ROMBEL 2
ANGGOTA KELOMPOK
Nurunnisa (1511418100)
JURUSAN PSIKOLOGI
FIP UNNES 2019
HALAMAN JUDUL..................................................................................................................... 1
DAFTAR ISI............................................................................................................................... 2
1. Definisi Prasangka............................................................................................................. 3
2. Definisi diskriminasi: Perwujudan prasangka dalam perilaku........................................... 3
3. Target prasangka dan diskriminasi.................................................................................... 4
4. Bentuk diskriminasi........................................................................................................... 6
5. Sumber kognitif dari prasangka........................................................................................ 9
6. 7 sumber prasangka pada tingkat personal...................................................................... 12
7. Mengurangi Prasangka..................................................................................................... 14
8. Bagaimana target bereaksi terhadap prasangka............................................................. 19
9. Penelitian klasik tentang prasangka: prasangka dan kategorisasi sosial.......................... 21
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BERITA TERKAIT TEMA BAIK DI DUNIA MAYA DAN DUNIA NYATA ........................... 24
Prasangka (prejudice) adalah sebuah sikap (biasanya negatif) terhadap anggota kelompok
tertentu, semata berdasarkan keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut. Dengan kata lain,
seseorang yang memiliki prasangka terhadap kelompok sosial tertentu cenderung mengevaluasi
anggotanya dengan cara yang sama (biasanya secara negatif) semata karena mereka anggota
kelompok tersebut. Trait dan tingkah laku individual mereka memainkan peran yang kecil,
mereka tidak disukai hanya karena mereka termasuk dalam kelompok tertentu. Sebaliknya,
diskriminasi (discrimination) merujuk pada aksi negatif terhadap kelompok yang menjadi sasaran
prasangka ( Baron, Robert A., & Byrne, Donn : 2004)
Manusia adalah “cognitive misers” yaitu mereka dalam kebanyakan situasi menanamkan
usaha kognitif sesedikit mungkin. Jadi mengapa begitu banyak orang yang membentuk dan
memiliki prasangka?
Alasan kedua, adalah karena dengan melakukan hal tersebut kita dapat menghemat
usaha kognitif. Stereotip, secara khusus tampaknya melakukan fungsi ini. Ketika stereotip
terbentuk, kita tidak perlu melakukan proses berpikir yang hati-hati dan sistematis. Lagipula
karena kita “tahu” seperti apakah anggota kelompok ini, kita dapat melakukan proses berpikir
yang lebih cepat berdasarkan dorongan proses heuristik dan semua keyakinan yang telah dimiliki
sebelumnya.
2. Definisi Diskriminasi
Dikriminasi (discrimination) adalah tingkah laku atau aksi negatif yang ditujukan kepada
anggota kelompok sosial yang menjadi objek prasangka. Diskriminasi merupakan perwujudan
prasangka dalam tingkah laku ( Baron, Robert A., & Byrne, Donn : 2004 )
Prasangka merupakan suatu perilaku yang tidak tampak. Orang yang memiliki sikap negatif
terhadap anggota beberapa kelompok tidak dapat mengekspresikan pandangan mereka secara
langsung. Hukum, tekanan sosial, dan ketakutan akan dikucilkan, semua itu berfungsi untuk
mencegah orang menampilkan pandangan prasangkanya di depan umum. Namun, Diskriminasi
pun bisa terjadi karena alasan yang berbeda-beda. Bentuk dikriminasi yang jelas, merupakan aksi
negatif terhadap objek prasangka rasial, etnis, atau agama. Contohnya, membatasi tempat
duduk bagi anggota kelompok-kelompok tertentu di bis atau bioskop -yang umum terjadi di
masa lalu.
Vaughan dan Hogg (2005) menjelaskan bahwa terdapat kelompok-kelompok tertentu yang
biasanya menjadi target prasangka dan diskriminasi, yaitu kelompok jenis kelamin tertentu, ras
tertentu, kelompok usia tertentu, serta termasuk juga kaum homoseksual dan kelompok
individu dengan ketunaan fisik ( Vaughan & Hogg: 2005 dalam Baron, Robert A., & Byrne, Donn :
2004)
Seksisme
Seksisme merupakan prasangka dan diskriminasi yang terjadi dalam pembedaan
antara pria-wanita. Contoh nyata di negeri ini adalah ketika masa Raden Ajeng Kartini.
Beliau prihatin dan sedih terhadap kaumnya saat itu yang relatif tidak mendapat
kesempatan yang sama dengan kaum pria dalam mengembangkan diri.
Dalam praktik seksisme di tempat lain, sering terjadi apa yang disebut selective
infanticide, yaitu pembunuhan bayi perempuan (atau fetus). Masyarakat yang
mempraktikkan seleksi jenis kelamin dengan mengutamakan kaum pria ini terdapat di
beberapa tempat, misalnya Republik Rakyat Cina (RRC), Taiwan, Korea, dan India.
Pada tahun 2005, diperkirakan 90 juta perempuan di tujuh negara Asia meninggal
karena aborsi dengan seleksi jenis kelamin. Disebutkan bahwa eksistensi dari praktik ini
disuburkan oleh kultur daripada oleh kondisi ekonomi.
Adanya prasangka tampaknya juga berkaitan dengan stereotip tentang seks yang
ada. Penelitian tentang stereotip jenis kelamin menunjukkan bahwa laki-laki itu kompoten
dan manidiri dan wanita itu hangat serta ekspresif. Fiske juga mengatakan, bahwa wanita
dilihat ‘ramah, namun tidak kompeten’ sedang pria dilihat sebagai ‘mungkin tidak ramah,
namun kompeten’.
