Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH PSIKOLOGI SOSIAL

Prasangka dan Diskriminasi

ROMBEL 2

ANGGOTA KELOMPOK

Anang Yuliawan (1511418020)

Diandra Pradnya P. M. (1511418059)

Nurunnisa (1511418100)

JURUSAN PSIKOLOGI
FIP UNNES 2019

“Prasangka dan Diskriminasi” | 1


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..................................................................................................................... 1
DAFTAR ISI............................................................................................................................... 2
1. Definisi Prasangka............................................................................................................. 3
2. Definisi diskriminasi: Perwujudan prasangka dalam perilaku........................................... 3
3. Target prasangka dan diskriminasi.................................................................................... 4
4. Bentuk diskriminasi........................................................................................................... 6
5. Sumber kognitif dari prasangka........................................................................................ 9
6. 7 sumber prasangka pada tingkat personal...................................................................... 12
7. Mengurangi Prasangka..................................................................................................... 14
8. Bagaimana target bereaksi terhadap prasangka............................................................. 19
9. Penelitian klasik tentang prasangka: prasangka dan kategorisasi sosial.......................... 21

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 22

LAMPIRAN-LAMPIRAN

REVIEW JURNAL ................................................................................................. 23

BERITA TERKAIT TEMA BAIK DI DUNIA MAYA DAN DUNIA NYATA ........................... 24

“Prasangka dan Diskriminasi” | 2


1. Definisi Prasangka

Prasangka (prejudice) adalah sebuah sikap (biasanya negatif) terhadap anggota kelompok
tertentu, semata berdasarkan keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut. Dengan kata lain,
seseorang yang memiliki prasangka terhadap kelompok sosial tertentu cenderung mengevaluasi
anggotanya dengan cara yang sama (biasanya secara negatif) semata karena mereka anggota
kelompok tersebut. Trait dan tingkah laku individual mereka memainkan peran yang kecil,
mereka tidak disukai hanya karena mereka termasuk dalam kelompok tertentu. Sebaliknya,
diskriminasi (discrimination) merujuk pada aksi negatif terhadap kelompok yang menjadi sasaran
prasangka ( Baron, Robert A., & Byrne, Donn : 2004)

 Mengapa Ada Prasangka

Manusia adalah “cognitive misers” yaitu mereka dalam kebanyakan situasi menanamkan
usaha kognitif sesedikit mungkin. Jadi mengapa begitu banyak orang yang membentuk dan
memiliki prasangka?

Pertama, secara individu mereka memiliki prasangka karena dengan melakukannya,


maka akan meningkatkan citra diri mereka sendiri. Contoh, ketika individu yang berprasangka
memandang rendah sebuah kelompok yang dipandangnya negatif, hal ini membuat mereka
yakin akan harga diri mereka sendiri-untuk merasa superior dengan berbagai cara. Dengan kata
lain, pada beberapa orang, prasangka dapat memainkan sebuah peran penting untuk melindungi
atau meningkatkan konsep diri mereka.

Alasan kedua, adalah karena dengan melakukan hal tersebut kita dapat menghemat
usaha kognitif. Stereotip, secara khusus tampaknya melakukan fungsi ini. Ketika stereotip
terbentuk, kita tidak perlu melakukan proses berpikir yang hati-hati dan sistematis. Lagipula
karena kita “tahu” seperti apakah anggota kelompok ini, kita dapat melakukan proses berpikir
yang lebih cepat berdasarkan dorongan proses heuristik dan semua keyakinan yang telah dimiliki
sebelumnya.

2. Definisi Diskriminasi

Dikriminasi (discrimination) adalah tingkah laku atau aksi negatif yang ditujukan kepada
anggota kelompok sosial yang menjadi objek prasangka. Diskriminasi merupakan perwujudan
prasangka dalam tingkah laku ( Baron, Robert A., & Byrne, Donn : 2004 )

Prasangka merupakan suatu perilaku yang tidak tampak. Orang yang memiliki sikap negatif
terhadap anggota beberapa kelompok tidak dapat mengekspresikan pandangan mereka secara
langsung. Hukum, tekanan sosial, dan ketakutan akan dikucilkan, semua itu berfungsi untuk
mencegah orang menampilkan pandangan prasangkanya di depan umum. Namun, Diskriminasi
pun bisa terjadi karena alasan yang berbeda-beda. Bentuk dikriminasi yang jelas, merupakan aksi
negatif terhadap objek prasangka rasial, etnis, atau agama. Contohnya, membatasi tempat
duduk bagi anggota kelompok-kelompok tertentu di bis atau bioskop -yang umum terjadi di
masa lalu.

“Prasangka dan Diskriminasi” | 3


3. Target Prasangka dan Diskriminasi

Vaughan dan Hogg (2005) menjelaskan bahwa terdapat kelompok-kelompok tertentu yang
biasanya menjadi target prasangka dan diskriminasi, yaitu kelompok jenis kelamin tertentu, ras
tertentu, kelompok usia tertentu, serta termasuk juga kaum homoseksual dan kelompok
individu dengan ketunaan fisik ( Vaughan & Hogg: 2005 dalam Baron, Robert A., & Byrne, Donn :
2004)

 Seksisme
Seksisme merupakan prasangka dan diskriminasi yang terjadi dalam pembedaan
antara pria-wanita. Contoh nyata di negeri ini adalah ketika masa Raden Ajeng Kartini.
Beliau prihatin dan sedih terhadap kaumnya saat itu yang relatif tidak mendapat
kesempatan yang sama dengan kaum pria dalam mengembangkan diri.

Dalam praktik seksisme di tempat lain, sering terjadi apa yang disebut selective
infanticide, yaitu pembunuhan bayi perempuan (atau fetus). Masyarakat yang
mempraktikkan seleksi jenis kelamin dengan mengutamakan kaum pria ini terdapat di
beberapa tempat, misalnya Republik Rakyat Cina (RRC), Taiwan, Korea, dan India.

Pada tahun 2005, diperkirakan 90 juta perempuan di tujuh negara Asia meninggal
karena aborsi dengan seleksi jenis kelamin. Disebutkan bahwa eksistensi dari praktik ini
disuburkan oleh kultur daripada oleh kondisi ekonomi.

Adanya prasangka tampaknya juga berkaitan dengan stereotip tentang seks yang
ada. Penelitian tentang stereotip jenis kelamin menunjukkan bahwa laki-laki itu kompoten
dan manidiri dan wanita itu hangat serta ekspresif. Fiske juga mengatakan, bahwa wanita
dilihat ‘ramah, namun tidak kompeten’ sedang pria dilihat sebagai ‘mungkin tidak ramah,
namun kompeten’.

Dalam dunia kerja, terjadi praktik prasangka dan diskriminasi yang dikenal dengan istilah
galss ceiling effect, yaitu adanya batas yang menghambat seseorang (dalam hal ini wanita)
untuk mengembangkan kariernya dengan leluasa seperti rekan prianya.

 Rasisme

Rasisme merupakan diskriminasi terhadap ras dan etnis, dan tampaknya diskriminasi
ini yang paling banyak menimbulkan perbuatan brutal di muka bumi. Banyak penelitian
psikologi sosial berfokus pada sikap terhadap anti-kulit hitam di Amerika Serikat. Mereka
cenderung melihat bahwa kulit hitam merefleksikan presepsi umum mengenai orang desa,
budak, dan pekerja kasar.

Penelitian tentang sikap anti-kulit hitam di Amerika Serikat menunjukkan adanya


penurunan yang tajam sejak tahun 1930-an. Hal ini terjadi karena adanya kecenderungan
global pada bangsa-bangsa barat mengenai sikap terhadap kulit hitam. Pemerintah AS

“Prasangka dan Diskriminasi” | 4


sampai akhir tahun 1960-an masih menjalankan kebijakan segregasi yang berdampak pada
rasisme.

Namun ternyata ada pula bentuk diskriminasi yang tersamar dan halus yang
ditemukan. Bentuk baru dari rasisme ini disebut sebagai aversive racism, modern racism
symbolic racism, regressive racism, atau ambivalent racism. Contohnya adalah dalam
bentuk menghindari untuk hidup di lingkungan kelompok yang menjadi target prasangka
dan menampilkan perilaku prososial (menolong) yang berbeda dengan yang ditampilkannya
untuk kelompok yang tidak menjadi target prasangkanya.

 Ageism

Ageism merupakan diskriminasi terhadap lansia. Dalam sebuah komunitas, lansia


biasanya diperlakukan dengan penuh hormat. Masyarakat melihat bahwa kaum tua ini lebih
berpengalaman, bijak, dan memiliki intuisi tajam yang biasanya tidak dimiliki oleh kaum yang
lebih muda. Namun di masyarakat lain, kaum tua diperlakukan sebagai pihak yang kurang
berharga dan kurang memiliki kekuasaan. Masyarakat ini bahkan mengabaikan hak dasar
manusia dari para lansia.

 Diskriminasi terhadap kelompok homoseksual

Ada pro-kontra dalam memandang homoseksual. Ada yang melihatnya sebagai


pilihan atas hak hidup. Namun ada juga yang melihatnya sebagai perilaku yang devian dan
tidak bermoral. Sikap negatif terhadap kaum homoseksualitas ini melahirkan aturan-aturan
yang dapat menghukum orang yang mempraktikkan homoseksualitas.

Sebuah survei di AS oleh Levitt dan Klasen pada tahun 1974 menunjukkan bahwa
mayoritas orang memiliki belief bahwa homoseksualitas adalah penyakit dan perlu untuk
dilarang secara legal. Walaupun sebenarnya secara umum, pada tahun 1960 ada liberalisasi
progresif terhadap sikap untuk homoseksualitas.

 Diskriminasi berdasarkan keterbatasan fisik

Orang dengan keterbatasan seperti ini sering dipandang sebagai menjijikan dan
kurang bermartabat. Adanya praktik-praktik pertunjukkan sirkus yang mempertontonkan
keterbatasan fisik, menunjukkan kebenaran adanya pandangan negatif ini.

