Anda di halaman 1dari 24

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Komitmen Pernikahan

1. Pengertian Komitmen Pernikahan

Menurut Karney dan Bradburry (dalam Garcia & Gomez, 2014) berkomitmen

memiliki dua arti: pertama, seseorang menyukai hubungan romantis yang sedang

dijalani dan ingin melanjutkan ke jenjang berikutnya. Kedua, seseorang yang

berkomitmen akan melakukan apapun untuk keberlangsungan hubungan tersebut.

Hal ini berarti langkah seseorang untuk melanjutkan hubungan ke tahap

pernikahan memerlukan banyak perundingan dan pengorbanan, penentuan arah

dan tujuan hubungan yang akan dijalani bersama.

Menurut Arriage dan Agnew (dalam McMahon, 2007) komitmen adalah

keadaan yang melibatkan tiga dimensi psikologis yaitu kognitif, afektif dan

konatif. Dimensi kognitif berupa rencana orientasi jangka panjang, dimensi afektif

berupa daya tarik secara psikologis dalam bentuk seksual dan emosional,

sedangkan dimensi konatif berupa sikap persisten dan motivasi untuk melanjutkan

hubungan.

Rusbult (1998) dalam teori model investasi menyimpulkan, bahwa komitmen

merupakan representasi ketergantungan subjektif berupa perasaan kelekatan

secara psikologis terhadap pasangan yang diiringi dengan keinginan untuk

memelihara keutuhan. Hal ini berasal dari pengembangan teori interdependensi

berupa kecenderungan bagi suatu hubungan untuk berkembang yang bergantung

10
pada karakteristik personal dan interdependensi yang terbangun antara kedua

belah pihak. Teori model investasi yaitu individu bergantung pada hubungan

sebagai sumber pengalaman yang diharapkan. Tumbuhnya ketergantungan

menjadi arti komitmen pernikahan yang menginvestasikan sumber daya dalam

hubungan tersebut.

Komitmen pernikahan bermula dari kesepakatan bersama untuk melanjutkan

ikatan yang telah dimulai. Kesepakatan tersebut bermula dari perencanaan jangka

panjang bagi diri sendiri dan hubungan, adanya keinginan untuk mengikat

pasangan sampai akhir pernikahan dan dorongan menjaga keutuhan hubungan.

Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan kenyamanan psikologis terhadap

pasangan, sehingga pasangan tidak ingin berpisah ataupun terpikat pihak lain.

Johnson (1999) mengemukakan, bahwa komitmen bukan merupakan satu

kesatuan yang utuh melainkan terdiri atas tiga bentuk yang berbeda. Tiap-tiap

bentuk memiliki penyebab, fenomena, dan konsekuensi kognisi, emosi dan

perilaku yang berbeda satu sama lain. Tiga bentuk tersebut adalah komitmen

personal, komitmen moral dan komitmen struktural. Komitmen personal

menjelaskan bentukk positif berupa keinginan untuk memelihara hubungan yang

dirasakan individu terhadap pasangan atau hubungan saat ini. Kedua, komitmen

moral muncul dari nilai dan kepercayaan yang diyakini masing-masing individu

mengenai kesucian dan keseriusan hubungan. Komitmen yang ketiga yaitu

komitmen struktural, komitmen ini menjelaskan tekanan atau paksaan yang

bertentangan dengan keinginan untuk meninggalkan sebuah hubungan.

11
Menurut Stenberg (dalam Santrock, 2011) komitmen meliputi keputusan

untuk tinggal dan bergantung dalam sebuah hubungan serta hal ini menjadi aspek

kognitif untuk menjaga pernikahan dalam jangka waktu yang panjang. Hal ini

berarti bahwa level komitmen berpengaruh terhadap perilaku individu, keputusan

individu untuk tinggal dalam hubungan pernikahan dan mekanisme pemeliharaan

hubungan.

Sejalan dengan hal di atas, Impett dkk. (2008) menyebutkan, bahwa

komitmen pernikahan dapat menjaga stabilitas hubungan, termasuk hubungan

pernikahan. Komitmen pernikahan merupakan sejauh mana seorang individu

mengalami orientasi jangka panjang terhadap hubungan, termasuk keinginan

untuk mempertahankan hubungan untuk lebih baik atau lebih buruk.

Tingkat dan bentuk komitmen pernikahan masing-masing individu mampu

menjaga kestabilan hubungan. Keinginan untuk bertahan yang kuat, kepercayaan

antara satu dengan yang lain serta tidak adanya keinginan untuk menyimpang

dapat mendorong peningkatan komitmen pernikahan, sehingga hubungan terjaga

dari gangguan yang berasal dari internal dan eksternal hubungan.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas disimpulkan, bahwa komitmen

merupakan representasi subjektif tiap individu berupa kelekatan psikologis

terhadap pasangan yang tercipta melalui tiga dimensi psikologis dan terbagi dalam

tiga bentuk yang berbeda, yaitu komitmen personal, komitmen moral dan

komitmen struktural.

