Anda di halaman 1dari 17

Teori belajar humanistik

Disusun untuk memenuhi tugas Psikologi Pendidikan

Daftar isi    
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang............................................................................
B.    Rumusan Masalah.......................................................................
C.    Tujuan Penulisan.....................................................................
D.   Manfaat ................................................................................
E.    Metode ................................................................................................

Tinjauan Pustaka
a.    Pengertian belajar menurut teori humanistik.................................
b.    Tokoh-tokoh teori humanistik....................................................
1.    Pandagan Kolb (Eksperiental learning Theory)...........................
2.    Teori Abraham Maslow............................................................
3.    Teori Carl Roger......................................................................
c.    Pandagan teori belajar humanistik.......................................................
d.    Implikasi teori belajar himanistik.........................................................
e.    Aplikasi teori belajaar humanistik........................................................
f.     Kelebihan dan kekurangan teori belajar humanistik........................

Kasus Gayus Tambunan

Pembahasan

PENUTUP
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Lampiran Jurnal

BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Munculnya teori belajar humanistik tidak dapat dilepaskan dari gerakan pendidikan humanistik yang
memfokuskan diri pada hasil afektif,belajar tentang bagaimana belajar dan belajar untuk meningkatkan
kreativitas dan potensi manusia.
Pendekatan humanistik ini sendiri muncul sebagai bentuk ketidaksetujuan pada dua pandangan
sebelumnya, yaitu pandangan psikoanalisis dan behavioristik dalam menjelaskan tingkah laku manusia.
Ketidaksetujuan ini berdasarkan anggapan bahwa pandangan psikoanalisis terlalu menunjukkan pesimisme
suram serta keputusasaan sedangkan pandangan behavioristik dianggap terlalu kaku (mekanistik), pasif, statis
dan penurut dalam menggambarkan manusia.
B.   Rumusan Masalah
Beberapa rumusan masalah yang dapat dikaji dari uraian dibawah ini diantaranya adalah:
1.    Apa pengertian belajar menurut teori humanistik?
2.    Bagaimana pandangan tokoh-tokoh teori humanistik tentang belajar?
3.    Bagaimana Teori belajar humanistik mengaplikasikan dalam pembelajaran!

C.   Tujuan
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas salah satu dari mata kuliah psikologi pendidikan semester
genap tahun ajaran 2010/2011.

D.   Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat untuk kelancaran proses kuliah psikologi
pendidikan dan dapat memberikan pengetahuan tentang teori belajar Humanistik dalam pendidikan.
E.    Metode
Metode yang digunakan dalam penyusunan makalah ini adalah dengan menggunakan metode tinjauan
pustaka.

BAB II
Tinjauan Pustaka

a.    PENGERTIAN BELAJAR MENURUT TEORI HUMANISTIK

         Teori Humanistik menjelaskan bahwa pada hakekatnya setiap diri manusia adalah unik, memiliki potensi
individual dan dorongan internal untuk berkembang dan menentukan perilakunya.
         Dalam kaitan itu maka setiap diri manusia adalah bebas dan memiliki kecenderungan untuk tumbuh dan
berkembang mencapai aktualisasi diri. Lebih lanjut dinyatakan bahwa kebutuhan manusia adalah bertingkat-
tingkat, terdiri dari tingkatan kebutuhan keamanan, pengakuan dan aktualisasi diri.

         Menurut teori humanistik belajar harus dimulai dan ditujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia.
Teori belajar humanistik sifatnya abstrak dan lebih mendekaji kajian filsafat. Teori ini lebih banyak berbicara
tentang konsep-konsep. Dalam teori pembelajaran humanistik, belajar merupakan proses yang dimulai dan
ditujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia. Memanusiakan manusia, yakni untuk mencapai
aktualisasi diri, pemahaman diri, serta realisasi diri orang yang belajar secara optimal. Dal hal ini, maka teori
humanistik ini bersifat eklektik (memanfaatkan / merangkum semua teori apapun dengan tujuan untuk
memanusiakan manusia).
Salah satu ide penting dalam teori belajar humanistik adalah siswa harus mempunyai kemampuan
untuk mengarahkan sendiri perilakunya dalam belajar (self regulated learning), apa yang akan dipelajari dan
sampai tingkatan mana, kapan dan bagaimana mereka akan belajar. Siswa belajar mengarahkan sekaligus
memotivasi diri sendiri dalam belajar daripada sekedar menjadi penerima pasif dalam proses belajar. Siswa juga
belajar menilai kegunaan belajar itu bagi dirinya sendiri.
Aliran humanistik memandang belajar sebagai sebuah proses yang terjadi dalam individu yang
melibatkan seluruh bagian atau domain yang ada yang meliputi domain kognitif, afektif dan psikomotorik.
Dengan kata lain, pendekatan humanistik menekankan pentingnya emosi atau perasaan, komunikasi terbuka,
dan nilai-nilai yang dimiliki oleh setiap siswa. Untuk itu, metode pembelajaran humanistik mengarah pada
upaya untuk mengasah nilai-nilai kemanusiaan siswa. Guru, oleh karenanya, disarankan untuk menekankan
nilai-nilai kerjasama, saling membantu, dan menguntungkan, kejujuran dan kreativitas untuk diaplikasikan
dalam proses pembelajaran.
b.   PANDANGAN TEORI BELAJAR HUMANISTIK
Psikologi humanistik mencoba untuk melihat kehidupan manusia sebagaimana manusia melihat
kehidupan mereka. Mereka cenderung untuk berpegang pada prespektif optimistik tentang sifat alamiah
manusia. Mereka berfokus pada kemampuan manusia untuk berfikir secara sadar dan rasional untuk dalam
mengendalikan hasrat biologisnya, serta dalam meraih potensi maksimal mereka. Dalam pandangan humanistik,
manusia bertanggung jawab terhadap hidup dan perbuatannya serta mempunyai kebebasan dan kemampuan
untuk mengubah sikap dan perilaku mereka. Psikologi humanistik atau disebut juga dengan nama psikologi
kemanusiaan adalah suatu pendekatan yang multifaset terhadap pengalaman dan tingkah laku manusia, yang
memusatkan perhatian pada keunikan dan aktualisasi diri manusia.

