Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

PUTUSNYA PERKAWINAN DAN AKIBAT HUKUMNYA


Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Perkawinan Islam Indonesia

Dosen Pengampu:
Dr. Sam’un, M.Ag
Disusun Oleh:
Kelompok 10

Adlin Malikah Hanun (05010121002)


M Irfan Hariyanto (05010121016)
Nisa’us Silmi (05010121028)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Alhamdulillah segala puji syukur bagi Allah SWT karena berkat rahmat,
ridho, hidayah serta inayah-Nya, makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.
Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi agung
Muhammad SAW, semoga kita mendapatkan syafaatnya kelak di hari kiamat.
Makalah yang kami susun tentang “Putusnya Perkawinan dan Akibat Hukumnya”
untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perkawinan Islam Indonesia. Adanya
bantuan serta kerja sama dari teman-teman dan dari berbagai macam sumber
akhirnya makalah ini berhasil kami susun, meskipun jauh dari kata sempurna.
Kami sangat memperlukan kritik dan saran yang membangun dari para
pembaca makalah ini, terutama dosen pengampu mata kuliah Hukum Perkawinan
Islam Indonesia, yaitu bapak Dr. Sam’un, M.Ag untuk memberi masukan yang
membangun guna terciptanya kesempurnaan pada makalah ini. Demikianlah yang
dapat kami sampaikan, kami berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi siapa
pun yang membacanya dan khususnya terhadap kami sendiri.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Surabaya, 02 Mei 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................ii
BAB I
PENDAHULUAN...........................................................................................1
1.1 Latar Belakang......................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................1
BAB II
PEMBAHASAN .............................................................................................2
2.1 Sebab-sebab Putusnya Perkawinan.......................................................2
A. Pemisahan Akibat Talak.................................................................3
B. Pemisahan Akibat Li’an.................................................................4
C. Pemisahan Akibat Khulu’..............................................................7
D. Pemisahan Akibat Fasakh..............................................................8
E. Pemisahan Akibat Syiqaq..............................................................9
F. Pemisahan Akibat Ila’....................................................................10
G. Pemisahan Akibat Zhihar...............................................................12
H. Pemisahan Akibat Nusyuz.............................................................14
2.2 Akibat Putusnya Perkawinan’...............................................................15
A. Masa Iddah.....................................................................................15
B. Hadhanah dan Akibat Hukumnya..................................................21
BAB III
PENUTUP.......................................................................................................22
3.1 Kesimpulan...........................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................23

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sebab-sebab Putusnya Perkawinan


Allah AWT berfirman dalam Q.S an-Nisa’ ayat 21:

‫ف‬ ِ ِ ٍ ‫ض ُك ْم اِىٰل َب ْع‬


َ ‫ض َّواَ َخ ْذ َن مْن ُك ْم ِّمْيثَاقً ا َغلْيظً ا َوَكْي‬ ُ ‫ض ى َب ْع‬
ٰ ْ‫َوقَ ْد اَف‬

‫تَْأ ُخ ُذ ْونَه‬
Artinya: “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu
telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri, dan mereka
(istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”.
Secara tidak langsung firman ini menggambarkan tentang adanya sebuah
ikatan yang kuat antara suami dan istri yang ingin diputus oleh suaminya.
Pemutusan ikatan ini tentu tidak tanpa sebuah sebab, melainkan ada beberapa hal
yang melatar belakangi mengapa pemutusan perkawinan itu dilakukan.
Sepatutnya sebuah upaya pemutusan perkawinan itu dilakukan bukan atas dasar
alasan yang ringan, melainkan ini sebagai jalan terakhir.
Sebuah perkawinan dapat putus apabila memenuhi sebab-sebab tertentu
yang diatur didalam Undang-Undang Perkawinan. Tidak menutup kemungkinan
bagi mereka warga negara Indonesia yang beragama Islam. Untuk dapat
dikategorikan sebuah perkawinan itu putus harus ada beberap sebab yaitu:
Kematian, perceraian dan atas putusnya pengadilan.1
Untuk melaksanakan perceraian ini salah satu pihak baik itu suami atau
istri harus mengajukan gugatan perceraian. Gugatan sebaiknya memenuhi alasan-
alasan perceraian sebagaiman diatur pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun
1975 Tentang pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
pasal 19 dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 116. 2 Alasan perceraian yang
dimaksud pada pasal 19 pada PP No. 9 Tahun 1975 adalah:

1
Umar Haris Sanjaya and Aunur Rohim Faqih, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia
(Yogyakarta: Gama Media, 2017), 104.
2
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia (Jakarta: Prenada Media, 2006), 190.

2
1) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi,
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemampuannya;
3) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain;
5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/isteri; 6. Antara suami dan
isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Alasan-alasan perceraian yang sama juga diatur pada Kompilasi Hukum
Islam (KHI) yaitu pada pasal 116. Pada ketentuan ini ada beberapa ayat
penambahan yaitu suami melanggar taklik talak dan peralihan agama atau murtad
yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan rumah tangga sebagai alasan
perceraian. Pengertian putusnya perkawinan karena perceraian dikenal dengan
praktek yang beragam didalam Kompilasi Hukum Islam. Bila diperhatikan lebih
lanjut ada beberapa perbuatan yang dapat memutus perkawinan menurut agama
islam baik itu diatur pada Undang-Undang Perkawinan ataupun Kompilasi
Hukum Islam:
A. Pemisahan Akibat Talak
Kompilasi Hukum Islam menjelaskan pengertian talak pada pasal 117
yang menyebutkan bahwa talak merupakan ikrar suami dihadapan sidang
pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan.
Dijelaskan diketentuan selanjutnya bahwa talak menurut KHI itu ada 3 macam.
Macam ini melihat dari sisi boleh tidaknya suami rujuk kembali pada istrinya
seperti:
 Talak raj’i: Talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk selama
istri dalam masa iddah. Pada masa ini seorang suami boleh rujuk kapan

