Anda di halaman 1dari 4

Tugas 1

Nama : Rezha Adityo AKhmad

NIM: 045278789

1. Dalam konsep tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, dalam
pandangan Fidelis, silakan dianalisis terpenuhi atau tidak ketiga tujuan hukum tersebut? Berikan
argumentasi saudara!
Dalam konsep tujuan hukum, terdapat tiga tujuan utama yang harus terpenuhi, yaitu keadilan,
kemanfaatan, dan kepastian hukum. Dalam kasus Fidelis Arie Sudewarto, sulit untuk
mengatakan bahwa ketiga tujuan tersebut terpenuhi secara menyeluruh. Keadilan tampaknya
tidak terpenuhi, karena Fidelis divonis lebih berat daripada tuntutan jaksa penuntut umum.
Meskipun alasan hukum harus ditegakkan, tetapi keadilan yang seharusnya menjadi tujuan utama
hukum tampaknya terabaikan dalam kasus ini. Sementara itu, kemanfaatan hukum juga terlihat
kurang terpenuhi karena Fidelis menanam ganja untuk keperluan pengobatan penyakit langka
syringomyelia yang diderita sang istri. Fidelis dan keluarganya berharap bahwa penggunaan
ganja tersebut dapat membantu mengurangi penderitaan sang istri. Namun, keberadaan hukum
yang melarang penggunaan ganja secara luas justru membuat mereka terpaksa melakukan
tindakan melanggar hukum untuk mendapatkan akses ke ganja. Terakhir, kepastian hukum juga
kurang terpenuhi, karena Fidelis divonis dengan hukuman yang lebih berat dari tuntutan jaksa
penuntut umum. Hal ini membuat masyarakat merasa tidak yakin mengenai kepastian hukum
yang ada.

2. Jika kasus tersebut dilihat dari perspektif hukum adat, maka silakan dianalisis :
 Kedudukan anak luar kawin menurut sistem kekerabatan patrilineal, matrilinial, dan
parental dalam hukum adat
Menurut hukum adat, kedudukan anak luar kawin berbeda-beda tergantung pada sistem
kekerabatan yang dianut dalam masyarakat tersebut. Pada sistem kekerabatan patrilineal, anak
luar kawin tidak diakui sebagai ahli waris karena kekerabatan hanya dihitung dari pihak ayah.
Sedangkan pada sistem kekerabatan matrilineal, anak luar kawin tetap diakui sebagai ahli waris
karena kekerabatan dihitung dari pihak ibu. Sementara pada sistem kekerabatan parental, anak
luar kawin diakui sebagai ahli waris karena kekerabatan dihitung dari kedua pihak orang tua.
 Pembagian harta warisan terhadap anak luar kawin berdasarkan sistem kekerabatan
patrilineal, matrilinial, dan parental dalam hukum adat.
Pembagian harta warisan terhadap anak luar kawin juga berbeda-beda tergantung pada sistem
kekerabatan yang dianut dalam masyarakat tersebut. Pada sistem kekerabatan patrilineal, anak
luar kawin tidak mendapatkan bagian dari harta warisan ayahnya karena dianggap bukan ahli
waris. Sedangkan pada sistem kekerabatan matrilineal, anak luar kawin tetap mendapatkan
bagian dari harta warisan ibunya. Pada sistem kekerabatan parental, anak luar kawin
mendapatkan bagian dari harta warisan kedua orang tuanya.

 Pembagian harta warisan terhadap anak luar kawin berdasarkan sistem kekerabatan
patrilineal, matrilinial, dan parental pasca terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 46/PUU-VIII/2010 dalam hukum adat.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 menyatakan bahwa anak luar kawin
berhak mendapatkan bagian dari harta warisan orang tuanya, tanpa tergantung pada sistem
kekerabatan yang dianut dalam masyarakat tersebut. Hal ini berarti bahwa anak luar kawin
berhak atas bagian yang sama dengan anak sah dalam pembagian harta warisan, sehingga sistem
kekerabatan patrilineal, matrilinial, dan parental tidak lagi menjadi faktor penentu dalam
pembagian harta warisan. Namun, putusan ini hanya berlaku dalam sistem hukum perdata,
sementara dalam hukum adat dan Islam, masih diberlakukan sistem kekerabatan patrilineal,
matrilinial, dan parental.

3. Silakan dianalisis :

Kedudukan isbat nikah yang sudah disahkan di Pengadilan Agama dan implikasinya terhadap
status perkawinan!.
Jawab : Setelah dikabulkannya isbat nikah, implikasinya terhadap status perkawinan dimana
perkawinan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum. Begitu pula anak-anak yang dilahirkan
dari perkawinan tersebut mendapat pengakuan Negara, dan anak-anak tersebut berhak atas harta
warisan dari bapaknya. Selain itu, harta yang diperoleh sejak berlangsungnya perkawinan
merupakan harta bersama. Dengan demikian pencatatan perkawinan merupakan persyaratan
formil sahnya perkawinan, persyaratan formil ini bersifat prosedural dan administratif. Isbat
nikah punya implikasi memberikan jaminan lebih konkret secara hukum atas hak anak dan isteri
dalam perkawinan tersebut dan juga apabila pasangan suami isteri tersebut bercerai. Atau dengan
kata lain isbat nikah sebagai dasar hukum dari pencatatan perkawinan yang melahirkan kepastian
hukum terhadap status perkawinan, status anak serta harta benda dalam perkawinan.

Sumber :

https://journal.iainkudus.ac.id/index.php/tawazun/article/download/4986/3204

https://sumbar.kemenag.go.id/v2/post/362/itsbat-nikah-dan-prosesnya.html
Dasar pengadilan Agama mengabulkan isbat nikah!
Jawab : Ketentuan pasal undang-undang yang menjadi landasan yuridis bagi Pengadilan Agama
untuk melakukan isbat nikah adalah penjelasan Pasal 49 ayat (2) angka 22 Undang Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) huruf d
Kompilasi Hukum Islam. Sedangkan kedua ketentuan tersebut membatasi perkawinan yang
dapat dimohonkan isbat ke Pengadilan Agama hanya 3 perkawinan yang dilangsungkan sebelum
berlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan pembatasan
tersebut, maka Pengadilan Agama tidak mempunyai payung hukum untuk menjalankan
fungsinya secara optimal melakukan isbat nikah. Sedangkan animo masyarakat untuk
mengajukan permohonan isbat nikah ke Pengadilan Agama terus meningkat seiring dengan
adanya persyaratan administrasi dari sekolah-sekolah yang mewajibkan setiap anak yang akan
masuk sekolah melampirkan foto kopi Akta Kelahiran, dan salah satu syarat adminsitrasi yang
harus dipenuhi untuk mendapatkan Akta Nikah adalah Buku Nikah orang tua yang bersangkutan.
Namun oleh karena isbat nikah sangat dibutuhkan oleh masyarakat, maka hakim Pengadilan
Agama melakukan “ijtihad” dengan menyimpangi tersebut, kemudian mengabulkan permohonan
isbat nikah berdasarkan ketentuan Pasal 7 Ayat (3) huruf e Kompilasi Hukum Islam, apabila
perkawinan yang dimohonkan untuk diisbatkan itu tidak ada halangan perkawinan sebagaimana
diatur di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka Pengadilan
Agama akan mengabulkan permohonan isbat nikah meskipun perkawinan itu dilaksanakan pasca
berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Sumber :

Anda mungkin juga menyukai