Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

TATA CARA PERCERAIAN, TAQLIK TALAQ,


WAKTU TUNGGU, RUJU DAN PEMELIHARAAN
ANAK APABILA TERJADI PERCERAIAN
GUNA MEMENUHI TUGAS HUKUM PERDATA ISLAM DI
INDONESIA

DOSEN PENGAMPU : Muhammad Abduh, M, HI

OLEH :

BUBUN

NIM : 1602139

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM


TASIKMALAYA
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa,
karena atas berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah ini. Dalam makalah ini saya menjelaskan mengenai
Terorisme menurut hukum positif dan syari’at islam. Makalah ini saya buat
dalam rangka memperdalam matakuliah Hukum Perdata Islam di Indonesia.

Saya menyadari, dalam makalah ini masih banyak kesalahan dan


kekurangan. Hal ini disebabkan terbatasnya kemampuan, pengetahuan dan
pengalaman yang saya miliki. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan
saran. Demi perbaikan dan kesempurnaan. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.

Tasikmalaya, 20 April 2018

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................2

DAFTAR ISI.......................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN....................................................................................6

BAB III PENUTUP...........................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................27

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Tujuan perkawinan pada umumnya adalah untuk membina rumah tangga
yang bahagia, sejahtera, dan kekal abadi. Akan tetapi, proses kehidupan yang
terjadi terkadang tak jarang tidak sesuai dengan apa yang diimpikan. Hambatan
serta rintangannya pun bermacam-macam dan datang dari segala penjuru. Apabila
dalam perkawinan itu, sepasang suami dan istri tidak kuat dalam menghadapinya,
maka biasanya jalan yang ditempuh adalah perpisahan yang secara hukum
dikenal dengan perceraian.
Tetapi, tidak selamanya masalah yang datang akan mengakibatkan
perceraian. Karena kematian pun secara otomatis akan melekatkan status cerai
kepada suami atau istri yang ditinggalkan. Selain itu, keputusan hakim juga
berpengaruh dalam penentuan status. Apabila hakim tidak menghendaki atau
tidak memutus cerai maka pernikahan tersebut tidak bisa dikatakan telah bubar.
Permasalahannya adalah setiap peceraian atau status cerai yang diinginkan
dapat tercapai apabila dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang ada. Seperti,
syarat bagaimana suatu hubungan diperbolehkan untuk bercerai, alasan-alasan
yang diajukan memenuhi atau tidak, tata cara yang dilalui telah sesuai atau tidak,
hal ini sangat penting untuk diperhatikan. Karena, apabila tidak memenuhi hal-hal
tersebut, maka akan menimbulkan kerugian bahwasannya hubungan pernikahan
dianggap masih tetap berlangsung.

4
B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa definisi dari perceraian ?


2. Bagaimana tata cara perceraian ?
3. Apa itu taqlik talak ?
4. Apa itu waktu tunggu ?
5. Apa dan bagai manakah Ruju ?
6. Dan bagaimana pemeliharaan anak apabila terjadi percaraian ?

C. TUJUAN
1. Menjelaskan definisi dari perceraian ?
2. Menjelaskan Bagaimana tata cara perceraian ?
3. Menjelaskan Apa itu taqlik talak ?
4. Menjelaskan Apa itu waktu tunggu ?
5. Menjelaskan Apa dan bagai manakah Ruju ?
6. Menjelaskan bagaimana pemeliharaan anak apabila terjadi percaraian ?

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Perceraian
Perceraian adalah putusnya ikatan perkawinan antara suami isteri dengan
keputusan pengadilan dan ada cukup alasan bahwa diantara suami isteri tidak
akan dapat hidup rukun lagi sebagai suami isteri 1

Pada prinsipnya Undang-Undang Perkawinan adalah mempersulit adanya


perceraian tetapi tidak berarti Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur sama
sekali tentang tata cara perceraian bagi para suami isteri yang akan mengakhiri
ikatan perkawinannya dengan jalan perceraian

Pemeriksaan perkara perkawinan khususnya perkara perceraian, berlaku hukum


acara khusus, yaitu yang diatur dalam :
1. Undang-Undang
nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;
2. Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 jo Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama (Pasal 54-91);
3. Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanann Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;
4. Peraturan Menteri
Agama Nomor 2 Tahun 1987 Tentang Wali Hakim;
5. Peraturan-
pearaturan yang lain yang berkenaan dengan sengketa perkawinan;
6. Kitab-kitab fiqh
Islam sebagai sumber penemuan hukum;
7. Yurisprudensi
sebagai sumber hukum.
Perceraian yang terjadi karena keputusan Pengadilan Agama dapat terjadi
karena talak atau gugatan perceraian serta telah cukup adanya alasan yang
ditentukan oleh undang-undang setelah tidak berhasil didamaikan antara suami-
isteri tersebut (Pasal 114, Pasal 115 dan Pasal 116 KHI)

Pasal 114 KHI menjelaskan bahwa perceraian bagi umat Islam dapat terjadi
karena adanya permohonan talak dari pihak suami atau yang biasa disebut

1 Soemiyati, 1982:12

6
dengan cerai talak ataupun berdasarkan gugatan dari pihak istri atau yang biasa
disebut dengan cerai gugat.
Alasan Terjadinya Perceraian

Alasan-alasan yang dibenarkan oleh undang-undang dan menjadi landasan


terjadinya perceraian baik melalui cerai talak maupun cerai gugat tertuang dalam
Pasal 39 (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan jo. Pasal
19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 116 KHI.

Pasal 39 (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa untuk


melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak
akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.

Lebih lanjut mengenai alasan-alasan perceraian ditentukan dalam Pasal 19


Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa
perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-
turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain
diluar kemampuannya;

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang


membahayakan pihak yang lain;

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;

7
6. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi pertengkaran dan perselisihan
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

7. Suami melanggar taklik talak;

8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya


ketidakrukunan dalam rumah tangga.