3
saja asalkan masih dalam masa iddah. Terhadap talak ini sang istri telah
digauli, tidak dimintakan tebusan (iwadh) dan ini merupakan talak (sunny)
yang ada pada sunnah Rasulullah SAW.3
 Talak ba’in adalah talak yang dijatuhkan suami pada istrinya yang telah
habis masa iddahnya. Pada konteks talak ba’in ini dibagi lagi kedalam 2
macam talak ba’in yaitu: Pertama, talak ba’in sughraa, adalah talak yang
tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya
meskipun dalam iddah. Maksud dari talak ini adalah talak yang terjadi
sebelum dukhul, dengan tebusan atau khuluk dan dijatuhkan melalui
putusan pengadilan.4 Kedua, Talak ba’in kubra Ini adalah talak 3, yaitu
talak yang tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahi kembali. Bila
bersikeras ingin menikahi lagi bekas istrinya maka bekas istri tersebut
harus menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian setelah
dukhul (secara wajar) begitu pula telah habis masa iddahnya baru dapat
dinikahi kembali oleh bekas suaminya.5
B. Pemisahan Akibat Li’an
Menurut istilah hukum Islam, li’an ialah sumpah yang diucapkan oleh
suami ketika ia menuduh istrinya berbuat zina dengan empat kali kesaksian bahwa
ia termasuk orang yang benar dalam tuduhannya, kemudian pada sumpah
kesaksian kelima disertai persyaratan bahwa ia bersedia menerima laknat Allah
jika ia berdusta dalam tuduhannya itu. Dasar hukum pengaturan li’an bagi
suami yang menuduh istrinya berbuat zina ialah firman Allah surat An-Nur ayat
6-7. Menurut Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, BAB IX,
menjelaskan tentang li’an secara global yang tercantum dalam pasal 44, yaitu
sebagai berikut:6
a. Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh
istrinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan
anak itu akibat dari pada perzinaan tersebut.
3
Haris Sanjaya and Rohim Faqih, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, 107.
4
Haris Sanjaya and Rohim Faqih, 107.
5
Haris Sanjaya and Rohim Faqih, 108.
6
Eka Gifriana, “Li’an Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Positif,” Syakhsia: Jurnal
Hukum Perdata Islam 19, no. 02 (2018): 251.

4
b. Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas
permintaan pihak yang berkepentingan.
Dalam Undang-undang nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
menjelaskan tentang li’an secara umum, yang tercantum dalam pasal 87 dan pasal
88 sebagai berikut:7
Pasal 87:
1. Apabila permohonan atau gugatan cerai diajukan atas alasan salah satu pihak
melakukan zina, sedangkan pemohon atau penggugat tidak dapat melengkapi
bukti-bukti dan termohon atau tergugat menyanggah alasan tersebut, dan
Hakim berpendapat bahwa permohonan atau gugatan itu bukan tiada
pembuktian sama sekali serta upaya peneguhan alat bukti tidak mungkin lagi
diperoleh baik dari pemohon atau penggugat maupun dari termohon atau
tergugat, maka Hakim karena jabatannya dapat menyuruh pemohon atau
penggugat untuk bersumpah.
2. Pihak termohon atau tergugat diberi kesempatan pula untuk meneguhkan
sanggahannya dengan cara yang sama.
Pasal 88:
1. Apabila sumpah sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 87 ayat (1)
dilakukan oleh suami, maka penyelesaiannya dapat dilaksanakan dengan cara
li’an.
2. Apabila sumpah sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 87 ayat (1)
dilakukan oleh istri maka penyelesaiannya dilaksanakan dengan hukum yang
berlaku.
Dalam KHI pasal 126, menyebutkan bahwa li’an terjadi karena suami
menuduh istrinya berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam kandungannya
atau yang sudah lahir dari istrinya sedangkan istri menolak tuduhan dan atau
pengingkaran tersebut.

Adapun terhadap rukun li’an: Pertama, yaitu suami. Ditinjau dari segi
suami itu adalah orang yang bersumpah untuk menegakkan kesaksian dan dari

7
Gifriana, 252.

5
segi ia adalah orang yang menuduh orang lain berbuat zina yang untuk itu patut
dikenai sanksi fitnah berbuat zina atau qazaf, maka suami itu harus memenuhi
syarat sebagai berikut: 1) Ia adalah seorang yang sudah dikenai beban hukum atau
mukallaf, yaitu telah dewasa, sehat akalnya, dan berbuat dengan kesadaran
sendiri. 2) Suami itu adalah muslim, adil, dan tidak pernah dihukum karena qazaf,
dan 3) Suami tidak mampu mendatangkan saksi empat orang untuk membuktikan
tuduhan zina yang dilemparkannya kepada istrinya. 8
Rukun yang kedua yaitu istri. Adapun syarat istri yang harus terpenuhi
untuk sahnya li’an yang diucapkan suaminya adalah sebagai berikut: 1) Ia adalah
istri yang masih terkait tali perkawinan dengan suaminya. 2) Ia adalah seorang
mukallaf dalam arti sudah dewasa, sehat akal, dan berbuat dengan penuh
kesadaran, dan 3) Ia adalah seorang yang muhsan, yaitu bersih dari kemungkinan
sifat-sifat yang tercela yang menyebabkan dia pantas untuk dituduh berzina.
Adapun syarat li’an sendiri terdapat empat (4), yaitu: 1) Sumpah suami
sebanyak lima kali, harus bersambung terus, tidak boleh terputus agak lama. 2)
Atas perintah hakim Pengadilan Agama atau wakilnya. 3) Hakim mengajari
kalimat-kalimatnya kepada suami-istri yang berli’an, dan 4) Li’an suami menurut
ijma’ didahulukan dari li’an istri.9
Sebagai akibat dari sumpah li’an yang berdampak pada suami istri, yaitu
li’an menimbulkan pula perubahan pada ketentuan hukum yang mestinya dapat
berlaku bagi salah satu pihak (suami istri). Perubahan itu antara lain adalah
sebagai berikut: 1) Jatuhnya hukuman had qadhaf atau hukuman ta’zir bagi suami.
Jatuhnya hukuman had zina bagi istri. 2) Diharamkan persetubuhan dan
percumbuan setelah terjadinya li’an dari masing-masing suami-istri, meskipun
sebelum terjjadi pemisahan yang dilakukan oleh qadhi. 3) Wajib dilakukan
pemisahan keduanya antara suami dan istri. 4) Perpisahan merupakan talak ba’in.
5) Hilangnya nasab anak dari suami, dan nasabnya disandarkan kepada ibunya,
jika li’an ini dilakukan dengan tujuan untuk menolak nasab si anak. Dampak bagi
penolakan nasab ini adalah tidak adanya hak pewarisan, tidak ada kewaiiban

8
Gifriana, 255–56.
9
Gifriana, 257.

6
memberikan nafkah, baik nafkah yang harus ditunaikan oleh bapak untuk anak,
atau nafkah yang harus ditunaikan oleh anak untuk bapak.10
Perceraian akibat li’an berlaku untuk selama-lamanya. Suami-istri yang
berli’an tidak boleh kawin lagi untuk seumur hidup. Menurut Kompilasi Hukum
Islam, bagian keenam pasal 162 “Bilamana li’an terjadi maka perkawinan itu
putus untuk selama-lamanya dan anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya,
sedang suami terbebas dari kewajiban memberi nafkah”. Adapun dalam KUH
Perdata, pada pasal 280, 281 dan pasal 284, dijelaskan bahwa jika anak li’an lahir,
maka timbullah hubungan perdata antara anak, bapak dan ibunya. Pengakuan ini
harus di catat dalam bukti akta kelahiran yang di buat oleh pegawai pencatatan
sipil. Kemudian, menurut pasal 284, bahwa anak li’an dapat menjadi hubungan
nasabnya dengan bapaknya, jika sang ibunya mengizinkannya, jika sang ibu tidak
mengizinkannya, maka anak tetap di nasabkan kepada ibunya.11
C. Pemisahan Akibat Khulu’
Upaya istri untuk memutus perkawinan itu disebut khuluk.12 Kata khuluk
ini tidak penjelasan yang mendetail didalam Undang-undang perkawinan, tetapi
khuluk ini dijelaskan adapa pada Kompilasi Hukum Islam. KHI pasal 1 pada
ketentuan umum menjelaskan yang dimaksud dengan khuluk adalah perceraian
yang terjadi permintaan istri dengan memberikan tebusan atau iwadl kepada dan
atas persetujuan suaminya. Khuluk mempunyai arti adalah tebusan, yaitu tebusan
yang dibayar oleh seorang istri kepada suami yang dibencinya supaya suami dapat
menceraikannya. Kalau disesuaikan dengan masyarakat di Indonesia, maka ini
dikatakan dengan cerai tebus atau talak tebus.13 Praktek khuluk ini diperkenankan
didalam Agama Islam.

