Anda di halaman 1dari 11

FAKTOR PENYEBAB MENINGKATNYA CERAI GUGAT DI

PENGADILAN WATTAN SOPPENG

Kasmi

18.2100.0

Hukum Keluarga Islam

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Parepare

Abstrak

Dalam menjalani kehidupan berumah tangga, suami istri terkadang


menghadapi berbagai masalah, baik yang sifatnya ringan hingga berat,
mempertaruhkan keutuhan keluarga hingga perceraian. Penelitian ini
bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan
tingginya angka perceraian di Pengadilan Agama Wattansoppeng. Untuk
mencapai tujuan tersebut, penulis menggunakan metode kualitatif dan
empiris dengan pendekatan analisis deskriptif, yaitu menggambarkan
situasi atau peristiwa sebagaimana adanya pada saat penelitian, kemudian
menganalisis data atau fakta untuk menarik kesimpulan. Penelitian ini
bertempat di Pengadilan Agama Wattansoppeng. Jenis dan sumber data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data primer yaitu
wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Wattansoppeng dan sumber
data sekunder khususnya laporan perkara perceraian tahun 2017 sampai
dengan tahun 2021. Hasilnya mengungkapkan faktor-faktor di balik
tingginya tingkat perceraian Di Pengadilan Agama Pengadilan Agama
Wattansoppeng terdapat 13 faktor, yaitu faktor ekonomi, perselisihan,
kekerasan dalam rumah tangga, poligami, mabuk-mabukan, murtad,
perjudian, pemenjaraan, penindasan, cacat, paksaan kawin dan zina.
Namun, faktor dominan yang melatarbelakangi kasus perceraian di
Pengadilan Agama Wattansoppeng adalah faktor ekonomi.

PENDAHULUAN
Dalam pasal 3 kompilasi hukum Islam disebutkan bahwa
pernikahan bertujuan untuk mencapai kehidupan keluarga yang sakinah,
mawaddah dan rahmah. Selanjutnya dalam UU no. Pada tanggal 1 Januari
197 dideklarasikan bahwa tujuan pernikahan adalah untuk membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan.
Namun untuk mencapai tujuan pernikahan tidaklah mudah, akan banyak
hambatan, kesulitan dan tantangan yang akan dihadapi di masa depan,
banyak pasangan yang tidak dapat mencapai tujuan pernikahan, karena
begitu banyak rumah tangga atau anggota keluarga yang merasa tidak
bahagia bahkan hidup. berhenti di tengah jalan dan berakhir dengan
perceraian.1

Allah SWT hanya mengizinkan perceraian dalam keadaan darurat


atau sebagai upaya terakhir ketika tidak ada solusi yang dapat ditemukan
untuk menyatukan kembali. Islam memahami dan menyadari hal tersebut,
oleh karena itu Islam membuka kemungkinan terjadinya perceraian, baik
talak maupun talak dalam rangka menjunjung tinggi prinsip kebebasan dan
kemandirian manusia. Hukum Islam mengizinkan dan mengizinkan
perceraian jika lebih tepat untuk menjaga kasih sayang perkawinan.
Walaupun tujuan pernikahan adalah untuk mencapai kebahagiaan dan
keselarasan dalam hati masing-masing, tentunya kebahagiaan ini tidak
akan tercapai dalam hal yang tidak bisa diperbaiki, karena kebahagiaan ini
tidak bisa dipaksakan. . Memaksakan kebahagiaan bukanlah kebahagiaan
tetapi penderitaan. Inilah sebabnya mengapa Islam tidak mengikat
kematian perkawinan, tetapi juga tidak memfasilitasi perceraian.

Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 114 menyebutkan :


Putusnya Perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi
karena Talak atau berdasarkan Gugatan Perceraian.”2

Setiap perceraian pasti diawali dengan konflik yang menimbulkan


perselisihan dalam keluarga sehingga tidak tercapainya hakekat
1
M. Ali Hasan, 2003, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, Cet 1,
Prenada Media, Jakarta, hal 3.
2
Mohammad Daud Ali,2002, Hukum Islam dan Peradilan Agama, Cet II, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hal 1.
perkawinan, yaitu menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah dan
warahmah. Kasus perceraian di Pengadilan Agama Wattansoppeng dari
tahun ke tahun semakin meningkat dan masih mendominasi kasus
perceraian. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya jumlah
permohonan cerai memiliki alasan yang berbeda-beda. Hal ini dibuktikan
dengan jumlah kasus yang dibawa ke Pengadilan Agama Wattansoppeng
pada tahun 2017 sebanyak 5. 1 kasus. Tahun 2018 ada 5.669 kasus dan
tahun 2019 ada 6.085 kasus. Sedangkan 2020 adalah 6.158 dan 2021 tidak
kurang dari 6.178.

