Anda di halaman 1dari 38

RUANG LINGKUP HUKUM KEKELUARGAAN

Istilah hukum keluarga berasal dari terjemahan Familierecht (Belanda) atau Family
Law (Inggris). Istilah “Keluarga" dalam arti sempit adalah orang seisi rumah, anak, istri
sedangkan dalam arti luas keluarga berarti sanak saudara atau anggota kerabat dekat.

Pengertian Hukum Kekeluargaan Menurut Para Ahli

a. Hukum keluarga, menurut oleh Ali Afandi, didefinisikan sebagai keseluruhan


ketentuan yang mengatur hubungan hukum yang bersangkutan dengan
kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan (perkawinan,
kekuasaan orang tua, perwalian, pengampuan, keadaan tidak hadir).
b. Van Apeldoorn: “Hukum keluarga adalah pengaturan hubungan hukum yang timbul
dari hubungan keluarga”.
c. C.S.T Kansil: “Hukum keluarga terdiri dari seperangkat ketentuan hukum yang
dihasilkan dari kesatuan hidup keluarga”.
d. R. Subekti: “Hukum keluarga adalah hukum yang mengatur hubungan hukum yang
timbul dari hubungan keluarga.”
e. Rahmad Usman: “Hukum kekeluargaan adalah ketentuan yang mengatur hubungan
antara orang-orang perseorangan yang berbeda-beda dalam ikatan keluarga”.
f. Djaja S. Meliala: “Hukum keluarga adalah aturan umum yang mengatur hubungan
hukum antara saudara sedarah dengan keluarga hasil perkawinan.”
g. Sudarsono: “Hukum keluarga adalah keseluruhan peraturan yang mengatur
hubungan hukum antara saudara sedarah dan kerabat karena perkawinan.

a. Perkawinan,
b. Perceraian
c. Harta benda dalam perkawinan
d. Kekuasaan orang tua,
e. Perwalian, Pengampuan,
f. Keadaan tidak hadir
Penting:

Perkawinan, Perceraian dan harta benda dalam perkawinan secara langsung terkait dengan
kekuasaan orang tua, Perwalian dan Pengampuan.

Menetapkan batas umur dewasa atau anak di bawah umur tidak selalu sama dalam
perundang-undangan, yaitu sistem hukum Islam KUHPerdata, hukum adat dan hukum pidana.
Pembuat undang-undang tidak menginginkan bahwa anak-anak tumbuh dan dilahirkan di
luar pernikahan, maka undang-undang mengadakan perbedaan : Kedudukan hukum anak-
anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan (anak sah) dan kedudukan
hukum anak-anak yang tumbuh dan dilahirkan di luar pernikahan (anak tidak sah), kesalahan
ayah ibunya menjadi beban anak-anak yang tidak bersalah.

Pembuktian siapakah ibunya suatu anak lebih mudah daripada pembuktian siapakah
ayahnya atau bapaknya. Pembuktian dari ayah hanya diberikan secara tidak langsung. Dalam
prakteknya, seorang wanita A di luar nikah melahirkan seorang anak B, maka kepada pegawai
pencatatan sipil dilaporkan oleh A telah melahirkan seorang anak bernama B. Nama ayahnya
tidak disebutkan. Menurut undang-undang antara A dan B tidak ada hubungan perdata
selama A belum mengakui B sebagai anaknya.

A. Anak dibawah Umur

Pengertian anak di bawah umur atau juga anak belum dewasa tidak sama dalam sistem
hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam Hukum Islam seorang anak masih belum dewasa
(minderjarig) apabila belum berusia 15 tahun, kecuali bila ia sebelumnya itu sudah
memperlihatkan telah matang untuk bersetubuh (geslachtsrijp), tetapi tidak kurang dari usia
9 tahun. belum dewasa disebut saghir atau sabi, sedangkan sudah dewasa dinamakan baligh.

Hukum Adat tidak mengenal usia tertentu apakah seorang belum atau sudah dewasa.
Dilihat apakah seorang anak sudah matang untuk bersetubuh (geslachtsrijp) atau apakah
seorang anak itu sudah cukup gawe (kerja) mencari nafkah sendiri seperti menggarap sawah
dan sebagainya, biasanya pada usia kurang lebih 16 tahun. Di beberapa tempat di pulau
Jawa diambil sebagai ukuran, apakah seorang anak itu masih berdiam dengan orang tuanya
atau sudah mencar keluar (dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang tuanya).

KUHPer pasal 330 menentukan bahwa yang dinamakan orang belum dewasa
(minderjarig) itu adalah orang-orang yang belum berusia 21 tahun dan belum kawin.
Apabila belum berusia 21 tahun melakukan perkawinan maka ia tetap dianggap sudah
dewasa.

KUHP pasal 45 menentukan bahwa Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang
belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur 16 tahun, hakim dapat
menentukan:.... dstnya

UU No. 1 tahun 1974 pasal 47 menentukan Anak yang dimaksud dalam UU Perkawinan
adalah yang belum berusia 18 tahun, maka perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah
mencapai umur 19 tahun, dari pihak wanita sudah berusia 16 tahun. Penyimpangan atas
usia-usia tersebut harus ada dispensasi dari pengadilan atau pejabat lainnya yang ditunjuk
oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita (pasal 7). UU No. 16 Tahun 2019 (19
tahun pria juga wanita).

B. Anak Sah

Menurut KUHPerdata anak-anak yang dilahirkan dari hubungan biologis (hubungan


darah bapak-ibu-anak) dan ditumbuhkan sepanjang perkawinan adalah anak sah (wettige
of echte kinderen).

Anak yang mempunyai ibu dan bapak yang tidak terkait dengan perkawinan,
dinamakan anak tidak sah, atau anak di luar nikah juga disebut anak alami atau onwettig,
onechte of natuurlijke kinderen.

Anak tidak sah dikelompokkan menjadi dua golongan, yakni : anak luar kawin yang
bukan anak zinah atau sumbang dan anak-anak zinah atau sumbang. Istilah “anak luar
kawin” atau “anak alami” dipergunakan dalam dua arti, yakni arti luas (termasuk di
dalamnya anak zinah/overspeilige kinderen atau sumbang/bloedschenninge kinderen)
dan arti sempit (tidak termasuk anak zinah dan anak sumbang/incest).
UU No. 1 tahun 1974 pasal 55 menentukan bahwa asal-usul seorang anak hanya dapat
dibuktikan dengan akte kelahiran yang otentik yang dikeluarkan oleh instansi yang
berwenang. Bilamana akta kelahiran tersebut tidak ada, maka pengadilan dapat
mengeluarkan penetapan asal-usul anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti
berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat-syarat. Pegawai pencatat kelahiran yang
ada di daerah hukum pengadilan tersebut, menerbitkan akta kelahiran anak.

Jika seorang suami atau bekas suami menyatakan bahwa anak yang dilahirkan oleh
isterinya atau bekas isterinya itu bukan anaknya, maka ia dapat memperkuat pernyataan
itu dengan melakukan acara Li’an di muka hakim :

1) Acara Li’an, Suami mendakwa isterinya hamil atau melahirkan anak sebagai akibat
perzinahan, maka ia dapat menyangkal anak itu dengan jalan li’an (menyumpahi,
mengutuki isterinya itu di muka hakim). Dasarnya acara li’an (An Nur : ayat 6 – 9).
(1) Hukuman Hadd, ialah hukuman yang macam dan beratnya ditetapkan dengan pasti
dalam Al Qur’an atau Hadits ; sedangkan had al-qadhaf ialah hukuman untuk orang
yang mendakwa bahwa orang lain telah melakukan zinah, tetapi tidak dapat
membuktikan dakwaannya. Hukumannya ialah pukulan 80 kali dengan cemeti kulit.
(2) Pendapat pada Umumnya, Pihak pengadilan agama pada umumnya berpendapat bahwa
secara li’an itu boleh dilakukan di muka pengadilan agama, akan tetapi karena perkara-
perkara menetapkan sah tidaknya seorang anak itu termasuk kekuasaan peradilan
agama, maka pengadilan agama hanya memberikan keputusan, bahwa perkawinan
antara suami isteri putus sama sekali.

a. Sifat Kekuasaan Orang Tua

Menurut hukum Romawi yang berpengaruh banyak terhadap hukum Perancis dan
KUHPerdata, anak-anak berada di bawah kekuasaan bapaknya. Semula kekuasaan ini
(“patria potestas”) tidak terbatas, hidup dan matinya berada di dalam kekuasaan
bapaknya. Lambat laun berkurang tetapi masih besar, si ibu sama sekali tidak kekuasaan
atas anaknya. Dengan “perundang-undangan anak” kekuasaan bapak diubah menjadi
kekuasaan orang tua. Dan dengan keputusan hakim, kekuasaan orang tua dapat dibebaskan
atau dipecat.

Kekuasaan orang tua diberikan agar mereka menjalankan dan memenuhi kewajibannya
terhadap anak-anak, yaitu kewajiban memelihara dan mendidik anak-anak sebaik-baiknya.
Kekuasaan diberikan untuk kepentingan si anak. Orang tua diberikan hak untuk
“menghukum” dan “mengkoreksi” terhadap anak-anak mereka, jika anak-anak berkelakuan
tidak baik. Hak itu dinamakan “hak koreksi” atau “hak disipliner” (tuchtrecht, bahasa
Belanda), “correction paternelle” (bahasa Perancis), yakni hak untuk mengkoreksi kelakuan
anak yang tidak baik.