Prosedur hukum yang berlaku di Indonesia mengenai khuluk dapat dilihat


pada Kompilasi Hukum Islam pada pasal 148 yang ketentuannya berbunyi:

10
az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, 501–503.
11
Gifriana, 259–261.
12
Haris Sanjaya and Rohim Faqih, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, 115.
13
Haris Sanjaya and Rohim Faqih, 116.

7
1) Seorang isteri yang mengajukan gugatan perceraian dengan jalan khuluk,
menyampaikan permohonannya kepada pengadilan agama yang
mewilayahi tempat tinggalnya disertai alasan atau alasan-alasannya;
2) Pengadilan agama selambat-lambatnya satu bulang memanggil isteri dan
suaminya untuk didengar keterangannya masing-masing;
3) Dalam persidangan tersebut pengadilan agama memberikan penjelasan
tentang akibat khuluk, dan memberikan nasehat-nasehatnya;
4) Setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya iwadh atau tebusan,
maka pengadilan memberikan penetapan tentang izin bagi suami untuk
mengikrarkan talaknya didepan sidang pengadilan agama. Terhadap
penetapan itu tidak dapat dilakukan upaya banding dan kasasi;
5) Penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana diatur dalam pasal 131
ayat (5);
6) Dalam hal tidak tercapai kesepakatan tentang besarnya tebusan atau iwadh
pengadilan agama memeriksa dan memutuskan sebagai perkara biasa.
7) Ditambahkan pada Kompilasi Hukum Islam Pasal 161 bahwa khuluk
tidak dapat dirujuk.
D. Pemisahan Akibat Fasakh
Penyebutan fasakh sebagai penyebab putusnya perkawinan didapat pada
Kompilasi Hukum Islam pasal 155 pada bab pembahasan tentang masa iddah.
Ketentuan itu mengatakan bawah fasakh digambarkan sebagai perbuatan cerai
yang mengakibatkan masa iddah. Pemahaman bahwa fasakh itu disamaartikan
dengan pengertian batalnya perkawinan sebagaimana diatur pada pasal 70 dan 71
Kompilasi Hukum Islam. Mengingat pemaknaan dari fasakh itu sendiri adalah
batal atau rusak (pembatalan perkawinan). Kompilasi Hukum Islam Pasal 70
mengatur tentang batalnya perkawinan apabila: 14

1) Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah


karena sudah mempunyai empat orang istri sekalipun salah satu dari keempat
istrinya dalam iddah talak raj’i;
2) Seseorang menikah bekas istrinya yang telah dili’annya;

14
Haris Sanjaya and Rohim Faqih, 119.

8
3) Seseorang menikah bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak
olehnya, kecuali bila bekas istri tersebut pernah menikah dengan pria lain
kemudian bercerai lagi ba’da al dukhul dan telah habis masa iddahnya;
4) Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah,
semenda, dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi
perkawinan;
5) Istri adalah saudara kandang atau sebagai bibi atau kemenakan dan istri atau
istri-istrinya.
Dikuatkan pada pasal selanjutnya yaitu pasal 71 yang mengatur bahwa
perkawinan dapat dibatalkan apabila:15
1) Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama;
2) Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri
pria lain yang mafqud;
3) Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam masa iddah dan suami lain;
4) Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan
dalam pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974;
5) Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak
berhak;
6) Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
Artinya fasakh dalam perkawinan timbul karena alasan yang muncul seelah
adanya perkawinan dan itu bernilai kemudharatan sehingga pantas untuk dihapus,
entah itu pada perkawinannya atau pada permasalahannya.
E. Pemisahan Akibat Syiqaq
Syiqaq adalah kelanjutan dari nusyuz, yaitu tahapan dimana nusyuz yang
sudah dilakukan istri kepada suami. Syiqaq merupakan perceraian yang diawali
dengan proses percekcokan antara suami dan istri terus menerus. Percekcokan ini
dapat terjadi karena didasari atas sebab yang berkaitan dengan karakter, watak,
ataupun sifat yang dari itu semua menimbulkan ketidakcocokan dan berakhir pada
sebuah pertengkaran.16 Pada pelaksanaan syiqaq ini terjadi percekcokan antara

15
Haris Sanjaya and Rohim Faqih, 120.
16
Haris Sanjaya and Rohim Faqih, 124.

9
suami dan istri dengan melibatkan adanya hakim dari masing-masing pihak.
Hakam disini merupakan keterwakilan masing-masing alasan dari suami atau istri
untuk dapat menjelaskan alasan-alasannya terkait percekcokan.
Hakam mempunyai fungsi sebagai juru damai, ia menilai situasi dan
memperdalam apa alasan yang menimbulkan percekcokan. Hasil rekomendasi
hakam terhadap upaya mendamaikan pasangan dalam percekcokan yang tidak
bisa didamaikan adalah syiqaq. Syiqaq ini adalah rekomendasi hakam dalam
keterlibatannya memutus cerai. Walaupun pelaksanaan syiqaq ini melibatkan
hakam, dalam praktek hukum di Indonesia upaya ini lebih dikenal dengan upaya
mediasi.17 Hal ini selalu dilakukan sebelum sidang di pengadilan dimulai. Mediasi
merupakan kewajiban dalam proses beracara pada permohonan talak ataupun
gugatan perceraian.
F. Pemisahan Akibat Ila’
Menurut bahasa ila’ adalah sumpah yamin.18 Adapun secara syariat, ila’
adalah sumpah dengan nama Allah SWT atau slah satu sifat-Nya, atau dengan
nazar atau dengan ta’liq talak untuk tidak mendekati istrinya pada waktu tertentu.
Tidak sah ila' yang dilakukan oleh anak kecil, orang gila, dan orang yang dipaksa,
akibat tidak sahnya talak mereka. Juga tidak sah ila' yang dilakukan oleh orang
yang dikebiri dan impoten, karena meskipun sah talak kedua orang ini, tetapi tidak
sah ila’ keduanya, karena dengan ila' ini tidak terwujud tujuan untuk menyakiti
dengan cara tidak melakukan persetubuhan.19
Menurut Jumhur fuqaha, ila’ memiliki empat (4) rukun, yaitu: Pertama, al-
Haalif ( orang yang bersumpah) yaitu semua suami yang sah talaknya, atau semua
suami yang telah akil baligh yang mampu untuk melakukan persetubuhan. Sah ila'
yang dilakukan oleh orang kafir, budak, orang yang tengah marah, orang yang
tengah mabuk, orang yang tengah sakit yang diharapkan kesembuhannya, dan
orang yang belum sempat menyetubuhi istrinya. Jumhur Fuqaha sepakat bahwa

17
Haris Sanjaya and Rohim Faqih, 124.
18
az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, 463.
19
az-Zuhaili, 464.

