Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

Disusun oleh :
Nama Mahasiswa : Yanetha Z.Harimisa
NIM : 01051190123

UNIVERSITAS PELITA HARAPAN


KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa,karena telah melimpahkan
rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah ini bisa selesai
pada waktunya.
Terima kasih juga saya ucapkan kepada Pak Dosen yang telah memberikan tugas ini
serta berkontribusi memberikan ide sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik dan
rapi.
Saya berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca.
Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, sehingga saya sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat
membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi

Karawaci, 23 September 2019

Yanetha Z.Harimisa

1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………….i

DAFTAR ISI………………………………………………………………………………ii

RINGKASAN……………………………………………………………………………..1

A.PENGANTAR………………………………………………………………………….1

B.ISI BUKU……………………………………………………………………………….1

REVIEW…………………………………………………………………………………...12

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………….22

2
RINGKASAN

WILL KYMLICKA , MULTIKULTURAL CITIZENSHIP


HAL.401-406

A.PENGANTAR
Buku ini juga bisa berjudul ‘Demokrasi & Perbedaan.Ini menimbulkan pertanyaan
penting tentang keanggotaan komunitas demokratis,dan perwakilan dari berbagai
kelompok di dalamnya.Ini adalah beberapa masalah yang paling meresahkan dalam
politik demokrasi saat ini.Secara umum,mereka menimbulkan pertanyaan apakah
model liberal-demokrasi yang semestinya universal dan individualis memiliki 'Agenda
Tersembunyi'yang mengistimewakan satu budaya tertentu,yaitu individu heteroseksual 1
laki-laki kulit putih.Ini adalah masalah yang dibahas oleh filsuf politik Kanada,Will
Kymlicka,dalam penelitiannya yang penting mengenai kewarganegaraan multikultural.Ia
menyarankan sebuah ideal perwakilan kelompok untuk mengatasi masalah perbedaan
dan keragaman.

B.ISI-ISI BUKU
‒ MENUNJUKAN BAHWA PERWAKILAN KELOMPOK MEMILIKI KEBERLANJUTAN
Dalam hal ini Will Kymlicka telah mencoba untuk menunjukkan bahwa perwakilan
kelompok memiliki keberlanjutan yang penting dengan praktik-praktik representasi yang
ada dalam demokrasi liberal dan sementara ide umum representasi cermin tidak dapat
dipertahankan,.Ada 2 argumen kontekstual 2 yang dapat membenarkan bentuk terbatas
perwakilan kelompok dalam keadaan tertentu yaitu : mengatasi kelemahan sistemik dan
mengamankan pemerintahan sendiri.Argumen ini memberikan dasar bagi pemikiran
bahwa perwakilan kelompok dapat memainkan peran penting jika terbatas dalam
sistem demokrasi perwakilan.Namun,setiap proposal untuk perwakilan berbasis

1 Heteroseksual merupakan ketertarikan romantis, ketertarikan seksual, atau kebiasaan


seksual orang-orang yang berbeda jenis kelamin atau gender dalam pengertian pasangan
gender

2 Kontekstual merupakan prosedur pendidikan yang bertujuan membantu peserta didik


memahami makna bahan pelajaran yang mereka pelajari

1
kelompok harus menjawab sejumlah pertanyaan sulit.Will Kymlicka ingin menandai
beberapa pertanyaan ini,untuk menunjukkan jenis masalah yang perlu ditangani ketika
mengembangkan atau mengevaluasi proposal spesifik untuk perwakilan kelompok

‒ KELOMPOK YANG HARUS DIWAKILI


Kelompok mana yang harus diwakili? Bagaimana kita memutuskan kelompok mana,jika
ada yang berhak atas perwakilan berbasis kelompok? Banyak kritik terhadap
perwakilan kelompok menganggap ini sebagai pertanyaan yang tidak dapat dijawab,
atau lebih tepatnya bahwa jawaban apa pun terhadapnya akan sewenang-wenang dan
tidak terpikirkan.Hasilnya akan menjadi eskalasi tuntutan tanpa batas untuk pengakuan
dan dukungan politik, dan kebencian pahit di antara kelompok-kelompok yang
tuntutannya ditolak. Karena tidak ada cara untuk menentukan di antara kelompok-
kelompok yang tuntutannya ditolak.Karena tidak ada cara untuk menghentikan ini
'torrent3 tuntutan baru dari pihak yang sebelumnya terpinggirkan Grup ',lebih baik untuk
menolak semua klaim untuk perwakilan grup.

‒ ARGUMEN
Tetapi argumen di atas menunjukkan bahwa ada cara menggambar perbedaan prinsip
antara berbagai kelompok. Kelompok memiliki klaim untuk perwakilan jika mereka
memenuhi salah satu dari dua kriteria:
1.Apakah anggota kelompok tunduk pada kerugian sistemik dalam proses politik?
2.Apakah anggota kelompok memiliki klaim untuk pemerintahan sendiri?
Dari dua kriteria ini,pemerintahan sendiri lebih mudah diterapkan. Seperti yang Will
Kymlicka catat hak pemerintahan sendiri biasanya dituntut oleh minoritas nasional.Di
Kanada,misalnya orang Aborigin4 dan Quebec5 dipandang memiliki hak pemerintahan
sendiri.Di Amerika Serikat, contoh paling jelas dari kelompok-kelompok dengan hak-hak
pemerintahan sendiri yang diakui adalah Puerto Rico,suku-suku India,chamorro dari
Guam, dan penduduk Kepulauan Pasifik lainnya.

‒ KERUGIAN SISTEMATIK

3 Torrent alam sistem distribusi file BitTorrent, file torrent atau METAINFO adalah file komputer
yang berisi metadata tentang file dan folder yang akan didistribusikan,
4 Orang Aborigin pribumi australia
5 Quebec adalah penduduk orang Kanada

2
Kriteria kerugian sistemik lebih rumit. Banyak kelompok mengklaim dirugikan dalam
beberapa hal, bahkan melalui mereka mungkin istimewa dalam hal lain, dan tidak jelas
bagaimana seseorang mengukur tingkat kerugian secara keseluruhan. Menurut Iris
Young, ada lima bentuk penindasan: eksploitasi, marginalisasi, ketidakberdayaan,
imperialisme budaya,kekerasan dan pelecehan acak yang dimotivasi oleh kebencian
atau ketakutan kelompok.Dia menambahkan bahwa 'Setelah kita jelas bahwa prinsip
perwakilan kelompok merujuk kelompok representasi harus menghilang '(I.Young 1990:
187)
Namun,daftar 'kelompok tertindas' di Amerika Serikat tampaknya akan mencakup 80
persen dari populasi. Dia mengatakan bahwa di Amerika Serikat hari ini setidaknya
kelompok-kelompok berikut ini tertindas dengan satu atau lebih cara ini: perempuan,
orang kulit hitam, penduduk asli Amerika, Chicanos, Puerto Rico dan orang Amerika
berbahasa Spanyol lainnya, orang Asia Amerika, Chicanos, orang Puerto Rico dan
orang Amerika berbahasa Spanyol lainnya, orang Amerika Asia, lelaki gay, lesbian,
pekerja kelas pekerja, orang miskin, orang tua, dan orang-orang cacat mental dan
fisik.Singkatnya,setiap orang tetapi relatif mampu, relatif mampu, relatif muda, berbadan
sehat, heteroseksual, pria kulit putih.

