Anda di halaman 1dari 83

BAB I HUKUM KEKELUARGAAN ADAT

1. HAL KETURUNAN Keturunan adalah ketunggalan leluhur, artinya ada hubungan darah antara orang seorang dan oreng lain,. Dua orang atau lebih yang mempunyai hubungan darah, yang tunggal leluhur, adalah keturunan yang seorang dari yang lain. Prof Djodjodigoeno menggunmakan istilah kewangsaan untuk Keturunan. ( Soerojo Wignyodipoero, Asas-asas, 1973 ). Apakakh keturunanini mempunyai akibat-hukum dan kemasyarakatan ? pada umumnya kita melihat adanya hubungan hukum yang didasarkan pada hubungan darah, a.l. antara orang tua dengan anak-anaknya. Juga bahwa pada umumnya ada akibat-hukum yang berhubungan dengan keturunan leluhur; akibat-hukum ini tidak semua sama di seluruh daerah. Tetapi meskipun akibat-akibay-hukum yang berhubngan dengan ketunggalan leluhur ini di seluruh daerah tidak sama, toh dalamkenyataan terdapat satu pandangan pokok yang sama terhadap masalah keturunan ini di seluruh daerah, yaitu bahwa keturunan adalah merupakan unsure yang hakiki serta mutlak bagi sesuatu klan, suku staupun kerabat yang menginginkan dirinya tidak punah, yang menghendaki supaya ada generasi penerusnya. Oleh karena itu, apabila ada suatu klan, suku ataupun keraba yang khawatir akan menghadapi kepunahan klan, dsuku ataupun kerabat ini pada umumnya melakukan adopsi (pengangkatan anak) untuk menghindari kepunahannya. Individu sebagai keturuna (Anggota keluarga) mempunyai hak dan kewajiban dan kewajiban tertentu yang berhubungan dengan kedudukannya dalam keluarga yang bersangkutan. Misalnya boleh ikut menggunakan nama keluraga, boleh ikut menggunakan dan berhak atas bagian kekayaan keluarga, wajib memelihara dan saling membantu, dapat saling mewakili dalam melakukan perbuatan hukum dengan pihak ketiga dan lain sebagainya. Keturunan dapat bersifat : a. Lurus, apabila orang seorang merupakan langsung keturunan dari yang lain, misalnya antarabapak dan anak; antara kakek, bapak dan anak, disebut lurus kebawah kalau rangkaiannyadilihat dari kakek, bapak ke anak, sedangkat disebutlurus keatas kalau rangkaianyadilihat dari anak, bapak ke kakek. b. Menyimpan atau bercabang, apabila antara kedua orang atau lebih itu terdapat adanya ketunggalan leluhur, misalnya bapak ibunya sama ( saudara sekandung ), atau sekakek nenek dan lain sebagainya.Selain keturunanitu dapat bersifat atau menyimpang, keturunan ada tingkatan atau derajat.Tiap kelahiran merupakan satu tingkatan, atau derajat,jadi misalnya seoran anak merupakan keturunan tingkat I dari bapaknya, cucu merupakan keturunan tingkat kedua dari kakeknya, aku dengan saudaraku sekanudung merupakan hubungan kekeluargaan 2 dari lain sebagianya. Tingkat atau derajat demikian ini lazimya dipergunakan atau yang sering dipergunakan untuk kerabat-kerabat Raja, misalnya untuk menggambarkan dekat atau jauhnya hubungan kekeluargaan dengan Raja yang bersangkutan. Sehingga dalam suasana yang demikian itu ada bangsawan tingkat 1 ( Putra Raja ), bangsawan tingkat 2 ( cucu Raja ), bangsawan tingkat 3 ( cicit raja ) dan lain sebagainya. ( Soeroyo Wignjodipoero, 1973 ) Kita mengenal juga keturunan garis bapak ( keturunan patrilineal ) dan keturunan garis ibu ( keturunan matrilineal ). Keturuna patrilineal adalah orang-orang yang hubungan darahnya hanya melulu melewati orang laki-laki saja. Demikian juga keturunan matrilineal adalah orangorang yang hubungan darahnya hanya melulu melewati ibu saja.

Suatu masyarakat yang dalam pergaulannya sehari-hari yang mengakui patrilineal atau matrilineal saja. disebut unilateral; sedangkan yang mengakui keturunan dari kedua belah pihak, yang sama nilai dan sama derajat, disebut bilateral. ( Bushar Muhammad, asas-asas, 1981 ). Adakah di Indonesia ini ada suatu suku bangsa yang mengakui hanya keturunan dari satu pihak saja ? Djojodigoeno dalam bukunya asas-asa hukum hukkum adat mengatakan pada halaman 40 dan seterusnya, bahwa menurut hasil penyidikan ternyata tidak ada. Seperti didaerah minangkabau dan daerah Tapanuli yang dasar susunan keturunannya adalah geneologis ( unilateral ) ternyata masyarakatnya mengakui juga keturunan dari kedua belah pihak, dari pihak bapak dan dari pihak ibu. Bahwasanya di daerah minagkabau keturunanya bukan dari garis ibu juga nyata-nyata diakui, terbukti dari adanya larangan bersuami-istri antara dua orang saudara sebapak berlainan ibu; juga banyak orang minagkabau memakai nama ayahnya. Di daerah Tapanuli pada suku Batak pun trnyata bahwa mereka mengakui juga adanya keturunan diluar nama marga sendiri, yang berarti mengakui keturuunan pihak ibu, meskipun bernama berrlainan. Di dalam susuna persekutuan yang geneologis-menurut garis lurus satu pihak-matrilineal di Minangkabau, patrilineal di Tapanuli hanya terdapat suatu perbedaan nilai dalam hubungan kekeluargaan antara kedua balah pihak keturunan itu. Dalam masyarakat yang susuannya matrilineal, keturuna menurut garis ibu dipandang sangat penting, sehingga menimbulkan hubungan pergaulan kekeluargaan yang jauh lebih rapat dan meresap diantara para warganya yang seketurunan menurut garis ibu, hal mana yang menyebabkan tumbuhnya konsekuensi ( misalnya dalam maslah warisan ) yang jauh lebih banyakdan lebih penting dari pada keturuna dari garis bapak. Begitupun sebaliknya dalam masyarakat yang susunannya menrut garis keturunan bapak, keturunan pihak bapak dinilai lebih tinggi serta hak-haknya pun lwbih banyak. Lazimnya untuk kepentungan keturunannya, dibuatkan silsilah yaitu suatu bagan diman adigambarkan dengan jelas gari-garis keturunan dari seseorang atua suami/istri, baik yang lurus keatas, lurus kebawah maupun yang menyimpang. Dari silsilah nampak dengan jelas hubungan denga kekeluargaan inii merupakan faktor yang sangat penting dalam : a. masalah perkawinan, yaitu untuk menyakinkan apakah ada hubungan kekeluargaan yang merupakan larangan untuk menjadi suami-istri ( misalnya terlalu dekat, adik-kakaksekandung, dan lain sebagainya ). b. Masalah warisan, hubungan kekeluargaan merupakan dasar untuk pembagian harta peninggalan. 2. HUBUNGAN ANAK DENGAN ORANG TUANYA Anak kandung memilki kedudukan yang terpenting dalam tiap somah ( gezin ) dalam suatu masyarakat adat. Oleh orang tua, anak itu dilihat sebagai penerus generasinya, juga dipandang sebagai wadah di mana semua harapan orang tuanya dikelak kemudian hari wajib ditumpahkan, pula dipandang sebagai pelindung orang tuanya kelak bial orang tua sudah tidak mampu lagi secara fisik untuk mencari nafkah sendiri. Oleh karenanya tatkala anak itu masih dalam kandungan hingga ia silahirkan, bahkan kemudian dalam pertumbuhan selanjutnya, dalam masyarakat adat terdapat banyak upacara adat yang sifatnya religio-magis dan yang penyelenggaraannya berurutan mengikuti pertumbuhan fisik anak teraebut, dan semuanya itu bertujuan melindungi anak beserta ibu yang mengandungnya

dari segala bahaya dan gangguan-gangguan serta kelak setelah anak dilahirkan, supaya anak dimaksud menjelma menjadi seoran anak yang dapat memenuhi harapan orang tuanya. Sudah barang tentu wujud upacara-upacara adat ini tidak sama ditiap daerah. Kalau misalnya diambil sebagai contoh, daerah jawa-barat maka upacara-upacara demikian ini dalam masyarakat adat Priangan secara kronologis sebagi berikut : a. anak masih dalam kandungan : pada bulan ke-3, bulan ke-5, bulan ke-7, dan ke-9 diadakan upacara, khusus yang dilakukan pada bulan ke-7 itu disebut tingkeb. b. pada saat lahir : upacara penanaman bali atau kalau tidak ditanam,dilakukan upacara penghanyutan-nya ke laut. c. pada saat tali ari putus :diadakan sesajen ; tali ari yang putus disimpan ibunya dalam gonggorekan-nya ( kantong obat ) serta pada saat itu lazimnya bayi diberi nama. d. setelah anak berumur 40 hari : upacara cukur yang diteruskan dengan upacara nurunkeun ( = untuk pertama kalinya kaki anak dsentuhkan ke tanah ) Di samping upacara-upacara adat yang berhubungan dengan pertumbuhan fisik anak seperti yang dilakukan diatas, lazimnya pada hari-hari kelahiran anak ( misalnya anak lahir pada hari kamis, tiap hari kamis manis ) diadakan pula sesajen demi keselamatan anak tersebut. Demikianlah perhatian orang tua terhadap anaknya ; serta kesemuanya itu hanya dwengan tujuan satu, yaitu supaya si anak dimaksud senantiasa mendapat perlidunga dan berkah dari yang maha kuasa dan leluhurnya serta memperoleh bantuan dari segala kekuatan gaib dari sekelilingnya. Dan perhatian yang sebesar itu pun diberikan oleh orang tuanya dengan satu alasan yang sama di seluruh daerah, yaitu penegak dan penerus generasinya, kerabatnya dan sukunya, Anak yang lahir dalam perkwinan sah antara seorang pria dan seorang wanita, mempunyai sebagai ibu, wanita yang melahirkannya, dan sebagai bapak, pria suami wanita dimaksud. Ini adalah merupakan hal yang normal. Tetapi sayangnya dalam masyarakat tidak semua kejadian berjalan dengan normal. Kita melihat didalam masyarakat adanya kejadian-kajadian abnormal sebagai berikut : a. Anak lahir di luar perkawinan Bagaimana hubungan si anak ini dengan wanita yang melahirkannya ? Dan bagaimana dengan pria yang bersangkutan ? Dalam hal ini tidak semua daerah mempunyai pandangan yang sama. Di Mentawai, Timor, minahasa, dan Ambon, misalnya, wanita yang melahirkan anak itu di anggap sebagai ibu anak yang bersangkutan. Jadi biasa seperti kejadian normal seorang wanita melahirkan anak dalam perkawinannya yang sah. Tetapi di beberapa daerah lainnya ada pendapat yang wajib mencela keras si ibu yang tidak kawin itu bserta anaknya. Bahkan mereka semula lazimnya dibuangdari persekutuan ( artinya tidak di akui lagi sebagai warga persekutuan ), kadang-kadanga malah dibunuh atau seperti halnya di daerah kerajaan dahulu mereka itu dipersembahkan kepada Raja sebagai budak. Apakah sebabnya dahulu kala itu timbul tindakan-tindakan yang keras seprti terjadi di bebrapa daerah. Sebabnya adalah takut melihat adanya kelahiran yang tidak didahului oleh perkawinan beserta upacara-upacara dan selamatan-selamatan yang diperlukan. Untuk mencegah nasib si ibu bereta anaknya yang malang ini, terdapat suatu tindakan adat yang memaksa si pria yang bersangkutan untuk kawin dengan wanita yang telah mekahirkan anak itu ; jadi si pria yang bersangkutan, diwajibkan melangsungkan perkawinan dengan wanita yang karena perbuatannya menjadi hamil dan kemudian melahirkan anak itu. Tindakan denikian ini selalu oleh rapat marga sumatera selatan, Demikian juga di Bali, bahkan di daerah ini apabila orang yang dinaksud tidak mau mengawini wanita yang telah melahirkan anak itu, ia dapat dijatuhi hukuman.

Di samping kawin paksa disebut di atas, adat mengenal juga usaha yang lain, yaitu dengan cara mengawinkan wanita yang sedang hamil itu dengan seorang laki-laki lain. Maksudnya supaya anak dapat lahir dalam masa perkawinan yang sah, swhingga anak itu menjadi anak yang sah. Cara demikian ini banyak dijumpai di desa-desa di jawa ( disebut nikah tambelan ) dan di tanah suku bugis ( disebut pattongkok sirik ). Tetapi meskipun telah dilakukan upaya-upaya adat seperti tersebut di atas, semuanya itu toh tidak dapat menghilangkan perasaan dan pandangan yang tidak baik terhadap anak yang dilahirkan itu. Anak denikian ini di jawa diebut anak haram jadah , di Bali astra. Kadang-kadang diperlukan adanya pembayaran ataupun sumbangan adat, supaya dibperbolehkan hidup dalam persekutuan. Dan bagaimanakah hubungan anak dengan pria yang tidak / belum kawin dengan wanita yang melahirkannya itu ? Di Minahasa hubungan antara anak dengan pria dimaksud adalah biasa seprti antara anak dan bapak, seperti di beritakan oleh Ter Haar dalam Beginse-selen en stelsel van het Adatrecht, vierde druk, halaman 145, bagi bapak demikian ini, untuk menghilangkan keragu-raguan, bahwadialah bapaknya, lazimnya memberikan satu hadiah yang disebut lilikur kepada ibu dan anak yang bersangakutan, apabila wanita ini tidak berdiam serumah dengannya. Di daerah lainnya anak yang lahir di luar perkawinan demikian ini, secara adat, tidak mempunyai bapak. Dalam masyarakat yang beragama Kristen, misalnya di Ambon, anak yang lahir di luar perkawinan seperti ini, tetapi kemudian wanita dan pria yang bersangkutan kawin maka anak tersebut dusahkan ( di Ambon disebut di-erken ( diakui ) b. Anak lahir karena zina Apabila seorang istri melahirkan anak karena hubungan gelapdengan seorang pria lain bbukansuaminya, maka menurut hukum adat, suaminya itu menjadi bapak anak yang dilahirkan olehnya, kecuali apabila sang suami ini berdasarkan alasan-alasan yang dapat diterima, dapat menolak menjadi bapak anak yang dilahirkan oleh istrinya karena zinah ini. Dalam hukum adat tidak ada kebiasaan seperti halnya dalam hukum islam yang menetapkan waktu dari enam bulan setelah nikah sebagai syarat kelahiran anak agar di akui sebagai anak yang sah, memang harus di akui, bahwa ketentuan dalam hukum islam ini, disana-sini diresepsioleh hukum adat yang berlaku. Tetapi yang pasti adalah, bahwa ketentuan dalam hukum islam ini sama sekali tidak mem[engaruhi lembaga adat kawin paksa dan kawin darurat , nikah tambelan atau pattongkong siriktersebut ayat a diatas. c. Anak lahir setelah perceraian Anak yang lahir seralah perceraian, menurut adat mempunyai bapak bekas suami wanita yang melahirkan itu, apabila kelahiran terjadi masih dalam batas-batas waktu mengandung. Pada waktu yang lalu masih banyak dijumpai seorang laki-laki yang memelihara selir disamping isterinya sendiri. Anak yang lahir dari selir-selir ini mempunyai kedudukan serta hak-hak ( misalnya hak warisan ) yang tidak sama dengan anak-anak dari istri yang sah; anak-anak dari istri tersebut ini mempunyai hak-hak lebih banyak. Hubungan anak dengan orang tua ( anak dengan bapak atau anak dengan ibu ) ini menimbulkan akibat-akibat hukum yang berikut : a. larangan kawin antara anak dengan bapak atau dengan ibu b. saling berkewajiban memelihara dan memberi nafkah.

Menurut hukum adat di jawa yang bersifat parental, kewajiban untuk membiayaipenghidupan dan pendidikan seorang anak yang belum dewasa, tidak semata-mata dibebankankepada ayah anak tersebut, tetapi kewajiban itu juga ditugaskan kepada ibunya. Apabila seorang dari orang tuanya tidak menepati kewajibannya, hal itu dapat dituntut mengenai biaya selama anak tersebut masih belum dewasa. ( putusan Mahkamah Agung, tanggal, 3 9 1958 Reg. No. 216 K/Sip/1958 . Hubungan antara hukum anak-orang tua ini, dalam berbagai lingkungan hukum adat secara formal dapat di tiadakan atau lebih tepat dikorbankan dengan suatu perbuatan hukum, misalnya dapat anak itu di buang oleh bapaknya ( artinya tidak diakui lagi oleh bapaknya ). Perbuatan ini di Bali disebut pegat mapianak, sedangkan di Angkola di sebut mengaliplip. Adpula kebiasaan mempercayakan pemeliharaan anaknya itu kepada orang lain. Anak yang pengasuhnya dipercayakan kepada orang lain demikian ini, setiap waktu dapat diambil kembali oleh orang tuanya. Lazimnya ( di jawa dan beberapa daerah lainnya ) orang lain itu adalah seorang warga keluarga yang agak berada. Dan sebab pengasuhan anak dipercayakan kepada orang lain itu, pada umumnya orang tua yang bersangkutan tidak atau kurang mampu untuk memenuhi kewajiban orang tua terhadap anaknya, yaitu membebaskan anaknya hingga dewas. 3. HUBUNGAN ANAK DENGAN KELUARGA Pada umumnya hubungan anak dengan keluarga ini sangat tergantung dari keadaan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan,khususnya tergantung dari system keturunan. Seperti telah diketahui, di Indonesia ini terdapat persekutuan-persekutuan yang susunannya berlandaskan tiga macam garis keturuna, yaitu garis keturunan ibu, garis keturuna bapak,dan garis keturunan bapak dan ibu. Dalam persekutuan dalam menganut garis keturunan bapak-ibu, maka hubungan anak dengan keluarga dari pihak ibu adalah samadegnan eratnya ataupun derajatnya. Dalam susunan kekeluargaan yang bilateral demikian ini, maka masalah-masalah tentang larangan kawin, warisan, kewajiban memelihara dan lain-lain hubungan hukum terhadap kedua belah pihak kekeluargaan adalah sama kuat. Lain halnya dalam persekutuan yang sifat susunan kekeluargan adalah unilateral yaitu aptrilineal ( menurut garis keturunan bapak ) atau matrilineal ( menurut garis keturunan ibu ). Dalam persekutuan-persekutuan yang demikian ini, maka hubungan antara anak dengan keluarga kedua belah pihak adalah tidak sama erat dan lebih penting, derajatnya, dan pentingnya. Dalam persekutuan yang matrilineal hubungan antara anak dengan keluarga dari pihak ibu adalah jauh lebih errat dan jauh di anggap lebihpenting dari pada hubungan antara anak dengan keluarga pihak bapak. Demikian sebaliknya dalam persekutuan yang patrilineal, hubungan dengan keluarga pihak bapak di anggapnya lebih penting derajatnya. Tetapi yang perlu ditegaskan bahwa, dalam persekutuan-persekutuan yang sifat hubungan kekeluargaannya unilateral ini , adalah dengan dilebihkannya tingkat/derajat hubungan dengan salah satu pihak keluarga ( pihak keluarga ibu pada persekutuan matrilineal dan pihak keluarga bapak pada persekutuan patrilineal ) sama sekali tidak berarti, bahwa pada persekutuanpersekutuan dimaksud hubungan kekeluargaan, dengan keluarga pihak lain tidak diakui; hubungan dengan keduabelah pihak keluarga diakui adanya, hanya sifat susunan kemasyarakatnya yang unilateral itu menyebabkan hubungan keluarga dengan salahsatu pihak menjadi lebih erat dan lebih penting. Di Minangakabau misalnya keluarga pihak bapak yang disebut bako-kaki dalam upacaraupacara selalu hadir, bahkan kadang-kadang kerabat dari pihak bapak ini memberi bantuan dalam memelihara anak.

Di Tapanuli pada suku Batak ( sifat persekutuan adalah patrilineal ) keluarga pihak ibu khususnya bagi para pemudanya, pertama-tama diakui sebagai satu keluarga dari lingkungan mana mereka terutama harus emencarai bakal istrinya. Persekutuan keluarga ibunya merupakan apa yang disebut hula-hula , sedangkan keluarga bapak merupakan boru-nya. Jadi hubungan keluarga bapak dan keluarga ibu di daerah ini adalah keluarga yang bakal memberikan bakal suami ( boru ) dan keluarga yang bakal memberikan istri ( hula-hula ) 4. MEMELIHARA ANAK PIATU Apabila dalam suatu keluarga, slahsatu dari orang tuanya, bapak atau ibunya, tidak ada lagi, maka kalau masih ada anak-anak yang belum dewasa, dalam susunan keturunan yang parental, maka orang tua yang masih hidup yang memelihara anak-anak tersebut lebih lanjut, sampai dewasa. Jika kedua-dua orang tua sudah tidak ada lagi, maka yang memelihara anak-anak yang sitinggalkannya itu adalah salahsatu dari keluarga dari pihak bapak atau pihak ibu yang terdekat serta biasanya juga yang keadaannya paling memungkinkan untuk keperluan pemeliharaan itu. Dalam hal ini, pada umumnya sangat menentukan lingkungan dimana anak anak tersebut dipelihara semasa orang tuanya masih hidup. Kalau pengasuhan sebelumnya dilakukan dalam lingkungan keluarga pihak ibu , maka setelah ditinggalkan orang tuanya, anak anak yang belum dewasa itu sudah bisa hidup dikalangan kerabat pihak ibu, sehingga mengingat akan hal ini, demi kepentingan anak anak sendiri lazimnya pemeliharaanm seterusnya dilakukan oleh seorang warga keluarga pihak ibu. Dan demikian halnya juga apabila sebelumnya pemeliharaan anak anak dilakukan dalam lilngkungan kerabat pihak bapak. Anak anak yang sudah besar pada umumnya memilih sendiri kepada siapa dia selanjutnya ingin dipelihara. Bagaimana halnya, apabila dalam keluarga yang menganut susunan unilateral, salah seorang dari orang tuanya meninggal dunia, sedangkan masih ada anak anak yang belum dewas ? Di Minangkabau ( matrilineal ), jika bapaknya meninggal dunia, maka ibunya meneruskan kekuasaannya terhhadap anak anaknya yang masih belum dewasa itu. Jika ibunya yang meniggal dunia, mak anak anak dimaksud tetap berada pada kerabat ibunya serta dipelihara seterusnnya oleh keluarga pihak ibunya yang bersangkutan, sedangkan hubungan antara bapak dengan keluarga ibu anak anaknya dapat terus dipelihara oleh si bapak. Di Tapanuli ( patrilineal ), jika bapaknya meninggal dunia, ibunya meneruskan memelihara anak anaknya dalam lingkungan keluarga bapaknya. Jika janda itu ingin pulang kelngkungan sendiri ataupun ingin kawin lagi, maka ia dapat meninggalkan lingkungan keluarga almarhum suuaminya, tetapi anak anaknya tetaptingal dalam kekuasaan keluarga almarhum suaminya. Ketentuan-ketentuan dalam keluarga yang bersusunan unilateral, selanjutnya mengalami pengaruh-pengaruh yang lambat laun menyebabkan adanya penyimpangan-penyimpangan. Misalnya apabila hubungan keluarga antara anak ibu bapak itu berhubungan dengan satu dan lain hal menjadi lebih jauh lebih erat dari pada dalam keadaan biasa, maka lazmnya, apabilaada salah satu dari orang tuanya meninggal dunia, demi kepentingan anak anaknya kekuasaan orang tua terhadap anak anak tersebut dilakukan oleh orang tua yang masih hidup dalam suasana kehidupan kekeluargaan yang sudah biasa mereka alami hingga sampai saat itu. Ini berarti, bahwa dalam keluarga yang berasal dari masyarakat patrilineal, apabila bapaknya meninggal dunia anak anak yang masih belum dewasa, demi kepentingan mereka, pengasuhnya sampai menjadi dewasa dapat terus dilakukan oleh ibunya dan anak anak itu dengan ibunya tetap merupakan suatu keluarga yang berdiri sendiri. Akhirnya apabila dalam keluarga yang bersusuna unilateral itu kedua-dua orang tua itu meninggal dunia, maka kekuasaan orang tua terhadap anak anak yang di tinggalkan selanjutnya

berada pada keluarga pihak bapak, jika keluarga tersebut keluarga patrilineal : dan berada pada keluarga pihak ibu jika keluarga tersebut keluarga matrilineal.