10
membolehkan ila’ dilakukan oleh orang kafir, adapun mazhab Maliki tidak
membolehkannya.20
Kedua, al-Mahluuf bihi (yang dijadikan sebagai sumpah), yaitu Allah
SWT juga sifat-sifat-Nya menurut kesepakan fuqaha. Ketiga, al-Mahluuf ‘alaih
( objek sumpah), yaitu persetubuhan dengan semua lafal yang mengandung
pengertian persetubuhan, serta berbagai lafal lain yang bersifat terang-terangan
dan sindiran. Keempat, masa. Menurut jumhur fuqaha selain Hanafi yaitu, suami
bersumpah untuk tidak menyetubuhi istrinya selama lebih dari empat bulan.
Adapun pendapat mazhab Hanafi, masa yang paling sedikit adalah lebih dari
empat bulan.21
Adapun terkait syarat-syarat ila’, yaitu: 1) Suami bersumpah dengan nama
Allah SWT, atau dengan salah satu sifat-Nya, seperti Yang Mahakasih, dan Tuhan
seluruh alam, bahwa dia tidak menyetubuhi istrinya lebih dari empat bulan. 2)
Suami bersumpah untuk tidakmelakukan persetubuhan selama lebih dari empat
bulan karena Allah SWT menjadikan orang yang mengucapkan sumpah
menunggu selama empat bulan. 3) Suami bersumpah untuk tidak melakukan
persetubuhan di bagian vagina. 4) Yang dijadikan objek sumpah adalah istri.22
Disyaratkan bagi pembatalan agar terjadi sebelum lewat masa empat
bulan. Maka jika si suami membatalkan sumpahnya pada masa ila', berarti dia
telah melanggar sumpahnya, dia mesti membayar kafarat dan ila' jatuh. Jika tidak
batalkan sumpahnya sampai lewat masa empat bulan, si istri menjadi tertalak ba'in
dari suaminya dengan satu kali talak.
Jumhur fuqaha berselisih pendapat dengan mazhab Hanafi dalam dua
perkara, yaitu: Pertama, sesungguhnya pembatalan ila' menurut jumur fuqaha
dilakukan sebelum dan sesudah berakhirnya masa ila’, sedangkan menurut
mazhab Hanafi pembataan ila’ dilakukan sebelum berakhirnya masa ila'. Oleh
karena itu, jika terjadi pembatalan sebelum berakhirnya masa ila’, maka ila’

20
az-Zuhaili, 467.
21
az-Zuhaili, 468.
22
az-Zuhaili, 469–471.

11
menjadi hilang dan orang yang membatalkan ila' ini dikenakan ketentuan
membayar kafarat yamin menurut kesepakatan fuqaha.23
Jika tidak terjadi pembatalan setelah lewat masa ila’, istri berhak
mengadukan kepada qadhi. Maka qadhi memberikan dua pilihan kepada sang
suami, yaitu membatalkan ila’ atau menjatuhkan talak. Jika sang suami tidak
berkenan untuk membatalkan ila’, maka qadhi menjatuhkan talak. Talak yang
jatuh adalah talak raj'i bukannya talak ba'in. Sedangkan menurut mazhab Hanafi,
talak yang jatuh adalah talak ba'in. Kedua, sesungguhnya talak menurut pendapat
jumhur tidak jatuh hanya sekadar lewatnya waktu. Dia jatuh dengan penjatuhan
talak dari suami, atau dari qadhi jika si istri melaporkan perkaranya.24
G. Pemisahan Akibat Zihar
Menurut syariat, yang dimaksud zihar adalah seorang laki-laki
menyamakan istrinya dengan perempuan yang haram untuk dia nikahi untuk
selama-lamanya.25 Hukum melakukan zihar adalah sesuatu yang diharamkan.
Berdasarkan firman Allah SWT dalam surah al-Mujaadilah ayat 2 “Sesungguhnya
mereka bebar-benar mengucapkan suatu perkataan munkar dan dusta”. Artinya,
sesungguhnya seorang istri tidak sama dengan ibu dalam segi pengharaman. 26
Dijelaskan juga dalam surah al-Ahzaab ayat 4 “ Dan Dia tidak menjadikan istri-
istrimu yang kamu zihar itu sebagai ibumu.”
Jumhur fuqaha selain mazhab Hanafi sepakat bahwa zihar mempunyai
empat rukun, yaitu al-Muzhaahir (lelaki yang melakukan zihar) adalah suami, al-
Muzhaahar bihi (istri yang dizihar) adalah istri, lafal atau ucapan yang diucapkan
suami bersifat terang-terangan ataupun sindiran, dan perkara yang diserupakan
adalah yang haramuntuk disetubuhi, yaitu ibu, dan juga perempuan yang
diharamkan secara abadi akibat hubungan nasab, susuan ataupun besanan.27

Adapun terhadap setiap rukun zihar memiliki syarat tersendiri. Pertama,


al-Muzhaahir (lelaki yang mmelakukan zihar) harus berakal, baligh dan orang
23
az-Zuhaili, 480.
24
az-Zuhaili, 480.
25
az-Zuhaili, 506.
26
az-Zuhaili, 508.
27
az-Zuhaili, 511.

12
muslim menurut pendapat Hanafi dan Maliki.28 Kedua, al-Muzhaahar bihi
(perempuan yang dizihar) harus istrinya, yaitu dengan adanya perkawinan. Ketiga,
perkara yang diserupakan harus ibu dan perempuan yang diharamkan untuk
selamanya, akibat hubungan nasab, susuan dan besanan.29 Keempat, ucapan zihar
harus lafal yang bersofat terang-terangan yang tidak membutuhkan niat ataupun
lafal sindiran yang membutuhkan niat.30
Terdapat akibat atau dampak bagi zihar, yaitu pengharaman persetubuhan
sebelum dibayar kafarat.31 Kafarat sendiri memiliki tiga urutan dan jenis,
diantaranya: 1) Memerdekakan budak yang bebas dari cacat, kecil ataupun besar,
laki-laki ataupun perempuan. 2) Puasa dua bulan berturut-turut. 3) Memberikan
makan enam puluh orang miskin. Selama satu hari, yang berupa makan siang dan
makan malam menurut mazhab Hanafi.32
Ketiga jenis dan urutan kafarat diatas dilakukan secara berurutan. Pertama,
memerdekakan budak. Jika tidak mampu melakukannya, maka diganti dengan
puasa. Jika tidak mampu lagi melakukannya akibat lemah, maka hendaklah
memberi makan kepada enam puluh (60) orang miskin.
Zihar bisa saja bersifat sementara atau bersifat mutlak dan abadi. Hukum
dari masing-masing keduanya berbeda. Pertama, jika zihar bersifat sementara.
Misalnya, seorang suami berkata kepada istrinya “Bagiku kamu seperti punggung
ibuku satu hari atau satu bulan ataupun satu tahun”. Maka zihar berakhir dengan
berakhirnya waktu dengan tanpa melaksanakan kafarat. Menurut jumhur fuqaha’,
karena zihar seperti sumpah yang memiliki waktu dan berakhir dengan masanya.
Kedua, jika zihar bersifat abadi atau mutlak, maka hukum zihar terhenti atau batal
menurut kesepakatan fuqaha dengan kematian salah satu diantara suami atau
istri.33

H. Pemisahan Akibat Nusyuz

28
Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu (Jakarta: Gema Insani, 2011), 511–512.
29
az-Zuhaili, 513.
30
az-Zuhaili, 515.
31
az-Zuhaili, 519.
32
az-Zuhaili, 524.
33
az-Zuhaili, 531.

