah:16

10
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995 ), h.110.
11
Muhammad Zain, dkk, Membangun Keluarga Humanis, (Jakarta: Graha Cipta, 2005), h.39
12
Linda Firdawaty, “Perlindungan Hukum Bagi Anak Karena Perkawinan Yang Fasakh Karena
Melanggar Larangan Perkawinan”, Jurnal kajian Hukum Al-Adalah Vol. 7 (1) Juni 2008, IAIN
Raden Intan Lampung, h. 28-36.
13
Abdul Ghofur Anshori, “Orientasi Nilai Filsafat Hukum Keluarga; Refleksi Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan”, Jurnal Mimbar Hukum 18 (1) Februari 2006, FH
UGM Yogyakarta, h. 1-16.
14
Sajuti Talib, Receptio A Contrario, Hubungan Hukum dan Tata Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali
Grafindo, 1996), h. 214-218.
15
Widiastuti, “Beberapa Faktor Penyebab Pasangan Suami Isteri Melakukan Perkawinan di
Bawah Tangan”, Jurnal Eksplorasi Vol. XX (1) tahun 2008, LPPM Slamet Riyadi, h. 78-89.
16
Lihat Taufiqul Hulam, “Transformasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Perkawinan Orang
Sakai di Desa Mandiangin Kecamatan Minas Kabupaten Biak”, Jurnal Hukum Respublica Vol. 5
(1) Tahun 2005,Universitas Lancang Kuning Pekanbaru, akte nikah, h. 1-11.

vi
Pertama, faktor ekonomi. Faktor ekonomi antara lain biaya pengurusan
pencatatan perkawinan. Artinya, sebagian masyarakat, terutama kalangan
menengah ke bawah, merasa tidak mampu membayar pengurusan pendaftaran
dan bisa melipatgandakan biaya pencatatannya.17 Selain kewajiban membayar
mahar, ada kebiasaan yang terjadi di masyarakat bahwa pengantin pria juga
harus menanggung biaya resepsi perkawinan. Ini cukup tinggi bagi
masyarakat menengah kebawah (walaupun dilakukan sesuai adat). Selain
mahar, diwilayah Jawa juga akan dikenakan biaya serah-serahan (pemberian
biaya untuk penyelenggaraan perkawinan), ini juga menjadi alasan mengapa
pria yang ekonominya belum mapan lebih memilih untuk kawin secara
rahasia, yang terpenting sah dan halal, alias ada saksi tanpa harus melakukan
resepsi seperti umumnya perkawinan.
Kedua, faktor usia yang belum cukup umur. Perkawinan siri dimulai karena
salah satu calon pengantin belum cukup umur. Kasus ini juga terjadi karena
alasan finansial. Orang tuanya merasa bahwa beban keuangan keluarganya
berkurang, ketika anak perempuannya sudah dikawinkan, karena sudah
memiliki seorang suami.
Ketiga, faktor ikatan dinas/kerja atau sekolah. Adanya ikatan dinas/profesi
atau peraturan sekolah yang melarang perkawinan agar dapat bekerja dalam
jangka waktu tertentu sesuai kesepakatan yang telah disepakati atau masih
bersekolah. Mereka tidak diperbolehkan kawin sampai mereka lulus atau akan
dikeluarkan dari pekerjaan atau sekolah karena dianggap melanggar aturan.
Keempat, perkawinan siri diyakini sah menurut agama, dan pencatatannya
hanya dilakukan secara administratif. Menurut Ahmad Rofiq, adanya
anggapan bahwa sahnya perkawinan berdasarkan norma agama sebagaimana
disebut dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), sehingga sebagian masyarakat mempraktekkan
perkawinan siri dilaporkan pada petugas Pegawai Pencatat Kawin (PPN). 18

17
Admin, Hukum Kawin Sirri, 04 April 2010, http:// dewandakwahjakarta.or.id/index.php/buletin/
april10/ 140-april4.html, akses tanggal 6 Oktober 2012.
18
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h. 109.

vii
Fenomena ini biasa terjadi pada sebagian orang yang masih menganut hukum
perkawinan yang ketat.
Kelima, hamil di luar perkawinan yang sah. Kehamilan di luar kawin
merupakan suatu aib bagi keluarga dan berujung pada perbuatan tidak
terhormat di masyarakat. Dari situ, orang tua diam-diam mengawinkan dengan
laki-laki yang menghamili anak perempuannya hanya melalui Maleam (ada
istilah kawin sakit) tanpa registrasi, untuk melindungi nama keluarga.
Keenam, kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang pencatatan
perkawinan. Oleh karena itu, pemahaman masyarakat tentang pentingnya
pencatatan perkawinan dapat diabaikan, dan melanjutkan perkawinan siri
berdampak pada masyarakat. Perkawinan yang tercatat dan perkawinan yang
tidak tercatat dianggap sama. “Semua perkawinan dicatat menurut ketentuan
yang berlaku (UU No. 1, Pasal 2 Ayat 1 Tahun 1974), sekalipun dalam
Undang-Undang Perkawinan disebutkan: Bagi mereka yang kawin menurut
agama. Selain itu pencatatannya akan dilakukan di di Kantor Urusan Agama
(KUA). Bagi umat Katolik, Kristen, Budha, atau Hindu, pendaftaran
dilakukan di Kantor Catatan Sipil (KCS).
Ketujuh, faktor sosial. yaitu masyarakat sudah terlanjur memberikan stigma
negatif kepada setiap laki-laki yang kawin lebih dari satu
(berpoligami),"Untuk menghindari stigma negatif ini, tidak ada yang akan
mendaftarkan perkawinan ke petugas. Kesulitan aturan perkawinan kedua,
ketiga dan lainnya (poligami), Pasal 1, Pasal 5 UU 1974. Ada beberapa syarat
yang harus dipenuhi sesuai dengan syarat berpoligami, yaitu memerlukan izin
dan persetujuan. Dan karena sulitnya mendapatkan izin istri pertama, akhirnya
sang suami melakukan kawin siri.
Kedelapan, masih ada orang yang kawin tidak tercatat karena tidak ada yang
mau bertindak tegas.
Kawin siri memiliki banyak dampak negatif bagi perempuan (istri) dan
anak-anak jika suami tidak bertanggung jawab, tetapi sebaliknya, bagi laki-laki
(suami) hampir tidak ada dampak yang mengkhawatirkan atau merugikan, yang
terjadi justru menguntungkan laki-laki yaitu jika suami mau lepas dari tanggung

viii
jawab atau mengaku masih single jika mau kawin lagi. Dampak negatif bagi
perempuan (istri) yang masih lajang secara hukum adalah:
Pertama, dia tidak diakui sebagai istri karena perkawinannya dianggap tidak
sah. Hal ini karena jika suami tidak bertanggung jawab, perkawinan
dilakukan menurut agama dan kepercayaan, tetapi dia tidak dianggap sebagai
istri, karena wanita yang kawin dengan Siri tidak memiliki bukti berupa akta
nikah. Namun, di mata negara, perkawinan sirri dianggap tidak sah jika tidak
didaftarkan di Kantor Urusan Agama (KUA) atau Kantor Catatan Sipil
(KCS).
Kedua, pengabaian hak dan kewajiban. Suami yang kawin dengan Siri
cenderung tidak bertanggung jawab sebagai suami dari wanita yang sudah
dikawini, berpotensi mengabaikan hak dan kewajibannya secara lahir dan
batin serta tidak memiliki bukti berupa akta nikah.
Ketiga, mereka tidak berhak atas penghidupan, warisan atau pembagian harta
bersama. Akibat lain dari perkawinan yang tidak dicatatkan adalah jika suami
masih hidup dan tidak bertanggung jawab, istri tidak berhak mencari nafkah
dan perkawinan itu dianggap tidak ada menurut hukum Indonesia. Jika
meninggal, maka tidak dapat menuntut warisan dari suami, Karena tidak ada
bukti asli, tidak mungkin untuk meminta pembagian harta bersama dalam
kasus perceraian.19
Keempat, tidak memberikan kepastian hukum. Perkawinan sirri tidak
memberikan kepastian hukum. Artinya, bukti bahwa timbul sengketa hukum
(misalnya, hukum Indonesia tidak menganggap perkawinan itu sudah ada.
Selain itu, rawan terjadi perkawinan sirri memiliki masalah kekerasan dalam
rumah tangga jika suami tidak bertanggung jawab, dia dapat bertindak
sewenang-wenang.20

19
Wiratni Ahmadi, “Hak dan Kewajiban Wanita Dalam keluarga Menurut Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan”, Jurnal Hukum Pro justitia Vol. 26 (4) Oktober 2008
FH Unpar Bandung h. 371- 390.
20
Andrie Irawan, 2009, Fenomena Perkawinan Sirri Serta Dampaknya Bagi Perempuan dan
Anak, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, http://www.docstoc.com/ docs/8436232/Dampak-
Kawin-Siri-bagi-Perempuan-danAnak, akses tanggal 7 Oktober 2012.

ix
Kelima, sulit untuk menentukan apakah seseorang sudah kawin. Perkawinan
siri membuat banyak orang tidak mengetahui kondisi pasangan tersebut.
Dalam Islam, ada perintah untuk menyatakan perkawinan. Hal ini karena jika
seseorang naksir dan orang yang ditaksir sudah kawin maka tidak
diperkenankan untuk meneruskan keinginannya.
Keenam, tidak memiliki akta nikah. Mereka (pasangan) khawatir tidak dapat
membuktikan bahwa mereka adalah pasangan ketika bepergian atau di malam
hari karena seringnya terjadi penangkapan terhadap PSK.
Ketujuh, sanksi sosial masyarakat terhadap pelaku kawin siri. Adanya
pencemaran nama baik, resiko kawin siri merupakan manifestasi pencemaran
nama baik, dan masyarakat percaya bahwa kawin siri adalah upaya
menyembunyikan rasa malu dari kehamilan di luar kawin (pasangan).
Spekulasi tidak selalu benar, tetapi ada hal tersembunyi lain yang membawa
orang pada prasangka buruk (su’udzon).
Kedelapan, sulit bersosialisasi. Wanita yang kawin siri akan sering
mengalami kesulitan bersosialisasi, karena sering dianggap sebagai kekasih
yang hidup dengan pria yang tidak setia (juga dikenal sebagai Kumpulkebo).
Berdasarkan hal tersebut, maka rekomendasi untuk mencatatkan perkawinan
di buku catatan pemerintah sudah tepat untuk memberikan kenyamanan bagi
pasangan dan masyarakat serta mencegah stigma negatif terhadap pasangan
yang tidak terdaftar.
Kesembilan, sulit bagi masyarakat untuk bersaksi jika muncul masalah
dengan pengantin baru nantinya. Karena perkawinan siri (perkawinan
rahasia), banyak orang tidak tahu bahwa pengantin baru kawin. Misalnya, jika
ada perselisihan antara pasangan siri, atau anak diabaikan secara finansial,
masyarakat akan kesulitan membantu. Atau bersaksi.
Kesepuluh, dugaan poligami terhadap pelaku kawin siri. Masyarakat menjadi
curiga ketika ada pasangan suami istri yang tidak terdaftar. Menurut
masyarakat, kawin siri merupakan upaya untuk menyamarkan adanya
poligami dan kawin secara sembunyi-sembunyi agar istri sebelumnya atau