12
2. Aspek-aspek Pembentuk Komitmen Pernikahan

Johnson (1999) mendeskripsikan komitmen pernikahan menjadi tiga bentuk

komitmen yang berbeda. Tiap-tiap komitmen memiliki aspek-aspek yang berbeda

pula, yaitu:

a. Komitmen personal meliputi tiga aspek, antara lain:

1) Daya tarik pasangan, yaitu keinginan individu untuk tetap bertahan dalam

suatu hubungan dipengaruhi oleh ketertarikan terhadap pasangannya

2) Daya tarik hubungan, yaitu kepercayaan yang mendorong kepuasan

individu terhadap hubungan membuat individu tidak ingin untuk

meninggalkan hubungan tersebut

3) Identitas pasangan, yaitu identitas menjadi memberikan nilai yang penting

dalam hubungan sosial sehingga identitas yang didapat dari pernikahan

mempengaruhi individu untuk tetap tinggal dalam suatu hubungan.

b. Komitmen moral terdiri atas tiga aspek, yaitu:

1) Nilai-nilai mengenai moralitas, yaitu mengacu kepadanilai kesusilaan

dalam diri individu yang menginginkan keberlangsungan hubungan

pernikahan dari awal hingga akhir.

2) Adanya kewajiban moral terhadap pasangan yang membuat individu akan

merasa terbebani ketika meninggalkan pasangannya.

3) Adanya nilai konsistensi hubungan yang membuat individu menjaga

hubungan dari waktu ke waktu dan tidak akan berhenti di tengah jalan

c. Komitmen struktural dipengaruhi oleh empat aspek, aspek-aspek tersebut

antara lain:

13
1) Adanya pilihan-pilihan, yaitu ketergantungan padasuatu hubungan

merupakan sebagian fungsi keadaan alternatif yang individu percaya

akan muncul jika hubungan diakhiri.

2) Tekanan sosial, yaitu timbulnya tekanan dari luar diri individu baik teman

maupun keluarga untuk tidak meninggalkan suatu hubungan

3) Prosedur perpisahan, yaitu adanya suatu prosedur rumit yang harus dilalui

untuk dapat melakukan perpisahan seperti adanya keputusan pengadilan

mengenai pembagian harta, pengasuhan anak, dan lain-lain.

4) Terhentinya investasi, yaitu individu akan memutuskan untuk tidak

meninggalkan suatu hubungan dikarenakan takut akan kehilangan

investasi yang selama ini telah berlangsung.

Komitmen pernikahan dapat dikarakteristikkan beberapa aspek yang

membentuk komitmen pernikahan (Defrain & Asay, 2007), antara lain:

a. Kepercayaan

Keadaan yang melibatkan kepercayaan diri untuk memiliki harapan positif

mengenai motif pasangan dan menghormati satu sama lain dalam situasi yang

berisiko

b. Kejujuran

Berkata apa adanya sesuai dengan kondisi dan situasi yang dihadapi membuat

pasangan mau bersama-sama mengerti dan menghadapi kenyataan yang ada.

c. Ketergantungan

Perasaan tergantung secara emosional, material, finansial dan struktural

terhadap pasangan membuat seseorang bertahan dalam lingkaran pernikahan

14
d. Kesetiaan

Kesetiaan dapat didefinisikan sebagai perasaan subjektif untuk menetap

padahubungan pernikahan dan tidak memiliki hubungan seksual dengan

orang lain.

e. Saling berbagi

Interaksi antar dua individu melibatkan saling berbagi mengenai pendapat,

perasaan, dan material secara diadik untuk mendapatkan kepuasan hubungan

yang mendorong seseorang untuk berkomitmen dalam pernikahan.

Berdasarkan beberapa uraian diatas, maka dalam penelitian ini mengacu pada

spek-aspek yang dikemukakan oleh Johnson (1999) bahwa komitmen pernikahan

terdiri dari a) Komitmen personal, antara lain daya tarik pasangan, daya tarik

hubungan dan identitas pasangan, b) Komitmen moral, antara lain nilai moralitas,

kewajiban terhadap pasangan dan nilai konsistensi hubungan, sedangkan c)

Komitmen struktural, antara lain pilihan alternatif, tekanan sosial, prosedur

perpisahan dan terhentinya investasi.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komitmen Pernikahan

Rusbult (1998) mendefinisikan komitmen berdasarkan tiga faktor yang

terpisah, antara lain:

a. Kepuasan hubungan

Individu yang merasa puas padahubungan pernikahan, maka secara

psikologis akan menuntun pasangan untuk lebih intim, tidak saling bertengkar

satu sama lain dan memperluas harapan dan visi terhadap kualitas hubungan.