Saat ini, diskriminasi atas orang yang memiliki keterbatasan fisik dianggap illegal dan
tidak diterima secara social, bahkan masyarakat di Australia dan Selandia Baru sangat
sensitif dengan kebutuhan orang-orang yang berkebutuhan khusus ini. Tampaknya
masyarakat tidak lagi menganggap remeh pada orang-orang dengan keterbatasan ini.
Walaupun sering kali masih ada ketidaknyamanan yang dirasakan oleh beberapa orang jika
di lingkungannya terdapat orang dengan keterbatasan fisik.

“Prasangka dan Diskriminasi” | 5


4. Bentuk diskriminasi

Diskriminasi mewujud dalam perilaku yang bervariasi, mulai dari yang halus atau tersamar
hingga yang nyata dan kasar (Eko A. Meinarno dan Sarlito W. Sarwono, 2018). Berikut merupakan
bentuk-bentuk diskriminasi:

 Rasisme modern/ Rasisme implisit

Pada suatu saat, banyak orang merasakan tiadanya kekhawatiran untuk


mengekspresikan secara terbuka keyakinan rasis mereka (1988, Sears dalam Baron &
Byrne 2004). Namun, untuk sekarang hanya beberapa orang yang menyatakan
pandangan tersebut. Bukan berarti rasisme sudah hilang atau menurun, namun banyak
psikolog meyakini bahwa sekarang yang terjadi adalah adanya bentuk rasisme yang lebih
halus, atau biasa disebut dengan rasisme modern. Rasisme modern ini berusaha
menutup-nutupi prasangka di tempat-tempat umum, tetapi mengekspresikan sikap-
sikap mengecam ketika hal itu dirasa aman untuk dilakukan, sebagai contoh yaitu
seseorang menentang keluarganya untuk menikah dengan etnis/ ras lain dengan alasan
bahwa mereka akan mendapatkan keturunan yang mengalami banyak kesulitan.
Padahal sebenarnya mereka berprasangka bahwa etnis lain tersebut lebih rendah
daripada etnis keluarga mereka(Baron & Byrne, 2004).

Pada umumnya, orang cenderung menutup-nutupi rasisme modern dan bentuk


prasangka lain. Psikolog sosial telah mengembangkan cara tidak langsung untuk
mempelajari sikap-sikap tersebut. Penelitian-penelitian ini telah berhasil mengusut sifat
dan penyebab prasangka.

a. The Bogus Pipeline


Dalam prosedur ini, peneliti mengatakan kepada partisipan bahwa mereka akan
dihubungkan dengan alat khusus yang dapat mengakses opini mereka yang
sebenarnya. Untuk meyakinkan responden bahwa hal ini sungguh-sungguh,
peneliti menanyakan pandangan mereka terhadap beberapa isu dimana
pandangan mereka terhadap isu ini sudah diketahui (misal isu tersebut sudah
pernah diungkapkan minggu lalu). Kemudian peneliti “membaca” mesin dan
melaporkan pandangan ini pada partisipan yang seringkali membuat mereka
terkesan. Pada saat mereka yakin bahwa mesin dengan cara tertentu mampu
“melihat dalam diri mereka” maka tidak ada alasan untuk menutup-nutupi sikap
yang sesungguhnya. Kemudian diasumsikan bahwa respon mereka pada
pertanyaan atau skala sikap mereka cukup jujur dan memberikan gambaran
sikap mereka yang akurat, termasuk sebagai bentuk dari prasangka. “The bogus
pipeline” dapat digunakan untuk menyingkap sikap yang secara normal mereka
sangkal atau sembunyikan. Hal ini mengecoh dan hanya berhasil jika partisipan
penelitian yakin akan pernyataan palsu tentang fungsi alat yang digunakan.
Lebih jauh lagi, ”the bogus pipeline” hanya berguna untuk mengukur sikap yang
eksplisit: pada saat seseorang menyadari dan mampu melaporkan hal tersebut
jika mereka ingin melakukannya. (Baron & Byrne, 2004)
b. Bona Fide Pipeline

“Prasangka dan Diskriminasi” | 6


Dalam beberapa tahun ini, psikolog sosial telah mengetahui fakta bahwa banyak
sikap-sikap yang dimiliki seseorang bersifat implisit. Untuk mempelajari sikap
rasial yang diaktifkan secara otomatis atau implisit, dapat menggunakan teknik
priming melalui pendekatan “bona fide pipeline”.
Prosedur ini melibatkan beberapa tahap, pertama, partisipan melihat berbagai
kata sifat yang diminta untuk mengindikasikan apakah mereka memiliki arti yang
“buruk” atau “baik” dengan menekan salah satu dari dua tombol. Kata sifat
tersebut didahului oleh tanda asterik, yang menandakan bahwa kata berikutnya
akan tampil. Tahap kedua, pasrtisipan melihat foto orang yang termasuk dalam
berbagai kelompok etnis atau rasial. Kemudian dalam tahap ketiga, mereka
kembali melihat foto dan diminta untuk mengindikasikan apakah mereka pernah
meluhat atau belum pernah melihat foto-foto tersebut satu per satu. Setengah
dari foto-foto tersebut pernah mereka lihat, dan setengahnya belum pernah
mereka lihat. Akhirnya, pada tahap keempat melibatkan priming, sekali lagi
partisipan diminta untuk mengindikasikan apakah mereka memiliki arti yang
“buruk” atau “baik”. Namun sebelum melihat kata sifat tersebut, partisipan
dihadapkan pada wajah dari orang-orang yang termasuk dalam berbagai
kelompok rasial (kulit hitam, kulit putih, Asia, Hispanik). Dasar pemikirannya,
sikap rasial implisit akan tersingkap oleh seberapa cepat partisipan berespon
pada kata-kata tersebut. Contohnya, seseorang yang memiliki pemikiran negatif
pada orang yang berkulit hitam, mereka akan berespon lebih cepat pada kata
yang memiliki arti negatif. Hal ini disebabkan oleh sikap negatif yang dipicu oleh
stimulasi awal (sebuah foto wajah orang berkulit hitam) konsisten dengan arti
kata yang juga berarti negatif. Sebaliknya, partisipan akan berespon lebih lambat
terhadap kata yang memiliki arti positif, karena arti dari kata tersebut tidak
konsisten dengan sikap negatif yang dipicu oleh stimulasi priming (Baron &
Byrne, 2004).
Hasil penelitian yang menggunakan prosedur ini mengindikasikan bahwa orang
memang memiliki sikap rasial implisit yang secara otomatis dipicu oleh anggota
kelompok etnis atau rasial, dan sikap yang terpicu secara otomatis tersebut,
pada gilirannya dapat mempengaruhi bentuk-bentuk tingkah laku yang penting,
seperti sebuah keputusan yang berhubungan dengan orang lain dan keramahan
dalam berinteraksi dengan mereka (contoh, Fazio & Hilden, 2001: Towless-
Schwen & Fazio, 2001 dalam Baron & Byrne, 2004).
 Tokenisme

Baron & Byrne (2004) menjelaskan bahwa tokenisme adalah contoh saat individu
menunjukkan tingkah laku positif yang menipu terhadap anggota kelompok outgroup
kepada siapa mereka merasakan prasangka yang kuat. Kemudian perilaku tokenistik ini
digunakan sebagai alasan untuk menolak melakukan aksi yang lebih menguntungkan
terhadap kelompok ini. Tokenisme memiliki setidaknya dua dampak negatif. Pertama,
tokenisme membiarkan orang dengan prasangka terlepas dari tuntutan, mereka
menunjukkan aksi tokenistik sebagai bukti umum bahwa mereka bukanlah orang yang
munafik. Kedua, tokenisme dapat merusak self-esteem dan kepercayaan diri sasaran,

“Prasangka dan Diskriminasi” | 7


prasangka, termasuk beberapa orang yang diseleksi sebagai token atau menerima
bantuan minimal.

 Menolak untuk menolong (reluctance to help)

Menolak untuk menolong (reluctance to help) yang berasal dari kelompok tertentu
seringkali dimaksudkan untuk membuat kelompok lain tersebut berada dalam posisinya
yang kurang beruntung. Misalnya tuan tanah yang menolak untuk menyewakan
akomodasinya bagi kelompok etnik minoritas, atau organisasi yang menolak memberikan
fasilitas khusus bagi karyawan wanitanya, misalnya cuti pada masa datang bulan, jam kerja
yang fleksibel, atau jam kerja paruh waktu (Eko A. Meinarno dan Sarlito W. Sarwono, 2018).

Selain itu, menolak untuk menolong adalah ciri dari diskriminasi rasial yang nyata.
Penelitian eksperimen dari Gartner dan Dovidio (1977, Vaughan dan Hogg, 2005, dalam Eko
A. Meinarno dan Sarlito W. Sarwono, 2018) menunjukkan bahwa orang kulit putih lebih
menolak untuk menolong confederate kulit hitam daripada confederate kulit putih dalam
situasi darurat. Ini terjadi jika mereka memiliki belief bahwa ada penolong lain yang
potensial.

 Reverse discrimination

Reverse discrimination adalah bentuk tokenisme yang lebih ekstrem, yaitu praktik
melakukan diskriminasi yang menguntungkan pihak yang biasanya menjadi target prasangka
dan diskriminasi dengan maksud agar mendapatkan justifikasi dan terbebas dari tuduhan
telah melakukan prasangka dan diskriminasi. Oleh karena reverse discrimination
memberikan keuntungan kepada kelompok minoritas, maka efek jangka pendeknya dapat
dirasakan langsung. Namun, dengan berjalannya waktu, ada konsekuensi negatif yang bisa
ditanggung oleh kelompok minoritas tersebut. Penting bagi para peneliti untuk melihat
apakah perilaku positif yang ditampilkan kepada kelompok minoritas adalah benar-benar
ungkapan untuk membantu orang yang kurang beruntung, atau justru sebuah reverse
discrimination (Eko A. Meinarno dan Sarlito W. Sarwono, 2018). Contoh dari Reverse
Descrimination yaitu affirmative action (aksi afirmatif).