BAB II HUKUM PERKAWINAN ADAT Untuk mulai membicarakan hukukm perkawinan itu, maka patut lah kita terlebih dahulu mengulangi uraian tentang system keturunan yang pernah kita bicrakan dalam asas-asas hukum adat atau dalam bab yang lalu yaitu tentang tiga macam system keturunan : 1. masyarakat ke-ibu-anak - misalnya : Minagkabau ; ( masyarakat yang anggota-angotanya menarik garis keturunan melalui garis keturunan ibu ) 2. masyarakat ke-bapa-anak - Misalnya : Batak ; ( masyarakat dengan gaaris keturunan bapak ) yang kedua-duanya tercakup dalampengertian unilateral, yaitu menarik garis eketurunan melaluui satu pihak saja. 3. masyarakat bilateral atau parental,terbagi dalam dua kategori : a . Bilateralmacam di jawa, yaitu bilateralyg terhimpun dalam kesatuan-kesatuan kecil yaitu keluarga, famili, gezin; b. Bilateral macamdi Kalimantan / dayak, yaitu system bilateral yang terhimpunj dalam unitunti besar terdiri dari 12 sampai 20 keluarga di dalam suatu rumah besar, disebut Tribe, rumoun atau kelompok. 1. HUKUM PERKAWINAN DALAM MASYARAKAT KE-IBUAN Adapun masyarakat dengan garis keturunan ibu yang terkenal sebagai contoh adalah masyarakat Minangkabau, yaitu suatu system kemasyarakatan, dimana seorang menarik garis keturunan melalui ibu, terus keatas ke-ibu dari ibu dan seterusnya hingga berakhir pada sutau kepercayaan bahwa ada seorang ibu asal : jadi ini adalah suatu prinsip, suatu pembawaan secara alamiah dan atas prinsip inlah disusun segera system social : system keluarga, system tutur kata, system perkawinan system pergaulan, system pewarisan, atau warisan dan lainlainnya. Jadi Minangkabauyg berkuasa di lapangan social yang penting-penting yaitu di lapangan Hak Milik dan soal-soal keluarga adalah senantiasa ibu, wanita atau laki-lakidari pihak ibu, umpamanya Penghulu andika/mamaq kepala waris; jadi yang mempunyai/memiliki segenap harta ialah ibu dan dikuasai oleh ibu dan didalam sebuah rumah kita hanya menemui ibu, wanita-wanita tua atau anak-anak yang masih kecil ( selanjutnya lebih terang dan dengan contoh-contoh, bacalah hamka di dalam buku beliau adat mInagkabau menghadapi revollusi ). Hazairin pernah mengajarkan, bahwa di Minangkabau ada 3 bentuk perkawinan yang terhadap satu sama lain, yaitu; a. Kawin bertandang b. Kawin menetap c. Kawin bebas Ad. a. Kawin bertandang Adapun yang mengenai Kawin Bertandang ini didasarkan pada prinsip exogami. Apakah exogami itu? Tentang hal ini ada dua perumusan: a. Dalam arti positif ; Exogami adalah suatu system perkawinan, dimana seorang harus kawin dengan anggota klan yang lain; b. Dalam arti Negativ; Exogami adalah suatu system perkawinan, dimana seseorang dilarang atau tidak boleh dengan anggota se-klan. Prinsip Exogami ini berhubungan erat dengan system garis keturunan ibu itu, yaitu suatu cara yang unik untuk mempertahankan garis keturunan ibu; jadi garis keturunan ibu itu adalah suatu prinsip, tak boleh mengelakan diri.

Mengapa dikatakan semenda ? Sebab semenda berarti laki-laki dari luar yang didatangkan, pergi ke tempat perempuan, ia orang luar tetapi exogami tak dapat dikatakan kawin keluar sebab tak ada seorang pun yang keluar dari lingkunganny, baik si suami maupun si istri, tak ada peruabahan status. Disinilah letak pebedaan antara exogami dalam lingkungan dengan garis keturunan bapak dengan exogami dalam lingkungan dengan garis keturunan ibu, sebabdlm lingkungan dengan garis keturunan bapak ( batak ), sang istri menjadi anggota klan suaminya; ia di datangkan dari klan-nya dan silepaskan oleh klan-nya dengan medium sebuah benda magis, ditarik dari lingkungan familinya atau klan-nya. Kembali pada exogami dengan garis keturunan ibu ini, maka bentuk kawin bertandang itu adalah suatu pelaksanaan yang integral cocok dengan prinsip ke-ibu-anak. Dalam keadaan yang demikian, suami adalah semata-mata orang yang bertamu dating malam, hilang pagi esoknya, ia berstatus tamu pada kedaan dan lingkungan istrinya; ia tidak berhak terhadap anak, tak berhak terhadap harta benda milik istrinya dan yang bersangkut-paut dengan rumah tangga, ia tamu ! walaupun ia bekerja dan menghasilkan, laka hasil itu diperuntukan bagi dirinya, bagi ibunya, bagi saudara-saudara perempuannya beserta anak-anaknya; jadi dihubungkan dengan pembinaan harta, tidak dapat disebut akan timbul harta bersama, yaitu harta yang dibina selama perkawinan, termasuk harta benda yang dibawa oleh masing-masing kedalam perkawinan sebagai hadiah. Menurut hukum adat, maka pengertian tentang syarat harta bersama adalah : 1. Adanya hidup bersama, hidup berkeluarga, hidup keluarga yang akrab ( prof. Hazairin ). 2. Adanya kesederajatan/kesamaan derajata antara suami dan istri, baik dalam arti ekonomis maupun keturunan; 3. Tidak ada pengaruh hukum islam; 4. Ada hubungan baik antara suami dan istri dan anatra keluarga kedua belah pihak satu sama lain. Kalau salah satu syarat tidak dipenuhi, maka tidak ada harta bersama tersebut. Selanjutnya lihat halaman 16. Di dalam segenap sistem ini, ibu-lah yang berkuasa atas harta benda dan atas pendidikan dan keserasian dalam masalah keluarga. Untuk dapat mempertahankan sistem social ini hanya dengan exogami semenda, dan bentuk perkawinan yang paling orisinil di Minangkabau adalah kawin bertandang. Icic khas kawin bertandang ini adalah tidak adanya harta bersama, Karen tidak ada hidup bersama, hidup rukun-bersatu di dalam satu rumah tangga. Ad. b. Kawin menetap Tahap kedua bentuk perkawinan tersebut adalah kawin menetap, merupakan suatu perkembangan dari bentuk perkawinan pertama. Yang dimaksud dengan perkenbangan keadaan ialahkslsu rumah gadang telah menjadi sempit untuk famili yang senantiasa menjadi besar dan tumbuh gemuk, maka suatu keluarga atas inisiatip dari istri mmbuat rumah yang terpisah, tidak jauh dari situ. Walalupun demikian tidak hilang sikap exogami semenda tadi, namun secara pisik didalam suasana baru, labih bebas, lebih intim, apalagi kalau mempunyai pekerjaan dan sumber penghasilan sendiri, dan suami pun telah lsbih banyak berada ditengah-tengah anak istrinya, malah lambat laun menetaplah ia, menolong istrinya, bila sempat dan mampu. Walaupun bermula dengan segala-galanya dari pihak perempuan dengan modal kekayaan istrinya, dengan bantuan langsung atau tak langsung dari suami, mereka membina harta bersama, dan jika suasana terus baik, dapatlah lambat laun harta bersama itu dipandang sebagai sebahagian hak sang suami, kelak mungkin melalui hibah diteruskan kepada anak, dan sebagain kepada kemenakan. Malah kemungkinan kemenakan tidak lagi menurut harta itu tadi disebut harta suarang ( lihat ter Haar : Naschriften, hal.11 atau T. 142 hal. 232 ). 9

Ad. c. Kawin Bebas Tahap perkawinan berikut sebagai suatu kelanjutan pertumbuhan tahap kedua itu, di sebut kawin bebas; kelanjutan pertumbuhan itu berarti bahwa perpindahan secara pisik, meninggalkan rumah gadang, meninggalkan dusun dan pergi ke kota, merantau, biasanya ke pesisir. Maka kita melihat, bahwa secara sosiogis perpindahan atau perantauan atau migration itu merupakan suatu paktor kuat dalam menimbulkan perubahan social atau pergeseran social. Akibatnya timbul suasana hidup bersama, hidup keluarga yang intim antara satu sama lainnya, di dalam suasana kota atau pantai menunjukan pelepasan dari dua hal yaitu : 1) ikatan adat atau ikatan kelompok, ikatan klan; dan 2) dari ikatan harta pusaka, menjadilah keluarga tersebut kesatuan ekonomis yang berdiri sendiri. Orang hidup bebas, sedikit banyak telah lepas dari ikatan klan, asal tunduk pada peraturan-peraturan umum yang di lazimkan dalam suatu pergaulan dan tata tertib social yang ada; orang pada tingkat atau suasana demikian, berpenghasilan sendiri, income sendiri dan dengan demikian bertambah jauhlah dan bertambah bebas lah mereka terhadap harga pusaka yaitu tanah, kebun, sawah, rumah, harta pusaka yang ada di kampung. Pengaruh kuat yang ada pada faktor sosio-ekonomis akan berpengaruh pada kehidupan sosio-yuridis, dan dimana ada hidup bebas seperti demikian itu, timbul lah lambat laun suatu struktur kehidupan baru, yaitu dari hidup dalam kelompok yang ketat berdasar sistem keturunan dengan garis keturunan ibu yang mutlak, menuju hhidup atas dasar kerumah tangganya yang mesra,hidup keluarga atau famili living yang intim antara ayah ibu dan anak. Kesemuanya menjurus kehidupan atas sistem ke ibubapaan atau sistem bilateral / parental, yang juga menjadi suatu cirri kehidupan modern. Dan ini menunjukan pula adanya suatu pergeseran pola evolutionisis dari sistem dengan garis keturunan ibu kapada sistem ibu dan ayah (bilateral). Jadi berubahnya struktur masyarakat itu, ialah karena adanya endogene krachten, ( = tenaga-tenaga endogen, tenaga-tenaga dalam) adanya tenaga-tenaga di dalam masyarakat itu sendiri. Berhubung dengan pengertian harga bersama tersebut pada halaman 15, dapat di kemukakan syaratsyarat untuk harta-bersama, yaitu : a. Tentang adanya hidup bersama : hidup bersama berarti hidup ber keluarga, dimana ayah dan ibu serta anak anak hidup bersama, rukun dan mesra satu sama lain dalam satu lingkungan rumah tangga yang berdiri sendiri, terutama dalam hal mempunyai hasil pendapatan sendiri. Faktor pindah dari rumah gadang atau dari famili dalam lingkungan besar, ke rumah sendiri yang terpisah, menjadi suatu hal yang penting dan tendensi hidup berppisah dari lingkungan besar kian bertambah kuat. Terlebih-lebih jika famili telah menjadi sangat besar, tanah dan sumber penghasilan lain relative bertambah kecil / menciut. Di dalam adat hal memisah ini memang merupakan suatu lembaga, telah dibiasakan dan disebut Belah suku , ialah suatu pembelahan atau pemisahan suatu klan, bila sesuatu perkawinan di langsungkan antara sesame anggota-klan, sesuatu yang sesungguhnya terlarang dalam sistem klan dengan garis keturunan bapa ( Batak ) atau klan dengan garis keturunan ibu ( Minangkabau ). Menurut adat Minagkabau, dua orang laki-laki dan perempuan, ibunya masing-masing bersaudara adik-kaka se-ibu dilarang melakukan perkawinan; tetapi menurut hukum islam tidak dilarang, dengan lain perkataan, di perbolehkan. Hal ini didasarkan pada ketentuan di dalam Al-Qur`an surah 4 / AnNisa ayat 22, 23 dan 24, secara terperinci dinyatakan dengan siapa kita tidak boleh kawin, jadi dilarang. Jadi kalau pada suatu saat orang Minangkabau merasa tidak terikat pada adat, tetapi kuat kepatuhannya pada agama islam, melakukan perkawinan yang demikian itu, inilah yang di sebut belah suku. Demikian juga di tanah Batak : perkawinan antara dua orang laki-laki danperempuan yang semarga/se-klan, umpamanya lubis dengan lubis, terjadilah belah suku dan biasanya mereka membuat nama marga baru, unpamanya : Lintang. 10

Satu hal lagi yang perlu di singgung berkenaan dengan surah An-Nisa ayat 22,23 dan 24 tadi: secara teoritis dapat di katakan, dengan mempergunakan cabang-cabang ilmu pengetahuan lain bahwa islam itu cenderunng ke arah sistem bilateral menurut garris keturunan ibu dan bapak, yang memberikan kesmaan derajat antara laki-laki dan perempuan, antara anak laki-laki dan anak perempuan, dan jika ada derajat itu, mulai lah ada dasar terbentuknya harta-bersama, gono-gini atau harta keluarga. Sebaliknya bilamana tak ada hidup bersama itu, tak ada pula harta bersama seperti halnya dalam kawin bertandang; yang ada hanyalah harta istri, harta pusaka dan harta pencaharian dari pihak suami yang kelak harus jatuh ditangan kemanakan/anak dari saudara perempuan, semuanya terpuisah satu sama lain. b. Tentang adanya kesamaan derajat antara suami dan istri: Yang dimaksud dengan adanya kesamaan derajat antara suami dan istri, yaitu derajat yang sama menurut hukum adat dan di dalam silsilah kekerabatan di Indonesia dikenal sebagai standen yang berarti derajat keturunan, seperti stand raja-raja, stand bangsawan ( tingkatnay berbagai-bagai lagi ), lalu stand menengah dan stand rakyat. Ada dua ukuran untuk mengukur stand itu a. stand menurut darah / keturunan; b. stand menurut ekonomi, kekayaan. Maka bila tak ada kesamaan derajat antara keduanya, menurut hukum adat tak ada harta bersama. Di dalam hal tak ada kesamaan derajat ekonomi, seperti halnya kawin nyalindung kagelung, yakni berlindung dibalakang sanggul-sanggul, yang terdapat dibeberapa daerah Jawa Barat, memang tak ada harta bersama. Yang mempunyai harta disini adalah sang istri yang kaya, biasanya janda kaya lagi muda sedang suaminya dianggap sebagai boy belaka. Di dalam hal ke dua ialah tidak adanya kesamaan derajat karena darah / keturunan, yang terdapat di Jawa Tengah umumnya : di daerah-daerah kesultanan / kesunanan khususnya, ialah terkenal sekali nemtuk perkawinan manggih kaya , dimana kedudukan keturunan sang suami lebih tinggi ( seorang bangsawan ), sedang istrinya adalah perempuan biasa, seorang selir, seorang pembantu rumah tangga . Sang istri tidak mempunyai hak apapun, kalau pun ada hak, itu pun karena belas kasihan atau berkat pemberian suami. Anak yang lahir dari perkawinan ini adalah anak sang suami, bergelar seperti ayahnya dan mewarisi serta mendapat kehormatan seprti ayahnya. c. tentang tidak adanya pengaruh hukum islam: hukum islam mengajarkan, bahwa setiap perkawinan mengakibatkan masing-masing mempunyai harta sendiri,jika harta bersama dikehendaki dalam perkawinan, maka waktu dilangdungkan pernikahan / ijab Kabul, harus diadakan perjanjian khusus disebut syarikah / syirkah yaitu suatu perjanjian yang menyebut bahwa perkawinan itu akan menyebabkan adanya harta bersama. Pengaruh hukum faraidh ini di Indonesia hanya terdapat di beberapa tempat atau daerah tertentu, yang secara histories dapat dijajagi tempat-tempat dimana hukum isalm berpengaruh besar, ialah : 1. di daerah kota Raja dan di seluruh pantai timur Aceh. 2. Medan serta daerah sekitarnya. 3. Kota Pontianak. 4. Kota Palembang dan sekitarnya. 5. kota Banjarmrasin dan sekitarnya, sampai di Sulawesi selatan dan ternate ( Maluku Utara ). 6. di daerah-daerah tertentu di Jawa : Banten, Cirebon dan Madura.

11

Di daerah-daerah itulah hukum faraidh berperan besar, dan orang-orang besar di daerah itu banyak memakai hukum faraidh dan bukannya hukum adat. Jadi di daerah itu dengan sendirinya tidak ada, kecuali dengan perjanjian syirkah, yang khas seperti disebutkan. d. Tentang hubungan baik antara suami dan isteri. Tentang syarat keempat ini di maksudkan adanya kerjasama yang riil antara suami dan istri, ( khususnya dalam meninjau masalah perkawinan dan waris di Sumatera Barat/Minangkabau ). Syarat ini merupakan kelanjutan dari syarat ke-2. tadi kita memakai kata mungkin terbentuk harta bersama, maksudnya ialah kemungkinan terbentuknya harta bersama itu kalau hidup bersaama.sebab dalam hidup bersama dapat terbina kerja sama yang riil antara suami istri, sehingga dasar hidup keluarga lebih kokoh dan bagi bapak akan lebih memikirkan kepentingan anak-anaknya secara mendalam; ia menolong istrinya, is menyumbangkan tenaganya dari dayagunanya di tempat istri, mungkin di kebun, di sawah, di toko atau bahkan berusaha di dusun / kampung yang berdekatan. Sebab di alam Minangkabau, harta pusaka dimiliki oleh istri, maka suami yang dating dapat menunjukan kesetiaan, cinta, kesungguhan dengan jalan menetap disitu dan berusaha di situ pula. Apa hubungan antara ketiga bentuk perkawinan tersebut tadi ? hubungannya ialah karena ketiga bentuk perkawinan tersebut merupakan tahap dari proses bentuk-bentuk perkawinan yang satu sama lain merupakan perkembangan menuju susunan keluarga dengan garis keturunan ibu dan bapak, yang kemudian terlihat pada kawin bebas dan banyak terjadi di pantai-pantai, kota besar, pelabuhan dan tempat-tempat perantauan yang jauh-jauh, yang belakangan ini secara bergurau, disebut overseas minangs. Lebih jauh akan terasa pada perkembangan dilapangan hukum waris, yang nanti akan kita bicarakan lebih lanjut dalam rangka tinjawan tentang perubahan masyarakat yang merupakan kenyataan dan tak dapat di tolak. 2. HUKUM PERKAWINAN DALAM MASYARAKAT DENGAN GARIS KETURUNAN BAPAK Masyarakat dengan garis keturunan bapak atau masyarakat kebapaan itu apa ? Lalu suatu sistem kekeluargaan dengan para anggota masyarakat hukum yang menarik garis keturunan secara konsekuen, melalui garis laki-laki arau bapak. Ini merupakan suatu prinsip, suatu kepercayaan, suatu sikap yang magis-relilgious dan atas prinsip ini, sistem perkawinan adalah kawin exogami jujur. Dengan demikian, wanita disini berubah statusnya dari anggota klannya sendiri selagi gadis, menjadi anggota klan suaminya. Sistem jujur ini tidaklah sebagai mana di pahami oleh etnolog barat sebagai suatu pembelian , tetapi sesuai dengan pengertian etnologi hukum adat yang murni, maka jujur itu adalah suatu pergantian , terlebih jika difahami melalui kata-kata tuhor, tukon, tukor, tukar, dalam bahasa Indonesia berarti ganti , yaitu kedudukan gadis itu dalam pengertian relegio-magis-kosmis, diganti dengan suatu benda, sehingga tetap terjaga keseimbangan, tidak meninggalkan kekosongan dalam arti religio-magiskosmis pula. Masyarakat kebapaan adalah suatu masyarakat yang terbagi dalam klan-klan kebapaan, yang anggota-anggotanya menarik garis keturunan secara konsekuensi dan berdasar pandangan yang bersifat religio magis, melalui garis ayah atau laki-laki, sebagai konsekuensi-nya, diadakanlah suatu sistem jujut atau sering disebut exogami jujur. Ini berarti suatu kaharusan, laki-laki dan perempuan itu berlainan klan, dengan pemberian barang yang bersifat magis-religiuos itu, perempuan di lepaskan dari ikatan klannya dan dimasukkan ke dalam klan suaminya dan selajutnya berhak, berkewajiban dan bertugas di lingkungan suami. Untuk mendudukan pengertian ini secara etnologis-adat- rechtelijk, maka pemberina barang jujur oleh pihak laki-laki kepada pihak laki-laki kepada pihak perempuan, tidaklah boleh 12

diartikan menurut pandangan atau filsafat barat, yaitu sebagai pembayaran, tetapi lebih-lebih adalah pemberian junjur itu melambangkan suatu pengertian, hasrat atau keinginan secara hukum adat, sebagai pengertian kedudukan wanita itu di dalam klannya dan di dalam keseimbangan kosmis, sehingga tidak merusak squilibrium dunia kosmos, dunia besar di luar manusia. Pengertian kata ganti / pengertian itu masih dapat dijumpai kembali kata-kata asli Indonesia sebagai embivalent di dalam kata-kata : tukar, tuhor, tukon, dan di Indonesia timur kata-kata : bolis, boli, beli, welin. Semuanya serarti tukar atau ganti dan bukan berarti dalam bahasa-bahasa barat eropa seperti kopen , atau kaufen dan sebagai mana berhubung dengan itu, belum tentu benda jujur itu selalu barang yang mahal dan bernilai tinggi, tetapi yang pasti harus mengimbangi kedudukan wanita itu dengan tepat dan religio-magis dalam lingkungan keluarga. Oleh karena itu kawin exogami jujur pada orang Batak khususnya si Tapanuli termasuk dalam sistem masyarakat dengan garis keturunan bapak maka persoalan jujur harus merupakan sesuatu yang dijelaskan, dengan akibat jika tidak, tanpa jujur, maka tidak ada perkawinan menurut hukum adat ( Batak ), sebab dengan dipertaruhkannya sistem exogami jujur ini, dipertahankan pula prinsip garis keturunan bapak itu. Kawin jujur mengandung tiga segi pengertian ( makna ) : 1. yuridis 2. social ( polotis ) permusuhan; 3. ekonomis : perubahan status : mempererat hubungan antar klan, hubungan kekeluargaan dan : adanya pertukaran barang.

