Anda di halaman 1dari 12

KETENTUAN PEMUTUSAN PERKAWINAN ATAS KEHENDAK ISTRI

DISUSUN OLEH

NORMAWATI
NIM. 22 021 013

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TERNATE
JURUSAN SYARI’AH PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
TAHUN AKADEMIK 2022/2023

i
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahiim

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Dengan menyebut nama Allah yang


Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Dialah Allah yang Maha Pencipta, Dialah Allah yang
Maha Pemilik dan Dialah Allah yang Maha Pemelihara, segala Puja dan Puji hanya milik Allah
SWT, Sehingga atas kehendak-Nya Makalah ini dapat terselesaikan. Tidak lupa Shalawat serta
Salam semoga dilimpahkan kepada junjunan kita Nabi Muhammad SAW.

Saya selaku penyusun menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh
dari kata sempurna, oleh karenanya kami menampung segala kritik dan saran untuk saya lebih
menggali dan mempelajari lebih lanjut tentang kesempurnaan isi makalah yang kami buat ini.
Namun kami sangat optimis semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para penyusun
khususnya juga bagi para pembaca sekalian. Aamiin Ya Rabb..

ii
DAFTAR ISI

SAMPUL LUAR .................................................................................................. i


KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
A. Latar Belakang .............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 3
KETENTUAN PEMUTUSAN PERKAWINAN ATAS KEHENDAK ISTRI .... 3
A. Pustusnya Perkawinan atas kehendak istri Menurut Perundang-undangan
Perkawinan ...................................................................................................... 3
B. Pustusnya Perkawinan atas kehendak istri Menurut Hukum Islam................. 5
BAB III PENUTUP .............................................................................................. 8
Kesimpulan ........................................................................................................... 8
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 9

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pernikahan bagi umat manusia merupakan sesuatu yang dianggap sakral dan
mempunyai tujuan yang sakral pula, dan tidak terlepas dari ketentuan-ketentuan yang
ditetapkan syariat agama. Orang yang melangsungkan pernikahan bukan semata-mata
untuk memuaskan nafsu jasmaniah saja, melainkan untuk meraih ketenangan,
ketentraman dan sikap saling mengayomi diantara suami istri dengan dilandasi cinta dan
kasih sayang. Sebagai makhluk bermasyarakat, manusia tidak akan bisa hidup tanpa ada
hukum apa pun nama atau sebutannya yang mengatur pergaulan hidup mereka.1
Idealnya, suatu bangunan perkawinan didirikan membentuk keluarga yang bahagia
dan kekal, penuh cinta kasih serta diharapkan dapat bertahan seumur hidup.2 Setiap
pasangan suami istri yang melangsungkan perkawinan pasti memiliki tujuan yang sama
seperti di atas, dan tak seorang pun pada dasarnya yang menginginkan terjadinya
perceraian dalam rumah tangganya.
Namun, dalam perjalanan rumah tangga tidak selalu mulus, di dalamnya akan ada
kesalahpahaman, kekhilafan dan pertentangan. Hal ini sering terjadi karena pernikahan
merupakan pertemuan antara dua jiwa yang berbeda latar belakang, adat istiadat,
pendidikan, prilaku dan kebiasaan, sehingga manakala satu dengan yang lainnya sudah
tidak ada saling pengertian dalam perbedaan-perbedaan tersebut, maka muncullah
masalah dalam rumah tangga.
Tak jarang, konflik suami istri tidak dapat dikompromikan lagi karena sudah
sedemikian berat dirasakan oleh pasangan suami istri tersebut. Dalam kondisi
perkawinan semacam ini, maka lembaga perceraian merupakan salah satu solusi yang
dapat ditempuh sebagai alternatif terakhir dalam mengurai kekusutan rumah tangga.
Dalam hal ini, dengan keadilan Allah swt. dibukalah suatu jalan keluar dari segala
kesukaran itu, yaitu pintu perceraian,3 baik dengan jalan talak maupun dengan cerai
gugat.
Pada dasarnya terjadinya suatu perceraian (putusnya hubungan suami-istri) tidak
lepas dari berbagai macam faktor-faktor penyebab yang memengaruhi keutuhan ikatan

1
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2004), Cet. I, h. 1
2
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1983), cet. ke-10, h.1
3
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 15.

