Anda di halaman 1dari 53

PROPOSAL

PENYANGKALAN TERHADAP ANAK YANG LAHIR DI DALAM

PERKAWINAN

(STUDI PUTUSAN NOMOR 1484/PDT.G/2007/PA.JS)

Oleh:

NURHALIZA HAZAIRIN

04020190636

Proposal ini diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk

melakukan penelitian

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2022
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Yang bertanda tangan di bawah ini menerangkan bahwa :

Nama Mahasiswa : Nurhaliza Hazairin

Stambuk : 04020190636

Program Studi : Ilmu Hukum

Bagian : Hukum Perdata

Dasar Penetapan Pembimbing : SK. 0/H.05/FH-UMI/X/2022

Judu : PENYANGKALAN TERHADAP

ANAK YANG LAHIR DI DALAM

PERKAWINAN (Studi Kasus

Putusan Nomor

1484/Pdt.G/2007/PA.JS)

Telah disetujui untuk diajukan dalam ujian Seminar Proposal Penelitian.

Makassar, Desember 2022

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Dachran S.Bustami, SH., MH. Dr. Agussalim A.Gadjong, SH., MH.

Mengetahui,
An. Dekan
Wakil Dekan I

Dr. Muh. Rinaldy Bima, SH., MH.

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ................................................................................ i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................ii

DAFTAR ISI .............................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................1

A. Latar Belakang Masalah ............................................................................ 1

B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 8

C. Tujuan Penelitian........................................................................................... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................9

A. Tinjauan Umum Mengenai Perkawinan ............................................. 9

1. Pengertian Perkawinan ........................................................9

2. Syarat-Syarat Perkawinan .................................................13

3. Larangan Perkawinan ........................................................25

4. Asas-Asas Perkawinan ......................................................26

B. Tinjauan Umum Mengenai Penyangkalan Anak ......................... 28

1. Pengertian Penyangkalan Anak ........................................28

2. Dasar Hukum Penyangkalan Anak ....................................30

C. Tinjauan Umum Mengenai Kompilasi Hukum Islam ................ 35

D. Tinjauan Umum Mengenai Alat Bukti Dalam Hukum Acara

iii
Peradilan Agama ......................................................................................... 38

BAB III METODE PENDEKATAN ...........................................................47

A. Tipe Penelitian .............................................................................................. 47

B. Pendekatan Metode Penelitian ............................................................ 47

C. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ................................................ 47

D. Analisis Data .................................................................................................. 48

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................49

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam kehidupan

manusia, karena perkawinan adalah lembaga resmi yang menyatukan

secara sah antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup

bersama dalam bentuk sebuah rumah tangga dimana, dalam rumah tangga

itulah kehidupan individu setiap manusia dimulai dan diakhiri untuk

membina keluarga bersama. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan

kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah.

Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), Perkawinan merupakan

sunnatullah yang bersifat alami dan berlaku umum pada setiap makhluk

Allah SWT, baik manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan yang sengaja

diciptakan dalam bentuk berpasang-pasangan. Hal ini sesuai dengan

firman Allah SWT dalam Q.S Yasin ayat 36 sebagai berikut :

Terjemahan :

“Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan

semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri

mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui”.

1
Pada dasarnya perkawinan memiliki peran penting dalam terbentuknya

suatu masyarakat. Perkawinan membentuk keluarga yang terdiri dari ayah,

ibu dan anak-anak yang masih belum menikah disebut Keluarga Batin.

Menurut (Martha Dinata, Skripsi, 2009:4) keluarga selain sebagai

pembentuk masyarakat juga memiliki fungsi untuk melangsungkan

keturunan sebagai kelanjutan identitas keluarga.

Kehadiran keturunan atau anak di tengah-tengah keluarga adalah

suatu kebahagiaan karena anak merupakan suatu amanah dan karunia dari

Tuhan Yang Maha Esa serta merupakan tunas, potensi dan generasi muda

penerus dari cita-cita perjuangan bangsa. Pada hakikatnya seorang anak

dalam masa pertumbuhan dan perkembangan sangat membutuhkan uluran

tangan dari kedua orang tua untuk mengasuh, membesarkan, mendidik dan

melindungi anak sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang ke arah

pribadi yang harmonis dan matang.

Idealnya tujuan perkawinan yang diinginkan oleh Undang-Undang

Perkawinan, yang tidak hanya melihat dari segi perjanjian lahiriah saja,

tetapi juga merupakan suatu ikatan batin antara suami isteri yang ditujukan

untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, tanpa berakhir dengan

perceraian dan mendapat keturunan/anak yang baik dan sehat.

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pokok-

Pokok Perkawinan (selanjutnya disebut dengan Undang-Undang

Perkawinan) menjelaskan bahwa :

2
"Perkawinan ialah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria

dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa."

Sedangkan, menurut Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut

KHI) Pasal 2 mengenai dasar-dasar perkawinan disebutkan bahwa:

"Perkawinan miitsaaqan menurut hukum Islam adalah

pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau gholiidhan untuk

menaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya merupakan

ibadah."

Era globalisasi yang membawa perubahan dalam kehidupan di segala

bidang terlebih pada bidang teknologi yang memberikan informasi yang

dapat dipelajari dan ditiru dengan mudah sehingga dapat merubah kaedah-

kaedah yang dianut dalam masyarakat. Kaedah-kaedah sebagai pedoman

perilaku sangat diperlukan oleh manusia karena manusia mempunyai

hasrat untuk hidup pantas dan teratur, akan tetapi pandangan mengenai

kehidupan yang pantas dan teratur tidaklah selalu sama antara pribadi yang

satu dengan yang lainnya. Pedoman atau patokan tersebut adalah kaedah-

kaedah yang menjadi pengarah hidup pribadi dan hidup antar pribadi.

Kaedah-kaedah tersebut mencakup kaedah kepercayaan, kaedah

kesusilaan, kaedah sopan santun dan kaedah hukum.

Perubahan kaedah yang terjadi dalam masyarakat dapat dilihat dari

terjadinya hubungan seks pranikah atau seks bebas antara pria dan wanita

3
yang menjadi gaya hidup di kalangan masyarakat modern, khususnya

kaedah-kaedah yang dianut dalam masyarakat Indonesia serta memberi

imbas mengubah makna lembaga perkawinan yang suci dan sakral.

Pergeseran hakikat dari pranata sosial perkawinan seperti yang

terakomodasi dalam ketentuan hukum perkawinan, dapat dilihat dengan

gejala-gejala sosial seperti hubungan seks yang dilakukan di luar

pernikahan tanpa memikirkan akibat-akibat yang timbul dengan melakukan

hal tersebut, salah satunya adalah kehamilan di luar nikah. Bilamana terjadi

kehamilan sebagai akibat hubungan seks pranikah atau seks bebas maka

pasangan yang telah melakukan hubungan seks bebas akan

melangsungkan pernikahan untuk meresmikan hubungannya. Namun

apabila salah satu pihak tidak menginginkan atau melepaskan tanggung

jawab atas kehamilan tersebut biasanya diatasi dengan melakukan aborsi.

Kehamilan di luar hubungan perkawinan sebagai akibat hubungan

seks pranikah atau seks bebas, dalam masyarakat yang masih memegang

teguh kaidah-kaidah bila terjadi hal tersebut dianggap sebagai suatu aib

bagi keluarga dan masyarakat. Untuk menutupi aib tersebut dalam

lingkungan masyarakat jarang sekali ada anak yang lahir di luar

perkawinan, karena ada usaha menikahkan wanita tersebut sebelum

melahirkan anak tersebut dengan seorang calon ayah yang bukan pemilik

anak biologis. Usaha-usaha yang dapat dilakukan dengan jalan

menyediakan lembaga-lembaga yang bermaksud untuk mensahkan anak

yang lahir dalam perkawinan. Lembaga yang dimaksud yaitu :

4
Kawin paksa dari pria dengan wanita yang menunjuknya sebagai

orang yang menghamilinya (tunangan ataupun bukan)

Kawin darurat yaitu kawinnya sembarang pria (misalnya kepala desa)

dengan seorang wanita hamil, supaya kelahiran bayinya nanti terjadi di

dalam ikatan perkawinan yang sah.