Dalam dunia kerja, terjadi praktik prasangka dan diskriminasi yang dikenal dengan istilah
galss ceiling effect, yaitu adanya batas yang menghambat seseorang (dalam hal ini wanita)
untuk mengembangkan kariernya dengan leluasa seperti rekan prianya.
Rasisme
Rasisme merupakan diskriminasi terhadap ras dan etnis, dan tampaknya diskriminasi
ini yang paling banyak menimbulkan perbuatan brutal di muka bumi. Banyak penelitian
psikologi sosial berfokus pada sikap terhadap anti-kulit hitam di Amerika Serikat. Mereka
cenderung melihat bahwa kulit hitam merefleksikan presepsi umum mengenai orang desa,
budak, dan pekerja kasar.
Namun ternyata ada pula bentuk diskriminasi yang tersamar dan halus yang
ditemukan. Bentuk baru dari rasisme ini disebut sebagai aversive racism, modern racism
symbolic racism, regressive racism, atau ambivalent racism. Contohnya adalah dalam
bentuk menghindari untuk hidup di lingkungan kelompok yang menjadi target prasangka
dan menampilkan perilaku prososial (menolong) yang berbeda dengan yang ditampilkannya
untuk kelompok yang tidak menjadi target prasangkanya.
Ageism
Sebuah survei di AS oleh Levitt dan Klasen pada tahun 1974 menunjukkan bahwa
mayoritas orang memiliki belief bahwa homoseksualitas adalah penyakit dan perlu untuk
dilarang secara legal. Walaupun sebenarnya secara umum, pada tahun 1960 ada liberalisasi
progresif terhadap sikap untuk homoseksualitas.
Orang dengan keterbatasan seperti ini sering dipandang sebagai menjijikan dan
kurang bermartabat. Adanya praktik-praktik pertunjukkan sirkus yang mempertontonkan
keterbatasan fisik, menunjukkan kebenaran adanya pandangan negatif ini.
Saat ini, diskriminasi atas orang yang memiliki keterbatasan fisik dianggap illegal dan
tidak diterima secara social, bahkan masyarakat di Australia dan Selandia Baru sangat
sensitif dengan kebutuhan orang-orang yang berkebutuhan khusus ini. Tampaknya
masyarakat tidak lagi menganggap remeh pada orang-orang dengan keterbatasan ini.
Walaupun sering kali masih ada ketidaknyamanan yang dirasakan oleh beberapa orang jika
di lingkungannya terdapat orang dengan keterbatasan fisik.
Diskriminasi mewujud dalam perilaku yang bervariasi, mulai dari yang halus atau tersamar
hingga yang nyata dan kasar (Eko A. Meinarno dan Sarlito W. Sarwono, 2018). Berikut merupakan
bentuk-bentuk diskriminasi:
Baron & Byrne (2004) menjelaskan bahwa tokenisme adalah contoh saat individu
menunjukkan tingkah laku positif yang menipu terhadap anggota kelompok outgroup
kepada siapa mereka merasakan prasangka yang kuat. Kemudian perilaku tokenistik ini
digunakan sebagai alasan untuk menolak melakukan aksi yang lebih menguntungkan
terhadap kelompok ini. Tokenisme memiliki setidaknya dua dampak negatif. Pertama,
tokenisme membiarkan orang dengan prasangka terlepas dari tuntutan, mereka
menunjukkan aksi tokenistik sebagai bukti umum bahwa mereka bukanlah orang yang
munafik. Kedua, tokenisme dapat merusak self-esteem dan kepercayaan diri sasaran,
Menolak untuk menolong (reluctance to help) yang berasal dari kelompok tertentu
seringkali dimaksudkan untuk membuat kelompok lain tersebut berada dalam posisinya
yang kurang beruntung. Misalnya tuan tanah yang menolak untuk menyewakan
akomodasinya bagi kelompok etnik minoritas, atau organisasi yang menolak memberikan
fasilitas khusus bagi karyawan wanitanya, misalnya cuti pada masa datang bulan, jam kerja
yang fleksibel, atau jam kerja paruh waktu (Eko A. Meinarno dan Sarlito W. Sarwono, 2018).
Selain itu, menolak untuk menolong adalah ciri dari diskriminasi rasial yang nyata.
Penelitian eksperimen dari Gartner dan Dovidio (1977, Vaughan dan Hogg, 2005, dalam Eko
A. Meinarno dan Sarlito W. Sarwono, 2018) menunjukkan bahwa orang kulit putih lebih
menolak untuk menolong confederate kulit hitam daripada confederate kulit putih dalam
situasi darurat. Ini terjadi jika mereka memiliki belief bahwa ada penolong lain yang
potensial.
Reverse discrimination
Reverse discrimination adalah bentuk tokenisme yang lebih ekstrem, yaitu praktik
melakukan diskriminasi yang menguntungkan pihak yang biasanya menjadi target prasangka
dan diskriminasi dengan maksud agar mendapatkan justifikasi dan terbebas dari tuduhan
telah melakukan prasangka dan diskriminasi. Oleh karena reverse discrimination
memberikan keuntungan kepada kelompok minoritas, maka efek jangka pendeknya dapat
dirasakan langsung. Namun, dengan berjalannya waktu, ada konsekuensi negatif yang bisa
ditanggung oleh kelompok minoritas tersebut. Penting bagi para peneliti untuk melihat
apakah perilaku positif yang ditampilkan kepada kelompok minoritas adalah benar-benar
ungkapan untuk membantu orang yang kurang beruntung, atau justru sebuah reverse
discrimination (Eko A. Meinarno dan Sarlito W. Sarwono, 2018). Contoh dari Reverse
Descrimination yaitu affirmative action (aksi afirmatif).