8
B. Tatacara Perceraian

Proses pemeriksaan perkara perdata termasuk perkara perceraian setidak-


tidaknya terdiri dari delapan kali sidang yang meliputi:

1. Sidang 1 Perceraian

Sidang 1 yaitu pemeriksaan identitas para pihak, pembacaan surat gugatan


dan anjuran perdamaian, artinya sebelum pembacaan surat gugatan, hakim
wajib berusaha secara aktif dan bersungguh-sungguh untuk mendamaikan
kedua pihak
Selama perkara tersebut belum diputuskan, usaha untuk mendamaikan
tersebut dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan dalam sidang
perdamaian. Apabila ternyata upaya damai tidak berhasil maka sidang dapat
dilanjutkan ke tahap pembacaan gugatan.
Pada tahap pembacaan gugatan maka pihak penggugat berhak meneliti
ulang apakah seluruh materi yang tercantum dalam dalil gugat dan petitum
sudah benar dan lengkap. Hal-hal yang tercantum dalam surat gugat itulah
yang menjadi acuan atau objek pemeriksaan dan pemeriksaan tidak boleh
keluar dari lingkup yang termuat dalam surat gugatan.

2. Sidang 2 Perceraian

Sidang 2 yaitu jawaban tergugat, hal ini terjadi apabila tidak tercapai
perdamaian pada tahapan sidang pertama.

Dalam jawaban tergugat, penyampaiannya dapat berupa pengakuan yang


membenarkan isi dari gugatan penggugat baik secara keseluruhan maupun
sebagian dan dapat pula berupa bantahan atas isi gugatan disertai alasan-
alasannya atau bahkan mengajukan gugatan rekonvensi atau gugat balik.

3. Sidang 3 Perceraian

9
Sidang 3 yaitu Replik, artinya bahwa penggugat dapat menegaskan kembali
gugatannya yang disangkal oleh tergugat dan juga mempertahankan diri atas
serangan-serangan oleh tergugat.

Dalam tahap ini mungkin penggugat tetap mempertahankan gugatannya


dan menambah keterangan yang dianggap perlu untuk memperjelas dali-
dalilnya atau mungkin juga penggugat merubah sikap dengan memebenarkan
jawaban atau bantahan tergugat.

4. Sidang 4 Perceraian

Sidang 4 yaitu Duplik, artinya merupakan tahap bagi tergugat untuk


menjelaskan kembali jawabannya yang disangkal oleh penggugat.

Replik dan duplik (jawab-jinawab) dapat dilakukan berulang-ulang sampai


ada titik temu antara penggugat dan tergugat dan apabila hakim telah
memandang cukup tetapi masih ada hal-hal yang tidak disepakati oleh
pengugat dan tergugat sehingga pelu dibuktikan kebenarannya maka agenda
dilanjutkan dengan tahap pembuktian.

5. Sidang 5 Perceraian

Sidang 5 yaitu tahap pembuktian yaitu tahap bagi penggugat untuk


mengajukan semua alat bukti untuk mendukung dalil-dalil gugatannya.
Demikian juga terhadap tergugat, yang diberi kesempatan untuk mengajukan
alat-alat bukti untuk mendukung jawabannya atau sanggahannya.

6. Sidang 6 perceraian

Sidang 6 yaitu kesimpulan akhir dari para pihak. Pada tahap ini baik
penggugat maupun tergugat diberikan kesempatan yang sama untuk

10
mengajukan pendapat akhir tentang hasil pemeriksaan selama sidang
berlangsung, menurut pendapat masing-masing.

7. Sidang 7 Perceraian

Sidang 7 yaitu tahap putusan. Dalam tahap ini hakim merumuskan duduk
perkara dan pertimbangan hukum (pendapat hakim) mengenai perkara
tersebut disertai alasan-alasan dan dasar hukumnya, yang diakhiri dengan
putusan hakim mengenai perkara yang diperiksanya. Putusan hakim ini adalah
untuk mengakhiri sengketa para pihak.

11
C. Taqlik talak

Pengertian Taqlik Talak


Taqlik talak berasal dari dua kata yaitu taklik dan talak. Menurut bahasa
talak atau ithlaq berarti melepaskan atau meninggalkan. Dalam istilah agama
talak berarti melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan
perkawinan.
Taklik atau muallak artinya bergantung. Dengan demikian pengertian
taklik talak adalah talak yang jatuhnya digantungkan kepada suatu syarat.
Atau taklik talak adalah talak yang digantungkan terjadinya terhadap suatu
peristiwa tertentu sesuai dengan perjanjian. Atau taklik talak adalah suatu
talak yang digantungkan pada suatu hal yang mungkin terjadi yang telah
disebutkan dalam suatu perjanjian yang telah diperjanjikan lebih dulu. Atau
menggantungkan jatuhnya talak dengan terjadinya hal yang disebutkan
setelah akad nikah. Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa
taklik talak adalah talak yang jatuhnya digantungkan pada suatu perkara.

Dasar Hukum Taklik Talak


a. Qur’an surat An Nisa ayat 128
Artinya : Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak
acuh dari suaminya, Maka tidak Mengapa bagi keduanya mengadakan
perdamaian yang sebenar - benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi
mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul
dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak
acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan.
Nusyuz: yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. nusyuz dari pihak
isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya. nusyuz dari pihak suami
ialah bersikap keras terhadap isterinya; tidak mau menggaulinya dan tidak mau
memberikan haknya. seperti isteri bersedia beberapa haknya dikurangi Asal
suaminya mau baik kembali
b. KHI pasal 45 dan 116
Kompilasi hukum islam berbunyi : Kedua calon mempelai dapat