‒ PERKEMBANGBIAKAN TAK DIJALANKAN


Walaupun begitu,sulit untuk melihat bagaimana kriteria ini akan menghindari
'perkembangbiakan yang tidak bisa dijalankan',karena masing-masing kelompok ini
memiliki sub-kelompok yang mungkin mengklaim hak mereka sendiri.Dalam kasus
Inggris,misalnya, kategori 'orang kulit hitam mengaburkan perpecahan yang mendalam
antara komunitas Asia dan Afro-Karibia6,yang masing-masing pada gilirannya terdiri dari
berbagai kelompok etnis. Seperti yang ditanyakan Philllips, mengingat kapasitas
fragmentasi yang hampir tak ada habisnya, 'Apa yang dalam konteks ini kemudian
dianggap sebagai representasi etnis yang “memadai”?
Di sisi lain,seperti yang diamati Young,sejumlah besar partai politik dan serikat pekerja
telah memungkinkan perwakilan kelompok selama bertahun-tahun tanpa memasuki
peningkatan permintaan dan kebencian yang semakin meningkat.Dan,seperti yang
saya sebutkan sebelumnya. Kita sudah memiliki beberapa pengalaman dengan
masalah mengidentifikasi kelompok-kelompok yang kurang beruntung dalam konteks
programer tindakan afirmatif. Namun masalahnya adalah tangguh dan tentu saja tidak
ada proposal untuk perwakilan kelompok hingga saat ini yang mengatasinya dengan
cara yang memuaskan. Ini satu alasan mengapa skema reformasi alternatif lebih
disukai,jika tersedia dan efektif.Namun,masalah mengidentifikasi kelompok yang tidak
beruntung tidak unik untuk masalah politik,perwakilan, dan itu mungkin tidak dapat
dihindari di negara yang berkomitmen untuk memperbaiki ketidakadilan.

6 Afro-Karibia adalah orang-orang Karibia yang berketurunan Afrika dan tinggal di wilayah tersebut semenjak
kedatangan

3
‒ TIDAK SEMUA KELOMPOK
Penting untuk dicatat bahwa tidak semua kelompok yang secara historis kurang
menguntungkan mendukung strategi perwakilan kelompok. Banyak kelompok imigran
lebih suka bekerja di dalam partai politik yang ada untuk menjadikan mereka lebih
inklusif, daripada mencoba mendapatkan kursi yang dijamin dalam undang-undang.
Pilihan untuk menolak perwakilan kelompok tentu saja harus tersedia untuk masing-
masing kelompok. Visibilitas tambahan yang datang dengan perwakilan kelompok
membawa risiko serta manfaat, dan masing-masing kelompok harus bebas untuk
mengevaluasi pertimbangan ini mengingat keadaannya sendiri..Berapa banyak kursi
yang harus dimiliki suatu kelompok? Jika kelompok-kelompok tertentu membutuhkan
representasi kelompok, berapa banyak kursi yang harus mereka miliki? Ada dua
jawaban umum untuk pertanyaan ini yang sering digabung, tetapi yang harus tetap
berbeda, karena mereka mengarah ke arah yang berbeda.

‒ SATU PANDANGAN
Satu pandangan adalah bahwa suatu kelompok harus diwakili secara proporsional
dengan jumlah dalam populasi pada umumnya.Misalnya,Komite Aksi Nasional Kanada
tentang Status Perempuan (KPA) mengusulkan agar perempuan dijamin 50 persen dari
kursi Senat,yang pada dasarnya adalah perwakilan pemilu proporsional mereka.
Pandangan kedua adalah bahwa harus ada ambang batas jumlah perwakilan, cukup
untuk memastikan bahwa pandangan dan kepentingan kelompok diekspresikan secara
efektif. Pandangan pertama mengikuti secara alami dari komitmen terhadap prinsip
umum representasi cermin. Tetapi, seperti yang saya sebutkan sebelumnya, sebagian
besar pendukung representasi kelompok ingin menghindari prinsip representasi cermin.
Dan begitu kita membatalkan prinsip itu, tidak jelas mengapa representasi proporsional
lebih disukai daripada tingkat representasi ambang batas.

‒ CONTOH ARGUMEN
Sebagai contoh,Anne Phillips7 menolak premis yang mendasari representasi cermin
bahwa seseorang harus menjadi anggota kelompok tertentu untuk memahami atau
mewakili kepentingan kelompok itu.Tetapi dia melanjutkan dengan mengatakan bahwa
'dalam menanyakan gagasan bahwa hanya anggota-anggota tertentu saja kelompok
yang kurang beruntung dapat memahami atau mewakili kepentingan mereka dapat
mengubah pertanyaan ini dengan bermanfaat dan bertanya apakah pemahaman atau
perwakilan seperti itu mungkin terjadi tanpa kehadiran anggota kelompok yang kurang
beruntung?.Argumennya adalah bahwa,tanpa jumlah ambang kursi,yang lain tidak akan
7 Anne Phillip adalah Graham Wallas Profesor Ilmu Politik, Profesor Politik dan Teori Jender di London School of
Economics, di mana dia berbasis di Departemen Pemerintahan.

4
dapat memahami dan dengan demikian dapat mewakili, kepentingan kelompok yang
kurang beruntung.
Menerapkan kriteria ambang batas jumlah kursi ini dapat menyebabkan hasil yang
berbeda dari kriteria perwakilan pemilu proporsional.Dalam kasus perempuan,jumlah
ambang batas kursi yang diperlukan untuk menyajikan pandangan perempuan secara
efektif bisa dibilang kurang dari jumlah kursi proporsional.Presiden NAC 8 membela
jaminan 50 persen kursi Senat untuk wanita dengan alasan bahwa ini akan memastikan
perempuan 'tempat di meja' yaitu,dia menuntut perwakilan proporsional,tetapi
mempertahankannya dalam hal kebutuhan untuk representasi ambang batas.Tetapi
apakah memiliki tempat di meja memerlukan 50 persen tempat di meja?

‒ KASUS
Dalam kasus,agaimanapun ambang batas jumlah kursi yang diperlukan untuk
perwakilan yang efektif mungkin lebih besar dari jumlah kursi proporsional.Bukti
menunjukkan bahwa jika hanya ada satu atau dua anggota dari kelompok yang
terpinggirkan atau kurang beruntung dalam majelis atau komite legislative,mereka
kemungkinan besar akan dikecualikan, dan suara mereka diabaikan.Namun perwakilan
proporsional untuk beberapa kelompok yang kurang beruntung, seperti minoritas ras
atau kelompok imigran,hanya akan berjumlah terlalu banyak representasi token.Jumlah
kursi yang diperlukan untuk presentasi yang efektif dari pandangan mereka, oleh
karena itu, dapat melebihi jumlah kursi yang diperlukan untuk perwakilan pemilu
proporsional.
Pilihan antara perwakilan proporsional dan ambang batas dapat bergantung pada sifat
proses pengambilan keputusan yaitu apakah badan legislatif telah mengadopsi
konsensus,konsosiasional,super-mayoritas,atau jenis lain dari kompromi aturan
pengambilan keputusan, yang bertentangan dengan pemilihan suara sederhana aturan.
Semakin konsensual proses,representasi ambang yang lebih mungkin cukup.

‒ PERWAKILAN KELOMPOK

Bagaimana perwakilan kelompok dimintai pertanggungjawaban?Mekanisme


pertanggungjawaban apa yang dapat dilakukan untuk memastikan bahwa para

8 Neuro Associative Conditioning (NAC), yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah teknik
pengkondisian otak (neuro) dapat digunakan untuk menghilangkan trauma, phobia, meningkatkan percaya diri,
melatih kekuatan bawah sadar

5
legislator yang memegang kursi yang dicadangkan sebenarnya melayani kepentingan
kelompok yang seharusnya mereka wakili? Bagaimana kita memastikan bahwa
'perwakilan' mereka berada dalam sebenarnya bertanggung jawab kepada grup?

‒ MEMBEDAKAN
Di sini sekali lagi kita perlu membedakan dua jawaban yang sangat berbeda.Model
Maori di Selandia Baru melibatkan pembuatan daftar pemilihan terpisah untuk Maori,
sehingga beberapa legislator dipilih semata-mata oleh pemilih Maori.Model perwakilan
kelompok ini tidak mencoba menentukan karakteristik dari calon-memang,akan
mungkin,namun tidak mungkin,bahwa pemilih Maori dapat memilih seorang anggota
parlemen kulit putih.Yang penting,pada Model ini,bukan siapa yang terpilih,tetapi
bagaimana mereka dipilih yaitu : mereka dipilih oleh dan karenanya bertanggung jawab
kepada suku Maori.

