Anda di halaman 1dari 20

1

MAKALAH HUKUM

HAK ASUH ANAK DILIHAT DARI UNDANG-UNDANG


NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI).

DISUSUN OLEH :

HARTANTO

TINGGI ILMU TARBIYAH NAHDATULULAMA


( STITNU ) SAKINAH DHARMASRAYA
TAHUN 2023
`

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, atas segala
rahmatnya sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Sholawat
beserta salam semoga tercurah kepada junjungan kita nabi Muhammad SAW.
Tidak lupa pula penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak
yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun
materinya, sehingga penulis dapat menyusun makalah ini dengan judul “ Hak
Asuh Anak Dilihat Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi
Hukum Islam (KHI)”. .
Penulis berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan penulis berharap agar makalah ini bisa
pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi Penulis sebagai penyusun
merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena
keterbatasan pengetahuan dan pengalaman penulis. Untuk itu penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Koto Baru 29 September 2023

Penulis
`

DAFTAR ISI
Kata Pengantar................................................................................................i
Daftar Isi......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1
A. Latar Belakang Masalah...................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................2
BAB II LANDASAN TEORI.........................................................................3
A. Putusnya Perkawinan......................................................................... 3
B. Pengertian Cerai Gugat...................................................................... 3
C. Sebab-Sebab Putusnya Perkawinan................................................... 4
D. Alasan Cerai menurut UU Nomor 1/1974 Tentang Perkawinan
dan KHI…………………………………………………………….5
E. Akibat putusnya perkawinan karena perceraian…………………….6
F. Pemeliharaan Anak Bila Terjadi Perceraian dalam Islam…………..7
G. Pemeliharaan anak perspektif UU No 1 Tahun 1974……………….8
H. Pemeliharaan anak perspektif KHI………………………………….9
BAB III PEMBAHASAN...............................................................................11
A. Kasus Dan Kronologi Kasus………………………………………….11
B. Perceraian Aljeski dengan Mesimenurut Hukum Perdata
Islam Indonesia……………………………………………………...11
C. Hak Asuh Anak dalam Perceraian Aljeski dengan Mesi……………..13

BAB IV PENUTUP........................................................................................16
A. Kesimpulan.........................................................................................16
B. Saran................................................................................................... 16
Daftar Pustaka 17
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perceraian merupakan putusan dari pernikahan, karena tidak mungkin
adanya perceraian jika tidak adanya perkawinan. Perkawinan merupakan awal
dari hidup bersama antara laki-laki dan perempuan sebagai suami isteri,
sedangkan perceraian merupakan akhir dari kehidupan bersamasuami istri
tersebut. Setiap orang menghendaki agar perkawinan yang dilakukannya tetap
utuh sepanjang masa kehidupannya. Tetapi tidak sedikit pulaperkawinan yang
dibina berakhir dengan sebuah perceraian. Tidak selalu perkawinan yang
dilaksanakan itu sesuai dengan keinginan, walaupun sudah diusahakan
semaksimal mungkin dengan membinanya secara baik, tetapi pada akhirnya
terpaksa mereka harus berpisah dan memilih jalan cerai.
Perceraian sendiri memiliki beberapa dampak, di antaranya adalah
mengenai perebutan hak asuh anak (pemeliharaan anak). Satu hal yang menjadi
ketakutan besar bagi seorang anak adalah perceraian orang tua, ketika perceraian
terjadi anak akan menjadi korban utama. Orangtua yang bercerai harus tetap
memikirkan bagaimana membantu anak untuk mengatasi penderitaan akibat
perpisahan orang tuanya. Orang tua adalah orang pertama yang bertanggung
jawab untuk membayarkan hak-hak anak keturunan mereka. Namun, tidak jarang
tugas seperti itu menjadi terputus baik atas kehendak suami istri, maupun diluar
kehendak mereka. Suatu perceraian, khusus pada cerai hidup meskipun bisa
melegakan hati dua belah pihak, tetapi sudah pasti merupakan pengalaman pahit
bagi sang anak.
Mengenai kasus perceraian bagi yang telah dikaruniai anak, tentu saja hal
ini tidak terlepas oleh adanya perebutan hak asuh anak. Kasus-kasus seperti ini
sangat banyak terjadi, di antaranya adalah kasus yang dialami oleh Aljeski

