Anda di halaman 1dari 7

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam memandang perkawinan bukan hanya sebagai sarana untuk
mencapai kenikmatan lahiriah semata, tetapi lebih dari itu menjadi bagian dari
pemenuhan naluri yang didasarkan pada aturan Allah yang bernilaikan ibadah.
Pasal 2 KHI yang merumuskan bahwa :”Perkawinan menurut hukum Islam
adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghalizhan
untuk menaati perintah Allah dan melakukannya merupakan ibadah. Untuk
mewujudkan kedamaian dan ketentraman hidup serta menumbuhkan rasa kasih
sayang khususnya antara suami istri, kalangan keluarga yang lebih luas, bahkan
dalam kehidupan umat manusia umumnya.1 Dilihat dalam surah ar-rum ayat
21:
 ⧫◆ ◆
→  ⬧ ⧫◼
❑⧫ ◆
→◆⧫ ➔◆ ⬧
   ☺◆◆ ◆❑
❑⬧ ⧫ ⬧
⧫⧫⧫
Artinya: Diantara tanda-tanda (kebesaran-Nya) ialah dia menciptakan
pasangan-pasangan untukmu dari sejenismu sendiri, agar kamu
cenderung dan merasa tentaram kepadanya, dan dia menjadikan
diantaramu rasa kasih dan sayang.
Pasalnya pernikahan adalah sebuah hubungan kemitraan. Islam
menganjurkan agar setiap laki-laki dan perempuan yang ingin melaksanakan
perkawinan diantaranya saling mengenal, saling menguatkan prinsip agar
ikatan perkawinan berlangsung selama-lamanya. Namun, kebanyakan hal itu
disepelekan, sehingga harapan itu sirna mengakibatkan rumah tangga tidak
dapat dipertahankan lagi menimbulkan penderitaan berkepanjangan bagi salah

1
Jamaluddin, Nanda Amalia, Buku Ajar Hukum Perkawinan, (UNIMAL PRESS,
Sulawesi: Januari 2016), hlm. 20.
satu pihak maka harus ada yang dikorbankan yaitu ikatan hubungan yang
dibangun dengan kuat akhirnya berujung kepada perceraian.
Dalam islam mengizinkan perceraian jika itu membuat kondisi dan
keadaan menjadi semakin membaik, daripada tetap dalam ikatan perkawinan
yang terdapat tekanan bathin. Memaksakan bukanlah kebahagian yang lahir
dari diri, bahkan menjadi beban yang mengakibatkan penderitaan. Karena itu
islam tidak mengikat mati perkawinan, tetapi tidak pula mempermudah
perceraian.2
Erna Karim lebih tegas menyebut perceraian sebagai cerai hidup
antara pasangan suami istri akibat dari kegagalan mereka menjalankan obligasi
peran masing-masing, melihat perceraian sebagai akhir dari suatu
ketidakstabilan perkawinan dimana pasangan suami istri kemudian hidup
berpisah dan secara resmi disahkan oleh hukum yang berlaku.3 Undang-
undang nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berusaha semaksimal
mungkin bahwa perceraian dapat dikendalikan sehingga dapat menekan angka
perceraian kepada titik terendah. Kegagalan membina rumah tangga bukan saja
membahayakan rumah tangga itu sendiri, tetapi berpengaruh kepada kehidupan
masyarakat. Hampir kebanyakan kanakalan remaja yang terjadi dibeberapa
negara diakibatkan oleh keluarga yang berantakan.
UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan membedakan antara cerai
talak dengan cerai gugat. Cerai talak diajukan oleh pihak suami ke pengadilan
dengan memohon agar diberi izin untuk mengucapkan ikrar talak kepada
istrinya dengan suatu alasan yang jelas. Sedangkan cerai gugat adalah cerai
yang didasarkan atas adanya gugatan yang diajukan oleh istri agar perkawinan
dengan suaminya menjadi putus. Menurut agama islam sebab terjadinya berupa
gugatan karena suami melanggar ta’lik talak, karena syiqaq, fasakh, dan