 Stigma

Eko A. Meinarno dan Sarlito W. Sarwono (2018) mengungkapkan bahwa efek


prasangka pada korban sangat bervariasi, mulai dari ketidaknyamanan ringan hingga
penderitaan yang dalam. Secara umum, prasangka sangat merusak karena memberikan
stigma kepada semua anggota kelompok yang ada di dalamnya. Allport menjelaskan adanya
15 kemungkinan sebagai konsekuensi negatif dari korban prasangka. Beberapa di antaranya
adalah stigma social, rendahnya self-esteem, turunnya kesejahteraan psikologis, kegagalan
dan kekurangberuntungan, atau attributional ambiguity.

Individu yang mendapatkan stigma memiliki (atau ‘dibuat’ untuk memiliki) beberapa
atribut atau karakteristik yang mengandung identitas sosial yang direndahkan dalam konteks
sosialnya. Pengalaman subjektif dalam menerima stigma bergantung pada dua faktor ini,

“Prasangka dan Diskriminasi” | 8


yaitu (1) visibilitas dan (2) kontrolabilitas. Visible stigma, seperti ras dan gender, membuat
individu yang ada di dalamnya tidak bisa melarikan diri dari cap yang diberikan oleh orang
lain, karena cirinya nyata terlihat. Stigma yang bersifat dapat dikontrol seperti perokok dan
homoseks memungkinkan penerimanya untuk bisa memilih apakah ia masuk dalam kategori
atau tidak. Sementara stigma yang tidak terkontrol, misalnya ras, seks, dan pasien dengan
penyakit tertentu. Stigma yang terkontrol lebih mengundang reaksi yang keras ketimbang
stima yang tidak dapat dikontrol. Contohnya adalah obesitas. Obesitas biasanya
mengundang reaksi negatif bukan hanya karena dalam budaya barat obesitas diberi stigma
negatif tetapi juga karena obesitas sesungguhnya dapat dikontrol.

5. Sumber kognitif dari prasangka

Prasangka memiliki berbagai sumber kognitif, diantaranya yaitu stereotip, stereotip implisit,
hubungan palsu, dan homogenitas Out-group.

 Stereotip

Stereotip adalah penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan persepsi


terhadap kelompok dimana orang tersebut dapat dikategorikan. Stereotip merupakan jalan
pintas pemikiran yang dilakukan secara intuitif oleh manusia untuk menyederhanakan hal-
hal yang kompleks dan membantu dalam pengambilan keputusan secara cepat (Robbins,
Stephen P., Timothy A. Judge, 2010). Sedangkan menurut Baron & Byrne (2004), stereotip
adalah keyakinan bahwa semua anggota kelompok sosial tertentu memiliki karakteristik
atau traits yang sama. Stereotip adalah kerangka berpikir kognitif yang sangat
mempengaruhi pemrosesan informasi sosial yang datang. Informasi yang relevan dengan
stereotip yang diaktifkan seringkali diproses dengan lebih cepat dan diingat lebih baik,
daripada informasi yang tidak berhubungan dengan hal tersebut. (Dovidio, Evans,& Tyler,
1986; Macrae dkk., 1997, dalam Baron & Byrne, 2004). Serupa dengan hal tersebut,
stereotip mendorong seseorang memperhatikan jenis-jenis informasi tertentu-khususnya,
informasi yang konsisten dengan stereotip tersebut. Dan ketika informasi itu tidak konsisten
dengan stereotip yang disadari, maka seseorang secara aktif menolak atau sedikit
mengubahnya sehingga tampaknya konsisten dengan stereotip tersebut (Kunda & Oleson,
1995; O’Sullivan & Durso, 1984, dalam Baron & Byrne, 2004).

 Stereotip implisit

Sebeumnya kita telah mcmpelajari bahwa sikap rasial sering kali berbentuk implisit:
sikap tersebut ada dan mempengaruhi banyak bentuk tingkah laku, meskipun kita tidak
menyadari keberadaan atau dampaknya tahadap tingkah laku. Hal yang sama juga terjadi
pada stereotip. Seperti yang telah dinyatakan oleh Greenwald clan Banaji (1995), kita sering
kali memiliki stereotip implisit yang tidak dapat kita identifikasi dengan mudah melalui
introspeksi, tetapi tetap mempengaruhi keyakinan kita tentang karakteristik yang dimiliki
oleh anggota dari kategori sosial tertentu. Dengan kata lain, stereotip rasial, etnis, atau
gender yang sebagian besar tidak kita sadari dapat diaktivasi oleh berbagai stimuli (contoh,
anggota kelompok yang memiliki stereotip). Dan setelah mereka diaktivasi, stereotip ini
mempengaruhi pemikiran, keputusan, dan bahkan tingkah laku yang muncul pada orang

“Prasangka dan Diskriminasi” | 9


tersebut. Kita telah mendeskripsikan salah satu cara untuk mengukur sikap implisit atau
stereotip-the bona fide pipeline (2001, Towles-Schwen & Fazio, dalam Baron & Byrne, 2004).
Cara lain dikembangkan oleh Banaji dan Hardin (1996) dan juga menggunakan cara
’priming’. Dalam prosedur ini, partisipan secara tak sadar atau pada tingkat subliminal
dipaparkan pada stimulus dasar (prime), stimulus ini disajikan dalam periode waktu yang
singkat sehingga partisipan tidak dapat mengenali atau mengidentifikasikan mereka. Berikut
ini adalah contoh bagaimana prosedur tersebut dilakukan dalam sebuah penelitian terbaru
(Kawakami & Dovidio, 2001). Dalam kasus ini, yang menjadi stimulus dasar (prime) adalah
skema wajah orang kulit hitam atau putih. Setelah stimulus dasar ditunjukkan dalam periode
waktu yang sangat singkat (lima belas sampai tiga puluh milidetik), ditunjukkanlah sebuah
kategori kata yang spesifik yang diwakili dengan sebuah huruf atau simbol dalam penelitian
ini, sebuah huruf mewakili kata ”rumah" dan huruf lain untuk kata ”orang”. Kemudian,
ditampilkanlah kata-kata yang berhubungan dengan stereotip rasial untuk orang kulit hitam
dan putih, atau kategori netral mewakili gambaran 'rumah’, dan partisipan diminta untuk
mengindikasikan apakah kata-kata ini dapat menggambarkan seorang anggota dari kategori
kata yang dimaksud (contoh, ’orang' atau ’rumah’). Sebagai contoh, sebuah kata yang
dihubungkan dengan stereotip rasial untuk orang kulit putih adalah konvensional, sementara
kata yang berhubungan dengan stereotip rasial untuk orang kulit hitam adalah musikal.
Sebuah contoh untuk kata berhubungan dengan rumah adalah netral.

Jika benar bahwa stereotip rasial implisit diaktivasi dengan stimulus priming (wajah
orang kulit hitam atau putih), maka diduga bahwa waktu respons terhadap target kata akan
bervariasi sebagai fungsi dari stimulus dasar ini. Secara spesifik, partisipan seharusnya
berespons lebih cepat pada kata-kata yang berhubungan dengan stereotip rasial untuk
orang kulit putih setelah melihat ’white prime' daripada ’black prime’, dan berespons lebih
cepat terhadap kata yang berhubungan dengan stereotip rasial untuk orang kulit hitam
setelah melihat ’black prime’ daripada ’white prime’.

Yang penting tentang stereotip adalah: Kita mungkin tidak menyadari kenyataan
bahwa stereotip bekerja, tetapi mereka tetap kuat mempengaruhi penilaian kita atau
keputusan kita tentang orang lain, atau bahkan bagaimana kita berinteraksi dengan mereka.
Secara khusus, bukti yang berkembang menyatakan bahwa stereotip implisit dapat menjadi
prediktor yang lebih baik terhadap ekspresi spontan yang bias atau halus daripada
pengukuran eksplisit yang diperoleh melalui kuesioner sikap atau self-report yang lain (1997,
Dovidio dkk., dalam Baron & Byrne, 2004). Jelas, bahwa stereotip implisit adalah sesuatu
yang harus kita perhatikan dalam usaha kita memahami sifat dasar prasangka dan
diskriminasi.

 Hubungan palsu

Hubungan palsu atau hubungan ilusi, memiliki implikasi penting terhadap prasangka.
Secara khusus, hubungan ini membantu menjelaskan mengapa tingkah laku sering kali
negatif dan kecenderungan oleh anggota kelompok mayoritas diatribusikan pada anggota
berbagai kelompok minoritas. Sebagai contoh, beberapa psikolog sosial telah menyatakan
bahwa efek hubungan ilusi membantu menjelaskan mengapa banyak orang kulit putih di
Amerika Serikat melebih-lebihkan perkiraan tingkat kejahatan yang dilakukan oleh laki-laki

“Prasangka dan Diskriminasi” | 10


kulit hitam (1989, Hamilton & Sherman dalam Baron & Byrne, 2004). Untuk banyak alasan
kompleks, laki-laki muda kulit hitam, ternyata ditangkap karena berbagai kejahatan dengan
tingkat yang lebih tinggi daripada laki-laki muda kulit putih atau laki-laki Asia (United States
Department of Justice, 1994). Akan tetapi, orang kulit putih Amerika cenderung melebih-
lebihkan perkiraan perbedaan ini, dan hal ini dapat diinterpretasikan sebagai sebuah contoh
hubungan ilusi.

