Anda di halaman 1dari 8

TUGAS I

SISTEM HUKUM INDONESIA


( ISIP 4131)

SAFRY RISQA AFRY CHANIF


NIM 048753887

PROGRAM STUDI FAKULTAS HUKUM


UPBJJ-UNIVERSITAS TERBUKA JAMBI
TAHUN 2023
Soal 1

Dalam konsep tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, dalam
pandangan Fidelis, silakan dianalisis terpenuhi atau tidak ketiga tujuan hukum tersebut?
Berikan argumentasi saudara!

Jawab :

tujuan hukum adalah untuk menjamin kelangsungan keseimbangan dalam hubungan


antara anggota masyarakat, diperlukan peraturan hukum, di mana setiap pelanggar
hukum akan dikenai sanksi hukuman, Demi menjaga peraturan hukum dapat berlangsung
terus dan diterima masyarakat serta harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan
asas keadilan, tujuan hukum adalah menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat
dan hukum itu harus bersendikan pada keadilan, yaitu asas keadilan dari masyarakat
Selain itu, tujuan hukum adalah menjaga dan mencegah agar setiap orang tidak menjadi
hakim atas dirinya sendiri (eigenrichting is verboden), tidak mengadili dan menjatuhi
hukuman terhadap setiap pelanggaran hukum terhadap dirinya. Namun tiap perkara,
harus diselesaikan melalui proses pengadilan dengan perantaraan hakim adapun fungsinya
adalah:

a) Keadilan distributif, keadilan yang berkaitan dengan pembagian jabatan,


pembayaran pajak, dan lain-lain.
b) Keadilan legal, yang menyangkut pelaksanaan hukum umum.
c) Keadilan tukar-menukar, yang berkenaan dengan transaksi jual beli.
d) Keadilan balas dendam, yang di masa itu berlaku dalam hukum pidana.

Soal 2

a) Kedudukan anak luar kawin menurut sistem kekerabatan patrilineal, matrilinial dan
parental.
Jawab :

Kedudukan anak luar kawin dapat didasarkan pada ketiga sistem kekerabatan yang ada,
yaitu pada sistem kekerabatan patrilineal, kekerabatan matrilineal dan sistem
kekerabatan parental. Kedudukan anak luar kawin dalam hukum adat bukan sebagai ahli
waris dan bukan sebagai penerus keturunan dari bapaknya secara biologis. Anak luar kawin
hanya mempunyai hubungan dengan ibunya dan kerabat ibunya. Namun terkait dengan
Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010, maka
telah membuka peluang bagi anak luar kawin untuk mendapatkan harta warisan dan
perlindungan hukum dengan orang yang diduga sebagai bapaknya biologis dari anak luar
kawin tersebut.

b) Pembagian harta warisan terhadap anak luar kawin berdasarkan sistem


kekerabatan patrilineal, matrilinial dan parental.
Jawab :

berdasarkan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang


Perkawinan (“UUP”), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) atau
disebut juga Burgerlijk Wetboek (“BW”) dan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”). Hukum
waris bagi yang beragama Islam diatur dalam KHI, sedangkan bagi yang tidak beragama
Islam diatur dalam KUH Perdata. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(Burgerlijk Wetboek) mengadakan 3 penggolongan terhadap anak-anak:

a) Anak sah, yaitu seorang anak yang lahir di dalam suatu perkawinan;
b) Anak yang lahir di luar perkawinan, tapi diakui oleh seorang ayah dan/atau seorang
ibu. Di dalam hal ini antara si anak dan orang yang mengakui itu timbul pertalian
kekeluargaan. Pertalian kekeluargaan ini hanya mengikat orang yang mengakui
anak itu saja. Jadinya, keluarga lain dari orang yang mengakui itu, tidak terikat
oleh pengakuan orang lain. Anak dari golongan ini, jika ayah dan ibunya kawin, lalu
menjadi anak sah;
c) Anak lahir di luar perkawinan, dan tidak diakui, tidak oleh ayah maupun oleh ibunya.
Anak ini menurut hukum tidak punya ayah dan tidak punya ibu. Terhadap anak di
luar kawin yang tidak diakui, karena tidak mempunyai keluarga maka juga tidak
ada ketentuan tentang hukum warisnya.

