Anda di halaman 1dari 19

UPAYA HUKUM DALAM HAK ASUH ANAK SETELAH PERCERAIAN

(STUDI PENELITIAN DI PENGADILAN NEGERI LHOKSEUMAWE)

KELAS :
METODE PENELITIAN V-F

DISUSUN OLEH :
TRYAN HABIB MAHARDIKA 210510107

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS MALIKUSSALES
FAKULTAS HUKUM
2023
KATA PENGANTAR

Allhamdulillahi rabbil ‘alamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah

SWT atas segala nikmat, rahmat, dan hidayah serta kesempatan dan kesehatan yang

diberikan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas metode penelitian

hukum ini yang berjudul “ UPAYA HUKUM DALAM HAK ASUH ANAK

SETELAH PERCERAIAN.(STUDI PENELITIAN DI PENGADILAN NEGERI

LHOKSEUMAWE) “

Dalam proses penyusunan proposal ini, penulis banyak mendapatkan

bimbingan dan arahan yang bermanfaat . Oleh karena itu, penulis ingin

menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Dr.Yulia

S.H., M.H selaku Dosen pengampu pada mata kuliah Metode Penelitian Hukum ini.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa Metode Penelitian Ilmiah ini masih

jauh dari sempurna dikarenakan terbatasnya pengalaman yang kami miliki.Oleh

karena itu, kami mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik

yang membangun dari berbagai pihak. Akhirnya kami berharap semoga Metode

Penelitian Ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.

Lhokseumawe, 30
Oktober 2023

Tryan Habib Mahardika

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i

DAFTAR ISI...........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................... 5

1.3 Tujuan Penelitian ....................................................................................... 6

1.4 Manfaat Penelitian ..................................................................................... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 8

2.1 Pengertian Hak Asuh Anak (Hadhanah) .................................................... 8

2.2 Penyerahan Hah Asuh Anak Berdasarkan undang undang nomor 1 tahun
1974 tentang perkawinan ................................................................................. 9

2.3 Pencabutan Hak Asuh Anak .................................................................... 11

BAB III METODE PENELITIAN .................................................................... 14

3.1 Jenis Penelitian......................................................................................... 14

3.2 Pendekatan Penelitian .............................................................................. 14

3.3 Metode Pengumpulan Data ...................................................................... 14

3.4 Teknik Pengolahan Data .......................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 16

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkawinan adalah ikatan suci antara seorang pria dan wanita yang saling

mencintai dan menyayangi dalam suatu rumah tangga. Melalui perkawinan dua

insan yang berbeda disatukan dengan segala kelebihan dan kekurangan masing

masing. Perkawinan yang diadakan diharapkan dapat berlangsung selama lamanya

sampai ajal memisahkan.

Sejak diberlakukannya Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang

perkawinan, yang berlaku untuk seluruh rakyat Indonesia dan diseluruh wilayah

Indonesia, maka sejak itulah setiap perkawinan harus didasarkan pada Undang-

undang nomor 1 tahun 1974 serta peraturan pelaksanaannya dan semua peraturan

yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini

dinyatakan tidak berlaku lagi1

Tujuan perkawinan menurut Pasal 1 Undang-undang nomor 1 tahun 1974

adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Meskipun demikian tidak setiap

perkawinan dapat mencapai tujuan tersebut dengan baik. Walaupun perkawinan itu

ditujukan untuk selama-lamanya, namun dalam kenyataannya, tidaklah selalu

tujuan perkawinan tersebut dapat dicapai dengan memuaskan. Dalam kelangsungan

hidup perkawinan yang telah diikat dan diusahakan dengan susah payah tersebut,

1
Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1986). Hal.47

1
bahkan kadang-kadang disertai pula dengan pengorbanan-pengorbanan moril dan

materil, tidak jarang diwarnai oleh bermacam-macam hambatan. Hambatan-

hambatan tersebut dapat berupa terjadinya perselisihan-perselisihan yang kadang-

kadang mencapai puncaknya, dapat berupa tekanan-tekanan ekonomi dan dapat

pula berupa kematian salah satu pihak, dan lain sebagainya, yang kesemuanya itu

akan mengakibatkan perkawinan tersebut menjadi bubar atau terjadi perceraian.