Lembaga ini dikenal pada beberapa daerah seperti Jawa dengan

istilah Nikah Tambelan, Bugis dengan istilah Pattongkoh Sirik, penutup

malu.1

Tidak jarang pula wanita yang hamil karena hubungan seks pranikah

atau seks bebas melangsungkan pernikahannya, tetapi kehamilan tersebut

tidak diketahui oleh keluarga maupun pasangannya, atau pasangan suami

isteri yang terikat oleh perkawinan selama bertahun-tahun melakukan seks

bebas dengan orang yang bukan pasangannya hingga dilahirkan seorang

anak dari hubungan tersebut. Hal ini dapat terjadi dikalangan masyarakat

maupun kalangan public figure/panutan dalam masyarakat.

Pengaruh modernisasi saat ini cenderung menganggap bahwa

perkawinan itu tidak lebih dari suatu aktivitas biasa. Bahkan ada anggapan

bahwa perkawinan itu hanya kontrak sosial biasa yang menimbulkan

kurangnya rasa saling menghormati antara suami dan isteri. Hal ini akan

menimbulkan berbagai masalah, keretakan dan pergolakan dapat

mengganggu keharmonisan rumah tangga. Ada beberapa faktor yang

dapat dijadikan pembenar munculnya budaya ini. Rapuhnya jalinan kasih

1
Sudiyat, Imam. 1981. Hukum Adat Sketsa Asas. Liberty, Yogyakarta. Hlmn 91-92

5
sayang dalam institusi keluarga. Perhatian dan kasih sayang terhadap anak

kerap lebih diaktualisasikan dengan pemenuhan kebutuhan biologis atau

fisik sang anak tanpa mempedulikan kebutuhan psikologisnya. Hal ini akibat

dari kurangnya pendidikan dalam keluarga. Selain itu, pengaruh budaya

asing yang tidak sejalan dengan budaya bangsa dan agama, yang turut

diperparah disebarkan oleh media massa dan elektronik.

Globalisasi media merupakan salah satu faktor utama yang

menyebabkan begitu mudahnya budaya-budaya asing masuk ke dalam

ruang kehidupan keluarga yang tidak dapat difilter lagi. Rapuhnya

pendidikan moral dan agama di dalam lingkungan keluarga dan

masyarakat. Kerap kali orang tua lebih mengedepankan pemenuhan

kebutuhan material daripada immaterial bagi anak-anaknya. Pendidikan

moral dan agama lebih dipercayakan kepada lembaga pendidikan (sekolah)

yang berlangsung hanya beberapa jam saja. Termasuk juga lingkungan

masyarakat yang kian apatis terhadap perilaku menyimpang yang terjadi

dalam anggotanya. Masyarakat sebagai kontrol sosial tidak berjalan

sebagaimana mestinya.

Anak sebagai hasil dari suatu perkawinan, merupakan bagian yang

sangat penting kedudukanya dalam keluarga, maka orang tua mempunyai

kewajiban penuh untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya dengan

sebaik-baiknya hingga dewasa, dapat berdiri sendiri atau telah menikah.

Namun tidak semua anak yang lahir dalam perkawinan menjadi anak yang

6
sah, karena ada anak–anak yang kurang beruntung, karena disangkal atau

diingkari kelahirannya atau tidak diakui oleh ayahnya.

Dalam suatu perkawinan yang sah, apabila terjadi adanya

penyangkalan oleh seorang ayah terhadap anak yang dilahirkan dari

istrinya yang berbuat zina, secara keperdataan akan mengakibatkan atau

akan menempatkan posisi anak tersebut sebagai anak luar kawin, yang

mana akan membawa kesulitan besar pada diri dan kehidupan selanjutnya

bagi anak yang disangkal.

Berkaitan dengan hal di atas, pada kenyataannya Pengadilan Agama

Jakarta Selatan telah memutuskan perkara dengan NO. 1484/PDT.

G/2007/PA. JS, mengenai gugatan penyangkalan anak yang lahir di dalam

perkawinan. Oleh hakim yang memeriksa perkara ini, diputuskan bahwa

gugatan penyangkalan tersebut dikabulkan untuk sebagian. Selain itu,

gugatan penyangkalan anak yang dilakukan oleh tergugat dalam

rekonpensi melawan penggugat yang seharusnya diajukan tidak melewati

180 hari setelah lahirnya anak atau 360 hari setelah putusnya perkawinan,

diterima oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan untuk selanjutnya

diperiksa, diadili Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

Berdasarkan uraian tersebut, menarik untuk diteliti lebih jauh lagi

mengenai penyangkalan anak serta permohonan pengajuan penyangkalan

anak seperti yang terdapat dalam perkara No. 1484/PDT. G/2007/PA. JS.

7
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka

untuk memfokuskan penelitian ini rumusan masalah yang akan dibahas

oleh penulis adalah:

A. Apakah alasan suami menyangkali anak yang lahir dalam

perkawinannya dalam perkara Nomor 1484/PDT. G/2007/PA. JS?

B. Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan

dalam perkara Nomor 1484/PDT. G/2007/PA. JS?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui alasan suami menyangkali anak yang lahir dalam

perkawinannya dalam perkara Nomor 1484/PDT. G/2007/PA. JS

2. Untuk mengetahui bagaimana pertimbangan hakim dalam

menjatuhkan putusan dalam perkara Nomor 1484/PDT. G/2007/PA.

JS.

D. Kegunaan Penelitian

1. Menambah referensi hukum perdata, khusus mengenai perbedaan

pandangan hakim dalam memutuskan suatu perkara.

2. Dapat menjadi pegangan bagi masyarakat, terutama bagi para

mahasiswa ilmu hukum agar mengetahui dan dapat menjelaskan

penyangkalan anak yang lahir di dalam perkawinan berdasarkan

pada Kompilasi Hukum Islam.

8
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Mengenai Perkawinan

1. Pengertian Perkawinan

Nikah (kawin) menurut arti asli ialah hubungan seksual, tetapi

menurut majazi (mathaporic) atau arti hukum ialah perjanjian (akad)

yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri antara

seorang pria dengan seorang wanita. 2

Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk

keluarga (rumah tangga) yang Bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karean itu, pengertian perkawinan

dalam ajaran agama Islam mempunyai nilai ibadah.

Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang

mampu untuk segera melaksanakannya. Karena perkawinan dapat

mengurangi kemaksiatan, baik dalam penglihatan maupun dalam

bentuk perzinaan.

Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan, menyatakan

bahwa:

“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum

agamanya masing-masing dan kepercayaannya itu.”

2
Idris Ramulyo, Mohd. 2004. Hukum Perkawinan Islam. Sinar Grafika, Jakarta. Hlmn 1

9
Sebagai salah satu perbuatan hukum, perkawinan mempunyai

akibat hukum yang erat sekali hubungannya dengan sahnya

perbuatan hukum itu. Perkawinan tidak hanya menyatukan

hubungan seorang wanita dan pria dalam sebuah rumah tangga,

namun dalam perkawinan membawa konsekuensi hukum baik bagi

suami maupun isteri yang telah menikah secara sah.

Hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia, yang didasarkan

pada undang-undang perkawinan, berbagai konsekuensi hukum

tersebut sebenarnya sudah diatur, antara lain yang menyangkut hak

dan kewajiban antara suami istri secara timbal balik, tanggung jawab

suami istri terhadap anak-anaknya, juga konsekuensi terhadap harta

kakayaan dalam perkawinan serta akibat hukumnya terhadap pihak

ketiga.

Sehubungan dalam perkawinan mempunyai risiko dan segala

konsekuensi hukum, maka perlu adanya pemahaman masyarakat

tentang hukum perkawinan, yaitu yang mengatur syarat-syarat

perkawinan, tata cara pelaksanaan, kelanjutan dan berakhirnya

perkawinan.

Pengertian perkawinan jika ditinjau dari hukum Islam adalah

suatu akad/atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin

antara laki- laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan

kebahagiaan hidup keluarga yang diliputi oleh rasa ketenteraman

serta kasih sayang dengan cara yang diridhoi Allah SWT.

10
Menurut syariat Islam bahwa perkawinan setidak-tidaknya akan:

a. Membuat hubungan antara laki-laki dan perempuan lebih

terhormat dan saling meridhoi.

b. Memberikan jalan yang paling sentosa pada seks sebagai

manusia, memelihara keturunan dengan baik dan

menghindarkan kaum wanita dari penindasan kaum laki-laki.

c. Menimbulkan suasana yang tertib dan aman dalam kehidupan

sosial.

Apabila pengertian perkawinan menurut Hukum Islam

dibandingkan dengan pengertian yang tercantum dalam Pasal 1

Undang- Undang Perkawinan, tidak ada perbedaan yang prinsipil.

Lain halnya dengan KUH Perdata, sebab KUH Perdata tidak

mengenal definisi perkawinan.

Perkawinan dalam KUH Perdata semata-mata dilihat dari

hubungan keperdataan, tidak berhubungan dengan masalah

religius/keagamaan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 26 KUH Perdata

yang menyatakan bahwa: "Undang-Undang memandang soal

perkawinan hanya dalam hubungan perdata."

Bahkan, dalam Pasal 81 KUH Perdata dikatakan bahwa:

"Upacara keagamaan tidak boleh dilangsungkan sebelum

perkawinan diadakan dihadapan Pegawai Catatan Sipil."

11
Dengan demikian jelaslah, bahwa menurut KUH Perdata,

sebuah perkawinan akan sah apabila telah dipenuhinya ketentuan

hukum/syarat sahnya perkawinan menurut KUH Perdata.

Selain pengertian perkawinan yang telah dikemukakan di atas,

beberapa pakar hukum juga memberikan pengertian tentang

perkawinan, seperti yang dikutip Aris Andarwati (tesis, 2009:32-33)

sebagai berikut:

1) Menurut R. Subekti, perkawinan adalah pertalian yang sah antara

seseorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk waktu

yang lama.

2) Menurut K. Wantjik Saleh, perkawinan adalah ikatan lahir batin

antara seorang isteri dengan seorang wanita sebagai suami istri.

3) Menurut Wirjono Prodjodikoro, perkawinan adalah suatu hidup

bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang

memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam peraturan Hukum

Perkawinan.

Melihat beberapa pengertian perkawinan yang dikemukakan

oleh para sarjana tersebut, jelaslah kiranya bahwa para sarjana

memandang perkawinan itu merupakan suatu perjanjian antara

seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk

keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa.

12
2. Syarat-Syarat Perkawinan

Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan

tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk

dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk shalat

atau menurut Islam calon pengantin laki-laki/perempuan itu harus

beragama Islam.3

Perkawinan merupakan salah satu ibadah dan memiliki syarat-

syarat sebagaimana ibadah lainnya. Syarat dimaksud, tersirat dalam

Undang-Undang Perkawinan dan KHI yang dirumuskan sebagai

berikut.

1. Syarat-syarat calon mempelai pria adalah

1. beragama Islam;

2. laki-Laki;

3. jelas orangnya;

4. dapat memberikan persetujuan;

5. tidak terdapat halangan perkawinan.

2. Syarat-syarat calon mempelai wanita adalah

1. beragama Islam;

2. perempuan;

3. jelas orangnya;

4. dapat dimintai persetujuan;

3
M.A. Tihami dan Sohari Sahrani. 2009. Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap. Raja
Grafindo Persada, Jakarta. Hlmn 12

13
5. tidak terdapat halangan perkawinan.

Selain beberapat persyaratan di atas, calon mempelai pun

dalam hukum perkawinan Islam di Indonesia menentukan salah satu

syarat, yaitu persetujuan calon mempelai. Hal ini berarti calon

mempelai sudah menyetujui yang akan menjadi pasangannya

(suami istri), baik dari pihak perempuan maupun pihak laki-laki yang

akan menjalani ikatan perkawinan, sehingga mereka nantinya

menjadi senang dalam melaksanakan hak dan kewajibannya

sebagai suami dan istri.

Dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan ditentukan,

bahwa: "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaanya serta dicatat menurut

Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku."

Terdapat beberapa syarat pokok agar perkawinan itu sah secara

hukum, antara lain:

1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon

mempelai.

Pasal 6 Undang-Undang Perkawinan tentang syarat ini pada

dasarnya disyaratkan pada tiap-tiap perjanjian, yaitu harus ada

persesuaian yang bebas, artinya persesuaian kehendak itu

diberikan tidak dalam paksaan, penipuan dan kekhilafan.

2. Dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya.

14
3. Untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum

mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

Berdasarkan Pasal 6 ayat (2) Undang–undang Perkawinan,

tentang syarat ini sangat tepat, karena perkawinan yang

dilangsungkan oleh mereka yang masih muda usia (kurang dari

21 tahun), akan lebih banyak menghadapi persoalan dalam

rumah tangga maupun persoalan lainnya, apabila dibandingkan

dengan mereka yang melangsungkan perkawinan pada usia

dewasa.

4. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua meninggal dunia

atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya,

maka izin tersebut cukup diperoleh dari orang tua yang mampu

menyatakan kehendaknya.

5. Pria berumur 19 tahun dan wanita sudah mencapai umur 16

tahun. Perkawinan diizinkan, jika pihak pria mencapai umur 19

tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun (Pasal

7 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan). Penentuan batas

umur tersebut bertujuan untuk menjaga kesehatan suami isteri

dan keturunan; mencegah perkawinan anak-anak dan

mendukung program keluarga berencana. Dalam hal adanya

penyimpangan, dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan

atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria

maupun pihak wanita.

15
Hal ini adalah penting sekali untuk mewujudkan tujuan

perkawinan itu sendiri, juga mencegah terjadinya perkawinan

pada usia muda atau perkawinan anak-anak, sebab

perkawinan yang dilaksanakan pada umur muda banyak

mengakibatkan perceraian dan keturunan yang diperolehnya

bukan keturunan yang sehat.

6. Bagi suami dan isteri yang telah cerai dan kawin lagi satu

dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka

di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi,

sepanjang hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan

lain.

7. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya, berlaku jangka

waktu tunggu. Bagi wanita yang putus perkawinannya berlaku

waktu tunggu, yang di atur dalam Pasal 11 Undang-Undang

Perkawinan tahun 1974 jo Pasal 39 PP Nomor 9 Tahun 1975

dinyatakan, bahwa penentuan waktu tunggu bagi wanita yang

putus perkawinanya, sangat penting dalam kehidupan

masyarakat, karena penentuan waktu tunggu untuk menjaga

kekaburan dan demi kepastian keturunan

8. Tidak terdapat larangan kawin antara dua orang yang:

1) Berhubungan darah dalam garis keturunan ke bawah atau

ke atas;

16
2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping,

yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang

tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;

3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu

dan ibu-bapak tiri;

4) Berhubungan susuan, yaitu orang susuan, anak sususan,

dan bibi susunan;

5) Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau

kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih

dari seorang;

6) Yang mempunyai hubungan oleh agamanya atau peraturan

lain yang berlaku, dilarang kawin (Pasal 8 Undang-Undang

Perkawinan)

7) Dengan seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan

orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang

tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-Undang

ini (Pasal 9 Undang-Undang Perkawinan);

8) Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu

dengan yang lain dan bercerai untuk kedua kalinya, maka di

antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi,

sepanjang bahwa masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak

menentukan lain (Pasal 10 Undang-undang Perkawinan).