Ali Afandi menegaskan bahwa hukum waris dari anak yang lahir di luar kawin tapi diakui
oleh ayah dan/atau ibu, hanya terdapat antara ia sendiri dengan orang tua yang
mengakuinya, Mengenai pewarisan terhadap anak luar kawin ini diatur dalam Pasal 862
s.d. Pasal 866 KUH Perdata:Jika yang meninggal meninggalkan keturunan yang sah atau
seorang suami atau istri, maka anak-anak luar kawin mewarisi 1/3 bagian dari bagian
yang seharusnya mereka terima jika mereka sebagai anak-anak yang sah (lihat Pasal
863 KUH Perdata);Jika yang meninggal tidak meninggalkan keturunan maupun suami
atau istri, tetapi meninggalkan keluarga sedarah, dalam garis ke atas (ibu, bapak, nenek,
dst.) atau saudara laki-laki dan perempuan atau keturunannya, maka anak-anak yang
diakui tersebut mewaris 1/2 dari warisan. Namun, jika hanya terdapat saudara dalam
derajat yang lebih jauh, maka anak-anak yang diakui tersebut mendapat 3/4 (lihat Pasal
863 KUH Perdata);Bagian anak luar kawin harus diberikan lebih dahulu. Kemudian sisanya
baru dibagi-bagi antara para waris yang sah (lihat Pasal 864 KUH Perdata);Jika yang
meninggal tidak meninggalkan ahli waris yang sah, maka mereka memperoleh seluruh
warisan (lihat Pasal 865 KUH Perdata)Jika anak luar kawin itu meninggal dahulu, maka
ia dapat digantikan anak-anaknya (yang sah) (lihat Pasal 866 KUH Perdata) Jadi, sesuai
pengaturan KUH Perdata, waris mewaris hanya berlaku bagi anak luar kawin yang diakui
oleh ayah dan/atau ibunya. Tanpa pengakuan dari ayah dan/atau ibu, anak luar kawin
tidak mempunyai hak mewaris.Berbeda halnya dengan hukum waris Islam yang berlaku
di Indonesia. Anak luar kawin hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya (lihat Pasal 43 ayat (1) UUP jo. pasal 100 KHI).Ditegaskan pula oleh M.
Ali Hasan dalam bukunya “Hukum Warisan Dalam Islam” (hal. 134) bahwa anak zina
hanya waris mewaris dengan keluarga dari pihak ibunya saja.

c) Pembagian harta warisan terhadap anak luar kawin berdasarkan sistem kekerabatan
patrilineal, matrilinial dan parental pasca terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 46/PUU-VIII/2010.

Jawab :

Kedudukan anak luar kawin menurut Undang-Undang Perkawinan dan telah ditafsirkan
oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan MK yang menyatakan bahwa anak yang
dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya serta
dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan
dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai darah, termasuk
hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.Sedangkan kedudukan anak luar kawin
menurut Kompilasi Hukum Islam sama kedudukannya dengan anak zina yang hanya
mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya dan tidak mempunyai
hubungan nasab apapun dengan ayah biologisnya. Dalam Undang-Undang Perkawinan
tidak ada diatur secara jelas mengenai hak waris anak luar kawin, tetapi dalam Pasal
43 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. Putusan Mahkamah Konstitusi yang
menyatakan bahwa anak luar kawin bisa mendapat hak waris dari ibu dan ayahnya
apabila dapat dibuktikan dengan sah dan jelas secara hukum bahwa ia mempunyai
hubungan darah dengan ayah biologisnya tersebut.Sedangkan hak waris anak luar
kawin menurut Kompilasi Hukum Islam tetap sesuai dengan aturan kedudukannya yang
menyatakan bahwa ia hanya mempunyai hubungan nasab dan hubungan waris mewaris
dengan ibu dan keluarga ibunya saja tetapi tidak dengan ayahnya Pembagian harta
warisan bagi anak luar kawin juga tidak diatur dalam Undang-Undang Perkawinan,
pengaturan yang digunakan untuk pembagiannya tergantung pada hukum yang dianut
sang pewaris, apakah hukum waris Islam, hukum waris Adat atau hukum waris
perdata (BW). Menurut hukum waris Islam pembagian harta warisan terhadap anak
luar kawin sama dengan anak sah tetapi hanya berlaku bagi harta warisan yang
ditinggalkan si ibu, karena anak luar kawin dalam hukum Islam tidak mempunyai
hubungan nasab dengan ayahnya. Menurut hukum waris Adat pembagian harta
warisan kepada anak luar kawin tergantung dari tiap suku sang pewaris. Dari salah
satu adat menyatakan bahwa anak luar kawin tidak berhak mendapat harta warisan
dalam bentuk apapun dari orangtuanya (bapak) tetapi apabila pewaris hanya
meninggalkan anak luar kawin maka ia berhak mendapat harta warisan tersebut,
apabila ia bersama anak sah maka bagiannya lebih sedikit dari bagian anak sah.
Menurut hukum waris perdata (BW), bagian harta warisan yang didapat anak luar
kawin yang diakui tergantung dengan siapa ia mewarisi harta warisan
tersebut.Sedangkan pembagian harta warisan anak luar kawin menurut Kompilasi
Hukum Islam berbeda antara anak laki-laki dan anak perempuan dan tergantung
dengan siapa mereka mewaris harta warisan tersebut. Biasanya bagian anak laki-laki
dua banding satu dengan anak perempuan.

