Anda di halaman 1dari 8

Teori Humanistik

Dalam Buku Gurunya Manusia dan Sekolahnya Manusia

Oleh:

Kelompok 3

Anggota :

1. Mahsya Jauza Zanety


2. M. Tulus Ramdhani
3. Niamah
4. Fathia Amrina Rosyada
5. M. Ainun Najah

JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2019

Resume Buku
Sekolahnya Manusia

Judul Buku : Sekolahnya Manusia

Penulis : Munif Chatib

Penerbit : Kaifa

Special moment saat-saat istimewa yaitu pengalaman dalam proses pembelajaran ketika
seorang guru menemukan saat-saat yang berkesan dalam pekerjaannya. Tentunya mendapatkan
special moment bukanlah hal yang mudah. Mungkin setelah puluhan cara dicoba, barulah terjadi
koneksi yang berarti antara guru, materi, dan siswa yang mulanya dianggap lebih. Proses
demikian disebut discovering ability. Dari peristiwa-peristiwa special tersebut dijelaskan
sebenarnya tidak ada siswa yang bodoh.

Teori multiple intelegences yang dikembangkan oleh Howard Gardner sebagai landasan
teori. Bebrapa hal yang ditekankan pada bagian ini adalah keberanian Gardner melakukan
redifinisi tentang kecerdasan. Kecerdasan tidak dapat dinilai dan dibatasi pada tes-tes formal
belaka. Masyarakat dan sebagian unsur sekolah memang masih menerima keberadaan tes formal
dengan terlalu berlebihan. Sampai-sampai, kesuksesan anak ditentukan dari hasil tes-tes bidang
studi yang didapat siswa. Hasil baik, maka esok anak akan sukses, sebaliknya, esok anak kita
akan menderita jika hasil tesnya sekarang kurang baik.

Selanjutnya, indikator sekolah unggul dengan pernyataan sekolah ungguh adalah the best
process dan bukan the best input. Artinya, sekolah unggul harus menerima siswa dalam kondisi
kognitif siswa yang beragam, tidak harus menerima siswa yang pandai-pandai. Dalam bab ini
penulis mengenalkan secara global alat riset yang bernama MIR atau Multiple Intelegences
Research. MIR digunakan pada saat penerimaan siswa baru an setiap tahun kenaikan jenjang.
Hasil MIR membantu guru mendekatkan gaya mengajarnya dengan gaya belajar siswa.

Penulis menceritakan strategi pembelajaran dengan multiple intellegences (MI). awal


penjelasan adalah meluruskan kesalahpahaman, yaitu multiple intellegences bukanlah bidang
studi juga bukan kurikulum. MI adalah strategi pembelajran yang berisi aktivitas-aktivitas
pembelajaran dengan model dan kreativitas yang beragam. Sekaligus penulis juga menceritakan
bagaimana merancang strategi ini dalam sebuah rencana belajar.

Tentang proses akhir pembelajaran, yaitu penilaian dan pelaporan. Penilaian yang dipakai
dalam melihat kompetensi siswa setelah memenuhi indikator hasil belajar yang sudah ditentukan
adalah penilaian autentik. Penilaian ini bersumber dari aktivitas pembelajar yang dapat dinilai
dalam ranah kognitif, psikomotorik, dan afektif.

Contoh Kasus Dalam Buku Sekolahnya Manusia

“Talenta Pesepak Bola Sang Manusia Air”

Namanya Hasyim. Dia tercatat sebagai siswa kelas 3 disebuah SD di Bondowoso, Jawa
Timur. Awalnya , Hasyim menjadi anak yang suka membangkang kepada guru, cuek, dan tidak
pernah peduli pada ucapan guru.

Dia juga sering keluar kelas saat pelajaran berlangsung. Begitu keluar dari kelas, Hasyim
segera mungkin menuju kamar mandi. Sesampainya dikamar mandi Hasyim langsung
mengguyur sekujur tubuhnya dan bermain dengan air. Seakan belum puas dengan aktifitas basah
basahan tersebut, seringkali Hasyim dengan sembunyi-sembunyi mendatangi jendela kelas dan
mengajak teman-temannya (baik dengan bisikan maupun isyarat tangan) yang masih mengikuti
pelajaran dikelas untuk menjadi “partner in crime”. Walhasil, “gerombolan pasukan air” yang
dikomandani oleh Hasyim jadi terkenal. Hasyim pun mendapatkan julukan “manusia air”.

Ditengah kegalauan para guru atas kenakalan luarbiasa Hasyim dan kawan-kawan
“seperjuanagannya”, seorang guru mencoba mengubah metode pendidikannya yang boring
dengan metode baru yaitu metode bercerita, ditambah dengan aktifitas-aktifitas psikomotorik
seperti learning by doing. Ternyata , metode yang digunakan para guru sesuai dengan pintu
kecerdasan Hasyim, yaitu kinestetis.