12
mengadakan perkawinan dalam bentuk :
1) Taklik talak.
2) Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Alasan perceraian menurut KHI pasal 116 adalah sebagai berikut :
1) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi,
dan lain sebagainya yang sulit disembuhkan.
2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuannya.
3) Salah satu pihak mendapat hukuman selama 5 tahun atau lebih berat
setelah perkawinannya berlangsung.
4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajiban suami istri.
6) Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan untuk rukun lagi dalam rumah tangga.
7) Suami melanggar taklik talak.
8) Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan ketidakrukunan dalam
rumah tangga
Macam-Macam Taklik Talak
Taklik talak ada dua macam yaitu:
a. Taklik qasami adalah taklik yang dimaksudkan seperti janji karena
mengandung pengertian melakukan pekerjaan atau meninggalkan
suatu perbuatan atau menguatkan suatu kabar.
b. Taklik syarthi adalah taklik yang dimaksudkan untuk menjatuhkan
talak jika telah terpenuhi syaratnya.
Adapun syarat sahnya talak taklik ada tiga yaitu:
a. Perkaranya belum ada tetapi mungkin terjadi di kemudian hari.
b. Hendaknya istri ketika lahirnya akad talak dapat dijatuhi talak.
c. Ketika terjadinya perkara yang ditaklikkan istri berada dalam
pemeliharan suami.
Perkara yang mungkin terjadi kemudian adalah perkara yang tidak terjadi
ketika taklik talak diucapkan,Serta bukan suatu perkara yang mustahil

13
terjadi. Jika perkara yang ditaklikkan itu hal mustahil terjadi maka hanya
dipandang main-main. Demikian halnya saat pengucapan taklik talak dan
ketika perkara yang ditaklikkan terjadi istri ada dalam pemeliharaan suami.
Dalam arti talak hanya berlaku bagi mereka yang memiliki ikatan
perkawinan tidak dibenarkan seorang laki-laki mengucapkan talak kepada
perempuan yang bukan istrinya.

Perbedaan Pendapat Tentang Taklik Talak


Menurut Ibnu Hazm dua jenis taklik talak di atas (taklik qasami dan taklik
syarthi) keduanya tidak sah dan ucapannya tidak mengandung akibat apa-
apa, dengan alasan bahwa Allah telah mengatur secara jelas mengenai talak.
Sedangkan taklik talak tidak ada tuntunannya dalam Al-Qur’an maupun
dalam As-Sunah. Ibnu Taymiyyah dan Ibnu Qayyim berpendapat bahwa
taklik talak yang berarti janji dipandang tidak berlaku sedang orang yang
mengucapkannya wajib membayar kafarat dengan memberi makan sepuluh
orang miskin atau memberi pakaian kepada mereka dan jika tidak,maka ia
wajib berpuasa selama tiga hari. Mengenai talak bersyarat keduanya
berpendapat bahwa talak bersyarat dianggap sah, apabila yang dijadikan
persyaratan telah terpenuhi.
D. Masa Tunggu / Masa Iddah
Masa ‘iddah adalah istilah yang diambil dari bahasa Arab dari kata (َّ‫)الععددة‬
‫ )اعلحح ص‬. Dinamakan demikian karena seorang
yang bermakna perhitungan (‫صاَء‬
menghitung masa suci atau bulan secara umum dalam menentukan selesainya
masa iddah.

Menurut istilah para ulama, masa ‘iddah ialah sebutan atau nama suatu
masa di mana seorang wanita menanti atau menangguhkan perkawinan
setelah ia ditinggalkan mati oleh suaminya atau setelah diceraikan baik
dengan menunggu kelahiran bayinya, atau berakhirnya beberapa quru’, atau
berakhirnya beberapa bulan yang sudah ditentukan.2

2 al-Wajîz fi Fiqhissunnah wal Kitâbil Azîz, hlm. 387 dan Mausû’atul Fiqhiyah al-Muyassarah fi
Fiqhil Kitâb was Sunnah al-Muthahharah, 5/383

14
Ada yang menyatakan, masa ‘iddah adalah istilah untuk masa tunggu
seorang wanita untuk memastikan bahwa dia tidak hamil atau karena ta’abbud
atau untuk menghilangkan rasa sedih atas sang suami 3

3 Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah 29/304

15
Hikmah Iddah
Para ulama memberikan keterangan tentang hikmah pensyariatan masa
‘iddah, diantaranya:
1. Untuk memastikan apakah wanita tersebut sedang hamil atau tidak.
2. Syariat Islam telah mensyariatkan masa ‘iddah untuk menghindari
ketidakjelasan garis keturunan yang muncul jika seorang wanita ditekan untuk
segera menikah.
3. Masa ‘iddah disyari’atkan untuk menunjukkan betapa agung dan mulianya
sebuah akad pernikahan.
4. Masa ‘iddah disyari’atkan agar kaum pria dan wanita berpikir ulang jika
hendak memutuskan tali kekeluargaan, terutama dalam kasus perceraian.
5. Masa ‘iddah disyari’atkan untuk menjaga hak janin berupa nafkah dan
lainnya apabila wanita yang dicerai sedang hamil.

Dalil dari al-Qur`ân yaitu firman Allâh Azza wa Jalla :


‫صةن بهأ ةننفر ه‬
‫سههنن ثةةلثةةة قررروُءء‬ ‫ةوُاَنلرمطةلنةقاَ ر‬
‫ت يةتةةربن ن‬
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru’ [al-Baqarah 2:228]

Aturan-aturan massa iddah


Masa iddah diwajibkan pada semua wanita yang berpisah dari suaminya
dengan sebab talak, khulu’ (gugat cerai), faskh (penggagalan akad
pernikahan) atau ditinggal mati, dengan syarat sang suami telah melakukan
hubungan suami istri dengannya atau telah diberikan kesempatan dan
4
kemampuan yang cukup untuk melakukannya Berdasarkan ini, berarti
wanita yang dicerai atau ditinggal mati oleh suaminya sebelum digauli atau
belum ada kesempatan untuk itu, maka dia tidak memiliki masa iddah. Allâh
Azza wa Jalla berfirman :
َّ‫طلدحقتككمعوُّهكدن عمعحن قصحبععل أصحن تصصمسَسعوُّهكدن فصصمعاَ لصككعحم صعلصحيعهعدن عمعحن عععددةة‬ ‫صيِاَ أصسَيِصهاَ الدعذيِصن آصمكنوُّا إعصذا نصصكححكتعكم احلكمحؤعمصنعاَ ع‬
‫ت كثعدم ص‬
َ‫تصحعتصسَدوُّنصصها‬
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-
perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu
mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu
4 al-Mulakhash al-Fiqhi 2/420

