Anda di halaman 1dari 21

PERWALIAN, HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI

Makalah ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih Munakahat,
Mawaris, dan Jinayat

Dosen Pengampu:

Drs. Rusdi, M. Ag.

Disusun Oleh:

Kelompok 4

Mega Nurlita 11220110000004

Siti Nurkholizah 11220110000014

Risa Marjanah 11220110000023

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2023 M / 1444 H
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah Swt.


yang senantiasa memberikan kita beribu-ribu nikmat, salah satu diantaranya
adalah nikmat sehat wal’afiyat sehingga kita masih bisa menikmati serta
menjalankan kehidupan kita didunia. Dan berkat rahmat dan karunia-Nya juga
makalah dengan tema “PERWALIAN, HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI
ISTERI” bisa
terselesaikan.

Tidak lupa pula sholawat serta salam kita haturkan kepada junjungan kita
Nabiyuna Nabi Muhammad Saw. yang mana telah membawa kita dari zaman
kegelapan menuju zaman terang-benderang, dari zaman kebodohan hingga zaman
kepintaran, dari zaman jahiliyah menuju zaman islamiyah dan yang telah
menyebarkan agama islam diberbagai penjuru dunia.

Terimakasih kami ucapkan kepada Bapak Drs. Rusdi, M. Ag. yang telah
mempercayai kami dalam membuat makalah ini. Terimakasih juga kami ucapkan
kepada kakak-kakak, saudara/i yang sudah berkenan membantu kami dalam
proses pembuatan makalah ini sehingga berjalan dengan lancar.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Ciputat, 04 Oktober 2023

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
A. Latar Belakang............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.......................................................................................2
C. Tujuan..........................................................................................................2
BAB II.....................................................................................................................3
PEMBAHASAN......................................................................................................3
A. Perwalian......................................................................................................3
1. Pengertian Perwalian..............................................................................3
2. Urutan Wali Nikah..................................................................................3
3. Wali Anak Kecil.......................................................................................6
4. Wali Orang Gila.......................................................................................7
5. Wali Orang Bodoh (Safih)......................................................................8
6. Syarat-Syarat Wali..................................................................................8
B. Hak dan Kewajiban Suami Istri................................................................8
1. Hak Suami dan Kewajiban Isteri...........................................................9
2. Hak Isteri dan Kewajiban Suami........................................................11
3. Kewajiban Bersama Suami Isteri........................................................14
4. Harta Bersama dalam Perkawinan dan Pengaturannya...................15
BAB III..................................................................................................................17
PENUTUP.............................................................................................................17
A. Simpulan.....................................................................................................17
B. Saran...........................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................18

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Wali merupakan salah satu rukun dalam pernikahan. Oleh karena
itu, keberadaan nya sangat penting sebab jika tidak ada wali, maka
pernikahannya tidak sah. Wali mempunyai kedudukan sebagai orang yang
bertindak atas nama mempelai perempuan dan sebagai orang yang
dimintai persetujuan untuk melangsungkan pernikahan. Seorang anak yang
lahir ke dunia, serta merta membutuhkan orang lain untuk memeliharanya,
baik terhadap dirinya maupun harta bendanya. Ia membutuhkan orang lain
yang untuk mengawasi dan mengasuhnya selama ia masih belum dewasa.
Ia juga membutuhkan orang lain untuk menjaga, memelihara, mendidik,
dan melaksanakan bermacam-macam urusan yang berhubungan dengan
jasmani dan rohaninya, serta membutuhkan orang lain untuk mengawasi
urusan hak miliknya agar dapat dipelihara dan dikembangkan. Anak yang
masih di bawah umur tidak dapat melakukan perbuatan hukum sendiri
tanpa bantuan dari orang tua atau walinya.
Pernikahan banyak mengalami perubahan status yang disandang
laki-laki dan perempuan. Laki-laki yang nantinya akan menyandang status
sebagai seorang suami, dan perempuan menyandang status sebagai
seorang istri. Dari perubahan itu, mengakibatkan adanya peranan baru dan
hak-hak serta kewajiban dari laki-laki dan perempuan setelah menyandang
status tersebut. Dengan adanya hak-hak dan kewajiban suami istri inilah
yang nantinya akan tercipta keluarga yang harmonis, sakinah, mawaddah,
dan warrahmah.