‒ KOMUNITAS KEPENTINGAN

Ini mirip dengan praktik menggambar batas-batas konstituensi sehingga mereka


sebagian besar bertepatan dengan 'komunitas kepentingan'.Aman untuk
mengasumsikan bahwa komunitas-komunitas ini menggunakan kekuatan pemilihan
mereka untuk memilih 'salah satu dari mereka sendiri'.Tetapi mereka dapat, dan
kadang-kadang lakukan, pilih seseorang yang bukan anggota kelompok mereka. Ini
tidak merusak nilai mengakomodasi komunitas yang diminati, karena pembenaran
untuk praktik ini bukan representasi cermin (yang dapat diamankan dengan lotere atau
sampel acak).Pembenaran bukan untuk mempromosikan representasi kepentingan
kelompok dengan membuat legislator bertanggung jawab kepada masyarakat. Oleh
karena itu banyak pembela redistricting9 di AS bersikeras bahwa mereka lebih tertarik
pada akuntabilitas daripada representasi cermin.

‒ PERTENGKARAN AFIRMATIF
Pertengkaran afirmatif adalah,dalam pandangan Will Kymlicka disalah pahami jika
dilihat sebagai mekanisme untuk menjamin bahwa orang kulit hitam akan diwakili oleh
orang kulit hitam,Hispanik,dan kulit putih oleh kulit putih,melainkan penggunaan yang
tepat dari.Pertengkaran afirmatif adalah untuk menjamin bahwa kelompok-kelompok
penting dalam populasi tidak akan terganggu secara substansial dalam kemampuan
mereka untuk memilih perwakilan pilihan mereka (Grofman 1982; 98).Model Maori
berupaya memberikan jenis pertanggungjawaban yang sama kepada kelompok-
kelompok yang lebih kecil atau lebih teritorial.

9 Redistricting adalah proses menggambar batas-batas distrik pemilihan di Amerika Serikat.

6
‒ PEMILIH UMUM
Namun,dalam banyak proposal untuk perwakilan kelompok, tidak ada daftar pemilihan
yang terpisah atau daerah pemilihan yang berpasangan di Kanada menjadi perempuan,
tetapi mereka akan dipilih oleh pemilih umum,yang berisi laki-laki sebanyak perempuan.
Dan sementara proposal KPA akan menjamin jumlah kursi yang proporsional untuk
minoritas ras, para Senator ini juga akan dipilih oleh pemilih umum,yang sebagian
besar berwarna putih.
Dalam model ini, perwakilan kelompok berarti memiliki legislator yang termasuk dalam
kelompok seseorang,walaupun mereka tidak dipilih oleh kelompoknya.Namun tidak
jelas dalam arti apa ini merupakan bentuk representasi, karena tidak ada mekanisme
dalam model ini untuk menetapkan apa masing-masing kelompok ingin, atau untuk
memastikan bahwa 'perwakilan' kelompok bertindak atas dasar apa yang diinginkan
kelompok tersebut. Perwakilan tidak bertanggung jawab kepada kelompok, dan dengan
demikian dapat mengabaikan pandangan kelompok itu.Memang,mengingat bahwa
'perwakilan' kelompok dipilih oleh pemilih umum, mungkin tidak bijaksana bagi
perwakilan untuk bertindak dengan cara yang mengganggu sentimen anggota
kelompok dominan.Seperti yang dikatakan Phillips 'Akuntabilitas selalu merupakan sisi
lain dari representasi dan dalam ketiadaan prosedur untuk menetapkan apa yang
diinginkan atau dipikirkan kelompok mana pun,kita tidak dapat berbicara tentang
perwakilan politik mereka.

‒ ASIMETRI
Ini menunjukkan bahwa ada asimetri antara masalah eksklusi 10 dan solusi inklusi11
(Phillips 1995).Artinya,mungkin masuk akal untuk menyimpulkan bahwa sebuah
kelompok yang jauh dari perwakilan pemilu proporsional karena itu 'kurang terwakili' ,
khususnya jika kelompok tersebut telah mengalami diskriminasi atau kerugian
historis.Namun tidak berarti bahwa membalikkan pengecualian ini melalui kursi yang
dijamin memastikan bahwa kepentingan atau perspektif kelompok kemudian
'diwakili'.Gagasan bahwa kehadiran legislator perempuan,misalnya dengan sendirinya
akan memastikan keterwakilan kepentingan perempuan, bahkan tanpa adanya
pertanggungjawaban pemilu, hanya masuk akal jika seseorang berpikir bahwa ada
'beberapa kesatuan mendasar antara perempuan, beberapa rangkaian pengalaman
dan kepentingan yang secara esensial dapat diwakili oleh salah satu sex 12 '(Phillips
1995).Tapi ini tidak masuk akal, tidak hanya dalam kasus wanita, tetapi juga dalam

10 Eksklusi adalah Proses yang menghalangi atau menghambat individu dan komunitas

11 Inklusi adalah Proses membangun hubungan sosial dan menghormati keberagaman individu serta
komunitas

12 Sex itu jenis kelamin

7
kasus etnis, natonal, atau ras kecil ities, mengingat heterogenitas kepentingan dan
perspektif dalam masing-masing kelompok ini.

‒ KEWARGANEGARAAN MULTIKULTURAL DALAM NEGARA MULTINASIONAL


Kewarganegaraan multikultural dalam negara multinasional oleh Will Kymlicka
University Queen,Kanada Akstrak.Dalam banyak demokrasi barat hari ini, ada
panggilan untuk memperkuat rasa kewarganegaraan umum sebagai cara membangun
'kohesi sosial' dalam masyarakat yang semakin beragam.Pendidikan kewarganegaraan
di sekolah,memberikan kelas kewarganegaraan kepada imigran,memaksakan tes
kewarganegaraan baru untuk naturalisasi,dan mengadakan upacara kewarganegaraan.
Dalam artikel ini Will kymlicka akan memeriksa agenda kewarganegaraan baru ini
dalam kasus spesifik negara multinasional yaitu, di negara-negara yang telah
merestrukturisasi diri untuk mengakomodasi gerakan sub-statenasionalis yang
signifikan, biasanya melalui beberapa bentuk devolusi teritorial, kekuatan konsosiatif.
-berbagi,dan /status bahasa resmi.

‒ ARTI KEWARGANERAAN
Apa artinya mempromosikan kewarganegaraan bersama di negara multinasional, dan
bagaimana agenda kewarganegaraan baru yang berfokus pada imigrasi berhubungan
dengan perdebatan lama tentang multinasionalisme? Will Kymlicka akan berpendapat
bahwa dalam konteks khusus negara multinasional, agenda kewarganegaraan baru ini
harus mempromosikan konsepsi kewarganegaraan multinasional yang jelas jika mereka
ingin adil dan efektif. Yang adil,kita perlu mengadaptasi model kewarganegaraan
multinasional yang sudah dikenal untuk menjadi lebih inklusif dari imigran.Singkatnya,
jika agenda kewarganegaraan ingin menjadi efektif, dan untuk menjadi cukup inklusif
dari kedua kelompok nasional sub-negara bagian dan imigran, kita memerlukan
konsepsi kewarganegaraan yang lebih multinasional,dan konsep multinasional yang
lebih multikultural tentang multinasionalisme.

