Anda di halaman 1dari 6

A.

ORANG DAN BADAN HUKUM SEBAGAI SUBJEK HUKUM ADAT


Subjek hukum adalah para pihak pendukung atau penyandang atau pemilik hak
dan kewajiban. Subjek hukum yang dikenal di Indonesia ada dua yaitu: individu atau
manusia (natuurlijke persoon), dan badan hukum (recht persoon). Badan hukum dibagi
menjadi badan hukum publik dan badan hukum privat. Badan hukum privat di Indonesia
antara lain: perseroan terbatas, koperasi, yayasan serta perkumpulan (maatschap) yang
berbadan hukum.
Hukum adat sebagai badan-badan hukum yang dapat pula bertindak sebagai
subjek hukum yakni persekutuan (desa, nagari, famili, marga, dan lain sebagainya),
perkumpulan-perkumpulan yang memiliki organisasi yang tegas dan rapi mapalus
(Minahasa), jula-jula (Minangkabau), mohakka (Selayar), subak (Bali), dan lain
sebagainya, wakaf dan yayasan.
Dikarenakan Undang-Undang tentang Perkawinan mengatur mengenai batas usia
dewasa, maka ketentuan yang ada di dalam Burgerlijk Wetboek (vide: Pasal 330, 1330
BW) dinyatakan tidak berlaku berdasarkan ketentuan Pasal 66 Undang-Undang
Perkawinan tesebut. Di dalam ketentuan Undang-Udang tentang Perkawinan disebutkan
bahwa batas usia dewasa menurut hukum yaitu, 18 (delapan belas) tahun. Namun
ketentuan tersebut harus dilakukan analogi argumentum a contrario ketentuan Pasal 47
ayat (1) jo. 50 ayat (1) Undang-Undang tentang Perkawinan. Dalam ketentuan Pasal 47
ayat (1) Undang-Undang tentang Perkawinan disebutkan bahwa anak yang belum
mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan
ada di bawah kekuasaan orangtuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.
Adapun Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang tentang Perkawinan disebutkan bahwa Anak
yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan, berada di bawah kekuasaan wali. Oleh karena rumusan dalam norma
tersebut bersifat negatif, maka dengan melakukan analogi argumentum a contrario
ketentuan tersebut dibaca orang dewasa, yaitu mereka yang telah mencapai usia 18
(delapan belas) tahun atau telah melangsungkan perkawinan walaupun belum mencapai
usia 18 (delapan belas) tahun.
Menurut hukum Burgerlijk Wetboek, setiap subjek hukum merupakan
rechtsbevogheid (kewenangan (berhak) untuk melakukan berbuat hukum). Tapi tidak
semua subjek hukum cakap melakukan perbuatan hukum. Syarat dewasa untuk orang
yaitu: (1) dewasa (2) akal sehat dan (3) tidak sedang dalam pengampuan.
Menurut Djojodigoeno, tolok ukur saat mencapai kelengkapan status dalam
hukum adat Indonesia asli, yaitu:
a. Volwassennen (sudah mandiri). Saat ia sudah beristri/bersuami meninggalkan
rumah orangtua/mertuanya dan hidup mandiri selaku suami-istri di dalam
rumah tangganya sendiri. Hidup mandiri disini diartikan bahwa: menempati
bilik sendiri dalam somah, menempati rumah sendiri di atas perkarangan
orangtua, menempati rumah sendiri diatas perkarangan sendiri.
b. On Valwassennen (belum mandiri). On Valwassennen tidak bermakna sama
sekali tidak cakap berbuat. Harus dicari tanda-tanda atau syarat-syarat
kecakapan berbuat. Seperti halnya minderjarig, orang yang minderjarig itu
sama sekali tidak cakap berbuat dalam hukum, kecuali dalam hal-hal tertentu,
berdasarkan suatu aturan tertentu dan dalam peraturan perundang-undangan
yang memberikan kecakapan khusus dalam hal itu.
Menurut hukum adat, cakap dalam melakukan perbuatan hukum, yaitu seseorang
(baik pria maupun wanita) yang sudah dewasa. Kapan seseorang dianggap dewasa?
Dalam hukum adat kriterianya yakni bukan usia, tetapi kenyataan-kenyataan ciri-ciri
tertentu. Ciri-ciri bagaimanakah yang menentukan seseorang sudah dewasa atau belum?