Teori belajar Humanistik memandang bahwa:


-  Fokus utamanya adalah hasil pendidikan yang bersifat afektif, belajar tentang cara- cara belajar dan
meningkatkan kreativitas dan semua potensi peserta didik.
-  Hasil belajarnya adalah kemampuan peserta didik mengambil tanggung jawab dalam menentukan apa yang
dipelajari dan menjadi individu yang mampu mengarahkan diri sendiri dan mandiri.
-  Pentingnya pendekatan pendidikan di bidang seni dan hasrat ingin tahu.
-  Pendekatan humanistik kurang menekankan pada kurikulum standar, perencanaan pembelajaran, ujian, sertifikasi
pendidik dan kewajiban hadir di sekolah.
-  Pendekatan humanistik mengkombinasikan metode pembelajaran individual dan kelompok. Pendidik memiliki
status kesetaraan dengan peserta didik.
-  Pendekatan humanistik memelihara kebebasan peserta didik untuk tumbuh dan melindungi peserta didik dari
tekanan keluarga dan masyarakat.
-  Penggunaan pendekatan humanistik dalam pendidikan akan memungkinkan peserta didik menjadi individu yang
beraktualisasi diri.

PRINSIP-PRINSIP BELAJAR
1. Swa arah
Prinsip swa arah menyatakan bahwa sekolah hendaknya memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk
memutuskan bahan belajar yang ingin dipelajari.
2. Belajar tentang cara-cara belajar
Sekolah hendaknya menghasilkan anak-anak yang secara terus menerus menumbuhkan keinginannya untuk
belajar dan mengetahui cara-cara belajar.
3. Evaluasi diri
Evaluasi yang dilakukan sekolah atau pendidik yang diakhiri dengan kenaikan kelas dan kelulusan dipandang
sebagai tindakan yang mengganggu aktivitas belajar peserta didik. Instrumen evaluasi yang diwujudkan dalam
bentuk tes dipandang tidak relevan dengan pendekatan humanistik.
4. Pentingnya perasaan
Pendekatan humanistik tidak membedakan domain kognitif dan afektif dalam belajar. Kedua domain itu
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
5. Bebas dari ancaman
Belajar akan jadi lebih mudah, lebih bermakna dan lebih diperkuat apabila belajar itu terjadi dalam suasana yang
bebas dari ancaman.

c.    Tokoh – Tokoh Teori Humanistik

1.    PANDANGAN KOLB (EXPERIENTIAL LEARNING THEORY)

Teori ini dikembangkan oleh David Kolb pada sekitar awal tahun 1980-an. Dalam teorinya, Kolb
mendefinisikan belajar sebagai proses dimana pengetahuan diciptakan melalui transformasi pengalaman.
Pengetahuan dianggap sebagai perpaduan antara memahami dan mentransformasi pengalaman.
Experiential Learninng Theory kemudian menjadi dasar model pembelajaran experiential learning yang
menekankan pada sebuah model pembelajaran yang holistik dalam proses belajar. Pengalaman kemudian
mempunyai peran sentral dalam proses belajar.
Lebih lanjut, Kolb membagi belajar menjadi 4 tahap :

a.    Tahap pengamalan konkrit (Concrete Experience)


Merupakan tahap paling awal, yakni seseorang mengalami sesuatu peristiwa sebagaimana adanya (hanya
merasakan, melihat, dan menceritakan kembali peristiwa itu).Dalam tahap ini seseorang belum memiliki
kesadaran tentang hakikat peristiwa tersebut, apa yang sesungguhnya terjadi, dan mengapa hal itu terjadi.

b.    Tahap Pengalaman Aktif dan Reflektif (Reflection Observation)


Pada tahap ini sudah ada observasi terhadap peristiwa yang dialami, mencari jawaban, melaksanakan refleksi,
mengembangkan pertanyaan- pertanyaan bagaimana peristiwa terjadi, dan mengapa terjadi.
c.    Tahap Konseptualisasi (Abstract Conseptualization)
Pada tahap ini seseorang sudah berupaya membuat sebuah abstraksi, mengembangkan suatu teori, konsep,
prosedur tentang sesuatu yang sedang menjadi objek perhatian.

d.    Tahap Eksperimentasi Aktif (Active Experimentation)


Pada tahap ini sudah ada upaya melakukan eksperimen secara aktif, dan mampu mengaplikasikan konsep, teori
ke dalam situasi nyata.

Pada dasarnya, tahap-tahap tersebut berlangsung diluar kesadaran orang yang belajar, (begitu saja
terjadi). Experiential Learning merupakan model pembelajaran yang sangat memperhatikan perbedaan atau
keunikan yang dimiliki siswa, karenanya model ini memiliki tujuan untuk mengakomodasi perbedaan dan
keunikan yang dimiliki oleh masing-masing individu. Dengan mengamati inventori gaya belajar (learning style
inventory) yang dikembangkan masing-masing siswa, David Kolb mengklasifikasikan gaya belajar seseorang
menjadi empat kategori sebagai berikut:
1.    Converger
Tipe ini lebih suka belajar jika menghadapi soal yang mempunyai jawaban tertentu. Orang dengan tipe ini tidak
emosional dan lebih suka menghadapi benda daripada manusia. Mereka tertarik pada ilmu pengetahuan alam
dan teknik.
2.    Diverger
Tipe ini memandang sesuatu dari berbagai segi dan kemudian menghubungkannya menjadi suatu kesatuan yang
utuh. Orang dengan tipe ini lebih suka berhubungan dengan manusia. mereka lebih suka mendalami bahasa,
kesusastraan, sejarah dan ilmu-ilmu sosial lainnya.
3.    Assimilation
Tipe ini lebih tertarik pada konsep-konsep yang abstrak. Orang dengan tipe ini tidak terlalu memperhatikan
penerapan praksis dari ide-ide mereka. Bidang studi yang diminati adalah bidang keilmuan(science) dan
matematika.
4.    Accomodator
Tipe ini berminat pada penngembangan konse-konsep. Orang dengan tipe ini berminat pada hal-hal yang
konkret dan eksperimen. Bidang studi yang sesuai untuk tipe ini adalah lapangan usaha dan teknik sedangkan
pekerjaan yang sesuai antara lain penjualan dan pemasaran.

Dari keempat gaya tersebut, tidak berarti manusia harus digolongkan secara permanen dalam masing-
masing kategori. Menurut Kolb, belajar merupakan suatu perkembangan yang melalui tiga fase yaitu,
pengumpulan pengetahuan (acquisition), pemusatan perhatian pada bidang tertentu (specialization) dan menaruh
minat pada bidang yang kurang diminati sehingga muncul minat dan tujuan hidup baru. Sehingga, walaupun
pada tahap awal individu lebih dominan pada gaya belajar tertentu, namun pada proses perkembangannya
diharapkan mereka dapat mengintegrasikan semua kategori belajar.

