Nim : 20090000219
5 JURNAL NASIONAL
Pembahasan :
Pendekatan psikologis diperlukan untuk menjamin keberlangsungan proses belajar
mengajar yang baik yaitu melalui pen-dekatan teori humanistik dimana pembela-jaran
akan berjalan sesuai dengan kondisi psikologis dan perilaku siswa dalam belajar.
Minimnya ilmu dan pengalaman yang dikuasai oleh guru menjadi faktor kendala
dalam proses kegiatan belajar-mengajar. Siswa yang bermasalah di sekolah biasanya
mempunyai nilai prestasi yang jelek. Hambatan siswa dalam belajar sering kali
dikaitkan dengan kemampuan intelek-tual. Padahal belum tentu hal ini yang menjadi
penghambat dari kemampuan be-lajar siswa. Melalui pendekatan teori huma-nistik,
dijelaskan bahwa siswa akan menca-pai prestasi yang baik jika kebutuhannya
dipenuhi. Kebutuhan ini dibagi menjadi beberapa level yang digambarkan dalam
piramida Maslow (Maslow Hierarki). Kebu-tuhan siswa yang paling dasar adalah
kasih sayang, jika mereka mendapat kasih sayang yang cukup dari orang tua maka
prestasinya akan bagus. Guru dalam hal ini bisa meng-hadapi siswa dengan
pendekatan Humanis-tik yang memanusiakan manusia. Siswa tidak dianggap sebagai
robot yang harus tunduk dan patuh kepada perintah guru. Sering kali yang terjadi di
sekolah guru menghakimi siswa yang bermasalah dengan cap anak nakal dan
menerapkan hukuman agar mereka jera. Padahal guru tidak memahami perasaan siswa
dan apa penyebab di balik kenakalan siswa tersebut. Hukuman secara fisik yang
diberikan oleh guru kepada siswa inilah yang bertentangan dengan teori humanistik.
Guru sering kali memberikan hukuman fisik karena tidak mengetahui tentang teori
humanistik dan aplikasinya dalam pembelajaran. Oleh sebab itu maka diperlukan pela-
tihan/ penyuluhan tentang apilkasi teori humanistik dalam pembelajaran.
Kesimpulan :
Pentingnya dilakukan pelatihan dan ceramah tentang teori Humanistik supaya guru
memahami prinsip Humanistik dalam pembelajaran dan memperlakukan siswa se-cara
manusiawi. Hasil luaran kegiatan PKM ini adalah adanya peningkatan pengetahuan
para guru di SDN Jabon, Jombang serta da-pat mengaplikasikan teori Humanistik
dalam pembelajaran di sekolah sehingga para guru bisa memberikan pembelajaran dan
bimbingan yang memanusiakan manusia untuk meningkatkan prestasi belajar siswa
(Qodir, 2017), serta tidak lagi menggunakan hukuman atau kekerasan baik verbal
maupun fisik dalam pendidikan.
2. Judul : TEORI BELAJAR MENURUT ALIRAN PSIKOLOGI HUMANISTIK DAN
IMPLIKASINYA DALAM PEMBELAJARAN
Penulis : Tri Putra Junaidi Nast & Nevi Yarni
Latar Belakang :
Belajar bukan hanya menghafal dan bukan pula mengingat, tetapi belajar adalah suatu
proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri peserta didik. Perubahan
sebagai hasil proses belajar dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk, seperti
perubahan pengetahuanya, sikap dan tingkah laku ketrampilan, kecakapanya,
kemampuannya, daya reaksinya dan daya penerimaanya. Jadi, belajar adalah suatu
proses yang aktif, proses mereaksi terhadap semua situasi yang ada pada peserta didik.
Belajar merupakan suatu proses yang diarahkan pada suatu tujuan, proses berbuat
melalui situasi yang ada pada peserta didik. Salah satu teori belajar yaitu humanistik
yang menekankan perlunya sikap saling menghargai dan tanpa prasangka (antara klien
dan terapist) dalam membantu individu mengatasi masalah-masalah kehidupannya.
Teori ini menyakini bahwa klien sebenarnya memiliki jawaban atas permasalahan
yang dihadapinya dan tugas terapist hanya membimbing klien menemukan jawaban
yang benar. Menurut Rogers, dalam Sudrajat bahwa teknik-teknik assessment dan
pendapat para terapist bukanlah hal yang penting dalam melakukan treatment kepada
klien. (Sudrajat, 2013).
