a. Permohonan Talak
• Seorang suami yang akan menjatuhkan Talak kpd isterinya mengajukan permohonan
baik lisan maupun tertulis kpd Pengadilan Agama wilayah tempat tinggal isteri
disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu (ps
129 Kompilasi Bk I)
• Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan tsb dan terhadap
keputusan tsb dapat dimintakan Banding atau Kasasi.
• Sidang Pengadilan Agama dilakukan selambat2nya 30 hari setelah Permohonan
diterima dan memanggil Pemohon atau isterinya untuk meminta penjelasan berkaitan
maksud menjatuhkan Talak
• Setelah pengadilan Agama tidak berhasil menasehati kedua belah pihak dan
ternyata cukup alasan untuk menjatuhkan Talak serta ybs tidak mungkin hidup rukun
dalam rumah tangga , pengadilan Agama menjatuhkan keputusannya tentang ijin bagi
suami untuk mengikrarkan talak
• Setelah keputusan berkekuatan tetap , suami mengikrarkan talaknya didepan sidang
PA dihadiri oleh isteri atau kuasanya
• Bila suami tidak mengucapkan Ikrar Talak dalam tempo 6 (enam) bulan setelah
putusan Agama tentang Ijin Ikrar Talak maka hak suami untuk mengikrarkan Talak
gugur dan ikatan perkawinan tetap utuh
• Setelah sidang penyaksian ikrar Talak Pengadilan Agama membuat penetapan
tentang terjadinya Talak rangkap 4 (empat) yang merupakan bukti perceraian bagi
bekas suami dan isteri helai pertama beserta surat Ikrar dikirimkan kpd Pegawai
pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami untuk diadakan pencatatan ,
helai kedua dan ketiga masing-masing diberikan kepada suami isteri dan helai
keempat disimpan oleh Pengadilan Agama.
b. Gugatan perceraian
• Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya pd Pengadilan Agama yang
daerah hukumnya mewilayahi tempat penggugat , kecuali isteri meninggalkan tempat
kediaman bersama tanpa ijin suami.
• Dalam hal tergugat berkediaman diluar negeri Ketua PA memberitahukan gugatan
kpd Tergugat melalui Perwakilan RI setempat;
• Gugatan perceraian krn alasan ps 116 huruf b (meninggalkan tempat) dapat diajukan
setelah lampau 2 (dua) tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan rumah;
• Gugatan dapat diterima apabila Tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak
mau lagi kembali kerumah kediaman bersama;
• Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan Penggugat dan
Tergugat berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan Pengadilan
dapat menijinkan suami atau isteri tsb untuk tidak tinggal serumah;
• Selama berlangsungnya gugatan perceraian Penggugat atau Tergugat , pengadilan
Agama dapat menentukan nafkah yang ditanggung suami , menentukan hal2 yg perlu
untuk menjamin terpeliharanya barang bersama , barang hak suami/isteri.
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun Tahun 1974 tentang Perkawinan telah mengatur
lebih detai mengenai Perkawinan, salah satunya mengenai batasan umur atau usia
seseorang untuk menikah. Akan tetapi, dalam keadaan tertentu, perkawinan tersebut
dapat diizinkan dengan berbagai persyaratan serta prosedur tertentu. Pengaturan
batasan umur seseorang dapat dilihat pada Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan yang
berbunyi:
“Perkawinan akan diizinkan apabila pihak dari suami sudah mencapai umur 19 tahun,
serta pihak dari perempuan sudah mencapai umur 16 tahun.”
Tujuan ketentuan ini adalah untuk menjaga kesehatan suami istri serta keturunan dari
mereka. Kesehatan yang dimaksud adalah kesehatan fisik serta kesehatan mental yang
erat kaitannya dengan kematangan seseorang sebelum melakukan perkawinan.
Berdasarkan ketentuan pasal di atas, yang dimaksud dengan perkawinan dibawah
umur adalah, perkawinan yang dilakukan sebelum pihak pria mencapai usia 19
(sembilan belas) tahun, serta pihak perempuan belum mencapai usia 16 (enam belas)
tahun. Dibawah batas minimal usia tersebut maka harus mengajukan dispensasi nikah.
Pasal 7 ayat (2) jo. Pasal 1 huruf b UU Perkawinan dan PP Nomor 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjelaskan
bahwa pengajuan dispensasi itu harus diajukan ke Pengadilan sesuai dengan wilayah
tempat tinggal Pemohon. Maka, dalam hal ini kedua orang tua dari pihak laki-laki
atau kedua orang tua dari pihak perempuan harus mengajukan “Dispensasi Nikah” ke
Pengadilan, bagi yang beragama Islam (muslim) mengajukan ke Pengadilan Agama
(PA), dan bagi yang bergama non muslim mengajukan ke Pengadilan Negeri (PN)
untuk melaksanaan perkawinan dibawah umur.
3. Perjanjian perkawinan