1
perkawinan. Berbagai faktor yang menjadi alasan bagi istri, untuk mengajukan cerai
gugat terhadap suaminya, baik itu faktor ekstern dalam rumah tangganya maupun faktor
intern.
Berakhirnya perkawinan dengan perceraian di pengadilan dapat terjadi atas kehendak dari
salah satu pihak, baik dari istri atau suami. Dalam hal suami yang berkehendak untuk cerai maka
suamilah yang mengajukan permohonan izin talak ke pengadilan, suami berkedudukan sebagai
pemohon dan istri sebagai termohon. Apabila perceraiannya itu atas kehendak istri, maka istri
harus mengajukan gugatan cerai, sehingga kedudukan istri sebagai Penggugat dan suami sebagai
Tergugat.4
Jadi ketentuan putusnya perkawinan atau hak cerai bukan hanya ada pada suami,
tetapi Islam juga memberikan hak kepada istri untuk mengajukan gugat cerai. Seorang
suami bisa menceraikan istrinya, istri juga bisa meminta suami untuk menceraikan
dirinya dengan jalan cerai gugat. Cerai gugat merupakan permintaan cerai istri kepada
suami dengan alasan yang sesuai dengan syara.5 Keduanya dapat dilakukan selama tidak
menyimpang dan sesuai dengan hukum Allah dan mempunyai hak yang sama untuk
mengajukan perceraian apabila mempunyai keinginan untuk bercerai.6
Dengan demikian, putusnya perkawinan dapat terjadi dalam 4 (empat)
kemungkinan: • Putusnya perkawinan atas kehendak Allah sendiri melalui kematian. •
Putusnya perkawinan atas kehendak suami disebut talak. • Putusnya perkawinan atas
kehendak istri disebut khulu‟. • Putusnya perkawinan atas kehendak hakim sebagai pihak
ketiga disebut fasakh.
Dari keempat bentuk putusnya perkawinan tersebut, maka yang dibahas dalam
makalah adalah ini Putusnya perkawinan atas kehendak istri. Dan berdasarkan uraian di
atas, perihal masalah putusnya perkawinan dalam bentuk makalah dengan judul
“ketentuan pemutusan perkawinan atas kehendak istri”.
B. Rumusan Masalah
Adapun perumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah;
1. Bagaimana Pustusnya Perkawinan atas kehendak istri Menurut Perundang-
undangan Perkawinan di Indonesia?
2. Bagaimana Pustusnya Perkawinan atas kehendak istri Menurut Hukum Islam?

4
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1996), Cet.
Ke-1, h. 39-40
5
Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Direktorat Jenderal
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1999), h. 14.
6
Wahyuningsih dan Putu Samawati, Hukum Perkawinan Indonesia, (Palembang: PT.Rambang
Palembang:2006), h. 110-111

2
BAB II
PEMBAHASAN
KETENTUAN PEMUTUSAN PERKAWINAN ATAS KEHENDAK ISTRI
A. Pustusnya Perkawinan atas kehendak istri Menurut Perundang-undangan Perkawinan
Ketentuan putusnya perkawinan dalam Undang-Undang No 16 Tahun 2019 perubahan
atas UU No. 1 Tahun 1974 terdapat tiga hal, pertama, karena kematian, kedua, karena
perceraian, dan ketiga, karena putusan pengadilan (Pasal 38 huruf a, b, dan c). Sedangkan
Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 menggunakan istilah dengan cerai talak, untuk
perceraian. Adapun perceraian karena putusan pengadilan (Pasal 38 huruf c) Peraturan
Pemerintah No 9 Tahun 1975 menggunakan istilah cerai gugatan. Perbedaan antara perceraian
atau cerai talak dengan karena putusan pengadilan adalah perceraian ikrar suami di depan
sidang pengadilan, sedangkan putusnya perkawinan karena putusan pengadilan atau dalam
istilah Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 cerai gugatan adalah perceraian yang terjadi
karena gugatan salah satu pihak dari suami istri tersebut, atau suatu perceraian akibat putusan
pengadilan.
Menurut Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan, untuk pengajuan
cerai dari pihak istri ke suami hanya ada dan disebutkan Cerai Gugat.7 Kompilasi Hukum Islam
(KHI) membedakan Cerai Gugat dengan Khulu’.8 Namun demikian, ia mempunyai kesamaan
dan perbedaan di antara keduanya. Persamaannya adalah: keinginan untuk bercerai datangnya
dari pihak isteri. Perbedaannya, yaitu cerai gugat tidak selamanya membayar ‘iwadh (uang
tebusan) yang menjadi dasar terjadinya khulu’ atau perceraian. Khulu’ yang dimaksud, diatur
dalam pasal 148 KHI. Ada catatan tersendiri, di mana ada keistimewaan terkait perlindungan
hukum bagi pihak istri yang mengajukan khulu yaitu walaupun pihak istri di tuntut dari hal
‘iwadh/tebusan, bilamana ada tuntutan dan perdebatan dari pihak suami sehingga
menimbulkan ketidaksepakatan tentang jumlah ‘iwadh/tebusan yang harus dikeluarkan pihak
istri, dalam pasal 148 ayat (6) KHI dinyatakan bahwa dalam hal tidak tercapai kesepakatan
tentang besarnya tebusan atau ‘iwadh. Maka berhak bagi pengadilan agama untuk memeriksa
dan memutus sebagai perkara biasa. Ketentuan ini secara langsung memberikan penegrtian
bahwa perkara tentang khulu’ adalah perkara luar biasa.
Khulu' sebagaimana halnya talak, dapat dilakukan secara langsung antara suami istri
tanpa melibatkan hakim dan pengadilan agama. Seperti dikatakan Imam Nawawi dalam Al-