Anak harus tunduk dan patuh kepada orang tuanya dan anak-anak harus berdisiplin.
Jika kelakuan anak-anak tidak baik, maka orang tuanya berhak memberikan hukuman atau
memberikan koreksi. Hukuman dapat berupa hukuman fisik bukan bersifat penganiayaan.
Orang tua berhak membatasi kebebasan si anak; mereka dapat menentukan kapan si anak
dapat keluar dari rumah dan kapan ia harus kembali ke rumah. Orang tua juga berhak untuk
memerintahkan si anak untuk waktu tertentu tidak boleh keluar dari rumah.

b. Permulaan dan Berakhirnya Kekuasaan Orang Tua

Sejak anak lahir dari perkawinan yang sah, lahirlah kekuasaan orang tua, sepanjang
anak itu hidup dan tumbuh menjadi dewasa. Kecuali kekuasaan orang tua dicabut atau
dibebaskan oleh hakim, atau perkawinan orang tuanya diputus cerai. Demikian juga dengan
matinya anak, maka kekuasaan orang tua dengan sendirinya berakhir, yaitu hak untuk
mengkoreksi kelakuan anak yang tidak baik.

Di samping pemeliharaan dan pendidikan terhadap anak-anak, orang tua wajib


memelihara harta benda anak-anaknya sepanjang anak-anak memperoleh harta kekayaan
karena hibah atau warisan. Jika salah satu dari orang tua meninggal dunia maka orang tua
yang masih hidup lebih lama demi hukum menjadi wali dari anak yang masih di bawah umur
sampai anak itu mencapai dewasa atau kawin.

Terhadap anak-anak luar kawin, kekuasaan orang tua lahir sejak orang tuanya mengakui
anak itu sebagai anaknya, atau sejak kedua orang tua itu melakukan perkawinan satu sama
lainnya. Kekuasaan orang tua tidak akan berakhir, dengan adanya perpisahan orang tua
tentang meja dan tempat tidur.

c. Akibat Hukum Kekuasaan Orang Tua Terhadap Anak

Akibat hukum kekuasaan orang tua terhadap anak-anak mereka, maka tiap-tiap anak
wajib menghormati dan menyegani orang tuanya, ini lebih hubungan norma susila dari pada
sekedar norma hukum antara anak terhadap orang tuanya. Anak harus berbakti kepada
orang tuanya yang membesarkan dan menumbuhkan menjadi dewasa.

Sebaliknya jika kelak anak telah menjadi dewasa (dan lebih-lebih telah bekerja), ia wajib
memelihara menurut kemampuannya orang tuanya dan keluarga dalam garis lurus, bilamana
mereka memerlukannya.

Firman Allah mengatakan : “Dan kami telah perintahkan manusia berbuat kebaikan
kepada dua ibu dan bapaknya” (Surat Al Ahqah surat ke 46 ayat 15) juga Surat Al
Baqarah ayat 215, berbunyi : “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan
kepada ibu dan bapaknya kaum kerabat anak yatim orang miskin … “.

Anak-anak di bawah usia 18 tahun atau belum menikah yang tidak bergantung pada
orang tuanya tunduk pada perwalian. Wali berlaku untuk orang dan harta benda anak yang
bersangkutan. Perwalian mengacu pada kontrol pribadi dan pengelolaan aset anak di bawah
umur ketika anak tersebut tidak berada di negara otoritas orang tua, yaitu. seorang anak
yang orang tuanya bercerai atau ketika salah satu atau semua dari mereka meninggal berada
di bawah perwalian. Untuk anak di luar nikah, karena tidak ada otoritas orang tua, anak selalu
berada di bawah perwalian.

Menurut P.N.H. Simanjuntak, Pengampuan adalah suatu daya upaya hukum untuk
menempatkan seseorang yang telah dewasa menjadi sama seperti orang yang belum dewasa.
Dalam pasal 433 s.d. 462 KUH Perdata alasan yang mengharuskan seseorang ditaruh di bawah
pengampuan adalah:
1). Karena keadaan dungu;

2). Karena sakit otak

3). Mata gelap

4). Karena boros

Balai Harta Peninggalan yang bertindak sebagai Pengampu Pengawas (Toeziende


Curator) dalam pengampuan orang dewasa yang berada dalam keadaan dungu, gangguan
kejiwaan, dan boros. Orang yang ditaruh dalam pengampuan karena boros ia tetap berhak
untuk melakukan perbuatan hukum seperti: membuat surat wasiat, mengadakan perkawinan.

Dalam hal kedudukan dan peranan Balai Harta Peninggalan sebagai pengampu pengawas
adalah sama dengan perwalian pengawas. Tugas Pengampuan Pengawas berakhir apabila
yang ditaruh dalam pengampuan sembuh atau meninggal.

a. Statusnya Hilang

Ketidakhadiran (afwezigheid) adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak dapat


menempati atau berdiam disuatu tempat tinggalnya karena sebab tertentu dan tidak
diketahui secara jelas keberadaaanya.

Pasal 463 KUHPerdata menyatakan, bila seseorang meninggalkan tempat tinggalnya


tanpa memberi kuasa untuk mewakilinya dalam urusan-urusan dan kepentingan-
kepentingannya, atau untuk mengatur pengelolaannya mengenai hal itu, ataupun bila kuasa
yang diberikannya tidak berlaku lagi, sedangkan keadaan sangat memerlukan mengatur
pengelolaan itu seluruhnya atau sebagian, atau untuk mengusahakan wakil baginya, maka
atas permohonan pihak-pihak yang berkepentingan atau atas tuntutan Kejaksaan,
Pengadilan Negeri di tempat tinggal orang yang dalam keadaan tidak hadir itu harus
memerintahkan Balai Harta Peninggalan untuk mengelola barang-barang dan kepentingan-
kepentingan orang itu seluruhnya atau sebagian, membela hak-haknya, dan bertindak
sebagai wakilnya.

Pernyataan dugaan kematian orang tersebut:

Jika seorang telah sekian lamanya tidak hadir maka harus diperhatikan apakah ia
meninggalkan surat kuasa atau tidak. Jika dia tidak meninggalkan jaksa, berlaku
ketentuan pasal 467 KUHPerdata,
Menurut Pasal 467 KUH Perdata jika situasinya telah berlangsung selama 5 tahun,
dia dipanggil atas permintaan orang yang bersangkutan dengan persetujuan
pengadilan. Kalau orang itu tidak menghadap maka pengadilan diulangi sampai 3 kali
dengan antar waktu 3 bulan.

Pasal 468 KUH Perdata menyatakan Jika dia tidak hadir pada panggilan terakhir,
pengadilan dapat menyatakan orang tersebut meninggal dunia setelah mereka
meninggalkan rumah atau keamanan terakhirnya.

Jika ada surat kuasa, menurut pasal 470, jangka waktu ketidakhadiran harus tepat
10 tahun agar pengadilan dapat menentukan dugaan kematian orang tersebut.
KONSEP NASAB DALAM HUKUM KELUARGA

Nasab merupakan pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan darah, baik ke atas,


ke bawah, maupun ke samping. Nasab sebagai dasar fondasi yang kuat dalam membina dan
melestarikan keutuhan kehidupan manusia, sebab pada hakikatnya nasab juga merupakan
nikmat dan karunia besar yang Allah ‫س ْب َحانَ ُهُ َُو تَ َعالَى‬
ُ berikan kepada hamba-Nya.

Nasab harus senantiasa dijaga kemurniannya, merupakan persoalan pokok kaitannya


dengan struktur hukum keluarga yang lain, seperti hak hadhanah (mengasuh), nafkah,
hukum kewarisan, dan masalah perwalian.

a. Berasal dari kata nasaba (Bahasa Arab) diartikan hubungan pertalian keluarga.
b. Menurut M. Nurul Irfan, nasab adalah hubungan keluarga yang berdasarkan ikatan
darah, ke atas, ke bawah dan ke samping, semua sebagai akibat dari perkawinan
yang sah, perkawinan fasid dan hubungan badan syubhat.
c. Menurut Wahbah al-Zuhaily, nasab didefinisikan sebagai sebuah pondasi kuat dan
menjadi sandaran berdirinya hubungan keluarga dikarenakan pertalian darah
sebab mengikatnya anggota keluarga
d. Menurut Amir Syarifuddin, nasab didefinisikan sebagai hubungan kekerabatan
secara hukum.
e. Menurut Slamet Abidin dan Aminuddin, nasab atau keturunan adalah hubungan
yang menentukan asal-usul seorang manusia dalam pertalian darahnya.

a. QS. Al-Aḥzab ayat 4-5 (dijelaskan bahwa anak angkat tidak dapat menjadi anak
kandung. anak angkat tetap dinasabkan kepada ayah kandungnya, bukan kepada
ayah angkatnya).
b. QS. Al-Aḥzab ayat 37 (dipertegas bahwa pengangkatan anak tidak mempunyai
implikasi pada adanya hubungan nasab dan konsekuensi syari‟ah. Artinya anak
angkat pada nantinya tidak memiliki hak untuk saling mewarisi, juga tidak
mengakibatkan adaya hubungan mahram, selain itu ayah angkat juga tidak bisa
menjadi wali dalam pernikahan anak wanita yang diangkatnya).