1
beserta Istrinya, Mesi. Dalam kasus Aljeski banyak spekulasi yang mengatakan
bahwa Mesimenggugat cerai Aljeski karena penyakit kanker Aljeski .
Menariknya lagi dalam kasus ini, Mesi menggugat cerai Aljeski dalam keadaan
hamil. Untuk itu dari latar belakang inilah saya mengangkat kasus mengenai
perceraian Aljeski dengan Istrinya dalam hak asuh Anak dilihat dari Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
B. Rumusan Masalah
Dari paparan latar belakang di atas maka dalam makalah ini disusun menengai
rumusan masalah, di antaranya:
1. Bagaimana kasus perceraian antara Aljeski dan istrinya ditinjau dari UU
No 1/1974 Tentang Perkawinan dan KHI?
2. Bagaimana kasus mengenai hak asuh anak dalam perceraian Aljeski
dengan istrinya ditinjau dari UU No 1/1974 Tentang Perkawinan dan KHI?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Putusnya Perkawinan
Menurut istilah, seperti yang dituliskan oleh al-Jaziri, talak adalah melepaskan
ikatan (hall al-qaid) atau bisa juga disebut pelepasan ikatan dengan
menggunakan kata-kata yang ditentukan. Kemudian Sayyid Sabiq
mendefinisikan talak dengan sebuah upaya untuk melepaskan ikatan perkawinan
dan selanjutnya mengakhiri hubungan perkawinan itu sendiri. definisi ini agak
panjang dapat kita lihat dalam kitab Kifayat al-Akhyar yang menjelaskan talak
sebagai sebuah nama untuk melepaskan ikatan pernikahan dan talaka lafaz
jahiliyah yang setelah Islam datang menetapkan lafaz itu sebagai kata untuk
melepaskan nikah. Maka dari definisi talak di atas, jelaslah bahwa talak
merupakan sebuah institusi yang digunakan untuk melepaskan sebuah ikatan
perkawinan.1
B. Pengertian Cerai Gugat
Dalam hukum Islam membagi perceraian kepada dua golongan besar yaitu
talak dan fasakh. Talak adalah perceraian yang timbul dari tindakan suami untuk
melepaskan ikatan dengan lafadz talak dan seumpamanya, sedangkan fasakh
adalah melepas ikatan perkawinan antara suami isteri yang biasanya dilakukan
oleh isteri. Dari dua golongan perceraian ini, Dr. Abdurrahman Taj sebagaimana
dikutip oleh H.M Djamil Latief, S.H. membuat klasifikasi perceraian sebagai
berikut:2

1
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Prenadamedia Group,
2016) h. 205
2
Abdul Manan, Problematika Perceraian Karena Zina dalam Proses Penyelesaian Perkara di
Lingkungan Peradilan Agama, dalam Jurnal Mimbar Hukum, (Jakarta: al-Hikmah &
DITBINBAPERA,.No 52 Th XII, 2001) h. 12