1
B. Rumusan Masalah
Adapun pokok permasalan yang akan dilampirkan adalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian dari perwalian?
2. Apa saja urutan wali nikah?
3. Apa saja macam-macam perwalian?
4. Apa saja syarat-syarat wali?
5. Apa saja Hak dan Kewajiban Suami Isteri?
6. Apa itu Harta bersama dalam Perkawinan dan Bagaimana
Pengaturannya?

C. Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini, dilihat dari rumusan masalah
tersebut, adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian dari perwalian.
2. Untuk mengetahui urutan wali nikah.
3. Untuk mengetahui macam-macam perwalian.
4. Untuk mengetahui syarat-syarat wali.
5. Untuk mengetahui Hak dan Kewajiban Suami Isteri.
6. Untuk mengetahui Harta bersama dalam Perkawinan
dan Pengaturannya.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Perwalian
1. Pengertian Perwalian
Perwalian merupakan wewenang yang diberikan kepada seseorang
untuk melakukan suatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk
kepentingan tertentu atas nama anak yang tidak memiliki orang tua,
atau orang tuanya masih hidup namun tidak cakap dalam melakukan
perbuatan hukum tersebut.1
Wali memegang peranan penting dalam pernikahan sebab menurut
Imam Syafi'i dan Maliki, keberadaan wali merupakan salah satu rukun
nikah, dan menurut Imam Hanafi dan Hanbali wali merupakan salah
satu syarat nikah. Meskipun berbeda pendapat, mereka sepakat bahwa
pernikahan tanpa adanya wali nikah dari pihak perempuan hukumnya
tidak sah atau batal.

2. Urutan Wali Nikah


Dalam pernikahan, terdapat perbedaan pendapat dikalangan para
ulama mengenai orang yang harus didahulukan untuk menjadi wali
nikah. Diantaranya ialah sebagai berikut:
a. Menurut Imam Syafi'i, orang yang harus didahului untuk
menjadi wali nikah ialah:
1) Ayah, kakek, Mbah buyut, dan seterusnya sampai ke
atas.
2) Saudara laki-laki yang sekandung (se-ayah dan se-ibu).
3) Saudara laki-laki yang se-ayah.

1
Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, Cet. 1, (Jakarta: Prenadamedia Group,
2016), h. 135.

3
4) Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sekandung
(keponakan laki-laki)
5) Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang se-ayah, dan
seterusnya sampai bawah.
6) Saudara laki-laki ayah yang sekandung (paman).
7) Saudara laki-laki ayah yang se-ayah.
8) Saudara sepupu (anak laki-laki dari paman yang
sekandung dengan ayah).
9) Saudara sepupu (anak laki-laki dari paman yang se-
ayah dengan ayah), dan begitu seterusnya sampai
bawah.

b. Menurut Imam Maliki, orang yang didahului untuk menjadi


wali nikah ialah:
1) Ayah
2) Al-Washi, yaitu orang yang menerima wasiat dari ayah
untuk menjadi wali.
3) Anaknya yang laki-laki (meskipun hasil dari
perzinahan).
4) Cucu laki-laki.
5) Saudara laki-laki yang sekandung.
6) Saudara laki-laki yang se-ayah.
7) Anak laki-laki dari saudara sekandung (keponakan laki-
laki).
8) Anak laki-laki dari saudara yang se-ayah (keponakan
laki-laki).
9) Kakek yang se-ayah.
10) Paman yang sekandung dengan ayah.
11) Anak laki-laki dari paman yang sekandung dengan ayah
(Saudara sepupu laki-laki).
12) Paman yang se-ayah dengan ayah.

4
13) Anak laki-laki dari paman yang se-ayah dengan ayah
(Saudara sepupu laki-laki).
14) Ayah dari kakek (Mbah buyut).
15) Pamannya ayah.
16) Orang yang mengasuh pengantin perempuan.

c. Menurut Imam Hanafi, orang yang didahului untuk menjadi


wali nikah ialah:
1) Anak laki-laki, cucu laki-laki, dan seterusnya sampai
bawah.
2) Ayah, kakek (ayah nya ayah), dan seterusnya sampai ke
atas.
3) Saudara laki-laki yang sekandung.
4) Saudara laki-laki yang se-ayah.
5) Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sekandung
(keponakan laki-laki).
6) Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang se-ayah
(keponakan laki-laki) dab seterusnya sampai bawah.
7) Paman yang bersaudara sekandung dengan ayah.
8) Paman yang bersaudara se-ayah dengan ayah.
9) Anak laki-laki dari paman yang bersaudara sekandung
dengan ayah (Saudara sepupu), dan seterusnya sampai
bawah.

d. Apabila wali-wali yang telah disebutkan tidak ada semua, maka


yang berhak menjadi wali ialah:
1) Ibu.
2) Nenek (ibu dari ayah).
3) Anak perempuan.
4) Cucu perempuan dari anak laki-laki.