x
istri pertama tidak mengetahui tentang poligami. Bahkan jika asumsi ini
salah.
Perempuan (istri) tidak hanya menderita akibat negatif dari perkawinan siri,
tetapi juga anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Berikut ini adalah
dampak negatif bagi anak yang lahir secara sah dari anak yang tidak sah.
Permasalahan hukum yang timbul dari perkawinan yang tidak dicatatkan
terkait dengan efektivitas perkawinan. Hukum positif tidak membenarkan
perkawinan yang tidak dicatatkan, hanya memperbolehkan perkawinan yang sah
untuk dicatatkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang diubah dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, mengatur bahwa
semua perkawinan disahkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Ketentuan ini menyatakan bahwa semua perkawinan yang dicatat harus
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam rangka mengantisipasi persoalan tersebut, pemerintah merasa
berkepentingan untuk mengeluarkan kebijakan regulasi (syiyasah syar’iyyah)
yang mengatur tentang pencatatan perkawinan. Meskipun bukan menjadi bagian
rukun dan syarat sahnya perkawinan, pencatatan perkawinan mempunyai peranan
penting dalam menciptakan kemaslahatan beragama. Dikatakan demikian, karena
pencatatan tersebut dilakukan secara resmi sehingga mempunyai kekuatan hukum.
Pasangan suami istri yang telah melangsungkan perkawinan secara resmi biasanya
akan mendapatkan akta nikah. Pembuatan alat bukti bagi kedua belah pihak
(suami-istri) untuk melakukan proses yang timbul akibat dari suatu perkawinan.21
Akta nikah.22 merupakan salah satu hak administrasi kependudukan yang
didapat oleh seseorang yang kawin dengan sesuai prosedur yang ditetapkan oleh
agama serta negara. Adapun manfaat dari akta nikah antara lain yaitu : Akta nikah

21
Burhanuddin S, Menjawab Semua Pertanyaan tentang Kawin siri, (Pustaka Yustisia:
Yogyakarta, 2010), h. 10-12.
22
Akta kawin merupakan bukti tertulis keperdataan bahwa telah terjadi perkawinan yang sah
secara hukum, tidak ada larangan perkawinan antara keduanya dan telah memenuhi syarat dan
rukun perkawinan. Tanpa adanya bukti akta kawin, maka suatu perkawinan dianggap tidak pernah
ada. Lihat, Rachmadi Usman, “Makna Pencatatan Perkawinan dalam Peraturan Perundang-
undangan Perkawinan di Indonesia”, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 14, No. 03, 2017, Fakultas
Hukum Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, h. 264.

xi
sebagai alat bukti adanya perkawinan, sebagai “jaminan hukum” (dasar tuntutan)
untuk melakukan upaya hukum kepada Pengadilan Agama apabila seorang suami
atas isteri melakukan suatu tindakan menyimpang dan melanggar ketentuan
undang-undang perkawinan yang berlaku, Akkta nikah juga berfungsi untuk
membuktikan keabsahan anak, dasar untuk pencantuman isteri dalam daftar gaji
suami dan juga untuk pembuatan akta kelahiran anak.23
Berdasarkan hal tersebut dianjurkan bagi seseorang yang hendak kawin
harus mencatatkannya kepada instansi yang berwenang. Pencatatan perkawinan, 24
merupakan sebuah kemaslahatan, yaitu menjaga tujuan syara’(maqashid al
syariah). tujuan syarak adalah untuk memelihara kemaslahatan umat manusia,
maka pencacatan perkawinan menjadi sebuah kemestian yang tidak dapat
diabaikan. Karena dengan pencatatan perkawinan inilah akan terjamin hak-hak
dari berbagi pihak. Sehingga tercapailah apa yang di inginkan oleh syara’, yaitu
mendatangkan kemaslahatan dan menolak kemudharatan.25
Dewasa ini kerap terjadi perkawinan yang hanya menghadirkan atau
memenuhi syarat agama serta kepercayaan masing-masing saja, dengan tidak
menghadirkan perwakilan dari pemerintah, hal demikian mengakibatkan tidak
mengakuinya pemerintahan atau negara terhadap perkawinan tersebut, dalam arti
tidak memiliki kekuatan hukum didepan negara . Karena didalam Negara
Indonesia terdapat dua jenis peraturan yang harus diikuti, yaitu peraturan agama
dan Negara, keduanya merupakan suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan,
karena pencatatan merupakan sebuah syarat administratif dan sebuah
kemaslahatan bersama didalam perkawinan, guna untuk ketertiban.
Jikalau seseorang melakukan prosesi perkawinan dengan berlandaskan
agama, akan tetapi tidak mencatatkan kepada kantor urusan agama (KUA) atau
pegawai pencatat nikah yang berwenang, maka perkawinan tersebut tidak
dianggap atau tidak mempunyai kekuatan hukum, apabila tidak memiliki kekuatan
23
Nunung Radliyah, Pencatatan Perkawinan dan Akta Kawin Sebagai Legalitas Perkawinan
Menurut Kompilasi Hukum Islam, Jurnal Pranata Hukum, Volume 8 Nomor 1, Januari 2013, h. 32.
24
Pencatatan perkawinan adalah kegiatan menulis yang dilakukan oleh seseorang mengenai suatu
peristiwa yang terjadi. Lihat Dainori, Studi Komparasi Hukum Pencatatan Perkawinan Dalam
Islam dan Di Negara Kontemporer, Jurnal JPIK Vol. 4 No.1, Maret 2021: 1-28 h. 3.
25
Sulastri Chaniago, pencatatan Kawin Dalam Pendekatan Maslahah, Jurnal Juris, Volume 14
Nomor 2, Juli-Desember 2015, h. 84.

xii
hukum maka suami, istri, bahkan anaknya tidak bisa terlindungi dari undang-
undang. Pencatatan bukan menjadi tolak ukur sahnya perkawinan, akan tetapi
merupakan syarat adninistratif yang harus dilaksanakan bagi orang yang akan
melakukan prosesi perkawinan, seperti yang dijelaskan dalam undang-undang
bahwa setiap perkawinan bisa dianggap sah apabila sesuai dengan hukum agama
bagi masing- masing pemeluknya, dan setiap perkawinan harus dicatat.
Selain itu Negara tidak bisa memberi fasilitas hokum, yang salah satunya
yaitu hak administrasi kependudukan. Setiap warga Negara Indonesia
mendapatkan hak administrasi seperti dokumen kependudukan (KTP, KK, Akta
Kelahiran dll), kepastian hukum atas kepemilikan dokumen, perlindungan atas
data pribadi, informasi mengenai data hasil pendaftaran penduduk dan pencatatan
sipil atas dirinya dan/atau keluarganya.26 Lain halnya bagi pelaku kawin siri,
pelakunya tidak bisa menikmati hak tersebut, dikarenakan ada salah satu prosedur
yang tidak dipenuhi oleh pelaku, yaitu tidak melaporkan peristiwa kependudukan
dan peristiwa penting yang dialaminya kepada instansi pelaksana.
Negara Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 pada dasarnya harus memberikan perlindungan dan
pengakuan dalam menentukan status pribadi dan hukum dari peristiwa
kependudukan dan peristiwa penting yang dialami oleh penduduknya.
Untuk lebih memastikan kewarganegaraan terkait dengan status
kewarganegaraan berikut untuk menjamin perlindungan dan pengakuan status
kewarganegaraan yang dialami oleh masyarakat Indonesia, maka perlu pengaturan
tentang administrasi kependudukan dalam bentuk undang- undang. Hal ini
sebagaimana juga telah diamanatkan dalam Pasal 26 ayat (3) UUD 1945.
Administrasi kependudukan meliputi peristiwa kependudukan dan kejadian
penting. diantaranya adalah perpindahan tempat tinggal, pindah ke tempat tinggal
tetap, tempat tinggal terbatas, dan perubahan status orang asing dari tempat
tinggal terbatas menjadi tempat tinggal tetap. Di sisi lain, peristiwa besar seperti
kelahiran, kematian, perkawinan, dan perceraian termasuk adopsi, persetujuan,
26
Jogloabang, UU 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan,
(https://www.jogloabang.com/pustaka/uu-23-2006-administrasi-kependudukan?amp, diakses pada
tanggal 10 Oktober 2022.

xiii
pengesahan anak, perubahan nama, dan peristiwa penting lainnya yang dialami
oleh seseorang merupakan kejadian yang harus dilaporkan karena membawa
implikasi perubahan data identitas atau surat keterangan. Oleh karena itu, semua
peristiwa kependudukan dan semua peristiwa penting memerlukan pengendalian
bukti dan pencatatan yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Semua dokumen yang dikeluarkan oleh Catatan Sipil adalah dokumen asli
yang mengandung kebenaran murni, memiliki kekuatan hukum dan kepastian,
dan tidak boleh dikatakan palsu sampai dinyatakan oleh Pengadilan Negeri dalam
peraturan atau keputusannya; tidak dapat diubah, dicabut atau diperbarui. Oleh
karena itu, Akta Catatan sipil akan menentukan kebenaran dalam hal litigasi. Dan
di lingkungan internasional, sertifikat kewarganegaraan diakui secara hukum. 27
Mengingat pentingnya administrasi kependudukan, Dirjen Kementerian
Dalam Negeri (Kemendagri) Prof. Zudan Arif Fakrulloh menegaskan bahwa
pasangan suami istri yang kawin secara siri tetap bisa mendapatkan kartu
keluarga (KK).28 Pasangan kawin siri dapat memiliki KK baru dengan syarat
melengkapi data formulir Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM),
mengacu Permendagri No. 9/2016 tentang Percepatan Peningkatan Cakupan
Kepemilikan Akta Kelahiran. Dokumen SPTJM terdiri dari dua hal. Pertama,
SPTJM Kebenaran Data Kelahiran yang dibuat orang tua kandung/wali/pemohon
dengan tanggung jawab penuh atas kebenaran data kelahiran seseorang dengan
diketahui oleh dua orang saksi. Kedua, SPTJM Kebenaran Sebagai Pasangan
Suami Istri yang dibuat oleh orang tua kandung/wali/pemohon dengan tanggung
jawab penuh atas status hubungan perkawinan seseorang dengan diketahui dua
orang saksi.
Dokumen SPTJM ini menjadi sangat penting fungsinya sebagai syarat
pengganti kelengkapan tidak adanya Akta Kawin/Kutipan Akta Perkawinan resmi
yang diperlukan untuk mendapatkan dokumen Akta Kelahiran anak dari pasangan

27
Situmorang, Victor M. dan Cormentyna Sitanggang, Aspek Hukum Akta Catatan
Sipil di Indonesia. Cetakan Pertama. (Jakarta. Sina Grafika. 1991), h. 21.
28
Rizal, Jawahir Gustav, Pasangan Kawin siri Bisa Punya Kartu Keluarga. Ini Kata
Komnas Perempuan", https://www.kompas.com/tren/read /2021/10/08, /180000065/pasangan-
kawin- siri-bisa-punya- kartu-keluarga-ini-kata-komnas- perempuan?page=all, diakses pada tgl. 1
Oktober 2022.

xiv
kawin siri. Hal ini tercantum dalam ketentuan Permendagri No. 9/2016 tentang
Percepatan Peningkatan Cakupan Kepemilikan Akta Kelahiran :
Pasal 5 ayat (2) menyatakan:
“Dalam hal persyaratan berupa akta kawin/kutipan akta perkawinan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b tidak terpenuhi, dan
status hubungan dalam keluarga pada KK menunjukkan status hubungan
perkawinan sebagai suami isteri, dicatat dalam register akta kelahiran dan
kutipan akta kelahiran dengan elemen data sebagaimana tercantum dalam
lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri
ini.”