7
Pasal 40 UU No.1 tahun 1974.
8
Pasal 132 KHI.

3
Majmuk Syarh al-Muhadzab; “Khulu' dapat dilakukan tanpa hakim karena khuluk merupakan
pemutusan akad dengan saling sukarela yang bertujuan untuk menolak kemudaratan. Oleh
karena itu ia tidak membutuhkan adanya hakim sebagaimana iqalah dalam transaksi jual beli.
Walaupun khulu' dapat dilakukan di luar pengadilan, namun secara formal itu tidak
diakui negara. Untuk mengesahkannya secara legal formal menurut undang-undang Indonesia,
maka pihak yang berperkara tetap harus mengajukannya ke Pengadilan Agama. 9 Harus juga
diingat, bahwa proses perceraian di Pengadilan Agama dapat dilakukan apabila memenuhi
sejumlah persyaratan yang ditentukan. Seperti, terjadinya kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT), suami tidak memberi nafkah, ditinggal suami selama 2 tahun berturut-turut dan lain-
lain.
Suatu gugatan perceraian akan diakui negara dan akan memiliki kekuatan legal formal
apabila dilakukan di Pengadilan Agama dan diputuskan oleh seorang Hakim. Untuk
mengajukan gugatan cerai atau khulu‟, seorang istri atau wakilnya dapat mendatangi
Pengadilan Agama (PA) di wilayah tempat tinggalnya.
Berbeda dengan khulu‟ yang dilakukan di luar Pengadilan, maka gugat cerai yang
diajukan melalui lembaga pengadilan harus memenuhi syarat-syarat antara lain:
1. Suami berbuat zina, pemabuk, pemadat, penjudi dan sebagainya;
2. Suami meninggalkan isteri selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa ada ijin atau
alasan yang jelas dan benar artinya suami dengan sadar dan sengaja meninggalkan isteri;
3. Suami dihukum penjara selama (lima) 5 tahun atau lebih setelah perkawinan
dilangsungkan;
4. Suami bertindak kejam dan suka menganiaya isteri;
5. Suami tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami karena cacat badan atau
penyakit yang dideritanya;
6. Terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus tanpa kemungkinan untuk rukun
kembali;
7. Suami melanggar taklik-talak yang diucapkan suami saat ijab-kabul;
8. Suami beralih agama atau murtad yang mengakibatkan ketidakharmonisan dalam
keluarga. Syarat-syarat di atas tentu saja harus disertai dengan adanya saksi dan bukti-bukti
yang menguatkan gugatan.
Dari rumusan perundang-undangan di atas bahwa, ketentuan putunya perkawinan atas
kehendak istri dapat terjadi; Pertama, perceraian dengan kehendak istri (cerai gugat) mungkin