Berhbungan dengan ini, maka kita namakan segi ini sebagai segi yuridis, yaitu pindahnya si wanita ke dalam lingkungan keluarga si suami, dan bertugas, berhak, da berkewajiban di situ dan dianggap anggota klan suami. Jadi terang disini ada perubahan status. Namun juga ada segi lain, yaitu kita sebut : segi sosial. Di dalam arti bahwa perkawinan seperti itu mempererat hubungan antara keluarga dan klan-klan yang bersangkutan, mlahan kadang-kadang juga menghilangkan permusuhan, dendam dan lain-lain diantara mereka. Yang kita maksudkan sebagai segi ekonomis, karena ada pertukaran barang atau benda antara keluarga-keluarga yang bersangkutan. Kita melihat, bahwa pada satu pihak mengalir barang-barang dari keluarga lakilaki, dalam hukum adat dikenal sebagai Indahan Harian , terjadi kalau ada barang yang dibawa perempuan tatkala pergi menikah dan disebut pauseang atau bangunan. Dalam hubungan ini kita ingat tulian V . Ossebruggen het ekonomisch magisch element in tobasche vervantdchaps-verhoudingen. Kecuali 3 hal itu, ada pula beberapa variasi dalam melaksanakan kawin jujur itu. Variasi-variasi tersebur adalah : 1. Kawin jujur ada kalanya tidak dilangsungkan / tidak dilakukan dan merupakan penyimpangan, pelanggaran adat, illegal. 2. Kawin jujur, dimana penjujurannya ditangguhkan, baik dihutangkan meupun digadaikan ; 3. Epnyimpangan-penyimpangan lain, karena diperbolehkan adat semata-mata : a. Lampung : kawin Tegak-tegi Kawin Ambil Anak : Kawin jeng mirul; Kawin Manginjau Jago; Kawin semendo Rajo-Rajo.

b. Rejang ( Bengkulu ) :

c. Semendo ( Palembang Barat ) : Kawin Jurai Dua Negeri Dua. 13

Ad.1 : Telah disebutkan, bahwa tanpa jujur tidak ada perkawinan di dalam arti hukum adat, sebab memang inilah prinsip di dalam masyarakat dengan garis keturunan bapak, malah suatu perkawinan tanpa jujur adalah hina dan digambarkan sebagai amani manuk yaitu kawin ayah si ayam istilah untuk menunjukkan betapa rendah dan hinanya, karena tidak sesuai dengan hukum adat. Malah anak-anak yang lahir dari perkawinan ini, yuridis menurut hukum adat di anggap anak anak tidak sah,dan konsekuensinya anak anak masuk klan ibu, san mewarisi dari ibunya. Ad. 2 : Suatu modus yang meringankan keadan ini, ialah lazim diadakan dengan jalan ditangguhkan, digadaikan atau hutangkan. Keterangan : dalam pengertian di gadaikan, jujur itu tidak langsung berpindah ke pihak perempuan, tetapi dengan jalan menyebut sejumlah uang atau menjanjikan sejumlah hewan besar. Pada suatu waktu di kemudian hari akan ditebus oleh yang bersangkutan, bila kemudia tidak berkesempatan atau ternyata tidak mampu memenuhi janji, maka anak laki-laki yang akan memberi jujut kepada ibunya sendiri. Semacam digadaikan. Ada juga lembaga adat yang menganggap berhutang, artinya berhutang pada pihak perempuan sejmlah uang yang disebutkan, bila terbukti dikemudian hari tidak dilunasi, maka timbulah apa yf disebut Ter Haar perkawinan membaktikan diri atau dienhu welijk. Perlu dicatat bahwa anak anak yang lahir pada waktu interim ini, yaitu masa digadaikan atau pada waktu masih berhutang, termasuk dalam klan bapaknya dan mewarisi pula dari padanya.

Ad. 3 : Ada suatu modus lagi yang lazim menurut adat, yaitu menyimpang dari jujur tetapi masih berdasarkan lembaga ( hukum adat ), yaitu suatu bentuk perkawinan di dalam masyarakat dengan garis keturunan bapak, yang berlaku sah menurut hukum adat. Pihak lakilaki datang ke pihak perempuan dan berkedudukan sebagai pendatang, malahan bisa terjadi pula perkawinan di dalam klannya sendiri, yang disebut belah suku atau pecah periuk atau merubah subai. Pada masyarakat dengan garis keturunan bapak di Lampung, Rejang, Bali, Semendo, dan lainlain daerah terdapatlah penyimpangan-penyimpangan seprti tersebut diatas, dan terjadi sebagai berikut : a. Lampung didaerah ini kita mengenal : 1. Kawain Tegak Tegi : yaitu suatu bentuk perkawinan, yang pernah digambarkan oleh Dr. Boerenbeker : Sepanjang pengertian mengenai kawin Tegak Tegi ini dapat diketahui berdasarkan suatu keterangan yang dimuat dalam Naschriften ter Haar, yaitu jilid ke III dari kumpulan karangan ter Haar yang dihimpun oleh Supomo, suatu perkawinan yang bermaksud hendak meghindarkan suatu keluarga dari kepunahan. Jadi perkawinan untuk meghindarkan suatu keluarga dari Kerobohan yang perlu ditegakan, Ditunjang dengan jalan mengawinkan anak perempuan satu-satunya atau seorang dari sekian anak perempuan, sebab tak ada anak laki-laki, dengan cara kawin semendo, malah kawin semendo yang endogamy pula. Dengan demikian keluarga tersebut dengan perkawinan itu mendapatkan keturunan, jadi tidak punah. Terlebih-lebih di Lampung berhubung sistem kewarisan mayorat; dimana sangat 14

diperlukan seorang anak laki-laki atau cucu laki-laki dari anak laki-laki atau perempuan kalau darurat, bentuk perkawinan semacam ini sangatlah besar artinya. Oleh karena itu bagi suatu keluarga dalam keadaan diancam kepunahan, patut menyelenggarakan dan mencari daya upaya untuk melanjutkan keturunan sepanjang yang dibenarkan oleh adat. Tegasnya dalam Naschriften van Mr. B ter Haar Bza samengesteld door Proof. Dr. R Supomo pda halaman 291 atau dalam T. 142 halaman 213 ditulis, (terjemahannya kurang lebih ) sebagai berikut : Dari Dr. E. A. Boerenbeker di Manggala saya telah menerima keterangan tentang tegak-tegi, yang berarti : Tegak berdiri, tegak lurus, menegakan kembali sesuatu yang telah jatuh. Kata tersebut dipakai dalam segala hal atau kejadian, apabila sebuah keluarga atau pamili yg mempunyai kedudukan dan bermartabat, terancam akan hilang lenyap dan sesuatu tindakan atau perbuatan diambil untuk mencegah terjadinya hal tersebut. 1. Pertama adalah di dalam keadaan bila seorang tidak mempunyai anak laki-laki, tetapi mempunyai anak-anak perempuan. Salah seorang daripada anak perempuan itu dinikahkan secara kawin semendo, sehingga anak-anak dari perkawinan itu melanjutkan keturunan ayah dan istri tadi atau ibu dari anak itu, sehingga disebut bahwa suami itu tadi adalah seorang suami tegak-tegi ; 2. Selanjutnya pada perkawinan ipar yaitu kawin medun ranjang atau ganti tikar bila seorang laki-laki kawin dengan istri abangnya, yaitu janda. Dengan perkawinan itu lahirlah anak-anak, yang akan dianggap sebagai anak-anak dari abangnya yang meninggal. Adik laki-laki muda ini dikatakan : Menegak-negikan abangnya itu. 3. Juga anak laki-laki yang diadopsi menegak-negikan ayah angkatnya ; 4. Dan seorang yang tak mempunyai keturunan dan didudukan secara upacara oleh seorang penghulu rakyat, yang menunjuk pengantinya, dengan upacara juga dikatakan dikatakan tegak-tegi. Di daerah-daerah pantai kiranya kata Campursumbai di dalam beberapa atau semua kejadian dianggap sinonim dengan kata tegak-tegi . Dengan berpedoman pada contoh yang disebutkan di atas tadi, maka kita melihat adanya dua cara menegak-negikan keturunan itu, baik langsung mengangkat anak laki-laki yang diperlukan, maupun dengan jala melakukan kawin semendo, pendeknya perkawinan. Jika sebuah keluarga hanya mempunyai seorang anak perempuan tunggal, maka di sinilah kadang-kadang kawin semendo itu dilakukan dengan jalan mengawinkan anak perempuan tersebut dengan salah seorang anak laki-laki di dalam kurung sendiri : jadi dengan salah seorang anggota keluarga yang terdekat, misalnya dengan misanan yang dekat hubungan darahnya. Jadi kita melihat, kecuali hal tersebut adalah suatu kawin semendo, juga kawin endogami, jadi : ada dua kejadian sekaligus melanggar kelaziman yang ada. Tetapi walaupun demikian, kedudukan sang menantu laki-laki itu, adalah sekaligus sebagai anak dan sebagai ahli waris penuh, sesuai dengan nama Negikan tadi. Inilah arti yuridis atau akibat yuridis dari suatu perkawinan tegak-tegi. Di dalam kehidupan sehari-hari sang menantu laki-laki menyisihkan kedudukan istimewa istrinya sebagai anak kandung, malah dialah selanjutnya bertindak sebagai anak. 2. kawin ambil anak / kawin tambig anak : ini adalah suatu bentuk perkawinan yang menyimpang yang berakibat hukum sama seprti kawin tegak-tegi, hanya biasanya sang menantu tidaklah berasal dari dalam kurung sendiri, tetapi adalah orang lain dari luar klan, yang dikenal baik kelakuannya setelah penelitian yang seksama. Di dalam kedua bentuk perkawinan ini, kedudukan suami tidak mengandugn kehinaan, malah membawa ati kehomatan,Karen berjasa menghindarkan keluarga tersebut dari bencana kepunahan. Patut disebut disini, bahwa kawin ambil anak adalah suatu bentuk perkawinan yang mengandung dua tindakan hukum sekaligus, yaitu 1 ) ada perkawinan, dan 2 ) ada unsure adopsi atau ambil anak / angkat anak. Apabila dua unsure ini dapat, maka terang motifnya adalah hamper selalu mengusahakan jangan sampai ada kepunahan ;sebagai contoh lain adalah di Muara Sipongi, yang disebut semendo ngangkit; semacam itu pula terdapat di 15

Bali dalam lembaga sentana tarikan; lihatlah selanjutnya tentang hakl tersebut nanti ( lihat bab Adopsi halaman 38 ). 3. kwn jeng mirul ini adalah suatu bentuk perkawinan dalam keadaan darurat seperti yang lain-lain terdahulu, yaitu suatu keluarga melaksanakan perkawinan dengan mengambil seorang anak ( menjadi ) menurut, semata-mata sebagai wali atau wakil mutlak dari anak-anak yang kemudian akan dilahirkan perkawinan tersebut. Jadi dalam hal yang penting-penting, bertindaklah sang menantu atas nama istrinya. Orang tersebut mempunyai hak yang dengan istilah asing disebut beheren saja, yaitu mengelola harta benda milik istrinya, jadi bukan menjadi pemillik ( eigenaar ) dari harta yang ada. Dengan perkataan lain, tanpa persetejuan istrinya, ia tak dapat mengubah status benda tersebut, misalnya dengan menjual, menggadaikan dan sebagainya, ia hanya sekedar memungut hasil harta benda tersebut ( memang di ijinkan ). Apabikla anak-anaknya telalh menjadi besar/aqil balig, maka segala hak dari ibunya yang selama ini di-wali-i oleh ayahnya akan beralih kepadanya sebagai pelanjut keturunan dan ahli-waris, dan terhentilah sejak saat itu perwalian sang ayah. 4. kawin menginjam jago walaupun tidak mempunyai arti hina, karena sang suami disini hanyalah semata-mata menjadi jago untuk mendapatkan keturunan darinya, seperti halnya pada kawin ama-ni-manuk di Tapanuli. Dalam keadaan darurat dan diancam kepunahan, kedudukan sang menantu . Ini terhormat sebagai suami. Ia akan tetap menginsyafi dirinya sebagai orang pendatang/menantu yang tidak mempunyai hak apapu dui dalam urusan harta benda dan kepentinga-kepentingan lain dalam keluarga istrinya itu. c. Rejang ( Bengkulu ) Sesudah Lampung masih perlu membicarakan penyimpangan-penyimpangan dalam perkawinan yaitu penyimpanagn dalam masyarakat dengan garis keturunan bapak, yang di lembagakan terutama di daerah Bengkulu atau Sumatera Selatan. Pertama adalah kawin semendo rajo-rajo pada orang rejang di Bengkulu, yang pada dasarnya adalah perkawinan dalam masyarakat kebapaan , yang menyimpang dari keadaan normal ialah kawin jujur. Malahan penyimpanan yang di lembagakan itu, akibatnya adalah juga kawin semendo. Kawin semendo rajo-rajo adalah suatu bentuk perkawinan yang ditemouh oleh banyak kalangan bangaswan atau klan-klan yang saling bermusuhan satu sama lain. Dengan perkawinan itu berusaha menghilangkan perselisihan antara klan atau juga kalangan bangsawan itu untuk menjaga keturunan, martabat, kekayaan, atau kedudukan. Yang penting adalah akibat yuridis perkawinan itu : anak-anak yang lahir akan menarik garis keturunan melalui ayah dan ibu yang sama kuatnya. Adapun akibat sosia; karena perkawinan tersebut adalah sebagai berikut : karena benruj perkawinan dalam frekuensi tinggi atau kekerapannya tinggi lambat laun akan membawa perubahan, yang cenderung kepada suatu masyarakat yang bercorak garis keturunan ibu dan bapak, atau bilateral/parental.dikatakan demikian karena lama kelamaan sebagai besar atau semua anggota klan yang ada, akan menjadi anggota semua klan yang ada, seperti akan terbukti dari bagan di bawah ini :

16

a a+b

(a+b+c)

Dengan demikian klan cenderung menjadi hilang dan menjadi irrelevant, tidak penting, dalam urusan atau dipandang dari sudut cara menarik garis keturunan. Jadi makin lama masyarakat tersebut makin menuju kepada masyarakat dengan garis keturunan ibu dan bapak atau bilateral / parental ; terbukti dari gambar diatas, orang-orang telah termasuk dalam semua klan atau dengan perkataan lain : dirinya telah menjadi anggota dari semua klan dalam dusunnya. c. Daerah Semendo ( Palembang Barat ) semacam bentuk kawin semendo rajo-rajo ini, adalah juga bentuk perkawinan di daerah pasema pada orang semendo, yang disebut kawin juai dua negeri dua, yang juga membawa masyarakat cenderung kearah sistem bilateral. Sesuai dengan keadaan, maka di Bali untuk beberapa kejadian di tempuh pula hal-hal semacam, yang di sebut kawin semendo tarikan / sentana tarikan, nyeburin, kawin semendo ambil anak, cambur sumbai ( Sumatera Selatan ), kawin ambil piara ( Ambon ) dan lainlainnya. 3. HUKUM PERKAWINAN DALAM MASYARAKAT KEIBU-BAPAAN Masyarakat keibu-bapaan yaitu masyarakat dengan garis keturunan ibu dan bapak, adalah sebuah istilah yang sering dipakai oleh Prof. Daerah. Hazairin, untuk menunjukan pada suatu sistem ke masyarakat atau sistem menarik garis keturunan dimana seseorang menarik garis melalui ibu dan bapak, serta keluarga ibu dan keluarga bapak sama nilai dan sama derajat Patut kita catat, bahwa dalam hukum adat dikenal dua sistem masyarakat parental atau bilateral, yaitu : a. Masyarakat bilateral di Jawa ; b. Masyarakat bilateral di Kalimantan. ad. a. masyarakat bilateral diJawa: masyarakat jawa yang menganut garis keturunan ibu dan bapak adalah berdasarkan keluarga / gezin, yaitu suatu unir terkecil yang dalam keseluruhannya merupakan sebuah desa. Adapun 17

sistem perkawinannya disebut kawin bebas, artinya orang boleh kawin dengan siapa saja, sepanjang hal itu di izinkan sesuai dengan kesusilaan setempat disepanjang peraturan yang digariskan oleh agama. Yang dimaksud dengan sepanjang kesusilaan tadi, ialah perkawinan tadi tidak mengadakan, tidak menentukan keharusan dengan siapa boleh kawin dan dengan siapa tidak boleh kawin. Ingat misalnya di dalam masyarakat Minagkabau yang anggotaanggotanya menarik garis keturunan dari ibu bahwa kawin antara dua orang ibunya besaudara adalah silarang : juga dalam masyarakat Batak yang anggota-anggotanya menarik garis keturunan dari bapak kawin antara sesama-kehanggi, adalah dilarang, dan malahan bila dilakukannya juga dapat di angggap incest. Namun dalam masyarakat dengan garis keturunan ibu dan bapak tetap ada suatu moralitas, kesusilaan setempat menyababkan perkawinan itu tidak dilakukan berhubung dengan perasaan masih bersaudara karena ada hubungan misanan ; dengan demikian kita menarik kesimpulan, bahwa apa yang kita sebut kawin bebas tadi adalah suatu kebebasan yang relatif. Masih ada patokan lain tentang penyelenggaran perkawinan yang di gariskan oleh agama islam. Hal itu juga menunjukkan suatu kebebasan relaitif, ialah : orang boleh kawin dengan siapa saja, asal tidak ,melanggar ketentuan yang tercantum dalam surat An-Nisa ayat 22,23 dan 24, yaitu dilarang kawin dengan orang-orang yang ada hubunga darah yang dekat dan langsung, satu sama lain Karena hubungan periparan ; satu sama lain pernah menyusun bersama kepada seorang ibu ( sepersusuan ). A. b. masyarakat bilateral di Kalimantan Masyarakat ke-ibu-bapa-an di Kalimantan ( Borneo ) ialah masyarakat dayak yang banyak macam sukunya dan sepanjang penyelidikan etnologi dan sejarah kebudayaan, diperkirakan bahwa suku-suku it telah hidup disana lebih kurang 2500 tahun yang lalau; kita dapat mengetahu hal ini dari berbagai sumber, misalnya dari buku Muhammad Yamin : 6000 tahun - sang merah putih, dan peri kehidupan mereka masih primitif dan nomadis, walaupun pada tingkat kemajuan sekarang mereka sudah banyak menetap, terutam pada saluran jalanjalan lalu lintas sungai-sungai dan dimana mereka menetap, kita melihat, bahwa mereka hidup dalam kelompok-kelompok : tribe sistem atau rumpun dan tinggal dalam rumah-rumah yang terdiri dari sejumlah keluarga :12 sampai 20 keluarga. Sistem perkawinan mereka adalah endogamy, dalam arti mereka mengadakan perkawinan satu sam lain di dalam tribe mereka sendiri ( antar keluarga ). Ada bebarapa alasan mengapa mereka mengambil sistem endogamy ini, yaitu : - dipandang dari sudut keamanan, pertahanan ; - dipandang dari sudut pemilikan tanah, kebun, sawah dan sebagainya: - dipandang dari sudut kemurnian darah / keturunan, dan lain-lain pantangan yang bersifat magis religius. Pada dasarnya hidup suku-suku ini terisolir, tetapi lambat laun bertambah terbuka berkat lalu-lintas dan modernisasi, dalam arti masuknya tata hidup dari luar yang membawa perubahan-perubahan dalam segala segi kehidupan sehari-hari, baik kebiasaan-kebiasaan / mental, maupun dalam cara mmpergunakan alat-alat yang baru dikenal walaupun mereka menganut sistem bilateral dalam soal-soal keturunan, namun ada keanehan pada beberapa suku dayak, terutama yang ada di Kailimantan Barat, ialah bahwa anak perempuan yang tertua menjadi ahli waris yang biasa disebut anak pangkalan, dengan akibat benda-benda waris itu tidak dibagi-bagi, dan jatuh dalam satu tangan dan selanjutnya merekalah yang bertugas menggantikan orang yang meningggal dalam memelihara harta pusaka dan harta-harta lainnya. Masalah ini akan dibicarakan dalam hukum waris nanti.dan kemajuan suku-suku ini terlihat dengan bertamahnya gerakan menuju ke daerah pantai dan bertambah pula pembelahan ( pemecahan ) rumpun itu . inilah yang disinyalir Dr. Mallinckrodt dalam disertasi yang berjudul het adatrecht van borneo, 1928 ( 2 Jilid ) sebagai suatu verekonomiseringsproces yaitu proses 18

kemajuan-kemajuan sebagai akibat dari proses ekonomi, berlangsung di daerah-daerah itu masing-masing. Walau tidak dijelaskan, maka dapat kita mengerti bahwa yang dimaksud dengan verekonmiserings adalah faktor-faktor ekonomi yang sangat kuat membawa perubahan, antara lain : lalu lintas, pendidikan, perantauan, atau masuknya cara-cara serta alat-alat baru ( inovations ) dan lain-lain sebagainya. Berhubung dengan endogamy itu, maka dapat kita catat : 1. Endogami dalam arti territorial ( yaitu semcam endogamy yang ada di Sumatera barat, endogamy sekampung ). 2. Endogami di dalam arti se-rumpun, ( ialah yang terdapat pada beberapa suku dayak di Kalimantan ). 3. Endogami dbg penyimpangan dari exogami ( kawin tegak-tegi di Lampung ). 4. MASALAH DALAM HUKUM ADAT JIKA TAK ADA PERKAWINAN Tentang hal ini, ada dua pendirian : 1. menganggap anak-anak itu tidak bersalah, bebas cela, penghibnaan dan hukuman, walapun hubungan perempuan dan laki-laki tanpa upacara adat, tanpa perkawinan atau sesuatu formalitas apapun ; 2. Perbuatan melahirkan anak tidak sah adalah di kutuk dan harus di enyahkan, di ekskomunikasikan baik bagi si ibu maupun bagi si anak. Dalam hal yang pertama kita melihat, bahwa anak yang lahir diluar perkawinan, ber-ibu pada seorang perempuan yang tidak menikah yang melahirkannya, sebagai mana juga seorang yang dilahirkan dari seorang ibu yang dalam hubungan perkawinan ini di anggap sebagai suatu hal yang biasa dan tidak tercela atau cacad sperti halnya di Minahasa, Ambon, Timur, dan Mentawai. ( ter Haar, Asas-asas dan susunan hukum adat , 1941 ). Tetapi dalam hal yang kedua, terdapat suatu sikap yang keras, mengutuk terhadap ibu yang melahirkan tanpa pernikahan dan anak tersebut, karena dibawa oleh pendirian yang magis religious, akan membawa celaka, sial dan sebagainya. Juga akan membawa malapetaka dan kerugianh material yang sulit dikira-kira dan oleh karena itu kedu-duanya, ibu dan anak harus diasingkan dari masyarakat harus dibunuh atau diserahkan kepada kepala adat / Raja sebagai budak. Berhubung dengan itu, baik dahulu maupun sekarang,diadakan suatu atau beberapa lembaga, aturan, untuk mencegah supaya ibu dan anak janga sampai tertimpa kemalangan. Patut disini disebut lembaga kawin paksa, yang dipaksakan kepada laki-laki yang ditunjuk oleh si perempuan sebagai orang yang menurunkan / membangkitkan anak yang masih dalam kandungannya, laki-laki itu dipaksa supaya kawin dengan perempuan itu oleh rapat marga di Sumatera Selatan, hakim di Bali. Jika menolak untuk mengawininya, maka laki-laki itu di hukum/di denda. Sedang di Jawa, kepala desa dapat memaksakan suatu perkawinan, antara lain dengan jalan kawin darurat ialah suatu perkawinan dengan siapa saja, biasanya kepala desa sendiri supaya pada waktu melahirkan anak tersebut berada dalam status perkawinan. Nikah tambelan diJawa atau pattongkok siriq pada orang Bugis. Pada jaman sekarang, pembuangan keluar masyarakat sudah jarang sekali dilakukan. Di Nias, anak da ibu itu tetap mandapat celaan yang sangat walapun dengan toleransi masyarakat dibiarkan ; di Bali : masih mungkin ada jalan dengan alasan-alasan tertentu megesahkan anak itu dengan antara lain, melakukan pembayaran adat supaya boleh tinggal dalam masyarakat dan perhubungan semata-mata adalah dengan ibunya. Di Bali anak yang dilahirkan di luar nikah, adalah anak sah, jika dibangkitkan dimasa pertunangan. Di Minahasa, se orang anak yang di lahirkan diluat pernikahan, berbapak pada laki-laki yang menurunkannya. Untuk menghilangkan keraguan masyarakat terhadapnya, ia memberi suatu hadiah adat yang disebut lilkur. Jadi merupakan suatu tanda bahwa ada hubungan sah antara ayah dan anak tersebut. Tetapi di tempat-tempat lain, anak yang dilahirkan diluar perkawinan, menurut hukum adat tidak berbapak; tetapi anak yang tergolong dalam 19