Pembahasan :
Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya,
bukan dari sudut pandang pengamatnya. Tujuan utama para pendidik adalah
membantu peserta didik untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-
masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan
membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka. Dalam
teori belajar humanistik proses belajar harus berhulu dan bermuara pada manusia itu
sendiri. Meskipun teori ini sangat menekankan pentingya isi dari proses belajar, dalam
kenyataan teori ini lebih banyak berbicara tentang pendidikan dan proses belajar dalam
bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain, teori ini lebih tertarik pada ide belajar
dalam bentuknya yang paling ideal dari pada belajar seperti apa adanya, seperti apa
yang bisa kita amati dalam dunia keseharian.. Teori apapun dapat dimanfaatkan asal
tujuan untuk “memanusiakan manusia” (mencapai aktualisasi diri dan sebagainya)
dapat tercapai. Dalam teori belajar humanistik, belajar dianggap berhasil jika si pelajar
memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Peserta didik dalam proses belajarnya
harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-
baiknya. Tujuan utama para pendidik adalah membantu si peserta didik untuk
mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal
diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan
potensi-potensi yang ada dalam diri mereka. Jadi, teori belajar humanistik adalah suatu
teori dalam pembelajaran yang mengedepankan bagaimana memanusiakan manusia
serta peserta didik mampu mengembangkan potensi dirinya.
Kesimpulan :
Dari deskripsi yang dikemukakan pada pembahasan, dapat dikemukakan beberapa
poin penting sebagai kesimpulan, yaitu:
1. Teori Belajar Humanistik adalah suatu teori dalam pembelajaran yang
mengedepankan bagaimana memanusiakan manusisa serta peserta didik mampu
mengembangkan potensi dirinya
2. Tokoh dalam teori ini adalah C. Roger dan Arthur Comb.
3. Aplikasi dalam teori ini, peserta didik diharapkan menjadi manusia yang bebas,
berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara
bertanggungjawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan,
norma, disiplin atau etika yang berlaku serta guru hanya sebagai fasilitator.
4. Teori belajar humanistik merupakan konsep belajar yang lebih melihat pada sisi
perkembangan kepribadian manusia. Berfokus pada potensi manusia untuk mencari
dan menemukan kemampuan yang mereka punya dan mengembangkan kemampuan
tersebut.
Teori humanisme ini cocok untuk diterapkan pada materi-materi pembelajaran yang
bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap
fenomena sosial.
3. Judul : PENERAPAN TEORI BELAJAR HUMANISTIK DALAM
PEMBELAJARAN
Penulis : Ni Nyoman Perni
Pembahasan :
Siswa adalah manusia yang identitas kemanusiaannya sebagai subjek sadarperlu
dipertahankan dan ditegakkan melalui sistem dan model pendidikan yang"bebas dan
egaliter". Tantangan pendidikan ke depan adalah mewujudkan
proses belajar demokratis. Proses demokratis yang mencerminkan hal itu
belajar adalah atas inisiatif anak-anak. Untuk berkembang sehingga manusia menjadi
dewasa, itu adalahtidak cukup jika mereka hanya dilatih, tetapi juga harus dididik.
Siswa harusdididik untuk realistis, mengenali kehidupan yang multidimensi, tidak
seragam dandiajak untuk hidup dalam keragaman yang saling melengkapi. Sedangkan
dalam pelatihan, apa yang terutama terbentuk adalah perilaku lahiriah. Teori belajar
ini lebih banyak berbicara tentang konseppendidikan untuk membentuk manusia yang
dicita-citakan, dan tentang pembelajaranproses dalam bentuk yang paling ideal.
Dengan kata lain, teori ini lebih tertarik padapengertian belajar dalam bentuknya yang
paling ideal daripada pengertian belajarproses apa adanya, seperti yang telah
dipelajari oleh teori-teori belajar lainnya. di dalamnya
Kesimpulan :
teori humanistik ini antara lain juga muncul dalam pembelajaran pendekatan yang
diusulkan oleh Ausubel. Teori belajarhumanistik sifatnya lebih abstrakdanlebih
mendekati bidang kajianfilsafat, teori kepribadian danpsikoterapi, daripada bidang
kajianpsikologi belajar. Teori humanistiksangat mementingkan isi yangdipelajari
daripada proses belajar itusendiri. Teori belajar ini lebih banyakberbicara tentang
konsep-konseppendidikan untuk membentuk manusiayang dicita-citakan, serta
tentangproses belajar dalam bentuknya yang paling ideal.
Kesimpulan :
Pendidikan saat ini cenderung bersifat pragmatism, yang mana siswa dianggap
sebagai sebuah gelas yang kosong yang hanya bisa diisi tanpa peduli terhadap potensi
yang dimilikinya. Hal ini bisa memasung potensi yang tertanam dala diri siswa.