16
yang kamu minta menyempurnakannya. [al-Ahzâb/33:49]
Berdasarkan keterangan di atas dan berdasarkan penyebab perpisahannya,
masalah ‘iddah ini dapat dirinci sebagai berikut :
1. Wanita Yang Ditinggal Mati Oleh Suaminya
Wanita yang ditinggal mati oleh suaminya memiliki dua keadaan :

a. Wanita yang ditinggal mati suaminya ketika sedang hamil. Wanita ini maka
masa menunggunya (‘iddah) berakhir setelah ia melahirkan bayinya,
berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla,
‫صوُّكأوُّصل ك‬
‫ت احلصححصماَعل أصصجلكهكدن أصحن يِص ص‬
‫ضحعصن صححملصهكدن‬
Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai
mereka melahirkan kandungannya. [ath-Thalaq/65:4].
Keumuman ayat ini di kuatkan dengan hadits al-Miswar bin Makhramah
Radhiyallahu anhu yang berbunyi :
‫اك صعلصحيعه صوُّصسلدصم صفاَحستصأحصذنصحتهك أصحن تصحنعكصح‬
‫صدلىَّ د‬ ‫أصدن كسبصحيصعةص احلصحسلصعميدةص نكفعصس ح‬
‫ت بصحعصد صوُّصفاَعةَّ صزحوُّعجصهاَ بعلصصياَةل فصصجاَصء ح‬
‫ت الندبع د‬
‫ي ص‬
‫فصأ صعذصن لصصهاَ فصنصصكصح ح‬
‫ت‬
Subai’ah al-Aslamiyah Radhiyallahu anhuma melahirkan dan bernifas
setelah kematian suaminya. Lalu ia, mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam lantas meminta idzin kepada beliau untuk menikah (lagi). Kemudian
beliau mengizinkannya, lalu ia segera menikah (lagi). [al-Bukhâri no. 5320
dan Muslim no.1485].
b. Wanita tersebut tidak hamil. Jika tidak hamil, maka masa ‘iddahnya adalah
empat bulan sepuluh hari. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
‫صصن بعأ صحنفكعسعهدن أصحربصصعةص أصحشهكةر صوُّصعحشررا فصإ عصذا بصلصحغصن أصصجلصهكدن فصصل كجصناَصح‬‫صوُّالدعذيِصن يِكتصصوُّفدحوُّصن عمحنككحم صوُّيِصصذكروُّصن أصحزصوُّارجاَ يِصتصصربد ح‬
‫اك بعصماَ تصحعصمكلوُّصن صخعبيرر‬ ‫صعلصحيككحم عفيصماَ فصصعحلصن عفي أصحنفكعسعهدن عباَحلصمحعكروُّ ع‬
‫ف ِ صوُّ د‬
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan
isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah)
empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka
tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri
mereka menurut yang patut. Allâh mengetahui apa yang kamu perbuat. [al-
Baqarah/2: 234]

2. Wanita Yang Diceraikan


Wanita yang dicerai juga ada dua macam yaitu wanita yang dicerai dengan

17
thalak raj’i (thalak yang bisa ruju’) dan wanita yang ditalak dengan thalak
bâ’in (thalak tiga).
Wanita yang dicerai dengan talak raj’i terbagi menjadi beberapa :
1. Wanita yang masih haidh
Masa ‘iddah wanita jenis ini adalah tiga kali haidh, berdasarkan firman Allâh
Azza wa Jalla :
‫صصن بعأ صحنفكعسعهدن ثصصلثصةص قككروُّةء‬ ‫صوُّاحلكم ص‬
‫طلدصقاَ ك‬
‫ت يِصتصصربد ح‬
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru’ [al-Baqarah/2: 228]
Menurut pendapat yang rajih, quru’ artinya haidh, berdasarkan hadits
A’isyah Radhiyallahu anhuma yang berbunyi :
َ‫صصلةَّص أصديِاَصم أصحقصرائعصها‬
‫اك صعلصحيعه صوُّصسلدصم فصأ صصمصرصهاَ أصحن تصصدصع ال د‬
‫صدلىَّ د‬ ‫ض فصصسأ صلص ح‬
‫ت الندبع د‬
‫ي ص‬ ‫أصدن أكدم صحعبيبصةص صكاَنص ح‬
‫ت تكحستصصحاَ ك‬
Sesungguhnya ummu Habibah pernah mengalami pendarahan
(istihadhah/darah penyakit), lalu dia bertanya kepada Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan Nabi memerintahkannya untuk meninggalkan shalat
pada hari-hari quru’nya (haidhnya). [HR Abu Dâud no. 252 dan dishahihkan
syaikh al-Albani dalam Shahih Abi Dâud]
Oleh karena itu Ibnul Qayyim rahimahullah merajihkan pendapat ini dan
mengatakan, “Lafazh quru’ tidak digunakan dalam syariat kecuali untuk
pengertian haidh dan tidak ada satu pun digunakan untuk pengertian suci
(thuhr), sehingga memahami pengertian quru’ dalam ayat ini dengan
pengertian yang sudah dikenal dalam bahasa syariat lebih baik. Karena Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada orang yang kena darah istihâdlah
:
‫صصلةَّص أصديِاَصم أصحقصرائع ع‬
‫ك‬ ‫صدععحي ال د‬
Tinggalkan shalat selama masa-masa haidhmu.
2. Wanita yang tidak haidh, baik karena belum pernah haidh atau sudah
manopause .
Bagi wanita yang seperti ini masa ‘iddahnya adalah tiga bulan, seperti
dijelaskan Allâh Azza wa Jalla dalam firman-Nya:
‫ض عمحن نعصساَئعككحم إععن احرتصحبتكحم فصععددتكهكدن ثصصلثصةك أصحشهكةر صوُّالدلعئي لصحم يِصعح ح‬
‫ضصن‬ ‫صوُّالدلعئي يِصئعحسصن عمصن احلصمعحي ع‬
Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya),
maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-