Soal 3

a) Kedudukan isbat nikah yang sudah disahkan di Pengadilan Agama dan implikasinya
terhadap status perkawinan!.
Jawab :

Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan


Kompilasi Hukum Islam, Kompilasi Hukum Islam mulai hidup dan tumbuh di
masyarakat. Dalam hierarki sistem perundang-undangan di Indonesia, kedudukan
Kompilasi Hukum Islam disesuaikan dengan kedudukan Instruksi Presiden, yaitu
sesuai dengan Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Instruksi Presiden
dapat dimasukkan dalam peraturan yang dibentuk atas perintah Pemerintah,
yaitu perintah Presiden langsung kepada menteri-menteri yang membantunya,
dalam hal ini Menteri Agama, untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam
kepada Pengadilan Tinggi Agama dan Pengadilan Agama untuk menjadikan
Kompilasi Hukum Islam sebagai pedoman dalam menyelesaikan perkara
perkawinan, kewarisan, dan kewakafan bagi masyarakat yang beragama Islam.
Kompilasi Hukum Islam dapat digunakan apabila hakim dalam memutuskan
perkara tidak menemukan sumber hukum material dalam

Peradilan Agama tidak terikat dengan Kompilasi Hukum Islam secara Yuridis
Formal (Mukri, 2001: 27-28). Kompilasi Hukum Islam dilaksanakan berdasarkan
Keputusan Menteri Agama 154 Tahun 1991.

Kedudukan isbat nikah dalam peraturan perundang-undangan, sesuai dengan


aturan dalam Kompilasi Hukum Islam untuk mengisi kekosongan hukum mengenai
isbat nikah yang terlewat dari peraturan mengenai perkawinan. Hal tersebut
sejalan dengan pertimbangan para penyusun Kompilasi Hukum Islam yang mana
isbat nikah akan memiliki manfaat bagi umat Islam untuk tetap mendapatkan
hak-haknya yang berhubungan dengan administrasi seperti kepastian hukum anak
dalam perkawinan dan akibat hukum yang muncul dalam perkawinan. Walaupun
isbat nikah hanya diatur dalam Kompilasi Hukum namun sejatinya ia tidak
terpisahkan dari peraturan perundang-undangan yang bersifat regulatif bagi
masyarakat (Sururie, 2017: 240- 241).

Kedudukan isbat nikah dalam Undang-Undang Perkawinan mengacu pada Kompilasi


Hukum Islam dalam tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Kompilasi Hukum Islam sebagai sumber hukum materiil mengenai perkawinan di
Indonesia melengkapi dan mendampingi Undang-Undang Perkawinan dalam
penyelesaian perkara-perkara perkawinan bagi masyarakat yang beragama Islam.
Segala ketentuan yang tidak terdapat dalam Undang-Undang Perkawinan dapat
dilengkapi oleh Kompilasi Hukum Islam. Kedudukan isbat nikah dalam Undang-
Undang Perkawinan adalah sebagai mekanisme yang disediakan hukum bagi pihak-
pihak yang ingin menunaikan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan atas
perkawinan mereka yang belum dicatatkan. Selain itu, sebagai penguat mengenai

isbat nikah dalam hukum positif mengenai perkawinan di Indonesia, Kementerian


Agama mengeluarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 20 Tahun 2019 tentang
Pencatatan Pernikahan.

b) Dasar pengadilan Agama mengabulkan isbat nikah!


Jawab :

Isbat nikah sendiri sama sekali tidak diatur dalam Undang-Undang Perkawinan,
malahan diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pemberlakuannya berdasarkan
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum
Islam yang mana Instruksi Presiden tidak termasuk dalam hierarki peraturan
perundang-undangan di Indonesia. Dalam peraturan perundang-undangan terdapat
suatu teori hierarki atau tata urutan yang bertingkat seperti anak tangga.
Antara norma satu dengan norma yang lain terdapat sebuah hubungan yang saling
mengatur yang disebut hubungan super dan sub-ordinasi dalam konteks spasial
(Asshiddiqie dan Safa'at, 2006: 110). Di Indonesia, hierarki peraturan perundang-
undangan diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Peraturan Perundang- Undangan yang berbunyi:
“Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.”

Anda mungkin juga menyukai