Fenomena perceraian yang terjadi di kota wattansoppeng


merupakan masalah yang serius dan perlu adanya tindakan pencegahan
dari pihak yang berwenang, pengadilan telah melakukan upaya untuk
mempertimbangkan perceraian melalui mediasi, mengingat angka
perceraian yang tinggi. Maka dengan melihat konteks permasalahan di
atas, penulis mengkaji dan menggali penyebab tingginya angka perceraian
di Pengadilan Agama Makale. Hal ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi
faktor-faktor penyebab tingginya angka perceraian di Pengadilan Agama
Wattansoppeng. Apa faktor yang melatarbelakangi tingginya angka
perceraian di Pengadilan Agama Wattansoppeng? Selanjutnya, tujuan dari
penelitian ini adalah untuk memahami, memahami dan menganalisis
faktor-faktor penyebab tingginya angka perceraian di Pengadilan Agama
Makale.

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan jenis metode kualitatif dengan


spesifikasi penelitian yang digunakan sebagai deskriptif analisis, bertujuan
untuk mendapatkan gambaran yang utuh tentang faktor-faktor yang
melatarbelakangi tingginya angka perceraian di Pengadilan Agama
Wattansoppeng. Penelitian ini menggunakan pendekatan hukum empiris,
penelitian hukum empiris merupakan penelitian yang menyimpang dari
kesenjangan antara teori dan kehidupan nyata dengan menggunakan
asumsi, landasan teori, kerangka konseptual, data sekunder dan data
primer.
Penelitian dilakukan melalui penelitian dokumen hukum dan kerja
lapangan. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi literatur, studi
kasus, dan wawancara. Kesimpulan yang ditarik dari hasil penelitian
dikumpulkan dengan metode analisis kuantitatif kualitatif. Normatif karena
penelitian dimulai dari peraturan yang ada seperti hukum aktif, asas hukum
dan pemahaman hukum. Kualitatif karena merupakan analisis data yang
diperoleh dari informasi/hasil wawancara dengan informan yang relevan.
Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data menggunakan wawancara
dan dokumen. Keabsahan data dalam penelitian ini menggunakan teknik
triangulasi sumber, yaitu membandingkan dan memverifikasi keandalan
informasi yang diperoleh pada waktu yang berbeda dan alat penelitian
kualitatif. Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini dikumpulkan dan
dianalisis secara kualitatif, kemudian data tersebut dideskripsikan lebih
lanjut untuk memperoleh gambaran yang jelas dan dapat dipahami serta
bertujuan untuk memecahkan masalah penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dasar Hukum Cerai Gugat

erceraian bukan hanya hak suami untuk menceraikan istrinya,


tetapi juga hak istri untuk menggugat suaminya. Dalam hal seorang istri
dapat menggugat suaminya, hal ini juga harus disertai dengan alasan yang
jelas. Perceraian tidak disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tetapi perceraian diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 20 sampai dengan 36 yang
menjelaskan tentang tata cara perceraian.3

Dalam kisah yang diceritakan oleh Buchari dan Nasa'i dari Ibnu
Abbas: Istri Tsabit Bin Qis Bin Syammas datang kepada Rasulullah dan
berkata: Islam. Rasulullah bersabda: Apakah kamu ingin mengembalikan
kebun itu kepadanya? Wanita itu menjawab: Ya, ya. Maka Rasulullah

3
Ali Husain Muhammad Makki Al-Amili,2001, Perceraian Salah Siapa?, Cet I,
Lentera Basritama, Jakarta, h. 65
SAW pun bersabda kepada Tsabit Bin Qis: “Terimalah taman dan cerai
dengan talak.”4

Hadist diatas merupakan dasar hukum bagi bolehnya seorang isteri


meminta cerai dari suaminya karena ada sesuatu yang tidak ia sukai dari
suaminya tersebut.

Tata Cara Perceraian

Dalam undang-undang no. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan


Tata Cara Pelaksanaannya menetapkan tata cara dan syarat-syarat yang
harus dipenuhi bila pasangan akan bercerai. UU No. 1 Tahun 1974
memberikan hak kepada suami istri untuk bercerai. Menurut cara
perceraian, dalam hal ini suami berhak untuk menceraikan istrinya yang
dinyatakan di pengadilan agama (khususnya bagi yang beragama Islam).
Sementara itu, seseorang yang mengajukan cerai dari seorang wanita yang
menyelenggarakan perkawinan Islam berhak untuk menceraikan suaminya
menurut putusan pengadilan agama.