13
Nusyuz merupakan suatu kondisi yang tidak menyenangkan yang dapat
timbul dari istri atau suami yang tercermin pada adanya kebencian, perselisihan,
pertengkaran dan permusuhan yang menjurus pada perampasan yang dapat
menimbulkan bahaya bagi keluarga.34 Menurut jumhur ulama fuqaha’ nusyuz
adalah kemaksiatan seorang istri terhadap suaminya, dan merasa tinggi atau
memandang rendah suaminya, dan menampakkan sikap kebencian atau
ketidaksenangannya terhadap suami.18 Namun ada sebagian ulama yang
menjelaskan bahwa nusyuz tidak hanya sebatas perbuatan menyimpang dari istri
ke suami saja, namun juga berlaku sebaliknya.
Nusyuz dapat diartikan sebagai sikap pembangkangan terhadap kewajiban-
kewajiban dalam kehidupan perkawinan. Pembahasan tentang nusyuz telah
diterangkan dalam Kompilasi Hukum Islam, namun nusyuz dalam KHI tidak
diatur secara khusus, artinya kita tidak menemukankan suatu bab yang hanya
mengatur tentang nusyuz. Kata nusyuz disebutkan dalam kompilasi hukum Islam
sebanyak enam kali dalam tiga pasal yang berbeda yaitu pasal 80, 84, dan 152.35
Pengaturan mengenai nusyuz di dalam KHI dipersempit hanya pada istri
serta akibat hukumnya. Sedangkan mengenai nusyuz suami tidak disinggung
dalam KHI. Berkaitan dengan nusyuz suami, sebagaimana nusyuz istri yang
dijelaskan dalam Pasal 84 KHI, apabila melihat isi ayat (1) dari Pasal 84
mengenai nusyuz istri yang menyatakan bahwa istri dianggap nusyuz jika tidak
mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana yang diatur dalam Pasal 83
ayat (1), kecuali dengan alasan yang sah, maka hal itu berlaku juga untuk nusyuz
yang datang dari pihak suami. Sehingga nusyuz suami merupakan suami yang
tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana yang sudah diatur
dalam Pasal 80 KHI.36

2.2 Akibat Putusnya Perkawinan

34
Shaleh bin Ghanim, Nusyuz,Jika Suami Istri Berselisih Bagaimana Cara Mengatasinya?
(Jakarta: Gema Insani, 2006), 26.
35
Lutfiyatun Azizah, “Nusyuz Menurut Hukum Kompilasi Hukum Islam Dalam Tinjauan Fikih
Islam” (Makassar, Universitas Muhammadiyah Selatan, 2022), 29–31.
36
Aisyah Nurlia, Nilla Nargis, and Elly Nurlaili, “Nusyuz Suami Terhadap Istri dalam Perspektif
Hukum Islam” 1, no. 04 (2018): 441.

14
Bila hubungan perkawinan putus antara suami dan istri dalam segala
bentuknya, maka hukum yang berlaku sesudahnya adalah Hubungan antara
keduanya yaitu orang asing dalam arti harus berpisah dan tidak boleh saling
memandang apalagi bergaul sebagai suami istri, sebagaimana yang berlaku antara
dua orang yang saling asing Perkawinan adalah akad yang membolehkan seorang
laki- laki bergaul dengan seorang perempuan sebagai suami istri. Putusnya
perkawinan mengembalikan status halal yang didapatnya dalam perkawinan,
sehingga dia kembali ke status semula, yaitu haram. Bila terjadi hubungan
kelamin dalam masa iddah tersebut atau sesudahnya, maka perbuatan tersebut
menurut jumhur ulama termasuk zina. Hanya tidak diperlakukan terhadap sanksi
atau had zina karena adanya syblat ikhtilaf ulama, atau syubhat karena berbeda
paham ulamanya.
Ulama Hanafiyah dan demikian pula ulama Syi'ah Imamiyah
membolehkan hubungan kelamin. antara mantan suami dengan mantan istri yang
sedang menjalani iddah talak raj'iy dan yang demikian sudah diperhitungkan
sebagai ruju. Ulama Zhahiriyah juga berpendapat boleh- nya suami bergaul
dengan mantan istrinya dalam iddah raj'iy, namun yang demikian tidak dengan
sendirinya terjadi sebagai ruju. Keharusan memberi mut'ah, yaitu pemberian
suami kepada istri yang diceraikannya sebagai suatu kompensasi. Hal ini berbeda.
dengan mut'ah sebagai pengganti mahar bila istri dicerai sebelum digauli dan
sebelumnya jumlah mahar tidak tidtentukan, tidak wajib suami yang bernama
mut’ah.
A. Iddah
Iddah adalah bahasa Arab yang berasal dari akar kata adda - ya'uddu -
'idatan dan jamaknya adalah 'idad yang secara arti kata (etimologi) berarti:
"menghitung" atau "hitungan".37 Kata ini digunakan untuk maksud iddah karena
dalam masa itu si perempuan yang ber-iddah menunggu berlalunya waktu. Dalam
kitab fiqih ditemukan definisi iddah itu yang pendek dan sederhana diantaranya
adalah masa tunggu yang dilalui oleh seorang perempuan. Karena sederhananya

37
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia : Antara Fiqh Munakahat Dan
Undang-Undang Perkawinan, Edisi Pertama, Cetakan ke-3 (Jakarta: Prenada Media, 2011), 303.