2.    TEORI ABRAHAM MASLOW

Salah satu teori Maslow yang terkenal adalah teori hirarki kebutuhan. Dalam teori ini ia mengatakan
bahwa ada lima macam kebutuhan manusia yang berjenjang ke atas seperti spiral yang semakin melebar ke atas
(kebutuhan yang lebih tinggi akan timbul jika kebutuhan yang lebih rendah terpenuhi).
Pada tingkat yang paling bawah, terdapat kebutuhan yang bersifat fisiologik, yang ditandai oleh
kekurangan sesuatu pada orang yang bersangkutan. Kebutuhan ini dinamakan pula kebutuhan dasar (basic
needs) yang jika tidak dipenuhi dalam keadaan yang sangat ekstrim, manusia yang bersangkutan bisa kehilangan
kendali atas perilakunya sendiri. Sebaliknya, jika kebutuhan dasar relatif sudah tercukupi, muncullah kebutuhan
yang lebih tinggi yaitu kebutuhan akan rasa aman (safety needs).
Jika kebutuhan dasar dan rasa aman relatif terpenuhi, maka timbul kebutuhan untuk dimiliki dan
dicintai (belongingness and love needs).
Jika ketiga kebutuhan itu relatif sudah terpenuhi, maka timbul kebutuhan akan harga diri (esteem
needs). Ada dua macam kebutuhan akan harga diri. Yang pertama adalah kebutuhan-kebutuhan akan kekuatan,
penguasaan, kompetensi, percaya diri, dan kemandirian. Sedangkan yang kedua adalah kebutuhan-kebutuhan
akan penghargaan dari orang lain, status, ketenaran, dominasi, kebanggaan, dianggap penting, dan apresiasi dari
orang lain. Orang-orang yang terpenuhi kebutuhannya akan harga diri ini akan tampil sebagai orang yang
percaya diri, tidak tergantung pada orang lain, dan selalu siap untuk berkembang terus untuk selanjutnya meraih
kebutuhan yang tertinggi yaitu aktualisasi diri (self actualization).
Tahapan tertinggi dalam tangga hierarki motivasi manusia dari Abaraham Maslow adalah kebutuhan
akan aktualisasi diri. Maslow mengatakan bahwa manusia akan berusaha keras untuk mendapatkan aktualisasi
diri mereka, atau realisasi dari potensi diri manusia seutuhnya, ketika mereka telah meraih kepuasan dari
kebutuhan yang lebih mendasarnya.
Maslow juga mengutarakan penjelasannya sendiri tentang kepribadian manusia yang sehat. Teori
psikodinamika cenderung untuk didasarkan pada studi kasus klinis maka dari itu akan sangat kurang dalam
penjelasannya tentang kepribadian yang sehat. Untuk sampai pada penjelasan ini, Maslow mengkaji tokoh yang
sangat luar biasa, Abaraham Lincoln dan Eleanor Roosevelt, sekaligus juga gagasan-gagasan kontemporernya
yang dipandang mempunyai kesehatan mental yang sangat luar biasa.
Maslow menggambarkan beberapa karakteristik yang ada pada manusia yang mengaktualisasikan
dirinya:
·         Kesadaran dan penerimaan terhadap diri sendiri
·         Keterbukaan dan spontanitas
·         Kemampuan untuk menikmati pekerjaan dan memandang bahwa pekerjaan merupakan sesuatu misi yang harus
dipenuhi
·         Kemampuan untuk mengembangkan persahabatan yang erat tanpa bergantung terlalu banyak pada orang lain
·         Mempunyai selera humor yang bagus
·         Kecenderungan untuk meraik pengalaman puncak yang memuaskan secara spiritual maupun emosional.

3.    TEORI CARL ROGER

Carl Rogers lahir 8 Januari 1902 di Oak Park, Illinois Chicago, sebagai anak keempat dari enam
bersaudara. Semula Rogers menekuni bidang agama tetapi akhirnya pindah ke bidang psikologi. Ia mempelajari
psikologi klinis di Universitas Columbia dan mendapat gelar Ph.D pada tahun 1931, sebelumnya ia telah
merintis kerja klinis di Rochester Society untuk mencegah kekerasan pada anak.
Gelar profesor diterima di Ohio State tahun 1960. Tahun 1942, ia menulis buku pertamanya,
Counseling and Psychotherapy dan secara bertahap mengembangkan konsep Client-Centerd Therapy.
Guru menghubungan pengetahuan akademik ke  dalam pengetahuan terpakai seperti memperlajari
mesin dengan tujuan untuk memperbaikai mobil. Experiential Learning menunjuk pada pemenuhan kebutuhan
dan keinginan siswa. Kualitas belajar experiential learning mencakup : keterlibatan siswa secara personal,
berinisiatif, evaluasi oleh siswa sendiri, dan adanya efek yang membekas pada siswa.
Lebih khusus dalam bidang pendidikan, Rogers mengutarakan pendapat tentang prinsip-prinsip belajar
yang humanistik, yang meliputi hasrat untuk belajar, belajar yang berarti, belajar tanpa ancaman, belajar atas
inisiatif sendiri, dan belajar untuk perubahan (Rumini,dkk. 1993).
Adapun penjelasan konsep masing-masing prinsip tersebut adalah sebagai berikut :

a.    Hasrat untuk Belajar

Menurut Rogers, manusia mempunyai hasrat alami untuk belajar. Menjadi manusia berarti memiliki
kekuatan yang wajar untuk belajar. Hal ini terbukti dengan tingginya rasa ingin tahu anak apabila diberi
kesempatan untuk mengeksplorasi lingkungan. Dorongan ingin tahu untuk belajar ini merupakan asumsi dasar
pendidikan humanistik. Di dalam kelas yang humanistik anak-anak diberi kesempatan dan kebebasan untuk
memuaskan dorongan ingin tahunya, untuk memenuhi minatnya dan untuk menemukan apa yang penting dan
berarti tentang dunia di sekitarnya.

b.    Belajar yang Berarti

Belajar akan mempunyai arti atau makna apabila apa yang dipelajari relevan dengan kebutuhan dan
maksud anak . Siswa tidak harus belajar tentang hal-hal yang tidak ada artinya. Artinya, anak akan belajar
dengan cepat apabila yang dipelajari mempunyai arti baginya. Siswa akan mempelajari hal-hal yang bermakna
bagi dirinya. Pengorganisasian bahan pelajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian
yang bermakna bagi siswa

c.    Belajar Tanpa Ancaman

Belajar mudah dilakukan dan hasilnya dapat disimpan dengan baik apabila berlangsung dalam
lingkungan yang bebas ancaman. Proses belajar akan berjalan lancer manakala murid dapat menguji
kemampuannya, dapat mencoba pengalaman-pengalaman baru atau membuat kesalahan-kesalahan tanpa
mendapat kecaman yang bisaanya menyinggung perasaan.

d.    Belajar atas Inisiatif Sendiri

Belajar akan paling bermakna apabila hal itu dilakukan atas inisiatif sendiri dan melibatkan perasaan
dan pikiran si pelajar. Mampu memilih arah belajarnya sendiri sangatlah memberikan motivasi dan
mengulurkan kesempatan kepada murid untuk “belajar bagaimana caranya belajar” (to learn how to learn ).
Tidaklah perlu diragukan bahwa menguasai bahan pelajaran itu penting, akan tetapi tidak lebih penting daripada
memperoleh kecakapan untuk mencari sumber, merumuskan masalah, menguji hipotesis atau asumsi, dan
menilai hasil. Belajar atas inisiatif sendiri memusatkan perhatian murid baik pada proses maupun hasil belajar.