Nasab seorang anak terhadap ibunya ditentukan oleh kelahiran, baik secara syari’ah
maupun hukum perundang-undangan di Indonesia. Sedangkan penisbatan (menasabkan diri
kepada) anak terhadap ayahnya disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:

1. Pernikahan yang Sah


Ulama fiqih menyatakan bahwa anak yang lahir dari seorang wanita dalam suatu
pernikahan yang sah dinasabkan kepada suami wanita tersebut dengan 3 syarat,
yaitu:
a. Suami adalah seorang yang memungkinkan dapat melakukan hubungan suami
istri dan memberikan keturunan (telah baligh dan berakal).
b. Masa kehamilan adalah minimal enam bulan dihitung dari akad nikah. Jika
kelahiran anak itu kurang dari enam bulan, kesepakatan ulama, anak tersebut
tidak bisa dinasabkan kepada suami wanita tersebut karena hal ini menunjukkan
bahwa kehamilan telah terjadi sebelum akad nikah. Kecuali apabila suami wanita
tersebut mengakuinya. Pengakuan tersebut diartikan sebagai pernyataan
bahwa wanita tersebut hamil sebelum akad nikah dan kehamilannya terjadi
dalam pernikahan yang fasad atau karena wath‟i syubhat, maka anak tersebut
menurut madzhab Hanafi bisa dinasabkan kepada suami ibunya.
c. Suami-isteri telah bertemu minimal satu kali setelah akad nikah

2. Pernikahan yang Fasid


Nikah fasid adalah nikah yang tidak memenuhi salah satu dari syarat-syarat nikah
yang diatur dalam syariat Islam, yang dapat dikategorikan sebagai nikah fasid
antara lain, suami melakukan pernikahan, sedangkan ia tidak berhak melakukan
akad nikah karena sudah mempunyai empat istri sekalipun salah satu dari ke
empatnya itu dalam iddah.
Penetapan nasab anak yang lahir dalam pernikahan fasid sama dengan penetapan
pada pernikahan sah

3. Hubungan Syubhat
Hubungan senggama selain zina, namun juga bukan dalam bingkai perkawinan yang
sah ataupun fasid. Contoh seorang lelaki yang menggauli wanita yang ia kira
istrinya tetapi ternyata saudara kembar istrinya. Terhadap hal tersebut maka:
a. Jika wanita melahirkan setelah 6 bulan atau lebih, maka anak itu dinasabkan
kepada lelaki tersebut
b. Jika wanita melahirkan kurang dari 6 bulan, maka anak tersebut tidak dapat
dinasabkan kepada lelaki tersebut

Incest adalah istilah Bahasa Inggris yang artinya hubungan sumbang yaitu adalah
hubungan saling mencintai yang bersifat seksual yang dilakukan oleh pasangan yang
memiliki ikatan keluarga (kekerabatan) yang dekat, biasanya antara ayah dengan anak
perempuannya, ibu dengan anak laki-lakinya, atau antar sesama saudara kandung atau
saudara tiri.

Anak yang dilahirkan digolongkan sebagai anak luar nikah, anak hasil perbuatan incest
tetap merujuk atau bernasab dan berkedudukan kepada ibu yang melahirkannya dan
keluarga ibunya. Status anak incest ini dapat juga disamakan disamakan statusnya dengan
anak zina, oleh karena itu maka mempunyai akibat hukum sebagai berikut:

1. Tidak ada hubungan nasab dengan bapaknya. Anak itu hanya mempunyai hubungan
nasab dengan ibunya. Bapaknya tidak wajib membErikan nafkah kepada anak itu,
namun secara biologis ia tetap anaknya. Jadi hubungan yang timbul hanyalah secara
manusiawi, bukan secara hukum.
2. Tidak ada saling mewaris dengan bapaknya, karena hubungan nasab merupakan
salah satu penyebab kerwarisan.
Bapak tidak dapat menjadi wali bagi anak di luar nikah. Apabila anak diluar nikah itu
kebetulan seorang perempuan dan sudah dewasa lalu akan menikah, maka ia tidak berhak
dinikahkan oleh bapak biologisnya. Wali Bagi Anak Yang Lahir Akibat Perbuatan Incest

Status nasab menempati posisi yang strategis dalam hukum Islam karena sebagian hukum
Iislam terkait dengan status nasab, diantaranya:

a. Kewajiban tanggung jawab nafkah dan tarbiyah (mengasuh, membina,


mengembangkan, memelihara.
b. Hak waris (di antara sebab-sebab mewarisi adalah hubungan keluarga dan di
antara para ahli waris, kedekatan hubungan nasab adalah diprioritaskan)
c. Bidang perkawinan (menegaskan bahwa seorang pria dilarang melangsungkan
perkawinan dengan wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau
keturunannya, wanita keturunan ayah atau ibunya dan wanita saudara yang
melahirkannya)
d. Bidang perwalian nikah (di antara orang-orang yang berhak bisa menjadi wali
nikah, kedekatan hubungan nasab adalah yang paling diprioritaskan).
PERWALIAN

Selama perkawinan orang tua bertanggungjawab pada anak-anak mereka yang belum
dewasa berada di bawah kekuasaan orang tuanya, sejauh orang tuanya tidak dibebaskan
atau dipecat dari kekuasaan itu, setelah salah satu dari orang tuanya meninggal dunia maka
orang tua yang hidupnya lebih lama anak berada di bawah perwalian (voogdij), perwalian
meliputi pribadi anak maupun harta bendanya.

Perwalian adalah pengawasan terhadap anak yang di bawah umur yang tidak berada
di bawah kekuasaan orang tua serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut
sebagaimana diatur oleh Undang-undang.

Tiap-tiap perwalian, kecuali kekuasaan orang tua dipecat atau dicabut hanya ada satu
orang wali perwalian terhadap anak dari bapak dan ibu yang sama, sekedar anak-anak itu
mempunyai seorang wali yang sama pula, harus dianggap sebagai satu perwalian.

Perwalian anak dibawah umur terjadi karena :

1. Salah satu atau kedua orang tuanya telah meninggal dunia;


2. Orangtua bercerai; dan,
3. Pencabutan dari kekuasaan orang tua.

Macam Perwalian, yaitu:


1. Perwalian oleh suami atau isteri yang hidup lebih lama. Dalam hal ayah setelah
perceraian menjadi wali maka dengan meninggalnya ayah maka si-lbu dengan
sendirinya (demi hukum) menjadi wali atas anak-anak tersebut.
2. Perwalian yang ditunjuk oleh bapak atau ibu dengan surat wasiat atau akta
tersendiri.
3. Perwalian yang Diangkat oleh Hakim. Semua “minderjarige” yang tidak berada
dibawah kekuasaan orang tua dan yang diatur perwaliannya secara sah akan
ditunjuk seorang wali oleh Pengadilan.
a. Pasal 330 s.d. Pasal 418a KUHPerdata
b. Pasal 47 s.d. Pasal 60 Staatbslad 1872 Nomor 166 Instruksi untuk Balai-Balai Harta
Peninggalan
c. Pasal 33 s.d. Pasal 36 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
d. Pasal 50 s.d. Pasal 54 UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
e. Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 2019 tentang syarat dan Tata Cara
Penunjukan Wali
f. Pasal 3 huruf a Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 7 tahun 2021 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Balai Harta Peninggalan
g. Kompilasi Hukum Islam.

Sedapat-dapatnya perwalian diambil dari kalangan keluarga anak tersebut, atau orang
lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan balik (surat an-Nahl
ke 16 ayat 90; sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil, dan kebajikan dan menolong
keluarga yang dekat dan melarang dari pekerjaan yang keji dan mungkar, dan kezhaliman)
1. Melakukan kuasa asuh orang tua;

2. Melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab orang tua, yang terdiri atas

a. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak


b. Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya
serta
c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak; dan
d. Memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada anak;

3. Membimbing anak dalam pemahaman dan pengamalan kehidupan beragama


dengan baik;

4. Mengelola harta milik anak untuk keperluan anak; dan

5. Mewakili anak untuk melakukan perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan;
1) Jika seorang wali diangkat oleh hakim dan pengangkatan itu dilakukan dan jika
terjadi tidak dalam ketidakhadirnya, maka saat itu pengangkatan itu diberitahukan
kepadanya.

2) Jika seorang wali diangkat oleh salah satu dari kedua orang tuanya, pada saat
pengangkatan itu, karena meninggalnya memperoleh kekuatan untuk berlaku dan
si yang diangkat menyatakan sesanggupannya menerima pengangkatan itu.

3) Jika seorang perempuan bersuami diangkat sebagai wali, baik oleh hakim maupun
oleh salah satu dari kedua orang tuanya pada saat itu ia dengan bantuan atau
kuasa dari suaminya atau dengan kuasa dari hakim mengatakan kesanggupannya
menerima pengangkatan itu.

4) Jika suatu perhimpunan yayasan atau lembaga amal atas permintaan atau
kesanggupan sendiri diangkat menjadi wali pada saat mereka menyatakan sanggup
menerima pengangkatan itu.

5) Jika seorang menjadi wali karena hukum, pada saat terjadinya peristiwa yang
mengakibatkan perwaliannya.

6) Jika ditunjuk oleh salah satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua,
sebelum ia meninggal dunia dengan surat wasiat atau pesan di hadapan dua orang
saksi (pasal 50 , 51 UU No. 1 tahun 1974, jo BW pasal 33 1a)

Dalam pengangkatan ini maka Balai Harta peninggalan wajib menyelenggarakan


pemberitahuan selekas-lekasnya.

Wali berakhir apabila:

1. Anak telah berusia 18 (delapan belas) tahun;

2. Anak meninggal dunia;

3. Wali meninggal dunia;

4. Wali yang badan hukum bubar atau pailit;


5. Kekuasaan Wali dicabut berdasarkan penetapan/putusan Pengadilan, disebabkan:

a. Melalaikan kewajiban sebagai wali


b. Tidak cakap melakukan perbuatan hukum
c. Menyalahgunakan kewenangan sebagai wali
d. Melakukan tindak kekerasan terhadap anak yang ada dalam pengasuhannya;
dan/atau
e. Orang tua dianggap telah mampu untuk melaksanakan kewajiban

a. PEMBEBASAN
Seorang bapak atau ibu yang memangku kekuasaan orang tua dapat dibebaskan
oleh hakim dari kekuasaan itu. Syarat pembebasan adalah :
1. Ketidakcakapan atau ketidakmampuan untuk menunaikan kewajibannya akan
memelihara dan mendidik anak-anaknya (pasal 319 (1) KUHPer).
2. Kepentingan anak-anak karena hal-hal lain tidak bertentangan dengan
pembebasan itu (pasal 319 (1) KUHPer)
3. Si bapak atau ibu yang mengaku kekuasaan orang tua tidak menunjukkan
perlawanan (pasal 319 b ayat terakhir).