3
1) Talak yang terjadi dengan keputusan hakim yaitu li’an, perceraian dengan
sebab aib suami seperti impoten dan perceraian dengan sebab suami
menolak masuk Islam,
2) Talak yang terjadi tanpa putusan Hakim yaitu talak biasa yakni talak yang
diucapkan suami baik sharih maupun kinayah dan ‘ila,
3) Fasakh yang terjadi dengan keputusan hakim yaitu dengan sebab
perkawinannya anak laki-laki atau perempuan yang masih dibawah umur
dan perkawinan itu tidak dilakukan oleh wali yaitu bapaknya atau
kakeknya, fasakh dengan sebab salah satu pihak dalam keadaan gila, tidak
sekufu, kurangnya mas kawin dari mahar mitsil dan salah satu pihak
menolak masuk Islam,
4) Fasakh yang terjadi tanpa adanya putusan hakim, yaitu fasakh dengan
sebab merdekanya isteri, ada hubungan semenda antara suami isteri dan
nikahnya fasid sejak semula.
Apabila dilihat dari penjelasan di atas maka secara umum pengertian dari
cerai gugat yaitu isteri menggugat suaminya untuk bercerai melalui pengadilan,
yang kemudian pihak pengadilan mengabulkan gugatan dimaksud sehingga
putus hubungan penggugat (isteri) dengan tergugat.3
C. Sebab-Sebab Putusnya Perkawinan
Talak sebagai sebab putusnya perkawinan adalah institusi yang paling banyak
dibahas para ulama. Seperti apa yang dinyatakan dalam oleh Sarakhsi, Talak itu
hukumnya dibolehkan ketika berada dalam keadaan darurat, baik atas inisiatif
suami (talak) atau inisiatif (Khulu’). Setidaknya ada empat kemungkinan yang
dapat terjadi dalam kehidupan rumah tangga yang dapat memicu terjadinya
perceraian, yaitu:
1) Nusyuz (kedurhakaan) yang dilakukan oleh seorang istri terhadap
suaminya. Hal ini bisa terjadi dalam bentuk pelanggaran perintah,

3
Abdul Manan, Problematika Perceraian Karena Zina dalam Proses Penyelesaian Perkara
di Lingkungan Peradilan Agama, h. 13

4
penyelewengan dan hal-hal yang dapat mengganggu keharmonisan rumah
tangga.
2) Nusyuz suami terhadap Istri. Kemungkinan nusyuznya suami dapat
terjadi dalam bentuk kelalaian dari pihak suami untuk memenuhi
kewajibannya pada istri, baik nafkah lahir maupun nafkah batin.
3) Salah satu pihak berbuat zina
4) Terjadinya Syiqaq. Kemungkinan yang ketiga ini terjadi karena kedua-
duanya terlibat dalam syiqaq (percekcokan), misalnya disebabkan karena
kesulitan ekonomi, sehingga keduanya sering bertengkar.4
D. Alasan Cerai menurut UU Nomor 1/1974 Tentang Perkawinan dan KHI
Dalam pasal 38 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
disebutkan bahwa putusnya perkawinan dapat terjadi karena salah satu pihak
meninggal dunia, karena perceraian dan karena adanya putusan pengadilan.
Kemudian dalam pasal 39 ayat (2) ditentukan bahwa untuk melaksanakan
perceraian harus cukup alasan yaitu antara suami isteri tidak akan hidup sebagai
suami isteri. Ketentuan ini dipertegas lagi dalam penjelasan pasal 39 ayat (2)
tersebut dan pasal 19 Peraturan pemerintah Nomor 9 tahun 1975 yang mana
disebutkan bahwa alasan yang dapat dipergunakan untuk melaksanakan
perceraian adalah:5
1. Salah satu pihak berbuat zina atau pemabuk, pemadat dan lain sebagainya
yangsukar disembuhkan
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah
atau karena hal lain diluar kemauannya.
3. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiyaan berat yang
membahayakan pihak lain.

4
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 212
5
Abdul Kadir Muhammad, Perkembangan Beberapa Hukum Keluarga di Beberapa Negara
Eropa, Bandung: Citra Aditya, 1998), h.126

5
4. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang menyebabkan
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri.
5. Antara suami isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
KHI pada pasal 116 juga mengatur bahwa yang dapat menjadi alasan
terjadinya perceraian adalah disebabkan karena:6
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi,
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-
turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah karena hal lain
diluar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/isteri.
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
Sedangkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan penambahan dua ayat
yaitu: (a) suami melanggar taklik talak dan (b) peralihan agama atau murtad
yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.7
E. Akibat putusnya perkawinan karena perceraian
Pasal 41 UUP juga membicarakan akibat yang timbul oleh perceraian.
Adapun bunyi pasalnya adalah sebagai berikut:8