Pasal 3 ayat (1) menyebutkan:


“Persyaratan pencatatan kelahiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf
a dengan memenuhi syarat berupa:
a. surat keterangan lahir dari dokter/bidan/penolong kelahiran;
b. akta kawin/kutipan akta perkawinan;
c. KK dimana penduduk akan didaftarkan sebagai anggota keluarga;
d. KTP-el orang tua/wali/pelapor; atau
e. paspor bagi WNI bukan penduduk dan orang asing.”

Pasal 4 ayat (2) menyebutkan :


“Dalam hal persyaratan berupa akta kawin/kutipan akta perkawinan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b tidak terpenuhi, pemohon
melampirkan SPTJM kebenaran sebagai pasangan suami isteri”.29

Keberadaan dua orang saksi dalam dokumen SPTJM juga harus


mendapatkan tekanan penjelasan. Kualifikasi dua saksi tersebut adalah penduduk
yang mengetahui saat dokumen SPTJM tersebut dibuat, sehingga tidak
berhubungan dengan pembuktian kapan kawin siri tersebut dilakukan.
Pembebanan tanggung jawab sepenuhnya tetap dibebankan terhadap orang tua
kandung/wali/pemohon yang membuat pernyataan SPTJM sehingga kekuatan
pembuktiannya masih lemah dan tidak dapat mengikat kepada pihak lain. Penting
disadari bahwa sebenarnya urgensi dokumen SPTJM adalah demi kepentingan
sang anak dari perkawinan siri yang harus tercatat dalam KK sebagai warga
negara.

29
Lihat Permendagri No. 9/2016 tentang Percepatan Peningkatan Cakupan Kepemilikan Akta
Kelahiran.

xv
Pencatatan kawin siri pada kartu keluarga (KK) bukan untuk melegalkan
pernikahan sirrinya, tapi sebagai kewajiban Negara, dalam hal ini Dukcapil untuk
mencatat peristiwa pernikahan. Dukcapil tidak mengatakan atau menjustifikasi
bahwa pernikahannya sah atau tidak, tapi hanya mencamtumkan peristiwa
pernikahan yang dilaporkan penduduk dengan menunjukkan SPTJM (Surat
Pertanggung Jawaban Mutlak) yang di dalamnya ada keterangan para pihak yang
terlibat (pasangan suami istri), wali nikah, orang yang menikahkan, dan adanya 2
saksi.30
Kebijakan ini dirasa bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, yaitu
UU Perkawinan dan sejumlah peraturan lainnya,31 seperti Undang-Undang
perkawinan Pasal 2 ayat (2) yang menyatakan:
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

Pencatatan nikah diatur lebih lanjut dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah


Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan:
(1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan
kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat ditempat perkawinan akan
dilangsungkan.
(2) Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya
10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
(3) Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan
sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati
Kepala Daerah.

Pelanggaran atas ketentuan pencatatan ini dapat dikenai sanksi pidana denda
sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (1) yang menyatakan:
(1) Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku, maka barang siapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam
Pasal 3, 10 ayat (3), 40 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman
denda setinggi-tingginya Rp.7.500,-(tujuh ribu lima ratus rupiah).
30
Holilur Rohman, Pencantuman Pelaku Nikah Sirri di Kartu Keluarga (Kajian hukum positif dan Maqasid al
Syariah), Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya.
https://uinsby.ac.id/informasi/kolom-detail/pencantuman-pelaku-nikah-sirri-di-kartu-keluarga-
kajian-hukum-positif-dan-maqasid-al-syariah-bagian-1, diakses tgl 19 Oktober 2022.
31
Baca artikel detiknews, "Nikah Siri Nasibmu Kini, Bisa Dicatat di KK tapi Tak Diakui UU
Perkawinan" selengkapnya https://news.detik.com/berita/d-5764657/nikah-siri-nasibmu-kini-bisa-
dicatat-di-kk-tapi-tak-diakui-uu-perkawinan, diakses tgl 19 Oktober 2022.

xvi
Oleh karena itu, melihat uraian di atas, pencatatan kawin siri pada kartu
keluarga terdapat permasalahan atau problem yang mendasar, diantaranya:
1. Problematika Filosofis, Terdapat kontra produktif dalam kebijakan
Permendagri No. 9 Tahun 2016, dalam hal pencacatan kawin siri pada kartu
keluarga, dengan UU perkawinan no. 1 tahun 1947. Dimana pada pasal 1
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dikemukakan, bahwa yang menjadi
tujuan perkawinan sebagai suami isteri adalah untuk membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa. Selanjutnya dijelaskan bahwa untuk itu suami isteri perlu saling
membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan
kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan
material. Hal tersebut dapat terealisasikan apabila perkawinan dikatakan sah
menurut aturan agama dan aturan perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan Pencantuman peristiwa Dukcapil hanya mencatat peristiwa
nikah. Dimana setiap ada persitiwa perkawinan, baik dicatat ataupun tidak,
maka negara berkewajiban mencatumkannya di Kartu Keluarga.
Pencamtuman peristiwa nikah di KK bukan untuk melegalkan pernikahan
sirrinya, tapi sebagai kewajiban negara, dalam hal ini Dukcapil untuk
mencatat peristiwa pernikahan. Bagi perkawinan siri, Dukcapil tidak
mengatakan atau menjustifikasi bahwa pernikahannya sah atau tidak, tapi
hanya mencamtumkan peristiwa pernikahan yang dilaporkan penduduk
dengan menunjukkan SPTJM (Surat Pertanggung Jawaban Mutlak) yang di
dalamnya ada keterangan para pihak yang terlibat (pasangan suami istri),
wali nikah, orang yang menikahkan, dan adanya 2 saksi.
2. Problematika Teoritis, Peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak
mengenal ataupun mengatur secara spesifik mengenai perkawinan siri.
Meskipun sah menurut hukum agama, namun status perkawinan siri tidak
memiliki kekuatan hukum sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
undangan. Mengacu pada Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan menyebutkan
bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut ketentuan agama masing-

xvii
masing, namun lebih lanjut pada ayat (2) diatur mengenai pencatatan
perkawinan yang dilakukan sebagaimana ketentuan perundang-undangan.
3. Problematika Yuridis, Persoalan yuridis yang timbul dari perkawinan
tersebut berkaitan dengan kepastian hukum pada pihak-pihak terkait, seperti
istri dan anak. Dalam perspektif hukm positif, kedudukan istri dan anak
dalam pekawinan siri, tidak mendapatkan kepastian hukum, sehingga jika
suatu saat mereka berdua punya permasalahan yang berkenaan dengan
rumah tangganya seperti perceraian, kekerasan dalam rumah tangga,
warisan, perebutan hak asuh anak dan lainnya, pihak kantor urusan agama
dan pengadilan agama tidak bisa memutuskan bahkan tidak bisa menerima
pengaduan mereka berdua yang sedang punya masalah.
4. Problematika Sosiologis, Ketentuan tersebut memberikan ruang kepada
pasangan suami isteri yang kawin secara siri untuk memiliki KK dengan
syarat adanya catatan khusus yang tercantum di KK bahwa perkawinan yang
dilakukan tidak dicatat. Pemberian KK bagi pasangan yang kawin siri
sebenarnya memiliki dampak positif karena dengan adanya KK itulah anak
dapat membuat akte kelahiran. Pada sisi lain, pemberian KK itu justeru
menimbulkan sejumlah problematika terhadap perempuan dan anak. Selain
itu, adanya kelonggaran bagi pasangan yang kawin siri ini justeru tidak
sesuai dengan kehendak dari pembentuk UU yang mengkehendaki agar
tertib administrasi terwujud dengan pencatatan perkawinan. Kontraproduktif
regulasi ini berakibat pada tidak efektif pencatatan perkawinan pada masa
yang akan datang. Hal ini dikarenakan adanya kelonggoran yang diberikan
untuk memperoleh buku nikah dapat melakukan setelah perkawin dalam
bentuk kawin siri dilaksanakan.
Dengan berbagai problem ini, maka sangat penting untuk menganggkat
persoalan ini ke dalam sebuah penelitian. Penelitian mengenai pencatatan kawin
siri pada kartu keluarga (KK) belum pernah dilakukan pada tingkat disertasi. Dari
sinilah maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian pada tingkat disertasi
dengan judul Hakekat Pencatatan Kawin Siri Pada Kartu Keluarga. Pada
penelitian ini, penulis akan mengkaji aspek filosofis dan maqashid syariah.

xviii
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa yang menjadi ratio legis dari Permendagri No. 9 thn 2016 Tentang
Percepatan Peningkatan Cakupan Kepemilikan Akta Kelahiran?
2. Apakah dengan dicatatkannya perkawinan siri pada KK telah memenuhi
asas kepastian hukum dan maqashid al syariah?
3. Bagaimana konsep ke depan agar pencatatan perkawinan siri pada KK
lebih memberikan kepastian hukum dan sesuai dng maqashid al syariah?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian


Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1. Memahami hakikat pencatatan kawin siri pada KK
2. Menemukan kesesuaian tentang pencatatan kawin siri pada KK dengan
maqashid al syariah
3. Menemukan konsep ke depan tentang pencatatan kawinan siri pada KK
Sedangkan manfaat penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan sumbangsih pemikiran dan khazanah ilmu hukum
dalam pencatatan kawin siri pada KK.
b. Perkembangan ilmu hukum, khususnya mengenai pengatura ke
depan terkait pencatatan kawin siri pada KK
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan pengetahuan dan informasi yang benar kepada
masyarakat berkaitan pencatatan kawin siri pada KK.
b. Menemukan dan memberikan konsep ke depan, pada pelaku kawin
siri dalam hal pencatatan pada KK.