‒ KATA KUNCI KEWARGANERAAN


Kata kunci kewarganegaraan,pendidikan kewarganegaraan,federalisme, imigrasi,
integrasi,multikultural, multinasional, minoritas nasional, postnasional, demokrasi barat
Pengantar Di banyak negara demokrasi barat saat ini, ada seruan untuk memperkuat
rasa kewarganegaraan sebagai cara membangun kohesi sosial sebagai cara
membangun kohesi sosial dalam masyarakat yang semakin beragam. dipromosikan
oleh,antara lain,menambah atau memperkuat pendidikan kewarganegaraan di sekolah-
sekolah,menyediakan kelas kewarganegaraan bagi para imigran

8
‒ MEMAKSAKAN TES KEWARGANERAAN
Memaksakan tes kewarganegaraan baru untuk naturalisasi dan mengadakan upacara
kewarganegaraan. Seperti yang dijelaskan dalam daftar ini,fokus sebagian besar dari
kecemasan ini adalah imigran, dan kurangnya integrasi mereka.Penekanan baru pada
kewarganegaraan kadang-kadang ditawarkan sebagai alternatif untuk ide
multikulturalisme yang lebih tua.David Blunkett 13 dalam The UK berulang kali
membandingkan agenda kewarganegaraan dengan agenda multikulturalisme (McGhee,
2009: 48). Tetapi juga ditemukan di negara-negara yang mempertahankan komitmen
tomultikulturalisme, seperti di Kanada atau Swedia (Milani, 2008). Perhitungan motif
dan efek 'agenda kewarganegaraan' yang baru ini bervariasi. (Wright, 2008), dan
/mereproduksi kembali asumsi-asumsi ideologis tentang homogenitas nasional esensial
dari warga yang ada dan tentang alienitas yang berbeda dari para pendatang baru
(Blackledge, 2004; Stevenson, 2006; Milani, 2008). Pembela berargumen bahwa ini
didasarkan pada komitmen dengan itikad baik untuk memungkinkan integrasi, tercermin
dalam kampanye proaktif untuk mendorong naturalisasi, dan komitmen untuk
menyediakan sumber daya yang memungkinkan imigran untuk memenuhi tes baru
(Kiwan, 2008a; Etzioni, 2007) .Tidak akan langsung membahas debat umum ini, tetapi
sebaliknya ingin berfokus pada tantangan-tantangan yang terlibat dalam
mempromosikan kewarganegaraan dalam kasus khusus 'negara multinasional' yaitu,di
negara-negara yang telah merestrukturisasi diri untuk mengakomodasi gerakan
nasionalis sub-negara yang signifikan, biasanya melalui beberapa bentuk evolusi
teritorial, pembagian kekuasaan konsosiasional, dan / atau status bahasa resmi UK,
Spanyol, Belgia, Kanada dan Swiss.

‒ DALAM NEGARA MULTINASIONAL


Di negara-negara multinasional diatas,gagasan lama kewarganegaraan nasional yang
homogen telah diperdebatkan dan ditransformasikan sebagai hasil mobilisasi oleh
minoritas regional bersejarah, menghasilkan model-model yang kita sebut
kewarganegaraan multinasional.Negara-negara multinasional ini sama besar
kemungkinannya dengan negara-negara barat lainnya yang memiliki populasi imigran
yang signifikan, dan memiliki kekhawatiran yang mendalam tentang dampak imigrasi
pada kohesi sosial dan integrasi. Dan,tidak mengherankan, negara-negara ini juga telah
menyaksikan seruan-seruan untuk tempat yang diperbarui tentang kewarganegaraan
‒ MENGEVALUASI KASUS

Bagaimana kita mengevaluasi kasus-kasus ini dalam hal kewarganegaraan? Pada


sebagian besar akun tujuan kewarganegaraan adalah promosi, kesimpulannya jelas.
Menurut Blunkett, tujuan dari agenda kewarganegaraan baru adalah untuk mendorong
imigran '' mengidentifikasi dengan Inggris '(Home Office, 2001,dikutip dalam McGhee,

13 David Blunkett, Baron Blunkett, PC adalah mantan politisi Inggris, yang telah mewakili konstituensi Sheffield
Brightside dan Hillsborough selama 28 tahun

9
2009: 45) dan' komitmen mereka ke Inggris '(Home Office, 2002: 32 ).Jika demikian,
maka tingkat tinggi dukungan Pakistan untuk SNP adalah bukti kegagalan agenda
kewarganegaraan.Sebaliknya,tingkat dukungan imigran yang sangat tinggi untuk
persatuan Kanada di Quebec adalah bukti keberhasilan penanaman 'pengidentifikasian
dengan Kanada' dan 'komitmen ke Kanada.Namun Will Kymlicka berpendapat bahwa
kita bisa menarik kesimpulan yang berlawanan.Dukungan Pakistan untuk SNP dapat
menjadi bukti keberhasilan integrasi ke dalam etos dan praktik kewarganegaraan
multinasional, sedangkan hampir tidak adanya dukungan imigran untuk pemisahan diri
di Quebec mungkin merupakan bukti kegagalan integrasi ke dalam kewarganegaraan
multinasional. Integrasi yang berhasil ke dalam etos kewarganegaraan multinasional
melibatkan, setidaknya sebagian, integrasi ke dalam identifikasi yang ambivalen dan
komitmen yang diperebutkan.Will Kymilicka akan kembali ke kasus-kasus di bawah
ini,tetapi izinkan saya terlebih dahulu mengatakan lebih banyak tentang sifat
nasionalisme sub-negara, dan jenis kewarganegaraan multinasional. itu menghasilkan.
Saya akan membahas mengapa norma kewarganegaraan multinasional relevan
dengan gerakan kewarganegaraan dalam konteks pertumbuhan imigrasi.

‒ KOHESI SOSIAL
Untuk semua kecemasan tentang dampak imigrasi pada kohesi sosial,penting untuk
mengingat bahwa tantangan terdalam untuk kohesi sosial di banyak negara berasal dari
minoritas nasional bersejarah mereka, bukan imigran mereka. Ini benar, misalnya, dari
Spanyol, Belgia, Kanada atau Inggris. Para politisi dan pakar berspekulasi tanpa henti
tentang apakah imigran memiliki perasaan yang cukup kuat tentang 'menjadi orang
Kanada' atau 'menjadi orang Inggris', tetapi jika ada masalah dengan identitas nasional
di negara-negara ini, itu bukan contoh pertama dengan para imigran. Misalnya, ketika
Survei Kewarganegaraan Inggris 2003 Kantor Pusat bertanya 'seberapa kuat Anda milik
Inggris', 85,95 persen orang India, 86,38 persen orang Pakistan, dan 86,85 persen
orang Bangladesh14 mengatakan bahwa mereka termasuk 'cukup' atau 'sangat' kuat
untuk Inggris –jumlah yang pada dasarnya identik dengan 86,7 persen orang kulit putih
yang mengatakan mereka baik milik cukup atau sangat kuat.Seperti yang dikatakan
Maxwell, hasil-hasil ini ept mendorong sikap skeptis terhadap gagasan krisis identifikasi
nasional di antara Muslim dan Asia Selatan di Inggris '(Maxwell, 2006).Sebaliknya,
hanya 8,5 persen Katholik di Irlandia Utara yang diidentifikasi sebagai orang Inggris
(Coakley, 2007). Itu mungkin merupakan kasus pengecualian, tetapi orang-orang
Skotlandia juga lebih kecil kemungkinannya daripada yang diidentifikasi oleh orang
imigran sebagai orang Inggris — 33 persen orang Skotlandia bahkan menolak sebagian
identitas Inggris (Bond dan Rosie, 2002).

14 Bangladesh adalah sebuah negara di Asia Selatan yang berbatasan dengan India di barat,
utara, dan timur, Myanmar di tenggara, serta Teluk Benggala di selatan.

10
PENUTUP
Jadi di sini lagi kita memiliki model yang saling bertentangan, berdasarkan pada cita-cita yang
saling bertentangan. Model Maori menjamin bahwa beberapa perwakilan hanya bertanggung
jawab kepada pemilih Maori, meskipun itu tidak menjamin bahwa para wakil itu adalah diri
mereka sendiri Maori — yaitu, itu tidak menjamin bahwa representatif 'mencerminkan' itu
Pemilihan. Model KPA menjamin bahwa perwakilan mencerminkan kelompok-kelompok penting
dalam pemilih, tetapi tidak menjamin bahwa perwakilan bertanggung jawab kepada kelompok
yang mereka cerminkan. ingin menemukan beberapa cara untuk memastikan bahwa perwakilan
bertanggung jawab kepada kelompok yang seharusnya mereka wakili. Tetapi sampai saat ini,
cita-cita perwakilan cermin dan akuntabilitas demokratis belum terintegrasi secara memadai.

