Anda di halaman 1dari 18

Produk-produk Peradilan Agama dan Pelaksanaannya,

Bantuan Hukum dan Yurisprudensi Peradilan Agama.


Pengadilan Agama dan kompetensinya.

Kelompok 2

- Kurniawan Saputra (1974201247)


- Winda Aprilia. S (1974201132)
- Muhamad Furqon Juanda (1974201182)
- Geta Sariani Lumbanraja (1974201092)
- Nida Hana Vina. S (1974201214)

Dosen Pengampu: Shofa Fathiyah, S.Sy., SH., MH

Mata Kuliah: Hukum Acara Perdata II (Peradilan Agama)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH TANGERANG
2021
KATA PENGANTAR

Puji Syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Produk-produk Peradilan Agama dan
Pelaksanaannya, Bantuan Hukum dan Yurisprudensi Peradilan Agama. Pengadilan Agama
dan kompetensinya” dengan tepat waktu.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Acara Perdata II (Peradilan
Agama). Selain itu, makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan bagi para pembaca dan
juga bagi penulis tentang Perkara Perkawinan, Sengketa harta kekayaan dalam perkawinan,
Sengketa kewarisan, Ekonomi Syariah, dan juga Sengket-sengketa lainnya yang akan dibahas
pada bab-bab di makalah ini.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bu Shofa Fathiyah, S.Sy., SH., MH selaku Dosen
Pengampu dalam Mata Kuliah Hukum Acara Perdata II (Peradilan Agama) yang telah
memberikan tugas ini untuk menambah wawasan kita semua. Serta ucapan terima kasih juga
disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu diselesaikannya makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, saran dan
kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini. Mohon maaf jika ada
kata-kata yang kurang berkenan, karena kesempurnaan hanya datang dari Yang Maha Kuasa.

Terima Kasih.

Tangerang, 24 September 2021

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

B. RUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang diatar, dapat disimpulkan suatu rumusan masalah sebagai
berikut:

1. Definisi tentang Cerai Talak dan Cerai Gugat


2. Sengketa Harta Kekayaan dalam Perkawinan
3. Sengketa Kewarisan
4. Ekonomi Syariah
5. Sengketa-sengketa lain.

C. TUJUAN PENULISAN

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu:

1. Mengetahui tentang Cerai Talak dan Cerai Gugat


2. Mengetahui tentang Harta Kekayaan dalam Perkawinan
3. Mengetahui tentang Sengketa Kewarisan
4. Mengetahui tentang Ekonomi Syariah
5. Mengetahui tentang Sengketa-sengketa lainnya.
BAB II
PEMBAHASAN

A. CERAI TALAK & CERAI GUGAT

Cerai Talak dan Cerai Gugat dikenal dalam proses perceraian yang dilakukan di
Pengadilan Agama, sementara bagi perceraian yang dilaksanakan di Pengadilan Negeri
biasa dikenal dengan Gugatan Perceraian.

1. Cerai Talak

Cerai Talak adalah permohonan perceraian yang diajukan oleh Suami terhadap
Isterinya. Isi dari permohonannya adalah permintaan kepada Pengadilan Agama agar
mengizinkan Suami mengucapkan ikrar talak terhadap Isteri. Artinya, perceraian yang
diajukan oleh Suami baru sah apabila Suami mengucapkan ikrar talak di depan sidang
pengadilan.

CARA MELAKUKAN PERMOHONAN TALAK:

 Permohonan Talak diajukan oleh Pemohon (Suami) atau kuasanya kepada Pengadilan
Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Termohon (Isteri), kecuali
apabila Isteri dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan
bersama tanpa izin Suami;
 Apabila Isteri bertempat kediaman di luar negeri, permohonan diajukan kepada
Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Suami;
 Apabila Suami dan Isteri bertempat kediaman di luar negeri, maka permohonan
diajukan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat
perkawinan dilangsungkadn atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
2. Cerai Gugat

Cerai Gugat adalah gugatan perceraian yang diajukan oleh Isteri terhadap
Suaminya. Isi dari gugatannya adalah permintaan kepada Pengadilan Agama agar
menyatakan jatuhnya talak dari Suami kepada Isteri. Artinya, tidak ada prosesi
pengucapan ikrar talak dalam gugatan yang diajukan oleh Isteri, melainkan Pengadilan
Agama yang menjatuhkan talaknya.