5
5) Cucu perempuan dari anak perempuanAnak perempuan
dari cucu laki-laki.
6) Anak perempuan dari cucu perempuan dan seterusnya
sampai bawah.
7) Kakek (ayah dari ibu).
8) Saudara perempuan yang sekandung.
9) Saudara perempuan yang se-ayah.
10) Saudara se-ibu dan anak-anak nya.
11) Bibi (saudara perempuan nya ayah).
12) Paman (saudara laki-laki nya ibu).
13) Bibi (saudara perempuan nya ibu).
14) Anak perempuan dari paman dan bibi (sepupu
perempuan) dan anak-anak, begitu seterusnya sampai
bawah.2

Apabila wali-wali nikah yang paling berhak tersebut tidak


memenuhi syarat sebagai wali nikah atau memungkinkan untuk tidak
hadir, maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah
tersebut.3

3. Wali Anak Kecil


Para ulama sepakat bahwa wali bagi anak kecil ialah ayahnya,
sedangkan ibunya tidak mempunyai perwalian, kecuali menurut
sebagian ulama Syafi'i. Namun, para ulama berbeda pendapat
mengenai wali bagi anak kecil yang bukan ayahnya.

2
Mohammad Asmawi, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan, Cet. 1, (Yogyakarta:
Penerbit Darussalam, 2004), h. 69-72.
3
Mahmudin Bunyamin dan Agus Hermanto, Hukum Perkawinan Islam, Cet. 1,
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2017), h. 14.

6
a. Menurut Imam Hambali dan Maliki
Wali setelah ayah ialah orang yang diberi wasiat oleh ayah.
Kalau ayah tidak berwasiat kepada siapapun, maka perwalian
jatuh ke tangan hakim syar'i. Menurut mereka, kakek tidak
mempunyai hak sama sekali terhadap perwalian sebab kakek
tidak bisa menggantikan posisi ayah.
b. Menurut Imam Hanafi
Wali sesudah ayah ialah orang yang diberi wasiat oleh
ayah. Kalau memang tidak berwasiat kepada siapapun, maka
perwalian jatuh ke tangan kakek dari pihak ayah, lalu orang
yang diberi wasiat oleh kakek, kalau kakek tidak berwasiat
kepada siapapun, barulah perwalian jatuh ke tangan hakim.
c. Menurut Imam Syafi'i
Wali pertama ialah ayah, lalu kakek, dan dari kakek jatuh
kepada orang yang menerima wasiat dari ayah. Jika ayah tidak
berwasiat kepada siapapun, maka perwalian jatuh kepada
penerima wasiat kakek. Jika penerima wasiat dari kakek pun
tidak ada, maka barulah perwalian jatuh ke tangan hakim.
d. Menurut Imamiyah
Wali pertama ialah ayah, lalu kakek dari pihak ayah, jika
tidak ada ayah dan kakek, maka perwalian jatuh ke tangan
orang yang menerima wasiat ayah atau kakek. Namun apabila
penerima wasiat dari keduanya tidak ada, maka barulah
perwalian jatuh ke tangan hakim syar'i.

4. Wali Orang Gila


Wali orang gila yang dimaksud di sini yaitu orang yang memang
sudah gila sejak kecil, walinya ialah ayah dan kakeknya. Namun orang

7
yang gila setelah mereka beranjak dewasa, maka perwalian jatuh ke
tangan hakim.

