Anda di halaman 1dari 3

Yaumadhia ( 044808546 )

ISIP 4131

1.Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan perundang-undangan


dibuat dan diundangkan secara pasti, karena mengatur secara jelas dan logis, maka tidak
akan menimbulkan keraguan karena adanya multitafsir sehingga tidak berbenturan atau
menimbulkan konflik norma.

Keadilan hukum menurut L.J Van Apeldoorn tidak boleh dipandang sama arti dengan
penyamarataan, keadilan bukan berarti bahwa tiap-tiap orang memperoleh bagian yang
sama. Maksudnya keadilan menuntut tiap-tiap perkara harus ditimbang tersendiri, artinya
adil bagi seseorang belum tentu adil bagi yang lainnya.

Kemanfaatan hukum adalah asas yang menyertai asas keadilan dan kepastian hukum. Dalam
melaksanakan asas kepastian hukum dan asas keadilan, seyogyanya dipertimbangkan asas
kemanfaatan.

Dari kasus diatas, menurut saya ketiga tujuan hukum tersebut terpenuhi. Karena hakim
telah mempertimbangkan hukuman dengan sebaik-baiknya

Sumber referensi: MH.uma.ac.id

2. 1. Pada prinsipnya sistem kekerabatan patrilinear mendasarkan pada garis keturunan


laki-laki ( bapak ), sehingga bentuk perkawinan yang dilakukan adalah perkawinan jujur.
Pada masyarakat patrilinear khususnya Batak, kedudukan anak diluar kawin meskipun anak
laki-laki dianggap bukan sebagai ahli waris. Bukan sebagai penerus marga dari orang tua (
bapaknya ) secara biologis, oleh karena anak laki-laki luar kawin dilahirkan dari perkawinan
yang tidak sah. Sehingga anak luar kawin hanya ada hubungan dengan ibu atau kerabat
ibunya saja.

Ditinjau dari segi hukum adat yang bercorak kekerabatan matrilineal, apabila seorang ibu
yang tidak kawin dan melahirkan anak ( anak luar kawin ). Maka dalam hubungan hukum
anak luar kawin tersebut hanya mempunyai ibu dan tidak mempunyai bapak.

Pada masyarakat parental atau bilateral yang merupakan susunan masyarakat yang
terbanyak yang berlaku di Indonesia, karena pada sistem kekerabatan ini memberi
kedudukan yang setara antara laki-laki dan perempuan keluarga, dalam pewarisan dan
masyarakat.

Sumber referensi : media neliti.com

2. menurut hukum adat patrilinear anak yang lahir dari perkawinan bapak dan ibunya yang
tidak sah, maka tidak berhak mewaris dari harta orang tuanya bapak baik harta asal atau
bawaaan maupun harta pencaharian bersama.

Hak mewaris menurut masyarakat parental mengoperkan harta warisan, yaitu diberikan
kepada anak laki-laki maupun perempuan. Apabila dalam sebuah rumah terdapat anak sah
dan luar kawin, maka yang berhak terhadap warisan orang tuanya adalah anak anak yang
dilahirkan dari perkawinan yang sah.

Pada masyarakat yang bersistem matrilineal seperti di Minangkabau yang menarik garis
keturunan ibu atau perempuan, sehingga anak perempuan dianggap sebagai penerus
keturunan ibunya. Berkaitan dengan ahli waris, anak laki-laki dan perempuan mendapat
pembagian harta dari peninggalan ibunya, sedangkan harta pencaharian suami tidak diwaris
oleh anaknya sendiri. Melainkan diwaris oleh saudara perempuan dan keponakan
perempuan sekandung dengan suaminya.

Sumber referensi: media neliti.com

3. berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010. Bahwa pasal 43


ayat 1 UU no 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang menyatakan “anak yang dilahirkan
diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata antara dengan ibunya dan keluarga
ibunya”

Sumber referensi: https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/akibat-


hukum-putusan-mahkamah-konstitusi-nomor-46puuviii-2010-terhadap-pembagian-hak-
waris-anak-luar-perkawinan-oleh-dr-h-bahruddin-muhammad-1712

3. 1. Fungsi dan kedudukan pencatatan perkawinan menurut Bagir Manan adalah untuk
menjamin ketertiban hukum (legal order) yang berfungsi sebagai instrumen kepastian
hukum, kemudahan hukum, disamping sebagai salah satu alat bukti perkawinan. Oleh
karena itu, jika terjadi pasangan yang telah melakukan perkawinan yang sah menurut
agama, tetapi belum dicatat. Maka menurut Bagir Manan cukup dilakukan pencatatan. Jika
pasangan itu diharuskan melakukan akad nikah lagi, maka hal itu bertentangan dengan
Pasal 2 ayat (1), akibatnya perkawinan yang baru menjadi tidak sah.

Sumber referensi: media neliti.com

2. Pasal 7 ayat 3 huruf (e) yang berbunyi: “perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang
tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974”
menjadi dasar hukum yang diambil hakim dalam mengabulkan Perkara isbat nikah

Sumber referensi: media neliti.com

Anda mungkin juga menyukai