xix
1.4. Orisinalitas Penelitian
Orisinalitas sebuah karya, tentu kita tahu bahwa dalam membuat sebuah
karya kita haruslah menjaga orisinalitas dari karya kita, terutama pada karya
akademik.Orisinalitas merupakan kriteria utama dan kata kunci dari hasil
karya akademik terutama pada tingkat doktor. Karya akademik, khususnya
disertasi, harus memperlihatkan bahwa karya itu orisinal.
Penelitian tentang pencatatan nikah siri pada KK dalam bentuk disertasi
belum banyak dilakukan oleh para akademisi dan praktisi hukum dalam
ragam perspektif, khususnya sebagai bahan hukum primer dan sekunder,
bahkan masih belum ditemukan penelitan serupa. Dikarenakan penelitian ini
difokuskan kepada kajian filosofi dan maqasid al syariah dalam pencatatan
nikah siri pada KK. Oleh karena itu, keaslian penelitian ini dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara akademis dan terbuka untuk
dikritisi secara konstruktif. Apabila pernah dilakukan penelitian yang sama
dalam bentuk yang lain (Jurnal), maka penelitian ini diharapkan dapat
melengkapi penelitian tersebut.
Untuk lebih memudahkan maka penulis mengambil sampel beberapa
penelitian disertasi terdahulu yang memiliki kesamaan masalah dengan
penelitian yang akan dilakukan penulis untuk dijadikan perbandingan agar
terlihat keorisinalitasan dari penulis.
1. Disertasi yang disusun oleh SUWARTI, Program Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin 2018, dengan judul
disertasi, LEGALITAS PERKAWINAN SIRRI MELALUI
ITSBAT NIKAH DALAM UPAYA PEMBARUAN HUKUM
PERKAWINAN DI INDONESIA (Legality of Sirri Marriage
through Marriage Itsbat in the Renewal of Marriage Law in
Indonesia ).
Penelitian ini disusun untuk mengetahui dan memahami kedudukan
perkawinan sirri dalam system perundang-undangan di Indonesia
dan apa yang menjadi pertimbangan hakim Pengadilan Agama
melegalitasi perkawinan sirri melalui itsbat nikah setelah berlakunya

xx
UUP Nomor 1 Tahun 1974 dan upaya pembaruan pengaturan
pencatatan perkawinan dalam hukum perkawinan di Indonesia.
Tipe penelitian hukum ini adalah penelitian hukum normatif
(doktrinal). Penelitian ini bersifat deskriptif. Adapun jenis bahan
hukum yang dipergunakan dalam penelitian diperoleh dari bahan-
bahan hukum seperti, bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, serta bahan hukum tertier (penunjang). Teknik untuk
mengkaji dan mengumpulkan ketiga bahan tersebut yaitu,
menggunakan studi dokumenter. Studi dokumenter merupakan studi
yang mengkaji tentang berbagai dokumen-dokumen, baik yang
berkaitan dengan peraturan perundang-undangan maupun dokumen-
dokumen yang sudah ada. Setelah itu, akan dianalisis secara yuridis
kualitatif dengan berpedoman pada norma-norma (aturan-aturan)
yang ada.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, perkawinan sirri yang
memenuhi rukun dan syarat perkawinan sebelum berlakunya UUP
Nomor 1 Tahun 1974 diberikan peluang untuk disahkan melalui
sidang itsbat nikah dengan pertimbangan hakim berdasarkan
keadilan, kepastian hukum, dan kemaslahatan, sedangkan yang tidak
memenuhi rukun dan syarat perkawinan tidak dapat disahkan,
bahkan bisa dipidana. Penelitian ini berupaya memberikan masukan
dalam upaya perubahan atas pengaturan tentang pencatatan
perkawinan agar tidak terjadi tumpang tindih (overlap) dalam
penggunaan peraturan perundangundangan dalam mengesahkan
perkawinan sirri di Indonesia. Pengaturan ini mampu menjadi
payung hukum bagi pengaturan perkawinan yang berkeadilan bagi
seluruh masyarakat dan sebaiknya diatur dalam sebuah aturan
perundangundangan agar ada kejelasan mengenai kedudukan hukum
perkawinan sirri dalam hukum perkawinan di Indonesia.
2. Disertasi yang disusun oleh MUFLIH RANGKUTI, Program Pasca
Sarjana Universiatas Islam Negeri Sumatera Utara Medan 2021,

xxi
dengan judul disertasi, ITSBAT NIKAH TERHADAP NIKAH
SIRI DI PROVINSI SUMATERA UTARA PERSPEKTIF
HUKUM POSITIF DAN MAQASHID AS-SYARI’AH.
Penelitian ini mengkaji, Pertama, filosofi itsbat nikah terhadap nikah
siri di Provinsi Sumatera Utara perspektif hukum Islam, Kedua
bagaimana pengaturan itsbat nikah di Indonesia, Ketiga, Bagaimana
pelaksanaan itsbat nikah terhadap nikah siri di Provinsi Sumatera
Utara, Keempat Bagaimana seharusnya pengaturan dan pelaksanaan
itsbat nikah terhadap nikah siri perspektif hukum positif dan
maqashid sy-syaria`ah.
Penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran, gagasan-
gagasan pada pengaturan hukum dan pelaksanaan tekhnis itsbat
nikah terhadap nikah siri di Provinsi Sumatera Utara . Khususnya,
gagasan merevisi pengaturan pencatatan perkawinan Pasal 2 ayat
( (2) Undang-undang 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, dari pengaturan hukum yang
ambigu “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku” di revisi dan direkomendasikan agar supaya
direvisi menjadi pengaturan hukum yang komprehensif “Tiap-tiap
perkawinan yang sah yang dilakukan menurut hukum masing-
masing agama dan kepercayaannya itu wajib dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Selanjutnya, menjadi
bahan pertimbangan dan masukan dalam pencatatan buku nikah
berdasarkan putusan/penetapan itsbat nikah terhadap nikah siri dari
Pengadilan Agama agar supaya dicatat pencatatannya pada Buku
Nikah yang warna Buku Nikahnya berbeda dengan warna Buku
Nikah lainnya sebagai pembeda kespesifikannya.
Metode penelitian yang digunakan yaitu penelitian yuridis normatif,
dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan yang
berkaitan itsbat nikah terhadap nikah siri dan adagium hukum, asas-
asas hukum serta tinjauan maqashid asy-Syari‟ah.

xxii
Hasil penelitian diperoleh bahwa dasar pengaturan hukum itsbat
nikah terhadap nikah siri di Provinsi Sumatera Utara perspektif
hukum positif dan maqashid asy-Syari‟ah, dikarenakan adanya
jumlah angka dan frekuensi nikah siri yang masih relatif tinggi dan
signifikan terjadi pada masyarakat dengan beberapa faktor yang
menyebabkan terjadinya nikah siri itu, seperti faktor pengaturan
hukum yang ambigu apakah tiap-tiap perkawinan itu wajib
dicatatkan pencatatannya atau tiap-tiap perkawinan itu dicatatkan
hanya sebagai himbauan administratif saja, faktor kemiskinan, faktor
usia yang masih dibawah umur, faktor poligami liar, faktor fikih
sentries. Sehingga itsbat nikah terhadap nikah siri adalah solusi
terhadap permasalahan nikah siri yang fenomenal, agar supaya nikah
siri dapat diakui dan dianggap sah menurut Negara, yang pada
akhirnya pengurusan administrasi yang mensyarakatkan adanya
Buku Nikah sebagai akta autentk sebagai pembuktian adanya
perkawinan dapat dipenuhi.

Tabel 1
Penelitan Disertasi Terdahulu
No Peneliti Judul Fokus Penelitan Kesimpulan
1 SUWARTI, LEGALITAS 1. Bagaimanakah 1. Perkawinan sirri
Program PERKAWINA perkawinan (rahasia) di
Pascasarjan N SIRRI sirri di Indonesia dikenal
a Fakultas MELALUI Indonesia ? sebagai
Hukum ITSBAT 2. Bagaimanakah perkawinan yang
Universitas NIKAH implikasi sah apabila
Hasanuddin DALAM itsbat nikah perkawinan ini
2018 UPAYA terhadap dilakukan
PEMBARUA legalitas berdasarkan
N HUKUM perkawinan hukum agama
PERKAWINA sirri menurut yaitu, dengan

xxiii
N DI peraturan terpenuhinya rukun
INDONESIA perundang- dan syarat
(Legality of undangan di perkawinan
Sirri Marriage Indonesia ? sebagaiman
through 3. Bagaimanakah tercantum dalam
Marriage Itsbat urgensi Pasal (2) Ayat (1)
in the Renewal pengaturan UUP. Namun
of Marriage pencatatan perkawinan belum
Law in perkawinan mempunyai
Indonesia ). dalam upaya kekuatan hukum
pembaruan atau kepastian
hukum hukum karena
perkawinan di tidak tercatat di
Indonesia ? Kantor Urusan
Agama (KUA bagi
orang Islam dan
Kantor catatan
Sipil bagi Non-
Islam. Disisi lain
perkawinan sirri
juga ada yang tidak
memenuhi rukun
dan syarat
perkawinan
sebagaimana yang
diamanatkan oleh
Pasal (2) Ayat (1)
UUP, seperti
kawin Mut‟ah,
Kontrak, Syigor,
Tahlil, Badal,

xxiv
Istibdlo, Righoth,
dan nikah
Baqhoya.
2. Itsbat nikah adalah
pengesahan
perkawinan di
Pengadilan Agama
bagi perkawinan
yang belum
disahkan sebelum
berlakunya UUP
Tahun 1974.
Perkawinan sirri
yang dianggap
sebagai
perkawinan yang
tidak tercatat
namun telah
memenuhi rukun
dan syarat
perkawinan dalam
hukum agama
sebagaimana
diamanatkan oleh
Pasal 2 Ayat (2)
UUP diberikan
peluang untuk di
Itsbatkan melalui
sidang itsbat nikah
berdasarkan Pasal
7 Ayat (3)

xxv
Kompilasi Hukum
Islam (KHI),
meskipun
perkawinan sirri
tersebut terjadi
sesudah
berlakunya UUP.
Pertimbangan
Hakim Pengadilan
Agama tetap
mengitsbatkan
perkawinan sirri
setelah berlakunya
UUP ini adalah
berdasarkan
pertimbangan
keadilan, kepastian
hukum dan
kemaslahatan,
dalam hal ini
hakim melakukan
terobosan hukum
karena pengesahan
perkawinan sirri
setelah berlakunya
UUP belum diatur
khusus dalam
hukum perkawinan
maupun peraturan
perundang-
undangan.

xxvi
3. Urgensi
Pembaruan atas
pengaturan tentang
pencatatan
perkawinan dalam
UUP karena
adanya kontroversi
tentang kedudukan
dan status
perkawinan sirri di
Indonesia. Adanya
dualisme hukum
tentang
perkawinan sirri
yang mana hukum
perkawinan tidak
mengakui
perkawinan yang
tidak tercatat
sebagaimana
tercantum dalam
Pasal 2 Ayat (2)
UUP, sedangkan di
sisi lain Pengadilan
Agama tetap
memberikan
peluang
mensahkan
perkawinan sirri
tersebut dengan
alasan perkawinan

xxvii
telah memenuhi
rukun dan syarat
meskipun dalam
Kompilasi Hukum
Islam Pasal 7 Ayat
(3) Huruf (d) telah
mensyaratkan
itsbat nikah bagi
perkawinan yang
terjadi sebelum
berlakunya UUP
dan juga adanya
perbedaan
pendapat
dikalangan para
ulama yang ada
dalam organisasi
Islam seperti MUI,
NU,
Muhammadiyah
tentang kedudukan
perkawinan sirri di
Indonesia.
2 MUFLIH ITSBAT 1. Bagaimanakah 1. Bahwa, landasan
RANGKUT NIKAH landasan filosofi itsbat nikah
I, Program TERHADAP filosofi itsbat dalam hukum
Pasca NIKAH SIRI nikah dalam Islam adalah
Sarjana DI PROVINSI hukum Islam? pencatatan sebagai
Universiatas SUMATERA 2. Bagaimanakah salah satu bukti
Islam UTARA kah tertulis,
Negeri PERSPEKTIF pengaturan sebagaimana diatur