15
b. Kualitas alternatif

Ketersediaan potensial, daya tarik dan kualitas seseorang mempengaruhi

preferensi seseorang untuk berkomitmen. Salah satu contohnya yaitu masalah

finansial, keadaan finansial yang tidak mendukung setelah perceraian

dilakukan membuat seseorang memaksa diri untuk berkomitmen dalam

hubungan (Bakker & Buunk, 1997).

c. Investasi dalam hubungan

Tingkat investasi yang diberikan demi hubungan mempengaruhi besarnya

komitmen seseorang. Investasi ini dapat dilakukan secara langsung atau tidak

langsung. Contoh investasi langsung yaitu waktu dan perhatian terhadap

pasangan, keterbukaan mengenai perasaan, sedangkan contoh investasi tidak

langsung yaitu pertemanan umum, kenangan bersama dan pengalaman yang

dilakukan bersama

The New Zealand Relationship Commitment Study melakukan penelitian

mengenai persepsi terhadap komitmen hubungan pada50 pasangan. Penelitian ini

mengungkap faktor-faktor yang menentukan komitmen terhadap hubungan

(dalam Roberts & Pryor, 2005), antara lain:

a. Faktor personal

Faktor utama yang mempengaruhi komitmen berdasarkan perasaan emosional

individu seperti asmara, penghargaan, dukungan dan kepercayaan.

b. Faktor hubungan,

Berupa tujuan hubungan, nilai, kebersamaan sebelum dan setelah pernikahan,

seksualitas, komunikasi dan menghabiskan waktu bersama dengan pasangan

16
c. Faktor eksternal

Faktor ini merefleksikan tekanan yang didapat dari pihak luar seperti keluarga

besar, harapan-harapan dan fakta mengenai sulitnya menemukan pasangan

yang tepat.

d. Nilai

Merujuk pada nilai atau kepercayaan seperti religiusitas, menghormati

komitmen dan sumpah pernikahan.

e. Faktor keluarga dan anak-anak

Adanya keinginan untuk menjadi contoh yang baik bagi keturunannya kelak

membuat seseorang terus terikat dalam hubungan.

B. Keintiman

1. Pengertian Keintiman

Prager (dalam Volsky, 1998) berpendapat, bahwa keintiman memiliki

komponen perilaku dan emosional. Komponen perilaku terdiri dari aktivitas yang

dilakukan oleh beberapa orang secara bersama-sama seperti menyentuh dan

berbicara sedangkan komponen emosional meliputi perasaan terhadap asmara dan

kebersamaan. Prager mengemukakan, bahwa interaksi intim merupakan dasar dari

hubungan yang intim. Bentuk-bentuk interaksi intim antara lain saling

menceritakan masalah pribadi, memberikan kenyamanan satu sama lain dan

mengerti secara timbal balik terhadap pasangan melalui self-disclosure dan afeksi

intim (Volsky, 1998)

17
Awalnya Olson (dalam Volsky, 1998) berpendapat, bahwa keintiman adalah

proses yang terus berkembang, mengalami fluktuasi dari waktu ke waktu, berada

pada kondisi yang labil dan telah tertanam pada individu berkomitmen.

Bertambahnya tingkat dan jenis perkembangan keintiman membuat Schaffer dan

Olson (dalam Zerach dkk., 2013) mendeskripsikan keintiman pernikahan dalam

lima aspek yaitu aspek emosional, sosial, intelektual, seksual dan rekreasional.

Hal ini membuat keintiman dipahami sebagai fenomena multidimensional yang

dialami dengan berbagai cara dalam sebuah hubungan meliputi kemampuan

percaya terhadap satu sama lain, berbagi pendapat dan perasaan, serta mengikat

hubungan yang melibatkan pertemanan dan seksualitas.

Reis dan Shaver (dalam Laurenceau dkk., 2005) mendefinisikan keintiman

sebagai hasil pengalaman transaksional dari proses interpersonal. Proses

keintiman transaksional melibatkan dua komponen prinsipal yaitu pengungkapan

diri sendiri dan responsivitas pasangan. Berdasarkan teori ini, keintiman dapat

dicapai ketika salah satu pasangan mengungkapkan dirinya dan pasangan

memberikan respon terhadap pengungkapan dengan penerimaan, validasi dan

perhatian. Teori ini mengajukan bahwa pengungkapan diri membentuk keintiman

harus emosional dan tidak hanya sekedar memberikan informasi atau fakta.

Keintiman tidak hanya dipandang sebagai sebuah aktivitas seksual antara dua

individu, namun lebih ditekankan pada keterbukaan pasangan dan tindakan yang

diberikan sebagai bentuk respon. Seseorang dapat memberikan respon yang jujur

apabila kepercayaan terbangun antara satu dengan yang lain.