17
9. Memenuhi tata cara pelaksanaan perkawinan, yaitu bahwa

tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangan

yang berlaku, yang terdapat dalam Pasal 2 sampai dengan

pasal 9 PP No.9 Tahun 1975, yang terdiri 3 tahap, yaitu:

a. Pemberitahuan kepada Pegawai Pencatat

Perkawinan

Bahwa calon mempelai yang akan

melansungkan perkawinan harus memberitahukan

kehendaknya kepada Pegawai Pencatat

Perkawinan di tempat perkawinan dilansungkan

dan harus dilakukan sekurang-kurangnya selama

10 (sepuluh) hari kerja, sebelum perkawinan

dilansungkan. Pengecualian terhadap jangka

waktu itu, dapat diberikan oleh Camat atas nama

Bupati Kepalam Daerah, apabila ada alasan

penting.

Alasan yang penting menurut penjelasan

Pasal 3 PP Nomor 9 Tahun 1975, misalnya karena

salah seorang calon mempelai akan segera ke luar

negeri untuk melaksanakan tugas negara.

Pemberitahuan itu dilakukan secara lisan atau

tertulis oleh calon mempelai, atau orang tua atau

wakilnya.

18
Pada prinsipnya, kehendak untuk

melangsungkan perkawinan harus dilakukan

secara lisan oleh salah satu atau kedua calon

mempelai, orang tua atau wakilnya. Namun apabila

karena sesuatu alasan yang sah pemberitahuan

kehendak melangsungkan perkawinan secara lisan

itu tidak mungkin dilakukan, maka pemberitahuan

dapat dilakukan secara tertulis (Penjelasan Pasal 4

PP Nomor 9 Tahun 1975).

Kemudian dalam memberitahukan maksud

untuk melangsungkan perkawinan itu, harus

memuat pula; nama, umur, agama/kepercayaan,

pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan

apabila salah seorang atau keduanya pernah

kawin, disebutkan juga nama isteri atau suami

terdahulu dan masih dimungkinkan ditambah hal–

hal lain misalnya wali nikah bagi mereka yang

beragama Islam.

b. Penelitian Syarat-Syarat Perkawinan

Setelah Pegawai Pencatat Perkawinan

menerima pemberitahuan kawin, maka dia harus

meneliti apakah syarat-syarat perkawinan tersebut

sudah terpenuhi atau belum dan apakah ada

19
halangan perkawinan menurut Undang-Undang

Perkawinan.

Pegawai Pencatat Perkawinan juga meneliti :

1) Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir

calon mempelai. Apabila tidak ada akta

kelahiran atau surat kenal lahir, dapat

dipergunakan surat keterangan yang

menyatakan umur dan asal usul calon

mempelai yang diberikan oleh Kepala Desa,

atau yang setingkat dengan itu;

2) Keterangan mengenai nama,

agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat

tinggal orang tua calon mempelai;

3) Izin tertulis/izin Pengadilan, dalam hal salah

seorang calon mempelai atau keduanya belum

genap 21 tahun;

4) Izin Pengadilan dalam hal calon mempelai

adalah seorang suami yang masih mempunyai

isteri;

5) Dispensasi Pengadilan/Pejabat, dalam hal

adanya halangan perkawinan;

6) Surat kematian isteri atau suami yang terdahulu

atau dalam hal perceraian surat keterangan

20
perceraian, bagi perkawinan untuk kedua kali

atau lebih;

7) Surat kuasa otentik atau di bawah tangan yang

disahkan oleh pegawai pencatat, apabila salah

seorang calon mempelai atau keduanya tidak

hadir sendiri, karena alasan yang penting,

sehingga mewakilkan orang lain.

Bahwa dalam hal ini tentunya pegawai

pencatat perkawinan harus bertindak aktif,

artinya tidak hanya menerima saja apa yang

dikemukakan oleh yang melangsungkan

perkawinan itu, maka pegawai pencatat

menulis dalam sebuah daftar yang disediakan

untuk itu.

Apabila terdapat suatu halangan untuk

melangsungkan perkawinan, maka harus

segera diberitahukan kepada calon mempelai

atau kedua orang tuanya atau wakilnya.

c. Pengumuman tentang pemberitahuan

melangsungkan perkawinan.

Setelah semua syarat-syarat perkawinan

dipenuhi, maka pegawai pencatat lalu

mengadakan pengumuman tentang

21
pemberitahuan untuk melangsungkan

perkawinan, dengan cara menempelkan surat

pengumuman menurut formulir yang ditetapkan

pada kantor Pegawai Pencatat Perkawinan

pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan

mudah dibaca oleh umum.

Pengumuman tersebut ditanda tangani

oleh Pegawai Pencatat Perkawinan dan

memuat hal ikhwal orang yang akan

melangsungkan perkawinan, juga memuat

kapan dan dimana perkawinan itu akan

dilangsungkan. Adapun tujuan diadakannya

pengumuman, yaitu untuk memberi kesempatan

kepada umum untuk mengetahui dan

mengajukan keberatan- keberatan terhadap

perkawinan. Keberatan-keberatan itu dapat

diajukan dengan alasan, bahwa perkawinan

bertentangan dengan hukum masing- masing

agamanya dan kepercayaannya atau

bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan lainnya (Penjelasan Pasal 6 PP

Nomor 9 Tahun 1975).

22
Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam

menyatakan sebagai berikut: "Perkawinan

adalah sah apabila dilakukan menurut hukum

Islam."

Pasal 5 Kompilasi Hukum Islam

menyatakan bahwa: "Agar terjamin ketertiban

perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap

perkawinan harus dicatat dan pencatatan

perkawinan dilakukan oleh Pegawai Pencatat

Nikah."

Syarat - syarat yang harus dipenuhi agar perkawinan sah dalam

Hukum Islam sebagai berikut:

A. Ada calon suami dan calon istri

Menurut Pasal 15 Kompilasi Hukum Islam, untuk kemaslahatan

keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan

oleh calon mempelai yang telah mencapai umur, yaitu calon suami

sekurang-kurangnya 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya

berumur 16 tahun. Bagi calon mempelai yang belum mencapai

umur 21 tahun, harus mendapat ijin dari :

1. Kedua orang tuanya, atau;

2. Orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu

menyatakan kehendaknya, atau;

23
3. Wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai

hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama

mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan

kehendaknya, atau;

4. Pengadilan dalam daerah hukum tempat orang yang akan

melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut.

Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai.

Bentuk persetujuan calon mempelai wanita berupa pernyataan

tegas dan nyata dalam tulisan, lisan, atau isyarat, tetapi dapat

juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang

tegas (Pasal 16 Kompilasi Hukum Islam).

B. Ada wali nikah, yaitu seorang laki-laki yang memenuhi syarat

hukum Islam yakni muslim, akil, dan baligh.

Ada dua jenis Wali Nikah, yaitu:

1. Wali Nasab

Wali Nasab terdiri dari 4 kelompok dalam urutan

kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok

yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan

calon mempelai wanita. Kelompok tersebut adalah :

1. Kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas, yakni

ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya;

2. Kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau

saudara lakilaki seayah dan keturunan laki-laki mereka;

24
3. Kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki

kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki

mereka;

4. Kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara

laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka.