Pembelajaran humanistik memandang siswa sebagai subjek yang bebas untuk
menentukan arah hidupnya. Siswa diarahkan untuk dapat bertanggungjawab penuh
atas hidupnya sendiri dan juga atas hidup orang lain. Dalam pembelajaran humanistic
seorang guru tidak bertindak sebagai guru yang hanya memberikan asupan materi
yang dibutuhkan siswa secara keseluruhan, namun guru hanya berperan sebagai
fasilitator dan partner dialog. Menurut teori belajar humanistic tujuan belajar adalah
untuk memanusiakan manusia, yang mana proses belajar dianggap berhasil jika si
pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya
harus berusaha agar lambatlaun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-
baiknya. Jika teori tersebut telah diimplementasikan, maka siswa diharapkan mampu
meningkatkan prestasi belajarnya. Prestasi belajar merupakan buah dari proses
belajar. Maka, dengan meningkatnya prestasi
Pembahasan :
Penghambat-Penghambat bagi Kesehatan Psikologis Tidak sema orang dapat menjadi
pribadi yang sehat secara psikologis karena sebagian besar orang lebih banyak
mengalami kondisi berharga, tidak kongruen, membela diri dan disorganisasi.
Kondisi berharga : Sebagai pengganti dari menerima anggapan positif tanpa syarat
kebanyakan orang hanya menerima kondisi berharga saja. Artinya mereka merasa
kalau orang tua, rekan-rekan sebaya dan pasangan cinta mereka menerima dirinya
hanya jika mereka dapat memenuhi harapan-harapan dan persetujuan orang-orang
tersebut. Kondisi berharga menjadi kriteria kita untuk menerima atau menolak
pengalaman-pengalaman kita sendiri. Tidak kongruen : Ketidakseimbangan
psikologis dimulai saat kita gagal untuk menyadari pengalaman-pengalaman
keorganisasian kita sebagai pengalaman diri artinya jika kita tidak menyimbolkan
secara akurat pengalaman, penghayatan organismik tersebut menjadi kesadaran
karena mereka akan tampak tidak konsisten dalam konsep diri kita.
Ketidakkongkruenan antara konsep diri dan penghayatan organismik adalah sumber
gangguan psikologis. Pertahanan Diri : Pertahanan diri adalah perlindungan terhadap
konsep diri pada kecemasan dan ancaman lewat penyangkalan atau pendistorsian
pengalaman-pengalaman yang konsisten dengannya. Dua pembelaan diri yang utama
adalah distorsi dan penyangkalan. Yang dimaksud dengan distorsi adalah kesengajaan
penginterpretasian pengalaman secara keliru agar cocok dengan beberapa konsep diri.
Disorganisasi : Penyangkalan dan distorsi sudah cukup untuk mencegah pribadi
normal dari menyadari ketidakkongruenan ini, namun ketika ketidak kongruenan
antara diri yang dipahami dan penghayatan organismik menjadi terlalu mencolok atau
muncul secara mendadak sehingga tidak bisa lagi disangkal atau didistorsi, perilaku
merekapun menjadi tidak terorganisasikan. Disorganisasi dapat muncul tiba-tiba, atau
berlangsung secara bertahap untuk waktu yang cukup lama.
Kesimpulan :
Teori Rogers ini memang sangat populer dengan masyarakat Amerika yang memiliki
karakteristik optimistik dan independen karena Rogers memandang bahwa pada
dasarnya manusia itu baik, konstruktif dan akan selalu memiliki orientasi ke depan
yang positif. Letak kekuatan Teori Rogers adalah pada helping relationship yang
personal. Kondisi hubungan yang dapat membantu perubahan kepribadian klien.