Menurut Soepomo, tidak ada batas umum yang pasti bilamana anak menjadi dewasa, hal
itu hanya dapat dilihat ciri-ciri yang nyata. Semisal di Jawa Barat, anak yang belum
dewasa disebut belum cukup umur, belum baliqh, belum kuat, yaitu anak yang karena
usianya masih muda, masih belum dapat mengurus diri sendiri dan kepentingan sendiri
yang sungguh-sungguh masih kanak-kanak. Seseorang sudah dianggap dewasa dalam
hukum adat apabila ia antara lain sudah:
a. Kuat Gawe (dapat/mampu bekerja sendiri)
Cakap untuk melakukan segala pergaulan dalam kehidupan kemasyarakatan
serta mempertanggungjawabkan sendiri segala-galanya itu. Seseorang disebut
kuat gawe, sejak ia kuat mengurus harta bendanya dan keperluan-keperluan
lainnya, dengan perkataan lainnya, dengan perkataan lain, sejak ia mampu
mengurus diri sendiri dan melindungi kepentingannya sendiri.
b. Cakap mengurus harta bendanya serta lain keperluan secara sendiri.
Menurut hukum adat “dewasa” ini baru mulai setelah tidak menjadi
tanggungan orangtua dan tidak serumah lagi dengan orangtua. Jadi bukan asal
sudah kawin saja.
Berbeda dengan subjek hukum individu, subjek hukum badan hukum, ciri-
cirinya: (a) adanya harta kekayaan yang terpisah; (b) mempunyai tujuan tertentu; (c)
mempunyai kepentingan sendiri; (d) adanya pengurus (namun badan hukum tidak
mungkin dapat melakukan perbuatan sendiri tanpa diwakili manusia). Contoh:
persekutuan hukum (desa, nagari, famili, marga); perkumpulan yang memiliki organisasi
yang tegas, misal mapalus (minahasa) dan jula-jula (minangkabau); wakaf; koperasi;
yayasan; perseroan terbatas; perkumpulan berbadan hukum.
B. SISTEM KEKERABATAN
Menurut Ter Haar istilah kekerabatan disebut sebagai “Hukum sanak keluarga”
(verwantschaps recht), dan Soerojo Wignjodipoero menyebut dengan “hukum
kekeluargaan”, sedangkan menurut Hilman Hadikusuma menyatakan dengan istilah
“hukum adat kekerabatan”, Hilman Hadikusuma menyatakan bahwa pengertian “hukum
adat kekerabatan”, yaitu hukum adat yang mengatur tentang bagaimana kedudukan
pribadi seseorang sebagai anggota kerabat (keluarga), kedudukan anak terhadap orangtua
dan sebaliknya, kedudukan anak terhadap kerabat dan sebaliknya, serta masalah
perwalian anak.
Menurut Soerojo Wignjodipoero hukum adat kekerabatan, apabila dilihat dari
keberadaan keturunan, maka sifat dan kedudukan keturunan dapat bersifat:
a. Lurus, apabila orang yang satu itu merupakan langsung keturunan yang lain,
misalnya antara bapak dan anak, antara kakek, bapak dan anak, disebut lurus
ke bawah kalau rangkaiannya dilihat dari kakek, bapak ke anak, sedangkan
dilihat lurus ke atas kalau rangkaiannya dilihat dari anak, bapak dan kakek;
dan
b. Menyimpang atau bercabang, apabila antara kedua orang atau lebih itu
terdapat adanya ketunggalan leluhur, misalnya bapak-ibunya sama sekandung
(saudara sekandung), sekakek dan senenek serta lain sebagainya.
Dalam hubungan kekerabatan, faktor yang paling penting yaitu: Pertama,
masalah perkawinan, karena berkaitan dengan hubungan kekerabatan yang merupakan
larangan perkawinan untuk menjadi pasangan suami-istri. Kedua, masalah waris,
hubungan kekeluargaan merupakan dasar pembagian harta kekayaan yang ditinggalkan.
Hukum kekerabatan, atau hukum kekeluargaan atau hukum kewangsaan. Meliputi
pembahasan antara lain sebagai berikut:
1. Keturunan
Ketunggalan leluhur yaitu adanya perhubungan darah antara orang yang
seorang dan orang yang lain. Dua orang atau lebih yang mempunyai hubungan
darah, jadi yang tunggal leluhur yakni keturunan yang seorang dari yang lain.
Keturunan memiliki tingkatan-tingkatan/derajat-derajat. Tiap kelahiran
merupakan tingkat atau derajat. Keturunan dapat bersifat: (a) Lurus. Lurus
apabila orang yang satu itu merupakan langsung keturunan yang lain.
Misalnya: antara bapak dan anak, antara, bapak; (b) Lurus ke bawah, jika
rangkaiannya dilihat dari kakek ke bapak ke anak; (c) Lurus ke atas , dilihat
dari anak, bapak ke kakek; (d) menyimpang atau bercabang, apabila antara
kedua orang atau lebih itu terdapat adanya keturunan leluhur. Misalnya: bapak
ibunya sama (saudara sekandung) atau sekakek-nenek.
2. Hubungan anak dan orangtua
Anak kandung memiliki kedudukan yang penting dalam somah masyarakat
adat. Dianggap sebagai penerus keturunan. Anak merupakan seseorang yang
lahir dalam perkawinan sah antara seorang pria dan seorang wanita. Jika tidak
ada anak, ada alternatif lain untuk meneruskan keturunan, yaitu dengan cara
pengangkatan anak. Mengangkat anak merupakan suatu perbuatan pengambil
anak orang lain ke dalam keluarga sendiri, sehingga antara orang yang
memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hubungan
kekeluargaan. Bagaimana dengan anak yang lahir di luar perkawinan?