Belajar atas inisiatif sendiri juga mengajar murid menjadi bebas, tidak bergantung, dan percaya pada
diri sendiri. Apabila murid belajar atas inisiatif sendiri, ia memiliki kesempatan untuk menimbang-nimbang dan
membuat keputusan, menentukan pilihan dan melakukan penilaian. Dia menjadi lebih bergantung pada dirinya
sendiri dan kurang bersandar pada penilaian pihak lain. Di samping atas inisiatif sendiri, belajar juga harus
melibatkan semua aspek pribadi, kognitif maupun afektif. Rogers dan para ahli humanistik yang lain
menamakan jenis belajar ini sebagai whole-person learnig, belajar dengan seluruh pribadi, belajar dengan
pribadi yang utuh. Para ahli humanistik percaya, bahwa belajar dengan tipe ini akan menghasilkan perasaan
memiliki (feeling of belonging ) pada diri murid. Dengan demikian, murid akan merasa terlibat dalam belajar,
lebih bersemangat menangani tugas-tugas dan yang terpenting adalah senantiasa bergairah untuk terus belajar.

e.    Belajar dan Perubahan

Prinsip terakhir yang dikemukakan oleh Rogers ialah bahwa belajar yang paling bermanfaat ialah bejar
tentang proses belajar. Menurut Rogers, di waktu-waktu yang lampau murid belajar mengenai fakta-fakta dan
gagasan-gagasan yang statis. Waktu  itu dunia lambat brerubah, dan apa yang diperoleh di sekolah sudah
dipandang cukup untuk memenuhi tuntutan zaman. Saat ini perubahan merupakan fakta hidup yang sentral.
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi selalu maju dan melaju. Apa yang dipelajari di masa lalu tidak dapat
membekali orang untuk hidup dan berfungsi baik di masa kini dan masa yang akan dating. Dengan demikian,
yang dibutuhkan saat ini adalah orang yang mampu belajar di lingkungan yang sedang berubah dan akan terus
berubah.

Salah satu model pendidikan terbuka mencakup konsep mengajar guru yang fasilitatif yang
dikembangkan Rogers diteliti oleh Aspy dan Roebuck pada tahun 1975 mengenai kemampuan para guru untuk
menciptakan kondidi yang mendukung yaitu empati, penghargaan dan umpan balik positif.  Ciri-ciri guru yang
fasilitatif adalah :

1. Merespon perasaan siswa


2. Menggunakan ide-ide siswa untuk melaksanakan interaksi yang sudah dirancang
3. Berdialog dan berdiskusi dengan siswa
4. Menghargai siswa
5. Kesesuaian antara perilaku dan perbuatan
6. Menyesuaikan isi kerangka berpikir siswa (penjelasan untuk mementapkan kebutuhan segera dari
siswa)
7. Tersenyum pada siswa

Dari penelitian itu diketahui guru yang fasilitatif mengurangi angka bolos siswa, meningkatkan angka
konsep diri siswa, meningkatkan upaya untuk meraih prestasi akademik termasuk pelajaran bahasa dan
matematika yang kurang disukai, mengurangi tingkat problem yang berkaitan dengan disiplin dan mengurangi
perusakan pada peralatan sekolah, serta siswa menjadi lebih spontan dan menggunakan tingkat berpikir yang
lebih tinggi.

D.    Implikasi Teori Belajar Humanistik


Guru Sebagai Fasilitator
          Psikologi humanistik memberi perhatian atas guru sebagai fasilitator yang berikut ini adalah berbagai cara
untuk memberi kemudahan belajar dan berbagai kualitas sifasilitator. Ini merupakan ikhtisar yang sangat singkat
dari beberapa guidenes(petunjuk):
1.    Fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal, situasi kelompok, atau pengalaman
kelas
2.    Fasilitator membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan di dalam kelas dan juga
tujuan-tujuan kelompok yang bersifat umum.
3.    Dia mempercayai adanya keinginan dari masing-masing siswa untuk melaksanakan tujuan-tujuan yang bermakna
bagi dirinya, sebagai kekuatan pendorong, yang tersembunyi di dalam belajar yang bermakna tadi.
4.    Dia mencoba mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk belajar yang paling luas dan mudah
dimanfaatkan para siswa untuk membantu mencapai tujuan mereka.
5.    Dia menempatkan dirinya sendiri sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk dapat dimanfaatkan oleh kelompok.
6.    Di dalam menanggapi ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas, dan menerima baik isi yang bersifat
intelektual dan sikap-sikap perasaan dan mencoba untuk menanggapi dengan cara yang sesuai, baik bagi
individual ataupun bagi kelompok
7.    Bilamana cuaca penerima kelas telah mantap, fasilitator berangsur-sngsur dapat berperanan sebagai seorang
siswa yang turut berpartisipasi, seorang anggota kelompok, dan turut menyatakan pendangannya sebagai
seorang individu, seperti siswa yang lain.
8.    Dia mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok, perasaannya dan juga pikirannya dengan tidak
menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi sebagai suatu andil secara pribadi yang boleh saja digunakan atau
ditolak oleh siswa
9.    Dia harus tetap waspada terhadap ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya perasaan yang dalam dan kuat
selama belajar
10. Di dalam berperan sebagai seorang fasilitator, pimpinan harus mencoba untuk menganali dan menerima
keterbatasan-keterbatasannya sendiri.

e.    Aplikasi Teori Belajar Humanistik

         Aplikasi teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai
metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para
siswa sedangkan guru memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru
memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan
pembelajaran. 
Berikut banyak sekali hal-hal yang merupakan aplikasi dari teori-teori humanistik, walaupun hanya akan
ditampilkan sebagian aplikasi dalam proses pembelajaran, dikarenakan keterbatasan ruang dan waktu.