6
Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 221
7
Abdul Kadir Muhammad, Perkembangan Beberapa Hukum Keluarga, h. 127
8
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 220

6
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah:
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelohara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana
ada perselisihan mengenai penguasaan anak, pengadilan member
keputusannya.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam
kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan
dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi
bekas istri.9
F. Pemeliharaan Anak Bila Terjadi Perceraian dalam Islam
Bila terjadi pemutudan perkawinan karena perceraian, baik ibu atau bapak
tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata demi
kepentingan anaknya. Jika terjadi perselisihan antara suami dan istri mengenai
penguasaan anak-anak maka dapat diselesaikan melalui jalur musyawarah
keluarga ataupun dengan keputusan pengadilan.
Persoalan jika terjadi perceraian, siapakah yang berhak untuk memelihara
anak. Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud ada
peristiwa, seorang wanita menghadap Rasulullah dan berkata,
Ya Rasulullah bahwasanya anakku ini perutkulah yang mengandungnya,
asuhankulah yang mengawasinya, dan air susukulah minumannya. Bapaknya
hendak mengambilnya dariku, maka bersabda Rasulullah, engkau lebih
berhak untuk memelihara anak itu, selama engkau belum menikah dengan
lelaki lain.

Apabila dilihat dari beberapa teks-teks suci dalam hal pemeliharaan anak jika
terjadi perceraian antara kedua orang tuanya, menetapkan untuk pemeliharaan
anak pada pihak ibu selama anak belum balig dan belum menikah dengan lelaki
lain. Alasannya bisa dilihat pada pernyataan Abu Bakar as-Siddiq,
Ibu lebih cenderung sabar kepada anak, lebih halus, lebih pemurah, lebih
oenyantun, lebih baik dan lebih penyayang. Ia lebih berhak atas anaknya.10

9
Abdul Kadir Muhammad, Perkembangan Beberapa Hukum Keluarga, h. 127
10
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 298

7
G. Pemeliharaan anak perspektif UU No 1 Tahun 1974
Secara global Undang-Undang Perkawinan telah member aturan pemeliharaan
anak tersebut yang dirangkai dengan akibat putusnya sebuah perkawinan. Di
dalam pasal 41 dinyatakan bahwa:
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah:
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelohara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana
ada perselisihan mengenai penguasaan anak, pengadilan member
keputusannya.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam
kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan
dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi
bekas istri.11
Menyangkut kewajiban orang tua terhadap anak dimuat di dalam BAB X
mulai pasal 45-4912
Pasal 45
1) Kedua orang tua wajib memelihara dan menddidik anak-anak mereka
sebaik-baiknya
2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku
sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana
berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.

Pasal 46
1) Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka
yang baik.
2) Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya,
orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas bnila mereka itu
memerlukan bantuannya.

Pasal 47
1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum
pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang
tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.

11
Abdul Kadir Muhammad, Perkembangan Beberapa Hukum Keluarga, h. 127
12
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 298

8
2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum
di dalam dan i luar Pengadilan.

Pasal 48
Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggandakan barang-
barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas)
tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila
kepentingan anak itu menghendakinya.

Pasal 49
1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap
seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang
tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saidara kandung
yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan
Pengadilan dalam hal-hal :
a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
b. Ia berkelakuan buruk sekali.
2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih berkewajiban
untuk memberi pemeliharaan kepada anak tersebut.

H. Pemeliharaan anak perspektif KHI


KHI dalam pasal-pasalnya menggunakan istilah Pemeliharaan Anak yang
dimuat di dalam BAB XIV Pasal 98 – 106. Beberapa pasal yang penting akan
kutipan di sini:13
Pasal 98

1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun,
sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum
pernah melangsungkan perkawinan.
2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di
dalam dan di luar Pengadilan.
3) Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang
mampu menunaikan kewajiban trsebut apabila kedua orang tuanya tidak
mampu.