Bagaimana hubungan dengan wanita yag melahirkan? Dan bagaimana pria
yang bersangkutan? Tidak semua daerah mempunyai pandangan yang sama.
Di beberapa daerah ada yang mencela keras si ibu yang tidak kawin beserta
anaknya. Kehadiran ibu yang tidak kawin berikut anaknya, satu dan lain
khawatir adanya ancaman diekskomunikasi (dikucilkan), dibuang dari
persekutuan, bahkan dibunuh dengan ditenggelamkan di laut atau diserahkan
sebagai budak kepada raja. Solusinya yaitu: (a) kawin paksa, yaitu ada
tindakan adat yang memaksa si pria yang bersangkutan untuk kawin dengan
wanita tersebut; (b) Nikah Tambelan (Jawa) laphawelijk (Belanda), yaitu
dengan cara mengawinkan wanita yang sedang hamil dengan laki-laki lain,
maksudnya supaya anak dapat lahir dalam perkawinan yang sah.
3. Hubungan anak dengan keluarga
Pada umumnya, hubungan anak dengan keluarganya sangat tergantung dari
keadaan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan, dan lebih khusus lagi
tergantung dari sistem keturunannya (sistem kekerabatan). Seperti diketahui
bahwa di Indonesia ini terdapat persekutuan-persekutuan adat yang
susunannya berlandaskan tiga macam garis keturunan, yaitu garis keturunan
ibu, garis keturunan bapak dan garis keturunan bapak dan ibu. Dalam
persekutuan yang menganut garis keturunan bapak-ibu, maka hubungan anak
dengan keluarganya baik dari pihak bapak atau ibu sama saja beratnya atau
tingkat keeratannya. Dalam susunan kekeluargaan yang bilateral seperti ini,
maka masalah-masalah tentang larangan kawin, warisan, kewajiban
memelihara dan lain hubungan hukum terhadapnya yakni sama kuatnya.
Dalam masyarakat patrilineal atau matrilineal, hubungan antara anak dengan
keluarga dari kedua pihak orangtuanya tidaklah sama eratnya dan pentingnya.
Pada masyarakat matrilineal, hubungan antara anak dengan keluarga pihak ibu
lebih erat dan jauh dianggap lebih penting dibandingkan dengan hubungan
pihak keluarga bapaknya. Demikian pula sebaliknya pada masyarakat
patrilineal, keeratan hubungan antara anaknya dengan keluarga bapaknya
lebih erat dan jauh lebih penting dibandingkan dengan keluarga ibunya. Akan
tetapi bukan pula berarti hubungan dengan keluarga pihak lainnya tidak diakui
tetapi tetap diakui, hanya saja dalam susunan kemasyarakatan saja yang
menyebabkan satu pihak lebih erat dari pihak lainnya.
4. Memelihara anak piatu
Mengenai pemeliharaan anak piatu dalam susunan kekeluargaan yang
parental, maka orangtua yang masih hidup yang memelihara anak-anak
mereka seterusnya hingga dewasa. Jika kedua orangtuanya tidak ada lagi,
maka yang memelihara anak-anak yang ditinggalkan yakni salah satu dari
keluarga pihak bapak atau ibunya yang terdekat dan keadaannya
memungkinkan untuk keperluan memelihara si anak ini. di Minangkabau
(matrilineal), jika bapak si anak meninggal dunia, maka ibunya meneruskan
kekuasaannya terhadap anak-anaknya yang masih belum dewasa. Jika ibunya
yang meninggal dunia, maka anak-anak tersebut tetap berada pada kerabat
ibunya serta dipelihara seterusnya oleh keluarga pihak ibu, sedangkan
hubungan antara bapak dengan keluarga si ibu anak-anak tersebut dapat terus
dipelihara oleh si bapak.
5. Mengangkat anak
Mengangkat anak di Jawa Barat dikenal sebagai mupu anak (di Banten Utara
dan Cirebon), mulung atau ngukut anak (di antara suku bangsa Sunda) dan
mungut anak (di antara orang Jakarta). Penyerahan anak kepada orang lain
dengan istilah umum disebut mutlak (kasih atau mere mutlak). Anak yang
diangkat disebut anak angkat (bahasa Indonesia dan Jawa) anak pupon
(Jawa), anak pulung atau anak kukut (Sunda), anak pungut (Jakarta). Terkait
keabsahan pengangkatan anak ini di lain-lain daerah memiliki kriterium
tertentu. Menurut hukum adat Jawa Barat misalnya, tidak ada syarat yang
ditetapkan untuk sahnya pengangkatan anak.

Anda mungkin juga menyukai