18
perempuan yang tidak haid. [at-Thalaq/65:4]
3. Wanita Hamil.
Wanita yang hamil bila dicerai memiliki masa iddah yang berakhir dengan
melahirkan, berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla :
‫صوُّكأوُّصل ك‬
‫ت احلصححصماَعل أصصجلكهكدن أصحن يِص ص‬
‫ضحعصن صححملصهكدن‬
Dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-
perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya. [ath-Thalaq/65:4]
4. Wanita yang terkena darah istihadhah.
Wanita yang terkena darah istihadhah memiliki masa iddah sama dengan
wanita haidh. Kemudian bila ia memiliki kebiasaan haidh yang teratur
maka wajib baginya untuk memperhatikan kebiasannya dalam hadih dan
suci. Apabila telah berlalu tiga kali haidh maka selesailah iddahnya.5
b. Wanita yang ditalak tiga (talak baa’in).
Wanita yang telah di talak tiga hanya menunggu sekali haidh saja untuk
memastikan dia tidak sedang hamil. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah menyatakan, “Wanita yang dicerai dengan tiga kali talak,
masa iddahnya sekali haidh.
Dengan haidh sekali berarti sudah terbukti bahwa rahim kosong dari janin dan
setelah itu ia boleh menikah lagi dengan lelaki lain 6
3. Wanita Yang Melakukan Gugat Cerai (Khulu’).
Wanita yang berpisah dengan sebab gugat cerai, masa ‘iddahnya sekali
haidh[10] , sebagaimana ditunjukkan oleh beberapa hadits dibawah ini:
َ‫اك صعلصحيعه صوُّصسلدصم فصأ صصمصرصها‬
‫صدلىَّ د‬ ‫س احختصلصصع ح‬
‫ت عمحن صزحوُّعجصهاَ صعصلىَّ صعحهعد الندبعيي ص‬ ‫ت حبعن قصحي ة‬ ‫س أصدن احمصرأصةَّص صثاَبع ع‬
‫صعحن احبعن صعدباَ ة‬
‫ضةة‬‫اك صعلصحيعه صوُّصسلدصم أصحن تصحعتصدد بعصححي ص‬‫صدلىَّ د‬‫الندبعسَي ص‬
Dari Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu bahwa istri Tsabit bin Qais menggugat
cerai dari suaminya pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk menunggu
sekali haidh. [HR Abu Dâud dan at-Tirmidzi dan dishahihkan oleh syaikh al-
Albâni dalam Shahîh Sunan Abu Dâud no.1 950].
Juga hadits yang berbunyi :
‫اك‬ ‫اك صعلصحيعه صوُّصسلدصم فصأ صصمصرصهاَ الندبعسَي ص‬
‫صدلىَّ د‬ ‫صدلىَّ د‬ ‫ت كمصعيوُّعذ حبعن صعحفصراصءأصندصهاَ احختصلصصع ح‬
‫ت صعصلىَّ صعحهعد الندبعيي ص‬ ‫صعحن السَربصييعع بعحن ع‬

5 Mausû’atul Fiqhiyah al-Muyassarah 5/392


6 Mausû’atul Fiqhiyah al-Muyassarah, 5/392

19
‫صعلصحيعه صوُّصسلدصم أصحوُّ أكعمصر ح‬
‫ت أصحن تصحعتصدد بعصححي ص‬
‫ضةة‬
Dari ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz bin ‘Afra’ bahwa beliau mengajukan
gugat cerai di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk menunggu iddahnya
satu kali haidh. [HR at-Tirmidzi dan dishahihkan al-Albâni dalm Shahîh
Sunan at-Tirmidzi no. 945].

Perubahan standar masa iddah dari hitungan bulan ke hitungan haid


Apabila seorang wanita memulai iddahnya dengan hitungan bulan karena
tidak haidh, baik karena masih kecil atau telah memasuki masa menopause,
namun jika disaat menjalani masa ‘iddah ini mengeluarkan haidh, maka wajib
baginya untuk pindah dari hitungan bulan ke hitungan haidh. Karena hitungan
bulan adalah pengganti dari haidh. Oleh karena itu, menghitung dengan bulan
tidak boleh dipakai selama masih ada haidh yang merupakan standar pokok.
Apabila masa ‘iddah dengan hitungan bulan tersebut telah tuntas, kemudian
baru mengalami haidh , maka tidak wajib memulai masa iddah dari awal lagi
dengan hitungan haidh. Karena haidh ada setelah selesai masa iddahnya
berlalu.
Apabila seorang wanita memulai hitungan masa ‘iddahnya dengan haidh
atau bulan kemudian ternyata dia hamil dari suaminya tersebut, maka
‘iddahnya berubah menjadi ‘iddah wanita hamil yaitu sampai melahirkan7
E. Ruju
Pelaksanaan Rujuk Menurut KHI
Proses pelaksanaan rujuk yang diatur oleh Kompilasi Hukum Islam (KHI),
terdapat dalam BUKU 1 tentang Hukum Perkawinan pada bab XVIII. Di
dalam bab tersebut di uraikan prosesnya dalam bentuk pasal-pasal yaitu
sebanyak tujuh pasal yang dimulai dari pasal 36 sampai dengan pasal 169
yang terbagi kepada dua bagian, sebagai berikut:
BAGIAN KESATU (UMUM)
Pasal 163:
(1) Seorang suami dapat merujuk istrinya yang dalam masa iddah.
(2) Rujuk dapat dilakukan dalam hal-hal :