5. Wali Orang Bodoh (Safih)


Imam Hanafi, Hambali, dan Imamiyah sepakat bahwa apabila anak
kecil yang telah baligh dalam keadaan mengerti, lalu terkena ke-safih-
an (idiot), maka perwalian nya langsung jatuh ke tangan hakim.4

6. Syarat-Syarat Wali
a. Islam. Orang kafir tidak sah menjadi wali nikah.
b. Baligh, karena kedewasaan menjadi tolak ukur kemampuan
berpikir dan bertindak secara sadar dan sadar. Oleh sebab itu, anak-
anak tidak diperbolehkan menjadi wali nikah.
c. Berakal sehat. Orang gila tidak sah menjadi wali nikah.
d. Laki-laki.
e. Adil.
f. Tidak sedang berihram haji ataupun umrah.5

B. Hak dan Kewajiban Suami Istri


Perkawinan tidak hanya bermakna untuk merealisasikan ibadah kepada
Allah Swt., tetapi sekaligus menimbulkan akibat hukum keperdataan di
antara keduanya. Walaupun demikian, karena tujuan dari pernikahan yaitu
membina keluarga bahagia, abadi, kekal, dan berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa, perlu adanya hak dan kewajiban suami dan isteri. Jika
hak dan kewajiban tersebut terpenuhi, maka bahtera rumah tangga
pun dapat

4
H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, Ed. 1, Cet. 2, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2010), h. 208-210.
5
Abber Hasibuan, Perwalian dalam Nikah Menurut Pandangan Hukum Islam, Jurnal Al-
Ashlah, Vol. 1, No. 2, 2017, Doi: https://jurnal.staimaarifjambi.ac.id/index.php/Al-
Ashlah/article/download/11/6
8
terwujud dengan didasari oleh rasa cinta dan kasih sayang.6 Berikut ini
penjelasan tentang hak dan kewajiban suami istri:7

1. Hak Suami dan Kewajiban Isteri


a. Pemeliharaan dan Perlindungan
Pemeliharaan merupakan tanggung jawab yang tidak terputus
dan terhenti. Ini membutuhkan pengaturan hidup, mempertahankan
perlindungan, dan keamanan rumah tangga. Lalu menuntut
perasaan kejiwaan khusus yang mengingatkan perasaan-perasaan
dengan tanggung jawab atas pemeliharaan dan mengikutinya.
Perempuan sebagai tempat yang membawa janin dari laki-laki.
Wajib bagi laki-laki untuk menjaganya dari segala gangguan dan
penyalahgunaan. Hal tersebut tidak sempurna kecuali dengan
melakukan dan memberikan hak perlindungan dalam masyarakat
dengan keberadaan laki-laki dalam rumahnya di bawah tanggung
jawabnya.
b. Taat pada Selain Maksiat
Taat pada suami selain perbuatan maksiat kepada Allah Swt.
menjadikan keluarga tenang. Sedangkan perselisihan dapat
melahirkan permusuhan dan kebencian, menyebabkan kecelakaan
dan merusak kasih sayang suami istri, mengeraskan hati keduanya
dan juga hati anak-anaknya.
Perempuan mana pun yang mendurhakai suaminya, baginya
laknat Allah dan semua malaikat. Perempuan yang bermuka
masam di depan suaminya maka Allah membencinya sehingga ia
membuat suaminya tertawa dan ridha kepadanya. Perempuan yang
keluar rumah dengan tanpa izin suaminya maka malaikat
melaknatinya sehingga ia kembali.

6
Damrah Khair, Hukum Perwalian Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2017), h. 22.
7
Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga, (Jakarta: Amzah, 2012), h. 143-199.

9
c. Mewajibkan Perempuan untuk Menetap di Rumah
Bagi suami selain berkewajiban memenuhi berbagai kebutuhan
materi untuk kebaikan istrinya, ia juga harus memberikan tempat
tinggal untuk berumah tangga. Hal ini dianggap kewajiban yang
harus dilakukan dari hak-hak suami atas perempuan untuk
dilaksanakan.
Adapun kewajiban istri untuk tetap tinggal dalam rumah
sebagai hak dari hak-hak suami kepadanya. Istri diperintahkan
untuk memenuhi kebutuhannya, terjaga demi suaminya, demi
mencukupi kebutuhan-kebutuhannya dan terjaga demi istri.
d. Hendaknya Tidak Berpuasa Sunnah Kecuali dengan Izin Suami
Termasuk hak-hak suami atas istri-istrinya untuk tidak puasa
sunnah tanpa seizinnya, meskipun ia melakukannya dengan rasa
lapar dan haus maka tidak akan diterima puasanya.
e. Tidak Mengizinkan Masuk Orang yang Dibenci Suaminya
Termasuk hak-hak suami atas istrinya adalah untuk tidak
memberi izin masuk seseorang yang dibenci oleh suaminya. Hal
tersebut untuk mencegah berbagai kericuhan dan menjauhkan
kecurigaan yang menjadi penyebab rusaknya rumah tangga dan
terkadang berakhir dengan cara yang tidak diinginkan.
f. Mencurahkan untuk Jiwanya
Termasuk dari hak-hak suami kepada istrinya hendaknya ia
memberikan kelapangan waktu untuk mencurahkan jiwa dan
pikiran suami. Jika suami seseorang yang mengabdi kepada Allah
Swt., maka ia memberikan waktu untuk menenangkan jiwa suami
dengan beribadah kepada Tuhannya dengan khusyu', tenang, dan
kehadiran hati. Jika suami seorang yang berpengetahuan maka ia
memberikan waktunya untuk menelaah, membaca, mengarang,
ataupun berpikir.