xxviii
Sumatera HUKUM hukum pada surath al-
Utara POSITIF DAN mengenai Baqarah ayat 282,
Medan MAQASHID pelaksanaan yang dijadikan
2021 AS- itsbat nikah di landasan hukum
SYARI’AH. Indonesia? sebagaimana
3. Bagaimanakah bunyinya:
pelaksanaan ‫وا‬RRRR‫ ٌذن امن‬RRRR‫ٌياٌيهاال‬
itsbat nikah ‫ ٌدين الى‬RR‫داٌينتم ب‬RR‫اذات‬
terhadap nikah ‫اجل مسمى فاكتبوه‬
siri di Provinsi Dari ayat di atas
Sumatera dapat dipahami
Utara? bahwa pencatatan
4. Bagaimanakah (bukti tertulis) itu
seharusnya selalu dilaksanakan
pengaturan pada perdagangan
hukum yang tidak tunai.
mengenai Dan yang
pelaksanaan dimasukkan
itsbat nikah kepada kategori
terhadap nikah yang tidak tunai
siri perspektif adalah semua
hukum positif perjanjian
dan maqashid perikatan yang ada
sy-syaria`ah? kelanjutanya
(seperti halnya
perkawinan), serta
tidak selesai
persoalanya hanya
pada saat
terjadinya akad,
yang bisa diduga

xxix
kemungkinan
terjadi
permasalahan atau
timbul perkara
serta
persengketaan
pada kemudian
hari;
2. Bahwa, pengaturan
itsbat nikah di
Indonesia diatur
pada Pasal 2 ayat
(1) dan (2)
Undang-Undang
Nomor 1 Tahun
1974 tentang
Perkawinan. Pasal
7 ayat (2) dan (3)
huruf e KHI, Pasal
3 jo. Pasal 36
Undang-Undang
Nomor 23 Tahun
2006 tentang
Administrasi
Kependudukan,
dan aturan teknis
pada Pedoman
Pelaksanaan Tugas
dan Administrasi
Peradilan Agama
Buku II

xxx
Mahkamah Agung
Republik Indonesia
Direktorat Jenderal
Badan Peradilan
Agama tahun
2013, dan pada
Surat Edaran
Mahkamah Agung
Nomor 3 Tahun
2014 tentang Tata
Cara Pelayanan
dan Pemeriksaan
Perkara Voluntair
Isbat Nikah dalam
Pelayanan
Terpadu, dan
Peraturan
Mahkamah Agung
Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun
2015 Tentang
Pelayanan Terpadu
Sidang Keliling
Pengadilan Negeri
dan Pengadilan
Agama/Mahkamah
Syar‟iyah dalam
Rangka Penerbitan
Akta Perkawinan,
Buku Nikah, dan
Akta Kelahiran,

xxxi
dan PMA No 20
Tahun 2019
Tentang
Pencatatan
Perkawinan;
3. Bahwa
pelaksanaan itsbat
nikah terhadap
nikah siri di
Provinsi Sumatera
Utara, berdasarkan
pada penelitian ini
telah menerapkan
Pedoman
Pelaksanaan Tugas
dan Administrasi
Peradilan Agama
Buku II
Mahkamah Agung
Republik Indonesia
Direktorat Jenderal
Badan Peradilan
Agama tahun
2013;
4. Bahwa, pengaturan
dan pelaksanaan
itsbat nikah
terhadap nikah siri
perspektif hukum
positif dan
maqashid sy-

xxxii
syaria`ah, telah
terlaksana secara
porporsional
berdasarkan tujuan
hukum,
kemanfaatandan
keadilan dan
perspektif
maqashid sy-
syaria`ah yaitu
tujuan syariat
Islam untuk
menciptakan
kemaslahatan.

1.5. Metode Penelitian


Metode adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan suatu
masalah, sedangkan penelitian adalah pemeriksaan secara hati-hati, tekun
dan tuntas terhadap suatu gejala untuk merambah pengetahuan manusia. 32
Jadi metode penelitian dapat diartikan sebagai proses prinsip-prinsip dan
tata cara untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dalam
melakukan penelitian.
a. Tipe Penelitan
Jenis penelitian dalam disertasi ini adalah literer atau penelitian
perpustakaan (library research), Jenis penelitian ini dapat disebut juga
dengan, penelitian hukum normatif (normatif legal research) atau
penelitian doktrinal. artinya sebuah studi dengan mengkaji dokumen-
dokumen kepustakaan berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku
atau kitab-kitab terkait dengan disertasi ini yang berasal dari perpustakaan
(bahan pustaka). Semua sumber berasal dari bahan-bahan tertulis (cetak)

32
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta : UI Press, 1986), h. 6.

xxxiii
yang berkaitan dengan permasalahan penelitian dan literatur-literatur
lainnya (elektronik).33
Sebagai suatu penelitian hukum (legal research),34 dan sesuai
dengan karakter khas dari ilmu hukum (jurisprudence),35 serta substansi
permasalahan atau isu hukum yang hendak dikaji dalam penelitian, maka
pendekatan yang akan digunakan disesuaikan dengan permasalahan yang
akan diteliti.
enelitian hukum menggunakan berbagai pendekatan, dengan tujuan
untuk mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang
diteliti. Untuk memecahkan masalah yang menjadi pokok bahasan dalam
penelitian hukum diperlukan pendekatan dalam penelitian hukum.
Pendekatan diartikan sebagai usaha untuk mengadakan hubungan
dengan orang atau metode untuk mencapai pengertian tentang masalah
penelitian. Pendekatan juga diartikan sebagai sarana untuk memahami dan
mengarahkan permasalahan yang diteliti. Dalam penelitian hukum terdapat
beberapa pendekatan. Dengan pendekatan tersebut, peneliti akan
mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang akan
dicarikan jawabannya.36
b. Pendekatan Masalah
Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, meliputi;
1) Pendekatan Filsafat (Philosophical Approach)
Sifat filsafat yang menyeluruh, mendasar, dan spekulatif, penjelajah
filsafat akan mengupas isu hukum (legal issue) dalam penelitian
normatif secara radikal dan mengupas secara mendalam. Socrates
33
Sutrisno Hadi, Metodologi Riserch 1 (Yogyakarta: Gajah Mada, 1980), h. 3.
34
Moris L Cohen, menyebutkan bahwa penelitian hukum (legal research) is the process of finding
the law that the governs activities in human society. Kemudian Terry Hutichinson menyebutkan
bahwa legal research can be difficult to classify, because of its variable context an facets, sehingga
dia membedakan penelitian hukum menjadi 4 (empat) tipe yaitu : doctrinal research, reform
oriented research, theoretical research dan fundamental research. Dalam penelitian hukum tidak
memerlukan hipotesis, dan juga tidak dikenal istilah data, istilah analisis kualitatif dan kuantitatif.
Lihat Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta, Prenada Media, 2005), h. 293.
35
J.J. Brugink, Rechtsreflecties, Alih bahasa Arif Sidartha, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1995, h.
213-218.
36
“Metode Penelitian Hukum.pdf,” 55, diakses 9 November 2022,
http://eprints.unram.ac.id/20305/1/Metode%20Penelitian%20Hukum.pdf.

xxxiv
pernah mengatakan bahwa tugas filsafat sebenarnya bukan menjawab
pertanyaan yang diajukan, tetapi mempersoalkan jawaban yang
diberikan. Penjelajahan dalam pendekatan filsafat ini meliputi ajaran
ontologisme (ajaran tentang hakikat), aksiologis (ajaran tentang nilai),
epistimologis (ajaran tentang pengetahuan), telelogis (ajaran tentang
tujuan) yang digunakan untuk menjelaskan secara mendalam sejauh
dimungkinkan oleh pencapaian pengetahuan manusia.
2) Pendekatan per-undang-undangan (statute approach)
Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua peraturan
perundang-undangan dan regulasi yang terkait dengan isu hukum yang
sedang bahas (diteliti). Pendekatan perundang-undangan (statute
approach) akan dilihat hukum sebagai suatu sistem yang tertutup yang
mempunyai sifat sebagai berikut :37
1) Comprehensive artinya norma-norma hukum yang ada didalamnya
terkait antara yang satu dengan yang lainnya secara logis;
2) All-iclusive bahwa kumpulan norma hukum tersebut cukup mampu
menampung permasalahan hukum yang ada sehingga tidak akan ada
kekurangan hukum;
3) Sistematic bahwa di samping bertautan antara satu dengan yang lain,
norma-norma hukum tersebut juga tersusun secara sistematis.
3) Pendekatan konseptual (conceptual approach)
Pendekatan ini beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin
yang berkembang dalam ilmu hukum.
4) Pendekatan komparatif (comparative approach)
Pendekatan ini dilakukan dengan membandingkan sistem hukum, atau
Undang-Undang suatu negara dengan Undang-Undang dari satu atau
lebih negara lain mengenai hal yang sama, termasuk juga terhadap
putusan pengadilan. Dalam perbandingan hukum dapat dilakukan
perbandingan secara khusus atau perbandingan secara umum.

37
Haryono, dalam Johnny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, (Malang
Bayumedia, 2005), h. 249.

xxxv
Perbandingan dilakukan untuk mengetahui persamaan dan perbedaan
dari masing-masing.
5) Pendekatan analitis (analytical approach)
Maksud pendekatan analisis terhadap bahan hukum adalah mengetahui
makna yang dikandung oleh istilah-istilah yang digunakan dalam aturan
perundang-undangan secara konsepsional, sekaligus mengetahui
penerapannya dalam praktik dan putusan-putusan hukum. Hal ini
dilakukan melalui dua pemeriksaan. Pertama, sang peneliti berusaha
memperoleh makna baru yang terkandung dalam aturan hukum yang
bersangkutan. Kedua, menguji istilah-istilah hukum tersebut dalam
praktik melalui analisis terhadap putusan-putusan hukum. Sehingga
pada dasarnya tugas analisis hukum adalah menganalisis pengertian
hukum, asas hukum, kaidah hukum, sistem hukum, dan berbagai
konsep yuridis.38
c. Bahan Hukum
Penelitian hukum normatif mempunyai metode tersendiri dibandingkan
dengan penelitian hukum empiris atau penelitian ilmu sosial lainnya, hal
ini berakibat pada jenis bahan hukum yang digunakan. Penelitian hukum
normatif diawali oleh konsep norma hukum, dalam penelitian hukum
normatif bahan hukum yang digunakan adalah sebagai berikut:
a. Bahan hukum primer; adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif
artinya mempunyai otoritas.22 Bahan Hukum primer adalah bahan
hukum yang isinya mengikat. Dikatakan mengikat karena dikeluarkan
oleh pemerintah. Adapun yang menjadi data primer di dalam penelitian
ini adalah
1) Permendagri No. 9 Tahun 2016 Tentang Percepatan Peningkatan
Cakupan KepemilikanAkta Kelahiran;
2) Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;
3) Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia No. 20 Tahun 2019
Tentang Pencatatan Perkawinan;

38
Johnny Ibrahim, Ibid. h 256-257.

xxxvi
4) Permendagri No. 109 Tahun 2019 Tentang Formulir dan Buku
yang Digunakan dalam Administrasi Kependudukan.
b. Bahan Hukum Sekunder; yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, seperti Rancangan Undang-Undang,
buku teks, hasil-hasil penelitian dalam jurnal dan majalah, atau
pendapat para pakar di bidang hukum. Sementara Peter Mahmud
menjelaskan bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang
hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi
tentang hukum meliputi; buku teks, kamus hukum, jurnal hukum, dan
komentar atas putusan pengadilan.39
c. Bahan Hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum
sekunder, seperti kamus hukum, kamus bahasa, ensiklopedia, dan
ensiklopedia hukum.
d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Metode pengumpulan data yaitu metode yang digunakan dalam penelitian
untuk mendapatkan data yang valid atau sebenarnya. Dalam rangka
pengumpulan data untuk penelitian ini, dilakukan dengan menggunakan
metode studi kepustakaan, merupakan teknik untuk mendapatkan data
sekunder melalui dokumen-dokumen yang terkait dengan masalah, tujuan,
dan manfaat penelitian.40 Selain itu peneliti juga menggunakan teknik
pengumpulan data berupa wawancara. Wawancara adalah percakapan
dengan maksud tertentu. Percakapan ini dilakukan oleh dua pihak, yaitu
pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai
memberikan jawaban atas pertanyaan.41
Dengan demikian, teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini
adalah:
1) Penelusuran terhadap peraturan literature dan peraturan yang
39
Peter Mahmud Marzuki (Peter Mahmud I), Penelitian Hukum: Edisi Revisi, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2005), h. 47.
40
Soerjono Soekanto, Opcit, h.252
41
Lexy J Moelong, Metode penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1993), h.
135.

