Anda di halaman 1dari 5

Nama : Zacky Ramdan Adi Nugraha

Npm : 151000276

Matakuliah : Hukum Perdata Dalam Yurisprudensi

PENEMUAN HUKUM

Yurisprudensi Mahkamah Agung No.1354 K/Pdt/2000, tanggal 08 September


2003 tentang perceraian, berisi kaidah hukum sebagai berikut : “Suami Istri yang
telah berpisah tempat tinggal dan tidak saling memperdulikan, sudah merupakan
fakta adanya perselisihan atau pertengkaran sehingga tidak ada harapan untuk
hidup rukun dalam rumah tangga dapat dijadikan alasan untuk mengabulkan
gugatan perceraian”

Yurisprudensi Mahkamah Agung tgl 25-06-1974 No.906/K/Sip/1973 bahwa


kepentingan si anaklah yang harus dipergunakan sebagai patokan untuk
menentukan siapa dari orang tuanya yang diserahi pemeliharan anak.

Yurisprudensi Mahkamah Agung tgl 24-04-1975 No.102/ K/Sip/1973 mengenai


perwalian anak karena kepentingan anak yang menjadi kriteria pokoknya,
khususnya bagi anak yang belum dewasa perwalian anak diserahkan kepada ibu
kandungnya, karena terkait dalam melakukan tugas kewajibannya sebagai seorang
ibu yang senantiasa memperhatikan dan peduli akan perkembangan mental,
Kepentingan dan masa depan anaknya.

Salah satu prinsip dalam hukum perkawinan nasional yang seirama dengan ajaran
agama ialah mempersulit terjadinya perceraian (cerai hidup), karena perceraian
berarti gagalnya tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia
kekal dan sejahtera. Lain halnya dengan putusnya perkawinan karena kematian
yang merupakan takdir dari Tuhan Yang Maha Esa yang tidak dapat dielakkan.
Masalah perceraian adalah termasuk dalam masalah perkawinan, sedangkan
hukum perkawinan itu merupakan sebagian dari hukum keluarga.

Hukum perkawinan adalah sebagian dari Hukum Keluarga dan Hukum Keluarga
ini adalah bagian dari Hukum Perdata. Masalah perceraian merupakan bagian dari
masalah perkawinan. Karena itu masalah perceraian senantiasa diatur oleh Hukum
Perkawinan.

Perceraian sering terjadi dalam masyarakat. Peningkatan angka perceraian dalam


keluarga merupakan salah satu ciri masyarakat modern, tidak terkecuali di
Indonesia. Hal itu mungkin berhubungan dengan nilai-nilai kehidupan keluarga
yang sudah mulai bergeser karena pengaru budaya asing yang masuk secara sadar
atau tidak sadar ke dalam rumah tangga masyarakat Indonesia. Peningkatan ini
dapat dilihat dari jumlah perceraian yang tercatat melalui prosedur hukum di
pengadilan, baik Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri. Di Pengadilan
Agama misalnya, yang menangani perkara khusus Umat Islam, perkara perceraian
menempati peringkat teratas dari semua perkara yang ditanganinya. Ini belum lagi
berbicara tentang perceraian yang tidak tercatat yang banyak terjadi di seluruh
Indonesia, di daerah-daerah perkotaan dan daerahdaerah pedesaan. Masyarakat
Indonesia secara umum adalah masyarakat tradisional di mana masalah
perkawinan dan perceraian sering dilangsungkan berdasarkan hukum agama
semata tanpa mengikutsertakan peraturan Negara. Kelompok masyarakat seperti
ini seolah berpendapat bahwa masalah perkawinan dan perceraian menyangkut
hati nurani dan hubungan pribadi anatara anggota masyarakat yang tidak perlu
melibatkan pemerintah. Mungkin juga disebabkan oleh faktor biaya, pelayanan
yang tidak memadai dan buta hukum telah membuat mereka enggan untuk
berhubungan dengan pejabat urusan perkawinan. Akibatnya mereka tidak
mendapat perlindungan hukum dan sering tidak mendapat hak-hak yang
seharusnya mereka dapatkan. Dari kasus-kasus perceraian yang diajukan ke
pengadilan, tampak bahwa penyebab perceraian atau alasan-alasan yang
digunakan oleh suami maupun istri cukup beragam. Penyebab atau alasan-alasan
tersebut biasanya karena perlakuan yang tidak terhormat atau apa yang dipandang
pelecehan dari satu pihak kepada pihak yang lain, kecemburuan salah satu pihak
disebabkan kedekatan dari salah satu pihak dengan pria atau wanita lain, masalah
anak (baik anak sendiri maupun anak bawaan dari perkawinan sebelumnya),
campur tangan pihak ketiga, masalah ekonomi, masalah istri bekerja, dan lain-
lain. Adapun alasan yang terbukti di persidangan dan ada juga yang tidak terbukti
namun salah satu pihak bersikeras untuk bercerai sehingga hakim tidak
mempunyai jalan lain selain mengabulkan gugatan penggugat. Masalah perceraian
ini merupakan salah satu sebab yang mendorong untuk diciptakannya Undang-
undang Perkawinan, diantara sebab yang lainnya. Dengan maksud untuk
mempersukar terjadinya perceraian maka ditentukanlah untuk melakukan
perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami-istri tidak akan dapat
hidup rukun sebagai suami-istri.