Betapapun bentuk perceraian itu, namun perceraian bukanlah perbuatan yang

terpuji. Karena itu perselisihan, percekcokan dan pembangkangan yang

melatarbelakangi sampai akhirnya timbul perceraian sungguh bukan perbuatan

terpuji. Bergaul dengan baik, rukun dan damai dalam kehidupan berumah tangga

antara suami istri adalah suatu perbuatan yang terpuji. Perceraian adalah tindakan

terakhir atau sebagai way out yang dilakukan setelah terlebih dahulu menempuh

jalan-jalan untuk menempuh usaha-usaha perdamaian, perbaikan dan sebagainya,

tidak ada jalan lain kecuali dengan melakukan perceraian demi kebahagian yang

dapat diharapkan sesudah terjadinya perceraian.2

Tidak ada seorang pun ketika melangsungkan perkawinan mengharapkan

akan mengalami perceraian, apalagi jika dari perkawinan itu telah dikaruniai anak.

Walaupun demikian ada kalanya ada sebab-sebab tertentu yang mengakibatkan

perkawinan tidak dapat lagi diteruskan sehingga terpaksa harus terjadi perceraian

antara suami istri.3

2
H.M. Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian Di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981).
Hal.32
3
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 2004).
Hal. 156.

2
Memilih bercerai, berarti harus berhadapan dengan pengadilan, sebab

proses perceraian yang sah menurut hukum hanya dapat ditempuh melalui

pengadilan saja. Untuk melakukan perceraian salah satu dari pihak suami atau istri

mengajukan permohonan atau gugatan cerai ke Pengadilan. Adapun pengadilan

yang berwenang memeriksa dan memutuskan perkara perceraian yaitu Pengadilan

Agama bagi mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi mereka yang

beragama selain islam.

Jika setelah diperiksa ternyata ada alasan yang cukup mengabulkan gugatan

cerai yang diajukan tersebut, maka Majelis Hakim akan mengabulkan permohonan

atau gugatan cerai tersebut.

Salah satu hal yang perlu dipertimbangkan oleh suami istri yang akan

melakukan perceraian adalah masalah anak yang telah dilahirkan dalam perkawinan

itu. Masalah anak meliputi tentang siapakah yang berwenang dan berkewajiban

serta bertanggungjawab terhadap perwalian anak, penyusuan dan pemeliharaannya,

pembiayaan hidupnya, pendidikannya, pengurusan hartanya, dan sebagainya.

Dalam hal ini perceraian akan membawa akibat hukum terhadap anak, yaitu anak

harus memilih untuk ikut ayah atau ibunya, maka yang menjadi pilihan anak itulah

yang berhak memeliharanya.4 Hal ini merupakan suatu pilihan yang sama-sama

memberatkan, karena seorang anak membutuhkan kedua orang tuanya. Meskipun

demikian karena konsekuensi dari perceraian adalah seperti itu, maka anak harus

tetap memilih untuk ikut salah satu orang tuanya.

4
Abdurrahman, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990). Hal. 27

3
Kekuasaan salah satu atau kedua orang tua dapat dicabut apabila salah satu

atau keduanya telah melalaikan kewajibannya terhadap anaknya dan/atau

berkelakuan sangat buruk. Permohonan pencabutan kekuasaan orang tua tersebut

dapat dilakukan oleh salah satu dari orang tua terhadap orang tua lain (Ibu kepada

Bapak si Anak atau Bapak terhadap Ibu si Anak), kakek/nenek dari si anak, atau

kakak dari si Anak yang sudah dewasa.