xxxvii
berkaitan dengan pencatatan status kawin sirri kedalam kartu
keluarga.
2) Penelusuran bahan kepustakaan yang membahas pencatatan status
kawin sirri kedalam kartu keluarga.
3) Melakukan wawancara kepada narasumber yang berkompeten dan
sejalan dengan permasalahan yang dibahas.
e. Analisis Bahan Hukum
Setelah semua data terkumpul melalui instrument pengumpulan data,
selanjutnya data tersebut akan dianalisa. Metode analisa data yang
digunakan pada penelitian ini disesuaikan dengan kajian penelitian, yaitu
kebijakan pencatatan status kawin sirri dalam kartu keluarga dalam hukum
perdata prespektif filosofis dan maqasid al syariah. Mengenai cara
pengelolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni dengan
menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap
permasalahan yang khusus. Dan setelah bahan yang sudah terlkumpul di
olah dan dianalisa maka kemudian akan ditarik suatu kesimpulan yang
merupakan jawaban atas permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.

xxxviii
BAB II
KERANGKA TEORITIS DAN KONSEPTUAL
2.1. Kerangka Teoritis
2.1.2. Teori Maqashid al syari’ah (tujuan hukum Islam)
Secara bahasa, maqashid al syari’ah terdiri dari dua kata, yaitu maqashid dan al-
syari’ah. Maqashid adalah bentuk jamak dari maqshud yang berarti kesengajaan
atau tujuan. Syari’ah secara bahasa berarti jalan menuju sumber air. Jalan menuju
air ini dapat dikatakan sebagai jalan ke arah sumber pokok kehidupan. 42 Dalam al-
Muwafaqat, al Syatibi menggunakan kata yang berbeda-beda berkaitan dengan
maqashid al syari’ah. Kata-kata itu adalah maqashid al syari’ah, al-maqashid al-
syar’iyyah fi al-syari’ah dan maqashid min syar’î al-hukm.43 Menurut al-Syatibi,
sebagaimana yang dikutip dari ungkapannya sendiri, bahwa sesungguhnya syariat
itu bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat. 44
Dalam ungkapan yang lain, dikatakanoleh al-Syatibi, bahwa hukum-hukum
disyariatkan untuk kemaslahatan manusia.45
Maqashid merupakan tujuan yang ingin dicapai dalam melakukan sesuatu.
Terdapat berbagai definisi telah dilontarkan oleh ulama ushul fiqh tentang istilah
maqashid . Ulama klasik tidak pernah mengemukakan definisi yang spesifik
terhadap maqashid , justru al-Syatibi yang terkenal sebagai pelopor ilmu
maqashid pun tidak pernah memberikan definisi tertentu kepadanya. Namun ini
tidak bermakna para ahli mengabaikan maqashid syara' di dalam hukum-hukum
Islam. Berbagai tanggapan terhadap maqashid dapat dilihat di dalam karya-karya
mereka, sehingga akan didapati tanggapan ulama klasik yang beragam inilah
menjadi unsur di dalam definisi-definisi yang dikemukakan oleh ulama mutakhir
selepas mereka. Hal yang pasti adalah nilai-nilai maqashid syara' itu terkandung
di dalam setiap ijtihad dan hukum-hukum yang dikeluarkan oleh mereka. Ini

42
Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (London: McDonald & Evan Ltd, 1980), h.
767.
43
al-Syatibi, al-Muwafaqât fî Ushul al-Syarî’ah I (Kairo: tp, tt), h. 374.
44
Ibid, h. 216.
45
Ibid, h. 254.

xxxix
karena nilai-nilai maqashid syara' itu sendiri memang telah terkandung di dalam
al-Quran dan hadits.46
Salah satu pendapat menganggap maqashid dalah mashlahah itu sendiri, sama
dengan menarik mashlahah atau menolak mafsadah. Ibn al-Qayyim menegaskan
bahwa syariat itu berasaskan kepada hikmah-hikmah dan maslahah-maslahah
untuk manusia di dunia atau di akhirat. Perubahan hukum yang berlaku
berdasarkan perubahan zaman dan tempat adalah untuk menjamin syariat dapat
mendatangkan kemaslahatan kepada manusia.21
Sementara al-Izz bin Abdul Salam juga berpendapat dan mengatakan bahwa
syariat itu semuanya mashlahah, menolak kejahatan atau menarik kebaikan.
Namun salah satu pendapat lain memahami maqashid sebagai lima prinsip Islam
yang asas, yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Di satu sudut
yang lain, ada juga ulama klasik yang menganggap bahwa maqashid itu sebagai
logika pensyariatan sesuatu hukum.47 Kesimpulannya maqashid al syari’ah adalah
matlamat-matlamat yangingin dicapai oleh syariat demi kepentingan umat
manusia.
2.1.3. Teiori Kepastian hukum
Di dalam pembahasan penulisan proposal ini tentunya dibutuhkan suatu kondisi
teori-teori yang mendukung di dalam mengkaji masalah pengajuan Praperadilan
mengenai tindak pidana penipuan, secara umum menurut beberapa ahli Sosial
seperti Masri Singarimbun Sofyan Efendi, Kerlinger, Stevens dan Fawcett teori
adalah sebuah sistem konsep abstrak yang mengindikasikan adanya hubungan
diantara konsep-konsep tersebut yang membantu kita memahami sebuah
Fenomena. Teori merupakan salah satu konsep dasar penelitian sosial. Secara
Khusus teori merupakan salah satu konsep dasar penelitian sosial. Secara khusus,
teori adalah seperangkat konsep,konstuk, defenisi dan proposisi yang berusaha
menjelaskan hubungan sistematis suatu fenomena, dengan cara merinci hubungan
sebab-akibat yang terjadi.48

46
Muhammad Fathi al-Duraini, al-Manâhij al-Ushuliyyah, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1997),
h. 48.
47
Nuruddin Mukhtar al-Khadimi, al-Ijtihad al-Maqashidi (Qatar: tp, 1998), h. 50.
48
Masri singarimbun, dan Sofyan effendi, Metode penelitian sosial, LP3ES, Jakarta,2004, h.37.

xl
Maka penulis dalam hal ini menggunakan Fungsi teori dalam penelitian
kuantitatif yaitu metode penelitan yang bersifat deskriptif dan lebih banyak
menggunakan analisis, penelitan kuantitatif bertujuan mencari hubungan yang
menjelaskan sebab-sebab dalam fakta-fakta sosial yang terukur, menunjukan
hubungan variabel serta menganalisa. Penelitian kuantitatif ini dilakukan dengan
mengumpulkan data dan hasil analisis untuk mendapatkan informasi yang harus
disimpulkan. Paradigma yang digunakan pada penelitian kuantitatif adalah
paradigm yang berasal dari pandangan positivism dan berikut penulis
menggunakan azas teori kepastian hukum, azas teori keadilan dan kemanfaatan
dalam penulisan penelitian ini yaitu.49

2.2. Konseptual
2.2.1. Pengertian Hakikat
Secara harfiah, haqiqah berarti inti sesuatu, puncak atau sumber (asal) dari
sesuatu. Di dunia sufi, hakikat merupakan aspek lain dari syariat yang bersifat
eksoterik, yaitu aspek esoterik (batiniah). Secara terminologi, hakikat dapat
diartikan sebagai rahasia yang paling dalam dari segala amal, inti dari syariat
dan akhir dari perjalanan yang ditempuh oleh seorang sufi. Hakikat yang
disebut sebagai kebenaran adalah makna terdalam dari praktik dan petunjuk
yang ada pada syariat dan tarikat.
Dapat disimpulkan bahwa Hakikat adalah kalimat atau ungkapan yang
digunakan untuk menunjukkan mak¬na yang yang sebenar¬nya atau makna
yang paling dasar dari sesuatu seperti benda, kondisi atau pemikiran, Akan
tetapi ada beberapa yang menjadi ung¬kapan yang sudah sering digunakan
dalam kondisi tertentu, sehingga menjadi semacam konvensi, hakikat seperti
disebut sebagai haki¬kat secara adat kebiasaan.
Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian hakikat
memiliki dua pengertian;

49
Amiruddin & Zainuddin, Pengantar Metode penelitian hukum, (Raja grafindo persada, 2004),
h.24.

xli
a. Intisari atau dasar, contohnya seperti menanamkan hakikat ajaran agama
Islam dalam kehidupan manusia
b. Kenyataan yang sebenarnya atau sesungguhnya, seperti, pada hakikatnya
mereka adalah orang yang baik.50
2.2.2. Pengertian Pencatatan Perkawinan
Pencatatan Menurut KBBI adalah Proses.51 Yaitu Proses Pendataan
Administrasi tentang pencatatan perkawinan negara yang diatur di dalam
UndangUndang guna menciptakan kemaslahatan bagi warga oleh negara
Indonesia. Pencatatan Perkawinan telah diatur di dalam UU No. 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan, pada Bab I Pasal 2 ayat (2), yang berbunyi :
“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku”.52 Dari sini dijelaskan bahwa pencatatan perkawinan merupakan
syarat dari perkawinan di Indonesia dimana juga pencatatan ini berfungsi
sebagai pencatatan peristiwa penting dalam kehidupan warga negara seperti
pencatatan kelahiran, kematian yang dijelaskan di dalam surat-surat
keterangan dan akte yang dikeluarkan resmi oleh pemerintah.53 Tujuan
pencatatan nikah secara umum adalah untuk ketertiban dan mencatatkan
perbuatan hukum perkawinan yang dilakukan masyarakat Indonesia.
Konsenkuensi dari itu, maka negara mengakui perkawinan itu dan negara
dapat berperan bila salah satu pihak kedepan ada yang dirugikan. Secara
khusus pencatatan nikah harus dilakukan di hadapan petugas pencatatan nikah
melalui lembaga yang berwenang. Sebagai mana diatur pada KHI Pasal 6
ayat (2) yang bunyinya: Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan
pegawai pencatatan nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. Pencatatan
perkawinan pada prinsipnya tidak saja menyatakan waktu perkawinannya

50
Novi Puji Astuti, Jumat, 24 September 2021 15:01Reporter
.https://www.merdeka.com/jabar/hakikat-adalah-inti-sari-atau-dasar-berikut-penjelasannya-
menurut-kbbi-kln.html. diakses 14 November 2022.
51
Pusat Pembinaan & Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1989), h. 204.
52
Pasal 2 Ayat 2 UU. No.1 Tahun 1974
53
Achmad Ichsan, Hukum Perkawinan Bagi Yang Beragama Islam, (Jakarta: Pradnya Paramita,
1986), h. 33.