Kemudian, pasal yang secara eksplisit mengatur masalah kewajiban


pemeliharaan anak dan harta jika terjadi perceraian hanya terdapat dalam Pasal 105
dan Pasal 106.

13
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 302

9
Pasal 105
Dalam hal terjadinya perceraian :
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun
adalah hak ibunya;
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk
memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya;
c. biaya pemeliharaanditanggung oleh ayahnya.

Pasal 106
1) Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang
belum dewasa atau dibawah pengampunan, dan tidak diperbolehkan
memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena keperluan yang
mendesak jika kepentingan dan keslamatan anak itu menghendaki atau suatu
kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi.
2) Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena
kesalahan dan kelalaian dari kewajiban tersebut pada ayat (1)

Pasal-pasal KHI tentang hadanah menegaskan bahwa kewajiban pengasuhan


material dan non material merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Lebih
dari itu, KHI malam membagi tugas-tugas yang harus diemban kepada orang tua
kendatipun mereka berpisah. Anak yang belum mumayiz tetap diasuh oleh
ibunya, sedangkan ayahnya bertanggung jawab atas pembiayaan.
Kompilasi Hukum Islam juga menentukan bahwa anak yang belum mumayiz
tetap atau berumur dua belas tahun adalah hak bagi ibu untuk memeliharanya,
sedangkan apabila anak tersebut telah mumayiz, ia dapat memilih antara ayah
atau ibunya untuk bertindak sebagai pemeliharaannya.14

14
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 303

10
BAB III

PEMBAHASAN

A. Kasus Dan Kronologi Kasus


Aljeski menikahi Mesi pada tanggal 25 Oktober 2020. Namun menurut sumber
dari berita lain mengatakan bahwa pernikahan mereka telah diwarnai dengan
perselisihan sejak awal pernikahan. Mesi melayangkan gugatan cerainya ke
Pengadilan Agama Pulau Punjung pada 01 September 2023 . Keributan yang
terjadi terus-menerus membuat Mesi tak kuat melanjutkan pernikahannya dengan
Aljeski . Bahkan, wanita yang berprofesi sebagai dokter gigi itu mengaku sudah
sering cekcok di awal pernikahannya. Langkah mediasi sudah pernah dilakukan
Mesi dengan Aljeski . Namun, upaya damai itu selalu berujung gagal hingga
akhirnya Mesi mantap bercerai meski dalam keadaan hamil tiga bulan. Mengenai
harta gono gini dan hak asuh anak, Aljeski mengaku bahwa ia pasrah dan
diserahkan sepenuhnya kepada pengadilan.
B. Perceraian Aljeski dengan Mesimenurut Hukum Perdata Islam Indonesia
Seperti apa yang dinyatakan dalam oleh Sarakhsi di atas bahwa talak itu
hukumnya dibolehkan ketika berada dalam keadaan darurat, baik atas inisiatif
suami (talak) atau inisiatif (Khulu’). Setidaknya ada empat kemungkinan
penyebab terjadinya cerai, di antaranya adalah nusyuz seorang istri terhadap
suami, nusyuz seorang suami terhadap istri, salah satu pihak berbuat zina atau
murtad, dan syiqaq (percekcokan).
Pengaturan masalah perceraian di Indonesia secara umum terdapat dalam UU
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP), Peraturan Pemerintah No. 9
Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (PP 9/1975). Berdasarkan Pasal 38 UUP, perkawinan dapat putus
karena kematian, perceraian, dan atas keputusan pengadilan. Selain itu, Pasal 39
ayat (1) UUP mengatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan

11
sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak
berhasil mendamaikan.
Cerai gugat atau gugatan cerai yang dikenal dalam UUP dan PP 9/1975 adalah
gugatan yang diajukan oleh suami atau istri atau kuasanya ke pengadilan yang
daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat (Pasal 40 UUP jo. Pasal 20
ayat [1] PP 9/1975). Dalam kasus ini, orang yang menggugat adalah Mesi selaku
Istri dari Aljeski .
Seperti yang telah kita ketahui bahwa sebelumnya Aljeski sedang
memperjuangkan kesembuhan atas penyakit kanker yang diderita. Namun, Mesi
malah melayangkan gugatan terhadap Aljeski . Dalam PP Nomor 9 Tahun 1975
Pasal 19 huruf d dinyatakan bahwa alasan dibenarkan adanya perceraian adalah
karena salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri. Apabila merujuk pada ayat
ini, maka Mesi diperbolehkan menggugat cerai Aljeski apabila Aljeski memang
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami.
Namun, Mesi membantah jika ia melayangkan gugatan terhadap Aljeski
karena penyakit kanker Aljeski . Ia mengatakan bahwa penyebab
Mesimelayangkan gugatan cerai adalah karena sering terjadinya pertengkaran
hingga tidak bisa disatukan kembali. Bahkan ia mengatakan bahwa percekcokan
tersebut sudang sering terjadi di awal pernikahan mereka. Mesijuga mengatakan
bahwa sudah tidak bersama dengan Aljeski selama satu bulan dan memilih
tinggal bersama keluarganya.
Apabila dilihat dari alasan Mesi di atas, maka hal itu merujuk pada PP Nomor
9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf e yang berbunyi ‘antara suami dan istri terus
menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup
rukum kembali dalam rumah tangga. Hal ini terlihat jelas dalam perceraian ini
yang mana sebelumnya mediasi telah dilakukan berkali-kali antara Aljeski
beserta keluarga dan juga Mesibeserta keluarga yang tak kunjung menemui titik

12
temu. Akhirnya, Mesi tetap melayangkan gugatan cerai terhadap Aljeski . Dalam
Islam, istilah ini dikenal dengan Syiqaq.
Dalam konteks hukum Islam (yang terdapat dalam KHI), istilah cerai gugat
berbeda dengan yang terdapat dalam UUP maupun PP 9/1975. Jika dalam UUP
dan PP 9/1975 dikatakan bahwa gugatan cerai dapat diajukan oleh suami atau
istri, mengenai gugatan cerai menurut KHI adalah gugatan yang diajukan oleh
istri sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 132 ayat (1) KHI yang berbunyi:
“Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada Pengadilan
Agama, yang daerahhukumnya mewilayahitempat tinggal penggugat kecuali istri
meninggalkan tempat kediaman tanpa izin suami.”
Sedang dalam alasan atau sebab perceraian dalam kasus ini terdapat dalam
Pasal 115 huruf f Kompilasi Hukum Islam.
Hal yang menarik dalam kasus ini adalah Mesi ketika melayangkan gugatan
cerai, ia tengah hamil. Apakah diperbolehkan? Mengenai perceraian ketika istri
sedang hamil, hal tersebut tidak dilarang, baik di dalam Kompilasi Hukum Islam
maupun di UU Perkawinan dan peraturan pemerintahnya. Namun, terdapat masa
iddah atau masa tunggu bagi janda yang diceraikan oleh suaminya ketika sedang
hamil, yaitu sampai ia melahirkan. Hal ini terdapat dalam Kompilasi Hukum
Islam maupun dalam UU Perkawinan. Sehingga bisa saja seorang suami
menceraikan istrinya ketika sedang hamil.
C. Hak Asuh Anak dalam Perceraian Aljeski dengan Mesi
Seperti yang telah diketahui di atas bahwa Mesi, istri Aljeski , tengah hamil
anak kedua. Sebelumnya, Mesi juga telah memiliki anak yaitu GerAljeski ne Nur
Ardiansyah yang kini berusia dua tahun. Aljeski mengakui pasrah mengenai hak
asuh anak dan diserahkan kepada pengadilan.
Apabila merujuk pada hukum Islam sendiri, sesuai dengan hadis nabi yang
berbunyi Ya Rasulullah bahwasanya anakku ini perutkulah yang
mengandungnya, asuhankulah yang mengawasinya, dan air susukulah
minumannya. Bapaknya hendak mengambilnya dariku, maka bersabda