Ayah dan ibu adalah orang tua anak-anaknya. Walaupun ayah dan ibu telah

bercerai, anak tetap berhak mendapat kasih dan sayang dari keduanya. Ayah tetap

berkewajiban memberi nafkah kepada anaknya. Anak berhak menjadi ahli waris

karena merupakan bagian dari ayah dan ibunya. Anak gadis pun harus dinikahkan

oleh ayahnya, bukan oleh ayah tiri.

Dalam hal sidang pengadilan yang menangani perceraian, untuk anak yang

masih belum berumur 18 tahun biasanya hakim memutuskan ikut dengan ibunya.

Hal ini didasarkan pertimbangan bahwa anak dengan umur seperti itu masih sangat

membutuhkan kasih sayang ibunya. Ini bukan berarti ayah tidak sanggup

memberikan kasih sayang yang dibutuhkan anak, akan tetapi seorang ayah biasanya

sibuk bekerja sehingga waktu yang dimiliki untuk memperhatikan anak itu kurang.

Hak asuh anak dalam suatu perceraian pada dasarnya merupakan

kesepakatan antara para pihak, tidak secara otomatis dapat diperoleh oleh salah satu

pihak saja dari orang tua. Mengingat usia anak masih dibawah umur, apabila tidak

terjadi kesepakatan antara suami istri yang sedang berseteru, sebaiknya dalam

gugatan cerai sekaligus dimohonkan kepada Hakim agar memutuskan memberikan

hak asuh anak.

4
Walaupun telah ada ketentuan-ketentuan hukum perundangan yang

memberikan hak pemeliharaan anak yang masih di bawah umur kepada ibunya,

akan tetapi dalam hal anak yang masih di bawah umur itu sudah bisa memilih untuk

ikut ayahnya atau ikut ibunya, maka anak diberikan kesempatan untuk memilih

sendiri.5

Dalam kenyataannya perselisihan mengenai kuasa asuh terhadap anak

hanya merupakan formalitas semata di mana salah satu pihak yang memperoleh

kuasa asuh tersebut kemudian ternyata tidak menjalankan kewajibannya. Dengan

demikian kepentingan anak menjadi terabaikan dan penguasaan terhadap anak

menjadi tidak jelas. Berdasarkan latar belakang tersebut, dilakukan penelitian

mengenai pertimbangan orang tua mendapatkan hak asuh terhadap anak setelah

putusnya perkawinan karena suatu perceraian dan akibat hukum terhadap orang tua

yang tidak dapat melaksanakan kekuasaannya terhadap anak setelah perkawinan

putus karena suatu perceraian.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas timbul beberapa permasalahan yang akan diteliti

dalam pembahasan. Rumusan masalah antara lain :

1. Bagaimana pertimbangan hakim pengadilan negeri Lhokseumawe

mengenai penyerahan hak asuh anak dibawah umur kepada salah satu dari

orangtua, berdasarkan undang undang nomor 1tahun 1974 tentang

perkawinan ?

5
Kamal Mukhtar, loc. cit., hal. 89.

5
2. Apa upaya hakim jika terjadi kelalaian atau berperilaku buruk salah satu

orang tua yang sudah diberikan hak asuh anak kepada anak tersebut

berdasarkan undang undang?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui bentuk pelindungan hukum mengenai penyerahan hak

asuh anak dibawah umur kepada salah satu dari orangtua , berdasarkan

undang undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan

2. Bertujuan menganalisis mengenai perlindungan hukum terhadap hak asuh

anak

3. Bertujuan untuk mengetahui mengenai pemindahan hak asuh anak

terhadap kelalaian atau sifat keburukan orangtua anak tersebut

1.4 Manfaat Penelitian

1. Bagi penulis, penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan

tentang perlindungan hak asuh anak setelah terjadinya perceraian.

2. Bagi masyarakat umum, penelitian ini dapat memberikan informasi dan

pemahaman tentang hak-hak anak yang dilindungi oleh undang-undang

serta langkah-langkah hukum yang dapat diambil jika terjadi perceraian

untuk melindungi hak asuh anak.