Sedangkan untuk proses perceraian diatur dalam Peraturan


Pemerintah No. September 1975, secara singkat diuraikan sebagai berikut:

Permohonan cerai diajukan oleh suami atau istri atau wakilnya ke


pengadilan agama yang berwenang di tempat kediaman tergugat. Setelah
gugatan diajukan, baik penggugat maupun tergugat atau wakilnya harus
hadir di pengadilan. Selama persidangan, hakim mencoba menengahi
antara kedua belah pihak, jika tidak, persidangan berlanjut ke tahap
berikutnya. Kemudian, setelah membaca permohonan/gugatan, pada tahap
ini penggugat/pemohon berhak untuk menguji apakah semua faktor
(alasan/alasan perkara dan keadaan) adalah benar dan lengkap. Hal-hal
yang tercantum dalam pengaduan adalah subyek (referensi) pemeriksaan
dan pemeriksaan tidak jelas dari apa yang terkandung dalam pengaduan.

4
Ahmad Zahari, 2010, Kumpulan Peraturan Perkawinan, Cet. II, Fh Untan Press,
Pontianak, hal 35
Demikian pula tanggapan responden. Tergugat mempunyai
kesempatan untuk membela diri dan menyerahkan segala haknya kepada
penggugat melalui majelis hakim. Penggugat kemudian dapat menyatakan
kembali gugatannya yang ditolak oleh tergugat dan juga membela terhadap
pemecatan tergugat. Kemudian ada fase pengulangan, di mana termohon
menginterpretasikan kembali jawaban yang dibantah oleh penggugat.

Bukti lainnya, penggugat menghadirkan semua bukti yang


mendukung dalil JPU. Demikian pula jika termohon mengajukan bukti
yang mendukung suatu jawaban (penolakan), masing-masing pihak berhak
menilai bukti pihak lawan. Kemudian, kesimpulannya, masing-masing
pihak, baik penggugat maupun tergugat, memberikan pendapat akhir atas
hasil pengujian tersebut. Selain majelis musyawarah dan pembacaan
putusan, hakim memberikan segala pendapatnya atas perkara tersebut dan
menyimpulkan dalam putusan, sebagai akhir dari perselisihan antara
penggugat dan termohon.

Analisis Faktor Penyebab Meningkatnya Cerai Gugat Di Pengadilan


Agama Makale

Untuk memulai analisis tentang tingginya angka perceraian di


Pengadilan Agama Wattansoppeng, maka perlu diketahui data dan
informasi tentang angka perceraian di Pengadilan Agama Wattansoppeng.

Pengadilan Pengadilan Agama Wattansoppeng memiliki yurisdiksi


atas wilayah Klas II Kota Wattansoppeng, terdiri dari 30 kelurahan, 151
kelurahan, dengan jumlah penduduk muslim 2.404.589.000 dengan rata-
rata jumlah perkara 627 kasus per tahun. Untuk menjalankan fungsinya
mengandalkan tenaga kerja sebanyak 79 orang dengan menempati gedung
1.000 m2 x 2 lantai di atas lahan 2.444 m2.

Menurut statistik, kasus-kasus yang dibawa ke pengadilan agama di


wattansoppeng adalah kasus perceraian. Kasus terbanyak adalah perceraian
(istri yang mengajukan cerai) dengan 72 kasus, sedangkan talak talak
(permohonan cerai yang diajukan suami) menempati urutan kedua dengan
15 kasus pada tahun 2021.
Kasus perceraian dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang
cukup signifikan, terutama dari tahun 2017 hingga tahun 2021.
Selanjutnya, untuk tingginya angka kasus perceraian di Pengadilan Agama
Wattansoppeng akan diajukan usia pengajuan gugatan cerai di Pengadilan
Agama Wattansoppeng.

Dapat melihat bahwa pelamar antara usia 31 dan 40 adalah pihak


yang paling banyak mengajukan gugatan cerai. Memiliki tingkat
pendidikan yang tinggi, memiliki pekerjaan dan memiliki penghasilan
tersendiri memudahkan orang untuk mengajukan cerai dibandingkan
kelompok usia lainnya.