13
Rasulullah, engkau lebih berhak untuk memelihara anak itu, selama engkau
belum menikah dengan lelaki lain. Kemudian juga hadis yang berbunyi Ibu lebih
cenderung sabar kepada anak, lebih halus, lebih pemurah, lebih oenyantun, lebih
baik dan lebih penyayang. Ia lebih berhak atas anaknya. Maka hak asuh anak
dalam kasus ini adalah jatuh kepada Mesi.
Sedang menurut UUP Di dalam pasal 41 dinyatakan bahwa:
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah:
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana
ada perselisihan mengenai penguasaan anak, pengadilan memberi
keputusannya.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam
kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan
dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi
bekas istri.15

Sangat jelas apabila dilihat dalam peraturan di atas maka pemeliharaan anak
dan mendidik anak tetap jatuh kepada kedua orang tua. Karena dalam kasus ini
Aljeski tidak mempermasalahkan hak asuh anak, maka pengadilanlah yang akan
menutuskannya. Namun untuk biaya kehidupan dan pendidikan anak, beban
dipikulkan terhadap Aljeski selaku ayah. Selain itu Aljeski juga berkewajiban
atas biaya penghidupan dan/atau menentukan kewajiban bagi bekas istri.
Sedangkan dalam KHI, mengenai pemeliharaan anak akibat cerai terdapat
dalam Pasal 105, Dalam hal terjadinya perceraian :
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun
adalah hak ibunya;
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk
memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya;
biaya pemeliharaanditanggung oleh ayahnya.

15
Abdul Kadir Muhammad, Perkembangan Beberapa Hukum Keluarga, h. 127

14
Karena anak pasangan Aljeski dan Mesi masih berumur 2 tahun dan belum
mumayiz maka hak asuh anak berada di bawah ibunya.

15
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hak asuh anak adalah jika dilihat dari segi normatif, anak yang asih
dibawah umur 12 tahun adalah hak asuh pada ibunya, namun berdasarkan
Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 110 K/AG/007
tanggal 7 Desember 2007 yang pada pokoknya menyatakan bahwa mengenai
pemeliharaan anak, bukan semata-mata dari siapa yang paling berhak, akan
tetapi yang harus dilihat dan dikedepankan adalah kepentingan yang terbaik bagi
anak. Factor yang menyebabkan peralihan hak asus anak akibat terjadinya
perceraian antara lain : Ibu dianggap tidak baik dalam mendidik anak
dikarenakan sikap ibu yang tidak bisa memberikan gambaran baik terhadap anak,
seperti ; memukul anak, memarahi anak secara berlebihan. Lingkungan ibu yang
tidak baik, dapat mempengaruhi pola pikir dan pertumbuhan psikologis anak
yang tidak baik.
B. Saran
Saran yang dapat dikemukakan, sebaiknya dilakukan musyarawah bila
terjadi perselisihan terhadap pembagian hak asuh anak sebaiknya antara mantan
suami dan mantan istri sehingga tidak berdampak buruk terhadap anak untuk
masa depannya, tetapi jika tidak ada jalan keluar lebih baik menggunakan jalur
pengadilan agar semuanya mendapatkan keputusan yang adil dan tetap

16
DAFTAR PUSTAKA

Manan, Abdul. Problematika Perceraian Karena Zina dalam Proses Penyelesaian


Perkara di Lingkungan Peradilan Agama, dalam Jurnal Mimbar Hukum,
(Jakarta: al-Hikmah & DITBINBAPERA,.No 52 Th XII, 2001

Muhammad, Abdul Kadir. Perkembangan Beberapa Hukum Keluarga di Beberapa


Negara Eropa. Bandung: Citra Aditya, 1998

Nuruddin , Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia
Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974
sampai KHI. Jakarta: Prenadamedia Group, 2016

17

Anda mungkin juga menyukai