CARA MELAKUKAN GUGATAN PERCERAIAN:


 Gugatan Perceraian diajukan oleh Isteri atau kuasanya kepada Pengadilan Agama
yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Isteri, kecuali apabila Isteri dengan
sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin Suami;
 Apabila Isteri bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada
Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Suami;
 Apabila Suami dan Isteri bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan
kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan
mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat;

Apabila perkawinan dilakukan menurut agama Islam dan tercatat di Kantor Urusan
Agama (KUA), meskipun salah satu (Suami Isteri) atau kedua belah pihak (Suami Isteri)
telah keluar dari agama Islam, maka perceraiannya diajukan di Pengadilan Agama.

PERSYARATAN PENGAJUAN PERCERAIAN:

1. Diajukan dengan Surat Permohonan/Gugatan Tertulis (melampirkan soft filenya)


yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Agama atau Ketua Pengadilan Negeri. Bagi
yang tidak dapat membaca dan menulis dapat mengajukannya secara lisan di hadapan
Ketua Pengadilan Agama atau Ketua Pengadilan Negeri untuk dicatat.
2. Dalam Surat Permohonan/Gugatan Tertulis tersebut menguraikan alasan-alasan
perceraian.
3. Melampirkan Dokumen, seperti misalnya Akta Perkawinan, Kartu Tanda Penduduk,
Paspor (Pernikahan Campuran), Kartu Keluarga, Akta Kelahiran Anak, dan dokumen
lain yang berkaitan seperti misalnya bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) melampirkan
Surat Izin Perceraian dari Atasan.
4. Melampirkan Surat Kuasa Khusus berikut Kartu Tanda Pengenal Advokat dan Berita
Acara Sumpah, apabila diwakili oleh Kuasa.
5. Membayar biaya Panjar Perkara yang jumlahnya ditetapkan oleh Pengadilan.

ALASAN-ALASAN PERCERAIAN:

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan;
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa
izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih
berat setelah perkawinan berlangsung;
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan
pihak yang lain;
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai Suami/Isteri;
6. Antara Suami dan Isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak
ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
7. Suami melanggar taklik talak (alasan khusus perceraian Islam);
8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam
rumah tangga (alasan) khusus perceraian islam).

AKIBAT PERCERAIAN

1. Baik Ibu atau Bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,
semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai
Penguasaan (hadhanah) anak-anak, dapat diajukan secara terpisah atau bersama-sama
dengan permohonan/gugatan;
2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan anak itu, bilamana Bapak dalam kenyataannya tidak dapat memberi
kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa Ibu ikut memikul biaya
tersebut.
3. Harta bersama dibagi menurut ketentuan, dimana menurut Kompilasi Hukum Islam,
Janda atau Duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang
tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
4. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas Suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas Istri, seperti
bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas Suami wajib:
 Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas Istrinya, baik berupa uang atau
benda, kecuali bekas Istri tersebut qobla al dukhul;
 Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas Istri selama dalam iddah,
kecuali bekas Istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam kedaan tidak
hamil;
 Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh apabila qobla al
dukhul;
 Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21
tahun;

B. HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN


1. Definisi Harta Kekayaan dalam Perkawinan

Harta kekayaan adalah benda milik seseorang yang mempunyai nilai ekonomi.
Dalam literatur hukum, benda adalah terjemahan dari istilah bahasa Belanda zaak, barang
adalah terjemahan dari good, dan hak adalah terjemahan dari recht. Menurut Pasal 499
KUH Perdata, pengertian benda meliputi barang dan hak. Barang adalah benda berwujud,
sedangkan hak adalah benda tak berwujud.

Pada dasarnya menurut Hukum Islam harta Suami Isteri itu terpisah, jadi masing-
masing mempunyai hak untuk menggunakan atau membelanjakan hartanya dengan
sepenuhnya, tanpa diganggu oleh pihak lain. Harta benda yang menjadi hak sepenuhnya
masing-masing pihak ialah harta bawaan masing-masing sebelum terjadinya perkawinan
ataupun harta yang diperoleh masing-masing pihak dalam masa perkawinan yang bukan
merupakan usaha bersama, misalnya menerima warisan, hibah, hadiah dan lain
sebagainya.