Faktor penyebab gugat cerai adalah faktor ekonomi, tidak adanya


keharmonisan (pertengkaran dan perselisihan terus menerus), salah satu
pihak meninggalkan, KDRT, dll. Dari tabel diatas menunjukkan bahwa
alasan utama gugat cerai di Pengadilan Agama Wattansoppeng yang
tertinggi adalah faktor ekonomi dengan jumlah 1965 pada tahun 2017,
2295 pada tahun 2018, 2909 pada tahun 2019, 2275 pada tahun 2020, 1720
pada tahun 2021. Selanjutnya faktor penyebab perceraian tertinggi kedua
adalah tidak adanya keharmonisan atau adanya pertengkaran dan
perselisihan terus menerus dengan jumlah 1359 pada tahun 2017, 1640
pada tahun 2018, 2025 pada tahun 2019, 2509 pada tahun 2020 dan 3268
pada tahun 2021.

Dari hasil analisis menunjukkan bahwa alasan diajukannya gugatan


cerai di Pengadilan Agama Wattansoppeng lebih dominan terhadap faktor
ekonomi. Faktor tidak adanya keharmonisan dalam rumah tangga atau
pertengkaran dan perselisihan terus menerus antara pihak penggugat
maupun tergugat menjadi alasan kedua diajukannya gugatan tersebut.
Faktor gangguan pihak ketiga dan faktor KDRT ataupun poligami bukan
menjadi faktor dominan yang menyebabkan gugatan cerai di Pengadilan
Agama Wattansoppeng. Namun pada dasarnya dari ketiga belas faktor
diatas saling mempunyai keterkaitan sehingga menjadi alasan pihak isteri
mengajukan gugatan cerai.
Ekonomi dan kurangnya keharmonisan seperti pertengkaran dan
konflik yang terus-menerus menjadi faktor utama yang menyebabkan
tingginya angka perceraian di pengadilan agama di Bandung, faktor-faktor
dalam keluarga ini dapat dikaitkan dengan berbagai penyebab seperti
saling curiga, kurangnya rasa saling percaya antar pasangan itu mengarah
ke pertengkaran terus-menerus dan berakhir dengan perceraian. Tidak
kurang dari 5% berpendapat bahwa faktor ekonomi menjadi salah satu
penyebab perceraian.

Faktor ekonomi ini muncul dari berbagai permasalahan, seperti


ketidakmampuan suami memenuhi kebutuhan keluarga karena tidak
memiliki pekerjaan tetap atau suami tidak aktif sehingga pendapatan
keluarga tidak jelas, dari mana, berdampak pada berkurangnya pemenuhan
kebutuhan dalam keluarga. Kebutuhan. Bagi istri, ini tidak sesuai dengan
harapan pernikahan yang dirancang untuk memanfaatkan suami yang
bekerja. Masalah ekonomi juga datang dari keluarga yang pasangannya
adalah pegawai negeri sipil (ASN). ASN harus menjadi pekerjaan yang
stabil secara finansial. Penderita ASN bercerai karena keadaan ekonomi
dan taraf hidup yang tinggi, sehingga pendapatan yang mereka terima
masih belum mencukupi.5

Penelitian menunjukkan bahwa tekanan finansial memiliki efek


langsung pada kesejahteraan finansial. Semakin tinggi tekanan keuangan
keluarga, semakin rendah pengembalian yang diharapkan dari pernikahan
dan semakin tinggi kemungkinan perceraian. Ketika mitra tidak dapat
mengelola keuangan mereka karena sumber daya yang tidak mencukupi
atau keputusan manajemen keuangan yang buruk, mereka terhambat dalam
mencapai kepuasan keuangan dan hubungan.6

Faktor ekonomi juga mempengaruhi kondisi rumah tangga dalam


hal lain. Dalam beberapa kasus, faktor ekonomi telah merambah ke kasus
perselingkuhan. Perekonomian baik, kepala keluarga sering bertengkar

5
E. Suryani, “Tingkat Perceraian Muslim dan Non muslim Di Indonesia,” Mizan
J. Islam. Law, vol. 3, no. 2, pp. 153–200, 2018
6
S. Doriza, Ekonomi Keluarga, Pertama.Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015
dengan istrinya. Pertengkaran ini mendorong sang suami untuk mencari
istri lain. Tidak jauh berbeda dengan sikap seorang suami yang mencari
istri lain karena sering bertengkar dengan istrinya, seorang istri juga
mencari seorang pria dengan prospek ekonomi yang lebih baik untuk
memenuhi kebutuhan hidup yang tidak dimiliki suaminya dapat terpenuhi.
Dari faktor ekonomi tersebut, konflik keluarga dapat berubah menjadi
banyak konflik lainnya.