Christen indonesiers ; berdasarkan S. 1933 No. 74 dapat di sahkan, dapat di-erken ( erkening ). Dalam hukum adat rupa-rupanya tidak menjadi soal beberapa lama, anak itu dilahirkan sesudah perkawinan. Menurut hukum islam mesti lebih dari enam bulan. Aturan ini hamper tidak berpengaruh terhadap hukum adat, bapak pada laki-laki bekas suami ibunya. Akibat hukum hubungan anak dan bapak serta anak dan ibu menimbulkan hak dan kewajiban yang timbal balik ; kewajiban memelihara dan hak di pelihara. Namun di dalam susunan unilateral masalah ini kerap kali sangat berlainan, malah kadang-kadang mengesampingan hak ibu atau bapak, tetapi bapak selaku bertindak sebagai wali terhadap anaknya yang perempuan dalam perkawinan sesuai dengan hukum islam. Jga dalam hukum waris tanpa wasiat atau ab instestato, lebih baik didasrkan pada hubungan karena sanaksaudara, dalam peraktek banyak di ubah Karena ada lembaga penghibahan; hibah umpamanya banyak menguntungkan antara seorang anak dengan bapak di Minangkabau. Tentang penggalan atau penghapusan hubungan hukum anak dengan bapak dengan suatu perbuatan hukum adalah mungkin menurut hukum adat. Pengusiran secara formal disebut di Angkola : Mangaliplip; diBali : Pegat mapiannak. Sebuah lembaga yang menetapkan suami hubungan bapak dengan anak adalah lembaga anak piara, yaitu se orang dapat menitipkan se orang kepada orang lain untuk di pelihara;hal ini di bedakan sekali dengan adopsi, hal tersebut kita bicarakan nanti. Hanya dapat di catat, bahwa perbuatan tersebut adalah suatu jalan untuk memenuhi kewajiban sebagai orang tua bertugas memelihara anak. Akibatnya dalam hukum adat dan kehidupan, sangat sukar dibedakan mana yang adopsi dan mana yang penitipan anak dan mana pula anak-piara. Anak yang dititipkan dapat sewaktu-waktu dapat di ambil kembali oleh orang tua, asal dengan penggantian biaya pemeliharaan. 5. TENTANG ADOPSI DALAM HUKUM ADAT Adopsi, ambil anak, kukut anak, angkat anak adalah suatu perbuatan hukum dalam rangka hukum adat keturunan, bilamana se orang diangkat dan diterima dalam suatu posisi, baik biologis maupun sosial, yang semula tak padanya. Atau untuk mengambil penulisan ter Haar : .bahwa dengan jlan suatu perbuatan hukum dapatlah orang mempengaruhi pergaulanpergaulan yang berlaku sebagai ikatan biologis, dan tertentu flm kedudukan sosialnya, sebagai contoh dapat di sebutkan : kawin ambil anak atau inlifjhuwelik. Kedudukan yang dimaksud membawa dua kemungkinan : sebagai anak, sebagai anggota keluarga melanjutkan keturunan, sebagai ahli waris ( yuridis ) ; b. sebagai anggota masyarakat ( sosial ) dan meurut tata cara adat, perbuatan adopsi itu pasti dilakukan dengan terang dan tunai. Berhubung tersebut di atas, maka seorang yang diangkat sebagai anak mempunyai hak-hak yuridis dalam rangka hukum waris, yaitu menerima hak-hak dan kewajiban sebagai ahli waris, baik material yaitu : rumah, sawah, kebun dan benda-banda lain, maupun yang immaterial: yaitu gelar adat, kedudukan adat danmartabat keturunan. Sedang seorang yang diangkat sebagai anggota masyarakat, pada utamanya mendapat hak-hak sosial seperti : menghadiri upacara adat,cara berpakaian tertentu pada tempat-tempat yang tertentu diselipi penghormatan, dan yang di BAtak di Sebut ; kehanggi pulut. Adapun maksud dari kata terang, ialah suatu prinsip legalitas, yang berarti bahwa perbuatan itu dilakukan dihadapan dan diumumkan di depan orang banyak, dengan resmi secar formal, di anggap semua orang mengetahuinya. Sedang kata tunai berarti perbuatan itu akan selesai ketika itu juga, tak mungkin di tarik kembali, adalah eenmalig dan irrevocable. Keluarga ita mengutip ter Haar dengan terjemahan sebagai berituk : pertama-tama harus dikemukakan mengambil anak dari luar lingkungan 20 a.

keluarga ke dalam lingkungan suatu klan atau kerabat tertentu, anak itu dilepaskan dari lingkungan yang lama dengan serentak diberi imbalannya, penggantinya, yaitu suatu benda magis. Setelah penggantian dan penukaran itu berlangsung, anak yang di pungut itu masuk ke dalam lingkungan kerabta yang mengambilnya, sebagai anak ;inilah mengambil anak sebagai suatu perbuatan tunai. Alasan untuk mengadakan adopsi ialah kekhawatiran akan kepunahan; keluarga yang tak mampunyai anak itu berbuat dalam lingkungan kekuasaan kekerabatannya dan bersama kerabatnya; sang anak di pungut dan di angkat oleh sepasang orang tua, tetapi perbuatan itu adalah urusan kerabat; anak itu menduduki seluruh kedudukan anak kandung dan bapak yang mengangkat anak dna ia terlepas Dari golongan sanak saudaranya semula. Pengankatan itu dilaksanakan dengan upacara-upacara atau ritesdepassage dengan bantuan penghulu-penghulu atau pemuka-pemuka rakyat, dengan perkataan lain perbuatan itu harus terang dan hal ini terjadi dalam rangka ketertiban hukum masyarakat: a. 1. di- Nias, gayo, Lampung, Kalimantan. Di Minagkabau rupa-rupanya adopsi tidak ada; di daerah perbatasan antara Minangkabau dan mandailing kadang-kadang sekali-kaliterjadi, sedang di Angkola tidak ada. Juga di Pasemah, adopsi dilakukan dengan terang dihadapan orang sedusun laman dusun. Kita catat, bahwa soal adopsi dapat di bedakan menjadi dua macam: a. adopsi langsung ( mengangkat anak ) yaitu untuk kerperluan hukum, maka se orang anak langsung di angkat menjadi anak, misalnya nyentanayang di Bali, yang dselenggarakan hamper selalu dalam lingkungan klan besar, dari kaum keluarga, akhi-akhir ini telah terjadi lebih banyak lagi dari luar lingkungan keluarga atau juga dalam beberapa dusun telah terjadi pengangkatan anak dari lingkungan sanak saudara istri atau peradana. Bila bini tua tak mempunyai anak dan bini selir mempunyainya, maka anak-anak itu dengan jalan adopsi, diangkat menjadi anak bini tua. Bila mana tidak ada anak laki-laki yang dapat diambil anak, maka dapat se orang anak perempuan dipungut menjadi santana; anak itu diangkat dengan jalan perbuatan hukum rangkap, yaitu pertama dipisahkan dari kerabtanya sendiri dan dilepas dari ibu kandungnya sendiri dengan jalan pembayaran adat berupa seribu kepeng serta seperangkat pakaian perempuan , kemudian baru ia dihubungkan dengan kerabta yang mengangkat : diperas. Suami yang mengambil anak berpindah dengan persetujuan kerabatnya lalu diumumkan dalam desa ( siar ) dari pihak raja sebagai kepala adat dikeluarkan ijin yang disusun dalam suatu penetapan raja, berupa akte yang disebut surat peras. Alasan dari pengangkatan semacam ini, ialah suatu kekhawatiran akn kepunahan. Malahan sesudah meninggalnya sang suami istri pun dapat mengangkat anak atas nama sang suami. Jadi jandapun dengan memegang keris sang suami dapat mengangkat anak atas nama sang suami sebagai wakilnya. Dalam hubungan ini, masih tetap hubungan nya dengan diatas, adalah suatu perbuatan hukum dimana se orang anak perempuan dijadikan, diangkat sebagai laki-laki pelanjut keturunan ( sentana ) oleh sebab disana hanya ada anak laki-laki saja yang dapat menerima harta peninggalan dan dapat melanjutkan kedudukan sang ayah sebagai kepala keluarga. Bilamana tak ada anak laki-laki, dapatlah se orang anak laki-laki di ambil anak, baik oleh si bapak maupun oleh jandanya: se orang bpak mengangkat anak perempuan sendiri menjadi sentana melanjutkan keluarga, dengan anak laki-laki tertua ( prinsip mayorat ). Anak perempuan yang ddmikian hanya dapat kawin secara kawin amibil anak, suaminya disebut sentanatarikan. Nyatalah disini, bahwa mengangkat anak merupakan suatu rechtsplicht, suatu kewajiban menurut hukum dan suatu urgensi mendesak, karena hanya anak laki-laki lah dapat menggantikan sang ayah di dalam berbagai kedudukan hukum. Suatu bentuk adopsi lain di Bali adalah : makahidangraga, di dalam literatur hukum adat sering dimasukan dalam golongan hukum perjanjian, padahal ia berfungsi sebagai adopsi, dan bersifat lebih banyak sebagai hukum perjanjian, misalnya : ambil pelihara dan berhubung dengan itulah von vollen hoven mnyebutkan dengan verzorgings-kontrakt. Yang semacam dengan itu terdapat pula di MInahasa, yang di sebut sebagai ngranan ( anak ), atau mengara anak, dalam hubungan ini, baik kiranya kita mengutip ter Haar halaman 129 sebagai berikut : mempunyai kedudukan istimewa dalam hukum kekeayaan adat adalah perjanjian pemeliharaan atau verzorgings-kontrakt di Minahasa. Istilah verzorgings-kontrakt ini asalnya dari van vollen-hoven, dan 21

di Minahasa sendiri perjanjian ini disebut adopsi, tetapi menurut isinya sesungguhnya ternyata bukan perbuatan dilapangan hukum keluarga, dan istilah pribumi antara lain ngeranan atau mengara anak.isi perjanjian ini ialah bahwa yang satu si pemelihara menaggung nafkah yang lain yang dipelihara, lebihlebih dimasa tuanya kelak, pula menggung pemakamannya dan pengurusan harta benda yang ditinggalkannya; sedang sebagai imbalanterhadap si pemelihara ialah bahwa ia mendapat sebagian dari harta peningggalan, kadang-kadang sama besarnya dengan bagian se orang anak ; dan bila tidak ada anak maka si pemilahara menjadi satu-stunya ahli waris. Waupun perjanjian dapat di adakan diantara orang-orang yang tidak tentu umurnya dan malahan dapat terjadi orang yang tak kawin sama sekali, namun sampai tingkat tertentu berfungsilah perjanjian sebagai adopsi / ambil anak dimana lebih-lebih suami istri yang tak punya anak. Dengan cara demikian mengikat orang-orang muda sebagai pemeliharaanya hal mana lebih-lebih dalam bahasa Indonesia disebut mengaku anak , tetapi hubungan ini menrut hukum keluarga tidak merubah hubungan antara anak dan orang tuanya sendiri, hubungan itu tidak putus karenanya, si pemelihara tidak mewarisidari yang di pelihara ( ter Haar asas-asas dan susunan hukum adat, 1941 ). Dari dekat dibandingkan dengan perjanjian pemeliharaan, ialah suatu adat di Bali, jika seseorang menyerahkan diri bersama segala harta benda kepada orang lain dan disebut makahidang raga dan orang yang menerima penyerahan yang sedemikian itu wajib : 1. menyelenggarakan pemakaman nya; 2. membakar mayatnya ( Kremasi ) ; 3. membayar hutang-hutangnya dan untuk semuanya itu, maka : 4. si pemelihara berhak atas harta peninggalannya. Juga di Ambon semacam lembaga ini atau serupa lembaga ini terdapat pula dengan sebuah surat wasiat, yang dipelihara memberikan juga kepada si pemelihara warisan tertentu. Dapatalh disimpulkan, bahwa ; 1. dalam makahidangraga, si pemelihara harus memelihara ( hak-hak ) yang di pelilhara sampai matinya ; 2. mengurus, mengantarkan mayat,serta mengadakan upacara-upacara tertentu menurut adat : ngaben, pembakaran mayat, kremasi; ( Bali ) 3. anak yang diadopsi, si pemelihara harus mengurus hutang-piutang dari yang mengangkatnya ( terhadap kekayaan dan harta peningalna yang ada ); 4. sisa dari harta setelah dikurangi ongkos kremasi dan hutang piutang menjadi milik yang memelilhara, yang diadopsi itu tadi. Dengan demikian, pengangkatan anak laki-laki dari bini sekir menjadi anak laki-laki dari bini tua, membawa perubahan kedudukan hukum dan memberikan kepadanya hak martabat dan kedudukan serta gelar dari bapaknya ( di Lampung dan di Bali ).seluruh upacara pengangkatan dilakukan secara terang dan tunai, lebih-lebih kalau bini selir itu mempunyai tempat pemujaan sendiri. Mengenai pengangkata anak perempuan pada suku semendo da suku dyak landak dan suku dayak tayan di Kalimantan Barat dapat dipahami, ialah supaya mempunyai anak perempuan yang akan dapat mengurus kekayaan, Karen anak perempuan disitu mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari anak laki-laki.ingat : anak tunggu tubing, anak pangkalan . ( mallincekrodt, het adat rechet van Borneo, 1928 ). Juga harus disebutkan bentuk pengambilan anak, baik laki-laki maupun perempuan, yang banyak terjadi di Sulawesi Selatan maupu di Jawa dan lain-lain daerah juga, lebih-lebih merupakan mengambil anak dari luar kerabat :disamping itu juga adopsi kemenakan yang hanya merupakan perkisaraa dalam kerabat. Tidak terang dan tidak tunai dan tanpa pembayaran. Namun di Jawa timur kadang-kadang masih dilakukan pengankatan dengan cara pembayaran, suatu perbuatan tunai dengan pembayaran rongwang-segobang, yaitu 17 sen, sebagai suatu tanda pelepas dari orang tua asli pedot namanya. 22

Di Minahasa da adatkan untuk memberi tanda kelihatan, ( parade ) kepada si anak untuk memperkuat adopsi tersebut. Disana terdapat juga dan disebut mengarah anak suatu bentuk adopsi tetapi lebih merupakan perjanjian ( lihatlah halaman 41). Di Jawa juga di Sulawesi, baik keluarga ber anak maupun keluarga tak ber anak melakukan adopsi tidak terang , artinya tanpa sepengatuhan kepala adat : dengan tujuan mendapatkan keturunan, tetapi juga untuk mendapatkan tenaga kerja atau karena belas kasihan semata-mata. Di Jawa, adopsi kemenakan adalah lebih banyak dilakukan disbanding pengangkatan anak dari luar kerabat, karena dapat memperkokoh kekerabatan. Anak angkat tersebut sperti anak sendiri, hanya dalam urusan warisan ia tak berhak atas harta pusaka orang tua angkat, tetapi mendapat bagian tertentu dari harta pencaharian. Ia adalah tetap anak dari orang tua asal, karena itu menjadi ahli waris dari orang tua asal, hanya di Sulawesi anak angkat sering kali mendapat wanita dengan hibah. b. Adopsi tidak langsung : ( melalui perkawinan ) Adopsi ini terjadi bilamana seseorang kawin, atau mengawinkan dan sesudah itu atau selanjutnya ia mengangkat ia seseorang anak atau anak tirinya atau anak mantunya sebagai anak sendiri, yang akan melanjutkan keturunan, kadang-kadang juga sebagai ahli waris sepenuhnya. 1. hal ituterjadi pada orang Rejang di Bengkulu yang disebut : mulang jurai adalah suatu pereturan ambil anak oleh se orang suami dan yang meng adopsi anak tirinya :, yaitu anak bawaan istri dari perkawinan yang terdahulu .disana perbuatan seperti ini hanyalah mungkin jika ayah si anak masih hidup dan memperkenankan dan mengijinkan ; 2. aturan-aturan serupa terdapat juga pada suku dayak maayangsiung, dan disebut mungkuk anak , tetapi adopsi tak langsung dapat pula terjadi bila se orang bapak ibu mengawinkan anaknya perempuan dengan se orang anak laki-laki yang kemudian di angkat menjadi anak, meneruskan keturunan atau juga sekaligus menjadi ahli waris penuh, yaitu 3. kawin tegak-tegi dan kawin tambiq anak di Lampung( lilhat halaman 30 32 ); 4. kawin semendo ngangkit di Muara sipongi, adalah mengenai hal memasukkan ( mengangkat ) se orang gadis ke dalam kerabat suami, dengan maksud supaya bersama suami mamilki harta peninggalan. Adapun persoalanya ialah, menurut sistem kewarisan disini, ialah se orang perempuan yang hanya dapat mewarisi dan melanjutkan keturunan, dan jika tak ada anak perempuan, maka salah se orang anak laki-laki dari kerabat yang tak mempunyai anak orm sebagai pelanjut keturunan, pergi ke daerah batak mandailing menjujur perempuan tersebut dan dengan demikian sesampainya di tempat, kerabat mengangkat perempuan tersebut ke dalam kerabatnya. Di angkatnya, di-angkieqnyo, oleh karena itu disebut : semendo ngangkit. Jadi pada dasarnya di dalam masyarakat dengan garis keturunan bapak sudah tentu anak laki-laki yang di ambil anak, tetapi bila mengangkat anak perempuan maka perkawinan selanjutnya adalah cross-cousin, seperti halnya terjadi di sumba. 5. akhirnya ada lagi suatu perbuatan hukum yang mengubah kedudukan hukum seorang anak atau beberapa orang anak oleh bapaknya sendiri. Dari suku ibunya yang telah menempuh kawin ambil anak/semendo, pindah ke suku bapaknya sendiri dengan jalan pembayaran adat, yang disebut : pedaut, baik di tetapkan suwaktu melangsungkan perkawinan maupun sesudahnya, asal dilakukan dengan tunai ( rejang Dayak )

BAB III HUKUM WARIS ADAT

23

1. TENTANG SISTEMATIK HUKUM WARIS ADAT Jika kita mengingat pembicaraan-pembicaraan kita yang lalu tentang bagian-bagian hukum adat, maka kita tak boleh melupakan bahwa bagian-bagian tersebut besar pengaruhnya terhadap hukum warisan adat dan sebaliknya hukum warisan pun berdiri sentral dalam hubungan hukum-hukum adat lainnya, sebab hukum warisan meliputi aturan-aturan hukum yang bertalian dengan peruses yang terus menerus dari abad keabad, ialah suatu penerusan dan peralihan kekayaan baik material maupun immaterial dari suatu angkatan ke angkatan berikutnya. Kalau kita perhatikan, umpamanya hukum tanah, hukum perikatan / gadai, hukum perkawinan, semua itu penting bagi pengetahuan hukum waris. Malah hukum tentang adopsi, kawin ambil anak, pemberian bekal pada pengantin perempuan, dapat dipandang sebagai tindakan-tindakan hukum dalam lingkungan hukum waris. Jadi terlihat, betapa hukum waris mempunyai arti luas: penyelenggaraan pemindahan dan peralihan kekayaan dari suatu generasi kepada generasi berikutnya. Sebenarnya, sebagian besar dari hukum adat dan sebagian besar dari kepentingan-kepentingan yang diperjuangkan dalam hukum waris adat yang berdiri ditengah-tengah ilmu hukum, dalam arti siapa ingin memahami hukum waris harus mempelajari dahulu hukum perkawinan, hukum keluarga dan susunan / sistem keturunannya, pendeknya seluruh sistem sosialnya harus diketahui terlebih dahulu. Jadi hukum waris adalah : serangkai peraturan yang mengatur penerusan dan pengeporan harta peninggalan atau harta warisan dari suatu generasi ke generasi lain, baik mengenai benda material maupun immaterial, demikian bunyi definisi dari ter Haar maupun Supomo, sekaligus menunjukan bahwa suatu pewarisan tidak harus berlangsung dalam suasana kematian. ( soepomo bab-bab tentang hukum adat 1958 ). Ini berarti, bahwa hukum waris mencakup pula persoalan, tindakan-tindakan mengenai perliatan harta benda semasa seseorang masih hidup lembaga yang di pakai dalam hal ini ialah: hibah. Hibah adalah suatu tindakan hukum didalam rangka hukum waris adat. Bila seseorang menhadiahkan sebagian atau bagian tertentu dari harta waris kepada seseorang tertentu. Dengan catatan, bagian itu tidak boleh melebihi sepertiga dari seluruh harta bendanya;dan yang dimaksud dengan orang tertentu ialah yang bukan ahli waris anggota keluarga, maupun orang lain, bila dilihat dari garis keturunan. Patut dicatat bahwa dari definisi dan keterangan tersebut, ternyata bahwa dalam hukum adat tidak ada peraturan yang seragam, apalagi patokan-patokan tertentu bagi berbagai lingkungan hukum. Walaupun dpt ditunjukan mengenai asas-asas umum dari hukum waris adat itu. Umpamanya bahwa di Tanah batak : anak-anak menjadi ahli waris dari ayahnya; tetapi kebenaran ini tidak seluruhnya betul, sebab hanyalah anak laki-laki yang menjadi ahli waris sebenarnya, walaupun tidak dpt di abaikan bahwa anak-perempuan menjadi sebagian sebagai barang bawaan sewaktu perkawinan, yang di Tapanuli disebut indahan harian di makasar disebut pauseang . Di Minangkabau kita melihat norma tersebut berubah lagi. Di dalam hal kematian se orang ibu, yang menjadi ahli waris ialah anak perempuan, tetapi bila yang mati se orang bapak, maka yang menjadi ahli waris adalah anak-anak dari saudara perempuan bapak atau kemenakan yang meningal, bukanlah anak-anak nya sendiri. Disinipun kadang-kadang dipakai lembaga hibah untuk melimpahkan harta dari bapak kepada anak . di daerah Lampung lain lagi, disana hanya anak laki-laki tertua yang menjadi ahli waris, walaupun dengan beban kewajiban mengganti ayahnya, baik di lapangan hubungan mapun di lapangan penggantian kedudukan dan martabat. Juga pembagian secara ilmiah mengenai sistematik dibagi-bagi dan tidak dibagi-bagi hanyalah keperluan memenuhi naluri ilmiah belaka, sebab di minahasa, di minangkabau maupun di ambon, walaupun pada dasarnya tidak dibagi-bagi, namun dalam kenyataan terdapat