Stigma
Individu yang mendapatkan stigma memiliki (atau ‘dibuat’ untuk memiliki) beberapa
atribut atau karakteristik yang mengandung identitas sosial yang direndahkan dalam konteks
sosialnya. Pengalaman subjektif dalam menerima stigma bergantung pada dua faktor ini,
Prasangka memiliki berbagai sumber kognitif, diantaranya yaitu stereotip, stereotip implisit,
hubungan palsu, dan homogenitas Out-group.
Stereotip
Stereotip implisit
Sebeumnya kita telah mcmpelajari bahwa sikap rasial sering kali berbentuk implisit:
sikap tersebut ada dan mempengaruhi banyak bentuk tingkah laku, meskipun kita tidak
menyadari keberadaan atau dampaknya tahadap tingkah laku. Hal yang sama juga terjadi
pada stereotip. Seperti yang telah dinyatakan oleh Greenwald clan Banaji (1995), kita sering
kali memiliki stereotip implisit yang tidak dapat kita identifikasi dengan mudah melalui
introspeksi, tetapi tetap mempengaruhi keyakinan kita tentang karakteristik yang dimiliki
oleh anggota dari kategori sosial tertentu. Dengan kata lain, stereotip rasial, etnis, atau
gender yang sebagian besar tidak kita sadari dapat diaktivasi oleh berbagai stimuli (contoh,
anggota kelompok yang memiliki stereotip). Dan setelah mereka diaktivasi, stereotip ini
mempengaruhi pemikiran, keputusan, dan bahkan tingkah laku yang muncul pada orang
Jika benar bahwa stereotip rasial implisit diaktivasi dengan stimulus priming (wajah
orang kulit hitam atau putih), maka diduga bahwa waktu respons terhadap target kata akan
bervariasi sebagai fungsi dari stimulus dasar ini. Secara spesifik, partisipan seharusnya
berespons lebih cepat pada kata-kata yang berhubungan dengan stereotip rasial untuk
orang kulit putih setelah melihat ’white prime' daripada ’black prime’, dan berespons lebih
cepat terhadap kata yang berhubungan dengan stereotip rasial untuk orang kulit hitam
setelah melihat ’black prime’ daripada ’white prime’.
Yang penting tentang stereotip adalah: Kita mungkin tidak menyadari kenyataan
bahwa stereotip bekerja, tetapi mereka tetap kuat mempengaruhi penilaian kita atau
keputusan kita tentang orang lain, atau bahkan bagaimana kita berinteraksi dengan mereka.
Secara khusus, bukti yang berkembang menyatakan bahwa stereotip implisit dapat menjadi
prediktor yang lebih baik terhadap ekspresi spontan yang bias atau halus daripada
pengukuran eksplisit yang diperoleh melalui kuesioner sikap atau self-report yang lain (1997,
Dovidio dkk., dalam Baron & Byrne, 2004). Jelas, bahwa stereotip implisit adalah sesuatu
yang harus kita perhatikan dalam usaha kita memahami sifat dasar prasangka dan
diskriminasi.
Hubungan palsu
Hubungan palsu atau hubungan ilusi, memiliki implikasi penting terhadap prasangka.
Secara khusus, hubungan ini membantu menjelaskan mengapa tingkah laku sering kali
negatif dan kecenderungan oleh anggota kelompok mayoritas diatribusikan pada anggota
berbagai kelompok minoritas. Sebagai contoh, beberapa psikolog sosial telah menyatakan
bahwa efek hubungan ilusi membantu menjelaskan mengapa banyak orang kulit putih di
Amerika Serikat melebih-lebihkan perkiraan tingkat kejahatan yang dilakukan oleh laki-laki
Mengapa efek ini terjadi? Satu penjelasan yang dapat diberikan berdasarkan pada
perbedaan frekuensi kejadian atau stimuli. Berdasarkan pandangan ini, peristiwa yang jarang
terjadi menjadikannya lebih menonjol dan dengan mudah diingat. Selain itu, kejadian
tersebut disimpan secara lebih mendalam daripada hal lain yang dialami, sehingga lebih
mudah diingat dalam memori. Dengan demikian, ketika penilaian terhadap kelompok
tersebut dilakukan di lain waktu, kejadian yang menonjol tersebut mudah diingat, dan hal ini
menyebabkan interpretasi yang berlebihan terhadap kejadian tersebut. Bayangkan
bagaimana penjelasan ini diaplikasikan pada kecenderungan orang kulit putih Amerika
dalam memperkirakan secara berlebihan tingkat kejahatan di antara orang kulit hitam.
Orang kulit hjtam adalah sebuah kelompok minoritas (jumlahnya dua belas persen dari total
populasi); maka, mereka sangat menonjol atau khas. Banyak tingkah laku kriminal, menjadi
sangat menonjol, walaupun faktanya, kejadian tersebut telah banyak meningkat dalam
dekade terakhir ini Ketika berita melaporkan bagaimana orang Amerika keturunan Afrika
ditangkap untuk sebuah tindak kejahatan, informasi ini diproses dengan teliti dan menjadi
sangat mudah diingat. Maka hal ini di lain waktu dengan mudah diingat dan menyebabkan
kecenderungan perkiraan yang berlebihan terhadap kelompok minoritas-sebuah contoh
hubungan ilusi.
