Dibuat oleh :
Daneswari Nayotama D.H.
Edline Annetta H
Latisha Shafa A.R.
Muhammad Arjuna Mukti Prathama
Muhamad Wahyu Pribadi
Yanetha Z.Harimisa
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………………………………………………………i
DAFTAR ISI …………………………………………………………………………………………………………………………………ii
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG …………………………………………………………………………………………………………1
B. RUMUSAN MASALAH ………………………………………………………………………………………………………2
C. TUJUAN ………………………………………………………………………………………………………………………………2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. LANDASAN TEORI …………………………………………………………………………………………………………3
B. LANDASAN KONSEPSIONAL ………………………………………………………………………………………6
BAB III PENELITIAN DAN ANALISIS
A. PENELITIAN………………………………………………………………………………………………………………………8
B. ANALISIS……………………………………………………………………………………………………………………………12
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN ……………………………………………………………………………………………………………………20
B. SARAN …………………………………………………………………………………………………………………………………21
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………………………………………………………………22
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap perkawinan yang dilangsungkan tentu mengharapkan
adanya kesejahteraan, ketentraman dan kebahagiaan dalam
kehidupan berumah tangga. Karena pada dasarnya pernikahan
adalah sebuah usaha dari sepasang antar laki-laki dan
perempuan untuk membentuk sebuah keluarga yang harmonis.
Namun pada kenyataannya, realita yang muncul di masyarakat
tidak setiap perkawinan yang dilangsungkan dapat berjalan
lancar sebagaimana tujuan perkawinan yang dikehendaki oleh
pasangan suami istri tersebut. Perkawinan dapat putus baik
dengan alasan karena kematian salah satu pihak atau karena
perceraian.
Secara umum perceraian merupakan suatu keadaan yang tidak
diinginkan bagi pasangan menikah dimanapun. Dalam perceraian
menyangkut beberapa aspek, seperti ekonomi maupun sosial.
Meskipun diperbolehkan, namun perceraian dianggap sebagai
masalah sosial. Setiap masyarakat yang terikat oleh
perkawinan tak jarang mendapat problema yang berujung pada
pemutusan ikatan pernikahan (perceraian).
Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri dari berbagai
suku, ras, adat istiadat dan budaya yang beraneka ragam.
Kebiasaan dan adat tiap tiap suku tentu memiliki ciri khas
nya masing masing yang membedakan suku tersebut dengan suku
yang lain. Begitu juga perceraian tentu pasti adat adat maupun
upacara yang dilaksanakan berbeda dengan cara yang dilakukan
oleh daerah lain. Melalui latar belakang ini, kami
mengkajinya dalam sebuah makalah dengan rumusan masalah
sebagai berikut.
1
B. Masalah
1. Pengertian penceraian
2. Alasan yang mendasari penceraian
3. Adat penceraian yang di anut oleh masyarakat di Kepulauan
Timor
4. Pelaksaan yang dilakukan oleh masyarakat di Kepulauan Timor
5. Sistem Hak Asuh Anak yang diberlakukan oleh masyarakat di
Kepulauan Timor
C. Tujuan
Melalui pendalaman materi yang dilakukan mengenai Perceraian
Adat di Kepulauan Timor, berikut tujuan yang kami landaskan
dalam penelitian :
1. Mengetahui pengertian dari perceraian
2. Mengetahui alasan alasan yang mendasari perceraian
3. Mengetahui Adat perceraian yang dilakukan dan dilaksanakan
oleh masyarakat di Kepulauan Timor
4. Mengetahui bagaimana sistem Hak Asuh Anak yang diberlakukan
oleh masyarakat di Kepulauan Timor
2
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Perceraian
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Seperti yang tertulis dalam halaman latar belakang, kata “cerai”
menurut kamus besar Bahasa Indonesia berarti: pisah, putus
hubungan sebagai suami istri, talak. Kemudian, kata “perceraian”
mengandung arti: perpisahan, perihal bercerai (antara suami
istri), perpecahan. Adapun kata “bercerai” berarti: tidak
bercampur (berhubungan, bersatu) lagi, berhenti berlakibini (suami
istri).
3
B. Alasan Perceraian
4
C. Macam – Macam Perceraian
1. Cerai Talak
Talak adalah ikrar suami dihadapan Pengadilan Agama yang
menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan.