24

penyimpangan-penyimpangan yang menyebabkan lembaga-lembaga tersebut menjadi kabut satu sama lain. Berhubung dengan itu, peraturan-peraturan hukum waris adat, kecuali mengenal sistem yang mmantap sifatnya, daerah demi daerah mendapat pula pengaruh dari prubahan-perubahan sosial. Tendensi yang nyata dalam perubahan-perubahan itu terlihat, bahwa makin eratnya keluarga ( dalam arti sempit ) dengan mengorbankan pertalian dan ikatan-ikatan di dalam klan.perlu juga kita perhatikan masuknya pengaruh dari hukum barat atau asing termasuk pengaruh hukum islam, atau hukum agama lainnya, walaupun pengaruh itu kecil saja. Segala-galanya tidak dpt di lepaskan dari tali temali sosiologis yang tumbuh tunduk pada hukumnya sendiri. Bertolak dari dasar-dasar pikiran serta keterangan tersebut, sistematik hukum waris agar dapat disusun dalam bagan sebagai berikut :

HUKUM WARIS ADAT

DIBAGI-BAGI ( INDIVIDUAL )

TIDAK DIBAGI-BAGI ( KOLEKTIF )

( JAWA dan dikotaKota besar lainnya ) - Hibah - Kedudukan janda - Anak angkat - Anak tiri

MAYORAT

( KOLEKTIF )

Mayorat laki-laki - Bali - Lampung - Batak

- Minangkabau - Minahasa Mayorat perempuan - Ambon - semendo - Cirebon - Dayak Landang - Dayak Tayan - Toraja Barat

2. TENTANG HARTA WARIS YANG TIDAK DI BAGI BAGI

25

Adanya sistem hukum waris yang harta peninggalan tetap tidak dibagi-bagi, adalah suatu pertanda khas dalam hukum adat : tetapi bertahan karena pengaruh cara berpikir komunalistis. Yang menghedaki bahwa harta benda yang ditinggalkan itu merupakan harta turun-temurun, tidak mungkin dimilki oleh seorang, karena memang merupakan milik bersam / kolektif. Sudah kita sebut tadi mengenai beberapa contoh yang kita batasi saja daerah minangkabau : kita sebut si tidak dibagi-bagi ini, ialah sistem kolektif: setiap anak yang lahir merupakan peserta dalam gabungan pemilikan tadi ( harta pusaka ), berupa rumah, tanah atu kebun dan sawah-sawah beserta trnak dan harta-harta lain yang berupa perhiasan, keris, tumbak dan lainlainnya, selain dari nilai materialnya, mengandung pula nilai religiuos magis. Disini setiap laki-laki atau perempuan yang meninggal, mewaariskan sejumlah harta yang merupakan hasil usaha sendiri yang disebut harta pencaharian, maka harta itu berupa warisan yang bulat dan tak dapat dibagi-bagi diantara orang-orang yang berhak sebagai ahli waris. Bilamana Minangkabau ada perempuan yang meninggal, misalnya mempunyai sawah sebagai milik perseorangan, sawah itu sebagai milik bersama tidak di bagi di antara anak-anak perempuan yang merupakan ahli warisnya. Harta ini disebut harta pusaka rendah, berasal dari generasi yang ditinggalkan. Kadang-kadang juga disebut juga sebagai harta sako. Dengan cara demikian itu, maka pencaharian se orang bapak menjadi harta sako bagi saudara perempuan, dan cucunya menurut garis perempuan dan anak-anak perempuan ibunya, demikianlah kita melihat harta pusaka itu meliputi orang orang tertentu menurut eseloneselonnya sendiri. Harta benda yang tertua atau paling kuno berasal dari nenek leluhur dijaman lampau, itulah yang disebut harta pusaka tinggi. Pengurusnya ditempatkan si bawah pengurusan se orang laki-laki dari kerabat itu, lurus menurut garis perempuan dan disebut penghulu andika, di dalam hal ini bertindak sebagai mamak kepala waris. Kita lihat disini, bahwa di dalam eselon, harta-harta tesebut bertautan satu sama lain, bagi orang luar nampaknya sulit dipisah-pisahkan, tetapi bagi yang bersangkutan lebih mudah untuk mengetahuinya. Kita melihat tadi, bahwa harta itu didalam keadaan digabungkan bertambah lama menjadi bertambah besar dan terlihatlah kemudian suatu pembelahan, suatu pemisahan dari kekayaan yang semula tidak dibagi-bagi. Terkenal dengan istilah gadang manyimpang, jadi suatu pembelahan yang berhubungan dengan terlampau luasnya keluarga. Kalau terlihat juga kadang kala ada pembagian, Maka nyata bahwa hal tersebut adalah hak pakainya yang dibagi-bagi ; demikian juga halnya di ambon mengenai tanah pusaka yang disebut tanah dati dikuasai oleh kepala dati. Terdapat kemungkinan untuk dibagi, jika keluarga sudah menjadi sangat besar; jadi cirri keadaan tak dibagi-baginya harta kekayaan tadi, karma harta kekayaan itu dimiliki bersama dan tunduk dibawah pengawasan satu orang. Bilamana harta kerabat itu terlantar karena tak ada orang yang mengurusnya, mungkin tidak mempunyai keturunan atau mungkin juga karena merantau, dengan demikian hal itu akan jatuh pada orangorang yang paling dekat hubungan darahnya, dan kalaupun ini tidak ada jatuh ketangan masyarakat hukum. (ter haar asas-asas dan susunan hukum adat, 1941) 3. TENTANG HARTA WARIS YANG DI BAGI-BAGI Dalam rangka pembicaran tentang hal ini, patokan-patokan pembicaraan kita akan meliputi 1. 2. 3. 4. tentang hibah dan hibah wasiat; tentang kedudukan dan bagian janda dan anak-anak; tentang kedudukan Anak angkat dan anak tiri; tentang lain-lain hal yang bersangkut paut dengan Harta Warisan yang dibagi-bagi.

1) Tentang Hibah dan Hibah Wasiat

26

Berlainan dengan cara pikok yang tak dibagi seperti tersebut dimuka, maka pokok pikiran yang sama yaitu kekayaan keluarga yang digunakan untuk dasar kehidupan material keturunan selanjutnya, ada cara lain yaitu mengadakan pembagian-pembagian harta peninggalan sewaktu pemiliknya masih hidup, ataupun memberi bekal kepada anak yang akan memisahkan diri( mencar,jw ) karena sudah dewasa atau pergi kawin.pemberian bekal itu merupakan dasar material bagi keluarga baru itu, dan barang-barang itu merupakan bagian nya didalam kewarisan harta benda semuanya yang kelak akan dibagikan. Maka dapat dikatakan, bahwa hibah adalah suatu perbuatan/yindakan hokum dalam rangka Hukum waris, bila seorang Pewari nelakukan pengoperana atau pembagian, maupun pembekalan dari harta benda warisannya tertentu kepada seorang tertentu atau ahli waris, umpamnya dari seorang bapak/petani kepada anaknya atau beberapa anakny atau kepada isterinya. Suoarang bapak/laki-laki yang akan naik haji. Membagi harta benda, yang di sebut marisake atau papassang, lazim terjadi di jawa maupun di sulawesi selatan. Kalaupun penghibaan itu ber-obyek sebidang tanah , maka hibah tersebut di anggap suatu transaksi tanah dalal lingkungan keluarga(saudara). Jadi tidak perlu terang adanya, sebab bukan suatu transaksi jual. Namun tidak ada syarat yang memerlukan bantuan atau di ketahui para ahli waris lainya agar perbuatan itu syah.seperti tindakan-tindakan dalam hukum waris lainya,adalah penghibaan di lakukan dengan cara penyerahan barangnya seketika itu juga. Sebagai koreksi terhadap hukum waris yang ada; Sebagai tndakan hokum untuk mencapai suau kepastian hokum yang maksimal . a.sebagai koreksi terhadap hokum wari yang ada: Sebagai koreksi, ialah karena dengan jalan pengibahan itu, maka imbul kemungkinan untuk sedikit membetulkan aturan aturan hokum a b intestaat yang sudah tepat menurut pandangan tradisional dan religius, namun sudah tidak tepat lagi berhubung dengan perkembengandan kemajuan atau tidak memuaskan dan tidak memberi pemecahan.demikianlah terlihat dalam hokum waris batak, banyak anak laki laiki yang dapatbagian dari harta peninggalan bapaknya, diperlunak dengan jalan penghibaan oleh bapak kepada anak anaknya perempuan yang akan kawin,atau anak permpuan dari anak permpuan yang pertama dan di kenal dengan istilah saka bangunan,puseang atau induhan harian. Juga di kalangan orang minang kabau, seorang laki laki hanya mewariskan kepada keturunan ibunya dapat di terma dengan baik,karena dalam peraktek hamper semua bapak,masing masing mengibahkan kepada anak anaknya sendiri sebagian,sedikit atau seluruh harta hasil pencaharianya. Lebih lebih pada tingkat kawin sebagai akibat pengembaraan atau migrasi,maka anak anak tentu mendapat perioritas untuk menjadi ahli waris. Di dalam suatu kelurga demikian, telah di terobos ikatan klan yang unilateral, berarti bertambahnya rumah rumah keluarga dan karenanya bertambah kopkohnya hidpup kekeluargaan yang berdiri sendiri. Karena ikatan hukum yang berdasar hubungan kekeluargaan lebih kokoh dari ikatan hokum yang berdasarkan ikatan klan. Dengan penghibaan, hak anak atas waris menjadi menonjol karena nya, jadi terjadilah suatu koreksi, Karena praktek penghibahan bersamaan dengan pergeseran dalam kehidupan social. Demikian juga Ambon, disana ada hokum menurut garis keturunan bapak, jadi seorang bapak kebiasaan nya menghibahkan semua kebun buah-buahan kepada anak-anak perempuannya. Demikian pula Dijawa, orang dapat menghindari diri terhadap Hakim agama yang tak mengakui hakhak anak angkat atau warisan dengan jalan menghibahkan sebagian harta nya kepada anak angkatnya 27

itu. Demikianlah kita melihat segi-segi dari hibah sebagai suatu koreksi terhadap Hukum Waris yang berlaku. b. Sebagai Tindakan untuk Mencapai Kepastian Hukum Dalam hal ini, hibah dilaksanakan untuk menjamin kedudukan material dari istri atau janda dan untuk memastikan para ahli waris: pembagian warisan yang dianggap adil dan untuk mencegah perselisihan tentang pembagian harta peninggalan, adalh menurut satuan-satuan dan dipandang dari segi kegunaan atau tujuan benda itu bagi anak/para ahli waris, misalnya sebidang tanah, sebuah rumah, sebidang kebun.

Selanjutnya, dalam masyarakat bila teral/jawa, hak anak laki-laki dan anak perempuan sama, maka kemungkinan akan timbul sengketa atau perselisihan yang besar. Untuk menghindarkan hal yang seperti ini dan untuk mendapatkan bagian-bagian tetentu secara lebih pasti, dan tertentu, dilaksanakanlah penghibahan itu. Tindakan penghibahan itu dapat terlihat didalam keadaan yang khas, umpamanya kalau anak-anak minta bagian-bagian tertentu untuk kepentingan berusaha dan memerlukan modal atau tatkala seseorang hendak pergi melaksanakan haji. Masih ada satu macam hibah, yaitu yang disebut Hibah Wasiat, ialah suatu perbuatan hukumyang bertujuan, agar supaya bagian tertentu dari kekayaannya diberikan kepada salah seorang ahli waris anaknya atau seseorang lain yang dikehendakinya, supaya sesudah meninggalnya, bagian tersebut dapat digunakan oleh yang berhak. Segera keinginan itu dinyatakan secara lisan dihadapan ahli waris atau dinyatakan secara tertulis dihadapan seorang notaris, lambat laun merupakan pengganti dari pernyataan tertulis yang biasa dilakukan dihadapan lurah, menjadi kebiasaan dikalangan rakyat, baik yang disebut: Amanat, Hibah Wasiat atau Akte Notaris. 2) Tentang kedudukan Janda dan Anak-anak Dalam hubungan dengan kebiasaan menghibahkan kepada anak-anak dan janda, patut dicatat bahwa memang janda didalam hokum adat bukan ahli waris. Justtru karena itulah untuk memberi kepastian bagiannya dan untuk menghindarkan tuntutan atas gugatan macam-macam dikelak kemudian hari terhadapnya, diadakanlah cara penghibahan itu. Maka tentang kedudukan janda didalam Hakum Waris Adat, adalah dilihat dari sudut bahwa ia adalah orang luar dari keluarga suaminya. Tetapi sebaliknya satu kenyataan, bahwa ia adalah seorang istri dan ibu dalam rumahtangga suaminya, dan turut membinanya, dan oleh karenanyaikut memiliki harta benda yang diperoleh selama perkawinan, maka didalam urusan kewarisan, dapatlah di simpulkan bahwa: a). janda berhak akan jaminan nafkah seumur hidupnya, baik dari hasil barang gonogini maupun dri hasil barang asal suami, jangan sampai terlantar selanjutnya sesudah suaminya meninggal, b). janda berhak menguasai harta peninggalan sang suami jikalau dan sekedar serta selama barang asal itu sungguh-sungguh diperlukan olehnya untuk keperluan nafkahnya (makan ) c). janda berhak menahan barang asal suaminya untuk menarik penghasilan dari barang-barang, lebihlebih jika mempunyai anak harta itu tetap merupakan kesatuan dibawah asuhan janda yang tidak dibagi-bagi d). janda berhak mendapat bagian atau menuntut sebesar bagian anak didalam keadaan terpaksa diadakan pembagian dengan anak, misalnya janda kawin lagi anak minta bagian untuk modal usaha dan sebagainya 28

dengan memperhatikan hak-hak janda tersebut diatas, maka kita mendapat kesimpulan, bahwa kedudukan janda adalah kuat walaupun bukan ahli waris, ia terjamin oleh hak-hak itu tadi. Berhubung dengan pertumbuhan hidup keluarga dan hubungan antara satu sama lain bertambah lama bertambah erat dan mengigat peranan serta aktifitas ibu di dalam rumah tangga dalm beberapa putusan kasasi mahkamah agung pada tahun sekitar 60 han, diambil suatu langkah baru yang berani. Atas logika dan penilaian terhadap factor-faktor perkembangan baru, telah diputuskan memberi garis hukum baru, sebagai kelanjutan atau uitbouw atau pertumbuhan keadaan yang sebenarnya, serta hidup didalam kesadaran hokum( rechtsbewustzijn ) rakyat, dan ditetapkan bahwa: Janda adalah ahli waris dari suaminya, demikian dalam putusan Kasasi dari mahkamah agung RI no: 110 k/sip/1960dan didalam keputusan lain, yang terdapat didalam buku kumpulan putusan mahkamah Agung mengenai hukum adat oleh Subekti Patut diperhatikan bahwa ada dua syarat untuk janda guna mendapatkan kedudukan sebagai ahli waris antara lain: 1. Janda harus lama hidup bersama dan mengikuti suka duka dalam keluarga 2. Janda, sesdah suami meninggal tidak menunjukan sikap atau cenderung memutuskan hubungan dengan suami, juga tidak segera kawin lagi atau pada umumnya tidak melantarkan anak-anaknya( perhatikan pendirian Prof. Bertling, yang dapat ditarik sebagai analogidalam majalah T 150, yang mengutarakan hokum waris yang berlaku mengenai harta keluarga ditanah jawa). Dalm hubungan ini, patut kita catat tentang kedudukan anak tiri,anak angkat didalam hukum adat yang juga merupakan anggota keluarga, tetapi bukan ahli waris. Nyata bahwa ia sejak kecil, hidup bersama dan telah mengalami suka dan duka dalam keluarga berhubung dengan itu sebagai seorang anggota rumah tangga, ia mendapat bagian tertentu dari harta peninggalan.( halitupun dibahas dalam buku Supomo hukum adat prifat di jawabarat 1933, telah diterjemahkan oleh nani Soewondo 1969 lihat halaman 121) dalam hubungan hak-hak waris janda, anak tiri dan anak angkat patut dicatat tentang perbedaan pandangan,perbedaan sikap hidup, atau lebih jauh perbedaan dalam kebudayaan dalam arti seluas-luasnya. Perbedaan filsapat hidup antara hukum adapt dan hukum barat. Sebagaimana diketahuhi dengan hak-hak ahli waris yang didapat seorang janda anak tiri dan anak angkat ternyata bahwa hukum adat pada dasarnya menilai tinggi dan positif terhadap kenyataan, terhadap factor-faktor tempat,waktu,hubungan keluarga dan lain-lain. Lainhalnya dengan hukum barat lebih menitik beratkan pada daya upaya logika saja atau logis analitis seperti yang pernah dikemukakan oleh Prof. E.M. Meijers, tentang rechtsdogmatiek atau dogmatik hukum. Ia berkata bahwa: rechtsdogmatiek is de bear beiding der rechtsvoorrschriften en rechtsbeginselen uitsluitend met behulp van de wettender logika Yang artinya lebih kurang adalah : bahwa dogmatic hukum adalah daya upaya dan analisa terhadap peraturan hukum dan asas-asas hukum semata-mata mempergunakan sebagai alat logika, jadi dengan memakai alat fikiran belaka. Logis dalam hubungan sebab akibat, lepas dari kenyataan caussaalegenetis, tanpa menilai dan memperhatikan kenyataan serta kepentingan-kepentingan yang betul-betul ada seperti : Janda yang telah menikah dan ikut serta dalamperkawinan kurang lebih 25 tahun, (waktu) atau: turu kemana kemana dalam perjuangan dan pula merasakan pahit getir hal hal selama dalam perkawinan (temapat).maka karena itu, hakim yang harus memutusakn perkara perkara adapt, harus selalu ingat akan kenyataan sosial dan kenyataan lain dalam kehidupan dan hukum, yang menonjol dalam suatu perkara. Kenyataan kenyataan dalam kehidupan hukum,inilah misalnya yang di benarkan oleh teori teori hijmans, Eugen ehrlich dan hermersdorp dan lain lain ahli sosiologi-hukum. Kitakembali meninjau hal waris janda di dalam masyarakat keibubapaan, terutama di jawa- yaitu dalm hubungan dangan putusan mahkamh Agung RI yang terkenal yaitu No. 359/SIP/1960, yang menunjukan suatu pandangan yang tajam dan tepat mengenai kedudukan social dan pertimbangan Mahkamah untuk 29

memberikan suatu hukum gais waktu baru , sebagai kelanjutan dari putusan putusanya yang terdahulu , yaitu sebagai mana di muat dalam buku subekti/Tamara pada halaman 48 dan57 serta 81, mengenai hakhakjanda atas barang-barang gono-gini, yaitu perkara-perkara nomor 298/1958, nomor 187/1959 dan nomor 298/1958, semuanya memutuskan tentan hak-hak janda atas bagian gono-gini yang berbunyi sebagai berikut : Perkara 1 (pada hal. 48 No.387/1958) : Menurut Hukum Adat yang berlaku di tengah, seorang janda mendaoat separo harta gono-gini. Perkara 2 pada hal. 57) : selama seorang janda belum kawin lagi, bagian-bagia gono-gini yang di pegang olehnya tidak dapat di bagi bagikan guna menjamin hidupnya. Perkara 3 (pada hal. 81) : bahwa menurut hukum adapt yang berlaku di pulau di lahirkan seorang anakpun dari suatu perkawinan dalamsuatu perkara maka isteri/janda dapat tetap menguasai barang-barang gono-gini sampai ia meninggal, atau ia kawin lagi.

