Anda di halaman 1dari 8

TINJAUAN TERHADAP UNDANG-UNDANG NO.

01 TAHUN 1974
TENTANG PERKAWINAN TERHADAP TINGGINYA ANGKA
PERCERAIAN DIKABUPATEN KOTAWARINGIN TIMUR

PROPOSAL SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Metodelogi Penelitian
Hukum

Oleh:

SAHIBUL ANHAR
NIM. 1802110614

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA


FAKULTAS SYARI’AH JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
TAHUN 2020 M / 1441

i
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hakikatnya manusia diciptakan hidup berpasang-pasangan, ketika
manusia telah menemukan pasangan yang tepat untuk menghabiskan waktu
bersama dalam mencapai tujuan hidup yang sebenarnya, maka Allah Subhanahu
Wa Ta ’ala menganjurkan keduanya untuk mengesahkan dan mengikatkan diri
dalam ikatan yang halal yaitu “pernikahan atau perkawinan”.1 Hal demikian
dilakukan agar terhindar dari fitnah syahwat dan dengan adanya pasangan yang
telah sah dan halal maka akan dapat menentramkan. Sebagaimana Firman Allah
dalam Al-Quran Surat Ar-Rum Ayat 21 sebagai berikut :
“Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-
pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya. Dan Dia menjadikan diantaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum
yang berpikir.”2
Perkawinan adalah sebuah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah
tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini
sesuai dengan yang tercantum di dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan dan selanjutnya disebut pula Undang-Undang
Perkawinan.3 Definisi perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974
merupakan tujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal.
Akan tetapi, tidak semua rumah tangga dapat menggapai tujuan
perkawinannya tersebut, hal ini disebabkan berbagai permasalahan yang tidak bisa
lagi diselesaikan dengan baik sehingga suami istri memilih untuk mengakhiri
rumah tangga mereka. Perceraian yang merupakan putusnya hubungan suami istri
menjadi salah satu alternatif bagi suami istri untuk melegalkan putusnya ikatan

1
M. Quraish Shihab, Pengantin Al-Qur’an, (Tangerang: Lentera Hati, 2015),
2
ar- Rum, 30: 21
3
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Undang-Undang Perkawinan di
Indonesia (Universitas airlangga, 1988), 38.

2
perkawinan mereka, tidak peduli dengan apa yang selama ini telah mereka
perjuangkan bersama, perceraian selalu dianggap jalan terbaik bagi pasangan suami
istri yang tidak mampu menghadapi masalah rumah tangga.4
Menurut agama Islam perceraian merupakan tindakan yang tidak disukai
oleh Allah, meskipun pada dasarnya dibenarkan. Keutuhan kehidupan dalam ikatan
perkawinan menjadi suatu tujuan utama yang diharapkan dalam Islam. Namun tidak
dapat dipungkiri pada kenyataannya bahwa tidak semua perkawinan berjalan sesuai
dengan keinginan. Hal ini dapat dilihat dari kian banyaknya pasangan suami istri
yang dalam perkawinannya “terpaksa” harus berakhir di tengah jalan.
Untuk menangani perselisihan-perselisihan yang terjadi dalam rumah
tangga yang kemudian berujung pada perceraian, maka sangat dibutuhkan suatu
lembaga yang berwenang untuk menangani dan menyelesaikan permasalahan-
permasalahan yang terjadi dalam rumah tangga. Sehingga diharapkan dengan
hadirnya lembaga tersebut dapat mencegah atau mengurangi terjadinya perceraian
dalam masyarakat.5
Pengadilan Agama yang memiliki tugas sebagai wadah para pencari
keadilan memiliki wewenang khusus dalam memeriksa, memutuskan dan
menyelesaikan perkara sebagai mana yang diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989. Undang-Undang
Nomor 50 Tahun 2009 perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama :
“Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara-perkara tingkat pertama antara orang-orang yang beragama
Islam di bidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, sedekah dan
ekonomi syariah.”6
Dalam pasal tersebut, pengadilan agama bertugas dan berwenang
mengurusi tentang perkawinan bagi umat Islam, salah satunya adalah perceraian.

4
Ibid.,
5
Ibid.,
6
Sriono, "Ketentuan-Ketentuan dalam Perceraian Berdasarkan UU No. 01 Tahun 1974
Tentang perkawinan", Jurnal Ilmiah Advokasi, Vol. 02. No. 01 (April- Mei 2014), 84.