2. Cerai Gugat
Berdasarkan gugatan perceraian yaitu perceraian yang
disebabkan adanya gugatan dari salah satu pihak, khususnya
istri ke pengadilan.
5
BAB II
LANDASAN KONSEPSIONAL
1. Tindak hukum yang dapat dilakukan oleh suami atau istri untuk
memutus hubungan perkawinan diantara mereka;
6
Putusnya perkawinan ini diatur juga oleh negara melalui Undang-
Undang Perkawinan, PP No. 9 Tahun 1975 sebagai aturan pelaksanaan
dari UU Perkawinan dan juga diatur dalam KHI. Pengertian talak
disebutkan dalam KHI pasal 117 yang menjelaskan bahwa talak adalah
ikrar suami di hadapan siding Pengadilan Agama yang menjadi salah
satu sebab putusnya perkawinan.
7
BAB III
PENELITIAN
1. Mengajukan Gugatan
8
gugatan diajukan yang di tempat perkawinan yang di langsungkan
atau pengadilan agama di jakarta pusat.
Gugatan soal penguasan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta
bersama dengan gugatan perceraian atau putusan perceraian sesudah
memperoleh kepastian hukum. pasal 86 ayaat1 uu no 7 1989.
bagi yang tidak mampu dapat berpekara secara cuma cuma. Tertulis
pada pasal 237 HIR, 273 R.Bg.
9
4. Setelah putusan mendapatakan kekuatan hukum, maka pengadilan
agama akan memberikan akta cerai kepada kedua belah pihak setelat
telat nya 7 hari setelah putusan diberikan.
1. Mengajukan gugatan
10
dan fakta hukum. Dan juga hal hal yang dituntut berdasarkan posita
atau disebut petitum.
Gugatan soal penguasan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta
bersama dengan gugatan perceraian atau putusan perceraian sesudah
memperoleh kepastian hukum. pasal 86 ayaat1 uu no 7 1989.
bagi yang tidak mampu dapat berpekara secara cuma cuma. Tertulis
pada pasal 237 HIR, 273 R.Bg.
ANALISIS
Arti talak itu sendiri menurut Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) adalah
ikrar suami di hadapan Pengadilan Agama yang menjadi salah satu
sebab putusnya perkawinan.
Mengenai talak diatur lebih lanjut dalam Pasal 129, Pasal 130, dan
Pasal 131 KHI. Pasal 129 KHI berbunyi:
12
“Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya
mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada
Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai
dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan
itu.”
Jadi, talak yang diakui secara hukum negara adalah yang dilakukan
atau diucapkan oleh suami di Pengadilan Agama. Sedangkan, mengenai
cerai karena talak yang diucapkan suami di luar Pengadilan Agama,
menurut Nasrullah Nasution, S.H. dalam artikel Akibat Hukum Talak
di Luar Pengadilan hanya sah menurut hukum agama saja, tetapi tidak
sah menurut hukum yang berlaku di negara Indonesia karena tidak
dilakukan di Pengadilan Agama. Menurut Nasrullah, akibat dari
talak yang dilakukan di luar pengadilan adalah ikatan perkawinan
antara suami-istri tersebut belum putus secara hukum.
Soal talak satu dan talak dua, sebagaimana pernah dijelaskan dalam
artikel Talak Tiga Karena Emosi, Lalu Ingin Rujuk Lagi, berpedoman
pada pendapat Sayuti Thalib dalam bukunya Hukum Kekeluargaan
Indonesia (hal. 100), dikatakan bahwa Al Qur’an Surat Al-Baqarah
ayat 229 mengatur hal talak, yaitu talak hanya sampai dua kali
yang diperkenankan untuk rujuk kembali atau kawin kembali antara
kedua bekas suami istri itu. Jadi apabila suami menjatuhkan talak
satu atau talak dua, ia dan istri yang ditalaknya itu masih bisa
rujuk atau kawin kembali dengan cara-cara tertentu.
13
sama seperti perkawinan biasa, yaitu ada akad nikah, saksi, dan
lain-lainnya untuk menjadikan mereka menjadi suami istri kembali.
Sungguhpun demikian, dalam masyarakat kita di Indonesia orang
selalu menyebut kawin kembali itu dengan sebutan rujuk juga (Ibid,
hal. 101).