Kalau di perhatiakan ketiga putusan putusan, ternyata,bahwa putusan pada tahun 1960 itu menunjukan suatu perubahan besar di dalam kedudukan dan hak seorang janda. Janda itu telah di putusakan menjadi ahli waris penuh dari suaminya (lihat subekti) kumpulan putusan Mahkamah Agung 1966, yaitu putusa kasasi No. 110 k/sip/1960). Kalaupun sang janda mempunyai seorang anak perlu menjadi perhatian kita bahwa di samping sebagai ahli wari penuh dan tidak di bagi harta gono-gini itu, seorang janda perlu menguasai seluruh peninggalan , demi keutuhan keluarga tersebut di bawah pimpinan seoarang janda. Fikiran ini kita anggap wajar, mengingat kehidupan keluarga didalam masyarakat kita sekarang, ibu telah bertindak sederarajat dengan ayah dan mempunyai kedudukan yang sederajat dalam hukum dan masyarakat. Kita mengganggap fikiran ini sebagai uitbouw atau pertumbuhan dari putusan No 187/1959 dan lain-lain tersebut tadi. Putusan mahkamah agung ini, yaitu putusan yang menetapkan janda sebagai ahli waris, sesuai dengan teori Paul Scholtens, bahwa hakim seyogyanya patut menemukan hukum ( rechtsvinding ), sebagai suatu jalan tengah dari keadaan saling bertentangan, yaitu hakim secara wajar menempatkan dirinya pada pihak sebagai pencipta hukum atau rechtsschepping, dilain pihak sebagai pelaksana hukum atau rechtstoepassing. Juga supomo mengutip Djojo-tirto dalam het adatprivaatrecht van Middel Java, bahwa wajib diadakan pembagian antara janda dan anak kalau akan kawin lagi. 3) Tentang kedudukan anak angkat dan anak tiri Tentang hal anak angkat Pada keluarga dijawa atau pada orang sunda di jawa barat, kedudukan anak pungut berbeda dari kedudukan anak-anak yang diadopsi menurut hukum adat, lajim dilakukan dengan terang dan tunai. Sebagai kita ketahui dari pelajaran-pelajaran yang telah lalu, menurut hukum adopsi misalnya di bali, mengangkat anak adalah suatu perbuatan tunai, anak tersebut di lepaskan dari pertalian keluarga.asalnya. sehingga dalam kedudukan baru anak tersebut mempunyai kedudukan sebagai anak kandung, seraya meneruskan keturunan dan menjadi ahli waris. Tetapi dijawa anak pungut tidak berubah kedudukannya karena tidak memutuskan tali keluarga yang semula. Anak - anak itu dipungut sebagai anak untuk berbagai alas an, mungkin pula kadang-kadang untuk mendapatkan anak sendiri. Jadi anak pungut itu berpungsi sebagai pemancing. Mungkin pula dimaksud untuk mendapat tenaga kerja bagi kepentingan keluarga. Kadang-kadang anak pungut itu berasal dari lingkungan keluarga itu sendiri, jadi masih mempunyai hubungan darah. Hubungan ini tidak membawa konsekuensi terhadap keluarga tersebut Beberapa putusan dari beberapa pengadilan sebelum perang dunia II ( lihatlah antara lain supomo babbab hukum adat, hal 84 dan sterusnya ) anak anak tersebut berhak mendapat sebagian dari gono-gini atau 30

mendapat nafkah untuk mulai suatu usaha pilihannya sendiri juga Prof. Baert ling menulis tentang anak angkat itu didalam karangan nya rechten nopens gezinsvermogen naar de op java geldende adat yaitu hak hak mengenai harta benda keluarga menurut hukum adat di jawa mengatakan bahwa anak angkat adalah bukan ahli waris terhadap orang tua yang mengangkat, melainkan ia mendapat keuntungan atau hasil sebagai anggota rumah tangga. Juga setelah orang tua angkat meninggal dunia, hak tersebut berjalan terus dan harus dipenuhi, walaupun bagian gono-gini tidak mencukupi dari harta yang harus diberkan, andai kata orang tua angkat mempunyai anak kandung. Pernah suatu kejadian di putusankan oleh pengadilan negri dimalang, bahwa pewarisan pada anak angkat dapat dicabut jika ia bersikap dan perbuatannya dianggap memutuskan pertalian tanpa alas an-alasan pasti tehadap tali hubungan keluarga angkat, sebab menurut putusan itu, anak angkat wajib menghormati dan menolong orang tua kandung ( lihat supomo bab bab tentang hukum adapt, 1958,hal.85 ). Kedudukan sebagai anak angkat sepanjang putusan yang telah lalu, juga dibenarkan oleh jojotirta dalam het adapt recht van middle java, bahwa( anak angkat itu minum dari dua sumber , yang dimaksud ialah disamping ia berhak menerima bagiaan dari harta gono-gini orang tua angkat kedudukan terhadap orang tua kandung tidak putus, bahkan tetap menjadi ahli waris orang tua asal sendiri. Tentang hak anak tiri Berhubung dengan kedudukan anak angkat, patut dibicarakan tentang kedudukan anak tiri. Karena kenyataan menjadi anggota rumah tangga, didasarkan kepada hidup bersama,mengikuti suka dalam keluarga dengan ibu kandung dan bapak tiri atau sebaliknya. Apa yang dilukiskan oleh Prof. Bertling, dalam karangannya : rechten nopens gezinsvermogen naar de op java geldende adat yang dimuat dalam majalah T. 150, bahwa anak tiri membawa pada dirinya samenarbeid en vlijt yaitu suka duka dalam rumah tangga. Hukum tentang harta keluarga menurut hukum adat yang berlaku dijawa, adalah sebagai berikut : antara lain beliau berpendiriaan,hidup bersama dalam satu rumah tangga membawa anak angkat pada kewajiban kewajiban tertentu antara satu sama lain. Walaupun diakui terhadap waris dari salah seorang, orang tuanya itu dan bukan ahli waris terhadap orang tua tirinya, namun hanya sebagai anggota rumah tangga itulah kenyataannya. Oleh karena itu beberapa keputusan Pengadilan Negri, lihat Soepomo Bab bab tentang hukum adat, 1958 halaman 86 dan seterusnya seblum perang dunia ke II memberi pelajaran,bahwa anak ttiri tidak berhak atas warisan bapak tirinya, tetapi ia ikut mendapat penghasilan dari bagian harta peninggalan bapak tirinya yang di berikan kepada ibunya sebagai nafkah janda. Demikian juga supomo menulis tentang Jawa-Barat pada halaman 121 (yang diterjemahkan oleh Nani Suwondo 1969) menunjukan adanya suatu gezinsverband atau pertalian keluarga antara anak tiri dan bapak tiri dalam suatu rumah tangga. Namun berdasarkan teori umum dalam hukum adapt, hubungan nyata itu memberi alas an akan sesuatu hak tertentu bagi anak tiri, adalah adapt, lazim,pantas,adil(ius incausapositum). Berlainan sekali pandangan teori hukum di Barat, yang lebih mementingkan hak-hak tertentu berdasarkan dogmatic hukum, logis seperti seharusnya, tetapi tak sesuai dengan kenyataan. Maka di dalam hukum adapt selalu harus di cari synthese antara sitem hukum yang abstrak logis dogmatis analistis perhitungan diatas kertas dalam otak dengan kenyataan sosial, kepentingan yang tumbuh berhubng dengan waktu dan hubungan huungan nyata. Maka sewajarnya sebagai hakim, kita melihat tugas kewajiban terletak dihadapan kita, senantiasa berdasarkan pda adagium : Lihat Kenyataan.

4) Tentang kedudukan hak waris selain anak

31

Beberapa hal yang patut kita sebut ialah hak waris orang orang selain anak, yaitu anak anak yang diangkat berdasarkan hukum adat yang terjadi di duni adopsi, dan oaring-orang yang karena meniggal lebih dahulu memberikan jalan, bahwa hak warisnya jatuh kepada anak/cucunya. Selanjutnya berdasarkanhk keturunan dimasing-masing daerah adapt, berbeda lagi tentang siapa yang berhak sebagai ahli waris. Hak waris selain anak 1. kita telah mengetahui dari pelajaran pelajaran diatas, apabila seseorang meninggal dunia, mka anak ahli waris yang sah. 2. harta peninggalan dapat pula jatuh pada janda serta anak angkat, malahan mungkin pula anak tiri sebagai anggota rumah tanggayang ditinggalkan si pewari. 3. apabila tidak ada anak, maka orang tua yang meniggal behak atas warisan. Demikian putusan Kamar III Raad van Justitle Jakarta 1939. selain yang dituntut oleh janda, anak angkat dan anak tiri, bila tidak ada anak maka harta warisan pulang kembali setingkat dalm silsilah yang meninggal dan jatuh pada keturunan dari seorang yang terdapat pada tingkat itu lihat halaman Asas-asas aan susunan halaman 212apabila pada tingkat tersebut tidak ada keturunan, maka harta benda jatuh pada orang tua setingkat lebih atas dan seterusnya 4. angkatan yang tertua yang masih hidup, berarti menutup garis angkatan yang lebih muda dan juga dalam tingkatan-tingkatan dasar penggantian waris berlaku juga 5. apabila orang tua telah meninggal, maka saudara laki-laki dan perempuan menggantikan mereka, tetapi saudaranya ini tidak mempunyai hak waris selama orang tuanya masih hidup. Lihat Putusan Kamar III Raad van Justitie 1939 dalam T. 150. Keterangan : Kmar III adalah dewan Hakim dan Raad van Justitie, mengadili pada tingkat banding untuk perkara perkara adat, sedang tingkat pertamanya adalah peradilan adat berdasrkan S.1932 No.80, yaitu di daerah luar pulau jawa pada daerah-daerah yang langsung dikuasai rechtstreeks bestuurd gebied Kamar I Rvj adalah untuk mengadili perkara perdata untuk belanda, sedang kamar ke II- adalah untuk perkara pidana untuk oaring belanda. Kamar ke III- dari Rvj itu pernah memutuskan suatu garis baru, bahwa ibu sebagai ahli waris bila anaknya meninggal lebih dulu berhak atas peninggalan anak itu, dengan menutup anggota keluarga dalam silsilah kesamping. Hal ini analogis sesuai dengan hal yang telah kita sebut dalam No. 3 diatas tadi Apabila yang meninggal meninggalkan anak, sesuai dengan No I diatas, maka orang tua yang meninggal tidak berhak atas harta peninggalan. Untuk melemahkan pendirian ini, maka Landrad Purworwjo pada tahun 1938 ( lihat T. 148 ) dikutip Supomo dalam buku Bab-Bab tentang hukum adat , telah memutuskan : bahwa antara keluarga dlam silsilah keatas dan kesamping, wajib untuk saling memberi nafkah, jika bantuan nafkah itu diperlukan ( Alimentatie plicht ) Didalam hukum keibuan, andai kata seorang ibu meninggal, maka ahli waris pada tingkat I anak perempuan nya dan anak perempuan dari anak perempuan itu,cucunya. Tetapi kalau tidakmempunyai anak, maka ibu dari anak perempuan itu, berikut anak-anaknya perempuan yang lain dari iu tersebut. 32

Tetapi andai kata seorang bapa meninggal, maka dasarnya adalah ibu sebagai ahli waris dan bukan anakanaknya. Selanjutnya para keturunan ibu itu, sesuai dengan system ke-ibu-an tersebut, satu dan lain soal ini akan kita tanjukan tentang perubahan mengenai Hukum Waris di minagkabau, telah berlangsung 50 tahu terakhir ini, dengan kasus dr Mochtar, yang diputuskan oleh Landrad Padang pada tahun 0928 4. TENTANG HUTANG PIUTANG WARIS. Sepatah kata perlu lagi kita bicarakan tentang Hutang Piutang dan biaya penguburan yang bersangkutan dengan kematian. Harta peninggalan yang meninggal harus dipakai untuk menyelenggarakan Upacara Mayat dan penguburannya. Demikian ditegaskan oleh Supomo Jawa Barat halaman 10 dan oleh Djojo-Tira. Jawa Tengah halaman 97 dan diulangi ter Haar dalam bukunya yang terkenal asas-asas dan susunan; kita menyimpulkan sebagai beikut : 1. kewajiban menyelenggarakan upacara mayat dan penguburan adalah penting, hingga seorang ahli waris, ( anak ) tanpa setahu ahli waris lain, dapat menjual suatu bagian dari harta ahli waris untuk membiayai suatu penguburan, lihat putusan Landrad Purworejo 1935; 2. pembayaran hutang dan keperluan ongkos penguburan harus dilakukan, sebelum Harta Peniniggalan dibagi-bagi; jadi biaya kematian hrus dibayar lebih dahulu. 3. kewajiban menyelenggarakan penguburan, andaikata diselenggarakan oleh seorang bukan ahli waris, maka dia berhak mengamil sebagian dari Harta Peniniggalan si mati sesuai dengan pengeluarannya; demikian Djojo Tirta dalam Jawa Tengah-nya dan Supomo Tentang Hukum Waris adat di kota Jakarta, tanggung jawab ahli waris tentang Hutang Pewaris, menurut hukum adat di Indonesia terdapat dua macam pendirian : 1. Di daerah Batak, Dayak dan Bali, para ahli waris wajib membayar hutang pewaris dengan syarat yang berpiutang/penagih memberitahukan kepada ahli waris, dam hukum adat : 4 hari setelah si pewaris meninggal atau di Bali pada waktu nyakoh 2 Di Jawa, Hutang Piutang pewaris dapat digunakan membayar Hutang Piutangnya, mendahului pembagian Harta Waris. Maka dalam hubungan ini, dua hal patut diperhatikan: a. Negatif adalah: Ahli Waris tak dapat dituntut membayar kekurangan hutang si pewaris. b.Fositif adalah : seperti yang kita kenal dalm putusan pengadilan Purworejo yang berbunyi, bahwa Ahli Waris bertanggung jawab atas hutang si pewaris, sepanjang/sekedar kesanggupan para Ahli Waris dan atau kesanggupan harta warisannya Tetapi menurut Djojo-Tirta, seringkali Ahli Waris membayar juga kekuragan piutang dari yang meniggal, untuk tidak memberatkan si mati di akhirat.

5. TENTANG PERUBAHAN HUKUM WARIS DI MINANGKABAU Ada beberapa fakta yang harus kita ketahui lebih dahulu, untuk mengetahui perubahan tentang Hukum Waris di minagkabau, yaitu : a. Bahwa Minangkabau adalah suatu masyarakat dengan keibuan,berartu bahwa anggota masyarakat ini menarik garis keturunan dri ibu dan memandang serta menyelesaikan masalah-masalah keluarga,dan social,semata-mata dari segi ibu atau perempuan.

33

2. System perkawinannya sesuai dengan keibuannya tadi, adalah kawin eksogami Semendo, seorang laki-laki dating dijapui kerumah perempuan , bertamu disitu, tetapi ia tetap anggota klan ibunya darimana ia berasal. Bekerja ditempat ibu dan saudara-saudara perempuannya dan sebagian besar ia ada di tempat tersebut dan tetap betanggungjawab atas sukunya itu. Maka didalam bentuk-bentuk perkawinannya yang kita kenal dan memang sesuai dengan struktur unilateral keibuan itu, adalh pertama kawin bertandang sebagai bentuk in origin; tahap berikutnya sesuai dengan perkembangan adalah kawin menetap,sang suami lebih banyak berada dalam lingkungan istrinya,bekerja /berusaha dilingkungan tersebut,mendapat nafkahnya termasuk untuk anak istrinya;malahan disini mulai berbentuk dan terbina secara lambat laun suatu harta bersama, harta keluarga;dan tahap ketiga adalah kawin Bebas, merupakan bentuk perkawinan paling baru sesuai dengan perkembangan masyaraka.berhubung dengan perantauan, pendidikan lalulintas serta ekonomi yang lebih maji. Banyak dilakukan dikota-kota, lebihlebih dikota-kota pelabuhan dan industri. Pertumbuhan dan perubahan inilah patut menjadi perhatian kita. Sangat penting adalah mengetahui factor-faktor penyebab dalam masyarakat sehingga pertumbuhan itu terjadi,baik berupa tenaga, dari dalam maupun tenga kuat yang berpengaruh dari luar. 3. Maka dalam sitem pewarisan, masyarakat unilateral keibuan, kawin semedo itu, adalh pokok sangat penting Harta Pusaka yang merupakan kesatuan harta turun-temurun,dan dimiliki secara bersama tak terbagi-bagi, kolektif dimiliki dan dimanfaatkan bagi kesejahteraan material suku-famili-seluruh kalan separui;kalaupun terlihat pembagian,maka itu adalah berbagai dalam pemakaiannya, hak pakai yang dibagi bukan hak miliknya. Adalagi suatu pembagian, yaitu hal pembagian harta pencaharian dan harta suarang, yaitu pembagian menurut silsilah keturunan dan menurut kelompok-kelompok berdasarkan garis keibuan. Urutan-urutan itu dalam keluarga adalah sebagai berikut : a. bila dalam keadaan atau tingkat kawin bertandang dan kawin menetap, seorang suami meninggal, yang menjadi Ahli Waris adalah : lihat gambar di bawah ini :

Suami yang meninggalkan b.Bila yang meninggal, maka yang menjadi ahli waris utama adalah anak anak yang perempuan berikut keturunannya lihat gambar di bawah ini :

34

lihat gambar di bawah ini

. c. bila pada tingkat kawin menetap, dan telah terbentuk harta bersama atau harta suarang, adalah ddi beratkan pada isteri dan anak anaknya. Sedan ibi dari suami tg meninggal, saudara-saudara permuan dan keturunannya tidak lagi menuntut.maksu kata tidak lagi, menunjuakan bahwa pada keturunan menurut garis perempuan dari yang mati itu sebenarnya atau pada hakekatnya mempunyai hak, berhubung dengan sistem keibiuan asli. Bila juga mereka melakukan penuntutan, menurut ajaran atau adagium falam Hukum Adat yang menilai positif terhadap kenyataan social dan perkembengan yang menunjuakan perubahan-perubahan dan pertmbuhan-pertumbuhan, Hakim akan mengutuskan tidak mengabulkan tuntutan itu. Dalam hubungan ini, marilah memusatkan atu memperhatikan secara khusus : kasus Dr. mochtar, yang terjadi oada 1928 di Padang. Kasus Dr. Mochtar

Dr. Mochtar , seorang dokter dari minangkabau bertugas sbagai dokter Perlak/Aceh pada Perusahaan Minyak BPM dan mmpunyai sejumlah uang simpanan pada ponds BPM. Sedang dalam prjalanan (cuti) ke daerah asalnya, ia meninggal dunia. Kerabat Dr. Mochtar yang tinggal di kampong merupakan anggota keluarga menurut garis keibuan kesamping dan kebawah tingtkat ke lima, kini menggugat bahewa menurut Hukum Adat Minang kabau mereka berhak atas warisan Dr. Mochtar. Tetapi sebaliknya Dr. Mochtar telah membuat suatu Akte Notaris berupa suarat wasiat , (amanat) yang menyebutkan Harta peninggalannya di berikan kepada isteri dan anak-anaknya. Berhubung ada dua pihak sling memperebutkan harta kekeyaan itu maka direksi BPM terlah menempuh suatu garis kebijaksanaan minta advis kepada prof. ter Haar di Batavia agar anak anak Dr. Mochtar memiliki harta peninggalan tersebut. Prof. ter Har mempertimbangkan faktor-faktor sebagai brikut : 1. akhir-akhir ini, sejak seratus yahun yang lau sampai tahun 1928, di daerah-daerah telah terlihat hubungan yang bertambh erat antara ayah dan anak , dengan mengorbankan dan mengesampingkan hubungan yang biasa antara seorang laki-laki dengan sanak keluarga menurut garis ibu: jadi ada gezinsverben atau hubungan keluarga yang erat anatara orang tua dan anak ; 2. di dalam hal yang khusus atau lebih khusus lagi, maka di daerah-daerah di mana ayah, ibu, dan anak telah bertmpat tinggal bersama-bersam di dalam hidup kekeluargaan. 3. khususnya lagi, di dalam hal keadaan tersebut tejadi di dalam lingkungan orang-orang yang kuat kedudukan ekonomis dan terkemuka(terdidik). 35

4. istimewa lagi, penaruh pada perantau-prantau orang Minangkabau, yang di pandang dari sudut Adat Minangkabau akan lebui di pengaruhi oleh hal-hal yang bersifat bukan garis keturunan ibi, tenu sanagat kuat di daera-daerah lain. Di tambah pula pengaruh hubungan-hubungan ekonomi yang menuntut agar ayah, bukan famili dari garis ibinya yang memperhatiakan dan memelihara anak anak bagi keperluan pendidukanya. 6. pada hakekatmya, proses ini lebih di dorong dan di perkuat lagi, jika di perhatikan bahwa di daerah tempat asalnya, Dr. Mochtar tak mempunyai lagi a(anggota kerabat yang dekat,kecuali beberapa orang misanan dari derajat ke lima atau ke tujuh, sedang yang bersangkutan sendiri yaitu b) Dr. Mochtar , telah sejak umur dua tahun di didik oleh orang lain.

Berhubung dengan hal-hal tersebut di atas, tak dapat di ragukan, bahwa anak anak Dr. Mochtar beserta isterinya berhak atas sejumlah uang yang di simpan pada perusahaan BPM tersebut. Dan seyiap hakim yang bertugas menerapkan Hukum Adat perlu perhutingan faktor-faktor perkembangan di dalam masyarakat dalam hal-hal yang khusus memperhatikan pula hal-hal indipidualyangmenonjol(kenyataan,demirasakeadilanbagiperibadiperibadi(persoonpersoon)tgbersa ngkutan. Perihal perubahan-perubahan dalam Hukum Waris di Minangkabau, sperti yang di gambarkan tentang kasus Dr. Mochtar ini, kita dapat meneliti lebih lanjut di dalam uraian naschriften dari prof. ter HAr yang di bukukan oleh Prof. Dr . Mr. supomo pada halaman 158 dan seterusnya, yang terdapat dalam T. 131 Hal.92-100.