2. Wali Hakim, ialah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri

Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak

dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah (Pasal

1b Kompilasi Hukum Islam).

C. Ada dua orang Saksi

Syarat untuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang

lakilaki muslim, adil, akil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak

tuna rungu atau tuli. Saksi harus hadir dan menyaksikan secara

langsung akad nikah serta menandatangani akta nikah pada waktu

dan di tempat akad nikah dilangsungkan.

D. Akad Nikah, ialah rangkaian ijab yang diucapkan oleh Wali dan

Kabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya

disaksikan oleh dua orang saksi (Pasal 1c Kompilasi Hukum

Islam).

3. Larangan Perkawinan

Pasal 8 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

telah mengatur larangan perkawinan yang menentukan bahwa

perkawinan dilarang antara dua orang yang 4:

4
Idris Ramulyo, Mohd. 2004. Hukum Perkawinan Islam. Sinar Grafika, Jakarta. Hlmn 35

25
1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah

ataupun ke atas;

2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu

antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan

antara seorang dengan saudara neneknya;

3. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan

ibu/bapak tiri;

4. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan,

saudara susuan dan bibi/paman susuan;

5. Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau

kemenakan dari isteri dalam hal seorang suami beristeri lebih

dari seorang;

6. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain

yang berlaku, dilarang kawin.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa larangan

perkawinan telah diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang No. 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan. Selanjutnya, dalam agama Islam terdapat

dalam Kompilasi Hukum Islam yang diatur dalam Pasal 39 sampai

Pasal 44.

4. Asas-Asas Perkawinan

Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu

akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizhan untuk menaati

perintah Allah dan melakukannya merupakan ibadah. Perkawinan

26
bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang

sakinah, mawaddah, warahmah.

Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam

sesuai dengan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

tentang perkawinan.

1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam

setiap perkawinan harus dicatat

2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh

Pegawai Pencatatan Nikah sebagaimana yang diatur dalam

Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 jo Undang-Undang No. 32

Tahun 1954.

3) Untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 5, setiap perkawinan

harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan

Pegawai Pencatatan Nikah.

4) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai

Pencatatan Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.

5) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang

dibuat oleh Pegawai Pencatatan Nikah.

6) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan kata nikah,

dapat diajukan itsbad nikahnya ke Pengadilan Agama.

7) Itsbad nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas

mengenai hal-hal yang berkenan dengan:

1. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;

27
2. Hilangnya akta nikah;

3. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya suatu syarat

perkawinan;

4. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974; dan

5. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak

mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang

No. 1 Tahun 1974.

8) Yang berhak mengajukan permohonan itsbad ialah suami atau

isteri, anak-anak mereka, wali nikah, dan pihak yang

berkepentingan dengan perkawinan itu.

B. Tinjauan Umum Mengenai Penyangkalan Anak

1. Pengertian Penyangkalan Anak

Kehadiran seorang anak dalam perkawinan merupakan suatu

karunia dan kebahagiaan bagi keluarga akan tetapi bilamana

kehadiran seorang anak diragukan oleh ayahnya maka menurut

hukum perdata nasional upaya yang diberikan adalah melakukan

penyangkalan terhadap anak.

Penyangkalan anak menurut Pasal 44 ayat 1 Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 adalah sebagai berikut:

"Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang

dilahirkan oleh isterinya bilamana ia dapat membuktikan

28
bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat dari

perzinahan tersebut"

Menurut hukum perdata barat pengertian penyangkalan yang

dikutip dari R. Subekti (Martha Dinata, Skripsi, 2009:30) terdiri dari:

a. Keabsahan seorang anak yang diahirkan sebelum hari yang ke

seratus delapan puluh dalam perkawinan suami isteri, dapat

diingkari oleh suami. Namun pengingkaran ini tidak boleh

dilakukan dalam hal- hal sebagai berikut:

b. Jika suami sebelum perkawinan telah mengetahui akan

mengandungnya si isteri;

c. Jika ia telah ikut hadir tatkala akta kelahiran dibuat dan akta

itupun telah ditandatanganinya, atau memuat pernyataan darinya

bahwa ia tidak dapat menandatanganinya;

d. Jika si anak telah hidup tatkala dilahirkan.

e. Suami boleh mengingkari keabsahan si anak, apabila dapat

membuktikan bahwa ia sejak tiga ratus sampai seratus delapan

puluh hari sebelum lahirnya anak itu, baik karena perpisahan

maupun sebagai akibat sesuatu kebetulan berada dalam

ketakmungkinan yang nyata, untuk mengadakan hubungan

dengan isterinya. Dengan menunjuk pada ketakmampuannya

yang nyata, suami tak dapat mengingkari bahwa anak itu adalah

anaknya.

29
f. Berdasarkan atas perbuatan zina, suami tak dapat mengingkari

keabsahan seorang anak, kecuali jika lahir anak itu pun

disembunyikan baginya, dalam hal mana ia harus diperkenankan

membuktikan dengan sempurna, bahwa ia bukan bapak anak itu.

g. Suami boleh mengingkari keabsahan seorang anak, yang

dilahirkan tiga ratus hari setelah hari keputusan perpisahan meja

dan ranjang memperoleh kekuatan mutlak, dengan tak

mengurangi hak isterinya, untuk mengemukakan segala

peristiwa yang kiranya sanggup membuktikan bahwa suamilah

bapak anak itu.

Menurut Kompilasi Hukum Islam seorang suami yang

mengingkari sahnya anak sedang isteri tidak menyangkalnya, dapat

menangguhkan pengingkaran dengan li’an.

2. Dasar Hukum Penyangkalan Anak

Penyangkalan anak yang dilahirkan dalam perkawinan

menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

diatur dalam Pasal 44 ayat 1 yang menyebutkan bahwa:

"Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan

oleh isterinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya

telah berzinah dan anak itu akibat daripada perzinahan tersebut."

30
Hak untuk melakukan penyangkalan ini diberikan kepada:

1) Suami dari isteri yang melahirkan anak yang disangkal, hal ini

adalah wajar sebab suami yang paling mengetahui dan

berkepentingan dalam hal ini.

2) Pihak yang berkepentingan.

Pihak yang berkepentingan dalam hal ini dapat ditafsirkan

orang- orang yang mempunyai hubungan darah dengan pihak

suami apabila suami itu sendiri dalam keadaan tak mampu

melakukan tindakan hukum karena kurang waras atau

berpenyakit yang tidak memungkinkan dia melakukan tindakan

hukum serta suami telah meninggal. Penyangkalan yang

dilakukan oleh pihak yang berkepentingan diatur dalam Pasal 44

ayat 2.

Hak penyangkalan pada prinsipnya atau secara prioritas

berada di tangan suami, akan tetapi apabila dalam keadaan suami

seperti dalam keadaan tersebut diatas maka pihak yang

berkepentingan dalam hal ini jatuh pada keluarga terdekat suami.

Dengan tafsiran Pasal 44 ayat 2 penyangkalan bukan semata-mata

hanya dapat dilakukan oleh suami tetapi oleh sanak keluarga yang

dianggap ada hubungan kepentingannya dengan suami dan isteri

yang melahirkan anak tersebut.

Dalam Pasal 44 ayat 1 Undang-Undang memberikan hak

kepada sua mi untuk memajukan sangkalan atas keabsahan anak

31
yang dilahirkan, dimana penyangkalan itu hanya dapat dilakukan

dengan alasan zina. Beban pembuktian menurut ketentuan ini oleh

hukum dibebankan pada suami yang melakukan penyangkalan.

Adapun yang harus dibuktikannya adalah anak tersebut merupakan

akibat perzinahan yang dilakukan oleh isteri dengan laki- laki yang

menjadi sebab kelahiran anak tadi.