1. Open Education atau Pendidikan Terbuka

Pendidikan Terbuka adalah proses pendidikan yang memberikan kesempatan kepada murid untuk bergerak
secara bebas di sekitar kelas dan memilih aktivitas belajar mereka sendiri. Guru hanya berperan sebagai
pembimbing. Ciri utama dari proses ini adalah lingkungan fisik kelas yang berbeda dengan kelas tradisional,
karena murid bekerja secara individual atau dalam kelompok-kelompok kecil. Dalam proses ini mensyaratkan
adanya pusat-pusat belajar atau pusat-pusat kegiatan di dalam kelas yang memungkinkan murid mengeksplorasi
bidang-bidang pelajaran, topik-topik, ketrampilanketrampilan atau minat-minat tertentu. Pusat ini dapat
memberikan petunjuk untuk mempelajari suatu topik tanpa hadirnya guru dan dapat mencatat partisipasi dan
kemajuan murid untuk nantinya dibicarakan dengan guru (Rumini, 1993).

Adapun kriteria yang disyaratkan dengan model ini adalah sebagai berikut :
a. Tersedia fasilitas yang memudahkan proses belajar, artinya berbagai macam bahan yang diperlukan untuk
belajar harus ada. Murid tidak dilarang untuk bergerak secara bebas di ruang kelas, tidak dilarang bicara, tidak
ada pengelompokan atas dasar tingkat kecerdasan.
b. Adanya suasana penuh kasih sayang, hangat, hormat dan terbuka. Guru menangani masalah-masalah perilaku
dengan jalan berkomunikasi secara pribadi dengan murid yang bersangkutan, tanpa melibatkan kelompok.
c. Adanya kesempatan bagi guru dan murid untuk bersamasama mendiagnosis peristiwa-peristiwa belajar,
artinya murid memeriksa pekerjaan mereka sendiri, guru mengamati dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan.
d, Pengajaran yang bersifat individual, sehingga tidak ada tes ataupun buku kerja.
e. Guru mempersepsi dengan cara mengamati setiap proses yang dilalui murid dan membuat catatan dan
penilaian secara individual, hanya sedikit sekali diadakan tes formal.
f. Adanya kesempatan untuk pertumbuhan professional bagi guru, dalam arti guru boleh menggunakan bantuan
orang lain termasuk rekan sekerjanya.
g. Suasana kelas yang hangat dan ramah sehingga mendukung proses belajar yang membuat murid nyaman
dalam melakukan sesuatu.

Perlu untuk diketahui, bahwa penelitian tentang efektivitas model ini menunjukkan adanya perbedaan dengan
proses pendidikan tradisional dalam hal kreativitas, dorongan berprestasi, kebebasan dan hasil-hasil yang
bersifat afektif secara lebih baik. Akan tetapi dari segi pencapaian prestasi belajar akademik, pengajaran
tradisional lebih berhasil dibandingkan poses pendidikan terbuka ini.

2. Cooperative Learning atau Belajar Kooperatif

Belajar kooperatif merupakan fondasi yang baik untuk meningkatkan dorongan berprestasi murid. Dalam
prakteknya, belajar kooperatif memiliki tiga karakteristik :

a. Murid bekerja dalam tim-tim belajar yang kecil (4 – 6 orang anggota), dan komposisi ini tetap selama
beberapa minggu.
b. Murid didorong untuk saling membantu dalam mempelajari bahan yang bersifat akademik dan melakukannya
secara berkelompok.
c. Murid diberi imbalan atau hadiah atas dasar prestasi kelompok. Adapun teknik-teknik dalam belajar koperatif
ini ada 4 (empat) macam, yakni :

a. Team-games-tournament
Dalam teknik ini murid-murid yang kemampuan dan jenis kelaminnya berbeda disatukan dalam tim yang terdiri
dari empat sampai lima orang anggota. Setelah guru menyajikan bahan pelajaran, lalu tim mengerjakan
lembaran-lembaran kerja, saling mengajukan pertanyaan, dan belajar bersama untuk persiapanmenghadapi
perlombaan atau turnamen yang diadakan sekali seminggu. Dalam turnamen penentuan anggota tim berdasarkan
kemampuan pada minggu sebelumnya. Hasilnya, murid-murid yang berprestasi paling rendah pada setiap
kelompok memiliki peluang yang sama untuk memperoleh poin bagi timnya sebagai murid yang berprestasi
paling tinggi.
Adapun jalannya turnamen adalah para murid secara bergantian mengambil kartu dan menjawab pertanyaan-
pertanyaan yang tertera pada kartu itu, yakni pertanyaan yang sesuai dengan materi yang telah dipelajari selama
seminggu itu. Pada akhir turnamen, guru menyiapkan lembar berikut tentang tim-tim yang
berhasil dan skor-skor tertinggi yang dicapai. Meskipun keanggotaan tim tetap sama, tetapi tiga orang yang
mewakili tim untuk bertanding dapat berubah-ubah atas dasar penampilan dan prestasi masing-masing anggota.
Misalnya saat ini prestasi murid rendah dan ia bertanding dengan murid lain yang kemampuannya serupa, maka
minggu berikutnya ia bisa saja bertanding melawan murid-murid yang berprestasi tinggi manakala ia menjadi
lebih baik.

b. student teams-achievement divisions

Teknik ini menggunakan tim yang terdiri dari empat sampai lima orang anggota, akan tetapi kegiatan turnamen
diganti dengan saling bertanya selama lima belas menit, dimana pertanyaan-pertanyaan yang diajukan terlebih
dulu disusun oleh tim. Skor-skor pertanyaan diubah menjadi skor-skor tim, skor-skor yang tertinggi
memperoleh poin lebih dari pada skor-skor yang lebih rendah, disamping itu juga ada skor perbaikan.

c. Jigsaw
Murid dimasukkan ke dalam tim-tim kecil yang bersifat heterogen, kemudian tim diberi bahan pelajaran. Murid
mempelajari bagian masing-masing bersama-sama dengan anggota tim lain yang mendapat bahan serupa.
Setelah itu mereka kembali ke kelompoknya masing-masing untuk mengajarkan bagian yang telah dipelajarinya
bersama dengan anggota tim lain tersebut, kepada teman-teman dalam timnya sendiri. Akhirnya semua anggota
tim dites mengenai seluruh bahan pelajaran. Adapun skor yang diperoleh murid dapat ditentukan melalui dua
cara, yakni skor untuk masing-masing murid dan skor yang digunakan untuk membuat skor tim.

d. Group Investigation
Disini para murid bekerja di dalam kelompok-kelompok kecil untuk menanggapi berbagai macam proyek kelas.
Setiap kelompok membagi tugas tersebut menjadi sub-sub topik yang dibebankan kepada setiap anggota
kelompok untuk menelitinya dalam rangka mencapai tujuan kelompok. Setelah itu setiap kelompok mengajukan
hasil penelitiannya kepada kelas. Berdasarkan penelitian, teknik-teknik belajar kooperatif pada umumnya
berefek positif terhadap prestasi akademik. Selain itu teknik ini juga meningkatkan perilaku kooperatif dan
altruistic murid. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa teknik ini merupakan teknik mengajar yang efektif
untuk mencapai tujuan instruksional kelas.