15
definisi ini ia masih memerlukan penjelasan terutama mengenai apa yang
ditunggunya, kenapa dia menunggu, dan untuk apa dia menunggu. Pada
hakikatnya iddah merupakan masa yang harus ditunggu oleh seorang perempuan
yang telah bercerai dari suaminya supaya dapat kawin lagi untuk mengetahui
bersih rahimnya atau untuk melaksanakan perintah Allah.
Yang menjalani iddah tersebut adalah perempuan yang bercerai dari
suaminya, bukan laki- laki atau suaminya. Perempuan yang bercerai dari
suaminya dalam bentuk apapun, cerai hidup atau mati, sedang hamil atau tidak,
masih berhaid atau tidak, wajib menjalani masa iddah itu. Kewajiban menjalani
masa iddah dapat dilihat dari beberapa ayat Al- Qur'an, di antaranya adalah firman
Allah dalam surat al- Baqarah (2) ayat 228.
UU perkawinan mengatur tentang iddah dengan menggunakan nama
“waktu tunggu” yang terdapat dalam pasal 11 Undang-undang RI No.1 tahun
1974 tentang perkawinan menetapkan waktu tunggu sebagai berikut yaitu: Ayat
(1) Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
Ayat (2) Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat satuakan diatur
dalam peraturan pemerintah lebih lanjut. Demikian pula pada Peraturan
Pemerintah No. 9 tahun 1975, tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang RI
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur waktu tunggu yang dituangkan
pada bab VII pasal 39. Pada pasal 153 Kompilasi Hukum Islam tentang
perkawinan dalam menentukan waktu tunggu sebagai berikut: Ayat (1) Bagi
seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau idah kecuali
qobla dhukhul dan perkawinannya putus bukan karenakematian suami.38
Sama halnya dengan yang di atur dalam pasal 154 dan pasal 155
Kompilasi Hukum Islam tentang perkawinan, mengatur waktu idah. Sementara
itu, apabila perkawinan putus karena khulu, fasakh, atau li'an, maka waktu tunggu
seperti idah talak. Sedangkan apabila seorang istri tertalak raj'i kemudian di dalam
menjalani masa idahnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 153 ayat (2) huruf b,
ayat ( 5) dan ayat (6) ditinggal mati oleh suaminya, maka idahnya berubah
38
Ahmad Yajid Baidowi, “Analisis Tentang Peraturan Masa Iddah Bagi Laki-Laki Dalam Counter
Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI) Pasal 8 Ayat 1 Prespektif Fiqih Islam,” El-Ahli :
Jurnal Hukum Keluarga Islam 3, no. 2 (December 28, 2022): 166..

16
menjadi empat bulan sepuluh hari atau 130 hari yang mulai menghitungnya pada
saat matinya mantan suaminya tersebut. Adapun masa idah yang telah berjalan
pada saat suaminya masih hidup tidak dihitung, tetapi aula: dihitung pada saat
kematian. Karena hal tersebut dianggap masih terikat dalam perkawinan karena
sang suami masih berhak merujukava selama masih dalam masa adah
karakteristik masa idah tersebut, merupakan ketentuan hukum mengenai tenggang
waktu hitungan masa idah dalam hukum perkawinan Islam.39
Tujuan dan hikmah hukum. Adapun tujuan dan hikmah diwajibkanya
iddah itu adalah sebagaimana dijelaskan dalam salah satu definisi yang disebutkan
di atas, yaitu: Pertama, untuk mengetahui bersihnya rahim perempuan tersebut
dari bibit yang ditinggalkan mantan suaminya. Hal ini disepakati oleh ulama.
Pendapat ulama waktu itu didasarkan kepada dua alur pikir:
1. Bibit yang ditinggal oleh mantan suami dapat berbaur dengan bibit orang
yang akan mengawininya untuk menciptakan satu janin dalam perut
perempuan tersebut. Dengan pembauran itu diragukan anak siapa
sebenamya yang dikandung oleh perempuan tersebut. Untuk
menghindarkan pembauran bibit itu, maka perlu diketahui atau diyakini
bahwa sebelum perempun itu kawin lagi rahimnya bersih dari peninggalan
mantan suaminya.
2. Tidak ada cara untuk mengetahui apakah perempuan yang baru berpisah
dengan suaminya mengandung keturunan dari mantan suaminya atau tidak
kecuali dengan datangnya beberapa kali haid dalam masa itu. Untuk itu
diperlukan masa tunggu.
Kedua, untuk taabud, artinya semata untuk memenuhi kehendak dari Allah
meskipun secara rasio kita mengira tidak perlu lagi. Contoh dalam hal ini,
umpamanya perempuan yang kematian suami dan belum digauli oleh suaminya
itu masih tetap wajib menjalani masa iddal, meskipun dapat dipastikan bahwa
mantan suaminya tidak meninggalkan bibit dalam rahim istrinya itu.

39
Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, cet. Pertama (Jakarta: Sinar Grafika,
2006), 166–67.

17
Adapun hikmah yang dapat diambil dari ketentuan iddah itu adalah agar
suami yang telah menceraikan istrinya itu berpikir kembali dan menyadari
tindakan itu tidak baik dan menyesal atas tindakannya itu. Dengan adanya iddah
dia dapat menjalin kembali hidup per- kawinan tanpa harus mengadakan akad
baru.
Syarat wajib. Yang dimaksud dengan syarat wajib di sini adalah syarat-
syarat yang menentukan adanya hukum wajib; bentuk syaratnya adalah alternatif;
dengan arti bila tidak terdapat salah satu syarat-syarat yang ditentukan, maka tidak
ada hukum wajib, sebaliknya bila salah satu di antara syarat yang ditentukan telah
terpenuhi, maka hukum- nya adalah wajib. Syarat wajib iddah ada dua, yaitu:
1. Matinya suami. Bila istri bercerai dengan suaminya karena suaminya
meninggal dunia, maka perempuan itu wajib menjalani masa iddah, baik
dia telah bergaul dengan suaminya itu atau belum. Dalam hal ini tidak ada
beda pendapat di kalangan ulama. Yang menjadi dasar hukumnya adalah
firman Allah dalam surat al-Baqarah (2) ayat 234.
2. Istri sudah bergaul dengan suaminya. Bila suami belum bergaul dengan
istrinya, maka istri tersebut tidak memenuhi syarat untuk dikenai
kewajiban ber-iddah. Ketentuan ini berdasarkan kepada surat al-Ahzab
(33) ayat 49: 2.
Yang menjalani masa iddah itu adalah istri yang bercerai dari suaminya.
Tentang apakah juga berlaku iddah bagi seorang perempuan yang bukan karena
cerai dari Suami atau cerai dari perkawinan yang fasid atau akibat hubungan
kelamin secara syubhat menjadi perbincangan di kalangan ulama. Jumhur ulama
berpendapat bahwa perem- puan yang digauli oleh seorang laki-laki secara
syubhat wajib men- jalani iddah. Yang dimaksud dengan syubhat di sini adalah
hubungan kelamin yang berlangsung antara laki-laki dan perempuan yang tidak
terikat dalam tali perkawinan, namun pada waktu berlang- sungnya hubungan
kelamin itu masing-masing meyakini bahwa yang digaulinya itu adalah
pasangannya yang sah.
Dengan terjadinya hubungan kelamin secara syubhat ini istri tidak putus
hubungan per- kawinannya dengan suaminya, namun día harus menjalani masa