10
g. Indah dalam Bersolek
Sesungguhnya bersolek bagi perempuan untuk suami
merupakan akhlak terpuji, perbuatan cerdas, diberikan pahala
baginya dengan pahala yang besar dari Allah Swt.
h. Berkabung untuk Suami
Sebagian dari kewajiban perempuan dari hak-haknya. Jika
suaminya meninggal dunia maka ia tidak berkabung melainkan
lebih dari empat bulan sepuluh hari. Tidak memakai wewangian,
dan berhias pada saat itu. Maksudnya bagi perempuan-perempuan
yang ber-iddah karena kematian selama empat bulan sepuluh hari.
Mereka menjaga dirinya saat ber-iddah agar tidak melakukan
pernikahan, memakai wewangian, perhiasan, meninggalkan tempat
tinggal ketika masih dalam kehidupan pernikahannya.
i. Bertanggung Jawab atas Pekerjaan di Rumah
Pekerjaan di rumah adalah melaksanakan semua yang
berhubungan dengan rumah seperti kebersihan, kerapihan,
mempersiapkan makanan, dan lain-lain. Begitu seterusnya. Hal ini
juga merupakan kebiasaan yang berlaku pada sepanjang masa sejak
masa Rasullullah bahwa perempuan memegang peran dalam
melayani rumah tangganya.

2. Hak Isteri dan Kewajiban Suami


a. Mahar
Mahar merupakan hak-hak istri yang harus dipenuhi oleh
seorang suami. Mahar merupakan kewajiban tambahan yang Allah
Swt. berikan kepada seorang suami ketika menjadikannya dalam
pernikahan. Dan turunnya perintah ini sebagai pengganti
diperbolehkan pernikahan dan diwajibkan setelah itu dengan
ucapan atau dengan mencampurinya.
Syariat Islam tidak mengikat jumlah mahar dengan batas
terendah dan tertinggi bahkan mengesampingkannya. Hal itu sesuai

11
kesepakatan antara kedua belah pihak dan kerelaan wanita yang di
perhatikan keadaan suami. Ia merupakan hak wanita, tidak sah
untuk menghilangkannya, berapa pun nilainya. Mahar bukan
merupakan harga bagi wanita, tetapi itu adalah keten tuan dan
isyarat untuk memuliakan dan membahagiakan perempuan.
b. Nafkah
Nafkah menjadi hak dari berbagai hak istri atas suaminya sejak
mendirikan kehidupan rumah tangga. Oleh karena itu, syariat Islam
menetapkan, baik istri kaya ataupun fakir. Al-Qur’an memberi
kesaksian tentang hal itu dalam fieman Allah yang artinya:
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya.” (QS. Ath-Thalâq (65):7).
Nafkah wajib bagi istri selama ia menunaikan berbagai
tanggungan. la memenuhi batasan-batasan fitrahnya. Jika ia
sombong dengan fitrahnya, menyimpang dari aturan, berpaling
pada jalan, melampaui suami dalam tujuan kehidupan rumah
tangga maka ia tidak mendapatkan hak ini.
Nafkah untuk perempuan meliputi memberi makanan,
minuman, pakaian, dan sesuatu yang menjadi tuntutan kehidupan
alami yang layak untuk suami istri dengan tanpa berlebihan dan
kekurangan. Adapun jika seorang laki-laki berkurang dalam
menanggung istrinya yang tetap dan biaya hidupnya sedang ia
mendapatkan dan mampu maka ia diminta untuk melaksanakan
hak dan tanggungan istri.
c. Pendidikan dan Pengajaran
Islam mendorong pada tingkatan yang sama secara praktis dan
agama bagi laki-laki dan perempuan secara sama. Oleh karena itu,
termasuk hak perempuan atas suaminya adalah mendapatkan
pengajaran mengenai hukum-hukum shalat, hukum-hukum haidh,
dan hendaknya membacakan pendapat tentang bid'ah dan berbagai
kemungkaran dengan menjelaskan keyakinan yang benar