BAB IV HUKUM PIDANA ADAT

36

Kita telah mengetahui dalam pelajaran-pelajaran yang lalu, bahwa beberapa segi sfat masyarakat hukum adat berbeda dari masyarakat yang ada di kota-kota yang penting ( dalam hubungan tersebut ) untuk di ketahui adalah bahwa masyarakat hukum adat kuat sifat atau alam fikifan komunalisme dan relgo magis (kosmis): hal ini menjadi hal penting karena menjadi latar belakang kemasyarakatan, tempat hukum pidan adapt itu berperan. Alam fikiran dalam masyarakat hukum yang demikian, memandang segala-galanya kehidupan ini sebagai kesatuan homogen, di mana kedudukan manusia adalah sentral. Manusia merupakan sebagian darri alam besar(kosmos), tidak terpisah dari dunia lahir dan dunia gaib dan malahan tepadu dengan alam hewan dan tumguh-tumbuhan, lebih-lebih dengan masyarakat nya sendiri sebagai satu kkesatuan ; jadi segala sesuatu bercampur baur bersangkut paut serta saling pengaru mempengaruhi satu sama lain semuany berada dalam suatu keseimbangan dan senantiasa harus di jaga , dan jika suatu saat terganggu harus di pulihkan. Dalam hubungan ini, kita memproyeksikan delik-delik Hukum Adat dengan alam fikiran yang kosmis-komunalistis itu, alam fikiran iini merupakan latar belakang delik Hukum Adat yn berlaku dalam masyarakat Hukum Adat di Indonesia. Di dalam hl fikiran tradisional itu, senan tiasa masyarakat hukum atau perseakutuan sebagai suatu keselamatan didahulukan atau dipentingkan juga pemeliharaan hukum harus mementingkan persekutuan lebih dari orang-orang tertentu secara individual ada orang-orang tertentu di dalam Hukum Adat adat adalah disebabkan oleh kedudukan di dalam masyarakat, jadi bertambah penting kedudukan seorang di dalam masyarakat, lebih penting pula arti orang itu sebagai subyek hukum di dalam masyarakat tersebut. Minangkabau menjaga keseimbangan dan bila terancam atau tersinggung perlu memulihkan keseimbangan itu sehingga dengan demikian dapat di patahkan bahwa delik adaptat adalh suatu perbuatan sepihak dari seorang atau kumpulan perorangan, mengancam atau menyinggung atu mengganggu keseimbangan dalam kehidupan persekutuan, bersipat material atau immaterial, terhadap orang seorang atau terhadap masyarakat berupa kesatuan. Tindakan atau perbuatan yang demikian mengakibatkan suatu reaksi adat yang dipercayainya dapat meamulihkan keseimbangan yang telah terganggu antara lain dengan jalan berbagai carea dengan pembayaran adapt berupa barang,uang, mengadakan selamatan,memotong hewan besar/kecil dan lain-lain.(Supomo bab-bab tentang Hukum Adat, 1958 ), sebagai mana lajimnya dalam masyarakat Hukum Adat (hukum tidak tertulis), dapat diambil kesimpulan bahwa : bilamana dan apa unsurnya untuk tampil suatu delik adat sukar ditemukan. Sangat tergantung dari representations collectives ( menurut ajaran levy bruhl ) alam fikiran dalam masyarakat, selalu bersifat partisipasi dan analisa ( partisiferend en analiserend ). Berhubung dengan ini Supomo mengatakan, di dalam Hukum Adat tidak ada system raeexistente regels, berarti bahwa Hukum Adat tidak mengenal system pelanggaran atau perbuatan kejahatan yang telah di tetapkan lebihdulu, untuk dapat dikenakan hukuman atau tindakan balasan atau perbuatan pengembalian keseimbangan. Jadi tidak mengenal pasal 1 KUHP, tetapi KUHP nya adalah : seluruh kehidupan ini di dalam totalitasnya, yaitu seluruh lapangan kehidupan menjadi buku terbuka yang memuat hal apa yang dilarang dan hal apa yang di perbolehkan. Hanya ter Haar menambahkan, alas an-alasan untuk gangguan-gangguan keseimbangan serta pemulihan keseimbangan, banyak di tentukan oleh suatu unsur yang sangat pribadi sifatnya, yaitu unsur merasa malu suatu unsure tersinggung perasaannya, sehingga malu seperti rasa tidak enak, rasa amarah, rasa balasdendam darior yang terkena di satu pihak terhadap orang yang menyinggung, baik berdasarkan kelalaian atau sengaja dilain pihak. Perselisihan, perenggangan dan kebencian, antara dua orang anggota, melemahkan masyarakat hukum suatu persekutuan, sehingga hubungan yang baik harus dipulihkan kembali, rasa dendam harus dipulihkan demi kepentingan masyarakat. Yang merasa tersinggung harus diberi ganti rugi. Di sini kita

37

melihat, bahwa motif pribadi dan motif masyarakat suatu persekutuan bercampur aduk satu sama lain dan bergabung menjadi satu. Berhubung dengan tidak adanya praeexistente regles seperti tersebut diatas dan bercampurnya motif pribadi dan motif persekutuan satu samalain, Maka seluruh lapangan kehidupan menjadi batu ujian tentang apa yang di larang dan tentang apa yang diperbolehkan tiap-tiap perbuatan situasi suatu yang tidak selaras atau yang memperkosa terhadap keselamatan masyarakat. Keselamatan golongan, famili atau keselamatan sesama anggota masyarakat, dapat merupakan pelanggaran hukum atau suatu perbuatan yang tadinya tidak merupakan delik adat pada suatu waktu dapat dianggap oleh hakim satu atau kepala adat sebagai perbuatan menentang tata tertib di dalam masyarakat, sehingga di anggap perlu seketika menentukan reaksi adat guna memulihkan hukum ( juga di dalam arti religio magis kosmis ). Dengan kejadian sekali ini membuka kesempatan atau momen, bahwa perbuatan tersebut dicap sebagai suatu delik adat yang baru dan di dalam kedudukan serupa, setiapkali di beri putusan yang serupa pula. Dengan demikian tiap-tiap perbuatan dalam tiaptiap peristiwa harus dinilai ( di dalam system Hukum Adat ) apakah sesuai dng kedudukan saat terjadinya perbuatan itu. Peristiwa ysb dapat dianggap melanggar hukum , meskipun tidak adat norma umum, yang free existens yang meng hukum perbuatan itu. Setelah kita mengetahui sifat-sifat dan corak hukum delik hidup, Minangkabau kita secara fositif dapat mengadakan kategorisasi tentang beberapa jenis delik, umumnya di kenal did lam hukum adapt, yang di dalam buku Van-vollenhoven jilid II halaman 750 dan seterusnya, yang kemudian di kutip oleh Supomo ada beberapa jenis delik tertentu yang merupakan delik yang paling berat ialah : pelanggaran atas keseimbangan antara dan lahir dan dunia gaib ( Bab-Bab tentang Hukum Adat 1958). (1). Perbuatan penghianatan, suatu contoh yang memperkosa keselamatan masyarakat dalam arti sebenarnya dan sekaligus di nilai sebagai perbuatan menentang kehidupan bersama. (2) membuka rahasia masyarakat atau sekongkol dengan golongan musuh. Termasuk delik penghianatan dan merupakan delik yang berat. Tidak jarang reaksi adalah hukuman mati., hal ini di kenal Hukum Adat suku-suku dayak,buru,timor, beberapa pulau di Maluku. (3) perbuatan mengadakan pembakaran, sehingga memusnahkan rumah-rumah adalah menentang keselamatan masyarakat dan merusak keseimbangan yang tiada tara, orang yang melakukan, di keluarkan dari persekutuan dapat dibunuh atau dibuang seumur hidup. (4) perbuatan menghina secara pribadi terhadap kepala adat ( kepala suku atau raja ) dianggap melibatkan atau merusak keseimbangan masyarakat, oleh karena kepala adatadalah symbol penjelmaan dari masyarakat itu sendiri. Di Minangkabau di sebut dago di batak di sebut dengan istilah tidak memenuhi perintah raja di seluruh Indonesia melakukan perbuatan tidak sopan terhadap kepala adat (pemimpin ) adalah : suatu pelanggaran hukum ;berat atau ringan ( hukuman ) adalah tergantung pada keadaan setempat. Dalam keadaan yang ringan, Maka hukumannyapun minta maaf kepada yang terkena, dilakukan di hadapan umum dengan upacara seperti : mengadakan pearjamuan, selamatan dan lain-lain. Kemudian adat satu delik yang tidak terdapat di dalam KUHP, adalah (5) perbuatan sihir atau tenung, di dalam system Hukum Adat di golongkan dalam delik yang berat, karena merupakan perbuatan yang mencelakakan masyarakat.tidak jarang perbuatan itu di hukum dengan hukuman mati, kadang-kadang dengan jalan di cekik atau di benamkan dalam aiar sehingga dia mati. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa segala perbuatan atau kejadian yang mengganggu keselamatan dan keseimbangan masyarakat, secara lahir dan batin, segala perbuatan yang mencemarkan masyarakat, di dalam Hukum Adat merupakan delik yang berat dimana-mana di seluruh Indonesia. Juga delik yang berat adalah yang kita kenal dengan istilah (6) incest yang berarti 4 macam yaitu: a. suatu hubungan sexual antara dua orang yang menurut Hukum Adat tidak boleh melakukan perkawinan, karena : pelanggaran terhadap edsogami. 38

b. pelanggaran terhadap hubungan darah yang terlalu dekan menurut ukuran Hukum Adat c. suatu hubungan sexual antara dua orang yang berlainan kasta misalnya : wanita brahmana kawin dengan pria sudra ( Bali ) d. hubungan sumbang antara orang tua dan anak nya sungguhpun jarang terjadi tetapi kadangkala terdapat di dalam masyarakat. Inipun termasuk delik paling berat, dan hukumnya hamper selalu hukuman mati, di lakukan oleh rakyat dengan atau tidak dengan setahu kepala adat yang paling ringan adalah : masing-masing di asingkan dari masyarakat Minangkabau di sebut dibuang bida , demikian pula terdapat pada orang Dayak, Bugis, Bali dan Ambon. Selain kedua macam hukuman tadi, di beberapa daerah dari pihak keluarga yang bersangkutan, di haruskan oleh kepala adat melakukan upacara membersihkan kampong halaman orang dayak menyebutnya membersihkan matahari dan bulan. Atau membersihkan tanah dan air pada orang batak, membasuh dusun ( palembang Sumatra selatan ) bentuk pembersihan mungkin penyembelihan kerbau dan lembu kemudian di hidangkan di hadapan kepala adat dib alai desa dan di persembahkan oleh family yang bersangkutan. Kemudian ada delik menentang kepentingan hukum masyarakat dari family yaitu ( 7 ) hamil diluar perkawinan. Dalam hubungan ini dalam pelajaran Hukum Adat yang lalu kita mengenal : kawin paksa dan kawin darurat ( lihatlah halaman 31 ) berupa bentuk-bentuk perkawinan untuk menaggulangi keadaan yang luar biasa, karena bila tidak demikian pad beberapa suku anatara lain Bugis perempuan di bunuh oleh keluarga nya sendiri. Bila dia sempat melarikan diri ke rumah raja atau kepala adapt,di usahakan supaya dia kawin dengan orang tertentu agar supaya anak yang akan lahir itu berada dalam setatus perkawinan, mempunyai berarti terang. Di Sumatra Selatan dan Jawa, kerapkali diusahakan mengawinkan perempuan dengan laki-laki yang menyebabkan hamil atau bila dia tidak mengakui anak dalam kandungan atau orangnya tdk di jumpai, maka di kawinkan dengan siapa saja yang bersedia mengawininya Dr. Lubling weddik dalam desertasinya het adatdelictenrecht in de Palembangsche rapat-marga rechtspraak hukum delik adat pada peradilan rapat marga Palembang , 1939, memberitahu bahwa adat empat macam gejala adat hukuman yang di jatuhkan berupa : denda dan membasuh dusun. Bila peradilan memutuskan supaya laki-laki yang bersangkutan mengawini gadis tersebut, bila tidak sanggup atau dia tidak bersedia dia tetap harus memberi Uang penyingsingan pihak yang terkena menurut Lubling weddik istilah mengadakan hubungan sex diluar perkawinan dan kemudian hamil adalah bergubalan yang di katagorikan ke dalam empat macam yaitu : 1, bujang dan gadis bergubalan kemudian hamil 2. janda bergubalan kemudian hamil. 3. laki-laki berjina dengan gadis ( janda ) tidak hamil. 4. hamil gelap. Dan atas semua delik ini rapat marga menjatuhkan hukuman denda dan membasuh dusun,. Di aceh ada suatu kebiasaan walaupun menurut adat perempuan itu harus di bunuh, namun di dalam banyak hal kepala adat menghukunnya dengan denda dan memerintahkan pengguguran biyi itu Delik lain yang erat dengan delik di atas, adalah melarikan seorang perempuan ( schaking ) juga di anggap delik yang berat terutama pada suku bugis dan makasar. Delik inipun mengakibatkan timbulnya delik lain yaitu sebagai akibat di larikannya seorang perempuan itu. Antara keluarga dengan keluarga lain saling membunuh sangat prekuwn terjadinya. Hal ini tidak lain karena keluarga pihak 39

perempuan mendapat malu oleh perbuatan laki-laki tersebut olek karena itu mereka wajib membunuh orang yang salah itu satu-satunya jalan bagi si laki-laki untuk menolong dirinya yaitu dengan melarikan diri keistana raja rumah kepala adat atau rumah seorang pemuka agama.keluarga pihak perempuan terpaksa mmberhentikan pemburuan terhadap laki-laki itu dan pihak raja atau kepala adat wajib mendamaikan keluarga kedua belah pihak;dan bila halini tercapai, maka perkawinan dapat di langsungkan dan pihak laki-laki wajib membayar uang sunrong (= uang antara ) dan uang denda. Seperti halnya pada orang dayak,malahan disini di sertai seekor bintang kurban , di persembahkan kepada kepala adat sebagai tanda pengambilan keseimbangan yang telah di cemarkan oleh pihak lakilaki , sebagai pembasuh dusun dan berbentuk penjamuan adat. Perbuatn zinah (9) juga di golongkan ke dalam delik yang berat, yaitu perbuatan melanggar kehormatan keluarga dan kepentingan hukum dari seorang suami dan juga melanggar kepentingan umum, merusak kesucian masyarakat. Sehingga pada orang batank karena perbuatan itu harus di laksanakan pangurasion di dalam hal khusus, bila terjadi juga melarikan perempuan, bila tertangkap laki-laki yang berbuat it dapat segera di bunuh oleh pihak famili yang di hina. Masih banyak di timbulkan suatu elemente ( peringanan hukum ), jika pihak keluarga laki-laki mengajukan permohonan kepada famili yang dihina dan kepala adapt, sehingga hanya berupa denda : beberapa ekor kerbau. Pada beberapa suku Dayak, seoeang suami di perbolehkan membunuh istrinya dan laki-laki yang berjinah dengan istrinya, bila perbuatan itu tertangkap basah. Si suami yang membunuh di anggap tidak bersalah, tetapi dengan syarat dia harus memberi tahu pembunuhan itu dengan segera kepada kepala adapt. Dan sebagai imbalan dari pihak yang membunuh harus membayar uang denda pula kepada keluarga pihak laki-laki yang di bunuh nya yaitu uang bangun ( = uang pendingin hati/perasaan ). Umumnya di nusantara ini, terhadap perbuatan zinah, reaksi adat hampir hampir serupa dari Aceh Sampai Maluku dan Irian; seperti semua macam perbuatan yang melanggar kesusilaan (dalam hal hubungan seksual antara seorang laki-laki dan seorang perempuan ). Sebuah. Delik yang umum terjadi adalah (10) pembunuhan, sebagai suatu bentuk perkosaan terhadap jiwa seseorang : tetapi juga di dalam hukum adat merupakan pelanggaran/perusakan terhadap keselamatan dan keseimbangan masyarakat, dapat di berikan reaksi adat yang seberat-beratnya. Para ahli hukum pidana adat seperti yang diuraikan di dalam adat rechtbundel sependapat, walaupun system hukum adat tidak berdasar suatu individualisme /liberalisme barat, namun menganggap pembunuhan adalah suatu delik adat yang berat. Sehingga walaupun menurut KUHP si pembunuh itu harus mendapat hukuman, pihak keluarga si pembunuh harus melakukan daya upaya adat dengan jalan membayar, denda berupa hewan besar sebagai pembasuh dusun, sebab tanpa perbuatan ini, suatu kutukan yang akan dialami masyarakat adapt, dipercaya akan terus menerus terjadi, berupa bala bencana pada hari-hari yang akan datang. Ada satu perbuatan di anggap suatu delik adat pada suatu golongan/suku, pada suku lain hal tersebut adalah biasa. Seperti halnya dengan mengaakan (11) jual beli manusia ( budak belian ) antara lain pada orang dayak bukanlah suatu delik. Tetapi paa orang bugis dan Sumatera Selatan, Minangkabau merupakan suatu delik yang di anggap berat ; seperti juga halnya delik adat (12)pemenggalan kepala. Tehadap delik harta benda (13) hukum pidan adat kurang menonjolkan kedepan, karena tidak menyangkut/kurang langsung merusak kepentingan hukum masyarakat seluruhnya. Sebagaimana halnya di situ hanya tersangkut kepentingan hukum seseorang atau beberapa orang (mungkin sebuah famili/suku/tribe). Di dalam buku Dar. Vergouwen Het rechtsleven der Ttoba-Bataks menulis, bahwa di tanah batak pencurian macam-macam, namanya : - Mencuri buah-buahan di tanah ( jadi yang sudah jatuh ) di sebut mamorus. 40

- merampok orang yang sedang di jalan umum di sebut manamun, dalam bahasa Jawa begal - pencurian oleh sejumlah orang di sebut kecu. Tetapi umumnya di seluruh Nusantara menurut Hukum Adat tradisional, orang yang mencuri, di hukum membayar kembali barang-barang atau nilai barang-barang yang di curinya serta membayar denda kepada orang yang di curi barangnya. Garis-garis besar perbedaan antara hukum piana adat dengan system hukum pidana dalam KUHP. I. di dalam KUHP ditegaskan, yang dapat di pidana hanya seorang manusia;sedang di dalam hukum pidana adapt, persekutuan hukum umumnya dapat di bebani tanggung jawab pidana seperti di batak, Minangkabau, Nias, Gayo, Ambon dan lain-lain. Sebuah kampong si penjahat atau tempat terjadinya delik, dapat wajib membayar denda dan atau ganti kerugian kepada suku/famili yang telah di rugikan;demikian juga famili/suku si penjahat menaggung hukumman yang di jatuhkan atas salah seorang anggota dari suku tersebut II. DI dalam KUHP aseorang dapat di pidana karena : sengaja ( dolus/opzet ) atau khilap ( culpa/alapa ) artinya orang tersebut bertanggung jawab karena kesalahan; mwnurut van vollen hoven di dalam Hukum Adat tidak perlu cara pembuktian yang demikian, yaitu tentang adanya unsure kesengajaan atau kehilafan; seperti halnya di dalam pelanggaran hukum incest atau pencurian, di dalam hukum adat selalu dengan sengaja. Adat beberapa delik seperti pembunuhan atau melukai orang hingga luka berat, sudah terang adat unsure kesengajaan, sebaliknya delik yang mengganggu keseimbangan kehidupan batin masyarakat. Seperti melahirkan anak di sawah atau di rumah orang lain, di anggap tidak mempunyai kesalahan, tetapi merupakan delik adat yang harus di tepung tawari atau harus di lakukan upaya-upaya adat (untuk membuat keadaan menjadi biasa) III. DI dalam KUHP tiap-tiap delik yang menentang kepentingan Negara atau kepentingan umum adalah soal perorangan atau tanggung jawab perorangan tetapi menurut system Hukum Adat, delikdelik yang menyangkut kepentingan umum atau seluruh desa seseorang di dalam banyak hal menjadi persoalan bagi seseorang yang berbuat dan golongan /famili karena menyangkut kepentingan desa. Terhadap delik delik yang demikian jika tidak membahayakan kepentingan. Hukum masyarakat kepala adat akan bertindak bila diminta oleh pihak yang terkena biasanya menurut Hukum Adat di adakan usaha mendamaikan dan merukunka, demikian juga diadakan denda atau pembayaran adat terhadap pihak yang di rugika IV. Menurut KUHP di ambil sebagai dasar bahwa hanya seorang individu dapat di pidana bila ia mempunyai cukup sifat pesikis untuk betanggumg jawab. Di dalam literature terutama di daerah Minangkabau bahwa daerah itu seorang gila yang membunuh orang disamakan dengan orang yang biasa atau normal jadi gilanya se orang tidak mepengaruhi berat ringannya daya upaya yang harus dilakukan terhadap delik yang telah dilakukan oleh orang gila itu. Di bali terdapat pemberitahuan menurut Dr. v,e. korn, bahwa orang gila dan anak yang belum dewasa (8 tahun )tidak boleh di hukum kecuali bila ia melakukan delik yang ermasuk berat, yang disebut sadeta taji, seperti melakukan pembakaran, meracun orang, menghina raja, memperkosa dan lain-lain. Anak anak di Bali di anggap kurang umurnya bila dia belum mencapai tinggi badan atau setengah meter, belum memotong gigi, atau belum bekerja di sawah tetapi bila anak anak melkukan perbuatan delik sampai tiga kali berturut-turut, dapat hukum sama sekali kehilangan kedudukan kasta ( tidak mendapat perlindungan ) hukum sama saekali. Di batak seorang bapak harus menaggung segala akibat 41

perbuatan pelanggaran hukum anak-anaknya yang belum cukup umur, demikian di katakan Dr. vergoem V. KUHP tidk membedakan orang yang satu dengan orang yang lain, sebagaimana telah kita ketahui di dalam system Hukum Adat, besar atau kecil kepentingan hukum sebagi seorang individu, tergantung kepada kedudukan atau fungsinya di dalam masyarakat. Khusus di masyarakat bugis atau makasar, terdapat tingkat-tingkat ( standen ) di dalam masyarakat se orang dari tingkat yang atas ( bangsawan ) lebih penting dari orang tingkat bawah. Seperti juga di bali orang yang telah masuk triwangsa lebih penting dari rakyat biasa. Karena itu pula delik yang dilakukan seorang dari tingkat atas , di anggap bertambah berat. Jadi bertambah berat hukuman terhadap seseorang jika bertambah tinggi orang yang di rugikan atau dihina, apalagi suatu hinaan terhadap raja atau kepala adat Jadi dalam KUHP, tidak terdapat pandangan terhadap Hukum Adat tanpa pandang orang kalau dia berbuat jahat tetap di pidana. VI. KUHP melarang orang bertindak sendiri menegakan hukum orang lain terhadap dirinya (melakukan Eigenrchting = melakukan tindakan hukum sendiri atau main hukum sendiri) oleh karena membawa prinsif bahwa segala delik termasuk hukum public, menjadi soal Negara atau terlepas dari soal-soal prifat. Sebaliknya di dalam system Hukum Adat terdapat keadaan, seseorang yang terkena diperbolehkan bertindak sebagai hakim contoh : seorang melarikan gadis, melakukan zinah atau mencuri, atas perbuatan ini dia di tangkap, tertangkap basah, Maka pihak yang merasa terkena dan mendapat malu, menurut paham adat boleh bertindak menegakan hukum ( antara lain di Batak, Minangkabau ). VII. KUHP tidak mengadakan perbedaan barang satu dengan barang yang lain yang menjadi objek dalmam perbuatan pidana, artinya mencuri sebuah atau serumpun singkong sama dengan mencuri perhiasan permata yang terdapat di dalam rumah. Tetapi menurut Hukum Adat mencuri atau merusak barang orang lain yang bernilai religius yang tinggi ( misalnya barang pusaka ), dianggap delik yang lebih berat di banding dengan mencuri sebuah benda biasa. Jadi di dalam Hukum Adat ada perbedaan nilai sedang di dalam KUHP tidak ada penilaian itu. VIII. dalam KUHP soal membantu berbuat pidana membujuk atau ikut berbuat, terjadi perbedaanperbedaan sedang menurut Hukum Adat siapa saja yang membantu melakukan,wajib melakukan pemulihan kembali perimbangan hukum yang telah merusak masyarakat, jadi segala orang yang ikut berbuat harus ikut bertanggung jawab. Maka di dalam Hukum Adat tidak di bedakan antara : Medeplichtig ( membantu melakukan) atau Mededaderschap (ikut melakukan) dan medepleger (orang yang ikut serta). IX. Di dalam Hukum Adat suatu percobaan yang tidak berarti,tidakdipidana, sebab hukum pidana memidana seseorang karena semata-mata mencoba melakukan suatu delik. Sebab kita ingat dalam system delik adat suatu reaksi adat hanya diadakan jika suatu kepentingan Hukum Adat nyata terganggu suatu perimbangan hukum dalam suatu masyarakat mendapat cedera, sehingga perlu memulihkan kembali menurut cara-cara adapt. Dengan demikian tidak terjadi gangguan umum, tidak ada alas an untuk bertindak contoh : bila adat orang mencoba untuk membunuh orang lain dengan cara menembak, akan tetapi orang itu hanya mendapat luka-luka saja, maka orang yang mencoba menembak itu di hukum bukan karena akan membunuh melainkan karena melukai seorang sebab pelanggaran hukum yang nyata itu saja yaitu luka, atau bila telah diadakan penembakan tidak melukai seseorangpun tetap dia akan di hukum karena dia melepaskan tembakan ( kepada seseorang), mungkin mengejutkan orang banyak atau menimbulkan huru hara, Maka ia akan di hukum karena melanggar ketentraman umum.