9
KHI (Kompilasi Hukum Islam), Bab XVI Pasal 114

4
terjadi harus dengan alasan atau alasan-alasan, bahwa suami istri tidak akan dapat hidup rukun
sebagai suami istri dalam satu rumah tangga. Dengan demikian, perceraian dipandang sebagai
jalan terbaik bagi para pasangan. Pihak yang menentukan talak sebagai jalan terbaik adalah
pihak ketiga, yaitu pengadilan. Kedua, dari sekian banyak terjadinya perceraian, semua
mempunyai prinsip proses penyelesaian yang sama yaitu (1) pihak yang memutuskan
perceraian adalah pengadilan, (2) langkah-langkah yang harus ditempuh adalah mengajukan
permohonan atau gugatan dari salah satu pihak, pemanggilan untuk diperiksa oleh pengadilan,
dan putusan oleh pengadilan. Ketiga, terjadinya perceraian karena cerai gugat, terhitung sejak
putusan Pengadilan Agama, putusan perkawinan hanya dibuktikan dengan surat cerai.
B. Pustusnya Perkawinan atas kehendak istri Menurut Hukum Islam
Perceraian dalam hukum Islam adalah perbuatan yang halal namun mempunyai prinsip
dilarang oleh Allah SWT. Berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW. Yang maknanya
“Sesuatu perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak/perceraian”.
Berdasarkan Hadits tersebut menjelaskan bahwa perceraian adalah alternatif terakhir (pintu
darurat) yang dapat dilalui oleh suami istri bila ikatan perkawinan (rumah tangga) sudah tidak
bisa dipertahankan keutuhan dan kelanjutannya.
Apabila kita menelaah dalam hukum Islam, hak cerai sebenarnya terletak pada suami,
dan istilah yang digunakan umumnya talak. Namun apabila seorang Istri memiliki keinginan
untuk diceraikan dengan alasan-alasan tertentu yang dibenarkan agama dan undang-undang,
maka istilah yang digunakan adalah cerai-gugat atau khulu’.
Dengan adanya hak khulu‟ bagi wanita, dalam artian istri bisa memutuskan hubungan
rumah tangga dengan menggugat cerai suami dengan cara memberi ganti rugi atau iwadh
kepada suami dengan jalan khulu‟ (gugatan cerai istri),10 sang istri bisa memiliki dirinya
sendiri, dalam artian dia bebas dari ikatan perkawinan, walaupun pada dasarnya hak
menceraikan itu dimiliki oleh suami.
Khulu‟ dianggap sah apabila telah memenuhi beberapa unsur di antaranya syarat dan
rukun. Adapun dalam setiap rukun khulu‟ mempunyai syarat yang masing-masing harus ada
pada rukun tersebut. Untuk lebih jelasnya mengenai syarat-syarat Khulu‟ jika tampak adanya
bahaya yang mengancam dan merasa takut keduanya tidak akan dapat menegakkan hukum-
hukum Allah. Hendaknya khulu‟ itu berlangsung sampai selesai tanpa adanya tindakan
penganiayaan (menyakiti) yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya. Jika ia menyakiti
istrinya, maka ia tidak boleh mengambil sesuatu pun darinya. Khulu‟ itu berasal dari istri dan

10
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeve 1996), h.933

5
bukan dari pihak suami. Jika suami yang merasa tidak senang hidup bersama dengan istrinya,
maka suami tidak berhak mengambil sedikitpun harta dari istrinya. Khulu‟ sebagai thalak bain,
sehingga suami tidak diperbolehkan meruju‟nya kembali, kecuali setelah mantan istrinya
menikah dengan laki-laki lain dan kemudian melalui proses akan nikah yang baru.
Meskipun khulu diperbolehkan tetapi harus diikuti dengan alasan-alasan yang kuat,
seperti suami seorang pemabuk, pezina, penjudi, tidak menafkahi keluarganya dan lain-lain.
Cukuplah menjadi fakta kekuatan pengadilan dalam menangani kasus khulu. Sehingga untuk
melindungi hak wanita dalam perkawinan, pemberian hak khulu kepada wanita sangat
diperlukan guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Khulu' baru boleh
dilakukan apabila betul-betul ada alasan syar'i antara lain :11
1. Suami cacat tubuhnya atau buruk akhlaknya
2. Suami suka menyakiti jasmani isterinya
3. Suami tidak menunaikan kewajiban dan tanggungjawabnya
4. Isteri khawatir akan semakin jauh dari Allah SWT.
Adapun tujuan khulu' dalam Islam adalah memberi kelonggaran kepada seorang wanita
untuk melepaskan diri dari suaminya dengan suatu tebusan manakala ia merasa ada bahaya
yang mengancamnya, jika ia terus berada dibawah kekuasaan suaminya. Karena suami yang
zalim atau karena sebab yang lain yang tidak keluar dari aturan syar'i. Wanita tidak boleh
menyatakan khulu' selain sebab yang disyari'atkan.12
Jadi tidak diperbolehkan bagi wanita untuk mengajukan khulu' dari suaminya, sedang ia
sendiri tidak ingin berpisah darinya. Mungkin karena desakan orang tuanya. Ketaatan kepada
suaminya lebih utama dari pada ketaatan kepada mereka berdua, selama suami tidak
menyuruhnya melakukan suatu kemaksiatan.
Khulu' (Talak Tebus) boleh dilakukan baik waktu suci maupun sewaktu haid karena
biasanya terjadinya talak tebus atas kemauan isteri. Perceraian yang dilakukan dengan talak
tebus berakibat bekas suami tidak dapat rujuk lagi dan tidak boleh menambah talak sewaktu
iddah, hanya dibolehkan kawin kembali dengan aqad baru. Khulu‟ sendiri merupakan alternatif
fiqh didalam meringankan beban berat dari masalah rumah tangga.
Khulu' boleh dengan pembayaran yang ditentukan, dengan khulu' itu seorang wanita
berkuasa atas dirinya. Laki-laki tidak boleh kembali kepadanya kecuali dengan nikah yang
baru. Dampak/akibat hukum khulu', terdapat persoalan apakah perempuan yang menerima