12
kepadanya. Jika tidak, hendaknya ia keluar untuk bertanya kepada
ulama atau ia bertanya untuk istrinya.
Bukanlah bagi suami untuk mencegah isterinya jika ia
menginginkan pengetahuan yang berkaitan dengan pokok pokok
agama dan dasar-dasar agama, kecuali jika ia telah melaksanakan
untuk istrinya atau ia bertanya untuk istri. Baginya untuk keluar
bersama istri untuk belajar bersamanya sehingga ia belajar
kebutuhan-kebutuhan agamanya, jika ia menolak dan mencegah
maka ia sama-sama berdosa.
d. Adil dalam Berinteraksi
Termasuk hak istri atas suaminya adalah keadilan dalam
pemberian nafkah dan perumahan jika ia memiliki lebih dari
seorang istri. Jika ia menetapkan hubungan baik yang
diperintahkan Allah. Suami berlaku adil antara istri-istrinya jika ia
berpoligami. Inilah yang dijelaskan sunnah yang suci.
Adil dalam bagian adalah sesuatu yang disepakati oleh para
imam dengan kesepakatan dan kita tidak mengetahui antara mereka
berbeda dalam kewajiban persamaan antara para istri. istrinya
maka haramlah salah seorang dari mereka akan syahwatnya para
Tidak ada keraguan bahwa seseorang yang tidak adil antara para
istrinya maka haramlah salah seorang dari mereka akan
syahwatnya. Terkadang ia terpaksa dengan penyelewengan maka ia
kembali dengan dosa istri dan dosanya.
e. Kesenangan yang Bebas
Ketika seseorang telah memiliki hak suami atas istrinya sebagai
ketetapan dalam rumah. Hendaknya istri tidak keluar dari
rumahnya dengan bebas. Kebebasan kecuali dengan alasan yang
dapat diterima. Termasuk dari hak istri atas suami untuk
menyiapkan baginya kesenangan yang tidak melewati batas
kerusakan akhlaknya dan tidak memutuskan pemberian suami dari
diri istri.

13
f. Tidak Cemburu Berlebihan
Ketika cemburu sudah menjadi bagian watak seseorang, maka
ia termasuk hak istri atas suaminya untuk tidak terlalu cemburu.
Dengan tidak menyampaikan keburukan prasangka, kekerasan, dan
mata-mata batin. Cemburu akan menimbulkan prasangka buruk
yang terlarang darinya. Karena sungguh sebagian prasangka adalah
dosa.
Sebagaimana buruk sangka yang dapat merusak hubungan dan
berdampak pada putusnya hubungan. Hal demikian termasuk yang
dibenci Allah Swt. maka tidak ada yang lebih utama dari laki-laki
yang berhubungan dengan istrinya dengan kepercayaan dan kasih
sayang dari sesuatu yang mencelanya.

3. Kewajiban Bersama Suami Isteri


Dalam Kompilasi Hukum Islam, kewajiban suami istri dijelaskan
secara rinci sebagai berikut:8

a. Pasal 77
1) Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk
menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan
rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
2) Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat
menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang
satu kepada yang lain.
3) Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan
memelihara anak-anak mereka, baik mengenai
pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan
pendidikan agamanya.
4) Suami istri wajib memelihara kehormatannya.

8
Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2014), h.
157-158.

14
5) Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-
masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan
Agama.
b. Pasal 78
1) Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
2) Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) ditentukan
oleh suami istri bersama.