3
Pengadilan agama memiliki peran yang penting dalam mendamaikan dan
menghindari terjadinya perceraian.
Dalam Undang-undang perkawinan nasional menganut prinsip
mempersukar terjadinya perceraian, hal ini termaktub dalam penjelasan umum
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan angka 4 huruf e yaitu :
“Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang
bahagia, kekal dan sejahtera, maka Undang-undang ini menganut prinsip untuk
mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian, harus ada
alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan pengadilan”.7
Salah satu penerapan asas mempersulit terjadinya perceraian ada pada
Pasal 31 PP. No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, dalam pasal tersebut disebutkan bahwa hakim
dalam sidang perceraian diharuskan mendamaikan kedua belah pihak selama
pemeriksaan belum diputuskan. Selain itu dalam Pasal 115 Instruksi Presiden
Nomor 01 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam juga disebutkan bahwa
perceraian harus dilakukan di depan Persidangan Pengadilan Agama, dan putusan
perceraian dapat dilakukan setelah Pengadilan Agama tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak.8
Dalam kenyataannya suatu perkawinan itu tidaklah berjalan dengan baik
saja pasti terdapat suatu konflik. Konflik yang timbul dipicu karena adanya
ketidakcocokan dalam suatu kondisi atau bahkan faktor lainnya. Terkadang
problem yang timbul itu tidak di temukan suatu pemecahan yang baik, sehingga
dapat mengakibat kan suatu perceraian.9
Melihat fenomena-fenomena yang terjadi pada masyarakat Kabupaten
Kotawaringin Timur yang banyak sekali dilanda masalah sosial tentang perceraian.
Apabila dilihat dari presentase perceraian yang selalu naik dari tahun ke tahun.
Sebagaimana berita online sampit.procal.com yang telah melakukan
wawancara dengan Ketua Pengadilan Agama Sampit yaitu Bapak Norhadi menurut

7
Ibid.,
8
Ibid.,
9
Ibid., 88

4
beliau angka perceraian di Kabupaten Kotawaringin Timur tergolong tinggi.
Jumlah angka perceraian yang dikabulkan oleh Pengadilan Agama Sampit pada
tahun 2017 sebanyak 617 kasus, pada tahun 2018 sebanyak 1.091 kasus, dan pada
tahun 2019 sebanyak 947 kasus.
Memperhatikan fenomena di atas, penulis mencoba untuk mengkaji lebih
jauh dalam penelitian yang berjudul “TINJAUAN TERHADAP UNDANG-
UNDANG NO.01 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN TERHADAP
TINGGINYA ANGKA PERCERAIAN DIKABUPATEN KOTAWARINGIN
TIMUR”.
B. Batasan Masalah
Penelitian ini hanya mengkaji aspek tingginya perceraian yang dikabulkan
majelis hakim di Pengadilan Agama Sampit yang perlunya peninjauan kembali
terhadap UU No.01 Tahun 1974 tentang perkawinan. Masalah diluar dari
Pengadilan Agama Sampit dan di luar dari ketentuan UU No.01 Tahun 1974 tentang
perkawinan tidak akan dibahas penulis.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah yang diajukan
penulis, sebagai berikut:
1. Bagaimanakah tinjauan UU No.01 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap
perceraian?
2. Apa saja yang menjadi penyebab gugatan perceraian dikabulkan oleh Pengadilan
Agama Kabupaten Kotawaringin Timur?
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka penulisan ini bertujuan, sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui tinjauan UU No.01 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap
Perceraian.
2. Untuk mengetahui yang menjadi penyebab gugatan perceraian dikabulkan oleh
Pengadilan Agama Kabupaten Kotawaringin Timur.
E. Kegunaan Penelitian