REVIEW

11
WILL KYMLICKA,MULTIKULTURAL CITIZENSHIP
HAL.401-406

ISI REVIEW
Dalam bab ini saya akan meriview atau memberi komentar mengenai buku milik Will
Kymlicka tentang ‘Kewarganeraan Multikultural’ serta ‘liberal’.Will Kymlicka,dengan
filsafat politiknya yang focus pada isu-isu demokrasi dan keberagaman khususnya
dalam masyarakat multicultural,menjadi salah seorang ilmuwan yang pemikirannya
sangat diperhitungkan selama beberapa decade terakhir.Beberapa tulisannya
membahas fenomena multikulturalisme di negara tempat ia berdomisili,yaitu
Kanada.Salah satu pemikirannya yang terkenal argumennya mempertahankan
multikulturalisme liberal.
‒ KEWARGANERAAN MULTIKULTURAL
Bagaimana pandangan Will Kymlicka atas multikulturalisme bisa kita lihat pada buku
karangannya, Multicultural Citizenship (1995).Dalam tulisannya ia mencoba
memaparkan bahwa pendekatan lama dalam melihat multikulturalisme sudah tidak
begitu relevan dalam menjawab masalah dalam isu kontemporer 15. Itu disebabkan
karena solusi dari masalah-masalah multikultural kerap kali berujung pada sudut
pandang pihak mayoritas semata.

Will Kymlicka cenderung tidak ingin menggunakan kata multikulturalisme dalam


menjelaskan fenomena yang terjadi di dunia saat ini. Ia cenderung lebih suka
menggunakan konsep multination dan polyethnic. Konsep bangsa (nation) yang
digunakannya lebih disamaartikan sebagai sebuah masyarakat atau pun kebudayaan
tertentu yang sudah memiliki sejarah dan teritorial tempat mereka tinggal. Bangsa tadi
didasarkan pada kesamaan historis serta adat istiadat yang sama. Di dunia banyak
sekali negara yang memiliki banyak bangsa yang menghasilkan bentuk
negara multination. Ia cenderung tidak menggunakan konsep culturedalam
pembahasan negara karena konsep ini dianggap masih cenderung abstrak dan biasa
digunakan hanya untuk membedakan kelompok-kelompok yang ada di masyarakat.
Dengan demikian culture lingkupnya lebih luas. Ia mencontohkan dengan melihat pada
bangsa Eropa.Kita bisa saja mengatakan bahwa negara Eropa berasal dari cultureyang
sama karena memiliki kesamaan-kesamaan dalam masyarakatnya,meskipun
sebenarnya dalam tiap negara berasal dari bangsa yang berbeda. Ia juga

15 Kontemporer adalah sesuatu hal yang modern, yang eksis dan terjadi dan masih berlangsung sampai sekarang,
atau segala hal yang berkaitan dengan saat ini

12
mencontohkan pada orang-orang homoseksual yang memiliki culture yang sama.
Sehingga ia melihat konsep nation atau bangsa dalam hal ini bisa lebih spesifik dalam
menjelaskan fenomena dalam suatu negara karena ada unsur historis serta teritorinya.
Dalam keadaan dimana tiap-tiap bangsa yang ada di dalam suatu negara menerima
dengan sukarela persatuan sebagai sebuah kebutuhan bersama,
terbentuklah multination state. Selain bangsa yang memang telah berada di teritorial
negara tersebut dari awal, ada juga imigran yang datang sebagai penduduk di sebuah
negara. Mereka datang tanpa adanya basis tempat dan keturunan dari bangsa di
negara tersebut. Negara yang memiliki kelompok imigran inilah yang disebut Will
Kymlicka sebagai Polyethnic.

Akhir abad 20 adalah masa yang disebutnya sebagai ‘the age of migration’16. Pada
masa ini banyak sekali negara-negara yang kedatangan migran-migran. Ini
menyebabkan tantangan baru pada tiap negara yang menghadapinya karena akan
semakin banyak permasalahan etnik yang muncul. Pembahasan terhadap hak-hak
kaum migran dan etnik minoritas juga semakin gencar setelah Cold War17 berakhir.
Pembelahan antara multination dan polyethnic dari Willkymlicka ini dengan demikian
bisa membantu kita menganalisa kelompok imigran tersebut.

‒ POLITIK MULTIKULTURAL

Will Kymlicka menggunakan apa yang terjadi di Canada sebagai contoh bagaimana kita
melihat bahwa sebuah negara sebenarnya bisa menjadi multination
sekaligus polyethnic18.Sebelum imigran datang,Canada telah memiliki keberagaman
bangsa, baik itu orang-orang lokal, Inggris maupun Prancis. Namun kondisi itu
ditambah dengan kehadiran banyak migran asing yang menetap disana. Yang menarik
adalah bahwa pemerintah Canada memberikan perhatian kepada kedua kelompok
tersebut. Tidak hanya hak-hak bangsa yang telah berada lebih dahulu di negara
tersebut, namun pemerintah juga memberikan akomodasi kebijakan kepada para
migran-migran.

Sering terjadi para migran yang datang ke suatu negara dipaksa untuk melakukan
asimilasi. Mereka dipaksa untuk bisa mempergunakan budaya yang telah ada di negara
tersebut dari unsur mayoritas. Kebanyakan migran-migran di berbagai negara tidak
mempersoalkan itu dan turut belajar kebudayaan, termasuk paling penting bahasa, dari
negara yang mereka datangi dan tinggali untuk seterusnya. Tetapi ada pula migran
yang menolak untuk melakukan asimilasi dan tetap mempergunakan kebudayaan
aslinya.Bahkan ada yang menolak untuk mengganti bahasa mereka.
Dalam pandangan Will Kymlicka para migran ini tidak masuk dalam kategori bangsa di
negara yang mereka datangi. Bahkan mereka itu berbeda dengan kelompok minoritas.

16 The Age of Migration adalah usia dari migrasi


17 Perang dingin
18 Politeknik

13
Minoritas diartikan sebagai kelompok bangsa yang telah terpinggirkan karena adanya
bangsa lain yang lebih mendominasi. Mereka bukan pendatang namun merupakan
penduduk asli di tanah mereka. Contoh paling mudah adalah suku Indian yang justru
menjadi kelompok minoritas di tanah Amerika. Kelompok ini kebanyakan akan tetap
diakomodir kepentingannya oleh pemerintah. Para imigran yang datang ke sebuah
negara bisa berkembang menjadi sebuah kelompok minoritas. Itu bisa berubah ketika
ada keadaan dimana mereka telah memiliki kekuatan untuk berpolitik dan mengatur
hidup mereka sendiri (self-governing), atau setidaknya ada tuntutan untuk hal-hal
tersebut.
Baik unsur minoritas maupun kelompok migran menjadi fokus dalam membahas
keberagaman di negara modern. Salah satu hal pentingnya adalah bagaimana Will
Kymlicka ingin memberikan perspektif baru bagaimana memperjuangkan hak mereka,
dalam sebuah sistem demokrasi liberal, bercermin dari apa yang telah dilakukan di
Canada. Ada tiga hal pokok yang menurutnya penting untuk diperjuangkan dalam
budaya demokrasi terhadap kelompok-kelompok di atas. Pertama, self–government
rights. Masyarakat minoritas bisa memperjuangkan haknya untuk bisa mengatur diri
mereka sendiri. Kymlicka melihat bahwa sistem federal bisa menjadi salah satu solusi
karena kelompok minoritas dapat mengatur diri mereka tanpa dipengaruhi oleh
kelompok yang lebih besar. Kedua, polyethnic rights19. Disini fokusnya adalah
bagaimana pemerintah memberikan kebebasan kepada para migran untuk
menggunakan kebudayaan mereka yang berbeda dengan kebudayaan lokal atau pun
mayoritas. Termasuk didalamnya adalah menggunakan atribut agama yang menjadi
minoritas di negara tersebut serta simbol-simbol lainnya tanpa mempengaruhi hak
ekonomi dan sosial-politik mereka di masyarakat. Yang terakhir adalah special
representation rights20. Dimana pada akhirnya kelompok minoritas, baik secara budaya,
gender, keterbatasan fisik, agama, memerlukan hak untuk mengikutsertakan
representasi dari kelompoknya dalam parlemen. Dengan demikian kelompok tersebut
bisa secara langsung memperjuangkan hak mereka secara politik.