Tidak mudah untuk membuat ukuran tidak cakap dan tidak mampu karena antara anak dan
orang tuanya terdapat interaksi dan interelasi atau karena anak itu nakal tetapi sampai
berapa jauh anak itu boleh atau tidak ditolerir masih menjadi problem. Tindakan
pembebasan diadakan untuk kepentingan anak itu sendiri. Perlawanan itu harus dilakukan
secara aktif, baik oleh Bapak atau Ibu, agar kekuasaannya tidak dibebaskan.

CONTOH, misalnya seorang tua gila harus dianggap tidak mampu untuk mengutarakan
kehendaknya dan demikian juga tidak mungkin mengajukan perlawanan. Orang yang gila
tidak boleh dibebaskan dari kekuasaan orang tua, karena ia tidak mungkin mengajukan
perlawanan, tidak akan menguntungkan anak. Justru orang yang tidak mampu memelihara
dan tidak mampu mendidik anak-anaknya, dan dengan demikian ia boleh dibebaskan dari
kekuasaan orang tua tersebut.
CONTOH LAIN : bagaimana dengan orang tua yang di bawah curatele. Peraturan bagi
orang-orang Indonesia asli yang mengatur curatele sangat sederhana. Peraturan itu
termuat dalam pasal-pasal 229 – 233 HIR dan dalam pasal-pasal 263 – 268 dari Reglement
Buitengewesten dan hanya untuk satu sebab untuk curatele. Yakni apabila ada kekurangan
dalam daya berpikir (gebnij aan verstandlijke vermogens). Sedangkan dalam BW pada
pasal 433 dan 434 mengenai tiga macam sebab, yakni :

1) Kekurangan daya berpikir (onnozelheid, kranzinnigheid of)

2) Keborosan (verwisting) dan

3) Lemah pikirannya (zwakheid van vermogen)

b. PEMECATAN

Alasan pemecatan berbeda dengan alasan pembebasan kekuasaan orang tua.


Alasan-alasan pemecatan mengandung unsur kesalahan (pasal 319 a ayat 2 BW)
pemecatan adalah tindakan terhadap orang tua, bapak atau ibu, yang tidak
dalam”Undang-Undang Perdata Anak-Anak” maka pemecatan hanya dapat diputuskan
oleh hakim pidana sebagai pidana tambahan, karena pemecatan adalah tindakan yang
paling keras untuk mencabut kekuasaan orang tua.

Pemecatan hanya dapat diputuskan, apabila pemecatan itu menurut pertimbangan


hakim sangat perlu (noodzakelijk) untuk kepentingan anak-anak, didasarkan pada
alasan yang lebih spesifik, yaitu : sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya
dan berkelakuan buruk sekali.

Pembebasan didasarkan hanya pada tidak cakapnya orang tua atau tidak mampu
memenuhi kepentingan-kepentingan dasar anak-anaknya. Baik dalam pembebasan
ataupun dalam pemecatan hanya dapat diminta oleh dewan perwalian atau kejaksaan.
Pemecatan selain oleh dewan perwalian atau kejaksaan; juga boleh diminta dari orang
tua yang lain atau salah satu keluarga sedarah atau semenda dari si anak, sampai
derajat ke empat.
Putusan pemecatan ataupun pembebasan, mempunyai akibat bahwa lepasnya
kekuasaan orang tua kepada orang lain, baik dilakukan oleh orang tua ataupun dengan
putusan hakim. Pada umumnya pendidikan dan pemeliharaan anak-anak oleh orang tuanya
lebih baik daripada diserahkan kepada orang lain. Oleh karena itu jika ada alasan-alasan
yang sudah tidak ada lagi atau hapus, maka anak-anak selekasnya harus dikembalikan
kepada orang tuanya, atau dengan kata lain kekuasaan orang tua harus dipulihkan kembali.

Pemulihan kembali apabila peristiwa yang menyebabkan (mengakibatkan) pembebasan


atau pemecatan tidak lagi menentang akan pemilihan atau pengangkatan itu. Orang tua
yang telah dibebaskan atau dipecat dari kekuasaannya orang tua kemudian bisa mampu
dan cakap lagi memelihara dan mendidik anak-anaknya, misalnya ia sudah sembuh dan
telah meninggalkan rumah sakit (jiwa) dan ia sudah tidak gila lagi. Orang tua yang berubah
kelakuan buruknya, menjadi penghidupan yang lebih baik dan juga kelakuannya sudah
menjadi baik lagi. Maksud undang-undang adalah bahwa hakim pada pemulihan kekuasaan
orang tua harus memperhatikan kepentingan anak-anak yang menentukan. Permohonan
untuk dipulihkan dalam kekuasaan orang tua atau diangkat menjadi wali, boleh lain yang
berhak meminta pemecatan ataupun pembebasan badan atas tuntutan jaksa.

PENGAJUAN HAK PERWALIAN

a. Pengajuan Hak Perwalian bagi yang beragama Islam dapat mengajukan hak
perwalian tersebut di Pengadilan Agama dimana kediaman pemohon.

b. Pengajuan Hak Perwalian yang beragama Non Muslim maka pengajuan Hak
perwalian tersebut di Pengadilan Negeri dimana kediaman pemohon

a. Pasal 1 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2019 Tentang Syarat dan
Tata Cara Penunjukan Wali. Wali adalah orang atau badan yang dalam
kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap anak.
b. Pasal 3 Ayat (1), (2), (3), (4) Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2019 Tentang
Syarat dan Tata Cara Penunjukan Wali, yang berhak menjadi wali sebagai berikut :
Untuk dapat ditunjuk sebagai Wali karena Orang Tua tidak ada, Orang Tua tidak diketahui
keberadaannya, atau suatu sebab Orang Tua tidak dapat melaksanakan kewajiban dan
tanggung jawabnya, seseorang yang berasal dari:

1) Keluarga Anak (Keluarga sedarah dalam garis Iurus ke atas sampai dengan derajat
ketiga)

2) Saudara (kerabat Keluarga laki-laki maupun perempuan menyamping dari kakek/


nenek, bapak/ ibu, dan Anak)

3) Orang lain

4) Badan hukum harus memenuhi syarat penunjukan Wali dan melalui penetapan
Pengadilan.

a. Syarat KELUARGA ANAK, SAUDARA, ORANG LAIN yang ditunjuk sebagai Wali:
1. Warga negara Indonesia yang berdomisili tetap di Indonesia
2. Berumur paling rendah 30 tahun (Keluarga Anak), 21 tahun (Saudara), 30 tahun
(Orang Lain);
3. Sehat fisik dan mental
4. Berkelakuan baik
5. Mampu secara ekonomi
6. beragama sama dengan agama yang dianut Anak;
7. Mendapat persetujuan tertulis dari suami/ istri, bagi yang sudah menikah;\
8. Bersedia menjadi Wali yang dinyatakan dalam surat pernyataan;
9. Membuat pernyataan tertulis tidak pernah dan tidak akan melakukan
a. Kekerasan, eksploitasi, penelantaran, dan perlakuan salah terhadap Anak;
atau
b. Penerapan hukuman fisik dengan alasan apapun termasuk untuk penegakan
disiplin terhadap Anak;
10. Untuk Keluarga Anak mendahulukan derajat terdekat; dan
11. Mendapat persetujuan tertulis dari Orang Tua jika:
a. Masih ada
b. Diketahui keberadaannya; dan
c. Cakap melakukan perbuatan hukum.

b. Badan Hukum
1. Badan hukum yang ditunjuk sebagai Wali terdiri atas unit pelaksana teknis
kementerian/lembaga, unit pelaksana teknis perangkat daerah, dan lembaga
kesejahteraan sosial Anak.
2. Unit pelaksana teknis kementerian/ lembaga dan unit pelaksana teknis
perangkat daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
syarat:
a. Dibentuk berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
b. Melaksanakan tugas dan fungsi pengasuhan Anak.
3. Lembaga kesejahteraan sosial Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi syarat:
a. Berbadan hukum berupa yayasan dan terakreditasi
b. Bersedia menjadi Wali yang dinyatakan dalam surat pernyataan dari
pengurus yang ditunjuk atas nama lembaga kesejahteraan sosial Anak
c. Mendapat rekomendasi dari dinas yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang sosial
d. Membuat pernyataan tertulis tidak pernah dan tidak akan melakukan
diskriminasi dalam melindungi hak Anak
e. Bagi lembaga kesejahteraan sosial Anak keagamaan, lembaga
kesejahteraan sosial Anak keagamaan tersebut harus seagama dengan
agama yang dianut Anak; dan
f. Mendapat persetujuan tertulis dari Orang Tua, jika;
1. Masih ada
2. Diketahui keberadaannya; dan
3. Cakap melakukan perbuatan hukum.

4. Badan hukum yang ditunjuk sebagai Wali tidak boleh membedakan suku, ras,
golongan, jenis kelamin, etnik, budaya, bahasa, urutan kelahiran, kondisi fisik,
dan/ atau mental Anak.
HARTA GONO–GINI DALAM PERKAWINAN

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001 : 330), istilah yang digunakan adalah “gono-
gini”, yang secara hukum artinya “Harta yang berhasil dikumpulkan selama berumah tangga
sehingga menjadi hak berdua suami dan istri”
Istilah hukum dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHPer), maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI), adalah harta bersama.