18
iddah dan setelah habis masa iddah itu baru boleh dia melakukan hubungan
kelamin dengan suaminya itu. Hal yang sama juga berlaku terhadap perempuan
yang menikah dengan laki-laki secara fasid atau tidak memenuhi persyaratan yang
dituntut. Bila dia cerai dengan suaminya dia harus menjalani masa iddah. Imam
Syafi'iy dan Imam Ahmad menetapkan iddah terhadap perempuan dalam nikah
fasid karena dihubungkan kepada istri dalam hal penetapan nasab.
Bentuk-Bentuk Iddah. Iddah diatur jelas didalam ayat suci Al-Qur’an. Dari
semua yang ada pada Al-Qur’an, iddah dapat dikategorikan menjadi 5 macam
masa iddah yang dapat dilalui oleh seorang istri. Iddah itu terbagi antara lain:40
1. Iddah bagi istri yang ditalak dan menjalani iddah dalam 3 kali masa haid.
Ini terdapat pada surat Al-Baqarah ayat 228 dimana dikatakan bahwa
wanita yang ditalak hendaklah menahan diri 3 kali quru’. Hal ini
dimaksudkan agar tidak ada bayi dalam kandungan rahim si wanita.
2. Iddah bagi istri yang ditinggal mati suaminya, yaitu didalam Surat Al-
Baqarah ayat 234 yang menjelaskan bahwa masa iddah tersebut selama 4
bulan 10 hari.
3. Iddah bagi istri yang sedang hamil, yaitu mempunyai masa tunggu hingga
ia melahirkan anak yang dikandungnya. Hal ini terdapat didalam surat at-
Thalaq ayat 4 yang menjelaskan sedangkan perempuan-perempuan yang
hamil, waktu iddah mereka itu sampai mereka melahirkan kandungannya.
4. Iddah bagi istri yang tidak haid lagi (monopause). Masa iddah bagi istri
yang tidak haid lagi selama tiga bulan. Hal ini tertera didalam surat At-
Thalaq ayat 4.
5. Masa iddah bagi seorang istri yang belum dicampuri. Maka ia tidak
memiliki masa iddah yang berlaku baginya. Hal ini diatur didalam pada
Q.S Al-Ahzab ayat 49.
6. Disamping 5 macam iddah yang diatur didalam Al-qur’an, ada beberapa
kejadian dimana iddah itu dikatakan sebagai iddah istihadhah, yaitu masa
dimana ia biasa menjalani masa haid sesuai dengan waktu yang biasa ia

40
Umar Haris Sanjaya Ainur Rahim Faqih, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Cetakan
Pertama (Yogyakarta: Gama Media, 2017), 129.

19
alami. Oleh karena itu penting untuk memperhatikan kebiasaan masa haid
dan masa sucinya. Tetapi bila sudah 3 kali masa haid, itu dianggap wajar
dan dianggap selesai masa iddahnya.
Berbeda jika masa haid yang dialami seorang wanita itu tidak tentu, maka
harus diketahui penyebab ketidaktentuan haidnya apakah karena penyakit atau
karena masih proses asi. Terhadap penyebab ini harus ditunggu kepastian masa
haidnya, tetapi bila tidak diketahui masa haidnya dan tidak ada indikasi penyakit,
maka ia harus menjalani masa iddah selama 9 bulan untuk melihat ia dalam
kondisi hamil apa tidak. Adapun bentuk dan cara iddah juga ada tiga macam:
Iddah dengan cara menyelesaikan quru’ yaitu antara haid dan suci, iddah dengan
kelahiran anak dan iddah dengan perhitungan bulan.
Hak istri dalam masa iddah. Istri yang telah bercerai dari suaminya masih
mendapatkan hak- hak dari mantan suaminya selama berada dalam masa iddah,
karena dalam masa itu dia tidak boleh melangsungkan perkawinan dengan laki-
laki lain, namun hak itu tidaklah sempurna sebagaimana yang berlaku semasa
dalam hubungan perkawinan. Bentuk hak yang diterima tidak tergantung pada
lama masa iddah yang dijalaninya, tetapi tergantung pada bentuk perceraian yang
dialaminya. Istri yang bercerai dari suaminya dihubungkan kepada hak yang
diterimanya dikelompokkan ke dalam tiga macam:
1. Istri yang dicerai dalam bentuk thalaq raj'i, hak yang diterimanya adalah
penuh sebagaimana yang berlaku sebelum dicerai, baik dalam bentuk
dunia untuk pangan, untuk pakaian dan juga tempat tinggal. Hal ini
merupakan kesepakatan ulama.
2. Istri yang dicerai dalam bentuk thalaq bain, baik bain sughra atau bain
kubra dan dia sedang hamil. Dalam hal ini ulama melarang, bahwa dia
berhak atas nafaqah dan tempat tinggal.
3. Hak istri yang ditinggal mati oleh suaminya. Dalam hal istri dalam
keadaan hamil ulama sepakat mengatakan bahwa dia berhak atas nafkah
dan tempat tinggal, namun bila istri tidak dalam keadaan hamil ulama beda
pendapat. Sebagian ulama di antaranya Imam Malik, al-Syafi'iy dan Abu

20
Hanifah berpendapat bahwa istri dalam iddah wafat berhak atas tempat
tinggal.

B. Hadhanah dan Akibat Hukumnya


Dalam istilah fiqh digunakan dua kata namun ditujukan untuk maksud
yang sama yaitu kaffalah dan hadhanah. Yang dimaksud dengan hadhanah atau
kaffalah dalam arti sederhana ialah “pemeliharan” atau " pengasuhan". Yang lebih
lengkapnya adalah pemeliharaan anak yang masih kecil setelah terjadinya putus
perkawinan. Dalam Islam dinamakan “hadhanah“. Hadhanah mempunyai arti
secara etimologi maupun terminologis. Secara etimologis, hadhanah berasal dari
kata hadhana-yahdhunuhadhnan yang memiliki arti mengasuh anak atau memeluk
anak.41 Para ulama menetapkan bahwa pemeliharaan anak itu hukum- nya adalah
wajib, sebagaimana wajib meliharanya selama berada dalam ikatan perkawinan.
Adapun dasar hukumnya mengikuti umum perintah Allah untuk membiayai anak
dan istri dalam firman Allah pada surat al-Baqarah (2) ayat 233.
Kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukan hanya berlaku selama
ayah dan ibu masih terikat dalam tali perkawinan saja, namun juga berlanjut
setelah terjadinya perceraian. Menurut Kompilasi Hukum Islam, masa
pemeliharaan anak adalah sampai anak itu dewasa dan dapat mengurus dirinya
sendiri. Batas usianya adalah ketika anak sudah mencapai umur 21 (dua puluh
satu) tahun sebagaimana bunyi dari pasal 156 poin d. Semua biaya hahanah dan
nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-
kurangnya, sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21
tahun).
Mengenai hal ini sebenarnya telah dijelaskan dalam pasal sebelumnya,
yaitu pasal 98 ayat (1) yang berbunyi :42 “Batas usia anak yang mampu berdiri

41
“Hadhanah Dalam Islam (Hak Pengasuhan Anak Dalam Sektor Pendidikan Rumah) | Muhajir |
SAP (Susunan Artikel Pendidikan),” 166
42
“Hadhanah Dalam Islam (Hak Pengasuhan Anak Dalam Sektor Pendidikan Rumah) | Muhajir |
SAP (Susunan Artikel Pendidikan),” 171–72.