Homogenitas Out-group
Vaughan dan Hogg (2005 dalam Eko A. Meinarno dan Sarlito W. Sarwono,2018) menjelaskan
adanya tujuh teori mayor dalam menjelaskan terbentuknya prasangka dan diskriminasi seperti
berikut:
Teori ini dikembangkan oleh Dollard dan para koleganya pada tahun 1939 brsamaan
dengan merebaknya sikap anti-semit, terutama Jerman sekitar tahun 1930-an. Teori ini
mendasarkan diri pada asumsi psikodinamik yang menjelaskan adanya jumlah yang pasti
dari energi psikis individu yang memungkinkannya untuk melakukan aktivitas psikologis yang
disebut katarsis. Katarsis adalah aktivitas psikis yang menggerakkan energi psikis yang ada,
sehingga dapat mengembalikan pada kondisi psikologis yang seimbang. Contohnya, jika
terjadi hambatan untuk mencapai sesuatu, maka hal ini akan menimbulkan frustasi. Dalam
kondisi ini, energi psikis tetap aktif, dan sistem psikologis Yang seimbang tetap diciptakan
dengan jalan menampilkan agresivitas. Dapat dikatakan bahwa agresivitas adalah
mekanisme untuk menyeimbangkan kembali sistem psikologis yang ada.
Kritik terhadap teori ini mengemukakan bahwa tidak semua frustrasi mendorong
terjadinya agresi. Berkowitz (1962 dalam Vaughan dan Hogg, 2005) mencoba merevisinya
dengan mengusulkan adanya perubahan pada tiga hal.
2. Hal yang terjadi bukanlah frustasi yang objektif melainkan yang negatif.
3. Frustasi hanyalah satu dari sekian banyak kejadian yang menyakitkan yang dapat
menimbulkan agresi.
Adorno, Frenkel-Brunswik, Levinson dan Sanford (1950 dalam Vaughan dan Hogg, 2005)
mengembangkan penjelasan mengenai kaitan prasangka dengan kepribadian Otoritarian. Dalam
penjelasannya ini diungkapkan bahwa hanya orang dengan kepribadian Otoritarian saja yang
cenderung berprasangka. Kepribadian Otoritarian ini didefinisikan sebagai konstelasi
karakteristik yang meliputi penghargaan terhadap pihak atau figur otoritas, obsesi terhadap
status dan ranking. kecenderungan untuk melakukan displacement kemarahan dan
ketidaksukaan terhadap pihak yang lebih lemah, toleransi yang rendah terhadap ketidakpastian,
serta kebutuhan untuk mendefinisikan dunia secara kaku dengan cara mengembangkan
keintiman. Konstelasi karakterisitikyang ada pada individu ini berkembang sejak masa kanak-
kanak. Dijelaskan lebih jauh bahwa orang tua yang menampilkan sikap kasar yang berlebihan
serta menjalankan kedisiplinan akan mengembangkan ketergantungan emosional dan
kepatuhan yang pada gilirannya akan membangun kegamangan pada anak, di satu pihak ia
mencintai orang tuanya namun juga sekaligus membencinya. Kondisi yang ambigu ini menekan
dan mencari penyelesaian. Sulit untuk mengekspresikan rasa bersalah dan rasa takut. oleh
karena itu mereka akan melampiaskan perasaannya ini kepada pihak yang lebih lemah dengan
tetap menjaga respek pada pihak otoritas atau orang tuanya.
Teori ini menjelaskan seberapa jauh seseorang menerima dan menolak ideologi
sosial atau mitos sosial yang meligitimasi hierarki dan diskriminasi, atau yang melegitimasi
equality dan keadilan. Orang yang menginginkan kelompoknya menjadi dominan dan
superior terhadap outgroup berarti memiliki orientasi dominansi sosial yang tinggi yang
mendorongnya untuk menolak ideologi egaliter serta menerima mitos yang melegitimasi
hierarki dan diskriminasi.
Belief Congruence
7. Mengurangi prasangka
Sosialisasi
Sebagian dari penyebab perubahan sosialisasi adalah sasaran dari prasangka ini juga
berubah dan tak lagi cocok dengan stereotip lama . Misalnya , kesetaraan gender semakin
meningkat selama satu dekade terakhir ini sehingga wanita bida menduduki posisi yang
dahulu hanya untuk pria. Akibatnya , orang makin tidak begitu memedulikan perbedaan
antara pria dan wanita dalam bidang-bidang yang dahulu hanya dianggap milik pria ,seperti
didunia “persaingan” atau “dunia pemecah masalah” (Diekman & Eagly , 2000,dalam Taylor
,dkk,2004)
Namun, seperti yang kita lihat, reduksi spontan tidak berarti melenyapkan
prasangka. Karenanya banyak program intervensi telah diperkenalkan kepada anak-anak dan
remaja, seperti pelatihan kognisi-sosial, program multikultural atau mediasi (Aboud & Levy,
2000,dalam Taylor,dkk,2004) Juga , kemampuan untuk menunjukkan perspektif orang lain,
“perspective-taking” , tampaknya bisa mengurangi bias stereotip dan favoritisme in-group.
Membayangkan bagaimana perasaan orang lain bisa menaikkan rasa empati. Bahkan
membayangkan individu yang kontrastereotipe, seperti wanita kuat, bisa mereduksi
prasangka implisit (Blair, Ma & Lenton, 2001,dalam Taylor,dkk,2004).
Namun usaha langsung untuk mereduksi prasangka dapat berlebihan dan menjadi
bumerang.( Czopp dan Monteith ,2003,dalam Taylor,dkk,2004) menghadapi langsung
seseorang dengan bias rasial akan cenderung menghasilkan rasa bersalah, meskipun
menghadapi orang dengan bias gender cenderung menimbulkan sedikit hiburan. Konfrontasi
langsung dengan anggota kelompok yang menjadi sasaran prasangka cenderung
menimbulkan kemarahan dan permusuhan dari partisipan yang punya prasangka lebih
banyak.