11
Muhamad Fuad, Fiqh Wanita Lengkap (Mengupas Sisi Hukum Wanita dalam Kehidupan Sehari-hari),
(Jombang: Lintas Media, 2007), Cetakan Pertama, h. 482
12
Ibid. h. 483

6
khulu' dapat diikuti dengan talak atau tidak? Imam Malik berpendapat bahwa khulu' itu tidak
dapat diikuti dengan talak, kecuali jika pembicaraannya bersambung. Sedangkan Imam Abu
Hanifah mengatakan dapat diikuti tanpa memisahkan antara penentuan waktunya, yaitu
dilakukan dengan segera atau tidak. Perbedaan pendapat ini terjadi karena golongan pertama
berpendapat bahwa iddah termasuk hukum talak. Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat
termasuk hukum nikah. Oleh karena itu ia tidak membolehkan seorang menikahi perempuan
yang saudara perempuannya masih dalam iddah talak bain.13
Dari penjelasan serta pendapat para ulama diatas, pada prinsipnya Islam memberikan
jalan keluar bagi rumah tangga tersebut dengan menempuh jalan khulu‟. Inilah yang dimaksud
oleh Firman Allah SWT dalam firman-Nya pada surah an-Nisa (4) ayat 128 yang artinya “Dan
jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tak acuh dari suaminya, maka tidak
mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu
lebih baik (bagi mereka)….”perdamaian yang dimaksud disini ialah mereka dapat mengakhiri
hubungan suami istri melalui perceraian atas permintaan dari istri dengan kesediannya
membayar ganti rugi atau mengembalikan mahar yang telah diberikan ketika akad berlangsung.
Dengan demikian, berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa ketentuan putusnya
perkwinan atas kehendak istri (cerai gugat) dibolehkan selama dengan alasan-alasan tertentu
yang tidak memungkinkan hidup rukun dan damai, aman tentram kekal dan bahagia dalam satu
rumah tangga, hal ini pun harus dilakukan berdasarkan ketentuan hukum Islam.

13
Slamet Abidin, Fikih Munakahat 2, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), h. 95

7
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ketentuan putusnya perkwinan atas kehendak istri dibolehkan selama dengan
alasan-alasan yang sesuai dengan undang-undang serta ketentuan dalam Islam dan
apabila sang suami tidak mengabulkan permintaan dari istrinya (‘khulu), sedangkan sang
istri merasa tetap dirugikan haknya sebagai seorang istri, maka istri dapat mengajukan
gugatan untuk bercerai ke Pengadilan. Karena Islam memberlakukan keadilan untuk
wanita dalam ruang lingkup rumah tangga, hal ini dibuktikan adanya hak khulu‟ bagi
wanita. Kebolehan khulu‟ itu adalah untuk menghindarkan si istri dari kesulitan dan
kemudaratan yang dirasakannya bila perkawinan dilanjutkan tanpa merugikan pihak si
suami karena ia sudah mendapat iwadh dari istrinya atas permintaan cerai dari istrinya
itu.

8
DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004),
Cet.I

Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1983), cet. ke-10

Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2000)

Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1996), Cet. Ke-1

Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam, 1999)

Wahyuningsih dan Putu Samawati, Hukum Perkawinan Indonesia, (Palembang: PT.Rambang Palembang:2006)

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeve 1996)

Muhamad Fuad, Fiqh Wanita Lengkap (Mengupas Sisi Hukum Wanita dalam Kehidupan Sehari-hari),
(Jombang: Lintas Media, 2007), Cetakan Pertama

Slamet Abidin, Fikih Munakahat 2, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999)

Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan

Anda mungkin juga menyukai