Hal menarik lainnya dari pandangan Will Kymlicka adalah penilaiannya bahwa
perjuangannya terhadap kaum minoritas bisa berhasil hanya ketika masyarakatnya
mengerti nilai dari liberalisme. Karena menurutnya perjuangan akan kebebasan hak
dari kaum minoritas ini adalah buah dari pemikiran liberal. Kemudian kita bisa melihat
apakah masyarakat Indonesia sendiri sudah siap dengan konsep ‘liberal’ itu sendiri.
Seperti kita ketahui banyak negara , termasuk Indonesia, yang masih cenderung anti
terhadap isu yang berkaitan dengan liberalisme karena takut dan tidak mau menjadi
Barat. Padahal nilai-nilai kebebasan yang bisa diperjuangkan tersebut ada pada paham
liberal. Menurut Will Kymlicka yang harus dilakukan adalah sosialisasi nilai tersebut
secara halus ke masyarakat. Yang harus melakukannya adalah kelompok-kelompok

19 Hak-hak politis
20 Hak perwakilan khusus

14
dalam negara tersebut yang memang telah sadar akan kepentingan minoritas dan nilai
kebebasan tadi. Tidak bisa dengan intervensi dari negara Barat yang serta merta
langsung ingin memasukkan liberalisme pada negara lain. Bila kita mengutip dari tokoh
liberal seperti John Locke, masyarakat demokratis bisa tercapai hanya ketika
masyarakat tersebut telah mengetahui hak-hak mereka sebagai warga negara. Dalam
akhir buku Multicultural Citizenship (1995), Will Kymlicka berargumen bahwa liberalisme
harus bisa memastikan adanya keadilan antar kelompok,serta kebebasan dan keadilan
di dalam kelompok.
Setelah melihat pemikiran Kymlicka di atas, bagaimana kita memandang
multikulturalisme di Indonesia? Bisakah kita menjadi seperti Canada? Dilihat dari
komposisinya, kita telah memiliki banyak suku bangsa serta etnis Cina sebagai bangsa
yang dianggap sebagai pendatang atau imigran. Sehingga sebenarnya menarik apabila
kita bisa menarik pandangan tokoh ini untuk bisa melihat permasalahan ras dan etnis di
Indonesia.
Multikulturalisme sebagai fenomena dunia modern yang muncul di awal tahun 1960an
dan mendapatkan legitimasi di tahun 1970an merupakan sebuah model alternatif di
dalam membangun negara dan mengelola kemajemukan masyarakat. Multikulturalisme
menekankan betapa pentingnya memelihara pluralisme budaya dan memertahankan
warisan budaya, termasuk agama. Dalam perkembangannya, sejarah multikuturalisme
bukan lagi hanya sebatas toleransi, tetapi meningkat pada dimensi keadilan sosial
seluruh masyarakat tanpa memerdulikan latar belakang ras, budaya, etnis, dan
agama.Will Kymlicka punya jasa besar dalam mengembangkan gagasan ini.
Tidak hanya memberikan perlakuan yang setara dengan kelompok
mayoritas, kebijakan multikulturalisme liberal juga mencoba untuk
mengakomodasi berbagai bentuk keragaman termasuk pengakuan hak akan
tanah, otonomi daerah dan pengakuan bahasa, dan hak akomodasi untuk
kelompok imigran.
Will Kymlicka berpendapat bahwa pada zaman modern selayaknya sekarang ini, suatu
negara tidak dapat lagi membanggakan ke-homogenitas-an budayanya, tidak lagi ada
suatu negara modern yang terdiri atas hanya satu bangsa atau satu etnis yang
menghuninya, negara sekarang menjadi semakin ‘multikultural’. Kymlicka menjadi
penting dalam pemikiran filsafat politik terutama dalam tema multikulturalisme karena
Kymlicka merupakan pemikir awal yang memberikan deskripsi yang sistematis dan
runut tentang hak minoritas.
Dalam tulisannya The Essentialist Critique of Multiculturalism: Theories, Policies, and
Ethos21, Kymlicka mendefiniskan multikulturalisme liberal sebagai bentuk demokratik-
liberal dari multikulturalisme yang berakar dari nilai-nilai liberal kebebasan, kesetaraan,
dan demokrasi. Bentuk multikulturalisme ini memberikan perlindungan dari diskriminasi,
mengakui dan mengakomodasi kebebasan individu kelompok minoritas seperti

21 Kritik Esensial terhadap Multikulturalisme: Teori, Kebijakan, dan Etos

15
kebebasan berbicara, membentuk kelompok, menjalankan agama, dll. Tidak hanya
memberikan perlakuan yang setara dengan kelompok mayoritas, kebijakan
multikulturalisme liberal juga mencoba untuk mengakomodasi berbagai bentuk
keragaman termasuk pengakuan hak akan tanah, otonomi daerah dan pengakuan
bahasa, dan hak akomodasi untuk kelompok imigran. Kymlicka mencontohkan salah
satu isu di mana kebijakan multikulturalisme liberal dituntut mampu memberikan solusi
adalah perdebatan kewajiban memakai helm bagi para syeikh (yang kesehariannya
memakai sorban karena alasan agama).
Kymclika juga menekankan bahwa dengan heterogenitas agama dan budaya, multi
nasional, multi etnis yang menjadi dasar lahirnya negara bangsa haruslah tidak tinggi
dari nasionalisme sipil, karena kelompok etnis dari sub-nasional yang memiliki wilayah
teritori dapat melahirkan konflik untuk memperoleh kontrol atas satu wilayah tertentu
atau seluruh negara. Artinya nasionalisme sipil dan nasionalisme etnis dapat semakin
liberal atau berkurang keliberannya, sehingga perbedaan ini tidaklah sederhana.
Seperti lahirnya Gerakan Aceh Merdeka, Gerakan Papua Merdeka, bagi Kymlicka,
identitas etnis yang lebih besar dari identitas sipil tidaklah boleh dalam negara bangsa.
Inilah kenapa Kymlicka mengatakan bahwa negara bangsa modern yang multikultural
dapat menjadi pisau bermata dua, artinya pluralitas, heterogenitas negara bangsa
dapat sebagai nation building22 sekaligus nation destroying23,di mana di satu sisi
terbentuknya negara bangsa Indonesia ini sebagai sebuah gerakan subnasional untuk
mewujudkan imagined community tetapi juga dapat menghapus rasa kebangsaan
akibat dari tidak terpenuhinya hak dari minoritas pada teritori tertentu akibat dari
kesenjangan ekonomi dan ketimpangan pembangunan.
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, Kymlicka berusaha untuk memperjuangkan
hak-hak kultural yang mengakomodasi kelompok masyarakat minoritas dalam sebuah
bangsa. Ia membedakan antara kelompok bangsa pribumi minoritas dengan kelompok
polietnis atau kelompok imigran. Kelompok bangsa minoritas adalah mereka yang 1)
hadir saat negara dibentuk, 2) memiliki sejarah mandiri sebelum negara baru dibentuk,
3) memiliki kesamaan budaya, 4) kesamaan bahasa, dan 5) memiliki institusi yang
mengatur anggota kelompoknya. Dia juga tidak menghendaki minoritas nasionalis untuk
meninggalkan identitas nasional mereka dan berintegrasi ke negara nasional, tetapi ia
juga tidak melihat kemungkinan untuk memberikan semua minoritas nasional negara
sendiri. Baginya, tidak realistis untuk memenuhi tuntutan pemisahan yang diajukan oleh
semua nasionalisme minoritas.
Jadi, menurut Kymlicka, tuntutan adanya perlakuan khusus bagi kelompok
minoritas sebenarnya bukanlah upaya untuk mengekslusifkan diri dari
mayoritas, melainkan upaya kelompok minoritas untuk mengintegrasikan
diri mereka ke dalam sistem.