18
Prager dan Roberts (dalam Price, 2014) memandang hubungan intim yang

dalam merupakan proses interpersonal dan relational. Teori ini

mengkonseptualisasikan keintiman sebagai proses verbal dan non-verbal dengan

dimensi interpersonal dan relational. Dimensi interpersonal terdiri dari atas

komponen:

a. Perilaku mengungkapkan diri, dikarakteristikkan dengan perasaan emosi,

kerentanan, dan perasaan terluka.

b. Teterlibatan positif, mendeskripsikan mengenai keinginan yang melibatkan

isyarat verbal seperti mengikuti komunikasi pasangan dan isyarat non-verbal

seperti kedekatan, tatapan, dan sentuhan.

c. Sense of understanding mengenai pengalaman satu dengan yang lain.

Keintiman sebagai proses yang berkembang dari waktu ke waktu melibatkan

kepercayaan, pengungkapan diri, berbagi perasaan dan asmara terhadap hubungan

(Lloyd, 2011. Sejalan dengan proses perkembangan keintiman, Mills dan Turnbull

(dalam Zerach dkk, 2013) mendefinisikan keintiman sebagai kemampuan untuk

peka dan sadar terhadap psikologis satu sama lain dan kebutuhan pasangan dalam

hal emosional, fisikal, operasional, sosial dan spiritual.

Menurut Gaia (2013) deskripsi mengenai keintiman terbagi dalam kategori

pengungkapan diri, ekspresi emosi, dukungan, kepercayaan, ekspresi fisik,

perasaan kedekatan, dan pengalaman keintiman yang saling menguntungkan.

Berbagai kedekatan dan pengalaman intim antara satu dengan yang lain

membentuk rasa toleransi dan sikap mengerti terhadap emosi yang ditampilkan

oleh tiap-tiap individu. Hal ini membuat proses keterbukaan antara satu dengan

19
yang lain diiringi dengan kepekaan dan kesadaran terhadap emosi yang

ditampilkan tiap-tiap individu.

Fife dan Weeks (2009) menjelaskan keintiman terdiri dari perasaan kedekatan

atau hubungan, perhatian timbal balik mengenai kesejahteraan orang lain,

perasaan mengenai kepercayaan dan kenyamanan, kejujuran dan keterbukaan,

serta memberi dan menerima dukungan secara timbal balik. Keintiman dibangun

berdasarkan frekuensi berbagi secara emosional dan fisikal dalam sebuah

hubungan. Stenberg (dalam Santrock, 2011) mendefinisikan keintiman sebagai

asosiasi tertutup antara dua belah pihak yang meliputi kehangatan informal,

keterbukaan individu, berbagi dengan orang lain sehingga menimbulkan perasaan

dekat, terhubung dan terikat yang merepresentasikan komponen emosional yang

terkandung dalam hubungan pernikahan.

Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa keintiman

dipahami sebagai bentuk proses interaksi interpersonal multidimensional yang

terus berkembang, mengalami fluktuasi dari waktu ke waktu, berada pada kondisi

yang labil dan telah tertanam padaindividu berkomitmen.

2. Aspek-aspek yang Membentuk Keintiman

Keintiman dalam hubungan pernikahan memiliki arti dan makna yang

berbeda untuk laki-laki dan wanita. Prager (dalam Volsky, 1998) berpendapat

bahwa keintiman padapernikahan memiliki aspek perilaku dan emosional/afektif,

sebagai berikut:

20
a. Keintiman emosional

Kedekatan yang terjalin melalui saling berbagi perasaan. Wanita lebih mudah

untuk menyadari dan mengekspresikan emosi daripadalaki-laki. Langkah

pertama untuk menyadari emosi pasangan yaitu memberikan perhatian

terhadap perasaan yang muncul, mengidentifikasikan dan mencari alasan

dibalik munculnya perasaan tersebut. Hal ini mampu untuk membuat

pernikahan lebih kuat dan sehat.

b. Keintiman seksual

Keintiman seksual berupa frekuensi aktivitas seksual yang memberikan

kepuasan dan dinikmati oleh kedua belah pihak termasuk pula pembicaraan

terbuka terkait dengan seksualitas. Olson dan Olson (2000) mengatakan. “A

major strength for happily marriage couples is the quality of the sexual

relationship” (p.126). Pasangan yang bahagia merujuk padapersetujuan pada

kepuasan seksual dan sedikit permasalahan terkait dengan kehidupan

seksualitas.

Schaffer dan Olson (dalam Zerach dkk., 2013) mendeskripsikan keintiman

pernikahan dalam lima aspek yang berbeda, antara lain:

a. Keintiman emosional

Kemampuan untuk mengungkap dan membagi perasaan sehingga

menimbulkan rasa dekat, terhubung dan terikat dengan orang lain tanpa

merasa terbebani.

b. Keintiman sosial

Muncul ketika berada dalam lingkungan pekerjaan dan sosial yang sama.