3. Bagi orang tua, penelitian dapat memberikan kesadaran dan menumbuhkan

tanggung jawab kepada orang tua terkait dampak ketika perceraian terjadi.

6
4. Bagi pemerintah, penelitian ini dapat memberikan masukan serta saran

dalam pembentukan peraturan.

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Hak Asuh Anak (Hadhanah)

Pemeliharaan anak dalam bahasa Arab disebut dengan istilah “hadhanah”.

Hadhanah menurut bahasa berarti “meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk atau di

pangkuan”, karena ibu waktu menyusukan anaknya meletakkan anak itu di

pangkuannya, seakan-akan ibu di saat itu melindungi dan memelihara anaknya,

sehingga “hadhanah” dijadikan istilah yang maksudnya: “pendidikan dan

pemeliharaan anak sejak dari lahir sampai sanggup berdiri sendiri mengurus dirinya

yang dilakukan oleh kerabat anak itu”.6

Sayyid Sabiq Hadhanah adalah melakukan pemeliharaan anak-anak yang

masih kecil baik laki-laki atau perempuan atau yang sudah besar tetapi belum

tamyiz, tanpa perintah dari padanya, menyediakan sesuatu yang menjadikan

kebaikannya, menjaganya dari suatu yang merusak jasmani, rohani, dam akalnya

agar mampu berdiri sendiri dalam menghadapi hidup dan dapat memikul tanggung

jawab apabila ia sudah dewasa.7

Pemeliharaan anak juga mengandung arti sebuah tanggung jawab orangtua

untuk mengawasi, memberi pelayanan yang semestinya serta mencukupi kebutuhan

hidup dari seorang anak oleh orangtua. Selanjutnya tanggung jawab pemeliharaan

berupa pengawasan dan pelayanan serta pencukupan nafkah anak tersebut bersifat

6
Zakiah Darajat, Ilmu Fiqh, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm :157
7
Ibid.,hlm: 425

8
kontinue sampai anak tersebut mencapai batas umur yang legal sebagai orang

dewasa yang telah mampu berdiri sendiri.8

Hadhanah dalam hukum perdata biasa disebut dengan istilah pengasuhan

atau perwalian. Hak pengasuhan atau perwalian merupakan hak seorang anak dari

orang tua dan juga merupakan kewajiban orang tua terhadap anak. Pasal 45 ayat (1)

dan ayat (2) Undang-Undang Perkawinan memuat ketentuan imperatif bahwa

kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-

baiknya. Kewajiban tersebut berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri

sendiri.

2.2 Penyerahan Hah Asuh Anak Berdasarkan undang undang nomor 1 tahun 1974

tentang perkawinan

Di dalam UU No. 1 Tahun 1974 pasal 41 disebutkan bahwa baik ibu atau

bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata

berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan

anak-anak, Pengadilan memberikan keputusannya. Ayah maupun ibu diberikan hak

yang sama untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya pasca perceraian. Oleh

karena itu pasangan yang bercerai dapat bermufakat untuk menentukan siapa yang

akan memelihara anak-anak mereka, Apabila tidak ditemukan permufakatan maka

8
M.Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir Trading, 1975), hlm: 204

9
dapat diserahkan pada pengadilan. Pengadilan yang akan memilih dan menetapkan

siapa diantara mereka yang akan lebih baik dalam mengurus kepentingan anak.

Pasal 45 UU No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa kedua orang tua wajib

memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban ini

berlaku sampai anak menikah atau dapat berdiri sendiri dan kewajiban tersebut

tetap berlaku meskipun perkawinan antara kedua orangtua putus. Bila hak asuh

anak jatuh ke tangan ibu, sang ayah masih tetap memiliki hak untuk berkunjung

menemui anak Menurut ajaran Islam ibu adalah orangtua yang paling berhak untuk

mendapatkan hak asuh anak. Ini disebabkan karena ibu menjadi sosok yang paling

dekat dengan buah hati, mulai dari mengandung, melahirkan hingga menyusui. Ibu

mendapatkan hak asuh anak sepenuhnya apabila sang anak masih dibawah umur

atau berusia kurang dari 12 tahun. Namun ayah juga bisa mendapatkan hak

mengasuh anak apabila ibu dinilai memiliki tabiat buruk yang membahayakan anak.