Mengapa efek ini terjadi? Satu penjelasan yang dapat diberikan berdasarkan pada
perbedaan frekuensi kejadian atau stimuli. Berdasarkan pandangan ini, peristiwa yang jarang
terjadi menjadikannya lebih menonjol dan dengan mudah diingat. Selain itu, kejadian
tersebut disimpan secara lebih mendalam daripada hal lain yang dialami, sehingga lebih
mudah diingat dalam memori. Dengan demikian, ketika penilaian terhadap kelompok
tersebut dilakukan di lain waktu, kejadian yang menonjol tersebut mudah diingat, dan hal ini
menyebabkan interpretasi yang berlebihan terhadap kejadian tersebut. Bayangkan
bagaimana penjelasan ini diaplikasikan pada kecenderungan orang kulit putih Amerika
dalam memperkirakan secara berlebihan tingkat kejahatan di antara orang kulit hitam.
Orang kulit hjtam adalah sebuah kelompok minoritas (jumlahnya dua belas persen dari total
populasi); maka, mereka sangat menonjol atau khas. Banyak tingkah laku kriminal, menjadi
sangat menonjol, walaupun faktanya, kejadian tersebut telah banyak meningkat dalam
dekade terakhir ini Ketika berita melaporkan bagaimana orang Amerika keturunan Afrika
ditangkap untuk sebuah tindak kejahatan, informasi ini diproses dengan teliti dan menjadi
sangat mudah diingat. Maka hal ini di lain waktu dengan mudah diingat dan menyebabkan
kecenderungan perkiraan yang berlebihan terhadap kelompok minoritas-sebuah contoh
hubungan ilusi.

 Homogenitas Out-group

Kecenderungan untuk mempersepsikan orang yang menjadi bagian dari kelompok


lain yang bukan kelompoknya sebagai orang yang serupa, dikenal sebagai ilusi homogenitas
out-group (illusion of out-group homogeneity) (1989, Linville, Fischer, & Salovey, dalam
Baron & Byrne, 2004). Lawan dari kecenderungan tersebut adalah perbedaan in-group (in-
group differentiation), yaitu kecenderungan untuk mempersepsikan anggota kelompoknya
dalam menunjukkan keragaman yang lebih besar satu sama lain (lebih heterogen) daripada
kelompok-kelompok lain. Keberadaan ilusi homogenitas out-group telah ditunjukkan dalam
berbagai konteks yang berbeda. Sebagai contoh, individu cenderung mempersepsikan orang
yang lebih tua atau lebih muda serupa satu sama lain dilihat dari trait pribadinya daripada
orang dengan kelompok usianya sendiri-sebuah tipe perbedaan generasi yang menarik
(1989, Linville, Fischer, & Salovey, dalam Baron & Byrne, 2004), bahkan mereka
mempersepsikan mahasiswa dari universitas lain lebih homogen daripada mahasiswa di
universitas mereka sendiri, khususnya ketika orang-orang ini tampaknya memiliki
pandangan yang bias terhadap mereka (1997, Rothgerber dalam Baron & Byrne, 2004). Apa
yang menyebabkan adanya kecenderungan mempersepsikan anggota kelompok lain lebih
homogen daripada anggota kelompok kita sendiri? Satu penjelasan melibatkan fakta bahwa
kita memilild pengalaman yang luas dengan anggota kelompok kita sendiri, dan dalam
kelompok kita, kita berhadapan dengan berbagai tipe individu yang beragam. Sebaliknya,

“Prasangka dan Diskriminasi” | 11


pada umumnya kita memiliki pengalaman interaksi yang lebih sedikit dengan anggota
kelompok lain sehingga tidak berhadapan langsung dengan individu yang bervariasi dalam
kelompok tersebut (contoh, Linville, Fischer, & Salovey, 1989). Apa pun dasar terhadap
keberadaannya (contoh, Lee dan Ottati, 1993), kecenderungan untuk mempersepsikan
kelompok lain lebih homogen daripada kelompok kita sendiri dapat memainkan peran yang
penting dalam prasangka dan menetapnya stereotip negatif.

6. 7 sumber prasangka dalam tingkat personal

Vaughan dan Hogg (2005 dalam Eko A. Meinarno dan Sarlito W. Sarwono,2018) menjelaskan
adanya tujuh teori mayor dalam menjelaskan terbentuknya prasangka dan diskriminasi seperti
berikut:

 Teori Frustasi-Agresi dari Dollard-Miller

Teori ini dikembangkan oleh Dollard dan para koleganya pada tahun 1939 brsamaan
dengan merebaknya sikap anti-semit, terutama Jerman sekitar tahun 1930-an. Teori ini
mendasarkan diri pada asumsi psikodinamik yang menjelaskan adanya jumlah yang pasti
dari energi psikis individu yang memungkinkannya untuk melakukan aktivitas psikologis yang
disebut katarsis. Katarsis adalah aktivitas psikis yang menggerakkan energi psikis yang ada,
sehingga dapat mengembalikan pada kondisi psikologis yang seimbang. Contohnya, jika
terjadi hambatan untuk mencapai sesuatu, maka hal ini akan menimbulkan frustasi. Dalam
kondisi ini, energi psikis tetap aktif, dan sistem psikologis Yang seimbang tetap diciptakan
dengan jalan menampilkan agresivitas. Dapat dikatakan bahwa agresivitas adalah
mekanisme untuk menyeimbangkan kembali sistem psikologis yang ada.

Dalam beberapa keadaan, terjadi fenomena scapegoating (kambing hitam), yang


terjadi jika target agresi bukanlah target yang mudah, misalkan karena wujudnya yang
kurang jelas (birokrasi), sulit didefinisikan (masalah ekonomi), terlalu berkuasa (karena
bersenjata), sulit dijangkau (pihak tertentu dari birokrat), atau seseorang yang begitu dicintai
(orang tua). Jika target agresi ini demikian sulit maka muncullah alternatif target agresi.
Dalam hal ini, terjadi mekanisme displacement.

Kritik terhadap teori ini mengemukakan bahwa tidak semua frustrasi mendorong
terjadinya agresi. Berkowitz (1962 dalam Vaughan dan Hogg, 2005) mencoba merevisinya
dengan mengusulkan adanya perubahan pada tiga hal.

1. Probabilitas munculnya agresi karena frustrasi akan meningkat dengan kehadiran


situational cues mengenai agresi, termasuk di dalamnya asosiasi masa lalu dan sekarang
dengan kelompok yang dengannya berkonflik.

2. Hal yang terjadi bukanlah frustasi yang objektif melainkan yang negatif.

3. Frustasi hanyalah satu dari sekian banyak kejadian yang menyakitkan yang dapat
menimbulkan agresi.

“Prasangka dan Diskriminasi” | 12


 Kepribadian Otoritarian

Adorno, Frenkel-Brunswik, Levinson dan Sanford (1950 dalam Vaughan dan Hogg, 2005)
mengembangkan penjelasan mengenai kaitan prasangka dengan kepribadian Otoritarian. Dalam
penjelasannya ini diungkapkan bahwa hanya orang dengan kepribadian Otoritarian saja yang
cenderung berprasangka. Kepribadian Otoritarian ini didefinisikan sebagai konstelasi
karakteristik yang meliputi penghargaan terhadap pihak atau figur otoritas, obsesi terhadap
status dan ranking. kecenderungan untuk melakukan displacement kemarahan dan
ketidaksukaan terhadap pihak yang lebih lemah, toleransi yang rendah terhadap ketidakpastian,
serta kebutuhan untuk mendefinisikan dunia secara kaku dengan cara mengembangkan
keintiman. Konstelasi karakterisitikyang ada pada individu ini berkembang sejak masa kanak-
kanak. Dijelaskan lebih jauh bahwa orang tua yang menampilkan sikap kasar yang berlebihan
serta menjalankan kedisiplinan akan mengembangkan ketergantungan emosional dan
kepatuhan yang pada gilirannya akan membangun kegamangan pada anak, di satu pihak ia
mencintai orang tuanya namun juga sekaligus membencinya. Kondisi yang ambigu ini menekan
dan mencari penyelesaian. Sulit untuk mengekspresikan rasa bersalah dan rasa takut. oleh
karena itu mereka akan melampiaskan perasaannya ini kepada pihak yang lebih lemah dengan
tetap menjaga respek pada pihak otoritas atau orang tuanya.

Kritik terhadap penjelasan kepribadian otoritatif terhadap munculnya prasangka ini


terutama mengungkapkan kuatnya peran faktor situasional dan sosiokultural. Pettigrew (1958
dalam Baron dan Byrne, 2003) mengemukakan bahwa studi lintas budaya di kalangan orang kulit
putih di Afrika Selatan, Amerika Utara, dan Amerika Selatan menunjukkan kuatnya peran faktor
situasional dan kultural ini. Ia menemukan bahwa walaupun orang kulit putih di Afrika Selatan
dan Amerika Selatan lebih rasis secara signifikan dibanding kulit putih di Amerika Utara, namun
ternyata mereka tidak berbeda dalam tingkat kepribadian otoritatifnya. Hal ini menunjukkan,
bahwa walaupun kepribadian memberikan kecenderungan untuk melakukan prasangka pada
beberapa konteks sosial tertentu, namun kultur berprasangka yang hidup dalam lingkup norma
sosialnya lebih berperan dalam berkembang tidaknya perilaku prasangka ini.

 Dogmatisme dan Closed-Mindedness

Teori kepribadian lain yang menjelaskan mengenai prasangka dikembangkan oleh


Rokeach yang lebih menekankan gaya kognitif. Rokeach menjelaskan bahwa generalisasi dari
sindrom ketidaktoleransian ini dapat dikatakan sebagai dogmatis atau ketertutupan sikap.
Kepribadian seperti ini dikarakteristikkan dengan adanya kontadiksi antara sistem belief satu
dengan lainnya, resistansi terhadap hal-hal baru, serta menuntut justifikasi pihak otoritas
terhadap kebenaran belief yang dimilikinya.