Salah satu problem dalam penggunaan kontak sebagai solusi adalah kebanyakan
individu yang berprasangka tidak mau menjalin kontak, dan karenanya solusi ini sulit
dilakukan.
Kontak juga harus terjadi diantara individu dengan status yang sederajat. Kontak
harus memiliki pengenalan. Frekuensinya harus cukup, durasinya cukup, dan kedekatannya
cukup, agar terjalin persahabatan. Terakhir, harus ada dukungan institusional bagi kontak
tersebut. Orang-orang yang memegang otoritas harus mendukung kontak itu dengan tegas.
Untuk mengurangi konflik dalam sekolah yang ter desegregasi, para psikolog sosial
mengembangkan materi-materi pendidikan yang sesuai dengan prinsip teori kontak. Salah
satunya “teknik jigsaw” (Aronson & Gonzales ,1998, dalam Taylor,dkk,2004). Teknik ini
secara umum tingkat kesukaan kepada kawan sebaya antar kelompok ras, meningkatkan
harga diri kelompok anak-anak kelompok minoritas, dan meningkatkan prestasi akademik
mereka.
Kontak antar-ras yang bermanfaat akan terjadi lebuh sering saat ini ketimbang masa
lalu. Tetapi kelompok etnis dan rasial yang berbeda sering kali jarang saling menjalin kontak.
Karenanya, kontrak antar kelompok bukan solusi mujarab.
Rekategorisasi
Banyak negara didirikan dengan harapan negara itu akan menyatukan kelompok-
kelompok sebelumnya bertikai menjadi satu kategori superordinat yang inklusif. Beberapa
negara berhasil mencapai tujuan ini seperti dalam kasus Protestan dan Katolik dI Amerika
Serikat. Beberapa riset menunjukkan ada banyak keinginan untuk membentuk superordinat
,setidaknya dalam term harmoni antar kelompok. Misalnya, Wolsko et al (2000) menemukan
bahwa pesan kultural bisa menaikkan stereotip terhadap out-group sedangkan pesan dari
kelompok yang tidak membedakan warna kulit cenderung menurunkan stereotip itu.
Psikolog sosial membagi pandangan berikut ini. Mereka percaya bahwa anak
mempelajari prasangka dari orang tuannya, orang dewasa lain, pengalaman masa kanak-
kanak (contoh, Towles-Schwen & Fazio ,2001,dalam Baron & Byrne, 2004) dan media massa.
Atas dasar keyakinan ini, sebuah teknik yang dapat digunakan untuk mengurangi prasangka
adalah sebagai berikut: Dengan cara apa pun kita harus mencegah orang tua dan orang
dewasa lainnya untuk melatih anak menjadi fanatik.
Intervensi kognitif
Hal lain yang mungkin lebih mengejutkan adalah cara untuk mengurangi
kecenderungan berpikir secara stereotip melalui pelatihan yang dirancang untuk
mengurangi munculnya aktivitas otomatis stereotip. Ketika individu memiliki stereotip,
mereka belajar menghubungkan karakteristik tertentu (contoh, traits negatif sepeti
“miskin”, “kebencian” atau “berbahaya”) dengan berbagai kelompok rasial atau etnis , yang
akhirnya teraktivasi otomatis.
Bukti nyata bahwa pengaruh sosial memang dapat digunakan untuk mengurangi
prasangka baru-baru ini dilaporkan oleh Stangor, Sechrist, dan Jost (2001).
Dapat disimpulkan bahwa penemuan ini mengindikasikan bahwa sikap rasial tentu
tidak hadir dalam masyarakat yang vakum atau bebas pengaruh sebaliknya, sikap yang
dimiliki individu tidak hanya dipengaruhi oleh pengalaman sebelumnya yang mereka miliki,
tetapi juga oleh informasi saat ini yang mengindikasikan dimana sudut pandang mereka
dalam hubungannya dengan orang lain. Secara moral jelas: jika orang yang fanatik dapat
diyakinkan untuk percaya bahwa pandangan prasangkanya berlebihan bila dibandingkan
dengan orang lain, khususnya dengan pandangan orang yang mereka kagumi atau hormati—
mereka mau mengubah pandangan tersebut ke posisi kurang berprasangka.
Dalam bagian dan bab ini kita telah memfokuskan diri pada orang yang memiliki prasangka
terhadap orang lain: bagaimana orang mengembangkan pandangan negatif ini, bagaimana mereka
menerjemahkan pandangan tersebut ke dalam tindakan yang tampak, dan bagaimana prasangka
dikurangi. Apa efek prasangka bagi target dan teknik apa yang mereka gunakan untuk
mengatasinya?. Sebagai contoh, seorang psikolog kulit hitam yang terkenal, Kaneth Clark (Clark &
Clark, 1947, dalam Baron & Byrne, 2004) melakukan serangkaian penelitian dimana anak-anak kulit
putih dan hitam diberi pilihan antara boneka putih dan hitam. Clark & Clark menemukan bahwa
anak-anak kulit hitam lebih suka bermain dengan kulit putih, dan dideskripsikan sebagai boneka
yang lebih baik, lebih menarik, dan lebih menyerupai mereka. Peneliti menginterpretasikan
penemuan ini sebagai pernyataan bahwa prasangka menjadikan anak-anak kaum minoritas menolak
identitas rasial atau etnis mereka dan menderita efek yang berbahaya dengan menurunnya self-
esteem (Baron & Byrne, 2004).