Apabila dilihat dari asalnya, harta kekayaan dalam perkawinan itu dapat
digolongkan menjadi tiga golongan:

1. Harta masing-masing Suami Isteri yang telah dimilikinya sebelum kawin, baik
diperolehnya karena mendapat warisan atau usaha-usaha lainnya, dalam hal ini
disebut harta bawaan.
2. Harta masing-masing Suami Isteri yang diperolehnya selama berada dalam
hubungan perkawinan, tetapi diperoleh bukan karena usaha mereka bersama-sama
maupun sendiri-sendiri, tetapi karena diperoleh seperti hibah, warisan ataupun
wasiat untuk masing-masing.
3. Harta yang diperoleh setelah mereka berada dalam hubungan perkawinan atau
usaha mereka berdua atau salah satu pihak dari mereka, dalam hal ini disebut harta
pencaharian.
2. Harta Bersama Dalam Perkawinan

Secara bahasa, harta bersama terdiri dari dua kata yaitu harta dan bersama. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia “Harta dapat berarti barang-barang (uang dan sebagainya)
yang menjadi kekayaan yang berwujudu maupun yang tidak berwujud dan tentunya yang
bernilai. Sayuti Thalib dalam bukunya Hukum Kekeluargaan Indonesia mengatakan
bahwa: “Harta bersama adalah harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan di luar
hadiah atau warisan. Maksudnya adalah harta yang didapat atas usaha bersama atau
sendiri-sendiri selama ikatan perkawinan. Mengenai harta bersama Suami Isteri dapat
bertindak atas persetujuan kedua belah pihak, sedangkan mengenai harta bawaan masing-
masing Suami Isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum
mengenai harta bendanya.

Menurut Undang-Undang Perkawinan Pasal 35-37 dikemukakan bahwa harta benda


yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Masing-masing Suami Isteri
terhadap harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah
dibawah pengawasan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Tentang harta bersama ini, Suami atau Isteri dapat bertindak untuk berbuat sesuatu atas
harta bersama itu atas persetujuan kedua belah pihak.

3. Status Harta Bersama dalam Perkawinan

Salah satu pengertian harta bersama dalam perkawinan adalah harta milik bersama
Suami-Isteri yang diperoleh oleh mereka berdua selama di dalam perkawinan, seperti
halnya jika seseorang menghibahkan uang, atau sepeda motor, atau barang lain kepada
Suami Isteri, atau harta benda yang dibeli oleh Suami Isteri dari uang mereka berdua, atua
tabungan dari gaji Suami dan gaji Isteri yang dijadikan satu, itu semuanya bisa
dikategorikan harta bersama.

Untuk memperjelas pengertian di atas, hal-hal di bawah ini perlu menjadi catatan:

a. Barang-barang yang dibeli dari gaji (harta) Suami, seperti kursi, tempat tidur, kulkas,
kompor, mobil adalah milik suami dan bukanlah harta bersama, termasuk dalam hal
ini adalah harta warisan yang didapatkan Suami, atau hadiah dari orang lain yang
diberikan kepada Suami secara khusus.
b. Barang-barang yang dibeli dari gaji (harta) Suami, kemudian secara sengaja dan jelas
telah diberikan kepada Isterinya, seperti Suami yang memberikan baju dan perhiasan
untuk Isterinya, atau Suami membelikan motor dan dihadiahkan untuk Isterinya, maka
harta tersebut, walaupun dibeli dengan harta Suami, tetapi telah menjadi harta Isteri,
dan bukan pula termasuk dalam harta gono-gini.
c. Barang-barang yang dibeli dari harta Isteri, atau orang lain yang menghibahkan
sesuatu khusus untuk Isteri, maka itu semua adalah menjadi hak Isteri dan bukan
merupakan harta bersama.