3. Independent Learning (Pembelajaran Mandiri)


Pembelajaran Mandiri adalah proses pembelajaran yang menuntut murid menjadi subjek yang harus merancang,
mengatur dan mengontrol kegiatan mereka sendiri secara bertanggung jawab. Proses ini tidak bergantung pada
subjek maupun metode instruksional, melainkan kepada siapa yang belajar (murid), mencakup siapa yang
memutuskan tentang apa yang akan dipelajari, siapa yang harus mempelajari sesuatu hal, metode dan sumber
apa saja yang akan digunakan, dan bagaimana cara mengukur keberhasilan upaya belajar yang telah
dilaksanakan (Lowry, dalam Harsono, 2007).

Dalam pelaksanaannya, proses ini cocok untuk pembelajaran di tingkat atau level perguruan tinggi, karena
menuntut kemandirian yang tinggi dari peserta didik. Di sini pendidik beralih fungsi menjadi fasilitator proses
belajar, bukan sebagai penentu proses belajar.
Meski demikian, pendidik harus siap untuk menjadi tempat bertanya dan bahkan diharapkan pendidik betul-
betul ahli di bidang yang dipelajari peserta. Agar tidak terjadi kesenjangan hubungan antara peserta dan
pendidik, perlu dilakukan negosiasi dalam perancangan pembelajaran secara keseluruhan (Harsono, 2007).
Perancangan pembelajaran ini merupakan alat yang fleksibel tetapi efektif untuk membantu peserta didik dalam
penentuan tujuan belajar secara individual. Tanggung jawab peserta didik dan pengajar harus dibuat secara
eksplisit dalam perancangan pembelajaran. Partisipasi para peserta didik dalam penentuan tujuan belajar akan
membuat mereka lebih berkomitmen terhadap proses pembelajaran.

4. Student Centered Learning (Belajar yang Terpusat pada Siswa)

Student Centered Learning atau disingkat SCL merupakan strategi pembelajaran yang menempatkan peserta
didik secara aktif dan mandiri, serta bertanggung jawab atas pembelajaran yang dilakukan. Dengan SCL peserta
diharapkan mampu mengembangkan ketrampilan berpikir secara kritis, mengembangkan system dukungan
social untuk pembelajaran mereka, mampu memilih gaya belajar yang paling efektif dan diharapkan
menjadi life-long learner dan memiliki jiwa entrepreneur.
Sama seperti model sebelumnya, SCL banyak diterapkan dalam system pendidikan di tingkat Perguruan Tinggi
(Harsono, 2007). Dengan SCL mahasiswa memiliki keleluasaan untuk mengembangkan segenap potensinya
(cipta, karsa dan rasa), mengeksplorasi bidang yang diminatinya, membangun pengetahuan dan mencapai
kompetensinya secara aktif, mandiri dan bertanggung jawab melalui proses pembelajaran yang bersifat
kolaboratif, kooperatif dan kontekstual.

Adapun metode-metode SCL antara lain :

a. Cooperative Learning (Pembelajaran Kooperatif)

Prinsip metode ini adalah mahasiswa belajar dari dan dengan teman-temannya untuk mencapai suatu tujuan
belajar dengan secara penuh bertanggung jawab atas hasil pembelajaran yang dicapai (Afiatin, 2007). Disini
dosen membagi otoritas dengan para mahasiswa. Secara detail prosedur yang dilakukan dalam metode ini adalah
:
- Dosen menjelaskan topik yang akan dipelajari
- Kelas dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil, setiap kelompok terdiri dari 5 – 7 orang
- Dosen membagi sub-sub topik kepada masing-masing kelompok, disertai dengan pertanyaan atau tugas-tugas
yang berkaitan dengan masing-masing sub topik
- Dosen meminta masing-masing kelompok mendiskusikan, menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas-tugas
pada masing-masing sub topik
- Dosen meminta masing-masing kelompok mempresentasikan hasil diskusi atau pekerjaannya dalam kelompok
- Dosen memfasilitasi pembahasan topik secara menyeluruh dalam kelas
b. Collaborative Learning (Pembelajaran Kolaboratif)

Prinsip dari Pembelajaran Kolaboratif adalah bahwa pembelajaran merupakan proses yang aktif. Mahasiswa
mengasimilasi informasi dan menghubungkannya dengan pengetahuan baru melalui kerangka acuan
pengetahuan sebelumnya. Pembelajaran memerlukan suatu tantangan yang akan membuka wawasan para
mahasiswa untuk secara aktif berinteraksi dengan temannya. Di sini mahasiswa akan mendapatkan keuntungan
lebih jika mereka saling berbagi pandangan yang berbeda dengan temannya (Afiatin, 2007).
Pembelajaran terjadi dalam lingkungan sosial yang memungkinkan terjadinya komunikasi dan saling bertukar
informasi, yang akan memudahkan mahasiswa menciptakan kerangka pemikiran dan pemaknaan terhadap hal
yang dipelajari. Mahasiswa ditantang baik secara sosial maupun emosional ketika menghadapi perbedaan
perspektif dan memerlukan suatu kemampuan untuk dapat mempertahankan ide-idenya. Dengan demikian
melalui proses ini mahasiswa belajar menciptakan keunikan kerangka konseptual masing-masing dan secara
aktif terlibat dalam proses membentuk pengetahuan.

Adapun prosedur pembelajaran kolaboratif adalah sebagai berikut :


- Dosen menjelaskan topik yang akan dipelajari
- Dosen membagi kelas menjadi kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 5 orang
- Dosen membagi lembar kasus yang terkait dengan topik yang dipelajari
- Mahasiswa diminta membaca kasus dan mengerjakan tugas yang terkait dengan persepsi dan solusi terhadap
kasus
- Mahasiswa diminta mendiskusikan hasil pekerjaannya dalam kelompok kecil masing-masing dan
mendiskusikan kesepakatan
kelompok
- Masing-masing kelompok mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya dalam kelas dan meminta kelompok
lain untuk memberikan tanggapan.

c. Competitive Learning (Pembelajaran Kompetitif)

Prinsip pembelajaran ini adalah memfasilitasi mahasiswa saling berkompetisi dengan temannya untuk mencapai
hasil terbaik. Kompetisi dapat dilakukan secara individual maupun kelompok. Kompetisi individual berarti
mahasiswa berkompetisi dengan dirinya sendiri dibandingkan dengan pencapaian prestasi sebelumnya.
Kompetisi kelompok dilakukan dengan membangun kerjasama Kelompok untuk dapat mencapai prestasi
tertinggi (Afiatin, 2007).

