Anda di halaman 1dari 3

Pendidikan yang Humanis Bagi Siswa

Oleh
Rosnawati

Humanistik adalah sebuah teori Pendidikan yang memanusiakan manusia dimana seorang
individual dalam hal ini peserta didik dapat menggali kemampuannya tersendiri untuk diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari. Kurikulum baru yang berlaku saat ini membuat banyak anggapan
bahwa anak-anak dibebaskan untuk memilih mata pelajaran sesuai bakat dan minat yang mereka
miliki. Saya pernah berbincang-bincang dengan salah seorang ibu yang merupakan orang tua
murid di sekolah saya. “Anak saya mau belajar sama guru yang ini, kalau sama guru yang itu
takut”. Apakah siswa merasa ada yang salah dengan gurunya mengajar? Apakah siswa tersebut
terlalu cengeng? Apakah siswa tidak menemukan bakat dan minatnya melalui pembelajaran?
Apakah ada guru yang garang? Apakah ada guru yang memberi kelonggaran terhadap
kedisiplinan siswa?

Untuk menjawab hal ini, perlu memikirkan bagaimana siswa bisa menemukan nilai
positif atau merasa ada penguatan positif dari lingkungan sekitarnya sehingga bisa
menumbuhkan penghargaan terhadap diri sendiri. Ketika siswa memiliki rasa aman dan nyaman,
akan menumbuhkan kepercayaan diri. Ada kepercayaan diri, ada dorongan untuk berprestasi.

Terkait dengan Pendidikan untuk menumbuhkan penghargaan terhadap diri sendiri,


Pendidikan humanistic membawa suasana belajar yang memanusiakan peserta didik.
Pembelajaran yang memanusiakan peserta didik membawa dampak terhadap rasa percaya diri
siswa untuk meraih prestasi, menjadi pribadi yang mandiri, serta terdorong untuk memiliki
kemampuan dan kompetensi yang mumpuni.

Setiap individu memiliki karakteristik yang berbeda satu dengan yang lainnya. Guru
sebagai pendidik dapat menggunakan berbagai pendekatan belajar untuk menangani peserta
didik yang beragam. Melihat kondisi keberagaman siswa, pendidik yang tanggap dapat
menggunakan pendekatan yang dapat memanusiakan manusia (Humanistik). Dengan Pendidikan
yang humanistik pendidik memperkenalkan bentuk apresiasi yang setinggi-tingginya kepada
manusia sebagai makhluk Allah yang mulia. Peserta didik bebas menentukan cara belajar mereka
sendiri dan bisa dilakukan lewat mana saja, selama hal tersebut membawa hasil yang baik
baginya. Perlu memberikan reward kepada peserta didik yang berhasil mendapatkan hasil yang
baik, serta tetap memotivasi siswa yang belum mendapatkan hasil yang baik.

Membangun konsep pemikiran anak yang positif terhadap lingkungan belajar dan
tugasnya sebagai pelajar adalah hal yang menarik untuk dilakukan. Pendekatan dengan siswa per
individu adalah praktik baik untuk membawa pengaruh positif sikap (afeksi) siswa terhadap
lingkungan belajarnya. Saya pernah punya pengalaman dengan salah seorang siswa. Seorang
anak yang aktif, ceria, bersemangat. Saat pembelajaran berlangsung, siswa tersebut sering
memicu keributan di antara teman-temannya. Teguran dari guru juga terkadang direspon dengan
kata-kata yang tidak baik. Teguran dari guru membuat siswa tersebut marah, dan tidak mau
melakukan apa yang ditugaskan kepadanya. Terus terang sebagai guru saya bingung harus
bagaimana dengan siswa ini. Ada akar permasalahan yang perlu dipahami. Ternyata di kelas
sebelumnya, siswa ini juga seringkali bersikap yang serupa. Namun perlu diapresiasi bahwa
sebenarnya anaknya pintar, daya tangkapnya terbilang cepat. Selain itu, keberanian dan
kepercayaan diri mantap. Cari tahu lagi latar belakang keluarga. Anak ini dididik dengan keras
oleh orang tuanya (ayah). Hal ini diakui oleh sang ibu. Sang ibu berkata: “anak saya ini enggak
boleh dikerasin”. Saya lalu berpikir, apakah saya sudah memperlakukan anak ini sesuai
karakteristiknya?

Sebagai guru tentu saja saya masih penasaran dengan bagaimana menaklukkan “seorang
singa” adalah merupakan kebanggaan tersendiri bagi seorang guru untuk bisa menaklukkan
“anak superior yang terabaikan” saya mulai untuk tidak memberi teguran keras terhadap siswa
ini. Saya lebih mengutamakan pujian dan motivasi belajar bagi anak-anak di kelas saya. Satu
bulan berjalan, setelah tahun ajaran baru. Guru di samping kelas saya berkata, “si anu”kok
anteng? Apa sudah takluk? Saya katakan bahwa saya lebih banyak memberi pujian, saat anak-
anak saya mencapai hal yang baik saat pembelajaran. Teguran itu berupa kata-kata yang
memberi motivasi. Misalnya ; ‘’Coba kamu lebih rajin sehingga kamu bisa memahami
dengan baik apa yang ibu guru sampaikan’’ atau ‘’Anak-anak, kalian semua mempunyai
bakat yang luar biasa, hanya saja kurang terasah dengan baik’’. Bahkan saat anak
melakukan kesalahan pun bukan kemarahan atau hukuman yang saya berikan ke anak, tetapi
yang saya lakukan adalah diawal saya puji terlebih dahulu, baru menyampaikan apa yang harus
diperbaiki oleh si anak, misal “Sebenarnya kamu anak yang baik, tetapi ibu tidak tahu apa
masalahnya sehingga sering kali kamu lalai mengerjakan tugas (PR)’’. Saya tidak ingin
siswa saya menjadi takut dengan suasana kelas yang saya ampu. Sebenarnya bagiku, suasana
kelas yang aman dan nyaman adalah kunci utama anak-anak belajar dengan baik.

Sebagai kesimpulan, kondusivitas dalam pembelajaran adalah hal yang perlu diciptakan
untuk mencapai pembelajaran yang berhasil. Membelajarkan siswa dengan pujian dan
penghargaan atas pencapaiannya lebih penting daripada hukuman dan ganjaran. Memahami
siswa dengan baik, untuk dapat memperlakukan siswa sebagaimana layaknya memanusiakan
manusia adalah hakikat pembelajaran yang humanis. Pujian dan reward bagi siswa yang sudah
berhasil, serta motivasi ... motivasi ... dan motivasi bagi siswa yang belum mencapai
keberhasilan. Jangan sampai sebagai guru, kita menghakimi siswa dengan keterbatasannya.
Hidup guru….

Penulis adalah Guru SD N 23 Amang, Kab. Sanggau

Anda mungkin juga menyukai