7 Mausû’atul Fiqhiyah al-Muyassarah 5/393

20
a. Putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak yang telah jatuh tiga kali
atau talak yang dijatuhkan qobla dukhul.
b. Putusnya perkawinan berdasarkan putusan pengadilan dengan alasan atau
alasan-alasan selain zina dan khulu’.
Pasal 164 :
Seorang wanita dalam iddah talak raj’i berhak mengajukan keberatan atas
kehendak rujuk dari bekas suaminya dihadapan Pegewai Pencatat Nikah
disaksikan dua orang saksi.
Pasal 165 :
Rujuk yang dilakukan tanpa persetujuan bekas istri, dapat dinyatakan tidak
sah dengan putusan Pengadilan Agama.
Pasal 166 :
Rujuk harus dapat dibuktikan dengan Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk dan
bila bukti tersebut hilang atau rusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi,
dapat dimintakan duplikatnya kepada instansi yang mengeluarkannya semula.
BAGIAN KEDUA (TATA CARA RUJUK)
Pasal 167:
(1) Suami yang hendak merujuk istrinya datang bersama-sama istrinya ke
Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah yang
mewilayahi tempat tinggal suami istri dengan membawa penetapan tentang
terjadinya talak dan surat keterangan lain yang diperlukan.
(2) Rujuk dilakukan dengan persetujuan istri dihadapan Pegawai Pencatat
Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah.
(3) Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah
memeriksa dan menyelidiki apakah suami yang akan merujuk itu memenuhi
syarat-syarat merujuk menurut hukum munakahat, apakah rujuk yang
dilakukan itu masih dalam masa iddah talak raj’i, apakah perempuan yang
akan dirujuk itu adalah istrinya.
(4) Setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang
bersangkutan beserta saksi-saksi menandatangani Buku Pendaftaran Rujuk.
(5) Setelah rujuk itu dilaksanakan, Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu
Pegawai Pencatat Nikah menasehati susmi istri tentang hukum-hukum dan
kewajiban mereka yang berhubungan dengan rujuk.
Pasal 168 :

21
(1) Dalam hal rujuk dilakukan dihadapan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah
daftar rujuk dibuat rangkap 2 (dua), diisi dan ditandatangani oleh masing-
masing yang bersangkutan beserta saksi-saksi, sehelai dikirim kepada
Pegawai Pencatat Nikah yang melayaninya, disertai surat-surat keterangan
yang diperlukan untuk dicatat dalam buku Pendaftaran Rujuk dan yang lain
disimpan.
(2) Pengiriman lembar pertama dari daftar rujuk oleh Pembantu Pegawai
Nikah dilakukan selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari sesudah rujuk
dilakukan.
(3) Apabila lembar pertama dari daftar rujuk itu hilang, maka Pembantu
Pegawai Pencatat Nikah membuatkan salinan dari daftar lembar kedua,
dengan berita acara tentang sebab-sebab hilangnya.
Pasal 169 :
(1) Pegawai Pencatat Nikah Membuat surat keterangan tentang terjadinya
rujuk dan mengirimkannya kepada Pengadilan Agama di tempat
berlangsungnya talak yang bersangkutan, dan kepada suami dan istri masing-
masing diberikan kutipan Buku Pendaftaran rujuk menurut contoh yang
ditetapkan oleh Menteri Agama.
(2) Suami istri atau kuasanya membawa Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk
tersebut dating ke Pengadilan Agama di tempat berlangsungnya talakdahulu
untuk mengurus dan mengambil Kutipan Akta Nikah masing-masing yang
bersangkutan setelah diberi catatan oleh Pengadilan Agama dalam ruang yang
telah tersedia pada Kutipan Akta Nikah tersebut, bahwa yang bersangkutan
benar telah rujuk.
(3) Catatan yang dimaksud ayat (2) berisi tempat terjadinya rujuk, tanggal
rujuk diikrarkan, nomor dan tanggal Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk dan
tanda tangan panitera.
Dari rincian pasal di atas dapat dipahami bahwa dalam pelaksanaan proses
rujuk harus melalui tahapan-tahapan dan ketentuan-ketentuan yang baru serta
harus ditaati oleh kedua belah pihak. Proses ini merupakan hasil ijtihad para
ulama yang menginginkan pembaharuan dan perbaikan serta kemashlahatan
umat Islam di Indonesia.
Dalam pasal 164 dan 165 disyaratkan adanya persetujuan istri dalam proses
rujuk yang dilakukan oleh seorang suami terhadap istri yang telah ditalaknya.

22
Disebutkan secara tegas bahwa seorang wanita dalam iddah talak raj’i berhak
mengajukan keberatan atas kehendak rujuk dari bekas suaminya di hadapan
PPN disaksikan dua orang saksi, kemudian pada pasal berikutnya (165); rujuk
yang dilakukan tanpa persetujuan bekas istri, dapat dinyatakan tidak sah
dengan putusan PA.

Adapun syarat sahnya rujuk, di antaranya:


1. Rujuk setelah talak satu dan dua saja, baik talak tersebut langsung dari
suami atau dari hakim.
2. Rujuk dari istri yang ditalak dalam keadaan pernah digauli. Apabila istri
yang ditalak tersebut sama sekali belum pernah digauli, maka tidak ada rujuk.
Demikian menurut kesepakatan ulama.
3. Rujuk dilakukan selama masa ‘iddah. Apabila telah lewat masa ‘iddah
-menurut kesepakatan ulama fikih- tidak ada rujuk.
Dalam rujuk, tidak disyaratkan keridhaan dari wanita. Sedangkan bila masih
dalam masa ‘iddah, maka anda lebih berhak untuk diterima rujuknya,
walaupun sang wanita tidak menyukainya. Dan bila telah keluar (selesai) dari
masa ‘iddah tetapi belum ada kata rujuk, maka sang wanita bebas memilih
yang lain. Bila wanita itu kembali menerima mantan suaminya, maka wajib
diadakan nikah baru.

F. Pemeliharaan anak apabila terjadi perceraian

Pada dasarnya orang tua bertanggung jawab terhadap pemeliharaan anak-


anaknnya baik dalam keadan rukun maupun dalam keadaan sudah bercerai.
KHI menjelaskan sebagai berikut. pasal 98 KHI,
(1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun.
Sepanjang anak tersebut tidak cacat fisisk maupun mental atau belum pernah
melangsungkan perkawinan;
(2) Orang tuannya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hokum
di dalam dan di luar pengadilan;
(3) Pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang
mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuannya
meninggal.