Seperti halnya teori kepribadian otoritatif yang memiliki keterbatasan dalam


menjelaskan prasangka, teori ini juga memiliki keterbatasan yang sama. Teori ini kurang
dapat menjelaskan konteks sosiokultural yang seringkali berperan besar dalam
memunculkan prasangka.

“Prasangka dan Diskriminasi” | 13


 Otoritatif Sayap Kanan

Teori kepribadian otoritatif kemudian direvisi dengan tanpa penjelasan aspek


kepribadian dan psikodinamik. Teori ini menjelaskan otoritatif sebagai sekumpulan sikap
yang terdiri atas tiga komponen, yaitu:

a. Conventionalism, adanya devosi terhadap konvensi sosial yang digerakkan oleh


pihak otoritas;
b. Authoritarian aggression, dukungan terhadap agresi pada pihak devian;
c. Authoritarian submission, submisif terhadap otoritas sosial yang berlaku.

 Teori Dominasi Sosial

Teori ini menjelaskan seberapa jauh seseorang menerima dan menolak ideologi
sosial atau mitos sosial yang meligitimasi hierarki dan diskriminasi, atau yang melegitimasi
equality dan keadilan. Orang yang menginginkan kelompoknya menjadi dominan dan
superior terhadap outgroup berarti memiliki orientasi dominansi sosial yang tinggi yang
mendorongnya untuk menolak ideologi egaliter serta menerima mitos yang melegitimasi
hierarki dan diskriminasi.

 Belief Congruence

Dalam menjelaskan prasangka, selain mengemukakan tentang teori kepribadian,


Rokeach juga mengemukakan teori belief congriuence. Sistem belief berfungsi seperti
jangkar bagi individu. Oleh karena itu kesamaan antarindividu atau dapat dikatakan bahwa
adanya sistem belief yang kongruen dapat memberikan konfirmasi terhadap validasi belief
yang dimiliki. Dengan demikian, kongruensi berfungsi sebagai reward dan menimbulkan
daya tarik dan sikap positif terhadap pihak yang memberikan konfirmasi terhadap belief-nya
ini. Sebaliknya sistem belief yang tidak kongruen akan menimbulkan sikap negatif. Jadi
munculnya prasangka dapat disebabkan oleh adanya ketidaksamaan antara dirinya dengan
outgroup-nya, rasa tidak suka terhadap outgroup-nya bukan disebabkan oleh
keanggotaannya dalam kelompok melainkan oleh tidak sejalannya antara sistem belief-nya
dengan sistem belief kelompok outgroup.

7. Mengurangi prasangka

 Sosialisasi

Pendekatan untuk mereduksi prasangka adalah mengubah sosialisasi awal. Dahulu


dianggap bahwa sosialisasi secara alamiah akan membebaskan , jadi prasangka akan
berkurang dengan sendirinya. Setiap generasi baru memang semakin menjauh rasisme gaya
lama . Perubahan ini disebabkan karena generasi muda tumbuh tanpa prasangka banyak
orang tua yang punya prasangka yang sudah meninggal. Tingkat pendidikan juga sudah

“Prasangka dan Diskriminasi” | 14


meningkat. Semakin terdidik seseorang semakin berkurang prasangkanya, khususnya jika
mereka mencapai jenjang universitas.

Sebagian dari penyebab perubahan sosialisasi adalah sasaran dari prasangka ini juga
berubah dan tak lagi cocok dengan stereotip lama . Misalnya , kesetaraan gender semakin
meningkat selama satu dekade terakhir ini sehingga wanita bida menduduki posisi yang
dahulu hanya untuk pria. Akibatnya , orang makin tidak begitu memedulikan perbedaan
antara pria dan wanita dalam bidang-bidang yang dahulu hanya dianggap milik pria ,seperti
didunia “persaingan” atau “dunia pemecah masalah” (Diekman & Eagly , 2000,dalam Taylor
,dkk,2004)

Namun, seperti yang kita lihat, reduksi spontan tidak berarti melenyapkan
prasangka. Karenanya banyak program intervensi telah diperkenalkan kepada anak-anak dan
remaja, seperti pelatihan kognisi-sosial, program multikultural atau mediasi (Aboud & Levy,
2000,dalam Taylor,dkk,2004) Juga , kemampuan untuk menunjukkan perspektif orang lain,
“perspective-taking” , tampaknya bisa mengurangi bias stereotip dan favoritisme in-group.
Membayangkan bagaimana perasaan orang lain bisa menaikkan rasa empati. Bahkan
membayangkan individu yang kontrastereotipe, seperti wanita kuat, bisa mereduksi
prasangka implisit (Blair, Ma & Lenton, 2001,dalam Taylor,dkk,2004).

Terkadang norma toleransi yang dipelajari seseorang selama masa remaja


bertentangan dengan stereotip kelompok konvensional yang mereka pelajari selama masa
kanak-kanak. Beberapa orang dapat secara sadar mencegah kemunculan stereotip otomatis
dengan mengaktifkan keyakinan personal yang bertentangan, dengan cara melakukan
proses berpikir yang terkontrol dan mendalam. Penekanan kontrol ini sangat mungkin jika
seseorang memiliki niat untuk mengontrol prasangkanya dan sumber daya kognitifnya tidak
mengalami distraksi atau gangguan.

Namun usaha langsung untuk mereduksi prasangka dapat berlebihan dan menjadi
bumerang.( Czopp dan Monteith ,2003,dalam Taylor,dkk,2004) menghadapi langsung
seseorang dengan bias rasial akan cenderung menghasilkan rasa bersalah, meskipun
menghadapi orang dengan bias gender cenderung menimbulkan sedikit hiburan. Konfrontasi
langsung dengan anggota kelompok yang menjadi sasaran prasangka cenderung
menimbulkan kemarahan dan permusuhan dari partisipan yang punya prasangka lebih
banyak.

 Kontak antar kelompok

Setelah perang dunia II ,merebaknya segregasi rasial di AS , menyebabkan ilmuwan


sosial menyimpulkan bahwa ketidaktahuan orang Afrika Amerika dan kehidupannya
menyebabkan munculnya stereotip rasial yang terlalu menyederhanakan dan salah. Dewasa
ini orang kulit hitam masih agak terpisah dengan kulit putih di AS. Level segregasi residensial
kulit hitam dan kulit putih sedikit turun pada 1990an . Hanya sedikit orang kulit putih yang
punya kawan dekat kulit hitam (Jackman & Crane, 1986, dalam Taylor,dkk,2004) .

“Prasangka dan Diskriminasi” | 15


Jika ketidaktahuan, lantaran Kurangnya kontak antar ras, menimbulkan stereotip
yang salah, maka kontak yang lebih banyak semestanya akan menambah ketepatan persepsi
dan mengurangi prasangka. Beberapa studi klasik tentang efek desegregasi menemukan
bahwa kontrak bisa mereduksi prasangka. Studi yang lebih baru menemukan bahwa semakin
sering kontak antar kelompok akan semakin mengurangi prasangka. Beberapa survei di
Eropa menemukan bahwa memiliki banyak teman dari kelompok minoritas juga
menurunkan prasangka (Pettigrew, 1997, dalam Taylor,dkk,2004).

Salah satu problem dalam penggunaan kontak sebagai solusi adalah kebanyakan
individu yang berprasangka tidak mau menjalin kontak, dan karenanya solusi ini sulit
dilakukan.

Cooperative interdependence (interdependensi kooperatif) dengan tujuan umum


adalah elemen utama dalam teori kontak. Ini terdiri dari dua elemen: berinteraksi dan
berbagi hasil (Gaertner et al., 1999). Anggota dua kelompok perlu bekerja sama dan memiliki
tujuan yang sama yang pencapaiannya lebih bergantung pada upaya bersama ketimbang
pada persaingan memperebutkan sumber daya langka.

Kontak juga harus terjadi diantara individu dengan status yang sederajat. Kontak
harus memiliki pengenalan. Frekuensinya harus cukup, durasinya cukup, dan kedekatannya
cukup, agar terjalin persahabatan. Terakhir, harus ada dukungan institusional bagi kontak
tersebut. Orang-orang yang memegang otoritas harus mendukung kontak itu dengan tegas.
Untuk mengurangi konflik dalam sekolah yang ter desegregasi, para psikolog sosial
mengembangkan materi-materi pendidikan yang sesuai dengan prinsip teori kontak. Salah
satunya “teknik jigsaw” (Aronson & Gonzales ,1998, dalam Taylor,dkk,2004). Teknik ini
secara umum tingkat kesukaan kepada kawan sebaya antar kelompok ras, meningkatkan
harga diri kelompok anak-anak kelompok minoritas, dan meningkatkan prestasi akademik
mereka.

Kontak antar-ras yang bermanfaat akan terjadi lebuh sering saat ini ketimbang masa
lalu. Tetapi kelompok etnis dan rasial yang berbeda sering kali jarang saling menjalin kontak.
Karenanya, kontrak antar kelompok bukan solusi mujarab.

 Rekategorisasi

Strategi yang disarankan pendekatan kognitif untuk mengatasi stereotip dan


mengurangi prasangka salah satu caranya adalah merekatergorisasikan anggota in-group
dan out-group menjadi anggota datu kelompok yang lebih besar dan inklusif. Sama seperti
membentuk superordinate group (kelompok superordinat), pembentukan kelompok
superordinat akan bergantung pada variabel situasi yang mereduksi kemenonjolan
keanggotaan sub kelompok. Misalnya, sebuah eksperimen berusaha membentuk kategori
superordinat meskipun ada perbedaan nyata antara anggota in-group dan out-group. In-
group diciptakan dengan memberi baju laboratorium untuk dipakai kepada setengah
partisipan, sedangkan out-group masih mengenakan baju biasa. Anggota in-group merasa
diri mereka berbeda dan memberi penilaian negatif terhadap anggota out-group. Mereka
melakukannya karena rekategorisasi itu memperbesar persepsi baik itu in-group maupun

“Prasangka dan Diskriminasi” | 16


out-group adalah bagian dari kelompok inklusif yang lebih besar. Penciptaan kelompok
superordinat mungkin bisa membantu kita membuang stereotip lama. Rekategorisasi juga
dapat mereduksi prasangka dengan menonjolkan kategori silang.