Dasar hukum tentang harta gono-gini menurut undang-undang dan peraturan :


a. UUP pasal 35 ayat 1, harta gono-gini (harta bersama) adalah “Harta bersama yang
diperoleh selama masa perkawinan”.
b. KUHPer pasal 119, “Sejak saat dilangsungkan perkawinan, maka menurut hukum terjadi
harta bersama menyeluruh antara suami istri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan
ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu, selama
perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan
antara suami istri”.
c. KHI pasal 85, “Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup
kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri”. KHI mendukung
adanya persatuan harta dalam perkawinan (gono-gini).
d. Pada KHI pasal 86 ayat 1 dan ayat 2, “Pada dasarnya tidak ada percampuran antara
harta suami dan harta istri karena perkawinan” (ayat 1). Pada ayat 2-nya lebih lanjut
ditegaskan bahwa pada dasarnya harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh
olehnya, harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.

Meskipun awalnya memang berasal dari konsep adat Jawa tentang “gana-gini”, di daerah-
daerah lain juga dikenal konsep yang sama dengan istilah-istilah yang berbeda, yaitu hareuta
sihareukat (di Aceh); harta suarang (Minangkabau, Sumatra Barat); guna-kaya (Sunda, Jawa
Barat); druwe gabro (Bali) dan barang perpantangan (Kalimantan).
Harta gono-gini hanya harta yang diperoleh secara bersama sejak terjadinya ikatan
perkawinan. Harta benda yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan dan harta
warisan yang diperoleh selama masa perkawinan dimiliki masing-masing suami dan istri.
Adapun harta masing-masing yang diperoleh selama masa perkawinan tetap merupakan
harta kekayaan masing-masing.
Hukum adat tentang harta gono-gini hampir sama di seluruh daerah. Misalnya di
Jawa, pembagian harta kekayaan kepada harta bawaan dan harta gono-gini setelah
terjadinya perceraian antara suami dan istri akan bermakna penting sekali. Hal ini berbeda
sekali dengan kondisi jika salah satu dari keduanya meninggal dunia, pembagian tersebut
tidak begitu penting. Sementara itu, di Aceh, pembagian harta kekayaan kepada harta
bawaan dan haeruta seuhareukat bermakna sangat penting, baik ketika terjadi
perceraian maupun pada saat pembagian warisan jika salah satu pasangan meninggal
dunia (Isma’il Muhammad Syah, 1965 : 17 – 18).
Berdasarkan hukum adat yang bersifat patrilinier (hukum adat Batak, Sumatera Utara)
harta gono-gini cenderung dianggap tidak ada. Artinya, jika terjadi perceraian, seluruh
harta dikembalikan kepada suaminya. Jika didasarkan pada hukum adat yang bersifat
matrilinier (seperti hukum adat Padang, Sumatera Barat), jika terjadi perceraian, seluruh
harta dikembalikan kepada isterinya.
Menurut hukum adat Lombok, perempuan yang bercerai pulang ke rumah orang
tuanya dengan hanya membawa anak dan barang seadanya tanpa mendapat hak gono-
gini.

KHI pasal 85 dinyatakan bahwa “Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak
menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri”. Harta
benda dalam perkawinan ada tiga macam sebagai berikut :
a. Harta gono-gini adalah harta yang diperoleh secara bersama oleh pasangan suami-
istri, dari siapapun yang menghasilkannya atau diatasnamakan oleh siapapun yang
menghasilkannya atau diatasnamakan oleh siapa pun di antara mereka, asalkan harta
itu diperoleh selama masa perkawinan (kecuali hibah dan warisan).
b. Harta Bawaan adalah “harta benda milik masing-masing suami dan istri yang diperoleh
sebelum terjadinya perkawinan atau yang diperoleh sebagai warisan dan hadiah”. Bisa
menjadi harta gono-gini jika pasangan calon pengantin menentukan hal demikian dalam
perjanjian perkawinan yang mereka buat (adanya peleburan (persatuan) antara harta
bawaan dan harta gono-gini).
c. Harta Perolehan adalah “harta benda yang hanya dimiliki secara pribadi oleh masing-masing
pasangan (suami istri) setelah terjadinya ikatan perkawinan”. Umumnya berbentuk hibah,
hadiah, dan sedekah tidak diperoleh melalui usaha bersama mereka berdua selama terjadinya
perkawinan. Menjadi miliki pribadi masing-masing pasangan, baik suami maupun istri,
sepanjang tidak ditentukan hal lain dalam perjanjian perkawinan.

Pembubaran Gabungan Harta Bersama dan Hak untuk Melepaskan Diri Padanya sebagaimana
pasal 126 KUHPer yaitu : Harta bersama bubar demi hukum karena: 1) kematian; 2) perkawinan
atas izin hakim setelah suami atau isteri tidak ada; 3) perceraian; 4) pisah meja dan ranjang; 5)
pemisahan harta.
Akibat-akibat khusus dan pembubaran dalam hal-hal tersebut pada nomor 2, 3, 4, dan 5 pasal
ini, diatur dalam bab-bab yang membicarakan soal ini
a. Sebab poin 1-3 : bubarnya harta gono-gini yang terkait dengan “pembubaran
perkawinan”.
b. Sebab poin 4 : perkawinan sebenarnya masih tetap berlangsung, hanya mereka berdua
(suami istri) dibebaskan untuk tidak tinggal bersama (pisah ranjang), ini berakibat pada
pisahnya harta kekayaan,
c. Sebab poin 5 : tidak memengaruhi keberlangsungan perkawinan atau kewajiban mereka
berdua (suami istri) untuk tinggal bersama.
d. Jika kebersamaan itu bubar karena meninggalnya salah satu pasangan, pembagian
dilakukan antara suami/istri yang masih hidup dengan ahli waris suami/istri yang telah
meninggal dunia. Jika meninggalkan anak-anak yang masih minderjarig (belum dewasa),
kepentingan anak-anak itu harus dilindungi dan lebih diprioritaskan karena mereka belum
bisa mengurus kepentingannya sendiri. Menurut pasal 345 KUHPer, yang menjadi wali
adalah ayah atau ibunya yang masih hidup.
a. Pengurusan Harta Gono-Gini
Pasal 124 KUHPer “Hanya suami saja yang boleh mengurus harta bersama itu. Dia boleh
menjualnya, memindahtangankannya dan membebaninya tanpa bantuan isterinya, kecuali
dalam hal yang diatur dalam Pasal 140”. kekuasaan suami yang begitu besar itu ternyata
dibatasi oleh dua hal yaitu :
1) Dibatasi oleh Undang-Undang, Pasal 124 ayat (2) KUHPer, “Dia tidak boleh memberikan
harta bersama sebagai hibah antara mereka yang sama-sama masih hidup, baik barang-
barang tak bergerak maupun keseluruhannya atau suatu bagian atau jumlah tertentu
dari barang-barang bergerak, jika bukan kepada anak-anak yang lahir dari perkawinan
mereka, untuk memberi suatu kedudukan”.
2) Dibatasi dengan kesepakatan suami istri dalam perjanjian perkawinan. suami tanpa bantuan
istri tidak dapat memindahtangankan atau membebani (1) benda-benda bergerak, dan (2)
surat-surat pendaftaran dalam buku besar perutangan umum, surat-surat berharga lain,
piutang-piutang atas nama (benda-benda bergerak atas nama).

B. Hak Istri dalam Harta Gono-Gini


Pasal 125 KUHPer. “Jika si suami tidak ada atau berada dalam keadaan tidak mungkin
untuk menyatakan kehendaknya, sedangkan hal itu dibutuhkan segera, maka si istri
boleh mengikatkan atau memindahtangankan barang-barang dari harta bersama itu,
setelah dikuasakan untuk itu oleh pengadilan negeri”.

C. Penggunaan Harta Gono-Gini


1. Pasal 36 (1) UUP, “Mengenaiharta bersama suami atau istri dapat bertindak atas
persetujuan kedua belah pihak”.
2. Pasal 92 KHI, ”Suami atau istri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan
menjual atau memindahkan harta bersama”.
3. Pasal 91 (4) KHI, “Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah
satu pihak atas persetujuan pihak lainnya”.
4. Pasal 93 (1) KHI, “Pertanggungjawaban terhadap utang suami atau istri dibebankan
kepada hartanya masing-masing”.
5. Pasal 93 (2) KHI, “Pertanggungjawaban terhadap utang yang dilakukan untuk
kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta suami”. Mengapa harus suami?
Alasannya jelas, karena suami merupakan kepala rumah. Jika harta gono-gini tidak
mencukupi untuk membayar utang bersama, hal itu dibebankan kepada harta suami (ayat
3). Jika ternyata harta suami tidak ada atau tidak mencukupi, dapat dibebankan kepada
istri (ayat 4).
D. Harta Gono-Gini dalam Perkawinan Poligami
1. Pasal 180 KUHPer, “Juga dalam perkawinan kedua dan berikutnya, menurut hukum ada
harta benda menyeluruh antar suami istri, jika dalam perjanjian kawin tidak ada ketentuan
lain”.
2. Pasal 94 (1) KHI, “Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri
lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri”.
3. Pasal 94 (2), “Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai
istri lebih dari seorang sebagai tersebut ayat 1, dihitung pada saat berlangsungnya akad
perkawinan yang kedua, ketiga, atau yang keempat”.
4. Pasal 65 (1) UUP menegaskan bahwa jika seorang suami berpoligami
a. Suami wajib member jaminan hidup yang sama kepada semua istri dan anaknya.
b. Istri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta gono-gini yang
telah ada sebelum perkawinan dengan istri kedua atau berikutnya itu terjadi.
c. Semua istri mempunyai hak yang sama atas harta gono-gini yang terjadi sejak
perkawinan masing-masing.
An-Nisa’ ayat 9 mengajarkan , “Hendaklah orang-orang itu merasa khawatir
jika meninggalkan keturunan yang lemah di belakang hari yang sangat mereka
takutkan. Hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka
bertutur kata yang baik”.
d. Pembagian Harta Gono-Gini
1. Cerai Mati, Pembagian harta gono-gini untuk kasus cerai mati dibagi menjadi 50 : 50.
Ketentuan ini diatur dalam KHI pasal 96 ayat 1 bahwa, “Apabila terjadi cerai mati,
maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama”.
2. Cerai Hidup, pembagian harta gono-gini diatur berdasarkan hukumnya masing-
masing. Ketentuan ini diatur dalam UU Perkawinan pasal 37, “Jika perkawinan putus
karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing”.
Yang dimaksud adalah mencakup hukum agama, hukum adat, dan sebagainya. Bagi umat
Islam ketentuan pembagian harta gono-gini diatur dalam KHI, sedangkan bagi penganut
agama lainnya diatur dalam KUHPer.