Mengenai talak satu atau talak dua ini disebut juga talak raj’i
atau talak ruj’i, yaitu talak yang masih boleh dirujuk (Ibid, hal.
103) yang pengaturannya terdapat dalam Pasal 118 KHI yang berbunyi:
“Talak raj'i adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak
rujuk selama istri dalam masa iddah.”
Jadi, akibat dari talak kesatu dan kedua ini adalah suami istri
dapat rujuk atau kawin kembali. Soal talak raj’i, Sudarsono
menjelaskan bahwa (hal. 132-133) pada hakekatnya talak ini
dijatuhkan satu kali oleh suami dan suami dapat rujuk kembali
dengan istri yang ditalaknya tadi. Dalam syariat Islam, talak
raj’i terdiri dari beberapa bentuk, antara lain: talak satu,
talak dua dengan menggunakan pembayaran tersebut (iwadl). Akan
tetapi dapat juga terjadi talak raj’i yang berupa talak satu,
talak dua dengan tidak menggunakan iwadl juga istri belum
digauli.
Masa Iddah
Adapun yang dimaksud dengan masa iddah (waktu tunggu) adalah waktu
yang berlaku bagi seorang istri yang putus perkawinannya dari bekas
suaminya.
14
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian waktu tunggu bagi
yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-
kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid
ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari.
Talak Tiga
15
maka barulah pasangan suami istri semula dapat kawin kembali
(Ibid. hal. 101-102). Talak tiga ini disebut juga dengan talak
ba’in kubraa yang pengaturannya dapat kita temui dalam Pasal 120
KHI yang berbunyi:
Apabila seorang istri dijatuhkan talak satu atau talak dua oleh
suaminya, maka suami istri tersebut diperintahkan tetap tinggal
satu rumah. Demikianlah ajaran islam, karena dengan demikian suami
diharapkan bisa menimbang kembali dengan melihat istrinya yang
tetap di rumah dan mengurus rumahnya. Demikian juga istri
diharapkan mau ber-islah karena melihat suami tetap memberi nafkah
dan tempat tinggal. Demikian berdasarkan informasi dari dalam
artikel Baru Talak Satu Dan Dua, Jangan Segera Berpisah, Ia Masih
Istrimu! yang kami akses dari laman muslimafiyah.com, situs
16
berinfokan agama Islam dan kesehatan yang diasuh dokter Raehanul
Bahraen.
Lalu timbul pertanyaan, apakah talak satu, dua, dan tiga ini harus
dijatuhkan berurutan atau akumulatif?
“Di masa Rasulullah SAW, Abu Bakr, lalu dua tahun di masa
khilafah ‘Umar muncul ucapan talak tiga dalam sekali ucap. Umar
pun berkata :
17
“Manusia sekarang ini sungguh tergesa-gesa dalam mengucapkan
talak tidak sesuai dengan aturan Islam yang dulu pernah berlaku,
yaitu talak itu masih ada kesempatan untuk rujuk. Karena
ketergesa-gesaan ini, aku berharap bisa mensahkan talak tiga
sekali ucap.”
Dasar Hukum:
18
BAB IV
KESIMPULAN
a. Mengajukan gugatan,
19
apabila tergugat tidak puas dapat mengajukan tingkat
banding. yang kedua, kalau gugatan ditolak penggugat
dapat mengajukan banding. Yang terakhir jika gugatan
tidak diterima, penggugat dapat mengajukan gugatan yang
baru.
a. Mengajukan gugatan
Jadi secara garis besarnya kesimpulan yang bisa kita ambil adalah
berdasarkan pendekatan baik secara teori maupun praktek dan juga
penerapan dalam kenyataan, dapat disimpulkan bahwa perceraian
20
merupakan pemisahan suami dan isteri. Dimana dalam melakukan
perceraian tidak hanya di lakukan dihadapan hukum saja namun juga
dihadapan adat. Dalam melakukan proses perceraian dilakukan dengan
didepan mahkamah agama dan juga melakukan proses yang disebut
talak. Jika seseorang sudah melakukan prose keduanya, baru bisa
dianggap sah untuk bercerai dan mendapatkan akta cerai secara resmi
yang diberika oleh Mahkamah Agama.
SARAN
21
DAFTAR PUSTAKA
22