Tentang harta bersama dalam Islam, ternyata secara khusus tidak dibicarakan, lebih
lanjut, mungkin disebabkan oleh karena pada umumnya pengarah dari kitab-kita tersebut
adalah orang Arab, sedang adat Arab tidak mengenal adanya adat megenai pencarian
bersama Suami Isteri itu. Tetapi di sana ada dibicarakan mengenai masalah perkongsian
yang dalam bahasa Arab disebut syarikah atau syirkah.

4. Konsep Syirkah Sebagai Ketetapan Harta Bersama

Syirkah menurut etimologi adalah percampuran, sedang menurut terminologi adalah


jaminan hak terhadap sesuatu yang dilakukan oleh dua orang atau lebh secara umum, atau
bisa juga dikatakan akad yang menunjukkan hak terhadap sesuatu yang dilakukan oleh
dua orang atau lebih sesuai pandangan umum. Dalam Kitab fiqih Madzahibul Arba’ah,
syirkah adalah perkongsian dua harta yang dilakukan seorang dengan orang lain, sehingga
dalam perkongsian itu tidak dapat dibedakan lagi hartanya. Menurut ahli fiqih syirkah
adalah kesepakatan yang dilakukan oleh dua orang yang berserikat terhadap modal dan
laba. Dari beberapa definisi yang diutarakan di atas maka jika dirumuskan syirkah adalah
perkongsian antara dua orang terhadap harta mereka dengan diawali kesepakatan tertentu
sehingga tidak ada yang dirugikan setelahnya.

Pada asalnya hukum syirkah menurut Islam boleh, sedang kebolehan melakukan
akad syirkah adalah tergantung dari macam-macam syirkah yang telah ditetapkan para
ulama. Menurut Sayyid Sabiq, syirkah itu ada dua macam yakni syirkah amlāk dan
syirkah uqūd, dalam hal pembagian tersebut sebagaimana berikut pembahasannya:

a. Syirkah Amlāk, menurut ulama Hanafiyah adalah ungkapan kepemilikan dua orang
atau lebih terhadap suatu benda tanpa adanya akad. Definisi yang hampir sama
diungkapkan oleh Sayyid Sabik, menurut beliau syirkah amlāk adalah bentuk
kepemilikan orang banyak terhadap suatu benda tanpa adanya akad, baik berbentuk
usaha atau pun secara langsung. Contohnya yang secara otomatis, kepemilikan orang
banyak yang didapat dari satu orang dengan cara otomatis seperti halnya perserikatan
harta warisan oleh ahli waris.
b. Syirkah Uqūd, adalah kesepakatan dua orang atau lebih terhadap perkongsian harta
benda, yang tujuannya adalah laba. Dalam hal syirkah uqūd Sayyid Sabiq
memberikan beberapa rukun syirkah ini, yaitu berupa ījāb dan qobūl yang
mengharuskan ada didalamnya, dan tanpa keduanya tidak sah.

Dalam beberapa bentuk syirkah yang telah disebutkan di atas, menurut ulama
kontemporer hanya syirkah mufāwadah dan syirkah abdān yang memiliki korelasi dengan
permasalahan harta bersama dalam perkawinan. Syirkah mufāwadah adalah kesepakatan
di antara dua orang atau lebih untuk berserikat dalam hal pekerjaannya saja. Sedangkan
menurut Hanafiyah syirkah mufāwadah adalah, kesepakatan dua orang atau lebih
terhadap suatu pekerjaan. Dalam praktiknya menurut Imam Maliki, masing-masing pihak
telah menjual sebagian dari sebagian harta dari pihak lain. Kemudian masing-masing
pihak mengusahakan kepada pihak lain untuk memikirkan bagian yang masih tersisa di
tangannya. Kemudian Syirkah abdān adalah kesepakatan dua orang untuk saling
menerima pekerjaan dan bermacam-macam pekerjaan, agar upah dari pekerjaan tersebut
adalah mejadi milik berdua sesuai dengan kesepakatan. Dalam hal ini syirkah abdān ini
Imam Maliki mensyaratkan adanya pekerjaan sejenis dan tempat yang sama. Sementara
Abu Hanifah memperbolehkan walau jenis pekerjaannya berbeda.