5 JURNAL INTERNASIONAL
Pembahasan :
Konsep belajar humanistik Secara garis besar, teori humanistik ini lebih menekankan
pada proses pembelajaran, bukan pada hasil belajar. Teori ini memiliki konsep
memanusiakan manusia , sehingga ia mampu mengenali dirinya serta lingkungan
sekitarnya. Terdapat beberapa tokoh yang menonjol dalam aliran ini, yaitu Combs,
Maslow, dan Rogers. Pengertian humanistik yang beragam membuat batasanbatasan
aplikasi teori humanistik dalam dunia pedidikan juga menjadi beragam . Oleh karena
itu, peneliti hanya menggunakan satu tokoh dalam penelitian ini, yaitu Carl Rogers. Ia
mengatakan bahwa belajar adalah fungsi keseluruhan pribadi, lebih jelas ia
mengatakan belajar yang sebenarnya tidak dapat berlangsung jika tidak ada
keterlibatan intelektual maupun emosional peserta didik. Oleh karena itu, motivasi
yang bersumber dari diri sendiri sangat penting dalam aliran ini. Rogers juga
membedakan dua ciri belajar, yaitu: Belajar bermakna, terjadi apabila proses
pembelajaran melibatkan aspek pikiran dan perasaan peserta didik; dan Belajar tidak
bermakna, terjadi jika proses pembelajaran melibatkan aspek pikiran, akan tetapi
mengabaikan aspek perasaan peserta didik . Harapannya, dengan melakukan hal
tersebut, siswa lebih mudah dalam memahami pelajaran, serta dapat membuat
pengalaman belajar siswa tidak terlupakan . Selain itu, terkadang guru menggunakan
metode pembelajaran yang berpusat pada siswa , dengan harapan dapat membuat
siswa aktif dalam membangun pengetahuan, sikap, serta perilaku. Hal ini biasanya
dilakukan dengan cara diskusi atau melakukan kuis untuk mempertajam pemahaman
siswa yang merupakan pembelajaran kuantum yang dilakukan sebelum atau sesudah
mata pelajaran. Belajar tanpa ancaman Proses belajar akan lebih mudah dilakukan
oleh siswa apabila pelaksanaan proses belajar mengajar berlangsung dalam
lingkungan yang terbebas dari ancaman yang dapat mengganggu atau bahkan
membahayakan siswa . Dari temuan yang didapat oleh peneliti, lingkungan yang ada
di lembaga tersebut telah dikondisikan sedemikian rupa agar siswa merasa nyaman,
kondusif, dan fokus dalam melakukan proses belajar. Menurut hasil wawancara,
diketahui bahwa guru memberikan dorongan terhadap siswa untuk pantang menyerah,
yaitu dengan mencoba lagi dan lagi sampai siswa berhasil, tanpa memberikan
ancaman atau kecaman yang dapat menyinggung perasaan siswa. Menurut hasil
wawancara, diketahui bahwa proses belajar mengajar berbasis humanistik yang
dilakukan telah memberikan perubahan bagi siswa, baik dari pengetahuan maupun
perilaku siswa, seperti siswa lebih memiliki wawasan luas terhadap suatu disiplin
ilmu, memiliki pandangan kedepan, lebih mandiri, kritis terhadap sesuatu, dan
bertanggung jawab. Selain itu, guru terus melakukan inovasi terhadap metode yang ia
gunakan dengan meminta pendapat siswa. Biasanya guru meminta siswa untuk
menulis pendapatnya baik berupa kekurangan maupun kelebihan metode yang
digunakan guru selama proses belajar mengajar secara anonim agar siswa lebih
terbuka dan jujur dalam menyampaikan pendapatnya. Tahap operasional formal
Tahap operasional formal adalah salah satu tahapan dalam perkembangan kognitif
menurut Piaget. Sebelum membahas tentang tahapan tersebut, definisi tentang
kognitif perlu diketahui terlebih dahulu. Adapun istilah kognitif menurut Chaplin
adalah salah satu wilayah atau domain atau ranah psikologis manusia yang meliputi
perilaku mental yang berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan, pengolahan
informasi, pemecahan masalah, kesengajaan, dan keyakinan. Ranah kognitif juga
memiliki hubungan dengan konasi dan afeksi . Oleh sebab itu, proses belajar selalu
berkaitan dengan proses kognitif seseorang.