Prosedur proses pembelajaran kompetitif adalah sebagai berikut :


-   Dosen menjelaskan tujuan pembelajaran
- Dosen membagi kelas menjadi kelompok-kelompok kecil dengan jumlah anggota 5 – 7 orang
- Dosen menjelaskan prosedur tugas yang akan dikompetisikan dan standar penilaiannya
- Dosen memfasilitasi kelompok untuk dapat mengerjakan tugas dengan sebaik-
baiknya
-  Masing-masing kelompok menunjukkan kinerjanya
- Dosen memberikan penilaian terhadap kinerja kelompok berdasar standar kinerja yang telah disepakati

d. Case Based Learning (Pembelajaran Berdasar Kasus)


Prinsip dasar dari metode ini adalah memfasilitasi mahasiswa untuk menguasai konsep dan menerapkannya
dalam praktek nyata. Dalam hal ini analisis kasus yang dikuasai tidak hanya berdasarkan common
sense melainkan dengan bekal materi yang telah dipelajari. Pada akhirnya metode ini memfasilitasi mahasiswa
untuk berkomunikasi dan berargumentasi terhadap analisis suatu kasus (Afiatin, 2007).

Prosedur yang dilakukan dalam metode ini adalah :


- Dosen menjelaskan tujuan pembelajaran dan metode yang akan digunakan
- Dosen meminta mahasiswa mempelajari konsep dasar yang berkaitan dengan tujuan pembelajaran, dengan
cara membaca buku teks yang membahas materi tersebut.
- Dosen membagikan lembar kasus yang telah dipersiapkan, dimana kasus ini haruslah relevan dengan tujuan
dan materi pembelajaran
- Dosen membagikan lembar pertanyaan yang harus dijawab oleh mahasiswa berkaitan dengan pembahasan
kasus tersebut. Pertanyaan harus disusun sedemikian rupa sehingga menjadi panduan mahasiswa untuk dapat
menganalisis kasus berdasarkan konsep dasar yang telah dipelajari.
- Dosen meminta masing-masing mahasiswa mempresentasikan hasil analisis kasusnya. Mahasiswa dan dosen
dapat memberikan tanggapan terhadap presentasi yang disajikan.

Pada intinya, pembelajaran dengan SCL sangat bertentangan dengan proses pembelajaran konvensional yang
cenderung Teacher Centered Instruction, yakni proses pembelajaran yang mengandalkan guru atau dosen
sebagai sentralnya. Di sini nampak aplikasi dari aliran humanistik, yang sangat ‘memanusiakan’ peserta didik.
         Pembelajaran berdasarkan teori humanistik ini cocok untuk diterapkan pada materi-materi pembelajaran
yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial.
Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan
terjaadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri. Siswa diharapkan menjadi manusia yang
bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggung jawab
tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan , norma , disiplin atau etika yang berlaku.

f.     Kelebihan dan Kekurangan teori balajar humanistik

1.    KELEBIHAN
§  selalu mengedepankan akan hal-hal yang bernuansa demokratis, partisipatif dialogis dan humanis.
§  Suasana pembelajaran yang saling menghargai, adanya kebebasan berpendapat, kebebasan mengungkapkan
gagasan.
§  keterlibatan peserta didik dalam berbagai aktivitas di sekolah, dan lebih-lebih adalah kemampuan hidup bersama
(komunal-bermasyarakat) diantara peserta didik yang tentunya mempunyai pandangan yang berbeda-beda.
Bersifat pembentukan kepribadian,hati nurani,perubahan sikap,analisis terhadap fenomena social.
§  Siswa merasa senang,berinisiatif dalam belajar.
§  Guru menerima siswa apa adanya,memahami jalan pikiran siswa.

2.    KEKURANGAN
§  Teori humanistik terlalu optimistik secara naif dan gagal untuk memberikan pendekatan pada sisi buruk dari sifat
alamiah manusia
§  Teori humanistik, seperti halnya teori psikodinamik, tidak bisa diuji dengan mudah
§            Banyak konsep dalam psikologi humanistik, seperti misalnya orang yang telah berhasil mengaktualisasikan
dirinya, ini masih buram dan subjektif. Beberapa kritisi menyangkal bahwa konsep ini bisa saja mencerminkan
nilai dan idealisme Maslow sendiri.
§  Psikologi humanistik mengalami pembiasan terhadap nilai individualistis Teori humanistik tidak bisa diuji
dengan mudah.
§  Banyak konsep dalam psikologi humanistik, seperti misalnya orang yang telah berhasil mengaktualisasikan
dirinya, ini masih buram dan subjektif.
§  Psikologi humanistik mengalami pembiasan terhadap nilai individualistis
§  Bersifat individual.
§  Proses belajar tidak akan berhasil jika tidak ada motivasi dan lingkungan yang mendukung.

Kasus Gayus Tambunan

VIVAnews - Usianya masih 30 tahun. Tapi sepak terjangnya sudah menggegerkan Mabes Polri. Gayus
Halomoan Tambunan, belakangan ini namanya santer disebut sebagai makelar kasus pajak yang ditangani
tidak sesuai aturan alias penuh rekayasa. Kasus ini diduga melibatkan sejumlah jenderal di kepolisian.

Namanya pertama kali disebut oleh mantan Kabareskrim Komjen Susno Duadji.  Susno menyebutkan Gayus
memiliki  Rp 25 miliar di rekeningnya, namun hanya Rp 395 juta yang dijadikan pidana dan disita negara.
Sisanya Rp 24,6 miliar tidak jelas. 

Dalam kasus pajak ini Gayus dibidik Polri dengan 3 pasal, yakni pasal penggelapan, pencucian uang, dan
korupsi, namun di persidangan dia hanya dituntut dengan pasal penggelapan. Hakim memvonisnya dengan
hukuman 1 tahun percobaan. Belakangan dia dibebaskan.

Uang sebanyak itu tentu saja mengejutkan menilik Gayus hanya pegawai pajak golongan IIIA. Dirjen Pajak
Mochmamad Tjiptardjo pun tidak kalah terkejutnya.

Sebagai perbandingan, gaji PNS golongan IIIA dengan masa jabatan 0 sampai 10 tahun hanya berkisar antara
Rp 1.655.800 sampai Rp 1.869.300 per bulan. Namun angka ini belum memperhitungkan tunjangan menyusul
adanya remunerasi di Ditjen pajak

Di kantor pusat pajak, Gayus memegang jabatan sebagai Penelaah Keberatan Direktorat Jenderal Pajak.
Namun seiring merebaknya kasus markus ini, jabatan Gayus langsung dicopot. Dia kini hanya menjadi
pegawai pajak biasa. Seharian kemarin Gayus menjalani pemeriksaan di Direktorat Kepatutan Internal
Transformasi Sumbaer Daya Aparatur (KISDA) Pajak. 