Berkenaan dengan pembuktian asal–usul anak, undang-

undang perkawinan di dalam Pasal 55 menegaskan bahwa:

1) Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte

kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh Pejabat yang

berwenang.

2) Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada,

maka Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal

usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti

berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.

3) Atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini,

maka Instansi Pencatat Kelahiran yang ada dalam Daerah

Hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akta

kelahiran bagi anak yang bersangkutan.

Sedangkan Kompilasi Hukum Islam Pasal 101 dan Pasal 102

menyangkut keadaan suami yang mengingkari sahnya anak dan

proses yang harus ditempuhnya, adapun ketentuan Pasal 101

disebutkan sebagai berikut:

32
"Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang

istri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan

pengingkarannya dengan li’an."

Sedangkan ketentuan Pasal 102 adalah:

1) Seorang suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir

dari isterinya, mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama

dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari

sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui

bahwa isterinya melahirkan anak dan berada di tempat yang

memungkinan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan

Agama.

2) Pengingkaran yang diajukan sesudah lampau waktu tersebut

tidak dapat diterima.

3) Menurut Pasal 125 Kompilasi Hukum Islam, Li’an menyebabkan

putusnya perkawinan antara suami isteri untuk selama-lamanya.

Li’an terjadi karena suami menuduh isteri berbuat zinah dan atau

mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari

isterinya, sedangkan isterinya menolak tuduhan dan atau

pengingkaran tersebut dapat ditemui pada ketentuan Pasal 126

Kompilasi Hukum Islam.

Pasal 127 Kompilasi Hukum Islam mengatur mengenai tata

cara li’an yang dilakukan oleh suami serta penyangkalan oleh isteri

33
atas tuduhan tersebut. Adapun ketentuan Pasal 127 sebagaimana

dikutip berikut ini:

1) Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina atau

pengingkaran anak tersebut, diikuti sumpah kelima dengan kata-

kata “laknat Allah atas dirinya apabila tuduhan dan atau

pengingkaran tersebut dusta”.

2) Istri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dengan

sumpah empat kali dengan kata “tuduhan dan atau pengingkaran

tersebut tidak benar”, diikuti sumpah kelima dengan kara-kata

“murka Allah atas dirinya bila tuduhan dan atau pengingkaran

tersebut benar”.

3) Tata cara pada huruf a dan b tersebut merupakan satu kesatuan

yang tak terpisahkan.

4) Apabila tata cara huruf a tidak diikuti dengan tata cara huruf b,

maka dianggap tidak terjadi li’an.

Kompilasi Hukum Islam mengatur hal-hal berkenaan dengan

pembuktian asal–usul anak, yaitu dalam Pasal 103 sebagai berikut:

1) Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta

kelahiran atau alat bukti lainnya.

2) Bila akta kelahiran atau alat bukti lainnya tersebut dalam ayat (1)

tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat mengeluarkan

penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah mengadakan

pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang sah.

34
3) Atas dasar ketetapan Pengadilan Agama tersebut ayat (2), maka

Instansi Pencatat Kelahiran yang ada dalam daerah hukum

Pengadilan Agama tersebut yang mengeluarkan akta kelahiran

bagi anak yang bersangkutan.

4) Seorang suami dalam konteks Hukum Islam dapat menolak untuk

mengakui bahwa anak yang dilahirkan isterinya bukanlah

anaknya, selama suami dapat membuktikan bahwa:

a) Suami belum pernah menjima’ isterinya akan tetapi isteri

tiba–tiba melahirkan;

b) Lahirnya anak itu kurang dari enam bulan sejak menjima’

isterinya sedangkan bayinya lahir seperti bayi yang cukup

umur;

c) Bayi lahir sesudah lebih dari empat tahun dan si isteri tidak

dijima’ suaminya.

C. Tinjauan Umum Mengenai Kompilasi Hukum Islam

Akhir tahun 1991, berhasil disusun Kompilasi Hukum Islam di

Indonesia (KHI) mengenai perkawinan, pewarisan, dan pewakafan.

Kompilasi ini diberlakukan dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun

1991, tanggal 10 Juni 1991 yang kemudian diikuti dengan keluarnya

Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 154 Tahun 1991

tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tersebut.

35
Sejarah lahirnya Kompilasi Hukum Islam adalah suatu

kebutuhan untuk mengakhiri ketidakpastian hukum oleh para hakim di

Pengadilan Agama. Dalam konsideran KHI juga disebutkan bahwa KHI

dapat dijadikan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-

masalah di bidang tersebut, baik oleh Instansi Pemerintah maupun

masyarakat.5

Masa reformasi, sejak jatuhnya pemerintahan Orde Baru (Orba),

pada bulan Mei 1998 sampai tahun 2007. Di antara isu yang muncul

pada masa reformasi ini adalah usulan mencabut PP No. 10 tahun 1983

yang mengatur tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai

Negeri Sipil (PNS). Lebih dari itu, usulan yang menghendaki

diadakannya revisi terhadap isi UU No. 1 Tahun 1974 dan/atau KHI,

mendapat respon positif dari masyarakat. Terbukti semakin banyaknya

jumlah yang menuntut diadakannya revisi terhadap Perundang-

undangan tersebut.

Dengan demikian, PP No. 10 Tahun 1983 dipertahankan sambil

menunggu revisi UU No. 1 Tahun 1974 dan/atau KHI sebagai UU Pokok

Perkawinan.

Tahun 2006 lahir Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang

Peradilan Agama. Dengan berlakunya undang-undang tersebut, wilayah

5
Nasution, Khoiruddin. 2009. Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan
Hukum Perkawinan di Dunia Muslim. Hlmn 64-65

36
kekuasaan pengadilan agama berarti bertambah tiga, yakni: (1) zakat,

(2) infaq, dan (3) ekonomi Syari’ah. Kehadiran UU No. 3 tahun 2006

bertujuan untuk mengembalikan otoritas pengadilan agama seperti

sediakala sebelum adanya pengurangan oleh Pemerintah Hindia

Belanda.

Uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa lahirnya perundang-

undangan perkawinan Indonesia secara umum karena dorongan dan

tuntutan dari sebagian masyarakat Indonesia dan sejumlah organisasi,

khususnya organisasi kewanitaan dari berbagai profesi. Dari sisi proses

pembaruan, kehadiran perundang-undangan perkawinan Indonesia

masuk kelompok yang usaha pembaruannya dilakukan secara

bertahap, yakni dimulai dari dan untuk kepentingan penjajah (Belanda)

berupa aturan administrasi (pencatatan perkawinan dan perceraian),

kemudian diikuti dengan pembaruan materi perkawinan di masa

kemerdekaan. Sementara dari sisi lain, usaha pembaruan hanya

mengenai aturan pencatatan, kemudian meluas pada materi

perkawinan dan perceraian secara keseluruhan, kemudian diteruskan

lagi dengan pembaruan di bidang Hukum Keluarga dalam arti yang lebih

luas, yakni meliputi perkawinan, perceraian, warisan dan wakaf, dengan

lahirnya Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.

37
D. Tinjauan Umum Mengenai Alat Bukti Dalam Hukum Acara Peradilan

Agama

Sebagaimana diketahui bahwa Peradilan Agama adalah

Peradilan Perdata dan Peradilan Islam di Indonesia, jadi ia harus

mengindahkan peraturan perundang-undangan Negara dan syariat

Islam sekaligus. Rumusan Hukum Acara Peradilan Agama diusulkan

sebagai berikut6 :

"Segala peraturan baik yang bersumber dari peraturan perundang-

undangan Negara maupun dari syariat Islam yang mengatur bagaimana

cara orang bertindak ke muka Pengadilan Agama dan juga mengatur

bagaimana cara Pengadilan Agama tersebut mennyelesaikan

perkaranya, unutk mewujudkan hukum material Islam yang menjadi

kekuasaan Peradilan Agama."