Kesimpulan :
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa
strategi, metode, serta perilaku guru sangat penting dalam pengimplementasian
konsep belajar humanistik bagi siswa. Penggunaan metode humanistik dalam proses
belajar mengajar di SMK Miftahul Khair memberikan dampak positif dan negatif bagi
siswa. Adapun dampak positif di antaranya siswa mampu belajar atas inisiatif sendiri,
merasa nyaman saat belajar, merasa dihargai, tidak membedakan atau
mendiskriminasi siswa, serta siswa bebas dalam mengeskplorasi rasa
keingintahuannya tanpa ada ancaman. Sedangkan dampak negatif nya, terdapat
beberapa siswa yang mengabaikan proses pembelajaran sehingga ia kurang mampu
memahami materi yang diberikan. Hal ini terjadi karena tidak adanya ancaman dari
guru. Akan tetapi, pada kasus tertentu, guru memberikan hukuman (punishment)
ringan terhadap siswa seperti maju ke depan kelas, berdiri, menjawab pertanyaan dari
guru, dan sebagainya. Hal tersebut dilakukan agar siswa menyadari kesalahannya
dengan harapan dapat memberikan efek jera terhadap siswa
kepuasan klien dan persepsi keadilan yang tinggi, dalam keluarga (Emery & Jackson, 1989;
Depner, Cannata & Simon, 1992; Duryee, 1992; Kelly, 1989, 1990; Slater, Shaw &
Duquesnel, 1992), di antara rekan kerja (Umbreit, 1995c), di lingkungan (Clark, Valente, &
Mace, 1992; Cook, Roehl, & Shepard, 1980; Davis, Tichane, & Graysonn, 1980; Kolb &
Rubin, 1989) dan sekolah (Araki, 1990; Moore & Whipple, 1988; Stern, Van Slyck & Valvo,
1986.), dan sistem peradilan pidana (Coates & Gehm, 1989; Umbreit, 1991, 1993, 1994,
1995a, 1995b; Umbreit & Roberts , 1996). Meskipun beberapa konflik, seperti perselisihan
komersial yang kompleks, jelas membutuhkan fokus utama untuk mencapai penyelesaian
yang dapat diterima, sebagian besar konflik berkembang dalam konteks emosional dan
relasional yang lebih besar yang ditandai dengan perasaan tidak hormat, pengkhianatan, dan
pelecehan yang kuat. Dialog sejati di mana orang merasa cukup aman untuk berbicara dan
mendengarkan dengan cara yang tidak defensif membutuhkan keterampilan dan perspektif
hidup yang jauh lebih nyaman dengan budaya asli non-Barat daripada kita di Barat; yaitu,
berbicara dan mendengarkan dari hati, serta merasa nyaman dengan dan menghormati
keheningan.
Pembahasan :
Potensi resolusi konflik yang efektif untuk mempromosikan penyembuhan hubungan
di dalam komunitas daripada hanya resolusi langsung dari masalah antar individu
sangat kuat dalam tradisi banyak masyarakat adat di seluruh dunia. Dalam budaya
Barat, dimensi transformatif mediasi telah dengan fasih dijelaskan oleh Bush dan
Folger (1994) dalam buku mereka yang diakui secara luas The Promise of Mediation.
Aplikasi khusus dari praktik mediasi transformatif, yang secara khusus cocok untuk
mediasi keluarga, komunitas, tempat kerja, dan korban-pelanggar adalah model
mediasi humanistik (Umbreit, 1995c). Faktanya, elemen model humanistik didasarkan
pada pengalaman banyak mediator selama bertahun-tahun dan telah diterapkan di
berbagai bidang mulai dari konflik keluarga hingga konflik kriminal yang melibatkan
pelanggaran seperti perampokan, pencurian, dan penyerangan ringan. Model mediasi
humanistik, dalam beberapa hal, sejajar dengan gaya psikoterapi atau pengajaran
humanistik yang menekankan pentingnya hubungan antara terapis dan klien atau guru
dan siswa dan merangkul keyakinan kuat dalam kapasitas setiap orang untuk
pertumbuhan, perubahan, dan transformasi. . Carl Rogers (1961), pelopor dalam
psikologi humanistik, menekankan pentingnya pemahaman empati, penghargaan
positif tanpa syarat, dan keaslian. Model mediasi humanistik menekankan pentingnya
mediator membersihkan kekacauan dalam hidupnya sendiri sehingga dia dapat fokus
secara intens pada kebutuhan para pihak yang terlibat. Pembingkaian Kembali Peran
Mediator. Memanfaatkan kekuatan penuh mediasi dalam menyelesaikan konflik
interpersonal yang penting membingkai ulang peran mediator. Alih-alih secara aktif
dan efisien membimbing para pihak menuju penyelesaian, mediator membantu para
pihak untuk berdialog satu sama lain, untuk mengalami satu sama lain sebagai sesama
manusia, terlepas dari konflik mereka, dan mencari cara untuk membantu mereka
memahami dan menghormati. perbedaan mereka dan untuk sampai pada cara yang
dapat diterima bersama untuk menangani perbedaan-perbedaan itu.
Menyelenggarakan Sidang Premediasi. Penggunaan rutin sesi premediasi terpisah
dengan pihak-pihak yang terlibat harus menjadi praktik standar. Sesi individu ini
harus dilakukan setidaknya seminggu atau lebih sebelum sesi mediasi.
Menghubungkan dengan Para Pihak. Penekanan yang jauh lebih besar perlu diberikan
pada mediator yang membangun hubungan dengan pihak-pihak yang berkonflik.
Alih-alih melihat mediator sebagai teknisi yang jauh secara emosional dan tidak
terlibat tanpa kontak sebelumnya dengan pihak-pihak yang terlibat, penekanan akan
ditempatkan pada mediator yang membangun kepercayaan dan hubungan baik dengan
pihak-pihak yang terlibat sebelum membawa mereka ke sesi bersama.