Sejauh ini Gayus memang masih menjadi pegawai pajak. Ditjen Pajak belum mengambil tindakan memecatnya
karena menilai kasusnya masih simpang siur. Rekeningnya juga masih diperiksa, apakah dana itu terkait
pekerjaannya atau tidak.

Gayus sendiri sebelumnya menegaskan, uang miliknya sebanyak Rp 395 juta sudah disita karena kasus
penggelapan. Sedangkan sisanya yang Rp 24 miliar dibantah untuk bancakan para polisi. Uang itu kata dia
ditarik untuk pelaksanaan proyek milik teman bisnisnya yang tinggal di Batam, Andi Kosasih, yang akan
membuat ruko di Jakarta Utara.

Gayus mengaku hubungannya dengan Andi sangat dekat sebagai partner bisnis, mulai dari properti, tambang,
dan lainnya. Karena itu ia menganggap wajar uang sebesar itu dititipkan kepada dia. Namun Susno Duadji
tetap yakin ada praktik markus dalam kasus pajak Gayus Tambunan. Vonis ringan terhadapnya adalah salah
satu bukti yang tidak terbantahkan.
Pegawai pajak golongan IIIA ini memiliki Rp 25 miliar di rekeningnya. Lantas, berapa sebenarnya gaji Gayus
yang sehari-hari menjadi penelaah keberatan pajak (banding) perorangan dan badan hukum di Kantor
Direktorat Jenderal Pajak. Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan Hekinus Manao memperkirakan Gayus
mendapatkan gaji bulanan sebesar Rp 12,1 juta. "Catatan tidak resmi perkiraan gaji seorang PNS Ditjen Pajak
setingkat Gayus Tambunan (GT) mencapai Rp 12,1 juta per bulan," kata Hekinus melalui pesan singkatnya
kepada wartawan, Kamis (25/3/2010).

Dia merinci, setiap bulannya Gayus mendapatkan gaji pokok dan berbagai tunjangan Rp 2,4 juta. Kemudian,
remunerasi sekitar Rp 8,2 juta dan imbalan prestasi kerja rata-rata Rp 1,5 juta sehingga total penghasilan per
bulannya mencapai Rp 12,1 juta.
Seperti diketahui, GT menjadi top sejak mencuatnya kasus penggelapan pajak senilai Rp 25 miliar. Dia
dituding terlibat dalam kasus yang masih ada kaitannya dengan makelar kasus di tubuh Polri.

Pembahasan

         Gayus pada dasarnya adalah seorang manusia biasa. Menurut teori humanistik, manusia itu pada
hakekatnya adalah unik, memiliki potensi individual dan dorongan internal untuk berkembang dan menentukan
perilakunya. Manusia selalu berpotensi untuk meningkatkan kreativitasnya. Begitu pula pula Gayus, yang
meningkatkan kreativitasnya pada bidang korupsi. Kepintarannya dalam mencari celah dan kesempatan dalam
hukum pajak dan aturan-aturan yang berlaku, merupakan hasil dari proses kreativitas yang terus berkembang
dalam diri Gayus.
         Perilaku Gayus yang berlawanan dengan aturan hukum, menandakan bahwa Gayus belum mengalami
suatu pengalaman puncak yang dapat menggugah kondisi spiritual mengindikasikan bahwa Gayus belum
mencapai tingkat kebutuhan akan aktualisasi diri. Menurut Abraham Maslow, manusia masih mempunyai satu
kebutuhan, yakni kebutuhan neurotik. Frustasi karena kebutuhan hirarkis tidak terpenuhi, dalam keadaan yang
ekstrim dan berjangka lama dapat berubah menjadi kebutuhan neurotik. Orang yang kebutuhan keamanannya
tidak terpuaskan, mungkin mengembangkan keinginan yang kuat untuk menimbun uang dan harta benda. Begitu
juga pada Gayus yang memiliki kebutuhan neurotik yang berkembang menjadi gaya hidup yang tidak sehat,
yaitu yang selalu ingin haus akan kekuasaan, akibat dari kebutuhan hirarki tidak terpenuhi yaitu kebutuhan
keamanan yang tidak terpuaskan. Kebutuhan ini membuat gayus akan haus kekuasaan, tidak membuat
neurotiknya mereda, dan jenuh, berapapun mekanan yang disediakan, dia masih tetap lapar (karena dia melihat
makanan lain.   
         Agar STAN tidak mencetak Gayus kedua, sebaiknya kurikulum pembelajaran dapat mendorong siswa
untuk mempertanggungjawabkan segala resiko dari perilaku yang ditunjukkan. Pembentukan kepribadian, hati
nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial perlu diadakan dalam proses pembelajaran agar
para siswa lulusan STAN dapat mengaktualisasikan diri mereka.
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Teori humanistik mampu memberikan arah terhadap semua komponen pembelajaran. Semua
komponen pendidikan diarahkan pada terbentuknya manusia yang ideal, yaitu manusia yang mampu mencapai
aktualisasi diri. Seseorang akan mampu belajar dengan baik jika mempunyai pengertian/ pemahaman tentang
dirinya.
Teori humanistik sangat membantu para pendidik dalam memahami arah belajar. Pendidik harus
memperhatikan bagaimana perkembangan peserta didik dalam mengaktualisasikan diri. Pengalaman emosional,
dan karakteristik individu harus dipehatikan dalam rangka perencanaan pembelajaran.
Menurut teori ini, agar belajar bermakna bagi siswa, perlu inisiatif dan keterlibatan penuh dari siswa
sendri.

Daftar Pustaka

Psikologi Belajar: Dr. Mulyati, M.Pd

Psikologi Pendidikan: Sugihartono,dkk

Landasan Kependidikan: Prof. Dr. Made Pidarta

Purwanto, M. N. 2007. Psikologi pendidikan. Bandung : PT Remaja Rosdakarya

Alwisol. (2008). Psikologi Kepribadian. Edisi revisi. Malang: UMM Press

Sagala, H.Syaiful. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung : CV Alfabeta, 2006.

Syah, Muhibbin. 2006. Psikologi Pendidikan: Dengan Pendekatan Baru.Bandung:PT Remaja Rosdakarya


Sudjana, Nana, dan Ibrahim. 1989. Penelitian dan Penelitian Pendidikan.Bandung:Sinar Baru
Rumini, S. dkk. 1993. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri
Yogyakarta

Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol 1. 3 No. 2, Desember 2006


http://trimanjuniarso.files.wordpress.com/2008/02/teori-belajar-humanistik.doc
http://moshimoshi.netne.net/materi/psikologi_pendidikan/bab_9.htm
http://ariefian84.wordpress.com/2010/07/21/teori-belajar-humanistik

Anda mungkin juga menyukai