Peradilan Agama adalah Peradilan Negara yang sah, di samping

sebagai Peradilan Khusus, yakni Peradilan Islam di Indonesia, yang

diberi wewenang oleh peraturan perundang-undangan Negara, untuk

mewujudkan material Islam dalam batas-batas kekuasaannya.

Untuk melaksanakan tugas pokoknya (menerima, memeriksa,

dan mengadili serta menyelesaikan perkara) fungsinya (menegakkan

hukum dan keadilan) maka Peradilan Agama dahulunya,

mempergunakan Acara yang terserak-serak dalam berbagai peraturan

6
A. Rasyid, Roihan. 1991. Hukum Acara Peradilan Agama. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Hlmn
10

38
perundang-undangan, bahkan juga Acara dalam hukum tidak tertulis

(maksudnya hukum formal Islam yang belum diwujudkan dalam bentuk

peraturan perundang-undangan Negara Indonesia). Namun kini, setelah

terbitnya UU No.7 tahun 1989, yang mulai berlaku sejak tanggal

diundangkan (29 Desember 1989), maka Hukum Acara Peradilan

Agama menjadi konkret. Pasal 54 dari UU tersebut berbunyi:

"Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan

Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku dalam

lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telahh diatur secara khusus

dalam undang-undang ini."

Menurut pasal diatas, Hukum Acara Peradilan Agama sekarang

bersumber (garis besarnya) kepada dua aturan, yaitu: (1) yang terdapat

dalam UU Nomor 7 tahun 1989, dan (2) yang berlaku dilingkungan

Peradilan Umum.

Peraturan perundang-undangan tentang Acara Perdata yang

sama-sama berlaku bagi lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan

Agama, adalah sebagai berikut:

1. UU Nomor 14 tahun 1970, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok

Kekuasaan Kehakiman.

2. UU Nomor 14 tahun 1985, tentang Mahkamah Agung.

3. UU Nomor 1 tahun 1974 dan PP Nomor 9 tahun 1975, tentang

Perkawinan dan Pelaksanaannya.

39
Pembuktian di muka Pengadilan adalah merupakan hal yang

terpenting dalam Hukum Acara sebab pengadilan dalam menegakkan

hukum dan keadilan tidak lain berdasarkan pembuktian. Hukum

Pembuktian termasuk dalam bagian hukum acara sedangkan Peradilan

Agama mempergunakan Hukum Acara yang berlaku bagi Peradilan

Umum.

Hukum pembuktian yang dipergunakan di lingkungan Peradilan

Umum ditemui dala HIR, RBg, dan BW dan itu berarti bahwa HIR, RBg,

dan BW berlaku juga bagi Peradilan Agama.

Asas pembuktian dalam Hukum Acara Perdata dijumpai dalam

Pasal 1865 Burgerlijke Wetboek, Pasal 163 Het Herziene Inlandsche

Reglement, Pasal 283 Rechts Relegment Buitengewesten, yang bunyi

pasal- pasal itu semakna saja, yaitu:

"Barang siapa mempunyai sesuatu hak atau guna membantah hak

orang lain, atau menunjukkan pada suatu peristiwa, ia diwajibkan

membuktikan adanya hak itu atau adanya peristiwa tersebut."

Dari Abdullah bin Abbas, Rasulullah telah bersabda:

"jika gugatan seorang dikabulkan begitu saja, niscaya akan

banyaklah orang yang menggugat hak dan hartanya terhadap

orang lain tetapi (ada cara pembuktiannya) kepada yang menuntut

hak (termasuk yang membantah hak orang lain dan menunjuk

suatu peristiwa tertentu) dibebankan untuk membuktikan dan (bagi

40
mereka yang tidak mempunyai bukti lain) dapat mengingkarinya

dengan sumpahnya. (H.R. Bukhari dan Muslim)."

Umumnya, sepanjang undang-undang tidak mengatur sebaliknya,

hakim bebas untuk menilai pembuktian. Berhubungan hakim dalam

menilai pembuktian dapat bertindak bebas atau diikat oleh undang-

undang maka tentang hal tersebut timbul tiga teori:

1. Teori pembuktian bebas, yaitu tidak menghendaki adanya

ketentuan- ketentuan yang mengikat hakim sehingga penilaian

pembuktian diserahkan kepadanya.

2. Teori pembuktian negatif, yaitu harus ada ketentuan-ketentuan yang

mengikat, yang bersifat negatif. Jadi hakim dilarang menilai lain

dengan pengecualian, seperti yang ditemui dalam Pasal 169

HIR/306 RBg/1905 BW.

3. Teori pembuktian positif, yaitu adanya ketentuan-ketentuan yang

mengikat, tidak menilai lain menurut ketentuan tersebut secara

mutlak, seperti ditemui dalam Pasal 165 HIR/285 RBg/1870 BW.

Prinsip umum pembuktian adalah landasan penerapan

pembuktian. Semua pihak, termasuk hakim harus berpegangan pada

patokan yang digariskan prinsip yang dimaksud. Disamping itu juga

masih terdapat lagi prinsip-prinsip khusus yang berlaku untuk setiap

41
jenis alat bukti, sehingga harus juga dijadikan patokan dalam penerapan

sistem pembuktian7.

Dipandang dari segi pihak-pihak yang berperkara (pencari

keadilan), alat bukti artinya adalah alat atau upaya yang bisa

dipergunakan pihak-pihak yang berperkara untuk meyakinkan hakim di

muka pengadilan. Dipandang dari segi pengadilan yang memeriksa

perkara, alat bukti artinya adalah alat atau upaya yang bisa

dipergunakan oleh hakim untuk memutuskan perkara. Jadi alat bukti

tersebut diperlukan oleh pencari keadilan maupun pengadilan.

1. Alat Bukti Tertulis atau Surat-Surat

a) Alat Bukti Surat atau Tulisan

Alat bukti surat-surat atau tulisan ialah segala sesuatu yang

memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk

menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan

sebagai pembuktian.

b) Akta Otentik

Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan

pejabat yang berwenang untuk itu, manurut ketentuan tertentu

yang telah ditetapkan.

c) Akta Bawah Tangan

7
Harahap, M. Yahya. 2005. Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Pesidangan, Penyitaan,
Pembuktian Dan Putusan Pengadilan. Cetakan Ketiga. Sinar Grafika, Jakarta. Hlmn 497

42
Akta di bawah tangan atau akta bukan otentik ialah segala tulisan

yang memang sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tetapi tidak

dibuat dihadapan atau oleh pejabat yan berwenang untuk itu dan

bentuknya pun tidaklah pula terikat kepada bentuk tertentu.

d) Surat-Surat Lainnya yang Bukan Akta

Segala macam tulisan yang tidak termasuk kategori akta otentik

dan akta di bawah tangan di mukia, termasuk kategori surat-

surat lainnya yang bukan akta, misalnya surat pribadi, surat

rumah tangga, register-register dan sebagainya.

e) Salinan atau Fotokopi Surat-Surat

Fotokopi atau salinan surat-surat tanpa pengesahan

salinan/fotokopi atau diistilahkan tanpa legalisasi, dianggap

surat- surat bukan akta, sekalipun yang difotokopi itu adalah akta

otentik. Agar suatu surat mempunyai kekuatan sama dengan

kekuatan aslinya, maka salinan atau fotokopi tadi harus

dilegalisir.

2. Alat Bukti Saksi

Alat bukti saksi, dalam hukum Islam disebut dengan syahid

(saksi lelaki) atau syahidah (saksi perempuan) yang terambil dari

kata musyâhadah yang artinya menyaksikan langsung dengan mata

kepala sendiri. Jadi saksi yang dimaksudkan adalah manusia hidup.