Mengidentifikasi dan Mengetuk menjadi Kekuatan Para Pihak. Ketika orang terlibat
dalam konflik, biasanya mereka berkomunikasi dan berinteraksi dengan cara yang
sangat disfungsional. Ekspresi kecerobohan dari kemarahan dan kepahitan yang
intens, bersama dengan ketidakmampuan untuk mendengarkan pihak lain atau secara
efektif mengkomunikasikan kebutuhan mereka sendiri, dapat menutupi banyak
kekuatan. Pelatihan Komunikasi. Pengungkapan perasaan yang terbuka terkait dengan
konflik merupakan inti dari model mediasi humanistik. Gaya Mediasi Nondirective.
Praktik mediasi humanistik membutuhkan gaya mediasi nondirektif di mana mediator
membantu pihak-pihak yang terlibat dalam proses dialog dan saling membantu, saling
membantu melalui berbagi langsung perasaan dan informasi tentang konflik dengan
sedikit interupsi oleh mediator. Tempat Duduk Tatap Muka Pihak yang Terlibat.
Pengaturan tempat duduk selama sesi mediasi adalah penting. Penggunaan rutin
pengaturan tempat duduk di mana pihak yang terlibat duduk berhadapan satu sama
lain, memungkinkan kontak mata yang alami.
Kesimpulan :
Model dominan mediasi yang didorong oleh penyelesaian dalam budaya Barat jelas
bermanfaat bagi banyak orang yang berkonflik dan lebih unggul daripada proses
hukum dan sistem pengadilan yang bermusuhan dalam banyak kasus. Menggunakan
model yang berbeda, yang merangkul pentingnya spiritualitas, kekuatan welas asih
dan kemanusiaan kita bersama, memiliki potensi yang jauh lebih besar. Sebagai
ekspresi kekuatan transformatif resolusi konflik, model mediasi humanistik dapat
meletakkan dasar bagi rasa kebersamaan dan harmoni sosial yang lebih besar. Dengan
fokusnya pada kekuatan penyembuhan intrinsik dari mediasi dan dialog, model ini
dapat membawa penyelesaian konflik yang lebih lengkap. Melalui proses dialog dan
saling membantu antara pihak-pihak yang terlibat, praktik mediasi humanistik
memfasilitasi tercapainya perdamaian luar. Ini membahas dan sering menyelesaikan
konflik yang ada, sementara juga memfasilitasi perjalanan hati sehingga para peserta
dapat menemukan kedamaian batin. Perdamaian sejati adalah tujuan sebenarnya dari
proses mediasi humanistik.
Pembahasan :
Behaviorisme menekankan perspektif psikologi pada tingkah laku manusia, yakni bagaimana
individu dapat memiliki tingkah laku baru, menjadi lebih terampil, dan menjadi lebih
mengtahui. Behaviorisme memandang individu sebagai makhluk reaktif yang memberi
respon terhadap lingkungan, pengalaman, dan pemeliharaan atas bentuk perilakunya. Tujuan
aliran psikologi Behaviorisme adalah mencoba memprediksi dan mengontrol perilaku
manusia sebagai introspeksi dan evaluasi terhadap tingkah laku yang dapat diamati, bukan
pada ranah kesadaran.
Ivan Petrovic Pavlov pernah melakukan eksperimen terhadap seekor anjing. Ia menyalakan
lampu di depan anjing yang sedang lapar. Anjing tersebut tidak mengeluarkan air liur. Saat
Parlov meletakkan sepotong daging didepannya, anjing tersebut mengeluarkan air liur.
Perlakuan itu terus diulang-ulang beberapa kali, sehingga setiap kali lampu dinyalakan anjing
tersebut mengeluarkan air liur, walaupun tidak disajikan sepotong daging. Dalam kasus ini,
air liur anjing disebut sebagai conditioned response, sementara cahaya lampu disebut sebagai
conditioned stimulus.
Jika eksperimen tersebut direfleksikan terhadap manusia sebagai individu, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa hakikat aliran Behaviorisme adalah teori belajar, bagaimana individu
memiliki tingkah laku baru, menjadi lebih terampil, menjadi lebih tahu. Kepribadian dapat
dipahami dengan mempertimbangkan perkembangan tingkah laku dalam hubungannya yang
terus menerus dengan lingkungannya. Menurut B.F. Skinner, cara efektif untuk mengubah
dan mengontrol tingkah laku adalah dengan melakukan penguatan (reinforcement) dan
pemberian hukuman (punishnent), suatu strategi yang membuat tingkah laku tertentu
berpeluang untuk terjadi atau sebaliknya (berpeluang untuk tidak terjadi) pada masa
mendatang. Jadi, yang menjadi prinsip umum dalam aliran Behaviorisme adalam tingkah laku
sebagai objek, refleks atas semua bentuk tingkah laku, dan pembentukan kebiasaan dalam
individu.