Banyak negara didirikan dengan harapan negara itu akan menyatukan kelompok-
kelompok sebelumnya bertikai menjadi satu kategori superordinat yang inklusif. Beberapa
negara berhasil mencapai tujuan ini seperti dalam kasus Protestan dan Katolik dI Amerika
Serikat. Beberapa riset menunjukkan ada banyak keinginan untuk membentuk superordinat
,setidaknya dalam term harmoni antar kelompok. Misalnya, Wolsko et al (2000) menemukan
bahwa pesan kultural bisa menaikkan stereotip terhadap out-group sedangkan pesan dari
kelompok yang tidak membedakan warna kulit cenderung menurunkan stereotip itu.

Banyak negara modern berusaha mengakomodasi berbagai macam kelompok ini.


Memang benar bahwa prasangka belumlah lenyap sama sekali Namun, kesulitan praktis
mengurangi prasangka tidak boleh mencegah kita untuk berjuang mengatasi prasangka ini,
karena ada alasan moral dan legal. Mengurangi prasangka saat ini mungkin lebih penting
ketimbang masa lalu. Tidak ada masalah tunggal yang bisa memecahkan masalah ini.
Antagonisme kelompok tampaknya masih merupakan aspek fundamental dari kondisi
manusia. Namun dinegara demokrasi, perlu untuk diakui adanya harmoni dan toleransi
kelompok yang cukup besar sehingga umat manusia bisa hidup berdampingan secara sehat.

 Belajar tidak membenci

Psikolog sosial membagi pandangan berikut ini. Mereka percaya bahwa anak
mempelajari prasangka dari orang tuannya, orang dewasa lain, pengalaman masa kanak-
kanak (contoh, Towles-Schwen & Fazio ,2001,dalam Baron & Byrne, 2004) dan media massa.
Atas dasar keyakinan ini, sebuah teknik yang dapat digunakan untuk mengurangi prasangka
adalah sebagai berikut: Dengan cara apa pun kita harus mencegah orang tua dan orang
dewasa lainnya untuk melatih anak menjadi fanatik.

Dengan prinsip tersebut, kita harus mengakui bahwa dalam praktiknya,


melaksanakan prinsip itu tidak sederhana. Beberapa orang bersedia mendeskripsikan dirinya
sendiri sebagai seorang yang fanatik, mereka memandang sikap negatif mereka terhadap
berbagai kelompok sebagai sesuatu yang benar. Maka dari itu, sebuah kunci untuk tahap
awal adalah meyakinkan orang tua bahwa masalah tersebut sungguh ada. Ketika mereka
berhadapan dengan prasangkanya sendiri, tampaknya banyak yang ingin memodifikasi kata-
kata dan tingkah laku mereka untuk mendorong prasangka yang lebih rendah diantara anak-
anaknya.

Argumen lain yang dapat digunakan adalah dengan menanamkan pemahaman


bahwa prasangka membahayakan tidak saja korbannya, tetapi juga mereka yang memiliki
pandangan tersebut (Dovidio & Gaertner, 1993 : Justin,1991,dalam Baron & Byrne, 2004) .
Orang yang memiliki prasangka, tampaknya hidup dalam dunia yang penuh dengan rasa
takut, cemas, dan amarah yang tidak perlu. Dengan kata lain, kenikmatan akan kegiatan
sehari-hari dan hidup mereka sendiri berkurang dengan adanya prasangka yang mereka
miliki (Harris, dkk., 1992,dalam Baron & Byrne, 2004). Tentu saja, dari semua itu, terkadang

“Prasangka dan Diskriminasi” | 17


prasangka dilakukan untuk meningkatkan self-esteem mereka ketika mereka memandang
rendah atau menghitamkan anggota outgroup tersebut. Namun secara keseluruhan, jelas
bahwa orang yang memiliki prasangka rasial dan etnis yang intensif mengalami efek yang
berbahaya dari pandangan tanpa toleransi ini: Karena orang tua pada umumnya ingin
melakukan apa saja yang mereka mampu lakukan untuk meningkatkan kesejahteraan anak-
anak mereka , menempatkan alasan ini sebagai pusat perhatian mereka dapat efektif
mencegah mereka meneruskan pandangan prasangka kepada keturunannya.

 Intervensi kognitif

Intervensi yang dirancang untuk mengurangi dampak stereotip dapat terbukti


sangat efektif dalam mengurangi prasangka dan diskriminasi. Terdapat beberapa teknik yang
tampaknya efektif. Pertama, dampak stereotip dapat dikurangi dengan memotivasi orang
lain untuk tidak berprasangka, sebagai contoh dengan membuat mereka menyadari norma-
norma keadilan dan standar yang menuntut semua menerima perlakuan yang sama. Sama
halnya, ketergantungan stereotip dapat dikurangi dengan mendorong seseorang untuk
memikirkan orang lain secara hati-hati, dengan lebih memperhatikan keunikan
karakteristiknya daripada keanggotaannya dalam berbagai kelompok. Kesimpulannya, ketika
individu termotivasi untuk lebih teliti dan memiliki sumber daya kognitif yang cukup untuk
mencapai tujuan ini, mereka mampu menunjukkan penurunan stereotip.

Hal lain yang mungkin lebih mengejutkan adalah cara untuk mengurangi
kecenderungan berpikir secara stereotip melalui pelatihan yang dirancang untuk
mengurangi munculnya aktivitas otomatis stereotip. Ketika individu memiliki stereotip,
mereka belajar menghubungkan karakteristik tertentu (contoh, traits negatif sepeti
“miskin”, “kebencian” atau “berbahaya”) dengan berbagai kelompok rasial atau etnis , yang
akhirnya teraktivasi otomatis.

Kesimpulannya, tampaknya individu dapat belajar untuk melemahkan stereotip


mereka hanya dengan berkata tidak pada hubungan stereotip dan kelompok sosial tertentu.
Sebagai contoh, jika individu belajar menolak hubungan kognitif implisit antara trait negatif
dan kelompok rasial, mereka dapat mengurangi kecenderungan mereka sendiri untuk
mempersepsikan kelompok-kelompok ini melalui stereotip rasial.

 Menggunakan pengaruh sosial

Bukti nyata bahwa pengaruh sosial memang dapat digunakan untuk mengurangi
prasangka baru-baru ini dilaporkan oleh Stangor, Sechrist, dan Jost (2001).

Psikolog sosial ini meminta mahasiswa Kaukasian untuk memperkirakan persentase


orang Amerika Afrika yang memiliki sembilan belas trait stereotip. Sembilan trait adalah
positif (contoh, ramah, atletik, musikal) dan sepuluh trait negatif (mengintimidasi, penuh
kebencian, kasar). Setelah selesai memberikan estimasi, mereka diberikan informasi yang
menyatakan bahwa mahasiswa lain di Universitas yang sama tidak setuju dengan peringkat
yang telah mereka buat. Dalam sebuah kondisi (umpan balik yang menyenangkan), mereka

“Prasangka dan Diskriminasi” | 18


belajar bahwa siswa lain memiliki pandangan yang lebih baik terhadap orang Amerika Afrika
daripada mereka (contoh, mahasiswa lain memperkirakan trait positif yang lebih tinggi dan
trait positif yang lebih rendah). Sementara dalam kondisi lain (umpan balik yang tidak
menyenangkan), mereka mengetahui bahwa mahasiswa lain memiliki pandangan yang lebih
buruk terhadap orang Amerika Afrika daripada mereka. Setelah informasi ini, partisipan
sekali lagi memperkirakan persentase orang Amerika Afrika memiliki trait positif dan negatif.
Hasil mengindikasikan bahwa sikap rasial partisipan dipengaruhi oleh pengaruh sosial.

Dapat disimpulkan bahwa penemuan ini mengindikasikan bahwa sikap rasial tentu
tidak hadir dalam masyarakat yang vakum atau bebas pengaruh sebaliknya, sikap yang
dimiliki individu tidak hanya dipengaruhi oleh pengalaman sebelumnya yang mereka miliki,
tetapi juga oleh informasi saat ini yang mengindikasikan dimana sudut pandang mereka
dalam hubungannya dengan orang lain. Secara moral jelas: jika orang yang fanatik dapat
diyakinkan untuk percaya bahwa pandangan prasangkanya berlebihan bila dibandingkan
dengan orang lain, khususnya dengan pandangan orang yang mereka kagumi atau hormati—
mereka mau mengubah pandangan tersebut ke posisi kurang berprasangka.

8. Bagaimana target bereaksi terhadap prasangka

Dalam bagian dan bab ini kita telah memfokuskan diri pada orang yang memiliki prasangka
terhadap orang lain: bagaimana orang mengembangkan pandangan negatif ini, bagaimana mereka
menerjemahkan pandangan tersebut ke dalam tindakan yang tampak, dan bagaimana prasangka
dikurangi. Apa efek prasangka bagi target dan teknik apa yang mereka gunakan untuk
mengatasinya?. Sebagai contoh, seorang psikolog kulit hitam yang terkenal, Kaneth Clark (Clark &
Clark, 1947, dalam Baron & Byrne, 2004) melakukan serangkaian penelitian dimana anak-anak kulit
putih dan hitam diberi pilihan antara boneka putih dan hitam. Clark & Clark menemukan bahwa
anak-anak kulit hitam lebih suka bermain dengan kulit putih, dan dideskripsikan sebagai boneka
yang lebih baik, lebih menarik, dan lebih menyerupai mereka. Peneliti menginterpretasikan
penemuan ini sebagai pernyataan bahwa prasangka menjadikan anak-anak kaum minoritas menolak
identitas rasial atau etnis mereka dan menderita efek yang berbahaya dengan menurunnya self-
esteem (Baron & Byrne, 2004).