23
Dan ini dirumuskan hukum dalam undang-undang perkawinan pasal 41
tentang pemeliharaan anak tersebut berikut ini bunyinya,
Pasal 41 UUP
Akibat putusnya perkawinana karena perceraian ialah
a. Baik ibu atau ayah tetap berkewajiban memlihara dan mendidik anak-
anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana ada
perselidihan mengenai penguasaan anak-anak pengadilan memeberi
keputusan.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua pemeliharaan dan pendidikan
yang diperlukan anak itu: bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat
memenuhi kewajiabn tersebut, mengadilan dapat menentukan bahwqa ibu
ikut memikul biaya tersebut;
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri
Pada undang-undang perkawinan tersebut, penekatanannya berfokus pada
nilai materiil, sedangkan pada pasal 105 Kompilasi Hokum Islam
penekanannya meliputi dua aspek yaitu materiil dan non materil, berikut
bunyi pasal 105 KHI
Dalam hal terjadinnya perceraian :
a. Pemeliharaan anak yang belum mumaiyyiz atau belum berumur 12 tahun
adalah hak ibunya.

b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk


memilih diantara ayah dan ibunyasebagai pemegang hak pemeliharaannya;

c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

Ketentuan KHI tersebut , tambak bahwa tanggung jawab seiorang ayah


kepada anaknnya tidak dapat gugur walaupun ia sudah bercerai dengan
istrinya atau ia sudah kawin lagi. Orang tua dapat dicabut atau dialihkan
kekuasaannya bila ada alasan-alasan yang menuntut pengadilan tersebut. Hal
ini berdasarkan pasal 49 undang-undang perkawinan berikut ini,

(1) Salah seorang atau dua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap
seorang anak atau lebih untuk waktu tertentu atas permintaan orang tua yang
lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan suadara kandung yang telah

24
dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan pengadilan dalam
hal-hal:

a. Ia sangat melalaikan kewajiban terhadap anaknya;

b. Ia berkelakuan buruk sekali.

(2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap


berkewajiban untuk memberbiaya pemeliharaan kepada anak tersebut.

Pasal 106:

1. Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya


yang belum dewasa atau di bawah pengampuan dan tidak diperbolehkan
memindahkan atau menggadaikannya kecuali kerena keperluan yang
mendesak jika kepentingan dan kemaslahatan anak itu menghendaki atau
suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari.

2. Orang itu bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena


kesalahan dan kelalaian dari kewajiban tersebut pada ayat (1).

Kalau percerain dilakukan oleh pegawai negeri, orang tua terikat dengan
tanggung jawab terhadap anaknya. Hal ini diatur oleh pemerintah melalui
surat Edaran Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara (BAKN) No.
08/SE/1983 pada poin 19 yang menyatakan: Apabila perceraian terjadi atas
kehendak negeri sipil pria, maka ia wajib menyerahkan sebagaian gajinya
untuk kehidupan bekas istri dan anak-anaknya.

25
BAB III
KESIMPULAN

Suatu perkawinan tentunya dibangun dengan harapan untuk mewujudkan


keluarga yang bahagia,kekal dan abadi sampai akhir hayat. Akan tetapi
kenyataannya perkawinan tersebut terkadang tidak selamanya berjalan sesuai
dengan apa yang diharapkan. Banyak perkawinan berakhir di tengah
jalan.Berakhirnya perkawinan biasanya disebut juga dengan putusnya
perkawinan.
Secara garis besar menurut Kompilasi Hukum Islam dan UU no.1 tahun 1974
tentang Perkawinan, putusnya perkawinan disebabkan oleh beberpa hal, yaitu:
kematian, perceraian dan keputusnya pengadilan.
Perceraian itu sendiri merupakan hal yang dibolehkan namun dibenci oleh
Allah SWT. Putusnya perkawinan yang disebabkan oleh perceraian biasanya
disebabkan oleh talaq atau berdasarkan gugatan cerai.
Arti talaq itu sendiri berarti membuka ikatan atau membatalkan perjanjian.
Secara umum talaq diartikan sebagai peceraian baik yang dijatuhkan oleh
suami, yang ditetapkan oleh hakim, maupun perceraian yang jatuh dengan
sendirinya atau perceraian karena meninggalnya suami atau istri. Sedangkan
secara khusus, talaq diartikan sebagai perceraian yang dijatuhkan oleh suami.
(Mulati, 1999)
Dalam pasal 115 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan pasal 39 ayat (1) UU
no.1 tahun 1974 tentang Perkawinan dijelaskan bahwa putusnya perkawinan
yang disebabkan oleh perceraian hanya bisa dilakukan di hadapan sidang
pengadilan, tentunya setelah pengadilan mengadakan usaha untuk
mendamaikan kedua belah pihak terlebih dahulu namun tidak berhasil. Pasal
39 ayat (2) UU no.1 tahun 1974 tentang Perkawinan juga memaparkan bahwa
untuk melakukan perceraian harus didasari oleh alasan yang cukup bahwa
kedua belah pihak tidak dapat lagi hidup rukun sebagai suami-istri.
Adapun alasan-alasan dari terjadinya perceraian di paparkan dalam Pasal 116
UU no.1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal tersebut berbunyi:
1. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
2. salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-
turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alas an yang sah atau karena hal lain
diluar kemampuannya.
3. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman

26
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain.
5. salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
6. antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
7. suami melanggar taklik-talak.
8. peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak
rukunan dalam rumah tangga.
Menurut hukum Islam suami memiliki hak untuk menjatuhkan talaq
kepada istrinya sesuai dengan alasan-alasan yang terdapat dalam UU
Perkawinan dan KHI. Di Pengadilan Agama maupun di Pengadilan Negeri
dikenal istilah Cerai Talaq, sedangkan untuk putusan pengadilannya sendiri
dikenal juga istilah cerai gugat. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa
cerai talaq adalah cerai yang dijatuhkan oleh suami kepada istri. Sedangkan
cerai gugat adalah cerai yang dijatuhkan oleh istri kepada suami. Disinilah
letak perbedaannya.
Pernyataan talaq seorang suami kepada istrinya haruslah dilegalisasi di
depan pengadilan. Setelah pernyataan talaq tersebut dilegalisasi di hadapan
pengadilan kemudian pengadilan memberikan Legal Formal, yaitu pemberian
surat sah atas permohonan talaq dari suami. Pemberian Legal formal ini
tentunya mengacu pada alasan-alasan cerai pada UU Perkawinan. Pada proses
pemberian legal formal ini, hakim memberikan jangka waktu kepada suami
untuk memikirkan kembali pernyataan suami untuk menjatuhkan talaq. Pada
dasarnya pernyataan talaq tidak boleh diucapkan pada saat suasana hati
diliputi emosi. Oleh karena itu sejak dikeluarkannya Surat Edaran dari
Mahkamah Agung (SEMA) no.1 tahun 2002 Pengadilan Agama diharuskan
memberikan sarana mediasi dan mengoptimalkan lembaga mediasi tersebut
bagi pasangan suami-istri yang akan bercerai.
Dengan pemberlakuan lembaga mediasi ini banyak permohonan talaq yang
ditolak oleh Pengadilan Agama. Ada banyak alasan yang membuat Pengadilan
Agama menolak permohonan talaq, antara lain : 1) karena permohonan
tersebut tidak sesuai dengan ketentuan UU; 2) positanya obscuur (tidak jelas);
3) antara posita dan petitumnya bertentangan.
Harus diakui bahwa dengan adanya lembaga mediasi dan difungsikannya
secara optiomal lembaga tersebut membawa banyak dampak positif. Lembaga