3. Perkawinan Poligami,
a. Pasal 94 Kompilasi Hukum Islam mengatur sebagai berikut:
Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang,
masing-masing terpisah dan berdiri sendiri. Pemilikan harta bersama dari perkawinan
seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang sebagaimana tersebut dalam ayat
(1), dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga atau
keempat.
b. Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor: KMA/032/SK/IV/2006 Tanggal 4 April
2006 diatur hal-hal sebagai berikut:
1) Pada saat melakukan permohonan ijin poligami ke Pengadilan Agama, suami wajib
mengajukan permohonan penetapan harta bersama dengan isteri sebelumnya
bersamaan dengan permohonan izin poligami.
2) Harta bersama yang diperoleh selama perkawinan dengan isteri pertama harus
dipisahkan dengan harta bersama perolehan dengan isteri kedua dan seterusnya.
3) Apabila terjadi perceraian atau karena kematian, maka penghitungan harta bersama
adalah untuk isteri pertama ½ dari harta bersama dengan suami yang diperoleh
selama perkawinan, ditambah 1/3 dari harta bersama yang diperoleh suami dengan
isteri pertama dan kedua, ditambah ¼ dari harta bersama yang diperoleh suami
bersama isteri ketiga, isteri kedua dan isteri pertama, ditambah 1/5 dari harta bersama
yang diperoleh suami bersama isteri keempat, ketiga, kedua, dan isteri pertama.

a. Pembagian dengan komposisi dibagi dua (atau dengan persentase 50 : 50) pun belum tentu
sepenuhnya dianggap adil dan keputusannya juga tidak mutlak. Pada umumnya, pembagian
dengan komposisi tersebut baru sebagas membagi harta secara formal, seperti berupa gaji.
b. Istri yang tidak bekerja (secara formal)? Sudah seharusnya istri yang tidak bekerja tetap
mendapat bagian dari harta gono-gininya bersama dengan suami. Alasannya, apa yang
dikerjakan istri selama hidup bersama dengan suaminya adalah termasuk kegiatan bekerja
juga yaitu pekerjaan secara domestik (kerumahtanggaan).
c. Suami yang tidak bekerja (secara formal)? Harta gono-gini, termasuk penghasilan istri, tetap
dibagi dua. Seperti halnya dengan kondisi ketika istri tidak bekerja (secara formal), maka
suami yang tidak bekerja juga mendapatkan haknya dalam pembagian harta gono-gini.
PEWARISAN ANAK LUAR NIKAH

a. Pasal 42 UUP menyatakan bahwa: “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan
dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”.
b. Pasal 43 ayat (1) UUP menyatakan bahwa: “Anak yang dilahirkan di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya”.

Putusan MK RI No. 46/ PUU-VIII/2010 tanggal 27 Pebruari 2012 mereview ketentuan


Pasal 43 ayat (1) UUP menjadi: “anak yang dilahirkan diluar perkawinan mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai
ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau
alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata
dengan keluarga ayahnya”.

Hak keperdataan anak terutama dalam kaitannya dengan waris, dalam hal
menentukan hak-hak waris dapat dipergunakan perangkat hukum perdata dan dapat pula
dengan hukum adat dan dapat pula memakai hukum Islam. Hukum waris perdata hukumnya
bersifat sekuler dan hukum waris Islam bersifat religius.

Putusan MK RI No. 46/PUUVIII/2010


Berakibat hukum anak luar kawin mempunyai kedudukan yang sama dengan anak
dalam perkawinan tentang hak-hak keperdataannya selama pihak-pihak yang
berkepentingan dapat membuktikan tentang dirinya sebagaimana ketentuan yang tertuang
dalam keputusan Mahkamah Konstitusi mempunyai hubungan perdata sebagai berikut:

1. Dengan ibunya dan keluarga ibunya

2. Dengan Laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu


pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai
hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.

Pengaturan Anak Luar Kawin dalam KUHPERDATA


Anak luar kawin yang diakui secara sah sebagai salah satu ahli waris dalam KUH
Perdata diatur dalam Pasal 280 jo Pasal 863 KUH Perdata. Anak luar kawin yang berhak
mewaris tersebut merupakan anak luar kawin dalam arti sempit, mengingat doktrin
mengelompokkan anak tidak sah dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu:

1. Anak luar kawin (anak yang dilahirkan dari hasil hubungan antara seorang laki-laki
dan seorang perempuan, yang kedua-duanya tidak terikat perkawinan dengan
orang lain dan tidak ada larangan untuk saling menikahi), yang demikianlah yang
bisa diakui secara sah oleh ayahnya (Pasal 280 KUH Perdata0
2. Anak zina (anak yang dilahirkan dari perhubungan antara 2 (dua) orang yang
dilarang kawin antara satu dengan yang lainnya, tidak memperbolehkan pengakuan
(erkenning) terhadap anak yang dilahirkan dari perbuatan zinah (overspell) anak
zina tidak mendapat warisan dari orang tuanya, akan tetapi berdasarkan Pasal 867
KUH Perdata menyebutkan bahwa, anak zina mendapatkan nafkah seperlunya dari
orang tuanya).
3. Anak sumbang.

Kedudukan anak luar kawin lebih rendah dibanding dengan anak sah. anak sah berada
di bawah kekuasaan orang tua (Pasal 299 KUH Perdata), sedangkan anak luar kawin yang
telah diakui secara sah berada di bawah perwalian (Pasal 306 KUH Perdata). Kedudukan
anak luar kawin secara hukum setelah berlakunya UUP tetap diperlukan suatu pengakuan
terhadap anak luar kawin, dapat dilakukan dengan :

1. Pengakuan Sukarela adalah suatu pengakuan yang dilakukan oleh seseorang


dengan cara yang ditentukan undang-undang, bahwa ia adalah bapaknya (ibunya)
seorang anak yang telah dilahirkan di luar perkawinan).
2. Pengakuan Paksaan, dilakukan oleh si anak yang lahir di luar perkawinan itu,
dengan cara mengajukan gugatan terhadap bapak atau ibunya kepada Pengadilan
Negeri, agar supaya anak luar kawin dalam arti sempit itu diakui sebagai anak
bapak atau ibunya, (tidak tergolong anak zina atau anak sumbang).

Menurut KUH Perdata ahli waris yang berhak mewaris dibagi menjadi 4 (empat)
golongan, yaitu:

a. Golongan I: Anak, atau keturunannya dan janda/duda,


b. Golongan II: Orang tua (bapak/ibu), saudara-saudara atau keturunannya,

c. Golongan III: Kakek dan nenek, atau leluhur dalam garis lurus terus ke atas,

d. Golongan IV: Sanak keluarga di dalam garis menyamping sampai tingkat ke-6

Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka:

Menurut hukum perdata adalah diakuinya anak luar kawin (hasil biologis) sebagai
anak yang sah berarti akan mempunyai hubungan waris dengan bapak biologisnya tanpa
harus didahului dengan pengakuan dan pengesahan, dengan syarat dapat dibuktikan
adanya hubungan biologis antara anak dan bapak biologis berdasarkan ilmu pengetahuan,
misalnya melalui hasil tes DNA.

Namun demikian, apabila ada penyangkalan mengenai anak luar kawin ini dari
anak-anak ahli waris yang sah, tetap perlu dimohonkan Penetapan Pengadilan mengenai
status anak luar kawin tersebut sebagai ahli waris yang sah.

Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2012


Pasca keluarnya Putusan MK RI No. 46/PUU-VIII/2010 Majelis Ulama Indonesia (MUI)
melalui Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan
Terhadapnya, menetapkan bahwa anak hasil zina adalah anak yang lahir sebagai akibat
dari hubungan badan di luar pernikahan yang sah menurut ketentuan agama, dan
merupakan jarimah (tindak pidana kejahatan).

Ulil amri (penguasa) mengharuskan laki-laki yang mengakibatkan lahirnya anak zina
untuk berwasiat memberikan harta kepada anak hasil zina sepeninggalnya. Anak luar kawin
(hasil zina) TIDAK MEMPUNYAI HUBUNGAN nasab, wali nikah, waris dan nafkah DENGAN
LELAKI YANG MENYEBABKAN KELAHIRANNYA. Anak luar kawin (hasil zina) hanya mempunyai
hubungan nasab, waris dan nafkah dengan ibunya, keluarga ibunya dan tidak menanggung
dosa perzinahan.

Pezina dikenakan hukuman had (hukuman bagi pelaku zina) oleh pihak yang berwenang
untuk kepentingan menjaga keturunan yang sah. Pemerintah berwenang untuk menjatuhkan
hukuman ta’zir kepada lelaki pezina yang mengakibatkan lahirnya anak dengan mewajibkan
untuk :
1. Mencukupi kehidupan anak tersebut
2. Memberikan harta kepada anak tersebut setelah ia meninggal melalui wasiat
wajibah

Kedua hal tersebut bertujuan untuk kemaslahatan anak, melindungi anak hasil zina
dan mencegah terjadinya penelantaran bukan untuk mengesahkan hubungan nasab
antara anak tersebut dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya.