21
c. Keintiman seksual

Aktivitas berbagi rasa asmara berdasarkan daya tarik masing-masing individu

melalui sentuhan, kedekatan secara seksual dan kata-kata yang sugestif.

d. Keintiman intelektual

Kemampuan untuk saling bertukar pendapat mengenai kesukaan, ide dan

pengalaman tentang kehidupan sosial, pekerjaan dan pengetahuan umum

yang bermanfaat bagi kedua belah pihak.

e. Keintiman rekreasional

Berupa berbagi pengalaman, saling bernostalgia mengenai kegiatan yang

telah dilakukan bersama dan keterlibatan pasangan terhadap aktivitas tersebut.

Berdasarkan uraian aspek-aspek yang diuraikan diatas, maka dalam penelitian

ini mengacu padaaspek-aspek keintiman yang dikemukakan oleh Schafer & Olson

(dalam Zerach dkk., 2013) bahwa keintiman dipahami sebagai fenomena

multidimensional yang terdiri dari keintiman emosional, keintiman sosial,

keintiman seksual, keintiman intelektual dan keintiman rekreasional.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keintiman

Faktor-faktor yang mempengaruhi keintiman menurut David dan Ferguson

(dalam Handayani, 2006) antara lain:

a. Rasa aman

Rasa aman menyangkut mengenai ketenangan batin. Aman berarti tidak

terdapatrasa takut yang menyelimuti, bebas dari bahaya maupun rasa takut.

22
Merasa aman berarti terdapat kepastian terhadap kesejahteraan diri sendiri

secara fisik dan emosional.

b. Komitmen

Komitmen memandang masa depan sebagai babak kehidupan yang akan

dijalani bersama hingga akhir hayat. Komitmen menjanjikan kepastian dan

menjaga asmara antar pasangan apapun yang terjadi. Komitmen dipandang

sebagai dukungan yang tulus dari pasangan

c. Menerima pasangan tanpa syarat

Meliputi asmara dan dukungan yang diberikan tanpa balasan. Menerima

pasangan apa adanya tanpa syarat dengan toleransi yang besar

d. Masa lalu yang bahagia

Pengalaman masa lalu mempengaruhi seseorang berhubungan dengan pihak

lain. Kelekatan dengan orang tua di masa kecil menentukan tingkat

kemudahan seseorang dalam berhubungan dengan orang lain.

Pentingnya keintiman sebagai aspek yang esensial dalam kehidupan manusia

membuat keintiman tiap orang berbeda satu dengan yang lain. Perbedaan

keintiman pasangan dari waktu ke waktu sejalan dengan semakin intimnya

kedekatan emosional dan seksual dalam hubungan pernikahan (Fife & Weeks,

2009). Faktor-faktor yang memicu perbedaan keintiman tiap individu yaitu

sebagai berikut:

a. Keamanan dan kenyamanan

Lingkungan yang aman membuat dinding penghalang timbulnya interaksi

interpersonal individu menghilang sehingga memicu untuk meningkatkan

23
kedekatan interpersonal, perasaan terhubung terhadap pasangan. Lingkungan

yang nyaman membuat individu merasa nyaman untuk mengambil risiko

terhadap satu sama lain demi mengembangkan dan menjaga keutuhan

hubungan.

b. Kepercayaan

Membangun keterbukaan dan bertanggung jawab terhadap satu sama lain

meningkatkan keintiman hubungan yang telah merapuh. Perilaku yang dapat

dipercaya dan bertanggung jawab secara konsisten mampu membantu

pasangan merasakan kenyamanan secara emosional dalam hubungan

pernikahan

c. Komunikasi

Komunikasi merepresentasikan proses interpersonal untuk merasa dekat dan

terhubung dengan pasangan (Laurenceau dkk., 2005). Komunikasi yang

maladaptif membatasi kedekatan pasangan dan menghambat terjalinnya

keintiman. Bentuk-bentuk komunikasi maladaptif seperti tidak mendengarkan

dengan baik, metode penyelesaian masalah yang tidak efektif, mengkritik

yang tidak relevan, hingga mengacuhkan pasangan.

Menurut Reis dan Shaver (dalam Laurenceau dkk., 2005) keintiman tercipta

dari faktor-faktor yang melibatkan dua individu, antara lain:

a. Pengungkapan diri

Proses pengungkapan diri mengenai informasi personal mengenai diri sendiri

terhadap orang lain meliputi perasaan intim, perilaku dan pengalaman

24
(Sprecher & Hendrick, 2004). Keterbukaan terdiri dari keterbukaan faktual

dan emosional (Laurenceau dkk., 1998) yaitu:

1) Keterbukaan faktual bersifat deskriptif yang membuka fakta dan

informasi personal.