3. Alat Bukti Persangkaan

Alat bukti persangkaan (Belanda, Vermoeden) yang di dalam

Hukum Acara Peradilan Islam disebut al-qariah. Qariah menurut

43
bahasa artinya “istri” atau “hubungan” atau “pertalian”, sedangkan

menurut istilah hukum (yang dimaksud disini) ialah hal-hal yang

mempunyai hubungan pertalian byang erat sedemikian rupa

terhadap sesuatu sehingga memberikan petunjuk.

4. Alat Bukti Pengakuan

Alat bukti pengakuan dalam Hukum Acara Peradilan Islam

disebut al-iqrar dan dalam bahasa Acara Peradilan Umum disebut

bekentenis (Belanda), confession (Inggris), yang artinya ialah salah-

satu pihak atau kuasa sahnya mengaku secara tegas tanpa syarat

“di muka sidang” bahwa apa yang dituntut oleh pihak lawannya

adalah benar.

Pengakuan di depan sidang merupakan alat bukti yang

sempurna dan mengikat, jadi lawan atau hakim tidak perlu

membuktikan lain lagi melainkan telah cukup untuk memutus dalam

sidang persengketaan yang telah diakui tersebut.

5. Alat Bukti Sumpah

Sumpah menurut bahasa Hukum Islam disebut al-yamin atau al

hilf tetapi kata al-yamin lebih umum dipakai.

a. Sumpah Tambahan

Sumpah tambahan ini adalah sumpah yang diperintahkan

oleh hakim kepada salah-satu pihak untuk melengkapi alat bukti

yang masih kurang atau untuk menambah keyakinan hakim.

b. Sumpah Pemutus

44
Sumpah pemutus yaitu sumpah yang diucapkan oleh salah

satu pihak atas permintaan pihak lainnya disini telah tidak ada alat

bukti sama sekali yang mendukung tuntutannya.

6. Alat Bukti Keterangan Ahli

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok

Kekuasaan Kehakiman, Pasal 14 menyebutkan bahwa:

"Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili

perkara yang diajukan kepadanya. Itu bukanlah berarti bahwa

hakim ahli dalam segala-galanya. Dalam praktik, bantuan dari

orang ketiga yaitu orang yang ahli pada bidangnya untuk

memperoleh kejelasan objektif bagi hakim, atas suatu peristiwa

yang dipersengketakan dalam suatu perkara, disebut

“keterangan ahli” atau ada juga yang menyebutnya dengan

“saksi ahli”."

Saksi ahli diminta untuk memberikan penilaian atau kesimpulan

menurut bidang keahliannya seobjektif-objektifnya terhadap

peristiwa yang sedang diperiksa di muka pengadilan.

Keterangan saksi ahli mungkin diberikan secara lisan di depan

sidang tetapi mungkin pula diberikan secara tertulis yang kemudian

dibacakan di depan sidang. Karena dibacakan di depan sidang maka

statusnya sama dengan keterangan lisan di depan sidang.

45
Sehubungan dengan alat bukti yang diajukan oleh Tergugat dalam

perkara No. 1484/PDT. G/2007/PA. JS yakni berupa hasil tes DNA dari

HAS Singapore. DNA adalah singkatan dari Deoxyribo Nucleic Acid

(Asam Nukleat), yaitu suatu persenyawaan kimia yang membawa

keterangan genetik dan sel khusus dari makhluk secara keseluruhannya

dari satu generasi ke generasi berikutnya. Di dalam DNA terkandung

informasi keturunan suatu makhluk hidup yang akan mengatur program

keturunan selanjutnya. Jadi, DNA bertugas untuk menyimpan dan

mentransfer informasi genetik kemudian menerjemahkan informasi ini

secara tepat. Dengan karakteristiknya yang sedemikian itu. Tes DNA

umumnya digunakan untuk 2 tujuan:

a. Untuk tujuan pribadi seperti penentuan perwalian anak atau penentuan

orang tua dari anak.

b. Tujuan hukum yang meliputi masalah forensic seperti identifikasi

korban pembunuhan atau pemerkosaan.

DNA pada dasarnya amat potensial untuk dimanfaatkan dalam

melacak asal-usul keturunan seseorang. DNA itu bisa sangat bermanfaat

untuk upaya-upaya pembuktian di pengadilan.

Prosesnya DNA ini melibatkan para ahli kedokteran forensik.

Setelah melaui proses laboratorium, barulah hasil tes DNA dapat

dijadikan sebagai alat bukti. Walaupun tes DNA dapat dikatakan

keotentikannya cukup valid, namun dalam pembuktiannya haruslah

didukung dengan bukti-bukti lainnya, seperti pengakuan dan kesaksian.

Hal ini dikarenakan untuk menghindari unsur syubhat dari DNA itu sendiri.

46
BAB III

METODE PENDEKATAN

A. Tipe Penelitian

Tipe penelitian ini adalah penelitian yuridis dengan cara melihat,

membaca, dan menganalisis fakta-fakta apa saja yang melanggar

ketentuan-ketentuan yang ada di dalam Undang-Undang Perkawinan

Nomor 1 Tahun 1974 KHI, khususnya pada Pasal 42 dan 43 Undang-

Undang Perkawinan dan Pasal 99, 100, dan 102 pada KHI, dengan

mempelajari dokumen-dokumen dan referensi-referensi yang terkait

dengan masalah penelitian penulis.

B. Pendekatan Metode Penelitian

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersumber dari

perundang-undangan dalam penelitian ini peneliti akan mengkaji lebih

dalam pada Undang-Undang

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang bersumber dari

buku hukum, jurnal hukum, kamus hukum.

C. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data dalam penelitian

ini adalah dengan menggunakan dokumentasi. Dokumentasi yaitu

penulis berusaha mencari bahan yang berkaitan dengan masalah

faktor-faktor penyebab penyangkalan anak untuk memperoleh data

47
yang diperlukan dalam penelitian. Dalam hal ini penulis menggunakan

dokumen yang ada di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

Bahan hukum primer adalah dengan melakukan penelusuran

terhadap semua peraturan perundang-undangan yang dimaksud yaitu

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Bahan hukum sekunder dengan cara menyimak bahan hukum yang

bersumber dari buku hukum, jurnal hukum, dan kamus hukum.

D. Analisis Data

Data yang diperoleh, baik data primer maupun data sekunder

dianalisis dengan Teknik kualitatif kemudian disajikan secara deskriptif

yaitu menjelaskan, menguraikan, dan menggambarkan sesuai dengan

permasalahan yang erat kaitannya dengan penelitian ini.

48
DAFTAR PUSTAKA

A. Rasyid, Roihan. 1991. Hukum Acara Peradilan Agama. Raja Grafindo


Persada, Jakarta.

Hadikusuma, Hilman. 2003. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut:


Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama. Cetakan Kedua. Mandar
Maju, Bandung.

Harahap, M. Yahya. 2005. Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan,


Pesidangan, Penyitaan, Pembuktian Dan Putusan Pengadilan.
Cetakan Ketiga. Sinar Grafika, Jakarta.

Idris Ramulyo, Mohd. 2004. Hukum Perkawinan Islam. Sinar Grafika,


Jakarta.

M.A. Tihami dan Sohari Sahrani. 2009. Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah
Lengkap. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Nasution, Khoiruddin. 2009. Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia


dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim. Academia +
Tazzafa, Yogyakarta.

Rasjidi, Lili. 1983. Alasan Perceraian Menurut UU No. 1 Tahun 1974


Tentang Perkawinan. Alumni, Bandung.

Soimin, Soedharyo. 2004. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Cetakan


Kelima. Sinar Grafika, Jakarta.

Undang-Undang

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Undang-undang Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan


Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

49

Anda mungkin juga menyukai