4. Harta Bersama dalam Perkawinan dan Pengaturannya


Harta bersama ialah harta yang didapat atas usaha mereka atau
sendiri-sendiri selama masa ikatan perkawinan.9 Harta bersama dalam
perkawinan dapat terjadi dan hanya mungkin terjadi dalam dua bentuk,
yaitu:10

Pertama, adanya akad syirkah antara suami istri, baik dibuat saat
berlangsungnya akad nikah atau sesudahnya. Kedua, adanya perjanjian
yang dibuat untuk itu pada waktu berlangsungnya akad nikah.

Dalam UU No. 1 Tahun 1974 masalah harta bersama hanya diatur


secara singkat dan umum dalam Bab VII, hanya terdiri atas 3 pasal. Dan
tampaknya, undang-undang ini menyerahkan pelaksanaan penerapan
berdasarkan ketentuan nilai-nilai hukum adat.
Harta bersama dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
diatur dalam Pasal 35 s/d Pasal 37 berbunyi:
a. Pasal 35
1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi
harta bersama.
2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan
harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai
hadiah atau

9
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Univ Islam Nahdatul Ulama Jepara,
(UI-Press, 2009), h. 89.
10
Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, Cet. 1, (Jakarta: Prenadamedia Group,
2016), h. 122.
15
warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing
sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
b. Pasal 36
1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak
atas persetujuan kedua belah pihak.
2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri
mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan
mengenai harta bendanya.
c. Pasal 37 : Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama
diatur menurut hukumnya masing-masing.11

11
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Univ Islam Nahdatul Ulama Jepara,
(UI-Press, 2009), h. 91.

16
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan
Perwalian merupakan wewenang yang diberikan kepada seseorang
untuk melakukan suatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan
tertentu atas nama anak yang tidak memiliki orang tua, atau orang tuanya
masih hidup namun tidak cakap dalam melakukan perbuatan hukum
tersebut. Dalam pernikahan, terdapat perbedaan pendapat dikalangan para
ulama mengenai orang yang harus didahulukan untuk menjadi wali nikah.
Apabila wali-wali nikah yang paling berhak tidak memenuhi syarat
sebagai wali nikah atau memungkinkan untuk tidak hadir, maka wali
hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah tersebut.

Perkawinan tidak hanya bermakna untuk merealisasikan ibadah


kepada Allah Swt., tetapi sekaligus menimbulkan akibat hukum
keperdataan di antara keduanya. Walaupun demikian, karena tujuan dari
pernikahan yaitu membina keluarga bahagia, abadi, kekal, dan berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa, perlu adanya hak dan kewajiban suami dan
isteri. Jika hak dan kewajiban tersebut terpenuhi, maka bahtera rumah
tangga pun dapat terwujud dengan didasari oleh rasa cinta dan kasih
sayang.

B. Saran
Saran yang dapat disampaikan penulis adalah semoga makalah ini
bermanfaat dan dapat digunakan sebagai bahan rujukan oleh pembaca.
Makalah ini diharapkan juga dapat diterapkan dalam kegiatan penulisan
lainnya. Makalah ini tentunya masih memiliki banyak kekurangan dan
kesalahan, untuk itu saran dan kritik dari para pembaca sangat penulis
harapkan demi perbaikan penyusunan makalah di masa yang akan datang.

17
DAFTAR PUSTAKA

Asmawi, Mohammad. Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan. Cet. 1. Yogyakarta:


Penerbit Darussalam. 2004.
Bunyamin, Mahmudin dan Agus Hermanto. Hukum Perkawinan Islam. Cet. 1. Bandung:
CV Pustaka Setia. 2017.
Ghozali, Abdul Rahman. Fiqih Munakahat. Jakarta: Prenadamedia Group. 2014.
Hasibuan, Abber. Perwalian dalam Nikah Menurut Pandangan Hukum Islam. Jurnal Al-
Ashlah. Vol. 1. No. 2. 2017.
Khair, Damrah. Hukum Perwalian Islam. Bandung: CV Pustaka Setia. 2017.
Mardani. Hukum Keluarga Islam di Indonesia. Cet. 1. Jakarta: Prenadamedia Group. 2016.
Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Univ Islam Nahdatul Ulama Jepara. UI-
Press. 2009.
Tihami, H.M.A. dan Sohari Sahrani. Fikih Munakahat. Ed. 1. Cet. 2. Jakarta: Rajawali
Pers. 2010.
Yusuf As-Subki, Ali. Fiqh Keluarga. Jakarta: Amzah. 2012.

18

Anda mungkin juga menyukai