5
a) Secara teoritis, penelitian ini bertujuan untuk memberi pengetahuan tentang
penyebab angka perceraian meningkat kepada masyarakat, terutama masyarakat
di Kabupaten Kotawaringin Timur.
b) Secara praktis, penelitian ini bertujuan untuk memberikan subangsih pikiran
kepada Pengadilan Agama Sampit
F. Sistematika Penulisan
Agar penelitian ini lebih terarah dan sistematis, serta dapat dipahami dan
ditelaah, maka penulis menggunakan sistem penulisan ini yang dibagi menjadi
enam bab yang mempunyai bagian tersendiri dan terperinci, serta sistematika
penulisannya sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan yang berisikan antara lain: latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, dan sistematika
penelitian.
BAB II Kajian pustaka yang berisikan antara lain: penelitian terdahulu,
kerangka teoritik, dan deskripsi teoritik.
BAB III Metode penelitian yang berisikan antara lain: waktu dan tempat
penelitian, jenis penelitian, pendekatan penelitian, objek dan subjek penelitian,
teknik penentuan subjek, teknik pengumpulan data, teknik pengabsahan data, serta
teknik analisis data.
BAB IV Karya ilmiah yang menyajikan hasil penelitian. Bab ini berisi
tentang lokasi penelitian dan sejumlah informasi gambaran subjek penelitian yang
menjadi tempat penelitian.
BAB V Karya ilmiah ini menyajikan tentang pembahasan dan analisis dari
hasil penelitian, sesuai dengan metode penelitian yang dilakukan.
BAB VI Dalam karya ilmiah umumnya memuat kesimpulan dan saran.
Kesimpulan dalam bab VI ini diturunkan dari pemahaman hasil penelitian yang
merupakan jawaban terhadap masalah penelitian yang dirumuskan

6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu menjadi salah satu acuan penulis dalam melakukan
penelitian sehingga memperkaya teori yang digunakan dalam mengkaji penelitian yang
dilakukan. Berikut beberapa penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian yang
dilakukan penulis:
1. Penelitian tentang Analisis Faktor Penyebab Tingginya Tingkat Cerai Gugat di
Wilayah Hukum Pengadilan Agama Kelas 1A Palembang. Pada dasarnya penelitian
ini ada kesamaan dengan penelitian penulis yaitu melakukan penelitian
menggunakan analisis data jumlah perceraian pada Pengadilan Agama, Derra
Oktafera menggali data dari faktor penyebab tingginya tingkat cerai sementara
penulis menggali data dari tingginya tingkat perceraian yang dikabulkan majelis
hakim.
2. Penelitian tentang Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingginya Angka Cerai Gugat
(Studi Perkara Di Pengadilan Agama Yogyakarta Tahun 2006-2008). Pada dasarnya
penelitian ini kesamaan dengan penelitian penulis , tetapi ada perbedaan Lina
Nurhayanti menggali data tentang faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya
angka cerai gugat di daerah Pengadilan Agama Yogyakarta sementara penulis
menggali data faktor penyebab dikabulkannya hakim cerai gugat pada Pengadilan
Agama Sampit.
3. Penelitian tentang Pandangan Hakim terhadap Asas Mempersulit Perceraian: Studi
Multisitus di Pengadilan Agama Jawa Timur. Pada dasarnya penelitian ini ada
kesamaan dengan penelitian penulis, tetapi ada perbedaan Ika Puji Lestari meneliti
pandangan hakim terhadap asa mempersulit perceraian sementara penulis meneliti
penyebab keberlakuan asas mempersulit perceraian.
Berdasarkan gambaran terhadap penelitian-penelitian terdahulu diatas, maka
sepanjang yang diketahui belum ditemukan adanya penelitian yang relatif serupa atau
sama dengan penelitian yang dilakukan penulis saat ini.

7
B. Kerangka Teoritik
Penelitian ini menggunakan beberapa teori yaitu teori sosiologi hukum dan
legalitas hukum. Teori sosiologi hukum digunakan untuk mengkaji terhadap persoalan
yang masih terjadi yaitu tingginya perkara cerai di Kabupaten Kotawaringin Timur.
Teori ini digunakan untuk mengetahui faktor penyebab tingginya perkara cerai yang
dikabulkan majelis hakim. Namun, akibat perbuatan tersebut perlunya diperhatikan
aspek legalitas hukum, karena setiap dari perbuatan dan pemikiran akan memberikan
dampak daripada perubahan kedudukan sebuah hukum. Karena setelah dikabulkan
oleh majelis hakim gugatan cerai maka perceraian tersebut dianggap sah secara agama
maupun negara yang akan memberikan dampak tersendiri kepada individu-individu
tersebut.

Anda mungkin juga menyukai