Untungnya, penemuan yang menakutkan ini tidak diperkuat oleh penelitian selanjutnya
yang mengindikasikan bahwa anak-anak kulit hitam sebenarnya cenderung lebih menyukai bermain
dengan boneka kulit hitam dan tidak menolak identitas rasial mereka sendiri. Akan tetapi, ada sedikit
keraguan bahwa orang yang menjadi target prasangka sering kali menyadari sikap negatif terhadap
mereka yang dimiliki oleh orang lain dan pengetahuan ini pada gilirannya dapat memberikan efek
kain yang berbahaya bagi mereka. Sebagai contoh, Steele dan Aronson (1995,dalam Baron & Byrne,
2004) menyatakan bahwa orang-orang minoritas sering kali mengalami ancaman stereotip
(stereotype threat) kekhawatiran bahwa mereka akan dievaluasi dalam hubungannya dengan
stereotip yang berkaitan dengan status minoritas mereka (Steele,1997, dalam Baron & Byrne, 2004),
disertai dengan rasa takut bahwa mereka akan memperkuat pandangan negatif ini. Kekhawatiran
ini, pada gilirannya dapat mengganggu kinerja dalam berbagai konteks. Konsisten dengan hipotesis
ini , Steele dan Aronson (1995) menemukan bahwa mahasiswa S1 kulit hitam menunjukkan kinerja
Dukungan lain terhadap dampak buruk dari ancaman stereotip diberikan oleh Croizet dan Claire
(1998), yang meminta orang dari latar belakang sosial-ekonomi tinggi atau rendah mengerjakan
sebuah tes yang dideskripsikan sebagai pengukuran kemampuan kecerdasan atau sebagai sebuah
pengukuran kemampuan perhatian dalam memori. Peneliti memprediksi bahwa ketika tes
dideskripsikan sebagai pengukuran terhadap kecerdasan, ancaman stereotip akan mempengaruhi
orang-orang dengan latar belakang sosial-ekonomi rendah ,yang akan takut bahwa mereka akan
dievaluasi dengan hubungannya dengan stereotip negatif terhadap orang-orang tersebut. Maka,
mereka sungguh melakukan kinerja yang terburuk dalam tes daripada mereka dengan latar belakang
sosioekonomi tinggi. Namun, ketika tes dideskripsikan sebagai sebuah pengukuran perhatian,
perbedaan tersebut tidak muncul. Hasil yang ada menunjukkan dukungan yang jelas pada prediksi
ini. Temuan-temuan ini menyatakan bahwa stereotip memang dapat memiliki efek yang buruk
terhadap target stereotip—efek yang berbeda dengan efek yang ditimbulkan oleh diskriminasi
terhadap orang tersebut.
Lebih baru lagi, psikolog sosial telah mengadopsi sebuah pandangan yang sangat berbeda
terhadap pertanyaan bagaimana target prasangka mengatasi masalah ini. Bukannya memandang
orang tersebut sebagai korban pasif. Pandangan baru ini memandang target prasangka sebagai agen
yang aktif, yang mampu memilih situasi mana yang harus ia masuki(mungkin situasi dimana mereka
merasa memiliki kesempatan dan tidak akan mengalami diskriminasi secara jelas), berpikir secara
aktif mengenai apa yang mungkin terjadi dalam situasi ini dan berespons dalam berbagai cara.
Seperti yang disebutkan dalam Shelton (2000), baru-baru ini anggota kelompok minoritas
mengadopsi berbagai strategi untuk melindungi kesejahteraan psikologis mereka. Sebagai contoh,
mereka mengatribusi umpan balik negatif dari orang lain sebagai prasangka atau memilih untuk
membandingkan mereka hanya dengan anggota in-group daripada kelompok mayoritas yang
berprasangka. Lebih jauh lagi, mereka memilih untuk memandang situasi atau hasil dimana
kelompok mereka dipandangn secara negatif sebagai sesuatu yang tidak penting atau tidak relevan
dengan diri mereka.
Selain itu korban prasangka sering kali akan membentuk sikap rasial dan stereotip pula
terhadap mereka sendiri. Penemuan baru-baru ini mengindikasikan bahwa sikap rasial orang kulit
hitam terutama didasarkan pada persepsi terhadap ancaman atau konflik, disertai dengan reaksi
mereka terhadap rasisme kulit putih (contoh , Duckitt & Mphuthing , 1993: Monteith & Spicer, 2000,
dalam Baron & Byrne, 2004). Sebaliknya, sikap rasial orang kulit putih tampak berasal dari tingkat
komitmen mereka atas prinsip-prinsip keadilan. Penemuan lain mengindikasikan bahwa seperti
halnya orang kulit putih, sikap rasial orang kulit hitam juga bervariasi. Maka, walaupun menjadi
target rasisme dan diskriminasi selama beberapa generasi, banyak orang kulit hitam tidak memiliki
persepsi negatif terhadap orang kulit putih (contoh, Ryan, 1996). Lebih jauh lagi , seperti yang
diharapkan , semakin kuat seseorang menjadi bagian dari kelompok minoritas mengidentifikasi
dengan kelompok mereka, semakin sensitif mereka terhadap prasangka dalam bentuk halus dan
Ringkasnya, sebuah perspektif baru muncul dalam psikologi sosial – sebuah perspektif yang
mengidentifikasi fakta bahwa prasangka berjalan dua arah. Tidak hanya penting untuk memahami
pemikiran dan tingkah laku orang yang memiliki prasangka rasial, etnis, atau gender, tetapi penting
juga untuk mempertimbangkan bagaimana target dari sikap dan stereotip tersebut terhadap
pandangan-pandangan dan perlakuan negatif yang mereka terima. Harapannya, tentu saja, dengan
semakin banyaknya pengetahuan yang lebih lengkap tentang kedua aspek dari proses tersebut, kita
akan memiliki posisi yang lebih baik untuk melawan terjadinya hal tersebut- dan efek negatifnya.