2) Keterbukaan emosional bersifat evaluatif yang meliputi perasaan

seseorang secara intim, opini dan penilaian pribadi seseorang.

b. Responsivitas pasangan

Pasangan yang responsif berarti perilaku individu tersebut menggambarkan

sebuah komunikasi, kebutuhan, harapan dan aksi dari interaksi (Miller &

Berg, dalam Laurenceau dkk., 1998). Bentuk-bentuknya seperti mengerti

informasi interaksi, mengkonfirmasi bahwa pasangan menerima informasi

yang diberikan dan memberikan perhatian berupa respon terhadap pasangan.

c. Keterbukaan pasangan

Emosi positif dan negatif yang diekspresikan oleh pasangan ketika

melakukan interaksi (Laurenceau dkk., 1998)

C. Suami Istri yang Bekerja

1. Pengertian Suami Istri yang Bekerja

Perubahan nilai peran sosial wanita dan pria padamasa kini membuat model

keluarga tradisional berubah menjadi model keluarga egaliter. Model keluarga

egaliter yaitu salah satu model keluarga yang memiliki dua sumber pendapatan

keluarga. Peran wanita tidak lagi terbatas padaurusan keluarga dan rumah tangga,

dan pria tidak lagi menjadi sumber utama pendapatan. Pasangan dalam model

25
keluarga egaliter disebut dengan pasangan dual karir keluarga (Abele dan Volmer,

2011). Menurut Saraceno (2007), pasangan dual karir didefinisikan dengan kedua

belah pihak, suami dan istri, memiliki kualitas individu yang tinggi dan mengejar

jalur karir masing-masing tanpa mengutamakan memiliki keturunan ataupun

kepuasan keluarga.

Neault dan Pickerel (2005) mendefinisikan pasangan dual karir sebagai dua

orang yang memiliki komitmen antara pernikahan dan pekerjaannya, mengejar

karir masing-masing individu dan tidak berperan sebagai pendukung karir salah

satu pihak. Sejalan dengan Dalimunte (2013), pasangan dual karir dicirikan

sebagai pasangan suami istri yang memiliki karir masing-masing dan mencoba

untuk menyeimbangkan karir dengan urusan rumah tangga.

Pasangan dual karir yaitu pasangan suami istri yang berperan aktif mengejar

karir dan kehidupan keluarga secara bersamaan (dalam Adelina dan Andromeda,

2014). Pasangan dual karir umumnya memiliki masalah berkaitan dengan

komunikasi seperti waktu yang kurang fleksibel dan minim kesempatan untuk

berdialog dengan pasangan.

Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa pasangan

dual karir adalah pasangan suami istri yang berperan aktif dalam mengejar karir

dan menjaga keutuhan komitmen pernikahan.

2. Ciri-ciri Suami Istri yang Bekerja

Abele dan Volmer (2011) mengemukakan, beberapa ciri pasangan dual karir

yang berorientasi padapekerjaan dan hubungan pernikahan, yaitu:

26
a. Pasangan dual karir adalah pasangan yang memiliki latar pendidikan tinggi,

minimal perguruan tinggi atau sederajat

b. Memiliki jam kerja secara penuh dalam sehari dan memiliki jabatan yang

menantang

c. Telah hidup bersama dan berperan sebagai suami istri yang bekerja minimal 5

tahun

Berbeda dengan pendapat Saraceno (2007) mengenai konsepsi pasangan dual

karir. Saraceno berpendapat bahwa pasangan dual karir, yaitu:

a. Pasangan dual karir merujuk hanya padapasangan yang keduanya memiliki

mobilitas tinggi dalam pekerjaan

b. pasangan dual karir tidak harus memiliki latar pendidikan yang tinggi,

pasangan suami istri disebut dengan pasangan dual karir apabila keduanya

sama-sama memiliki karir tanpa mempertimbangkan latar pendidikan

perguruan tinggi

c. Pasangan dual karir yang memiliki anak memiliki tanggung jawab yang lebih

besar

3. Konsekuensi terhadap Peran Sebagai Suami Istri yang Bekerja

Pasangan dual karir memiliki konsekuensi positif dan negatif dalam ikatan

pernikahan (dalam Adelina dan Andromeda, 2014), yaitu

a. Konsekuensi positif, berupa dukungan emosional ketika salah satu pasangan

memiliki masalah pekerjaan dan keadaan ekonomi yang lebih terjamin

27
b. Konsekuensi negatif, antara lain sulitnya mengatur urusan pekerjaan dan

keluarga, terbatasnya waktu untuk berkomunikasi dengan keluarga dan

meningkatnya potensi ketegangan dalam ikatan pernikahan.

Banyak konsekuensi yang harus ditanggung individu yang berperan sebagai suami

istri bekerja, Neault dan Pickerel (2005) mengemukakan, konsekuensi yang

berpengaruh bagi individu, antara lain:

a. Konsekuensi terhadap keluarga, antara lain meningkatnya konflik peran dalam

keluarga, pembatasan jumlah anak ataupun menunda memiliki anak, tanggung

jawab untuk mengurus rumah tangga, keinginan yang lebih besar terhadap

uang sehingga mengabaikan waktu bersama keluarga.

b. Konsekuensi terhadap kesejahteraan pribadi, meliputi tekanan stress yang

terus menerus diterima, kelelahan, dan kurangnya waktu tidur yang

berkualitas

c. Konsekuensi terhadap pekerjaan, meliputi bertambahnya jenis karir yang

harus dipenuhi individu, yaitu karir membangun keluarga, pemilihan prioritas

karir antara suami dan istri dan risiko pekerjaan yang menuntut pasangan

suami istri untuk menjadi pasangan jarak jauh (commuter marriage).