Sekarang, energi Hasyim yang berlebih tidak lagi disalurkan untuk kreativitas yang
mengganggu sesama, tetapi untuk belajar dan olah raga. Hasyim dapat merespon dan mengikuti
pelajaran dan aktivitas disekolah dengan baik. Guru dan teman teman disekolahpun tidak lagi
menjuluki Hasyim si manusia air, tetapi melihat diri Hasyim sebagai calon pesepak bola
bertalenta tinggi, sesuai dengan cita-cita yang selalu diidamkannya.
Analisis kasus dikaitkan dengan Humanistik

Guru menerapkan teori Humanistik yaitu melihat manusia pada potensi individu, karena
Hasyim yang sebelumnya adalah anak yang superaktif dan dinilai sering membangkang pada
gurunya, kemudian guru tersebut mengubah metode pengajarannya menjadi metode bercerita
dan ditambahkan dengan aktifitas- aktifitas psikomotorik yang disesuaikan dengan pintu
kecerdasan Hasyim yang berupa kinestetis. Hal ini terjadi karena guru memahami Hasyim secara
humanistic yang mana guru tidak menganggap Hasyim sebagai anak nakal, tetapi beliau mencari
jalan keluar dari permasalahan Hasyim.

Resume Buku

Gurunya Manusia
Judul Buku : Gurunya Manusia

Penulis : Munif Chatib

Penerbit : Kaifa, Bandung

Tidak ada guru yang tidak bisa mengajar. Untuk menuju tangga profesional guru harus
terus belajar dan mencintai profesinya. Dalam Standar Nasional Pendidikan, guru di Indonesia
diharapkan memiliki empat kompetensi, yaitu : kompetensi pedagogi, kompetensi kepribadian,
kompetensi profesionalisme, dan kompetensi sosial. Guru di sekolahnya manusia: memiliki 3
kewajiban (membuat perencanaan, mengajar, dan melakukan evaluasi pembelajaran) dan 1 hak
(belajar).

Tidak ada siswa yang bodoh karena setiap siswa punya cara belajar masing-masing.
Seorang guru tidak boleh memvonis anak ‘’salah’’ bila siswa yang tersebut tidak paham. Disini
guru harus introspeksi diri mengenai cara mengajarnya untuk menyesuaikan bagaimana cara
belajar sang anak.

Manajemen adalah jantung sekolah. Maka harus ada kejelasan siapa yang menjadi
pemimpin dan siapa yang menjadi pelaksana. Sekolah harus membentuk manajemen yang
profesional karena manajemen sekolah adalah yang menjadi jantung keberlangsungan hidup
sekolah tersebut. Manajemen sekolah bisa disebut sebagai context system, sedang pelaksananya
disebut content system. Manajemen sebagai pengambil kebijakan, mulai dari perekrutan serta
seleksi guru dan karyawan, kebijakan keuangan, dan kebijakan membuat dokumen-dokumen
penting.

Guru adalah manusia pembelajar. Itu berarti frekuensi waktu belajar guru di sekolah
menentukan kualitas sekolah tersebut. Agar guru tetap punya waktu dan semangat belajar maka
harus dibentuk divisi khusus untuk pelatihan dan pengembangan guru, mengadakan program
bedah buku secara regular, dan mencari solusi bersama tentang siswa “bermasalah”.

Paradigma wali murid di Finlandia mengenai guru dan sekolah: guru adalah pahlawan,
guru adalah orang tua kedua bagi anak, mengajar adalah pekerjaan yang rumit, mementingkan
proses bukan hasil, memberi kritik santun dan bekerja sama, serta menganggap kognitif bukan
yang utama.

Gurunya manusia adalah guru yang mempunyai keikhlasan dalam mengajar dan belajar.
Guru yang punya keyakinan bahwa target pekerjaannya adalah membuat para siswa berhasil
memahami materi-materi yang diajarkan. Dihadapan gurunya manusia, setiap anak adalah juara
setiap gurunya manusia wajib mempunyai pandangan atau pola pikir yang menganggap setiap
anak adalah juara atau setiap anak punya potensi kebaikan, apapun kondisi yang dialami anak.

Tipe guru menurut Munif Chatib, tipe guru di Indonesia ini, jika ditinjau dari faktor
kemauan untuk maju, dapat dikelompokkan menjadi tiga tipe, yaitu :

1. Tipe Guru Robot : Guru robot memiliki pengertian bahwa guru masuk kelas, guru
mengajar, lalu pulang. Mereka hanya peduli pada beban materi yang harus
disampaikan kepada peserta didik.
2. Tipe Guru Materialistis : Guru materialistis atau tipe guru yang selalu melakukan
perhitungan, mirip dengan aktifitas bisnis jual-beli. Pada awalnya guru ini merasa
professional, tapi akhirnya akan terjebak dalam kesombongan dalam bekerja sehingga
tidak tampak manfaatnya dalam bekerja.
3. Tipe Guru Manusia : Gurunya manusia adalah guru yang mempunyai keikhlasan
dalam mengajar dan belajar. Guru yang punya keyakinan bahwa target pekerjaannya
adalah membuat para siswa berhasil memahami materi-materi yang telah diajarkan.