2
Djamil Latief, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1985), hlm.29.
3
Erna Karim, Pendekatan Perceraian dari Perspektif Sosiologi, dalam T. O. Ihromi,
Sosiologi Keluarga; Sebuah Bunga Rampai (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), hlm 76.
gugatan karena alasan-alasan sebagaimana tercantum dalam pasal 19 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.4
Apabila gugatan perceraian diajukan ke pengadilan dengan alasan
tergugat mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat suami tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami, maka hakim dapat memerintahkan
tergugat untuk memeriksakan diri kepada dokter. Jika gugatan perceraian
didasarkan syiqaq (cekcok) terus-menerus yang membahayakan kehidupan
suami istri, maka untuk mendapatkan putusan perceraian itu harus didengar
keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat
dengan suami istri. Pengadilan agama wajib berusaha untuk mendamaikan
kedua belah pihak yang berperkara agar mereka rukun lagi dalam satu rumah.5
Sidang majelis hakim Pengadilan Agama yang memeriksa perkara
perceraian baik cerai talak maupun cerai gugat harus dilaksanakan dalam
sidang tertutup. Sebab, proses sidang gugatan kedua belah pihak saling
mengungkapkan hal-hal yang bersifat pribadi bahkan merupakan aib bagi
mereka. Tetapi pembacaan putusan harus dilaksanakan dalam sidang terbuka
untuk umum. Dimana putusan perceraian itu membawa akibat hukum, sampai
putusan perceraian mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pasalnya sering terjadi perceraian dari kehendak suami, sebab posisi
suami dalam keluarga lebih domain kuat dibanding isteri dilihat dari sisi materi
dan psikologis. Cerai talak yaitu cerai yang dijatuhkan suami di depan
Pengadilan sesuai dengan hukum Islam. Di Pengadilan Agama selain cerai
talak ada juga istilah cerai gugat. Dimana istri juga dapat menggugat suami
untuk bercerai apabila ada hal-hal yang diyakinkan rumah-tangga yang dibina
tidak mungkin diteruskan. Al-Qur’an menyeru bahwa laki-laki dan perempuan
tidak dibeda-bedakan, laki-laki dan perempuan memiliki kesamaan tanggung

4
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (KENCANA
PRENAMEDIA GROUP: Jakarta, 2014), hlm. 19.
5
Ibid., hlm. 21
jawab dan balasan amal, ada keseimbangan (timbal balik) antara hak dan
kewajiban suami dan istri.6
Pada dasarnya angka gugatan cerai di pengadilan melebih dari angka
cerai talak. Ini merupakan salah satu indikasi bahwa semakin maraknya kaum
perempuan yang pintar, mapan, mandiri dan sadar bahwa begitu pentingnya
menyuarakan hak-hak yang selama ini tertekan karena konflik rumah tangga,
misalnya masalah kecil yang terjadi berulang kali bisa menekan bathin
perempuan sehingga menimbulkan sakit hati,faktor perselingkuhan ekonomi
yang tidak memadai, kecewa, marah yang selama ia pendam membuat pihak
tidak merasa ragu untuk minta berpisah. Dampak yang merasakan selalu
dipihak istri dan anak dari masalah penguasaan anak, nafkah anak dan istri
selama ditinggal, nafkah iddah, dan harta bersama. Dapat dilihat sekarang
ilustrasi perempuan mengajukan gugat cerai beberapa tahun tetap menduduki
posisi tinggi kasus perkara yang masuk di pengadilan agama Rantauprapat.
Pengadilan Agama Rantauprapat sebagai tempat penelitian penulis,
salah satu lingkungan kekuasaan kehakiman yang berwewenang mengadili
perkara-perkara bidang yang tercantum dalam pasal 49-53 UU No. 7 Tahun
1989 dengan perubahan UU No. 3 Tahun 2006 diantaranya menangani perkara
perceraian, termasuk juga gugatan cerai. Dilihat dari salah satu kasus gugatan
perceraian No. 328/Pdt.G/2015/PA.RAP. dengan ini penggugat hendak
mengajukan gugatan cerai terhadap suami bernama Abdi Ramadhan Ritonga,
adapun duduknya persoalan sebagai berikut: bahwa gugat adalah istri yang sah
bernama Lemmi Yana Ritonga, yang menikah didepan pejabat KUA. Bahwa
penggugat dan tergugat awal mula rukun dan damai salam 1 tahun perkawinan,
walaupun ada perselisihan dan pertengkaran tetap dipertahankan oleh
penggugat, seraya menanti adanya perubahan diri tergugat. Namun lambat laun
tergugat semakin melunjak, bahwa tergugat sebagai seorang pemimpin
seharusnya memberikan contoh dalam bertingkah laku, namun malah
menyebabkan pertengkaran terus menerus dikarenakan: Tergugat suka