Perceraian kedua orangtua berdampak terhadap anak oleh karena itu di dalam UU

No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai berikut:

1. Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial

sesuai dengan kebutuhan fisik, mental spiritual, dan sosial.

2. Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain

manapun yang bertanggungjawab atas dan dari perlakuan diskriminasi,

ekploitasi, baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman,

kekerasan, penganiayaan, keadilan dan perlakuan salah lainnya.

3. Setiap anak berhak untuk diasuh orangtuanya sendiri, kecuali jika ada

alasan dan /atau aturan hukum yang sah yang menunjukan bahwa

10
pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan

pertimbangan terakhir meskipun sudah ada ketentuan hukum bahwa salah

satu orangtua merupakan pemegang kuasa asuh anak, tidak ada alasan lain

untuk melarang mantan pasangannya untuk bertemu dengan anaknya.

Sedangkan dalam pasal 26 disebutkan bahwa orangtua berkewajiban dan

bertanggungjawab untuk :

1. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;

2. Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan

minatnya.

3. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

Demikian penjelasan ini disampaikan sebagai pendapat hukum yang tidak

memiliki kekuatan hukum mengikat sebagaimana putusan/penetapan pengadilan.

Dasar hukum: UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan (Pasal 41 dan 45) , UU

No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Kompilasi Hukum Islam.9

2.3 Pencabutan Hak Asuh Anak

Pemberikan hak asuh anak kepada ibu tidaklah bersifat tetap. Artinya, apabila

terdapat alasan-alasan hukum yang rasional untuk tidak memberikan hak asuh anak

ke ibu, maka hak asuh anak dapat beralih kepada ayah dari anak tersebut. Dalam

praktek, biasanya ayah dari anak melakukan upaya hukum “pembatalan/

9
https://lsc.bphn.go.id/konsultasiView?id=1220

11
pencabutan hak asuh anak dari ibu” apabila seorang ayah tersebut merasa selama

anak diasuh oleh ibu dari anak tidak mendapat perlakuan yang baik.

Aturan hukum yang mendasari melakukan pembatalan/pencabutan hak asuh

anak tersebut adalah Pasal 30 UU 23 Tahun 2002 Jo. UU No. 35 tahun 2014

tentang Perlindungan Anak.

1. Dalam hal orang tua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, melalaikan

kewajibannya, terhadapnya dapat dilakukan tindakan pengawasan

atau kuasa asuh orang tua dapat dicabut.

2. Tindakan pengawasan terhadap orang tua atau pencabutan kuasa asuh

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui penetapan

pengadilan.10

Dalam pasal 49 UU no. 1 Tahun 1972 disebutkan bahwa salah seorang atau

kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk

akibat yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis

lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang

dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal sang ayah/ibu sangat melalaikan

kewajibannya terhadap anaknya dan berkelakuan buruk sekali. Meskipun orang tua

dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberikan biaya

pemeliharaan kepada anak tersebut. Menurut Kompilasi hukum Islam Pasal 105

biasanya Pengadilan akan memberikan hak asuh pengurusan dan pemeliharaan

10
https://www.legalkeluarga.id/pencabutan-hak-asuh-anak-oleh-ayah-di-
pengadilan/#:~:text=Aturan%20hukum%20yang%20mendasari%20melakukan,tahun%202014%2
0tentang%20Perlindungan%20Anak.