21
sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik
maupun mental atau belum pernah melakukan perkawinan”. Jadi menurut
Kompilasi Hukum Islam batas usia anak dalam hadhanah adalah 21 tahun, pada
usia tersebut anak dianggap telah dewasa dan dapat mengurus dirinya sendiri
sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik maupun mental, selain itu anak yang
telah melangsungkan perkawinan dianggap telah dewasa, dan pada masa tersebut
orang tua tidak mempunyai kewajiban lagi memelihara atau mengasuh kepada
anak.
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan pada pasal 105
bahwa: “Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun
adalah hak ibunya. a. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan
kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak
pemeliharaannya.” Kemudian pada pasal berikutnya dari Kompilasi Hukum Islam
yaitu dalam pasal 156, poin Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan
hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka
kedudukannya digantikan oleh: (1) Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari
ibu. (2)Ayah, (3) Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah, (4)Saudara
perempuan dari pihak anak yang bersangkutan. (5)Wanitawanita kerabat sedarah
menurut gari samping dari ayah.
Dengan demikian ibu merupakan prioritas utama, dan apabila terhalang
untuk memelihara atau meninggal dunia, hak pemeliharaan diprioritaskan kepada
kerabat perempuan meskipun dari pihak laki-laki. Bahwa wanita lebih baik dalam
melaksanakan hadhanah dibandingkan laki-laki bila dilihat dari segi kewanitaan
yang sabar, ulet, dan penyayang.
Rukun dan Syarat. Pemeliharaan atau pengasuhan anak itu berlaku antara
dua unsur yang menjadi rukun dalam hukumnya, yaitu orang tua yang mengasuh
yang disebut hadhin dan anak yang diasuh atau mahdhun Keduanya harus
memenuhi syarat yang ditentukan untuk wajib dan sahnya tugas pengasuhan itu.
Dalam masa ikatan perkawinan ibu dan ayah secara bersama berkewajiban untuk
memelihara anak hasil dari perkawinan itu. Setelah terjadinya perceraian dan
keduanya harus berpisah, maka ibu dan atau ayah berkewajiban memelihara

22
anaknya secara sendiri-sendiri. Ayah dan ibu yang akan bertindak sebagai
pengasuh yang diminta hal-hal sebagai berikut:
1. Sudah dewasa. Orang yang belum dewasa tidak akan mampu me lakukan
tugas yang berat itu, oleh karenanya belum dikenai ke- wajiban dan
tindakan yang dilakukannya itu belum dinyatakan memenuhi persyaratan.
2. Berpikiran sehat. Orang yang kurang akalnya seperti idiot tidak berbuat
untuk dirinya sendiri dan dengan keadaan mampu itu tentu tidak akan
mampu berbuat untuk orang lain.
3. Beragama Islam. Ini adalah pendapat yang dianut oleh jumhur ulama,
karena tugas pengasuhan itu termasuk tugas pendidikan yang akan
mengarahkan agama anak yang diasuh. Kalau diasuh oleh orang yang
bukan Islam dikhawatirkan anak yang diasuh akan jauh dari agamanya.
4. Adil dalam arti menjalankan agama secara baik, dengan meninggalkan
dosa besar dan menjauhi dosa kecil. Kebalikan dari adil dalam hal ini
disebut fasiq yaitu tidak konsisten dalam beragama. Orang yang komitmen
agamanya rendah tidak dapat diharapkan untuk mengasuh dan memelihara
anak yang masih kecil.
Adapun syarat untuk anak yang akan diasuh (mahdhun) itu adalah yang
pertama yaitu ia masih berada dalam usia kanak- kanak dan belum dapat berdiri
sendiri dalam mengurus hidupnya sendiri. Dan yang kedua yaitu ia berada dalam
keadaan tidak sempurna akalnya dan oleh karena itu tidak dapat berbuat sendiri,
meskipun telah dewasa, seperti orang idiot. Orang yang telah dewasa dan sehat
sempurna akalnya tidak boleh berada di bawah pengasuhan siapa pun.
Bila kedua orang tua si anak masih lengkap dan memenuhi syarat, maka
yang paling berhak melakukan hadhanah atas anak adalah ibu. Alasannya adalah
ibu lebih memiliki rasa kasih sayang dibandingkan dengan ayah, sedangkan dalam
usia yang sangat muda itu lebih dibutuhkan kasih sayang. Bila anak berada dalam
asuhan seorang ibu, maka segala biaya yang diperlukan untuk itu tetap berada di
bawah tanggung jawab si ayah. Hal ini sudah me- rupakan pendapat yang
disepakati oleh ulama.

23
24
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

25
DAFTAR PUSTAKA

Ainur Rahim Faqih, Umar Haris Sanjaya. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia.
Cetakan Pertama. Yogyakarta: Gama Media, 2017.
Azizah, Lutfiyatun. “Nusyuz Menurut Hukum Kompilasi Hukum Islam Dalam
Tinjauan Fikih Islam.” Universitas Muhammadiyah Selatan, 2022.
Baidowi, Ahmad Yajid. “Analisis Tentang Peraturan Masa Iddah Bagi Laki-Laki
Dalam Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI) Pasal 8
Ayat 1 Prespektif Fiqih Islam.” El-Ahli : Jurnal Hukum Keluarga Islam 3,
no. 2 (December 28, 2022): 161–80. https://doi.org/10.56874/el-
ahli.v3i2.959.
Gifriana, Eka. “Li’an Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Positif.”
Syakhsia: Jurnal Hukum Perdata Islam 19, no. 02 (2018).
“Hadhanah Dalam Islam (Hak Pengasuhan Anak Dalam Sektor Pendidikan
Rumah) | Muhajir | SAP (Susunan Artikel Pendidikan).” Accessed May 2,
2023.
https://journal.lppmunindra.ac.id/index.php/SAP/article/view/2089/1588.
Haris Sanjaya, Umar, and Aunur Rohim Faqih. Hukum Perkawinan Islam Di
Indonesia. Yogyakarta: Gama Media, 2017.
Nurlia, Aisyah, Nilla Nargis, and Elly Nurlaili. “Nusyuz Suami Terhadap Istri
dalam Perspektif Hukum Islam” 1, no. 04 (2018): 17.
Shaleh bin Ghanim. Nusyuz,Jika Suami Istri Berselisih Bagaimana Cara
Mengatasinya? Jakarta: Gema Insani, 2006.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia. Jakarta: Prenada
Media, 2006.
———. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia : Antara Fiqh Munakahat Dan
Undang-Undang Perkawinan. Edisi Pertama, Cetakan ke-3. Jakarta:
Prenada Media, 2011.
Zainudin Ali. Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Cet. Pertama. Jakarta: Sinar
Grafika, 2006.
Zuhaili, Wahbah az-. Fiqh Islam Wa Adillatuhu. Jakarta: Gema Insani, 2011.

26
27

Anda mungkin juga menyukai