KESIMPULAN:
Behaviorisme memandang individu sebagai makhluk reaktif yang memberi respon terhadap
lingkungan, pengalaman, dan pemeliharaan atas bentuk perilakunya. Tujuan aliran psikologi
Behaviorisme adalah mencoba memprediksi dan mengontrol perilaku manusia sebagai
introspeksi dan evaluasi terhadap tingkah laku yang dapat diamati, bukan pada ranah
kesadaran. Ia menyalakan lampu di depan anjing yang sedang lapar. Kepribadian dapat
dipahami dengan mempertimbangkan perkembangan tingkah laku dalam hubungannya yang
terus menerus dengan lingkungannya.
Skinner, cara efektif untuk mengubah dan mengontrol tingkah laku adalah dengan melakukan
penguatan dan pemberian hukuman , suatu strategi yang membuat tingkah laku tertentu
berpeluang untuk terjadi atau sebaliknya Aliran Psikoanalisa berpendapat bahwa manusia
berasal dari konflik masa kanak – kanak dan tekanan – tekanan biologis, sedangkan aliran
Behavioristik berpendapat bahwa manusia berasal dari suatu sitem kompleks yang bertingkah
laku menurut cara sesuai hokum yang ada, sementara menurut aliran Humanistik mengatakan
bahwa manusia berasal dari keinginannya untuk menjadi lebih baik melalui kemampuan /
potensi yang dimilikinya
Pembahasan :
Gadd menemukan kesalahan guru bahasa Inggris karena menggunakan teknik yang
melibatkan emosi atau batin karena, bagaimanapun, guru matematika atau sains tidak
melakukannya. Ini adalah alasan yang agak sederhana, dibingkai dalam pertanyaan
yang mengandung bahasa yang menipu dan bermuatan emosional1—'untuk
melakukan (segala jenis) operasi pada perasaan siswa atau untuk meningkatkan jiwa
mereka'—dan menyembunyikan apa yang sebenarnya dapat dianggap sebagai hak
istimewa bahasa Inggris guru bahasa: kemampuan kita untuk memilih. Kasus
penulisan menyesatkan lainnya ditemukan dalam perbandingan guru humanistik
dengan profesor dalam film Dead Poets Society. Pertama-tama, tampaknya tidak ada
alasan yang baik untuk menyamakan profesor itu dengan guru EFL atau ESL
humanistik yang khas. Penggunaan karya Stevick oleh penulis untuk mendukung
posisinya juga menyesatkan. Stevick (1980) menunjukkan beberapa kesulitan yang
mungkin timbul dengan pendekatan humanistik untuk mengajar; dan dia telah dengan
bijak menekankan bahwa guru harus menyesuaikan diri dengan kebutuhan dan
keinginan pelajar, sesuatu yang sangat penting dalam masyarakat yang memiliki
konsepsi peran siswa-guru yang berbeda dari banyak negara Barat. Pengajaran bahasa
humanistik membawa pandangan baru guru bahasa yang mencakup pengakuan akan
pentingnya pengembangan pribadinya. Namun, 'ini tidak berarti bahwa guru bahasa
tidak lagi membutuhkan, misalnya, penguasaan bahasa yang kuat yang diajarkan atau
pelatihan yang tepat dalam metodologi pengajaran bahasa. Sepanjang artikelnya,
Gadd tampaknya menunjukkan bahwa guru humanistik hanya peduli dengan perasaan
dan kehidupan batin peserta didik. Sepengetahuan saya, guru bahasa humanistik dan
ahli teori tidak pernah berbicara tentang mengganti kognitif untuk afektif, melainkan
tentang menambahkan afektif, baik untuk memfasilitasi kognitif dalam pembelajaran
bahasa dan untuk mendorong pengembangan manusia seutuhnya. Goleman
menganggap bahwa pengembangan kecerdasan emosional yang lebih besar penting
tidak hanya untuk kemajuan intelektual peserta didik itu sendiri tetapi juga untuk
kebaikan masyarakat secara keseluruhan. Gadd akan mengkritik guru bahasa
humanistik karena memberikan pendidikan nilai, tetapi orang bertanya-tanya di mana
semua guru bahasa Inggris ini yang merasa memiliki 'hak untuk memaksakan nilai
moral dan etika mereka. Saat ini, pendidikan secara umum sedang melihat ke arah
yang telah bergerak pengajaran bahasa humanistik selama bertahun-tahun. Pada