Pernikahan Siri Perspektif Islam: Nikah Siri adalah, pernikahan yang dilaksanakan
dengan syarat-syarat dan rukun-rukun yang terpenuhi (ijab-kabul, wali dan saksi-saksi).
Akan tetapi mereka (suami-istri, wali dan saksi) bersepakat untuk merahasiakan pernikahan
ini dari masyarakat. Jumhur ulama memandang pernikahan seperti ini sah akan tetapi
hukumnya adalah makruh. Sah karena sudah memenuhi rukun dan syarat pernikahan serta
adanya dua saksi sehingga unsur kerahasiaannya hilang. Makruh disebabkan adanya
perintah Rasulullah SAW untuk melakukan mengumumkan pernikahan kepada masyarakat
luas.

Nikah Siri Perspektif Hukum Positif: Pasal 2 ayat (1) dan (2) UUP Jo. Pasal 4 dan Pasal
5 ayat (1) dan (2) KHI, suatu perkawinan di samping harus dilakukan secara sah menurut
hukum agama, juga harus dicatat oleh pejabat yang berwenang. Dalam perspektif peraturan
perundangundangan, Nikah Siri tergolong pernikahan yang ilegal dan tidak sah. Anak yang
dilahirkan dari perkawinan siri dianggap sebagai anak luar nikah dan nasab anak hanya
dihubungkan kepada nasab ibunya.

Walaupun anak hasil nikah siri dianggap sah oleh agama dan mendapatkan hak
waris yang sama dengan anak sah, tetapi menurut hukum yang ada di Indonesia anak hasil
nikah siri ini hanya bisa mewarisi harta dari ibu kandungnya, apabila tetap ingin mewarisi
harta bapaknya atau juga ada sengketa, hal ini hanya dapat diselesaikan secara
kekeluargaan.
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Tujuan perkawinan yaitu: membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan (UUP) dan mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawwadah, dan
warahmah (KHI).

Hubungan suami isteri yang tidak harmonis kadang-kadang ditandai dengan tindakan
kekerasan dalam rumah keluarga. Bentuk perhatian akan hal ini diwujudkan dalam pembentukan
dan pemberlakuan UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Dalam penjelasan UU tersebut dikatakan bahwa UU Nomor 23 Nomor 205 tentang Penghapusan
KDRT berkaitan erat dengan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Secara tidak langsung,
ia pun terkait dengan Buku I KHI yang disebarluaskan dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun
1991. UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Buku I KHI.

Nusyuz merupakan salah satu konsep kepemimpinan suami dalam rumah tangga, ketaatan isteri
terhadap suami, dan syiqaq (durhaka, baik suami kepada isteri maupun isteri kepada suami).

Dalam QS an-Nisa (4) : 34 dikatakan bahwa kaum laki-laki adalah pemimpin rumah tangga
karena keutamaannya dan laki-laki bertanggung jawab dalam memenuhi nafkah isteri serta
kekeluarganya. Di samping itu, isteri yang baik (salihah) adalah isteri yang taat kepada Allah dan
memelihara diri (tidak curang, memelihara rahasia dan harta suami ketika suami tidak ada di
rumah).

Konsep nusyuz pada ayat ini ditujukan untuk menjelaskan ketidaktaatan isteri kepada suami
karena tidak menjaga dirinya dari curang, menolak diajak jimak, dan keluar rumah tanpa izin dari
suami. Dalam konteks inilah, suami diperbolehkan menempuh langkah-langkah : menasihati, berpisah
ranjang, dan memukul bila perlu untuk mengingatkan isterinya.

Bentuk nusyuz yang dilakukan oleh suami adalah tidak perhatian, menelantarkan, dan atau
menyatakan diri bahwa dia sudah tidak cinta dan sayang terhadap isterinya. Isteri boleh
mengajukan perdamaian (al-shulh) kepada suaminya dalam rangka mengakhiri atau melanjutkan
tali perkawinan secara baik-baik.
Kebencian yang sangat di antara suami isteri dapat melahirkan syiqaq, yaitu perbedaan
pendapat atau sikap (al-ikhtilaf) yang melahirkan sikap permusuhan (al-adawat). Dalam QS. an-
Nisa (4) : 35 ditetapkan dua cara menyelesaikan syiqaq : (1) al-shulh di antara keduanya (suami
isteri), (2) melibatkan pihak ketiga dengan menunjuk arbitrer (al-tahkim) masing-masing.

Kekerasan pada dasarnya adalah salah satu penyimpangan dari asas persamaan asasi yang
dianut oleh Universal Declaration of Human Rights (UDHR). Penyimpangan tersebut disebut
diskriminasi dan penyiksaan.

Dalam UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ditetapkan diskriminasi adalah
setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang dilakukan atas dasar agama, suku, etnik,
kelompok, golongan, status social, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik
yang berakibat pada pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan dan
pelaksanaan hak asasi manusia serta kebebasan dasar dalam kehidupan perorangan dan kolektif
dalam bidang ekonomi, hukum, sosial dan budaya. Sedangkan yang dimaksud dengan penyiksaan
adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja yang menimbulkan rasa sakit atau
penderitaan (jasmani atau rohani) yang hebat pada seseorang dengan menghukum atau
mengancamnya.

Batasan diskriminasi dan penyiksaan dalam UU Nomor 39 tahun 1999 dijadikan dasar dalam
menentukan KDRT dalam UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT. KDRT adalah setiap
perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang menimbulkan kesengsaraan atau
penderitaan fisik, seksual, psikologis, atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam
lingkup rumah tangga.

UU Nomor 23 Tahun 2004 berkaitan dengan UUD 1945 pasal 28 G ayat (1) dan pasal 28 H
ayat (2); UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP serta Perubahannya ; UU Nomor 8 Tahun 1981
tentang KUHAP; UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; (5) UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang
Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan ;
dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Asas dan Tujuan Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga berdasarkan UU No. 24 tahun 2004


dilakukan atas asas:

(1) Penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia


(2) Keadilan dan kesetaraan gender
(3) Non-diskriminasi
(4) Perlindungan korban.
Tujuan penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah :
(1) Mencegah segala bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(2) Melindungi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(3) Menindak pelaku Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(4) Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.

Hubungan asas dan tujuan dalam kaitannya dengan tujuan perkawinan dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Buku I KHI terdapat dua catatan:

1. Antara asas dan tujuan penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga tumpang tindih,
yaitu perlindungan korban. Dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga pasal 3 (d) ditetapkan bahwa tujuan penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah perlindungan korban KDRT.
2. Tujuan utama dari penghapusan KDRT dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 terletak
pada pasal 4 (d), yaitu memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
Sedangkan tiga tujuan sebelumnya merupakan perincian untuk membentuk dan
mempertahankan keutuhan, keharmonisan, dan kesejahteraan rumah tangga. Tujuan ini
sejalan dengan tujuan perkawinan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Buku I KHI.
Landasan dari tujuan perkawinan adalah QS. ar-Ruum (30): 21 bahwa tujuan
perkawinan adalah membentuk rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, di
samping itu, Imam Ahmad dan Turmudzi meriwayatkan dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad
SAW, mengatakan bahwa iman seorang mukmin yang terbaik ditandai dengan dua hal : (1)
berakhlak baik, dan (2) berlaku baik terhadap isterinya.
Penyebab KDRT adalah:
1. Laki-laki dan perempuan tidak dalam posisi yang setara
2. Masyarakat menganggap laki-laki dengan menanamkan anggapan bahwa laki-laki
harus kuat, berani serta tanpa ampun
3. KDRT dianggap bukan sebagai permasalahan sosial, tetapi persoalan pribadi
terhadap relasi suami istri
4. Pemahaman keliru terhadap ajaran agama, sehingga timbul anggapan bahwa laki-
laki boleh menguasai perempuan

Dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 ditetapkan empat bentuk kekerasan,


1. Kekerasan fisik, yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau
luka berat;
2. Kekerasan psikis, yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa
percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan atau
penderitaan psikis berat pada seseorang;
3. Kekerasan seksual yang meliputi (1) pemaksaan seksual yang dilakukan terhadap
orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga; dan (2) pemaksaan hubungan
seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain
dan atau tujuan tertentu ;
4. Penelantaran rumah tangga dengan (1) tidak memberikan kehidupan, perawatan
dan pemeliharaan orang-orang dalam lingkup rumah tangganya; dan atau (2)
menciptakan ketergantungan ekonomi dengan cara melarang bekerja yang layak di
dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
Cakupan KDRT dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 dapat ditarik tiga hal yang berhubungan
dengan ajaran agama Islam, yaitu menelantarkan (al-hajr), memukul isteri, dan memaksa
hubungan seksual

QS. an-Nisa (4) : 34 bahwa wanita yang durhaka terhadap suaminya diluruskan dengan
langkah-langkah : (1) dinasihati (maw’izhat) dengan ucapan-ucapan dan cara-cara yang
baik, (2) tidak tidur bersama dan tidak bercakap-cakap (al-hajr); serta (3) dipukul apabila
cara pertama dan kedua tidak berhasil mengubah perilaku buruknya.

Menelantarkan keluarga tidak dibenarkan oleh agama. Tidak memberikan kehidupan,


perawatan, dan menciptakan ketergantungan ekonomi dengan cara melarang bekerja yang
layak di dalam atau di luar rumah sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga pasal 5 (d) dan 9
merupakan ketetapan yang sejalan dengan Al-Qur’an dan sunah.