Tajfel, Billig , Bundy , dan Flament,1971 dalam Pitaloka , dkk ,2018) melakukan penelitian
eksperimental pertama yang berupaya untuk menguji hipotesis bahwa kategorisasi sosial dapat
mempengaruhi interaksi antar kelompok. Pada penelitian tersebut, Tajfel dkk. meminta partisipan
menebak jumlah titik yang ada dilayar. Partisipan kemudian diberitahu apakah mereka termasuk
kelompok yang menebak jumlah titik tersebut lebih banyak dari yang sebenarnya atau lebih sedikit.
Pada tahapan berikutnya, partisipan diminta untuk mengindikasikan berapa banyak reward yang
diterimanya yang akan diberikan pada anggota ingroup mereka (orang-orang yang memiliki prediksi
sama soal jumlah titik dilayar: sama-sama lebih banyak dari jumlah sebenarnya atau sama-sama
lebih sedikit). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar partisipan memberikan reward
lebih banyak kepada teman sekelompok mereka.
Teori self-categorization menjelaskan bahwa keanggotaan kelompok merupakan salah satu dasar
pembentuk konsep diri (Turner, Hogg, Oakes, Reicher, dan Wetherell, 1987, dalam Pitaloka, dkk.,
2018). Ketika individu merasa dekat dengan sebuah kelompok, itu berarti keanggotaannya dalam
kelompok tersebut menjadi penting bagi konsep dirinya. Artinya, kelompok menjadi faktor penting
bagi definisi diri-hal penting dalam menjawab pertanyaan “siapa saya?” Baik atau buruk kelompok
pun akan mempengaruhi konsep diri. Untuk mempertahankan konsep diri positif, individu
cenderung melihat kelompoknya secara positif. Hal tersebut dikenal sebagai konsep ingroup bias.
Bias artinya individu tersebut tidak netral dalam berpikir dan berperilaku, seperti cenderung melihat
banyak perbedaan ketimbang kesamaan antara dirinya dengan anggota kelompok lain (Tajfel dan
Wilkes , 1963), memperkuat penilaian positif mengenai kelompok sendiri sehingga mengukuhkan
identitas sosial (Tajfel dan Turner, 1979,Pitaloka , dkk ,2018) , atau menilai kelompok sendiri lebih
sedikit dari kelompok lain atau sebaliknya (Taylor, Fiske, Etcoff, dan Ruderman , 1978, dalam
Pitaloka, dkk ., 2018).
Baron, Robert A., dan D., Baronn (2005). Psikologi sosial. Erlangga: Jakarta
Taylor, dkk. (2004). Social psychology (12th ed.). Mc Graw Hill. Boston
Rahman, dan A., Abdul. (2013). Psikologi sosial: Integrasi pengetahuan wahyu dan pengetahuan
empirik. Raja grafindo Persada: Jakarta
Judul Seeing the World Through the Other’s Eye : An Online Intervention
Reducing Ethnic Prejudice
Nama Jurnal American Political Science Review
Volume & Halaman Vol. 112, Hal. 186-193
Tahun 2018
Penulis Gabor Simonovits, Gabor Kezdi, Peter Kardos
Reviewer Anang Yuliawan, Diandra Pradnya P. M., Nurunnisa
Tanggal 7 Mei 2019
Tujuan Penelitian Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi dampak dari
intervensi online untuk mengurangi prasangka etnis melalui perspective-
taking game.
Subjek Penelitian Subjek adalah partisipan Hungarian Life Course Survey (HLCS).
Kerangka sampling terdiri dari 2610 individu yang sudah mengirim email
dan menanggapi serangkaian pertanyaan tentang prasangka etnis dalam
gelombang HLCS. Akan tetapi, hanya 579 subjek yang berpartisipasi
dalam survei pertama. Kemudian, 385 subjek mengikuti survei lanjutan.
Metode Penelitian Metode penelitian yang dilakukan yaitu menggunakan metode
kuantititatif.
Hasil Penelitian Treatment yang dilakukan memiliki efek langsung yang besar
Terdapat efek jangka panjang dari treatment ini pada seluruh
subjek yang mengikuti survei gelombag dua
Perbedaan antara efek langsung dan efek jangka panjang
tergantung pada subjek yang keluar
Treatment ini dapat mengurangi dukungan terhadap partai sayap
kanan sebanyak 12%
Simpulan Penelitian Keikutsertaan dalam perspective-taking game menyebabkan
penurunan besar sentimen anti-Roma dan bertahan setidaknya satu
bulan. Efek dari permainan juga meluas ke sikap anti-Roma
terhadap pengungsi dan kelompok lain yang terstigmasi dalam
masyarakat Hongaria.
Penulis : Unggul Wirawan/ WIR Tanggal : Kamis, 29 November 2018 | 19.42 WIB
Brussels-Orang-orang keturunan Afrika menghadapi prasangka dan sikap eksklusi yang luas di
seluruh negara Uni Eropa. Seperti dilaporkan BBC, Rabu (28/11), satu penelitian badan Uni Eropa
untuk hak-hak dasar (FRA) menunjukkan, rasisme terhadap orang kulit hitam di Uni Eropa telah
meluas dan mengakar.