Faktor ekonomi juga disebabkan oleh pernikahan anak. Banyak


anak muda di sore hari memutuskan untuk menikah muda. Situasi
perkawinan anak ini terjadi di luar budaya, karena para remaja tersebut
tidak memiliki tujuan hidup dan tidak tahu harus berbuat apa setelah tamat
sekolah dasar (SD). Pada akhirnya, para remaja ini memutuskan untuk
menikah dini. Rata-rata, perkawinan anak terjadi asalkan individu tersebut
belum siap secara mental dan finansial. Sehingga banyak dari mereka yang
tidak tahu bagaimana cara bertahan hidup, salah satunya adalah memiliki
pendapatan untuk menghidupi rumah tangga. Ketidakmampuan untuk
memenuhi kebutuhan rumah tangga pada pasangan ini berujung pada
perceraian.7

KESIMPULAN

Faktor penyebab perceraian selama lima tahun di Pengadilan


Agama Wattansoppeng semakin beragam. Meskipun ketika beracara di
pengadilan, alasan perceraian sesuai dengan apa yang ditentukan oleh
undang-undang, faktor dasar yang menyebabkan keputusan perceraian
rumah tangga juga semakin beragam. Faktor perceraian tidak datang dari
satu daerah saja. Banyak daerah yang akhirnya memperburuk keadaan
rumah tangga hingga akhirnya mereka memutuskan untuk bercerai. Faktor
sosial budaya yang semakin banyak muncul dalam kehidupan dewasa ini
turut berkontribusi terhadap meningkatnya angka perceraian. Kesadaran
situasional semakin memungkinkan pasangan keluarga untuk mengambil

7
W. Nuroniyah, “Cerai Lebe sebagai Inisiatif Lokal dalam Upaya Meminimalisir
Praktek Perceraian Liar (Studi Kasus di Desa CangkringKabupaten Indramayu),” vol. 14,
no. 1, pp.113–130, 2020.
sikap tentang apa yang terjadi dalam pernikahan mereka. Pendidikan
pralahir tidak hanya dihadirkan sebagai proses menuju pernikahan. Namun
sayangnya, banyak orang yang melihat pendidikan pranikah sebagai
formalitas. Sampai keluarga mereka mengetahui masalah tersebut, para
pihak tidak dapat memperbaikinya dan akhirnya bercerai. Saran
berdasarkan penelitian ini adalah mencari pasangan yang serasi atau
memahami pasangannya sehingga melalui suatu hubungan terbentuk
komunikasi yang baik yang dapat mendukung terbentuknya keluarga yang
harmonis.

DAFTAR PUSTAKA

Albania, Nurasiyah. Plus minus Cerai wanita berkacamata Islami.


Tangerang: Sealova Media, 201

Ali, Zainuddin. hukum perdata Islam di Indonesia. Cet I. Jakarta: Sinar


Graphic, 2006.

David Ali, Mohammad. Hukum Islam dan Pengadilan Agama, Cet II,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Qur'an dan terjemahannya.


Semarang: Cv. Toha Putra, 2008.

Edisi Legal Center, 2002. Safroni, Ladzi. Informasi tentang pernikahan


muslim di Indonesia. This I, Malang: Aditya Media Publishing,
2011

Hamami, Taufiq. Kedudukan dan keberadaan peradilan agama dalam


sistem hukum di Indonesia. ini saya. Bandung: Alumni, 2003.

Hasan, M. Ali., Panduan Kehidupan Rumah Tangga dalam Islam, Cet I,


Jakarta: Prenada Media, 2003.

Hoerudin, Ahrum. Tribunaux powersieux. Bandung: Aditya Bakti, 1999.

Husain, Ali. Perceraian karena salah siapa? Ini I. Jakarta: Lentera


Basritama, 2001.
Prodjohamidjojo, Martiman. Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta:
Indonesia

A. Sari, Taufik, and A. Sano, “Kondisi Kehidupan Rumah Tangga


Pasangan Sebelum Bercerai dan Faktor-Faktor PenyebabTerjadinya
Perceraian (Studi pada Masyarakat Suku Jawa di Kecamatan Sei
Dadap Kota Kisaran),” J. Konseling dan Pendidik., vol. 4, no. 3, pp.
41–51, 2016.

E. Suryani, “Tingkat Perceraian Muslim dan Non muslim Di Indonesia,”


Mizan J. Islam. Law, Vol. 3, no. 2, pp. 153–200, 2018.

M. H. Nuriyyatiningrum, “Tinjauan Yuridis Terhadap Faktor Penyebab


Perceraian di Pengadilan Agama Purwodadi,” J. Lentera Kaji.
Keagamaan, Keilmuan, dan Teknol., vol.18, no. 2, pp. 126–138,
2019.

Anda mungkin juga menyukai