Untungnya, penemuan yang menakutkan ini tidak diperkuat oleh penelitian selanjutnya
yang mengindikasikan bahwa anak-anak kulit hitam sebenarnya cenderung lebih menyukai bermain
dengan boneka kulit hitam dan tidak menolak identitas rasial mereka sendiri. Akan tetapi, ada sedikit
keraguan bahwa orang yang menjadi target prasangka sering kali menyadari sikap negatif terhadap
mereka yang dimiliki oleh orang lain dan pengetahuan ini pada gilirannya dapat memberikan efek
kain yang berbahaya bagi mereka. Sebagai contoh, Steele dan Aronson (1995,dalam Baron & Byrne,
2004) menyatakan bahwa orang-orang minoritas sering kali mengalami ancaman stereotip
(stereotype threat) kekhawatiran bahwa mereka akan dievaluasi dalam hubungannya dengan
stereotip yang berkaitan dengan status minoritas mereka (Steele,1997, dalam Baron & Byrne, 2004),
disertai dengan rasa takut bahwa mereka akan memperkuat pandangan negatif ini. Kekhawatiran
ini, pada gilirannya dapat mengganggu kinerja dalam berbagai konteks. Konsisten dengan hipotesis
ini , Steele dan Aronson (1995) menemukan bahwa mahasiswa S1 kulit hitam menunjukkan kinerja

“Prasangka dan Diskriminasi” | 19


yang lebih buruk pada tugas kognitif (menjawab pertanyaan kulit dari Graduate Record Examination)
ketika ras mereka dijadikan pusat perhatian (menjadi perhatian mereka) dan mereka percaya bahwa
kinerja buruk akan memperkuat stereotip budaya bahwa orang kulit hitam kurang cerdas
dibandingkan orang kulit putih . Ketika ras tidak diperhatikan , efek tersebut tidak terjadi.

Dukungan lain terhadap dampak buruk dari ancaman stereotip diberikan oleh Croizet dan Claire
(1998), yang meminta orang dari latar belakang sosial-ekonomi tinggi atau rendah mengerjakan
sebuah tes yang dideskripsikan sebagai pengukuran kemampuan kecerdasan atau sebagai sebuah
pengukuran kemampuan perhatian dalam memori. Peneliti memprediksi bahwa ketika tes
dideskripsikan sebagai pengukuran terhadap kecerdasan, ancaman stereotip akan mempengaruhi
orang-orang dengan latar belakang sosial-ekonomi rendah ,yang akan takut bahwa mereka akan
dievaluasi dengan hubungannya dengan stereotip negatif terhadap orang-orang tersebut. Maka,
mereka sungguh melakukan kinerja yang terburuk dalam tes daripada mereka dengan latar belakang
sosioekonomi tinggi. Namun, ketika tes dideskripsikan sebagai sebuah pengukuran perhatian,
perbedaan tersebut tidak muncul. Hasil yang ada menunjukkan dukungan yang jelas pada prediksi
ini. Temuan-temuan ini menyatakan bahwa stereotip memang dapat memiliki efek yang buruk
terhadap target stereotip—efek yang berbeda dengan efek yang ditimbulkan oleh diskriminasi
terhadap orang tersebut.

Lebih baru lagi, psikolog sosial telah mengadopsi sebuah pandangan yang sangat berbeda
terhadap pertanyaan bagaimana target prasangka mengatasi masalah ini. Bukannya memandang
orang tersebut sebagai korban pasif. Pandangan baru ini memandang target prasangka sebagai agen
yang aktif, yang mampu memilih situasi mana yang harus ia masuki(mungkin situasi dimana mereka
merasa memiliki kesempatan dan tidak akan mengalami diskriminasi secara jelas), berpikir secara
aktif mengenai apa yang mungkin terjadi dalam situasi ini dan berespons dalam berbagai cara.
Seperti yang disebutkan dalam Shelton (2000), baru-baru ini anggota kelompok minoritas
mengadopsi berbagai strategi untuk melindungi kesejahteraan psikologis mereka. Sebagai contoh,
mereka mengatribusi umpan balik negatif dari orang lain sebagai prasangka atau memilih untuk
membandingkan mereka hanya dengan anggota in-group daripada kelompok mayoritas yang
berprasangka. Lebih jauh lagi, mereka memilih untuk memandang situasi atau hasil dimana
kelompok mereka dipandangn secara negatif sebagai sesuatu yang tidak penting atau tidak relevan
dengan diri mereka.

Selain itu korban prasangka sering kali akan membentuk sikap rasial dan stereotip pula
terhadap mereka sendiri. Penemuan baru-baru ini mengindikasikan bahwa sikap rasial orang kulit
hitam terutama didasarkan pada persepsi terhadap ancaman atau konflik, disertai dengan reaksi
mereka terhadap rasisme kulit putih (contoh , Duckitt & Mphuthing , 1993: Monteith & Spicer, 2000,
dalam Baron & Byrne, 2004). Sebaliknya, sikap rasial orang kulit putih tampak berasal dari tingkat
komitmen mereka atas prinsip-prinsip keadilan. Penemuan lain mengindikasikan bahwa seperti
halnya orang kulit putih, sikap rasial orang kulit hitam juga bervariasi. Maka, walaupun menjadi
target rasisme dan diskriminasi selama beberapa generasi, banyak orang kulit hitam tidak memiliki
persepsi negatif terhadap orang kulit putih (contoh, Ryan, 1996). Lebih jauh lagi , seperti yang
diharapkan , semakin kuat seseorang menjadi bagian dari kelompok minoritas mengidentifikasi
dengan kelompok mereka, semakin sensitif mereka terhadap prasangka dalam bentuk halus dan

“Prasangka dan Diskriminasi” | 20


semakin kuat mereka bereaksi terhadap hal tersebut (contoh, Operario & Fiske ,2001, dalam Baron
& Byrne, 2004)

Ringkasnya, sebuah perspektif baru muncul dalam psikologi sosial – sebuah perspektif yang
mengidentifikasi fakta bahwa prasangka berjalan dua arah. Tidak hanya penting untuk memahami
pemikiran dan tingkah laku orang yang memiliki prasangka rasial, etnis, atau gender, tetapi penting
juga untuk mempertimbangkan bagaimana target dari sikap dan stereotip tersebut terhadap
pandangan-pandangan dan perlakuan negatif yang mereka terima. Harapannya, tentu saja, dengan
semakin banyaknya pengetahuan yang lebih lengkap tentang kedua aspek dari proses tersebut, kita
akan memiliki posisi yang lebih baik untuk melawan terjadinya hal tersebut- dan efek negatifnya.

9. Penelitian klasik tentang prasangka : prasangka dan kategorisasi sosial

Tajfel, Billig , Bundy , dan Flament,1971 dalam Pitaloka , dkk ,2018) melakukan penelitian
eksperimental pertama yang berupaya untuk menguji hipotesis bahwa kategorisasi sosial dapat
mempengaruhi interaksi antar kelompok. Pada penelitian tersebut, Tajfel dkk. meminta partisipan
menebak jumlah titik yang ada dilayar. Partisipan kemudian diberitahu apakah mereka termasuk
kelompok yang menebak jumlah titik tersebut lebih banyak dari yang sebenarnya atau lebih sedikit.
Pada tahapan berikutnya, partisipan diminta untuk mengindikasikan berapa banyak reward yang
diterimanya yang akan diberikan pada anggota ingroup mereka (orang-orang yang memiliki prediksi
sama soal jumlah titik dilayar: sama-sama lebih banyak dari jumlah sebenarnya atau sama-sama
lebih sedikit). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar partisipan memberikan reward
lebih banyak kepada teman sekelompok mereka.

Penelitian tersebut mengindikasikan bahwa kategorisasi sosial tidak hanya menjadikan


individu paham posisi kelompok atau orang lain, tetapi juga membantunya memahami posisi dirinya
dan kelompoknya sendiri. Misalnya Andi adalah orang muslim beretnis Jawa bertemu dengan
seseorang beragama buddha dan beretnis Tionghoa. Dalam kondisi ini, Andi mengelompokan orang
tersebut berdasarkan kategorisasi etnis dan agama (Tionghoa-Buddha) sebagai seseorang yang
berasal dari kelompok lain (outgroup). Dengan kata lain, Andi juga melihat bahwa dirinya adalah
bagian dari kelompok yang berbeda (Jawa-Islam).

Teori self-categorization menjelaskan bahwa keanggotaan kelompok merupakan salah satu dasar
pembentuk konsep diri (Turner, Hogg, Oakes, Reicher, dan Wetherell, 1987, dalam Pitaloka, dkk.,
2018). Ketika individu merasa dekat dengan sebuah kelompok, itu berarti keanggotaannya dalam
kelompok tersebut menjadi penting bagi konsep dirinya. Artinya, kelompok menjadi faktor penting
bagi definisi diri-hal penting dalam menjawab pertanyaan “siapa saya?” Baik atau buruk kelompok
pun akan mempengaruhi konsep diri. Untuk mempertahankan konsep diri positif, individu
cenderung melihat kelompoknya secara positif. Hal tersebut dikenal sebagai konsep ingroup bias.
Bias artinya individu tersebut tidak netral dalam berpikir dan berperilaku, seperti cenderung melihat
banyak perbedaan ketimbang kesamaan antara dirinya dengan anggota kelompok lain (Tajfel dan
Wilkes , 1963), memperkuat penilaian positif mengenai kelompok sendiri sehingga mengukuhkan
identitas sosial (Tajfel dan Turner, 1979,Pitaloka , dkk ,2018) , atau menilai kelompok sendiri lebih
sedikit dari kelompok lain atau sebaliknya (Taylor, Fiske, Etcoff, dan Ruderman , 1978, dalam
Pitaloka, dkk ., 2018).