12
kepada ibu jika anak masih dibawah umur ( belum 12 tahun), setelah berusia 12

tahun diberikan kebebasan memilih untuk diasuh oleh ayah atau ibunya. Ada

beberapa hal yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam yang menyebabkan hak

asuh anak tidak jatuh ke tangan ibu :

1. Ibu tidak beragama Islam atau pindah ke agama lain

2. Bertingkah buruk, seperti mabuk, judi dan suka menyiksa

3. Mengalami gangguan kesehatan mental.11

Sangat jelas bahwa anak memiliki hak mendasari dalam hidupnya, yaitu

“Hak untuk mendapatkan kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan”.

11
https://lsc.bphn.go.id/konsultasiView?id=1220

13
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian Evaluatif, yaitu peneletian yang mengevaluasi atas dasar apa hakim

menyerahkan hak anak tersebut kepada salah satu dari orang tua anak tersebut.

3.2 Pendekatan Penelitian

Yuridis Normatif, yaitu jenis pendekatan pada kepustakaan yang dilakukan

dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka atau bahan data sekunder (buku,

makalah, dan pendapat para ahli). Pendekatan ini menitikberatkan pada analisis

masalah berdasarkan prinsip-prinsip hukum dan mengandalkan data yang diperoleh

melalui studi kepustakaan, terutama dengan sumber-sumber yang tersedia di

perpustakaan. Penelitian ini menitikberatkan pada aspek-aspek hukum, terutama

dalam konteks peraturan perundang-undangan dan implementasinya.

3.3 Metode Pengumpulan Data

Dalam pelaksanaan penelitian ini, digunakan tiga teknik pengumpulan data

yang disusun sebagai berikut:

1. Pengamatan (Observasi):

Penggunaan teknik observasi melibatkan proses pengamatan dan pencatatan

yang dilakukan secara sistematis terkait dengan fenomena yang menjadi

objek penelitian. Observasi ini dianggap relevan apabila sesuai dengan

14
tujuan penelitian, diatur dengan perencanaan yang matang, dicatat secara

terstruktur, dan memungkinkan untuk melakukan pengendalian guna

memastikan keandalan (reabilitasi) serta validitas (kesahihan) data yang

diperoleh.

2. Dokumentasi:

Dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data yang melibatkan

pengamatan dan analisis dokumen yang relevan dengan penelitian.

Dokumen yang dapat digunakan mencakup berbagai jenis, termasuk teks

tertulis seperti peraturan, keputusan, atau dokumen terkait, serta bahan

berupa gambar atau karya-karya lain yang berkaitan dengan masalah

penelitian. Penyusunan tiga teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan

tujuan untuk memastikan kelengkapan dan keakuratan informasi yang

diperlukan dalam penelitian ini.

3.4 Teknik Pengolahan Data

Pada tahap pengolahan dan analisis data, metode yang digunakan adalah

analisis kuantitatif. Data yang telah terkumpul bersifat deskriptif, dalam bentuk

kata-kata dan penelaahan terhadap buku, makalah, jurnal dan putusan itu sendiri.

Data tersebut diperoleh melalui berbagai sumber, seperti hasil catatan, dokumen

perorangan, memorandum, dan dokumen resmi yang berkaitan dengan peran

Putusan Pengadilan Negeri Lhokseumawe dalam mengadili perkara tersebut.

15
DAFTAR PUSTAKA

Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia,


1986). Hal.47

H.M. Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian Di Indonesia, (Jakarta: Ghalia


Indonesia, 1981). Hal.32

Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan


Bintang, 2004). Hal. 156.

Abdurrahman, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang,


1990). Hal. 27

Kamal Mukhtar, loc. cit., hal. 89.

Zakiah Darajat, Ilmu Fiqh, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm :157

Ibid.,hlm: 425

M.Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir Trading, 1975),


hlm: 204

https://lsc.bphn.go.id/konsultasiView?id=1220

https://www.legalkeluarga.id/pencabutan-hak-asuh-anak-oleh-ayah-di-
pengadilan/#:~:text=Aturanhukumyangmendasarimelakukan,tahun2014tentangPer
lindunganAnak.

16

Anda mungkin juga menyukai