Jika salah satu dari pasangan suami istri meninggalkan rumah atau tidak
memperdulikan satu sama lain kedua pasangan tersebut masih berstatus sebagai
suami-istri. Menurut pasal 39 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(UUP), perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah
Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua
belah pihak. Selanjutnya, pasal 123 Kompilasi Hukum Islam atau KHI
menyatakan, perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di
depan sidang pengadilan. Oleh karena itu, keduanya masih memiliki hak dan
kewajiban masing-masing sebagai suami-istri. Di antaranya, suami wajib
melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah
tangga sesuai dengan kemampuannya (pasal 34 ayat [1] UUP). Sedangkan, istri
wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya (pasal 34 ayat [2] UUP).
Juga merupakan kewajiban utama istri menurut hukum yaitu berbakti lahir dan
batin kepada suami di dalam yang dibenarkan oleh hukum Islam (pasal 83 KHI).
Di sisi lain, jika istri telah mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama, istri
dapat mengajukan permohonan untuk tidak tinggal satu rumah dengan tergugat
(suami). Demikian diatur dalam pasal 136 ayat (1) KHI yang berbunyi, selama
berlangsungya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat
berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, Pengadilan Agama
dapat mengizinkan suami istri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah.
Keputusan Mahkamah Agung RI tersebut setidaknya telah menciptakan suatu
warna hukum baru tentang hak hadhanah, yaitu walaupun prioritas utama
pemegang hak hadhanah adalah ibu, tetapi hak prioritas itu dapat beralih sewaktu
– waktu kepada orang lain apabila keadaan menghendaki. Peralihan hak hadhanah
itu tidak harus beralih kepada ibunya ibu dan seterusnya seperti yang terdapat
dalam kajian fiqih klasik, tetapi bisa saja beralih kepada ayah, atau orang – orang
yang terdekat dan akrab dengan si anak. Hal ini secara filosofis adalah untuk
menjaga kepentingan si anak baik dari segi psikologisnya dan dari aspek lainnya.
Oleh karena itu, putusan Mahkamah Agung RI tersebut sekaligus menggeser
ketentuan fikih yang mengatur hak hadhanah yang dirasakan tidak relevan lagi
dengan tuntutan hukum kini. Dalam Keputusan MARI Nomor : 906K/ Sip/ 1973
ini menyatakan bahwa yang menjadi acuhan hakim dalam menentukan hak asuh
anak atau hadhanah anak dibawah umur, adalah kepentingan dari si anak tersebut.
Jadi, dari putusan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa hadhanah terhadap
anak dibawah umur ini dapat jatuh kepada ayah pula, jika si ibu tidak mempunyai
kompetensi dalam memenuhi kebutuhan – kebutuhan dan kepentingan –
kepentingan dari si anak tersebut. Walaupun dari banyak sengketa hadhanah pihak
yang diutamakan dalam memegang hadhanah terhadap anak dibawah umur adalah
ibu dari anak tersebut. Tetapi tidak menutup kemungkinan hadhanah tersebut
dapat dialihkan kepada ayah dari si anak jika ibu dari anak tersebut tidak
mempunyai kapasitas yang baik dalam mendidik anak, melaksanakan tugas
hadhanah ada tujuh yakni berakal sehat, merdeka, beragama islam, memelihara
kehormatannya, dapat dipercaya, tinggal menetap, dan tidak bersuami baru.
Apabila kurang satu diantara syarat – syarat tersebut, gugurlah hak hadhanah dari
tangan ibu.

Anda mungkin juga menyukai