6
Amir Syaifuddin, Ushul Fiqih, (Jakarta: Perpustakaan Nasional KDT, 1999), hlm. 235
berbohong, main perempuan, mementingkan diri sendiri daripada kepentingan
bersama, tidak memberikan nafkah kepada penggugat dan anak-anak, tidak
mau dinasehati.
Dari kasus lainnya salah satu piha yang mengajukan gugatan cerai di
pengadilan agama Rantauprapat, dimana pihak penggugat sering terjadi
perselisihan, sebab orang tua tergugat dan penggugat sering berselisih paham,
Tergugat tidak mau pindah atau pisah rumah dengan orangtua tergugat,
mengakibatkan tergugat dan penggugat selalu bertengkar. Sehingga penggugat
pergi dari kediaman tergugat dan sedang berbadan dua, selama pisah tergugat
tidak pernah memberikan nafkah bathin maupun bathil kepada penggugat
sampai anak lahir hingga sekarang lamanya tidak pernah ada nafkah yang
diberikan oleh tergugat. Sampai kepada titik lelah penggugat mengajukan
gugatan pengadilan agama Rantauprapat. Sebenarnya apa yang terjadi sehingga
tergugat tidak pernah memberikan hak nafkah kepada penggugat, Padahal
tergugat selalu bekerja tiap harinya. Dari semua perkara perceraian, faktor
penyebab tertinggi karena alasan tidak adanya tanggung jawab dan tidak
adanya keharmonisan dalam keluarga yang memicu pada pertengkaran.
Terkait dengan penelitian ini, selain dari pada mengemukakan tentang
perkara gugatan cerai di pengadilan agama Rantauprapat, dengan faktor-faktor
dan penyebab terjadinya perceraian, peneliti ingin mengkaji lebih bagaimana
persepsi para korban yang melaksanakan gugatan cerai. Seperti, salah satu
korban mengemukakan bahwa keyakinan untuk bercerai adalah hal yang
sangat berat bagi seorang perempuan. Dimana perubahan status istri menjadi
seorang janda, menghadapi berbagai gosip dari tetangga, akibat dampak
berpengaruh pada psikologi anak-anak, banyaknya kesulitan yang akan
dialami bagi perempuan yang telah bercerai.7 Walaupun telah
dipertimbangkan, perceraian akan membawa banyak perubahan dan tidak
sedikit orang yang siap menjalaninya.

7
Wawancara,tanggal 19-08-2021 pukul 16.34.Wib.
Berdasarkan fakta yang ada menunjukkan bahwa cerai gugat tidak
mudah dilakukan dengan capaian keadilan bagi perempuan. Banyak hasil
putusan yang mengabulkan gugatan, namun keadilan bagi perempuan
seringkali pupus bahkan berubah menjadi petaka ketika harus kehilangan hak
dan kewajiban nafkah oleh suami, terpisah dari anak-anak karena perwalian
dan stigma negatif dari masyarakat. Layaknya masalah ini telah diatur dalam
perundang-undangan di UU No. 1 tahun 1974 diubah dengan UU No. 16
Tahun 2019 jo SEMA No. 3 Tahun 2018 dan No. 2 tahun 2019 jo. KHI.
Apakah ini mungkin karena putusan dari perkara cerai gugat bukan pada
inisiatornya tapi hanya sebatas dalam pertimbangan hakim.
Jadi, jika dulunya perceraian adalah sebuah aib atau cacat dalam
lingkungan kekeluargaan, kini perceraian sudah menjadi buah bibir atau
fenomena yang labil dikalangan masyarakat. Melihat perubahan konstruksi
sosial menjadi salah satu penyebab perubahan pandangan perempuan terhadap
perceraian. Pandangan perempuan ini merupakan hal menjadi fokus untuk
ditelusuri lebih jauh penyebabnya. sebab ini suatu perkembangan yang terjadi
dikehidupan umat islam. maka penulis tertarik untuk meneliti sikap hakim dan
alasan-alasan pihak perempuan begitu yakin menggugat cerai di pengadilan
agama Rantauprapat.
Berdasarkan pemaparan diatas, melihat dari problematika yang terjadi
merupakan suatu hal yang menarik untuk dikaji lebih lanjut mengenai
fenomena cerai gugat. Oleh karena itu, penulis menuliskan bentuk proposal
yang berjudul “ Persepsi Perempuan Terhadap Perceraian: Analisis
Putusan Tentang Cerai Gugat di Pengadilan Agama Rantauprapat”.
B. Rumusan Masalah
Penulisan proposal ini bermaksud untuk mendapatkan jawaban dari
permasalahan:
1. apa kecenderungan perempuan menggugat cerai di Pengadilan Agama
Rantauprapat?
2. Bagaimana persepsi Perempuan terhadap gugatan cerai di pengadilan
agama ?
3. Bagaimana pandangan dan sikap Hakim dalam memutuskan perkara No.
328/Pdt.G/2015/PA.RAP. tentang cerai gugat di pengadilan agama
Rantauprapat?

Anda mungkin juga menyukai