beberapa poin Gadd menyiratkan atau menyatakan secara langsung bahwa perhatian
terhadap pengaruh tidak ada hubungannya dengan perkembangan kognitif. Untuk
alasan yang diberikan, tampaknya tidak bijaksana untuk mengabaikan pengaruh dan
register dan humanisme genre dalam pembelajaran bahasa, terutama jika itu hanya,
seperti yang disarankan Gadd, untuk memberi ruang bagi register linguistik yang
lebih banyak. Berkenaan dengan tradisi retorika klasik yang diusulkan Gadd sebagai
pengaruh alternatif pada pengajaran bahasa, kita harus ingat bahwa akan menjadi
kesalahan untuk mengatakan bahwa orang Yunani menganggap mereka yang mencari
kebenaran melalui introspeksi menjadi apa yang kita sebut hari ini ' idiot'; memiliki
pengetahuan diri tidak sama dengan 'berbakti pada diri sendiri
KESIMPULAN:
Gadd benar ketika dia mengatakan bahwa ada pendekatan yang berbeda untuk
humanisme dalam pengajaran bahasa. Berkaitan dengan terminologi itu sendiri,
Stevick (1990: 23-4) menemukan setidaknya lima komponen humanisme yang
tumpang tindih: perasaan, hubungan sosial, tanggung jawab, kecerdasan, dan
aktualisasi diri. Tentu saja ada perbedaan di antara banyak dari mereka yang bekerja
dalam kerangka humanistik, beberapa di antaranya cukup substansial. Karena
manusia sangat beragam, demikian juga ide dan realisasinya. Namun, saya tidak yakin
perbedaan dalam kasus ini cukup besar untuk menjamin pembedaan nyata antara
humanisme pragmatis dan romantis, yang mempengaruhi pembaca, bahkan sebelum
argumen dapat dipertimbangkan. Kecenderungan umat manusia yang tampaknya tak
terhindarkan terhadap polarisasi tampak di sini: humanisme yang baik-humanisme
yang buruk, seperti label-label yang membagi realitas menjadi 'aku' dan 'bukan aku'.
Namun tampaknya tidak terlalu berani untuk menyatakan bahwa humanisme dasar—
bukan seperangkat teknik atau metode khusus, melainkan pendekatan terhadap
kehidupan yang tercermin dalam sikap seseorang terhadap semua aktivitasnya—
memiliki banyak hal yang ditawarkan untuk pengajaran bahasa Inggris. Mungkin
bukan ELT
PENULIS : Rrachman
Latar Belakang :
Rina mahasiswa semester akhir di sebuah universitas ternama di Jakarta. Saat ini dia
merasa tak tenang karena akan dilamar oleh pria yang dijodohkan oleh orang tuanya.
Mereka sudah pernah bertemu pada acara keluarga, menurutnya pemuda itu
mempunyai akhlak yang baik dan sudah bekerja sebagai dosen di perguruan tinggi
swasta. Siska menjadi ragu untuk menghadapi lamaran itu karena selama ini dia tidak
pernah memiliki teman pria yang special atau bisa disebut pacar. Karena teman laki-
laki Siska dulu saat masih SMA sudah meninggal karena kecelakaan saat mereka
berdua berboncengan motor dari pulang sekolah. Sejak informasi bahwa ada pemuda
yang akan melamarnya, perasaannya menjadi asing, dia ingin memberikan
kepercayaan namun sangat sulit baginya. Siska selalu terbayang bahwa dia bisa saja
kehilangan lagi orang yang dia kasihi, namun disisi lain Siska merasakan kesepian
dan membutuhkan seorang teman yang bisa memahaminya. Ketidakkonsistenan dan
pertentangan ini membuat siska menjadi bingung. Hingga akhirnya memutuskan
untuk menemui konselor.
Pembahasan :
Konselor mendorong klien untuk memeriksa jalan hidupnya pada periode sejak
memulai proses konseling. Selanjutnya konselor memberitahukan kepada klien bahwa
ia sedang mempelajari bahwa apa yang dialaminya adalah suatu sifat yang khas
sebagai manusia bahwa dia pada akhirnya sendiri, bahwa dia akan mengalami
kecemasan atas ketidakpastian keputusan yang dibuatnya, dan klien akan berjuang
untuk menetapkan makan kehidupannya di dunia yang sering tampak tak bermakna.
Kesimpulan :