D. Hubungan antara Keintiman dengan Komitmen Pernikahan padaSuami

Istri yang Bekerja

Maraknya konsepsi egaliter yang mempengaruhi institusional pernikahan

berupa perubahan model keluarga tradisional menjadi model keluarga egaliter

berpengaruh padainteraksi interpersonal antara suami dan istri. Suami dan istri

28
yang bekerja berpotensi terhadap keluarga, kesejahteraan pribadi dan pekerjaan

(Neault dan Pickerel, 2005). Berkurangnya waktu untuk keluarga berpotensi

menimbulkan kerenggangan dalam interaksi intim antara suami dan istri. Berbagai

penelitian menemukan bahwa risiko menjadi pasangan dual karir adalah waktu

bertemu yang jarang dan tuntutan pekerjaan yang menyita waktu (dalam Adelina,

2014). Hal ini membuat interaksi intim antara suami dan istri tidak terjalin secara

intensif.

Keintiman ditengarai sebagai salah satu faktor yang melindungi ikatan

pernikahan yang sehat. Pernikahan yang sehat menuntut adanya rasa percaya,

terbuka, dan saling berbagi antara satu dengan yang lain. Berbagai interaksi intim

seperti menceritakan masalah pribadi, memberikan kenyamanan dan saling

mengerti satu dengan yang lain (Volsky, 1998). Keterbukaan antara satu dengan

yang lain didukung oleh faktor keamanan, kepercayaan, dan komunikasi yang

efektif antara kedua belah pihak.

Keintiman intelektual meliputi kebebasan individu untuk mengungkapkan

gagasan ataupun pendapat terhadap pasangan baik berupa saran ataupun kritik

yang diharapkan mampu memberikan manfaat bagi kedua belah pihak (Zerach

dkk., 2013). Keterbukaan untuk berkata, mendengarkan secara efektif,

memberikan timbal balik terhadap gagasan yang dikemukan tanpa melukai dan

tidak mengacuhkan pasangan menjadi berbagai bentuk komunikasi interpersonal

yang membangun keterikatan antara suami dan istri. Mengetahui harapan dan

tujuan hidup antara satu dengan yang lain, saling melengkapi rencana hidup

membuat seseorang bermanfaat bagi individu yang lain. Hal inilah yang membuat

29
seseorang menjaga hubungan demi tercapainya tujuan dan harapan hidup

(McMahon, 2007)

Keintiman rekreasional berupa melakukan aktivitas yang melibatkan kedua

belah pihak secara aktif (Zerach dkk., 2013). Saling bercerita mengenai masa lalu

yang dilalui bersama mampu untuk membuat seseorang melihat kembali alasan-

alasan utama menjalin hubungan. Seiring berjalannya ikatan pernikahan membuat

alasan-alasan bertahan dalam pernikahan berubah, sehingga hal ini mampu untuk

dijadikan sebagai upaya introspeksi pribadi untuk melihat kembali alasan

menjalin hubungan, melanjutkan hubungan hingga mempertahankan pasangan

dalam kehidupan. Introspeksi pribadi mengenai masa lalu yang dilalui bersama

mempengaruhi individu berhubungan dengan pihak lain (Handayani, 2006).

Keintiman sosial menciptakan toleransi yang setara antara suami dan istri, hal

ini dikarenakan antara suami dan istri telah mengetahui latar belakang sosial

pasangan. Berdasarkan penelitian Larson dkk. (1998) kesetaraan dan status sosial

yang sama antara suami dan istri adalah faktor yang penting dalam keintiman.

Saling menghargai dan menghormati satu dengan yang lain mampu meningkatkan

kualitas komitmen seseorang dalam pernikahan yang dijalani.

Kesetaraan dalam ikatan pernikahan meliputi kedekatan interpersonal,

kepercayaan, komunikasi dan saling menguntungkan satu sama lain. Kedekatan

interpersonal pada laki-laki cenderung ingin melakukan interaksi intim hanya

padaikatan pernikahan saja, hal ini dikarenakan interaksi intim merupakan usaha

yang perlu dibangun dan ikatan pernikahan adalah kewajiban bersama (Price,

2014). Kepercayaan yang terbangun menentukan suksesnya ikatan pernikahan.

30
Hal ini membuat wanita lebih mendalami makna pernikahan yang dijalaninya dan

merasakan kepuasan (Wilcox & Nock, 2006).