C. SENGKETA KEWARISAN
1. Faktor Penyebab Timbulnya Sengketa Warisan

Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya sengketa dala pembagian harta
warisan:

a. Faktor Ekonomi, merupakan faktor yang sering menjadi kendala dalam hal
sengketa pembagian harta warisan, karena adanya niat dari ahli waris untuk
meminta lebih dari haknya hal ini menyebabkan ahli waris lain tidak setuju dan
menyebabkan terjadinya sengketa warisan. Jadi dapat dikatakan faktor ekonomi
juga menjadi pendorong timbulnya sengkat harta warisan sehingga ahli waris
mengajukan tuntutan atas harta warisan yang ditinggalkan.
b. Faktor salah satu pihak tidak membagikan harta warisan kepada pihak lain yang
berhak, hal ini sebagaimana dikemukakan bahwa seorang ahli waris yang
menggugat pembagian harta warisan karena pihak ahli waris yang menguasai
harta warisan tidak membagikan harta warisan kepada ahli waris yang berhak.
c. Faktor ahli waris menguasai sendiri harta warisan, dimana ahli waris ini merasa
dekat denga pewaris dan merasa lebih berkuasa atas harta warisan tersebut. Jadi
ketika si pewaris meninggal dunia ahli waris ini merasa berkuasa atas harta
warisan tersebut dan tidak ingin berbagi dengan ahli waris yang lainnya.
2. Upaya Penyelesaian Sengketa yang Ditempuh Ahli Waris dalam Pembagian
Harta Warisan
a. Penyelesaian Sengketa Dengan Cara Kekeluargaan

Sering terjadi persengketaan harta warisan antara ahli waris satu dengan ahli
waris lainnya dikarenakan para ahli waris sama-sama ingin menguasai harta warisan.
Dalam praktik khususnya pada perselisihan pembagian harta warisan umat Islam lebih
baik memilih menyelesaikan sengketa warisan melalui jalur kekeluargaan. Untuk
memudahkan suatu proses pembagian warisan dilalukan terlebih dahulu mengenai
penentuan ahli waris yang akan menerima harta warisan. Ahli waris yang dimaksud
adalah yang mempunyai hubungan darah ataua perkawinan dengan pewaris, adapun
ahli waris tersebut adalah istri dan anak. Apabila pewaris tidak mempunyai istri dan
anak maka akan ditetapkan ahli waris yang lain yang mempunyai hubungan darah
terdekat dengan pewaris. Dalam menyelesaikan pembagian warisan atas harta
peninggalan dengan cara kekeluargaan, biasanya ahli waris mengundang orang yang
dituakan dalam keluarga. Disini orang yang dituakan ini guna untuk menjadi
penengah dan memberikan saran dalam hal penyelesaian sengketa harta warisan ini.

b. Penyelesaian Sengketa Dengan Cara Pengadilan

Sebelum ahli waris menyelesaikan sengketa harta warisan dengan cara


pengadilan ahli waris telah emlakukan penyelesaian sengketa dengan cara
kekeluargaan. Apabila sengketa harta warisan tidak dapat diselesaikan dengan cara
kekeluargaan, maka ahli waris dapat memasukkan gugatan ke Mahkamah Syar’iyah.
Ketika gugatan telah diajukan dan para pihak dipanggil ke Persidangan sudah menjadi
kewajiban Hakim untuk menawarkan perdamaian kepada kedua belah pihak atau bisa
disebut sebagai Mediasi. Perdamaian ini berhasil dilakukan apabila masing-masing
ahli waris memahami besar bagiannya dan rela melepas harta warisan yang bukan
menjadi haknya. Setelah adanya kesepakatan maka kesepakatan itu dituangkan dalam
bentuk akta perjanjian.

Apabila tidak ada kesepakatan dengan cara mediasi maka pemeriksaan perkara
harus dilanjutkan. Maka akan dibacakan surat gugatan oleh penggugat, lalu disusul
dengan proses jawab menjawab yang di awali oleh pihak tergugat, kemudia replik
penggugat dan diakhiri dengan duplik tergugat. Setelah jawab menjawab selesai
dilanjutkan dengan acara pembuktian, dimana pada tahap ini para pihak dituntut untuk
memberikan bukti-bukti. Setelah para pihak memberikan bukti-bukti, maka para
pihak memberikan kesimpulan yang merupakan tahap akhir dari proses pemeriksaan
perkara. Setelah tahap pemeriksaan selesai, hakim mengambil putusan dan
memberikan keadilan dalam perkara tersebut.