xlii
saja, melainkan semua pencatatan yang ada hubungannya dengan
perkawinan.54
Pencatatan Perkawinan bagi umat Islam tersebut dicatatkan kepada 2 lembaga
yang berwenang melaksanakanya seperti yang digambarkan oleh KHI,
lembaga Tersebut Yakni:55 1. Kantor Urusan Agama (KUA) Kemenag
Pencatatan dilakukan di hadapan petugas pencatat nikah di Kantor KUA yang
ada di Kecamatan masing-masing dimana akad perkawinan dilaksanakan.
Pencatatan nikah yang syarat dan ketentuannya sudah dipenuhi calon
Mempelai akan langsung dicatat dan diproses untuk melangsungkan
perkawinan pada hari yang ditentukan. Bila mana tidak ada syarat dan
ketentuan yang kurang, KUA tidak akan menolak atau mempermaslahkan
pendaftaran Pencatatan Perkawinan. Prosedur yang harus dipersiapkan pada
saat mendaftarkan perkawinan agar nanti ketika kawin dicatat adalah: a. Surat
keterangan dari RT/RW, Kelurahan ( surat Pengantar untuk dibawa ke KUA).
b. Keterangan Nama, Umur, Agama, Pekerjaan, Orang Tua. c. Izin Tertulis
bagi dibawah usia 21 tahun. d. Izin dari Pengadilan bagi suami yang telah
beristri. e. Dispensasi nikah bila bagi di bawah usia dibawah 19 tahun untuk
pria dan 16 tahun untuk wanita. f. Surat mati atau cerai, bila ia berstatus janda
atau duda. g. Surat izin dari atasan terkait bagi yang berprofesi TNI atau
Polri. h. Surat izin atau pengantar untuk menikah di KUA lain (bagi
mempelai yang ingin menikah diwilayah KUA yang bukan domisilinya). i.
Surat kuasa yang disahkan KUA bila diwakilkan dengan alasan penting. 2.
Pengadilan Agama Pengadilan Agama digambarkan dalam KHI mempunyai
kewenangan yang berkaitan dengan perkawinan. Hal ini terkait dengan
pembuktian nikah bagi mereka yang sudah menikah tetapi belum memiliki
akta nikah, mekanisme bagi pasangan yang sudah menikah secara sah dan
ingin memiliki bukti pencatatan perkawinan berupa akta nikah dengan
melakukan permohonan Isbat nikah. Permohonan ini tidak memerlukan bagi
pasangan untuk mengulang kembali perkawinannya. Isbat nikah ini dapat
54
Umar Haris Sanjaya dan Aunur Rahim Faqih, Hukum Perkawinan Islam di Indoneisa,
(Yogyakarta: Gama Media, 2017), h. 80.
55
Ibid., h. 80.

xliii
diajukan oleh suami atau istri, anak-anak mereka, wali nikah atau pihak yang
berkepentingan dengan mereka. Pengadilan agama berperan untuk menguji
dan memutus permohonan isbat nikah ini sesuai dengan peraturan yang
berlaku di Indonesia. Isbat nikah berlaku jika berkenaan dengan sebagai
berikut: a. Adannya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian. b.
Hilangnya akta nikah. c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah
satu syarat perkawinan. d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum
terjadinya UU No. 1 Tahun 1974. e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka
yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974.
Setelah mengetahui tentang Pengertian Pencatatan Perkawinan dan Unsur-
unsur yang berhubungan dengan hal tersebut maka akan dijelaskan Proses
Terbentuknya Peraturan Pencatatan Perkawinan yang terkandung di dalam
UU No. 1 Tahun 1974 sejak awal masih berbentuk Rancangan Undang-
Undang Perkawinan hingga disahkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
2.2.3. Pengertian Kawin Siri
Sudah tidak asing dikalangan masyarakat Indonesia dengan kata sirri ini.
Istilah sirri berasal dari bahasa Arab sirrun, asror yang berarti rahasia.
Menurut tata bahasa Indonesia, kata sirri merupakan serapan dari Bahasa
asing yaitu bahasa Arab. Dalam bahasa Arab yang berarti rahasia. 56Kata sirri
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti rahasia atau tersembunyi. 57
Dengan demikian secara sederhana yang dimaksud dengan nikah sirri adalah
pernikahan yang rahasia atau tersembunyi.
Rahasia atau tersembunyi merupakan sebuah kondisi dimana hanyalah orang-
orang tertentu saja yang mengetahui dan tidak pula diumumkan kepada
khalayak banyak baik hal itu diengaja maupun tidak. Keadaan ini bertolak
belakang dari ajaran Islam untuk menganjurkan walimah dalam sebuah
pernikahan walaupun memotong seekor kambing.58

56
Adib Bisri, Munawir A. Fatah, Kamus al Bisri Arab Indonesia (Surabaya: Pustaka Progresif,
1999), h. 323.
57
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 1131.
58
Abdullah Sonhaji dkk, Tarjamah Sunan Ibnu Majah, Jilid IV Cet. I (Semarang: CV Asy-Syifa,
tt), h. 646.

xliv
Istilah nikah sirri atau nikah yang dirahasiakan memang sudah dikenal
dikalangan para ulama. Hanya saja nikah sirri yang dikenal pada masa dahulu
berbeda pengertiannya dengan nikah sirri pada saat ini. Dahulu yang
dimaksud nikah sirri yaitu pernikahan sesuai dengan rukun-rukun perkawinan
dan syaratnya menurut syari‟at, yaitu adanya mempelai laki-laki dan
mempelai perempuan, adanya ijab qabul yang dilakukan oleh wali dengan
mempelai laki-laki dan disaksikan oleh dua orang saksi, hanya saja saksi
diminta tidak memeberitahukan terjadinya pernikahan tersebut kepada
khalayak ramai, kepada masyarakat, dan dengan sendirinya tidak ada
walimatul-„ursy.59
Nikah sirri adalah salah satu bentuk masalah yang terjadi di Negara Indonesia
saat ini. Permasalahan ini sangat sulit untuk dipantau oleh pihak yang
berwenang, karena mereka yang melaksanakan pernikahan sirri ini tidak
melaporkan pernikahan mereka kepada pihak yang berkompeten dalam
bidang tersebut yakni Kantor Urusan Agama (KUA) bagi umat muslim dan
Kantor Catatan Sipil bagi yang beragama non muslim.
Pernikahan sirri biasanya dilakukan dihadapan tokoh masyarakat atau ustadz
ataupun kyai sebagai penghulu, atau ada juga yang dilakukan secara adat-
istiadat saja kemudian tidak dilaporkan kepada pihak yang berwenang untuk
dicatatkan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan pada Pasal 2 ayat 2 yang berbunyi “tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.60
Adapun masalah pencatatan pernikahan yang tidak dilaksanakan tidaklah
mengganggu keabsahan suatu pernikahan yang telah dilaksanakan sesuai
hukum Islam. Karena sekedar menyangkut aspek administratif, hanya saja
bila suatu pernikahan tidak dicatatkan, maka suami istri tersebut tidak
memiliki bukti outentik bahwa mereka telah melaksanakan suatu pernikahan

59
Wawan Gunawan Abdul Wahid “Pandangan Majlis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah Tentang
Nikah Sirri dan Istbat Nikah (Analisis Maqashid Asy-Syari‟ah)”, Jurnal Musawa Vol. 12 No. 12
(Juli 2013), h. 221.
60
Lihat Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

xlv
yang sah. Akibatnya, dilihat dari aspek yuridis, pernikahan tersebut tidak
diakui pemerintah, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum.
2.2.4. Kartu Keluarga
Kartu keluarga (KK) menjadi salah satu hal yang sangat penting untuk
diperhatikan, terutama jika ada orang yang baru saja menikah dan membentuk
keluarga baru.Dalam kondisi seperti ini, ada baiknya Kartu Keluarga tersebut
segera di urus dan membuat kartu keluarga yang baru dan terpisah dari kedua
keluarga.
Kartu keluarga adalah Kartu Identitas Keluarga yang memuat data tentang
susunan, hubungan dan jumlah anggota keluarga.Kartu Keluarga wajib
dimiliki oleh setiap keluarga.Jika melihat fungsinya, kepemilikan kartu
keluarga adalah sebuah hal yang wajib bagi semua orang dan juga pasangan
lainnya yang telah menikah.Kartu keluarga dapat membantu dalam hal untuk
bisa lebih mudah dalam mengurus berbagai hal yang terkait dengan
administrasi kependudukan dan juga beragam urusan lainnya.
Kartu ini berisi data lengkap tentang identitas Kepala Keluarga dan anggota
keluarganya.Kartu keluarga dicetak rangkap 3 yang masing-masing dipegang
oleh Kepala Keluarga, Ketua RT dan Kantor Kelurahan.Kartu Keluarga (KK)
adalah Dokumen milik Pemda Provinsi setempat dan karena itu tidak boleh
mencoret, mengubah, mengganti, menambah isi data yang tercantum dalam
Kartu Keluarga.Setiap terjadi perubahan karena Mutasi Data dan Mutasi
Biodata, wajib dilaporkan kepada Lurah dan akan diterbitkan Kartu Keluarga
(KK) yang baru. Pendatang baru yang belum mendaftarkan diri atau belum
berstatus penduduk setempat, nama dan identitasnya tidak boleh dicantumkan
dalan Kartu Keluarga.61
2.3. Kerangka alur pikir disertasi
Agar dapat memberikan pemahaman dan memperjelas arah pemikiran
peneliti, maka peneliti sertakan skema kerangka konseptual sebagai berikut;

61
Rika Puspa Ningsih Lubis, “Pembuatan Kartu Keluarga Bagi Pasangan Yang Menikah Di
Bawah Tangan, Studi Kasus Nagari Harau Kecamatan Sarilamak”, (Skripsi, Jurusan Ahwal Al-
Syakhsiyah Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri (Iain) Bukittinggi, 2018, h. 33.

xlvi
Bagan 1
Kerangka Alur Pikir

Problematika Filosofis: Terdapat ketidak sesuaian norma


dalam Permendagri No. 9 Tahun 2016 dan UU perkawinan.
Dalam mewujudkan tujuan perkawinan.
Problematika Teoritis: Hukum positif tidak membenarkan
kawin siri dan hanya mengakui bahwa kawin yang sah adalah
yang dicatat sesuai dengan peraturan perundang-undangan
Latar Belakang yang berlaku. Pasal 2 Ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974.
Problematika Yuridis: Tidak ada kepastian hukum terhadap
hak-hak yang terkait akibat perkawinan siri yang dicatatkan
pada KK.
Problematika Sosiologis: Adanya potensi yang merugikan
pihak-pihak yang terlibat akibat perkawinan siri yang
dicatatkan pada KK

Apa yang menjadi ratio legis dari Permendagri No. 9 thn


2016 Tentang Percepatan Peningkatan Cakupan Kepemilikan
Akta Kelahiran?
Rumusan Masalah Apakah dengan dicatatkannya perkawinan siri pada KK telah
memenuhi asas kepastian hukum dan maqashid al syariah?

Bagaimana konsep ke depan agar pencatatan perkawinan siri


pada KK lebih memberikan kepastian hukum dan sesuai dng
maqashid al syariah agar sesuai dengan maqashid syariah?