Komitmen dalam hubungan pernikahan dipengaruhi oleh tingkat kepuasan

masing-masing individu, adanya pilihan-pilihan lain yang mempengaruhi

preferensi seseorang dalam membentuk interaksi intim dengan orang lain dan

keinginan untuk berinvestasi secara emosional terhadap pasangan (Rusbult, 1998).

Keinginan dan kebutuhan untuk berinvestasi dalam bentuk investasi emosinal

seperti pengungkapan diri dan investasi struktural seperti hak kepemilikan yang

mampu meningkatkan interdependensi komitmen hubungan.

Interdependensi hubungan mengacu pada perkembangan komitmen yang

berdasarkan pada aspek-aspek seperti saling berbagi secara emosional ataupun

seksual, percaya terhadap pasangan, jujur terhadap pasangan, memiliki

ketergantungan terhadap hubungan yang sedang dijalani sehingga memunculkan

kesetiaan. Kesetiaan dalam hubungan intim antara individu yang berkomitmen

didapatkan dari interaksi interpersonal yang berkualitas. Proses interpersonal yang

terjadi dalam pernikahan dilakukan dan dipahami oleh pihak-pihak yang terlibat

dalam ikatan pernikahan tersebut (Weingarten dalam Price, 2014).

Orang-orang yang sekedar bertahan karena perasaan tanggung jawab

terhadap kehidupan pasangan kelak, ajaran agama yang melarang perpisahan

ataupun sumpah pernikahan adalah orang yang memiliki komitmen moral dan

struktural yang tinggi, namun komitmen personalnya rendah. Komitmen moral

dan struktural memegang peranan kunci ketika seseorang hendak

memutuskan untuk bercerai. Kedua komitmen tersebut dapat membuat pasangan

31
menghindari perceraian, namun tidak menjamin kebahagiaan pernikahan. Hal

tersebut hanya menurunkan probabilitas terpilihnya perceraian sebagai suatu

solusi. Orang yang memiliki keduanya tetapi tidak memiliki komitmen personal

akan mengeluhkan pernikahan yang “kering”. Pernikahan seperti ini lebih rawan

akan konflik ditambah dengan tidak adanya rasa tertarik terhadap hubungan dan

pasangan sehingga menyebabkan kehilangan minat untuk menyelesaikan konflik

tersebut dan rentan terhadap perselingkuhan (Wulandari, 2014).

Kehilangan minat dan tidak adanya rasa tertarik merupakan salah satu

kualitas responsivitas pasangan yang rendah, pernikahan yang terasa “kering”

menunjukkan interaksi intim tidak terjadi secara intensif dalam kehidupan

pernikahan (Laurenceau, Barret, & Rovine, 2005)

Berbeda ketika komitmen personal dan struktural tinggi sedangkan komitmen

moral rendah. Komitmen personal menjamin seseorang untuk merasakan

kepuasan pernikahan, berfungsinya asmara dalam pernikahan dan keintiman yang

terjalin secara efektif. Hal ini membuat seseorang mengikat dirinya dalam

pernikahan, namun tidak menjamin munculnya pihak luar untuk bergabung dalam

sebuah rumah tangga. Pernikahan dirasa membahagiakan bagi masing-masing

pihak, namun nilai konsistensi untuk setia terhadap satu orang rendah (Johnson,

1999). Adanya pihak luar tersebut membuat kesetiaan seseorang terbagi sehingga

berpotensi terhadap penurunan dan ketidakstabilan keintiman dalam hubungan

pernikahan (Volsky, 1998).

Berdasarkan hal diatas dapat diambil kesimpulan bahwa komitmen pernikahan,

yaitu komitmen personal, moral dan struktural dipengaruhi oleh perilaku dan

32
tingkat afeksi interaksi intim antarpasangan. Semakin intim tingkat interaksi intim

antar pasangan, maka komitmen pernikahan yang berbentuk juga semakin dalam

dan kuat.

E. Kerangka Pemikiran

Keintiman Komitmen
Pernikahan

Gambar 1
Kerangka Pemikiran Hubungan Antara Keintiman dengan Komitmen
Pernikahan pada Suami Istri yang Bekerja

Kerangka pemikiran diatas merupakan kerangka komitmen pernikahan yang

dipengaruhi oleh keintiman. Keintiman antara suami istri mempengaruhi tingkat

komitmen pernikahan. Keintiman sebagai salah satu faktor yang menentukan

kualitas hubungan antara suami istri sehingga berkurangnya keintiman berpotensi

dengan perubahan komitmen pasangan secara personal, moral ataupun struktural.

F. Hipotesis

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas, hipotesis penelitian ini

dirumuskan: Terdapat hubungan antara keintiman dengan komitmen pernikahan

pada suami istri yang bekerja. Semakin tinggi tingkat keintiman hubungan antara

suami dan istri, maka semakin kuat tingkat komitmen antara suami dan istri, dan

semakin rendah tingkat keintiman hubungan antara suami dan istri, maka semakin

lemah pula tingkat komitmen antara suami dan istri.

33

Anda mungkin juga menyukai