Apersepsi

Orang yang pertama mengenalkan istilah teori apersepsi adalah Johan Friedrich Herbart,
seorang psikolog, filsuf, dan juga seorang guru yang ahli. Apersepsi adalah stimulus khusus pada
saat awal belajar yang memiliki tujuan untuk meraih perhatian dari para siswa. Sifat dasar
manusia adalah untuk memerintah dirinya sendiri. Keinginan siswa untuk mengikuti atau tidak
mengikuti perintah tergantung kualitas instruksi guru, jika intruksi tersebut menyenangkan anak
tentu akan memerintahkan dirinya untuk mengikuti instruksi guru. Manusia bereaksi terhadap
instruksi yang berasal dari lingkungannya jika dibekali stimulus khusus, misalnya pemberian
reward bagi anak yang mampu mengikuti instruksi.
Tak hanya itu pada saat siswa kelelahan atau mengalami kebosanan ditengah-tengah
proses pembelajaran penting bagi seorang guru untuk menciptakan zona alfa. Zona alfa adalah
bagian dari apersepsi, yang diikuti juga dengan warmer, pre-teach, dan scene-setting.

Strategi Multiple Intelligences yang didukung oleh Thomas Amstrong yang menyatakan
sepakat bahwa tiap-tiap siswa memilki semua kecerdasan sehingga metode pembelajaran jangan
hanya dibatasi bagi seorang siswa. Guru sering terjebak membatasi satu strategi (metode) dalam
mengajar, padahal kebanyakan siswa tidak menyukai metode tersebut. Setiap siswa memiliki
gaya belajar masing-masing sehingga gaya mengajar sesuai dengan gaya belajar siswa, maka
pembelajaran tersebut akan berhasil.

Desain Model Lesson Plan atau Rencana Pelaksanan Pembelajaran (RPP) yang kreatif.
Guru penting membuat lesson plan sebagai konsekuensi dari profesi mengajar. Betapa banyak
guru belasan, bahkan puluhan tahun mengajar tetapi tidak punya catatan atau arsip tentang lesson
plan. Inilah yang menyebabkan kualitas pekerjaan mengajar guru tidak dapat terukur.

Contoh Kasus dan Analisis Dalam Buku Gurunya Manusia

Tidak Ada Siswa Yang Bodoh

“Uuuh, dasar geblek… materi mudah saja gak bisa!”

Ungkapan ini paling sering keluar dari mulut guru atau mungkin hanya sekadar
mengumpat di dalam hati. Upaya untuk memahami cara belajar siswa memang bukan hal yang
mudah, butuh keterampilan dan seni tingkat tinggi. Betapa meyakinkan para guru bahwa siswa
punya gaya belajar masing-masing, yang selalu berubah. Setiap guru harus mahir mengajar
dengan strategi pembelajaran yang sesuai dengan gaya belajar siswa. Apabila paradigma ini
benar-benar dipahami guru, guru tidak akan mudah memberikan label siswa bodoh atau siswa
tidak becus.

Contoh adegan di ruang kelas:

Dengan semangat, seorang guru bertanya kepada siswa-siswanya, “siapakah yang dapat
menjawab, berapa tiga ditambah dua?” Budi yang duduk di belakang spontan menjawab
“tujuuuuh!”, “salah!” timpal sang guru dengan langsung menunjuk siswa lain. Begitu siswa lain
menjawab benar, guru ini memberikan pujian sebagai berikut, “naaah, ini baru betul, jawabannya
adalah lima, bukan tujuh!”.

Praktis Budi tak akan mau lagi menjawab pertanyaan-pertanyaan dari guru tersebut
karena ia merasa dipermalukan dengan jawabannya yang dia ucapkan dengan keras dan spontan.
Kejadian ini menyebabkan Budi mengalami cognitive shut down. Artinya, Budi tidak lagi punya
kepercayaan lagi terhadap guru tersebut. Lalu, bagaimana cara memberikan respon yang benar?

Apabila budi dengan lantang menjawab pertanyaan, “Berapakah tiga ditambah dua?”
dengan jawaban “tujuuuuh!”, sang guru harus mengulang pertanyaannya dengan pola, “tujuh itu
tiga ditambah empat. Yang ditanyakan adalah tiga ditambah dua. Ayo, pikir lagi!” tak ada kata-
kata “salah”, “bodoh”, dan kata-kata merendahkan yang lain.

Jika ada siswa yang sulit memahami materi ajar, yang harus dipermasalahkan adalah cara
mengajar sang guru yang dianggap kurang tepat.

Anda mungkin juga menyukai