27
mediasi ini selalu berpulang pada syar’i. Al-Qur’an selalu kembali pada
lembaga hakam itu. Jadi, hakam dari pihak suami dan hakam dari pihak istri.
Jadi, setiap perkara yang bisa diarahkan dengan menggunakan lembaga
hakam dan mengarah pada syiqoq, sebisa mungkin menggunakan lembaga
mediasi. Lembaga mediasi ini maksudkan agar permohonan cerai suami-istri
dapat berakhir dengan berdamainya kedua belah pihak dengan kata lain
suami-istri tersebut tidak jadi meneruskan permohonan cerai tersebut.
Tata cara pengajuan permohonan dan gugatan perceraian bisa secara tertulis
maupun secara lisan. Apabila suami mengajukan permohonan talak, maka
permohonan tersebut diajukan di tempat tinggal si istri. Sedangkan apabila
istri mengajukan gugatan cerai, gugatan tersebut juga diajukan ke pengadilan
dimana si istri tinggal. Dalam hal ini, kaum istri memang mendapatkan
kemudahan sebagaimana diatur dalam hukum Islam. Mengenai tempat
pengajuan gugatan perceraian mengacu pada pasal 118 HIR. (Thohir, 2003)
Setelah cerai, maka bagi istri berlaku masa tunggu (masa iddhah), yaitu
selama tiga nulam sepuluh hari. Sedangkan bagi wanita yang sedang hamil,
maka masa iddhah nya adalah sampai dia melahirkan. Masa idhah tersebut
berlaku ketika putusan hakim berkekuatan hukum tetap. Sedangkan untuk
kasus cerai talak, maka masa iddhah berlaku setelah permohonan talak suami
dilegalkan oleh Pengadilan Agama.
Apabila masa iddhah telah lewat dan mantan suami istri ingin kembali
rujuk, maka mereka pun dapat kembali rujuk. Kecuali suami telah
menjatuhkan talaq tiga kepada istrinya. Apabila hal itu terjadi maka suami
tidak dapat lagi rujuk dengan istrinya kecuali istrinya telah menikah lagi
dengan pria lain kemudian pria tersebut menceraikan si istri barulah suami
terdahulunya dapat menikahi kembali si istri. Secara umum, rujuk artinya
adalah kembali.
Pasal 41 UU no.1 tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan Akibat
putusnya perkawinan karena perceraian ialah : a). Baik ibu atau bapak tetap
berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata
berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai
penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya; b). Bapak yang
bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi
kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul

28
biaya tersebut; c). Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk
memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi
bekas isteri.
Melihat pasal ini jelas sekali bahwa walaupun telah terjadi perceraian
masing-masing pihak dalam hal ini suami dan istri tetap memiliki
tanggungjawab terhadap anak dari hasil perkawinan mereka. Sang suami pun
tetap memiliki tanggungjawab terhadap bekas istrinya selama bekas istrinya
belum memiliki suami lagi.
Adanya UU Perkawinan dan KHI dimaksudkan agar kita bersama-sama
lebih dapat memaknai arti dari suatu lembaga perkawinan sehingga kita,
khususnya para pasangan suami-istri tidak lekas-lekas memutuskan untuk
bercerai ketika dirasa sudah tidak ada lagi keharmonisan dalam biduk rumah
tangga.

29
DAFTAR PUSTAKA
 Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah 29/304)
 al-Wajîz fi Fiqhissunnah wal Kitâbil Azîz, hlm. 387 dan Mausû’atul
Fiqhiyah al-Muyassarah fi Fiqhil Kitâb was Sunnah al-
Muthahharah, 5/383
 Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah 29/304
 al-Mulakhash al-Fiqhi, 2/419-420 dan Taudhîhul Ahkâm bi Syarhi
Bulûghil Maram 5/561-562.
 Mausû’atul Fiqhiyah al-Muyassarah, 2/383 dan Taudhîhul Ahkâm bi
Syarhi Bulûghil Maram 5/561
 al-Mulakhash al-Fiqhi 2/420
 Zâdul Ma’âd, 5/609
 Mausû’atul Fiqhiyah al-Muyassarah 5/392.
 Mausû’atul Fiqhiyah al-Muyassarah, 5/392
 Diambil dari Mausû’atul Fiqhiyah al-Muyassarah 5/392-393
 Diambil dari Mausû’atul Fiqhiyah al-Muyassarah 5/393
 Sailul Jarrar 2/388
 Tafsîr Ibnu Katsîr (5/342- cet Dâru Thayyibah).
 Tafsîr Ibnu Katsîr (4/34).
 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006),
hlm. 67
 UU Perkawinan dan Kompilasi Hokum Islam, (Yogyakarta: Pustaka
Yustisia, 2008),
 Abdul Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat, hlm 185
 Undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1947 tentang perkawinan,
pasal 45 ayat (1) dan (2)
 Abdul Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat,
 KHI (Kompilasi Hukum Islam)

30

Anda mungkin juga menyukai