“Prasangka dan Diskriminasi” | 21


DAFTAR PUSTAKA

Baron, Robert A., dan D., Baronn (2005). Psikologi sosial. Erlangga: Jakarta

Sarwono, dan Sarlito, W. (2003). Psikologi sosial 1. Balai Pustaka: Jakarta

Taylor, dkk. (2004). Social psychology (12th ed.). Mc Graw Hill. Boston

Rahman, dan A., Abdul. (2013). Psikologi sosial: Integrasi pengetahuan wahyu dan pengetahuan
empirik. Raja grafindo Persada: Jakarta

“Prasangka dan Diskriminasi” | 22


LAMPIRAN-LAMPIRAN
REVIEW JURNAL

Judul Seeing the World Through the Other’s Eye : An Online Intervention
Reducing Ethnic Prejudice
Nama Jurnal American Political Science Review
Volume & Halaman Vol. 112, Hal. 186-193
Tahun 2018
Penulis Gabor Simonovits, Gabor Kezdi, Peter Kardos
Reviewer Anang Yuliawan, Diandra Pradnya P. M., Nurunnisa
Tanggal 7 Mei 2019

Tujuan Penelitian Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi dampak dari
intervensi online untuk mengurangi prasangka etnis melalui perspective-
taking game.
Subjek Penelitian Subjek adalah partisipan Hungarian Life Course Survey (HLCS).
Kerangka sampling terdiri dari 2610 individu yang sudah mengirim email
dan menanggapi serangkaian pertanyaan tentang prasangka etnis dalam
gelombang HLCS. Akan tetapi, hanya 579 subjek yang berpartisipasi
dalam survei pertama. Kemudian, 385 subjek mengikuti survei lanjutan.
Metode Penelitian Metode penelitian yang dilakukan yaitu menggunakan metode
kuantititatif.
Hasil Penelitian  Treatment yang dilakukan memiliki efek langsung yang besar
 Terdapat efek jangka panjang dari treatment ini pada seluruh
subjek yang mengikuti survei gelombag dua
 Perbedaan antara efek langsung dan efek jangka panjang
tergantung pada subjek yang keluar
 Treatment ini dapat mengurangi dukungan terhadap partai sayap
kanan sebanyak 12%
Simpulan Penelitian  Keikutsertaan dalam perspective-taking game menyebabkan
penurunan besar sentimen anti-Roma dan bertahan setidaknya satu
bulan. Efek dari permainan juga meluas ke sikap anti-Roma
terhadap pengungsi dan kelompok lain yang terstigmasi dalam
masyarakat Hongaria.

“Prasangka dan Diskriminasi” | 23


BERITA TERKIAT TEMA BAIK DI DUNIA MAYA DAN DUNIA NYATA

1. Dalam Dunia Nyata

Rasisme terhadap Orang Kulit Hitam Meluas di Eropa

Penulis : Unggul Wirawan/ WIR Tanggal : Kamis, 29 November 2018 | 19.42 WIB

Brussels-Orang-orang keturunan Afrika menghadapi prasangka dan sikap eksklusi yang luas di
seluruh negara Uni Eropa. Seperti dilaporkan BBC, Rabu (28/11), satu penelitian badan Uni Eropa
untuk hak-hak dasar (FRA) menunjukkan, rasisme terhadap orang kulit hitam di Uni Eropa telah
meluas dan mengakar.

Menurut FRA, kekerasan terkait ras, profil polisi yang diskriminatif, dan diskriminasi dalam pencarian
pekerjaan dan perumahan adalah hal yang biasa bagi banyak orang.

Finlandia memiliki tingkat pelecehan dan kekerasan terkait ras yang tertinggi, sedangkan Inggris
memiliki yang terendah.

"Ini adalah kenyataan yang memalukan dan menyebalkan: rasisme berdasarkan warna kulit
seseorang tetap menjadi momok yang tersebar di seluruh Uni Eropa," kata Direktur FRA Michael
O'Flaherty dalam kata pengantar untuk laporan tersebut seraya mendesak negara-negara Eropa
untuk mengambil tindakan.

Penelitian FRA berjudul “Being Black ini EU” ini mensurvei hampir 6.000 orang di 12 negara Uni
Eropa, termasuk Prancis dan Jerman, antara 2015 dan 2016.

Sekitar 30% dari keseluruhan responden mengatakan bahwa mereka telah mengalami beberapa
bentuk pelecehan rasial dalam lima tahun sebelum survei ini. Survei FRA juga mencakup 63%
responden di Finlandia hingga 21% di Inggris dan 20% di Malta.

Lima persen dari responden mengatakan telah mengalami kekerasan rasis, termasuk oleh petugas
polisi. Tingkat kekerasan rasis tertinggi tercatat di Finlandia (14%), Irlandia dan Austria (keduanya
13%). Tingkat terendah diamati di Portugal (2%) dan Inggris (3%).

“Mayoritas mengatakan mereka tidak melaporkan insiden itu karena mereka merasa tidak akan
mengubah apa pun atau karena mereka tidak percaya atau takut terhadap polisi,” kata laporan itu.

Analisis kasus

Perlakuan diskriminasi terhadap ras kulit hitam atau rasisme sudah meluas dan mengakar di
Uni Eropa. Dalam kasus ini, Finlandia tercatat sebagai negara yang memiliki tingkat kekerasan rasis
paling tinggi dan Inggris terendah. Menurut hasil survei, hampir 6000 orang di 12 negara Uni Eropa
pernah mengalami pelecehan rasial dalam lima tahun sebelum survei ini dilakukan. Dan mayoritas
dari mereka tidak melaporkan hal tersebu, karena akan dianggap sama saja.

“Prasangka dan Diskriminasi” | 24


Kasus rasisme seperti ini sering disebabkan karena adanya prasangka dari ras kulit putih,
bahwa mereka memandang ras mereka lebih tinggi, dan memandang ras kulit hitam negatif. Mereka
cenderung melihat bahwa ras kulit hitam merefleksikan persepsi umum mengenai orang desa,
budak, dan pekerja kasar.

2. Dalam Dunia Maya

Diserang Bukti Transgender, Lucinta Luna Lapor Polisi?

Penulis : Rizky Aditya Saputra Waktu : 22 Mar 2018, 11:20 WIB

Liputan6.com, Jakarta - Nama Lucinta Luna mendadak ramai dibicarakan. Bukan karena karya
barunya sebagai pedangdut, Lucinta Luna justru dicecar mengenai identitas aslinya.

Lucinta Luna disebut-sebut sebagai seorang transgender. Hal itu berdasarkan pengakuan para
sahabat Lucinta Luna mulai dari Elly Sugigi hingga yang terbaru Melly Bradley, yang merupakan
transgender.

Berbagai bukti berupa foto dan video telah dibeberkan Elly Sugigi dan Melly Bradley. Alhasil, tak
sedikit yang meyakini Lucinta Luna memang bukan wanita tulen.

Di tengah persoalan yang menyerangnya, Lucinta Luna tiba-tiba menyambangi Sentra Pelayanan
Kepolisian Terpadu (SPKT) Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Rabu (21/3/2018) petang. Hal itu
terlihat dari unggahan Instagram @lucintaluna.

Meski wajahnya tak terlihat di foto, Lucinta Luna mengunggah sebuah gambar rekan duetnya di Duo
Bunga, Ratna Pandita, dan manajernya, Didi, berlatar belakang SPKT Polda Metro Jaya.

Tak lupa Lucinta Luna menuliskan sebuah pesan pada keterangan fotonya dan minta untuk
didoakan. "Semoga ada jalan terbaik ... Amiin," tulisnya disertai emotikon hati.

Kuat dugaan Lucinta Luna hendak membuat laporan terkait tuduhan dirinya yang merupakan
transgender. Pasalnya, dalam unggahan lain di Instagram, Melly Bradley sempat menyinggung
tentang laporan polisi Lucinta Luna.

"Dilaporin polisi??? Hahayyyyy Eh ntr deh Itu jg blm tau suh buat siapa ya hahaha," tulis Melly
Bradley.

"Kalian tuh lapor polisi atas dasar apa tsay??? Nih baca baik2 ya Sekali saya tegasin knp saya
posting video itu?? Ya kan emang saya posisinya sebagai netizen yg di tantang untuk membuktikan
kebenaran. Kecuali gk ada tantangan dr lo baru deh tuh boleh lo lapor atas dasar ini itu. Aduhhh lucu
deh kamyuuuu."

Putusan Pengadilan

Sebelumnya isu transgender Lucinta Luna semakin terang ketika terungkap banyak bukti kuat
tentang identitas aslinya. Dalam situs resmi Pengadilan Negeri Jakarta Barat, terdapat sebuah
perkara yang diduga milik Lucinta Luna ketika mengubah identitas jenis kelamin.

“Prasangka dan Diskriminasi” | 25


Dalam berkas perkara tersebut, pria bernama asli Muhammad Fatah akhirnya mengubah
identitasnya menjadi Ayluna Putri sejak disahkan pada 4 Januari 2017.

Analisis Kasus

Diskriminasi terhadap homoseksual yang terjadi pada Lucinta Luna sudah sering terjadi.
Banyak sekali warganet yang melakukan pengucilan terhadap Lucinta Luna. Dimulai dari komentar-
komentar di postingannya, sampai di bahas di beberapa akun youtube artis dalam negeri. Hal ini
disebabkan, tindakan penggantian gender oleh Lucinta Luna, dianggap sebagai perilaku yang tidak
sesuai di mata warganet.

Diskriminasi lain yang Lucinta Luna alami juga adalah cyber bullying. Dengan banyaknya
komentar-komentar tidak enak dari warganet, juga bisa menjadi sebuah bentuk pembullyan bagi
Lucinta Luna sendiri.

“Prasangka dan Diskriminasi” | 26

Anda mungkin juga menyukai