D. EKONOMI SYARIAH
1. Pengertian Ekonomi Syariah

Menurut Monzer Kahf dalam bukunya The Islamic Economy menjelaskan bahwa
ekonomi Islam adalah bagian dari ilmu ekonomi yang bersifat interdisipliner dalam arti
kajian ekonomi syariah tidak dapat berdiri sendiri, tetapi perlu penguasaan yang baik dan
mendalam terhadap ilmu-ilmu pendukungnya juga terhadap ilmu-ilmu yang berfungsi
sebagai tool of analysis seperti matematika, statistik, logika dan ushul fiqh.

Sedangkan menurut Umar Chapra, ekonomi Islam merupakan suatu cabang ilmu
pengetahuan yang membantu manusia dalam mewujudkan kesejahteraannya melalui
alokasi dan distribusi berbagai sumber daya langka sesuai dengan tujuan yang ditetapkan
berdasarkan syariah tanpa mengekang kebebasan individu secara berlebihan, menciptakan
ketidakseimbangan makro ekonomi dan ekologi, atau melemahkan solidaritas keluarga
dan sosial serta ikatan moral yang terjadi di masyarakat.

Definisi ekonomi syariah para ahli tersebut menekankan karakter komprehensif


tentang subjek dan didasarkan atas nilai moral ekonomi syariah yang bertujuan mengkaji
kesejahteraan manusia yang dicapai melalui pengorganisasian sumber-sumber alam
berdasarkan kooperasi dan partisipasi.
2. Karakteristik Ekonomi Syariah

Ekonomi Syariah memiliki nilai-nilai yang berfokus pada ‘amar ma’ruf dan nahi
mungkar. Namun terdapat beberapa karakteristik ekonomi syariah tersebut adalah sebagai
berikut:

 Ekonomi Ketuhanan, bersumber dari Wahyu Allah Azza Wa Jalla dalam bentuk
syariat Islam. Ekonomi syariah merupakan suatu bagian dari pengamalan agama
Islam.
 Ekonomi Pertengahan, mempunyai keseimbangan antara berbagai aspek, sehingga
sering disebut ekonomi pertengahan. Ekonomi ini mempunyai pandangan
terhadap hak individu dan masyarakat diletakkan dalam neraca keseimbangan
yang adil.
 Ekonomi Berkeadilan, sangat memperhatikan aspek keadilan bagi semua pihak
yang terlibat dalam praktek ekonomi syariah.
3. Sumber Hukum Ekonomi Syariah

Sebagai bagian dari ajaran syariat Islam, ekonomi syariah mempunyai sumber yang
sama dengan sumber hukum dalam Islam secara umum, yaitu:

a. Al Qur’an, merupakan sumber pertama dan utama bagi ekonomi syariah,


didalamnya dapat kita temui hal ihwal yang berkaitan dengan ekonomi dan juga
hukumnya. Karena itulah, Al Qur’an harus dinomor satukan dalam menemukan
dan menarik hukum, dan juga harus didahulukan dalam menjawab permasalahan
yang muncul kepermukaan.
b. Hadist atau As Sunnah, merupakan segala sesuatu yang bersumber dari Nabi
Shalallaahu ‘alaihi wa sallam dalam bentuk ucapan, perbuatan, penetapan, sifat
tubuh, serta akhlak. Ia berfungsi sebagai penjelas dan pelaksana dari apa yang
tertulis dalam Al Qur’an.
c. Ijtihad, merupakan mengerahkan kemampuan dalam memperoleh hukum syar’i
yang bersifat ‘amali melalui cara istinbath. Untuk mendapatkan ketentuan-
ketentuan ekonomi syariah yang baru muncul seiring dengan kemajuan zaman dan
kebutuhan masyarakat, sangat diperlukan pemikiran-pemikiran baru yang biasa
dikenal dengan istilah Ijtihad.
4. Prinsip-prinsip Ekonomi Syariah
Dalam pelaksanaannya ekonomi syariah harus menjalankan prinsip-prinsip sebagai
berikut:

o Berbagai sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan dari Allah Azza
Wa Jalla kepada manusia. Sehingga manusia tidak boleh semena-mena dengan
sumber daya yang ada.
o Islam mengekui pemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu, sehingga tidak
mutlak kepemilikan individu.
o Kekuatan penggerak utama ekonomi syariah adalah kerja sama. Prinsip
berjamaah, kebersamaan serta saling menolong juga menjadi pondasi dasar dalam
Ekonomi Syariah.
o Ekonomi Syariah menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh
segelintir orang saja, dan menekankan prinsip pemerataan kekayaan.
o Ekonomi Syariah menjamin kepemilikan masyarakat dan penggunaannya
direncanakan untuk kepentingan banyak orang.
5. Ruang Lingkup Ekonomi Syariah

Ruang lingkup ekonomi syariah dapat kita temukan dalam beberapa sumber. Yang
pertama terdapat dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), yeng meliputi
aspek ekonomi sebagai berikut: ba’i, akad-akad jual beli, syirkah, mudharabah,
murabahah, muzara’ah, pelepasan hak, obligasih syariah mudharabah, pasar modal,
reksadana syariah, sertifat bank indonesia syariah, pembiayaa multi jasa, dana pensiun
syariah, zakat dan hibah.

Adapun sumber kedua bisa didapati dalam UU No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan
Atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, maka dapat diketahu ruang lingkup
ekonomi syariah meliputi: Bank Syariah, Reksa Dana Syariah, Obligasi Syariah, Asuransi
Syariah, Reasuransi Syariah, Lembaga Keuangan Mikro Syariah, dan surat berjangka
menengah syariah, dll.

6. Perbedaan Ekonomi Syariah dengan Ekonomi Konvensional

Berbeda dengan ekonomi konvensional (kapitalis dan sosialis) yang dikembangkan


oleh manusia. Maka kedudukan ekonomi syariah sangat mulia karena bukan hasil kreasi
atau pemikiran manusia tetapi dari wahyu Allah.
Dari perbedaan yang mendasar diatas, maka sebagai turunannya akan ada
perbedaan yang terletak pada motivasi, yaitu: pada aktivitas ekonomi syariah yang
menjadi motor penggerak adalah ibadah. Karena semua aktivitas ekonomi syariah adalah
bagian dari pelaksanaan perintah syariat. Sedangkan motivasi dalam aktivitas ekonomi
konvensional (kapitalis dan sosialis) adalah penguasaan materi atau harta, sehingga
terkadang mengabaikan etika dan moral.

E. SENGKETA-SENGKETA LAINNYA
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Prasetyo, Yoyok. 2018. Ekonomi Syariah. Bandung: Penerbit Aria Mandiri Group

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

DISERTASI

TESIS

Maspeke, Arifah. 2017. “Kedudukan Harta Bersama Dalam Perkawinan Menurut Fiqih dan
Hukum Positif Indonesia Serta Praktek Putusan Pengadilan Agama”. Tesis. Semarang:
Universitas Islam Sultan Agung Semarang

SKRIPSI

Mayanda, Fanny. 2014. “Penyelesaian Sengketa Pembagian Warisan Yang Dilaksanakan


Dalam Wilayah Hukum Mahkamah Syar’iyah”. Skripsi. Ilmu Hukum. Hukum.
Universitas Syiah Kuala, Darussalam Banda Aceh.

JURNAL

ARTIKEL

Faizal, Liky. 2015. “Harta Bersama Dalam Perkawinan”. Dalam Ijtima’iyya: Jurnal
Pengembangan Masyarakat Islam. Vol. 8 (2), hal 83-89. Lampung

MAKALAH

INTERNET

Aryanto, Heri. “Prosedur Mengajukan Perceraian di Pengadilan Agama dan Pengadilan


Negeri”. https://www.snhlawoffice.com/id/artikel/54-prosedur-mengajukan-perceraian-
di-pengadilan-agama-dan-pengadilan-negeri. Diakses pada 24 September 2021 pukul
19.03

Anda mungkin juga menyukai