22 Pembangunan bangsa
23 Menghancurkan negara

16
Gagasan baru yang dikembangkan Kymlicka ialah perihal perlakuan khusus terhadap
minoritas. Pandangan ini semula dikecam oleh para pendukung liberalisme dengan
dalih bahwa hal tersebut tidak sesuai dengan prinsip liberalisme bahwa tiap individu
mendapatkan perlakuan sama. Namun, Kymlicka membantahnya dengan argumen
bahwa liberalisme menitikberatkan pada kebebasan individu, termasuk kebebasan
untuk hidup sesuai dengan budaya yang sudah dimiliki sebelumnya. Argumen inilah
yang menjadi dasar pemikiran bahwa kelompok minoritas, dengan latar belakang
budaya yang berbeda dari mayoritas, membutuhkan perlindungan akan hak-hak
mereka untuk hidup seperti yang mereka inginkan. Inilah yang menjadi prinsip dasar
multikulturalisme liberal. Jadi, menurut Kymlicka, tuntutan adanya perlakuan khusus
bagi kelompok minoritas sebenarnya bukanlah upaya untuk mengekslusifkan diri dari
mayoritas, melainkan upaya kelompok minoritas untuk mengintegrasikan diri mereka ke
dalam sistem.
Menurut Kymlicka, ada beberapa faktor yang menentukan keberhasilan implementasi
kebijakan multikutural, di antaranya: (1) desekurisasi hubungan antaretnis, di mana
multikulturalisme harus dilihat dari segi sosial politik bukan sebagai ancaman untuk
negara. Contohnya, setelah peristiwa 11 September,banyak negara barat yang
memandang kelompok minoritas muslim/Arab di negaranya sebagai sebuah ancaman
terhadap negara; (2) hak asasi manusia, di mana negara harus memiliki komitmen
untuk melindungi hak semua individu dari berbagai etnis maupun agama. Dalam contoh
kasus 11 September, Kymlicka mencontohkan, kelompok mayoritas menganggap
muslim tidak bisa menghargai hak-hak asasi manusia yang menjadi korban dalam
tragedi tersebut, sehingga muncul prasangka dan stereotipe terhadap minoritas
Arab/muslim. Dalam hal ini negara perlu memberikan perlindungan kepada kelompok
minoritas Arab/muslim di negara tersebut; (3) kontrol daerah perbatasan, di mana
masyarakat bisa lebih menghargai multikulturalisme ketika mereka merasa yakin bahwa
daerah perbatasan negara mereka aman sehingga terhindar dari ancaman masuknya
imigran/pencari suaka lain; (4) keberagaman kelompok imigran. Kelompok mayoritas
khawatir akan adanya perebutan dominasi jika imigran yang masuk ke negara mereka
adalah sekelompok besar orang-orang yang berasal dari satu tempat dan latar
belakang budaya yang sama, dibandingkan dengan kelompok-kelompok kecil imigran
yang datang dari berbagai tempat; dan (5) kontribusi ekonomi yang terkait dengan poin
(4).

Pada titik ini jika ditarik kembali pada pertanyaan awal,maka klaim ontologis politik
liberal Kymlicka terletak pada basis multikulturalisme yang menekankan pada aspek
hak-hak minoritas. Kemudian aspek epistemologisnya ialah argumen (realisme)
bahwasanya pemberian hak-hak khusus pada kaum minoritas adalah bentuk
pengintegrasian alih-alih sebuah pengekslusifan. Lalu aspek aksiologisnya terletak
pada bentuk pemerintahan yang baik ialah mengakomodasi hak-hak minoritas tanpa
melupakan identitas nasional suatu negara

17
Ada kesamaan antara Justice as Fairness yang digagas oleh John Rawls24 dan Politik
Multikultural a la Will Kymlicka, yaitu peran keberagaman. Dalam Justice as
Fairness gagasan perihal keberagaman baik itu keragaman budaya, agama, filosofi,
dan moral tidak dipinggirkan, melainkan diambil faktor-faktor progresifnya guna
mendukung liberalisme politik. Demikian halnya dengan politik multikulturalisme,
keberagaman dijadikan elemen penting dari prinsip liberalisme.
Perbedaan yang paling kentara perihal keberagaman di antara keduanya ialah pada
tataran praksis penerapan gagasan keberagaman tersebut. Dalam Justice as
Fairness keberagaman hanya berguna sejauh ia mempunyai elemen progresif guna
mendukung liberalisme. Selebihnya keberagaman agama, filosofi, dan moral dalam
suatu masyarakat tidak berhak mengambil peranan dalam penyusunan kebijakan
publik. Masyarakat dituntut untuk bersikap rasional sesuai dengan original position-nya
guna mengakomodir veil of ignorance25. Sedangkan keberagaman dalam politik
multikulturalisme menekankan pada hak-hak minoritas, baik itu minoritas bangsa
maupun minoritas etnis. Politik multikulturalisme tidak menghendaki adanya subordinasi
minoritas bangsa atau pun minoritas etnis dalam suatu bangsa, melainkan hendak
mengintegrasikan mereka ke dalam masyarakat yang lebih besar dengan memberikan
hak-hak khusus. Dengan demikian, keberagaman dalam politik multikulturalme
menjamin bahwa kaum minoritas punya kesetaraan yang sama dengan masyarakat
mayoritas.
Di titik ini penulis mempertanyakan klaim keberagaman yang di dalam kedua gagasan
tersebut. Menurut penulis, klaim keberagaman meskipun punya maksud baik dalam
menciptakan masyarakat yang setara, namun pada praktiknya klaim keberagaman
malah jadi justifikasi bagi kapitalisme untuk menancapkan hegemoninya di masyarakat.
Lihat saja bagaimana hadirnya para imigran di seluruh dunia, khususnya di Eropa,
Amerika dan Australia. Dengan dalih keberagaman, para imigran diperas tenaganya
agar dapat menjadi buruh murah di dalam sistem kapitalisme.
Adanya pemisahan ruang publik dan ruang privat dalam Justice as
Fairness membuat liberalisme Rawls terlihat tanggung. Padahal
pengekspresian diri di ruang publik, termasuk di ruang politis adalah niscaya
dalam kehidupan manusia.
Berdasar perspektif Hobbesian, globalisasi—yang mengakibatkan adanya
keberagaman—adalah rezim mobilitas yang selalu melihat imigran dengan ‘paradigma
kecurigaan’.Ia bekerja dengan cara membatasi akses kepada hak-hak dan pemenuhan
tertentu melalui regulasi ruang sosial tidak hanya dalam konteks negara, tetapi juga
korporasi multinasional, blok-blok regional, dan bahkan organisasi-organisasi
internasional.