Al-Hajr (pisah ranjang dan tidak berkomunikasi) bagian dari proses pendidikan bagi istri yang
nusyuz. Dalam hadis riwayat Imam Abu Daud dan Abu Dzar dijelaskan Nabi Muhammad SAW.
memerintahkan duduk bagi yang marah sambil berdiri agar marahnya hilang. Bila gagal, berwudhu
untuk mengurangi rasa marah karena marah berasal dari setan; setan berasal dari api dan api
dapat dipadamkan oleh air. Muslim dilarang menjauhi saudaranya (termasuk isterinya) lebih dari
tiga hari. Nabi Muhammad SAW menjauhi salah seorang isterinya selama 40 (empat puluh) malam.
Isteri yang nusyuz hanya boleh dijauhi dalam ruang lingkup rumah tangga. Suami tidak
diperbolehkan menjauhi isterinya ketika berada di luar lingkungan rumah tangga (wa la tahjur illa
fi al-bayt). Al-hajr dilakukan bukan untuk menelantarkan, melainkan sebagai proses pendidikan
bagi istri nusyuz kepada suaminya.

UU Nomor 23 tahun 2004 ditetapkan bahwa yang termasuk kekerasan fisik adalah perbuatan
yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Secara implicit, dalam UU ditetapkan
bahwa memukul isteri termasuk kekerasan fisik dalam rumah tangga. Pada lain sisi, Allah SWT
memperbolehkan suami memukul isterinya dalam rangka mendidik (li ta’dib) karena nusyuz.

QS. an-Nisa (4) : 34 ditetapkan bahwa Allah membolehkan suami memukul isterinya yang
nusyuz apabila dua langkah sebelumnya (dinasihati dan dipisah ranjang) tidak berhasil mengubah
nusyuz-nya.

Kebolehan memukul isteri yang nusyuz yang terdapat dalam ayat tersebut bersifat muthlaq.
Nabi Muhammad SAW membolehkan suami memukul isterinya yang nusyuz dengan pukulan atas
dasar kasih sayang atau tidak melukai. Pukulan yang tidak menyakiti, seperti memukul isteri dengan
sikat gigi (al-siwak), pukulan yang tidak menyebabkan aib, cacat atau memburukkan.

Dalam memukul isteri yang nusyuz, suami harus menghindari : (1) bagian wajah (muka) karena
muka adalah bagian tubuh yang sangat dihormati, (2) bagian perut dan bagian tubuh lain yang
dapat menyebabkan kematian; dan (3) memukul hanya pada satu tempat yang akan menambah
rasa sakit dan memperbesar kemungkinan terjadinya bahaya. Tidak memukul isteri yang
nusyuz adalah lebih baik dan lebih utama.

Hubungan antara QS an-Nisa (4) : 34 dan hadis dengan UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang
PKDRT pasal 5 (a) dan 6 adalah ajaran dasar agama (Al Qur’an dan sunah) memperbolehkan suami
memukul isterinya yang nusyuz dengan pukulan yang tidak melukai; dan pukulan yang tidak
melukai tidak termasuk tindakan kekerasan. Islam tidak menoleransi KDRT. Bila suami memukul
isterinya yang nusyuz dengan pukulan yang melukai, dapat digolongkan sebagai tindakan
kekerasan (atau kejahatan) yang dapat dituntut secara pidana.

Surat Al Baqarah yang berbunyi: “Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu
bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu
kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah
dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang
yang beriman (Q.S.2.223)”. Turunnya ayat ini mengandung sebab dan hikmah yaitu: Orang Yahudi
mempersempit gaya persetubuhan tanpa dasar hukum syara'. Orang-orang Anshar dan berikutnya
mengikuti. Mereka berpendapat: bila suami menyetubuhi istrinya kepada farjinya dari belakang,
anaknya akan juling. Kemudian turunlah ayat ini: Maka datangilah ladangmu itu sesukamu, dari
jalan depan maupun belakang selama hal itu diarahkan untuk satu tujuan (kemaluan atau farji,
tidak pada dubur). Menyetubuhi pada dubur dapat dipersamakan dengan liwath (homo seks),
sebab dubur tempat membahayakan dan kotor (justru itu agama melarangnya). “laksana sawah
ladang” adalah bentuk kehati-hatian, menjaga kualitas benih dan metode penanamannya, tidak
dipaksakan. Ada interaksi antara keduanya sehingga membuat lahan itu subur dan produktif. Suami
memiliki tanggung jawab terhadap "ladang" yang di amanatkan Allah kepadanya. Ladang tersebut
dipupuk, dicangkul, disiram dan disayang agar tetap subur.

Pemaksaan hubungan seksual terhadap istri tidak dibolehkan sebab membolehkan hubungan
suami istri secara paksa sama saja mengizinkan seorang suami mengejar kenikmatan atas
penderitaan orang lain (istri), hal ini tidak bermoral. Hubungan suami istri yang dipaksakan,
terdapat pengingkaran nyata terhadap prinsip mu’asyara bil ma’ruf (memperlakukan secara
patut, tidak melukai hatinya, tidak menyakiti fisiknya).
Memaksa berhubungan seksual kepada istri atau sebaliknya bertendensi idza’ (menyakiti)
salah satu pihak. Tindak kekerasan seksual dalam perkawinan yang dilakukan suami terhadap istri
atau sebaliknya merupakan tindakan yang sangat bertentangan dengan semangat dan prinsip
umum al-Qur’an.

Al-Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa dasar (asas) ikatan antara suami isteri adalah persamaan
dalam hak dan kewajiban. QS. Al-Baqarah (2) : 229 yang menyatakan bahwa isteri mempunyai hak
yang seimbang dengan kewajibannya dengan cara yang ma’ruf. Dikutip oleh al-Sayyid Sabiq, Ibn
Hazm berpendapat bahwa bersetubuh adalah kewajiban suami terhadap isterinya. Sabiq
menjelaskan : “Ibn Hazm berkata : ‘suami diwajibkan bersetubuh dengan isterinya paling sedikit
sekali setiap isterinya suci kalau dia mampu melaksanakannya; kalau tidak, semua tersebut adalah
maksiat terhadap Allah SWT’ “. Alasan yang digunakan oleh Ibn Hazm adalah QS. al-Baqarah (2) :
222. Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa Allah SWT memerintahkan suami agar berjimak dengan
isterinya dalam keadaan suci.

Wahbah al-Zuhaili menjelaskan mengenai hak dan kewajiban jimak secara lebih perinci.

a. Hanafiyah : isteri berhak meminta (menuntut) digauli kepada suaminya (kewajiban jimak
adalah kewajiban dan hak bersama antara suami isteri; akan tetapi, ia berubah menjadi
kewajiban suami apabila isteri sudah menuntutnya).
b. Malikiyah : jimak adalah kewajiban suami kepada isterinya (berarti hak isteri) selama suami
tersebut tidak terkena halangan (‘udzur), seperti sakit.
c. Syafi’iyah : suami tidak berkewajiban bersetubuh dengan isterinya, kecuali satu kali
(selama perkawinan). Berjimak adalah hak suami dan hak dapat ditinggalkan tetapi,
apabila mengabaikannya dengan tidak menyetubuhi isterinya sama sekali, berarti telah
syiqaq
d. Hanabilah : suami wajib bersetubuh dengan isterinya sekali (minimal) setiap empat bulan
selama suami tersebut tidak ‘udzur; dan jimak adalah hak (dan kewajiban) suami isteri
secara bersama-sama. Apabila tidak, perkawinannya dapat diakhiri dengan cerai atas
permintaan salah satu pihak (suami atau isteri).

Dalam bahasa Arab, bersetubuh disebut dengan berbagai istilah, di antaranya al-wath’u, al-
dhammu, al-tadakhul, dan al-jima’. Arti secara bahasa (lugat) tiap-tiap kata kurang lebih sama.
Arti al-jima’ secara bahasa adalah kumpul, himpun, gabung, setuju (wafaqa), sepakat (al-ittifaq),
jumpa, bertemu, dan dewasa. Derivasi kata al-jima’ adalah al-ijma (al-ittifaq,
kesepakatan) dan jama’at (bersama-sama). Bersetubuh yang dilakukan oleh suami isteri
seharusnya dilakukan atas dasar kesepakatan (tidak ada paksaan dari salah satu pihak)
yang dilakukan bersama (karena tidak mungkin dilakukan sendirian) dan dilakukan untuk
kepentingan bersama, yaitu meneruskan generasi muslim yang dapat melakukan al-amr bi
al-ma’ruf wa al-nahy’an al-munkar.

Pasal 26 ayat (1) menentukan bahwa yang dapat melaporkan secara langsung adanya KDRT
kepada polisi adalah korban. Sebaliknya, keluarga atau pihak lain tidak dapat melaporkan secara
langsung adanya dugaan KDRT kecuali telah mendapat kuasa dari korban hal ini diatur dalam
Pasal 26 ayat (2).

Meski demikian, masyarakat wajib untuk turut serta dalam pencegahan KDRT ini diatur dalam
Pasal 15 UU PKDRT yang berbunyi sebagai berikut: “Setiap orang yang mendengar, melihat, atau
mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai
dengan batas kemampuannya untuk:

a. Mencegah berlangsungnya tindak pidana


b. Memberikan perlindungan kepada korban
c. Memberikan pertolongan darurat
d. Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa ajaran Islam tentang nusyuz –syiqaq dan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
memiliki tujuan dan semangat yang sama, yaitu menciptakan dan memelihara keutuhan rumah
tangga yang berbebas dari kekerasan. Akan tetapi, perincian dari tujuan dan semangat tersebut
agak berbeda.

Dalam hadis dijelaskan bahwa isteri yang menolak ajakan suaminya untuk bersetubuh dianggap
telah durhaka (nusyuz). Oleh karena itu, dalam Al-Qur’an terdapat cara memperbaiki isteri yang
durhaka : dinasihati, pisah ranjang, dan dipukul (li ta’dib). Sementara dalam UU Nomor 23 Tahun
2004, mengucilkan (pisah ranjang), memaksa isteri untuk berjimak, dan memukul isteri dianggap
sebagai Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Anda mungkin juga menyukai