Penelitian normatif (doktrinal) dengan lima pendekatan, yakni:


pendekatan perundang-undangan, komparatif, pendekatan
Metode Penelitian
konseptual, pendekatan filsafati, pendekatan analisis

Teori Maqashid al Syariah


Landasan Teori
Teori Kepastian Hukum

Pembahasan

xlvii
2.4. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan pada disertasi ini terdiri dari lima bab, dimana bab-bab
tersebut terdiri dari sub bab yang berfungsi untuk memperjelas ruang lingkup
serta cakupan masalah yang diteliti. Berhubungan dengan urutan bab dan sub bab
sebagaimana yang dimaksud yakni sebagai berikut:
BAB I: Pendahuluan, merupakan bagian awal yang memuat uraian tentang
latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, orisinalitas penelitian, dan metode penelitian. Latar
belakang penelitian menguraikan alasan-alasan peneliti memandang
perlu untuk membahas isu hukum mengenai hakikat pencatatan kawin
siri pada kartu keluarga.
BAB II: Dalam bab ini menjelaskan tentang Kajian Pustaka dan Kerangka
Konseptual yang di dalamnya menguraikan judul disertasi ini, yang
penjelasannya dibagi menjadi 2 (dua), yakni pertama, kerangka teori
meliputi teori kepastian hukum dan teori maqashid syariah, kedua,
kerangka konseptual meliputi pengertian hakikat pencatatan kawin siri
pada kartu keluarga.
BAB III: Pada bab ini akan menjelaskan asas kepastian hukum dan tinjauan
umum maqashid al syariah sebagai landasan dalam penerepan
kebijakan Permendagri No. 9 Tahun 2016, berkaitan dengan
pencatatan kawin siri pada kartu keluarga.
BAB IV: Pada bab ini dijelaskan dan dipaparkan terkait pengaturan pencatatan
kawin siri pada keluarga, dan analisis hak-hak yang terkait akibat
perkawinan sirri.
BAB V: Penutup, berisi kesimpulan dan rekomendasi. Pada bagian ini terdiri
dari dua sub bab, yakni kesimpulan dan rekomendasi. Kesimpulan
merupakan pernyataan akhir sebagai intisari jawaban atas pokok
permasalahan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya.
Sedangkan rekomendasi merupakan masukan-masukan penulis atas
hasil penelitian disertasi yang telah diuraikan.

xlviii
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Ahmad Rofiq. 2000. Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta. Raja Grafindo
Persada.

Al-Anbari, Abdul Aziz bin Abdurrahan Al-Musa Khalid bin Ali. 1993.
Perkawinan dan Masalahnya, terjemah. Jakarta. Pustaka Al-Kautsar.

Al-Duraini, Muhammad Fathi. 1997. al-Manahij al-Ushuliyyah. Beirut.


Muassasah al-Risalah.

Al-Khadimi, Nuruddin Mukhtar. 1998. al-Ijtihad al-Maqashidi. Qatar.


Al-Syatibi. al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah I. Kairo.

Amiruddin dan Zainuddin. 2004. Pengantar Metode penelitian hokum. Raja


Grafindo Persada.

Brugink, J.J. 1995. Rechtsreflecties, (Alih bahasa Arif Sidartha). Bandung. Citra
Aditya Bakti.

Burhanuddin S, 2010. Menjawab Semua Pertanyaan tentang Kawin siri.


Yogyakarta.Pustaka Yustisia.

Burhanuddin S. 2010. Menjawab Semua Pertanyaan tentang Kawin siri.


Yogyakarta. Pustaka Yustisia.

Fatah, Adib Munawir A. 1999. Kamus al Bisri Arab Indonesia. Surabaya.


Pustaka Progresif.

Hadi, Sutrisno. 1980. Metodologi Riserch 1.Yogyakarta. Gajah Mada.

Haryono, dan Johnny Ibrahim. 2005. Teori dan Metode Penelitian Hukum
Normatif. Malang. Bayumedia.

Ichsan, Achmad. 1986. Hukum Perkawinan Bagi Yang Beragama Islam. Jakarta.
Pradnya Paramita.

Marzuki, Peter Mahmud (Peter Mahmud I). 2005. Penelitian Hukum. Jakarta.
Kencana Prenada Media Group.

Marzuki, Peter Mahmud. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta. Prenada Media.

Moelong, Lexy J. 1993. Metode penelitian Kualitatif. Bandung. PT Remaja


Rosdakarya.

xlix
Muhdhar, M. Zuhdi. 2000. Memahami Hukum Perkawinan: Kawin, Talak dan
Rujuk Menurut Hukum Islam UU No. 7 Tahun 1989, dan KHI di di
Indonesia. Bandung. Al-Bayan.

Prakoso, Djoko dan I Ketut Murtika. 1987. Azas-azas Hukum Perkawinan di


Indonesia. Jakarta. PT Bina Aksara.

Pusat Pembinaan & Pengembangan Bahasa. 1989. Kamus Besar Bahasa


Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka.

Sanjaya, Umar Haris dan Aunur Rahim Faqih. 2017. Hukum Perkawinan Islam
di Indoneisa. Yogyakarta. Gama Media.

Singarimbun, Masri dan Sofyan effendi. 2004. Metode penelitian social. Jakarta.
LP3ES.

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta. UI Press.

Sonhaji, Abdullah dkk. Tt. Tarjamah Sunan Ibnu Majah, Jilid IV Cet. I.
Semarang. CV Asy-Syifa.

Sosroatmodjo, Arso dkk, Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta. Bulan


Bintang.

Talib, Sajuti. 1996. Receptio A Contrario, Hubungan Hukum dan Tata Hukum
Islam. Jakarta. Rajawali Grafindo.

Tihami, H.M.A. 2009. Fiqih Munakahat. Jakarta. Rajawali Pers.

Tim Penyusun. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia.Jakarta. Balai Pustaka.

Victor M, Situmorang dan Cormentyna Sitanggang. 1991. Aspek Hukum Akta


Catatan Sipil di Indonesia. Jakarta. Sina Grafika.

Wehr, Hans. 1980. A Dictionary of Modern Written Arabic. London: McDonald


& Evan Ltd.

Zain, Muhammad dkk. 2005. Membangun Keluarga Humanis. Jakarta. Graha


Cipta.

B. Jurnal
Abdul Wahid, Wawan Gunawan. 2013. “Pandangan Majlis Tarjih dan Tajdid
Muhammadiyah Tentang Nikah Sirri dan Istbat Nikah (Analisis
Maqashid Asy-Syari‟ah)”, Jurnal Musawa Vol. 12 No. h. 221.

l
Ahmadi, Wiratni. 2008. “Hak dan Kewajiban Wanita Dalam keluarga Menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan”, Jurnal
Hukum Pro justitia Vol. 26 (4). Bandung. h. 371- 390.

Anshori, Abdul Ghofur. 2006. “Orientasi Nilai Filsafat Hukum Keluarga;


Refleksi Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan”.
Jurnal Mimbar Hukum 18 (1). Yogyakarta. h. 1-16.

Chaniago, Sulastri. 2015. pencatatan Kawin Dalam Pendekatan Maslahah,


Jurnal Juris, Volume 14 Nomor 2, h. 84.

Dainori. 2021. Studi Komparasi Hukum Pencatatan Perkawinan Dalam Islam


dan Di Negara Kontemporer, Jurnal JPIK Vol. 4 No.1, h. 3.

Firdawaty, Linda. 2008. “Perlindungan Hukum Bagi Anak Karena Perkawinan


Yang Fasakh Karena Melanggar Larangan Perkawinan”, Jurnal
Kajian Hukum Al-Adalah Vol. 7 (1).Lampung.

Hulam, Taufiqul. 2005. “Transformasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum


Perkawinan Orang Sakai di Desa Mandiangin Kecamatan Minas
Kabupaten Biak”. Jurnal Hukum Respublica Vol. 5 (1). Pekanbaru, h.
1-11.

Radliyah, Nunung. 2013. Pencatatan Perkawinan dan Akta Kawin Sebagai


Legalitas Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam, Jurnal
Pranata Hukum, Volume 8 Nomor 1, h. 32.

Suyono. 2018. Hukum Keluarga: Perspektif Antropologi Hukum Islam. Jurnal


Ilmiyah Asy- Syir’ah Vol. 16 No. I . Manado.

Usman, Rachmadi. 2017. “Makna Pencatatan Perkawinan dalam Peraturan


Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia”, Jurnal Legislasi
Indonesia, Vol. 14, No. 03. Banjarmasin, h. 264.

Widiastuti, 2008. “Beberapa Faktor Penyebab Pasangan Suami Isteri


Melakukan Perkawinan di Bawah Tangan”, Jurnal Eksplorasi Vol.
XX (1). LPPM Slamet Riyadi, h. 78-89.

C. Internet
Admin. 2010. Hukum Kawin Sirri. http://
dewandakwahjakarta.or.id/index.php/buletin/ april10/ 140-april4.html,
diakses tanggal 6 Oktober 2022.

Astuti, Novi Puji. 2021. Reporter .https://www.merdeka.com/jabar/hakikat-


adalah-inti-sari-atau-dasar-berikut-penjelasannya-menurut-kbbi-
kln.html. diakses 14 November 2022.

li
Detiknews, "Nikah Siri Nasibmu Kini, Bisa Dicatat di KK tapi Tak Diakui UU
Perkawinan"
selengkapnya https://news.detik.com/berita/d-5764657/nikah-siri-
nasibmu-kini-bisa-dicatat-di-kk-tapi-tak-diakui-uu-perkawinan,
diakses tgl 19 Oktober 2022.

Irawan, Andrie. 2009, Fenomena Perkawinan Sirri Serta Dampaknya Bagi


Perempuan dan Anak. Yogyakarta. http://www.docstoc.com/
docs/8436232/Dampak-Kawin-Siri-bagi-Perempuan-danAnak, akses
tanggal 7 Oktober 2012.

Jogloabang, UU 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan,


(https://www.jogloabang.com/pustaka/uu-23-2006-administrasi-
kependudukan?amp, diakses pada tanggal 10 Oktober 2022.

Komnas Perempuan", https://www.kompas.com/tren/read /2021/10/08,


/180000065/pasangan- kawin- siri-bisa-punya- kartu-keluarga-ini-
kata-komnas- perempuan?page=all, diakses pada tgl. 1 Oktober 2022.

Rohman, Holilur. 2021. Pencantuman Pelaku Nikah Sirri di Kartu Keluarga (Kajian
hukum positif dan Maqasid al Syariah), Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Sunan Ampel Surabaya.
https://uinsby.ac.id/informasi/kolom-detail/pencantuman-pelaku-
nikah-sirri-di-kartu-keluarga-kajian-hukum-positif-dan-maqasid-al-
syariah-bagian-1, diakses tgl 19 Oktober 2022.

D. Undang-undang
Permendagri No. 9/2016 tentang Percepatan Peningkatan Cakupan Kepemilikan
Akta Kelahiran.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 1 ayat (1),
(2) dan (3).

Undang-Undang. No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Pasal 2 Ayat 2.

E. Skripsi, Tesis, Disertasi


Lubis, Rika Puspa Ningsih. 2018. “Pembuatan Kartu Keluarga Bagi Pasangan
Yang Menikah Di Bawah Tangan, Studi Kasus Nagari Harau
Kecamatan Sarilamak”. (Skripsi, Jurusan Ahwal Al-Syakhsiyah
Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri (Iain) Bukittinggi, h.
33.

lii

Anda mungkin juga menyukai