Menurut FRA, kekerasan terkait ras, profil polisi yang diskriminatif, dan diskriminasi dalam pencarian
pekerjaan dan perumahan adalah hal yang biasa bagi banyak orang.
Finlandia memiliki tingkat pelecehan dan kekerasan terkait ras yang tertinggi, sedangkan Inggris
memiliki yang terendah.
"Ini adalah kenyataan yang memalukan dan menyebalkan: rasisme berdasarkan warna kulit
seseorang tetap menjadi momok yang tersebar di seluruh Uni Eropa," kata Direktur FRA Michael
O'Flaherty dalam kata pengantar untuk laporan tersebut seraya mendesak negara-negara Eropa
untuk mengambil tindakan.
Penelitian FRA berjudul “Being Black ini EU” ini mensurvei hampir 6.000 orang di 12 negara Uni
Eropa, termasuk Prancis dan Jerman, antara 2015 dan 2016.
Sekitar 30% dari keseluruhan responden mengatakan bahwa mereka telah mengalami beberapa
bentuk pelecehan rasial dalam lima tahun sebelum survei ini. Survei FRA juga mencakup 63%
responden di Finlandia hingga 21% di Inggris dan 20% di Malta.
Lima persen dari responden mengatakan telah mengalami kekerasan rasis, termasuk oleh petugas
polisi. Tingkat kekerasan rasis tertinggi tercatat di Finlandia (14%), Irlandia dan Austria (keduanya
13%). Tingkat terendah diamati di Portugal (2%) dan Inggris (3%).
“Mayoritas mengatakan mereka tidak melaporkan insiden itu karena mereka merasa tidak akan
mengubah apa pun atau karena mereka tidak percaya atau takut terhadap polisi,” kata laporan itu.
Analisis kasus
Perlakuan diskriminasi terhadap ras kulit hitam atau rasisme sudah meluas dan mengakar di
Uni Eropa. Dalam kasus ini, Finlandia tercatat sebagai negara yang memiliki tingkat kekerasan rasis
paling tinggi dan Inggris terendah. Menurut hasil survei, hampir 6000 orang di 12 negara Uni Eropa
pernah mengalami pelecehan rasial dalam lima tahun sebelum survei ini dilakukan. Dan mayoritas
dari mereka tidak melaporkan hal tersebu, karena akan dianggap sama saja.
Liputan6.com, Jakarta - Nama Lucinta Luna mendadak ramai dibicarakan. Bukan karena karya
barunya sebagai pedangdut, Lucinta Luna justru dicecar mengenai identitas aslinya.
Lucinta Luna disebut-sebut sebagai seorang transgender. Hal itu berdasarkan pengakuan para
sahabat Lucinta Luna mulai dari Elly Sugigi hingga yang terbaru Melly Bradley, yang merupakan
transgender.
Berbagai bukti berupa foto dan video telah dibeberkan Elly Sugigi dan Melly Bradley. Alhasil, tak
sedikit yang meyakini Lucinta Luna memang bukan wanita tulen.
Di tengah persoalan yang menyerangnya, Lucinta Luna tiba-tiba menyambangi Sentra Pelayanan
Kepolisian Terpadu (SPKT) Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Rabu (21/3/2018) petang. Hal itu
terlihat dari unggahan Instagram @lucintaluna.
Meski wajahnya tak terlihat di foto, Lucinta Luna mengunggah sebuah gambar rekan duetnya di Duo
Bunga, Ratna Pandita, dan manajernya, Didi, berlatar belakang SPKT Polda Metro Jaya.
Tak lupa Lucinta Luna menuliskan sebuah pesan pada keterangan fotonya dan minta untuk
didoakan. "Semoga ada jalan terbaik ... Amiin," tulisnya disertai emotikon hati.
Kuat dugaan Lucinta Luna hendak membuat laporan terkait tuduhan dirinya yang merupakan
transgender. Pasalnya, dalam unggahan lain di Instagram, Melly Bradley sempat menyinggung
tentang laporan polisi Lucinta Luna.
"Dilaporin polisi??? Hahayyyyy Eh ntr deh Itu jg blm tau suh buat siapa ya hahaha," tulis Melly
Bradley.
"Kalian tuh lapor polisi atas dasar apa tsay??? Nih baca baik2 ya Sekali saya tegasin knp saya
posting video itu?? Ya kan emang saya posisinya sebagai netizen yg di tantang untuk membuktikan
kebenaran. Kecuali gk ada tantangan dr lo baru deh tuh boleh lo lapor atas dasar ini itu. Aduhhh lucu
deh kamyuuuu."
Putusan Pengadilan
Sebelumnya isu transgender Lucinta Luna semakin terang ketika terungkap banyak bukti kuat
tentang identitas aslinya. Dalam situs resmi Pengadilan Negeri Jakarta Barat, terdapat sebuah
perkara yang diduga milik Lucinta Luna ketika mengubah identitas jenis kelamin.
Analisis Kasus
Diskriminasi terhadap homoseksual yang terjadi pada Lucinta Luna sudah sering terjadi.
Banyak sekali warganet yang melakukan pengucilan terhadap Lucinta Luna. Dimulai dari komentar-
komentar di postingannya, sampai di bahas di beberapa akun youtube artis dalam negeri. Hal ini
disebabkan, tindakan penggantian gender oleh Lucinta Luna, dianggap sebagai perilaku yang tidak
sesuai di mata warganet.
Diskriminasi lain yang Lucinta Luna alami juga adalah cyber bullying. Dengan banyaknya
komentar-komentar tidak enak dari warganet, juga bisa menjadi sebuah bentuk pembullyan bagi
Lucinta Luna sendiri.