24 John Rawls adalah filsuf dari Amerika Serikat yang terkenal pada abad ke-20 di dalam
bidang filsafat politik

25 Tabir ketidaktahuan

18
Paradigma ini bekerja tidak hanya pada tataran pintu imigrasi negara bangsa, tetapi
juga universalisasi ketakutan terhadap apa yang oleh Simmel disebut sebagai ‘orang
asing’ (‘the stranger’), yaitu “(bukan) pengembara yang datang hari ini dan esok pergi,
tetapi lebih (adalah orang) yang datang hari ini dan esok menetap—pengembara yang
potensial, jadi yang berbicara, siapa, meskipun dia telah pergi lagi, tidak menghalangi
kebebasan untuk datang dan pergi.” Dilihat dari sudut pandang ini, globalisasi sama
sekali tidak menghacurkan fungsi yang awalnya melekat pada negara-bangsa, yaitu
kontrol, tetapi hanya mengalihkan sebagiannya pada diskursus kekuasaan lain, baik
yang sub-nasional maupun supra-nasional. Dengan kata lain, secara ontologis negara-
bangsa tetap bertahan, meski secara epistemologis ia mengalami pemahaman ulang.
Alih-alih dua dayung keberagaman a la Rawls dan Kymlicka menjaga keseimbangan
kapal liberalisme yang terjadi malah sebaliknya, dua dayung tersebut bergerak ke arah
yang berbeda antara satu dan lainnya. Justice as Fairness mencoba menciptakan
institusi politik yang rasional, namun tidak memberikan ruang utuh bagi masyarakat
guna mengekspresikan diri dan identitasnya di ruang publik. Adanya pemisahan ruang
publik dan ruang privat dalam Justice as Fairness membuat liberalisme Rawls terlihat
tanggung. Padahal pengekspresian diri di ruang publik, termasuk di ruang politis adalah
niscaya dalam kehidupan manusia. Sampai sejauh mana seseorang dapat bersifat
rasional dalam membentuk kebijakan publik tanpa mempertimbangkan latar belakang
budayanya? Bukankah original position 26merupakan klaim metafisis yang sulit
diwujudkan di dunia kongkret? Dan sejauh mana Justice as Fairness mampu
memfasilitasi para imigran agar tidak jatuh ke dalam penindasan kapitalisme?
Sementara itu, politik multikultural Kymlicka membawa keberagaman jatuh ke dalam
politik identitas yang banal. Kita bisa melihat politik identitas yang dilakukan di Amerika
dan Jakarta beberapa tahun yang lalu. Politik identitas antara mayoritas dan minoritas
membawa perpecahan masyarakat ke dalam jurang yang gelap. Perkembangan baru
ini jelas menantang politik multikulturalisme dalam praktik kewarganegaraan dan
demokrasi. Tak tanggung-tanggung, pernyataan bahwa multikulturalisme telah gagal
disampaikan oleh bekas Perdana Menteri Inggris, Toni Blair, dan Kanselir Jerman,
Angela Markel. Multikulturalisme dinilai memfasilitasi praktik ‘getoisasi’ kaum minoritas
yang merintangi integrasi mereka dengan kebudayaan dan masyarakat setempat.
Sekarang keberbedaan dianggap sebagai ancaman, sehingga di Jerman, misalnya,
muncul usulan untuk kembali ke asal-usul primordial yang ekslusif sebagai basis
kewarganegaaraan.
Dengan kritik yang diajukan kepada keberagaman yang menjadi basis gagasan Rawls
dan Kymlicka kita bisa merefleksikan liberalisme sampai pada tahap yang aktual. Pada
muaranya pertanyaan soal relevansi pandangan liberalisme modern perlu adanya
tambal sulam di sana-sini, atau bahkan mungkinkah mengganti pandangan liberalisme?
mari dipikirkan.

26 Posisi asli

19
Buku ini dimaksudkan untuk memberikan sebuah pengantar dan penilaian kritis tentang
aliran-aliran utama pemikiran yang telah mendominasi perdebatan kontemporer dalam
filsafat politik. Will Kymlicka percaya bahwa terdapat banyak sekali karya yang sangat
penting dan menarik yang tengah dikerjakan dalam bidang ini.

Singkat cerita, cakrawala intelektual dalam filsafat politik hari ini berbeda jauh dari
sepuluh bahkan duapuluh tahun yang lalu. Salah satu hasil dari perkembangan ini
adalah kategorisasi tradisional yang didiskusikan dan dievaluasi teori-teori politik itu
semakin tidak memadai. Menurut gambaran tradisional ini, orang di kiri percaya pada
persamaan (equality) sehingga mendukung bentuk sosialisme. Sementara, mereka
yang di kanan percaya pada kebebasan (freedom) sehingga mendukung bentuk
kapitalisme-pasar bebas (free-market capitalism). Di tengah adalah kaum liberal yang
percaya pada campuran kabur antara persamaan dan kebebasan sehingga mendukung
bentuk kapitalisme negara kesejahteraan (welfare capitalism). Tentu saja, terdapat
banyak posisi lain diantara ketiga titik ini, dan banyak orang menerima bagian yang
berbeda dari teori yang berbeda. Namun, seringkali dianggap bahwa cara terbaik
memahami dan mendeskripsikan prinsip-prinsip politik seseorang adalah dengan
mencoba meletakkannya di suatu tempat pada garis itu.

Gambaran tradisional menyatakan bahwa teori-teori yang berbeda memiliki nilai-nilai


yang berbeda secara mendasar. Mereka tidak sepakat dengan nilai-nilai yang
mendasar, perbedaan diantara mereka tidak dapat diselesaikan secara rasional. Tidak
mungkin menganjurkan persamaan lebih dari kebebasan atau kebebasan lebih dari
persamaan karena ini merupakan nilai-nilai yang mendasar, tanpa ada nilai atau premis
yang lebih tinggi oleh kedua sisi dapat dipertimbangkan bersama. Semakin dalam kita
mencermati perdebatan politik ini, semakin terasa sulit perdebatan ini dipecahkan,
karena kita tidak diwarisi apa pun kecuali seruan pada nilai-nilai utama yang saling
bertentangan dan pada akhirnya saling melawan.

Ciri gambaran tradisional ini sebagian besar tetap tidak dipermasalahkan, bahkan oleh
kontemporer yang menolak klasifikasi tradisional antara kiri dan kanan. Setiap teori
baru juga dianggap menyerukan pada nilai utama yang berbeda. Maka, dikatakan
kepada kita bahwa sepanjang seruan yang lebih tua pada ‘persamaan’ (sosialisme) dan
‘kebebasan’ (libertarianisme), teori-teori politik sekarang menyerukan pada nilai-nilai

20
utama ‘kesepakatan kontrak’ (Rawls), ‘kebaikan umum’ (Komunitarianisme),
‘kemanfaatan’ (Utilitarianisme), ‘hak’ (Dworkin), atau ‘androgini’ (Feminisme). Namun,
ledakan nilai-nilai utama yang potensial ini menimbulkan masalah yang jelas untuk
keseluruhan proyek pengembangan teori keadilan tunggal yang komprehensif. Tentu
saja, satu-satunya tanggapan yang bijaksana berkenaan dengan pluralitas nilai-nilai
utama yang diusulkan ini adalah tidak lagi berpikir mengembangkan teori keadilan yang
‘monistik’. Menempatkan lebih rendah semua nilai-nilai lain pada sebuah nilai tunggal
yang lebih penting nampak berlebihan.

Filsafat politik, menurut pandangan banyak komentator, tenggelam dalam


keberhasilannya sendiri. Terdapat ledakan minat yang luar biasa terhadap tujuan
tradisional menemukan salah satu teori keadilan yang benar, namun hasil ledakan
minat ini telah menjadikan tujuan tradisional itu sama sekali tidak masuk akal. Apakah
ini merupakan sebuah gambaran yang tepat tentang lanskap politik? Apakah teori-teori
kontemporer ini menyerukan pada nilai-nilai utama yang saling bertentangan? Agus
Wahyudi sendiri ingin mencermati buku ini karena beliau percaya bahwa segala
pernyataan dalam teori-teori keadilan sama pentingnya dengan semua teori khusus
yang dicoba untuk diinterpretasikan. Salah satu keuntungannya adalah, pernyataan ini
menyebabkan pencarian sebuah teori keadilan tunggal yang komprehensif nampak
lebih dapat dipahami.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Ricardo Blaug , John Schwarzmantel,Democracy A Reader :


Edinburgh University Press ,2004-2006
Will Kymlicka , Multikultural Citizenship,USA:
Oxford Scholarship, 1996

21
Will Kymlicka , Politics in the Vernacular: Nationalism, Multiculturalism and
Citizenship,USA: Oxford Scholarship ,2001

Will Kymlicka , Contemporary political philosophy,USA:


Oxyford Scholarship , 1990

22

Anda mungkin juga menyukai