42

X. Dalam KUHP orang yang hanya akan di pidana oleh karena perbuatanya yang terakhir bukan karena perbuatanya yang dulu-dulu, kecuali bila ia mengulangi kejahatannya. Menurut anggapan religio magis harus di perhitungkan juga andaikata sipembuat (sipelanggar ) mengatakan sungguhsungguh menyesal atas perbuatannya, sehingga hakim harus memperhitungkan juga, apakah ia termasuk ke dalam golongan orang jahat (jawara). Menurut van vollenhoven, penyesalan it mungkin tidak menghapuskan kejahatan tetapi memberi keringanan. Sebaliknya orang yang terkenal sebagai penjahat, bila ia berbuat salahdan mengakui kesalahan nya, boleh di hikum berat, misalnya dengan membuang ke luar masyarakat, seperti halnya di tanah Batak, Minangkabau, ada pepatah batak mengatakan : jika saya berbuat salah, Maka saya akan memeperbaiki/memulihkan kesalahan saya itu,tetapi bila saya berbuat yang dulu lagi berarti saya mengulangi. Di dalam delik adat di kenal tiga istilah yang berhubungan dengan pembuangan seseorang ke luar masyarakat adapt,yaitu : 1. istilah buang sirih, yaitu orang di buang (ke luar masyarakat ), apabila karena seseorang karena tabiatnya selalu membuat malu familinya. Maka di buang, dengan ucapan salah satu orang tua dari marga itu,misalnya dengan mengatakan ia tidak kami akui lagi di dalam marga kami. 2. Istilah buang hutang, yaitu jika orang senantiasa berhutang,tetapi ia tak mau membayar, familinya akan menanggung perbuatan itu, tetapi bila akhirnya kehabisan harta, familinya akan berhenti menanggung untuk selanjutnya. Dia akan di keluarkan dari familikarena perbuatan berhutang. 3. di dalam Hukum Adat masih adat hukuman lain yang di sebut buangti ( ng ) karang, yaitu pembuangan untuk selama-lamanya karena perbuatan jahat yang senantiasa di lakukannya, sehingga memberatkan bagi seluruh masyarakat. Masyarakat hukum pun enggan mempunyai anggota yang demikian itu tidak sanggup memperbaiki lagi dan kepadanya di jatuhkan hukuman yang berat. XI. Di dalam pasal 44 KUHP adat suatu lembaga yang di sebut uitsluiting der strafbaarheid (menutup kemungkinan dapat di pidana). Malahan juga adat alas an-alasan untuk memberatkan atau meringankan pidana kepadanya. Hukum pidana hidup tidak mengenai ke empat lembaga tersebut di atas. Tetapi di dalam hukum delik adat ada perbuatan-perbuatan atau delik delik yang menurut kepercayaan rakyat perlu di buat, guna keperluan adat atau keperluan lain yang merusak bagi masyarakat umum. Seperti umpama seorang wanita yang akan melahirkan di perlukan buah-buahan yang sukar di dapat, famili-familinya akan mencoba mencari atau mengambil dari orang lain, akan tetapi tidak di hukum. Dalam hal ini delik hukum adat dianggap tidak adat kepentingan hukum yang mengganggu masyarakat, demikian menurut van vollenhoven. Van vollenhoven juga mengatakan bahwa di Sumatra, sulawesi,samba, bali, Madagaskar, di kenal lembaga hak asyi yaitu suatu hak untuk meminta perlindungan kepada raja atau kepala adapt, karena ia telah melakukan suatu delik terhadap famili missal membawa lari gadis melakukan zinah mencuri dan lain-lain. Ia bebas dari pembalasan atau hukuman, apabila ia dapat lari ke tempat raja atau kepala adapt.(supomo tentang Bab-bab Hukum Adat 1958). Di dalam hukum internasional di kenal juga hak asyl, adalah hak seorang warganegara melakukan suatu kejahatan politik di buru oleh polisi, kemudian dia masuk ke rumah seoarang duta besar, misalnya duta besar AS. Padanya berlaku hak asyl dan ia dapat minta agar ia dapat masuk menjadi warganegara AS. Maka ia segera dikirim ke AS untuk menjadi WN AS.

43

Van vollenhoven di dalam adatrecht jilid II, menyebut hak asyl adapt, yaitu suatu hukum lembaga dalam delik adapt.seorang mempunyai hak untuk minta perlindungan, karena telah melakukan suatu delik terhadap sebuah suku, famili atau keluarga, a.l. telah melarikan gadis, melakukan zinah terhadap orang lain karena mencuri, ia dapat bebas dari pembalasan dari pihak yang merasa terkena atau mendapat malu ia dapat lari ke tempat kepala adapt, ke istana raja atau ke rumah pimpinan agama sebagai tempat-tempat istimewa, karena dengan demikian dia mendapat perlindungan. Hak asyl ini juga di kenal sebagai lembaga dalam hukum internasional. Seorang WN dapat memperoleh perlindungan, bila dia masuk pekarangan atau kantor kedutaan asing dan menyatakan minta perlindungan tersebut. Kebanyakan delik yang di lakukan, delik yang bersifat politik. Sebagai imbangan dari lembaga hak asyl ini, adalh lembag extradition, juga adat dalam hukum internasional, yaitu dua atau beberapa Negara dapat saling mengadakan perjanjian untuk saling menyerahkan penjahat-penjahat yang melarikan diri ke salah satu Negara, telah menandatangani atau persetujuan tersebut. Berhubung adanya hak asyl adat tersebut, maka pihak pihak yang terkena atau di rugikan dilarang melakukan tindakan sendiri, al, membunuh penjahat tersebut, sebaliknya pihak yang terkena harus tunduk pada daya upaya yang dilakukan oleh kepala adat atau raja; kadang-kadang pihak yang melakukan kejahatan, kemudian di tahan oleh keala adat atau raja dan menjadi budak di situ. Dengan demikian, dia bebas dari hukuman yang tadinya di ancamkan dan dapat dijatuhkan kepadanya. Di lapangan-lapangan apakah hukum adat itu berlaku atau siapakah yang mempunyai kompetensi untuk mengadili delik-delik adat ?

Sesudah KUHP berlaku, segala delik yang tercantum didalamnya menjadi wewenang dari landrad atau yang sekarang di sebut pengadilan negeri. Untuk delik-delik tertentu seperti delik adat, ia tidak dapat mengadili dan memang tidak dapat prumusannya di dalam KUHP. Kecuali mengadili perbuatan perbuatan yang terdapat dalam KUHP. Menurut KUHP juga merupakan delik adapt, pengadilan Negeri tidak berwenang memerintahkan tindakan-tindakan sebagai daya upaya adapt,kecuali sebagai syarat istimewa pada hukuman bersayarat. Namun hakim desa sebagai hakim perdamaian yang di cantumkan atau di tulis dalam S. 1935/102 dan yang masih di pertahankan oleh LN sebagai UU Darurat no. 1/1951,ia berwenang memeriksa segala perkara yang menurut hukum adat masuk ke potensi hakim desa itu yang di atur oleh pasal 3 arechterlijke organisatie. Jadi hakim dsa berwenang memeriksa segala perkara adat termasul juga perkara delik adat . dalam peraktek adat hakim desa dii berbagai daerh di Indonesia berwenang memeriksa delik delik adapt, sekalipun sekaligus tidak merupakan delik menurut KUHP/stafbaarfeit. Contoh, pelanggaran terhadap peraturan eksogami, incest, perawan bunting, dan pelanggaran-pelanggaran, terhadap peraturan-peratuaran religio magis lainnya . menurut adat adalah delik yang bersifat berat , tetapi menurut KUHP tidak atau tidak akan dapat di tuntut kecuali dengan pengaduan. Ada beberapa tindakan merupakan delik, baik menurut KUHP maupun adat , misalnya pembunuhan, melukai oaring dan delik lain terhadap harta benda; terahadap delik delik ini, rakyat di deas lambat laun dapat menerima bahwa yang bersalah harus ddi adili oleh Pengadilan Negri dengan hukuman berdasarkan KUHP. Tetapi di samping itu ada delik delik tertentu terutama delik delik kesusilaan yang hukumanya di anggap tidak culup oleh orang orang desa, karena belum memenuhi rasa keadilan rakyat umum. Masih di tuntut kepada si pelanggar untuk melakukan upaya-upaya adat, suapaya dapat memulihkan keseimbangan dalam masyarakat yang perlu di bersihskan dari kotorankotoran yang di akibatkan karena perbuatannya. Maka dalam hal ini hakim desa berwenang dan dapat bertindak, sesudah Pengadilan Negri menghukum orang yang bersalah, hakim desa menghukum orang 44

tersebut sekali lagi dengan menuntut untuk menyelenggarakan suatu selamatan pembasuh dusun , di samping upya-upaya lain, seperti meminata maaf dan lain-lain. Jalan ini tidak boleh di anggap suatu hukuman pidana kedua, oleh karena itu tidak melanggar prinsip neb is in idem (tidak dua kali dalam hal yang sama ). Ter haar dan korn berpendapat bahwa baik kirana bila Pengadilan Negri di berikan wewenang untuk mengadili delik adat. Bagaimanakah hakim dapat menentukan,bahwa suatu perbuatan bertentanga dengan Hukum Adat, padahal Hukum Adat adalah serangkaian peratuan yang tak tertulis, jadi tidak mengenal system prae existente regales. Di dalam Hukum Adat suatu perbuatan yang semula tidak di larang, pada suatu saat dapat meruopakan delik. Jadi bila pada saat itu petugas hukum mengangap bahwa perbuatan itu memperkosa keselamatan masyarakat perbuatan tersebut merupakan perbuatan delik. Berhbung dengan dapat di tafsirkan bahwa hakim pengadilan adat tidak boleh suatu perbuatan, jika pada saat perbuatan itu di lakukan, tidak ada anggapan rakyat bahwa perbuatan itu menentang Hukum Adat. Selnjunya Hazairin menulis tentang kedudukan hakim desa ini, sekarang dan kemudian hari, sebagai berikut : dalam Undang-Undang no. 14/1970 (LN 74/70, TLN 2951) tidak di jumpai ketentuan seperti dalam Undang-Undang darurat No. 1 PS/51,LN 9/1951, pasal 1 ayat 3, yang tetap mengakui kekuasaan Dorpsjustitie atau Dorpsrechter yaitu hakim hakim perdamaian dalam masyarakat masyarakat Hukum Adat sebagai yang di maksud dalam RO pasal 3; hakim hakim tersebut, yang juga di namakan hakim desa, ialah suatu lembaga desa yang kehadirannya dalam masyarakat Hukum Adat merupakan suatu Conditio sine quanon sebagai perlengkapa kekuasaan desa selama desa itu sanggup mempertahankan wajah aslinya dan sifat sifat keistimewaanya sebagai kesatuan social politik , ekonomis yang (di mana perlu) dapat berdiri sendiri. Kekuasaan hakim desa itu tidak terbatas kepada perdamaian saja tetapi meliputi kekuasaan memutuskan sengketa dalam bidang semua hukum, tanpa membedakan antara pengertian pidana, peradata, public dan sipil.keadaan bidang kehakiman atau peradilan itu barulah memperoleh perubahan jika masyarakat Hukum Adat menundukan dirinya kepada kekuasaan yang lebuh tinggi yang membatasi atau mengawasi hak-hak kehakiman itu. Di masa pemerintahan colonial perhatian hanya tertju kepada hakim hakim yang ada pada lingkungan yang langsung di perinatahnya serta berdiri di bawah peradilannya. Hakim adat lainya di jumpai dalam Hukum Adat, yaitu daerah daera yang termasuk lingkungan yang langsung di perintanya, dan untuk selebihnya hakim hakim desa itu berada dalam daerah yang tidak langsung di perintahnya, yaitu daerah-daerah swap raja(daerah raja-raja);krn itulah kita mengenel di masa masa lampau tiga macam lingkungan peradilan: a).lingkungan peradilan gubernemen: b). lingkungan peradilan adapt; c). lingkungal peradilan swap raja. Di bawah kekuasaan nasional di mulai dengan Undang-Undang darurat No. 1 tahun 1951 kita hapuskan peradilan Hukum Adat dan peradilan swap raja dengan menggantikannya peradilan Negara tg di bagi ke dalam peradilan umum, peradilan militer, peradilan agma, dan peradilan administrasi(tata usaha) di bawa pengawasan mahkamah agung (pasal 10 UU no. 14 tahun 1970). Jelaslah bahwa dengan demikian persoalan menenai soal kehakiman desa itu, menjalar ke seluruh Republik Indonesia. Timbulah persoalan betapa sikap Negara Republik Indonesia menghadapi kehakiman desa itu, di Hukum Adat[uskan atau di biarkan dan jika di biarkan, betapa hubungan dengan Pengadilan Negeri, sewaktu menetapaka Undang-Undang No.1. 1951 hal itu di tegaska pasal 1 45

ayat 3 : ketentuan yang tersebut dalam ayat 1, tidak sedikitpun juga mengurangi hak kekuasaan yang sampai selama ini telah di berikan kepada hakim hakim perdamaian di desa desa sebagai mana di maksud dalam pasal 3 a Rechterlijke organsatie pasal ayat 1 itu, yang mencabut kekuasaan peradilan yang bukan termasuk kata peradilan swap raja dan peradilan adapt. Ada dua macam peradilan ini (swap raja dan adat ) ikut serta di cabut (di hapus) yaitu dalam pasal 1 ayat 2 UU dar. No. 1/1951. pasal 3 a rechterlijke organsatie yang telahdi terima oleh UU no. 1 /1951 menjadi hukum nasional sebagai berikut : 1. semua perkara yang menurut Hukum Adat wajib di urus oleh hukum hakim masyarakat Hukum Adat (hakim hakim desa ) tetapi di tangan mereka . 2. ketentuan dalam ayat 1 tidak mengurangi hak penggugat untuk setiap waktu menyerahkan perkaranya kepada hakim gubernemen yang berwenang , jika gugatanya menyangkut hak perdata (burgerlijke rechted). 3. hakim-hakim adat tersebut dalam ayat 1, memutuskan menurut Hukum Adat dan mereka tidak boleh menjatuhkan hukuman pidana. Hakim desa semula berhak mengurus semua perkara yang dapat timbul dalam masyarakat adat , desa yaitu perkara perdata, perkara yang dapat di kenakan Hukum padahan lainya; maka dengan ayat ayat pasal 3 a rechterlijke organisatie itu, di perbaharui dari kekuasaa hakim-hakim desa untuk menjatuhkan hukuman-hukuman yang tersebut pasal 10 KUHP (khususnya hukum hukum pokok ) tetapi tidak perbaharui haknya padaha lainya yaitu : hukum menghidamkan santapan, pesta adapt, menepungtawari, memotong hewan, mempersembahkan maaf di depan umum dan sebagainya, juga tidak di perbaharui haknya untuk memutuskan sengketa hukum public atau perkara sipil yang bukqan perdata, seperti atas hak gelar adapt, hak atas kedudukan dalam hukum adat sepertu kedudukan mamak kepala waris hak atas potongan daaging yang tidak bbernilai dan lain.hanya dalam perkara perdata ada kemungkinan konkurensi anta hakim desa dan hakim gubernenen seperti yang di maksud dalam ayat 2 pasal 3 a RO; di dalam perktek konkurensi itu juga dunia juumpai dalam bidang public atau sipil bukan prdata itu. Sekarang bagaimana sikap Negara kita telah ada UU no 14-70, telah di sebut di atas tadi; UU no.14-70 itu tidak mengandung suatu ketenyua khas yang menghapus dorpsjustitie itu yang di masa kita sekarang kita ini melalui reglemen Indonesia yang di perbaharui (RIB) pasal 120 a dan 135 a, telah meluas ke tanahaiar wlayah RI , mungkin kehakiman desa itu dapat di pertahankan sebagai peradilan khusus yang tersebut dalam pasal 13 UU 14/70. dia tidak mungkin tidak dapat di pertahankan selama hukum adat wajib di pertahankan dan selama desa desa itu mempunyai tempay yang kokoh dalam UUD 45 pasal 18. dalam pada itu penjelasan umum UU no. 14/70 sekali sekali tidak menggembirakan, lihatlah umpamanya penjelasan umum no.1 yang berbunyi sebagai berikut : pnegasan bahwa peradilan adalah peradilan Negara di maksudkan unttuk menutup semua kemungkinan adanya atau akan di adakanya lagi peradialan suap raja atau peradilan adat yang di lakukan oleh peradilan Negara. Ketentuan ini sekali sekali tidak bermaksud untuk mengikuti hukum tidak twertulis (tebal oleh penulis lihat pasal 23 UU no. 14/1970), melainkan hanya mengalihkan pemnembanga dan penerapan hukum itu (yaitu Hukum Adat itu,penulis ) kepada perdailan Negara dengan ketentuan bahwa hukum wajib menggalih, mengikuti dan memahami nilai nilai hukum yang hidup dengan mengintegrasikan diri dalam masyarakat, telah terjamin sepenuhnya bahwa perkembangan dan penetapan- hukum tidak- tertlis itu akan berjalan secara wajar.

46

Karena kehakimans itu selama ini dalam ilmu hukum di fahami sebagai peradilab adat maka jelaslah bahwa penjelasan umum no.7 itu telah membunyikan lonceng kematia bagi hakim hakim desa itu, tanpa adanya ketentuan secara khas dan langsung yang mengapusnya (UU 14/70 pasal 1 , 21, 3, 27). Sehubungan dengan pengharapan secara indirect itulah harus di pelajari secara serius karangan Prof. supomo, dalam colonial tejidschrifet XIX, 1940, P. 569-585,berjdul: De aansluiting van de dorpsjustitie aan de guwvernements rechtspraak. Seandainya hakim Negara itu telah turu ke desa, telah menggali dan memahami nilai hukum yang hidup itu, bagaimanakah selanjutnya meengikutinya, yakni dapat bekerja menyelesaikan perkara=perkara yang di singgung olerh Prof. supopmo, Prif. Ter haar, proF. logemann, pof. Schepper dan prof. korn( lihat karangan supomo itu tadi) sedangkan hakim Negara yang malan itu, yang wajib menyelasikan setiap perkara ( pasal 2 UU 14/1970) kepadany a tidak di berikan hak untum menangani padahan atas pelanggaran hak itu kecuali jika dapat di perluas pasal 10 KUHP dengan padahan adat (adat saneties) dan di atur seperunya hukum acaranya . sebagia : seorang kepala adat bersma seorang ayah mengadu kepada seorang hakim Negara bahwa si ani telah berhasil dengan rayuannya berulan ulang tnpa perkosaan anak perempuan si ayah. Si anu mengakui semua perbuatan nya tetapi tidak mau menikahi snk perempuan itu tg sudah berumur 21 tahun waktu itu. Si ayah mengadu jika bapak hakim tidak lekas-lekas perintahkan si anu menikahi anak saya, saya khawatir cucu saya akan lahir dalam tempo 6 bulan sebagai haram jadah. Jika bapak hakim tidak dapat memaksa kawin. Saya minta supaya ia bayar kepada saya nilai jujur seratus real, di tambah denda malu buat saya serats real, dan biarlah anak haram jadah itu buat saya. Si kepala adat mengadu, pak hakim Negara,desa saya sudah di kotori dengan sangat, saya minta dia di hukum menepungtawari kampong halaman. Sawah ladang dan hutan rimba kami, cukup dengan tujuh karung tepung, dan di hukum pula dia dengan memotong kerbau untuk di makan oleh orang banyak, selanjutnya minta ampun kepada tua-tua desa dan tobat kepada Allah. saya sudah bilang semuanya itu kepadanya nonsense, cerita dongeng lama, kami juga suidah menghadap pak polisi minta penjelasan, jawabannya sayang, bung, saya tidak kuasa dalam hal ini, sebab tidak ada segi pidana nya . Bapak kotib juga sudah saya minta adpis, jawabannya, sayang hukum islam belum berlaku, coba kalau sudah berlaku, kita hukum dia dengan seratus cambuk di pasar, baru dia tau diri dan kenal betapa pedihnya hukum tuhan. Sebab itulah kami datang kepada bapak hakim Negara bukankah menurut penjelasan no. 7 bapak tidak sama sekali bermaksud untuk mengingkari hukum tidak tertulis apalagi bapak harus menyelesaikan setiap pidana[erkara(lihat pasal 2 UU no.14/70) sedangkan saya tidak lagi mempunyai hak kehakiman. Bagimanakah hakim itu akan bertindak? Saya tidak dapat menjawab sebelum jelas di ketahui peraturan selanjutannya yang akan menyusuli UU no. 14/70, saya hanya berseru, usahakanlah penyesuaian antara Hukum Adat yang masih berlaku dengan hukum yang tertulis supaya hakim-hakim sungguh tidak sia-sia melakukan peradilan demi keadilan berdasarkan keadilan tuhan yang Maha esa dan sungguh benar-benar menjalankan keadilan demi memenuhi hasrat para pencari keadilan (lihat penjelasan umum no. 10). Dalam hal ini hasrat kepala adapt atas nama dan untukkeperluan masyarakat hukum adat nya dan hasrat setiap orang masih berdiri di bawah Hukum Adat yang tidak mengenal perbedaan perdata, pidana , public, sipil, privat, apa caranya melakukan penyesuaian itu dapatkah kiranya karangan prof. supomo, yang tersebut di atas

memberikan beberapa petujuk, juga dapat Negara RI , mengandung niat untuk meengapus drpsjustite itu dan hendak mengoperkan tugasnya itu bulat-bulat kepada peradilan Negara saya sendiri mengajukan : periharalah hakim desa itu sebagai benteng termuka dalam membendung masuknya keliaran dan kelacuran dalam masyarakat. 47

Apakah yang di kehendaki supomo dalam hal hakim desa itu mesti tetap di pertahankan? Supmo menghendaki supaya di hilangkan inkronkurensi antara kompentensi hakim- gubernemen dan kompetensi hakim desa sebagai berikut: 1. perluas kekuasaan hakim gubernemen sehingga dia berkuasa di semua bidang sengketa dalam lingkungan Hukum Adat, termasuk kompetensi mengenakan padahan atas semua pelanggaran adat (adatdilcten).hal ini telah di tampung oleh UU no. 14/70 dalam pasal 2 ayat 1 penyelesaian setiap perkara;dengan istilah setiap perkara telah terhapus perincian antara perdata dengan sipil bukan perdata, antara pidana dan non pidana antara hukuman straf dan padahan adat (adatsancties). 2. dalam hal suatu tindak pidana, juga merupakan pelanggaran adat (adatdelicet) , hakim gubernemen dapat memilih hukuman pidana atau padahan adapt atau mengenakan kedua-keduanya( di atas tadi saya telah usulkan untuk menambahkan pasal 10 KUHP dengan padahan adat). 3. di tetapkan jangka waktu setelah mana keputusan hakim desa memperoleh kekuatan hukum yang tidak dapat di ganggu gugat lagi; hal ini mengubah RO pasal 3 a ayat 2 menjadi : ketentuan ayat 1, tidak mengurangi hgak penggugat atau tergugat atau tertuduh atau yang menuduh untuk meminta kepada peradilan Negeri pemeriksaan kembali perkaranya dalam sekian hari, misalnya dalam tempo satu pecan, setelah jatuhnya keptusan hakim desa.

Sehubungan dengan jangka waktu tersebut,. Hendaklah pula di atur urusan exsecutive-vonis- delich yang bukan mengenai adat delicht dan tindakatindakan hukum terhadap pihak-pihak yang tidak mematuhi padahan padahan adat atau pelanggaran-pelanggaran adapt, misalnya di ganjar dengan hukum kurungan atau hukuman penjara, hal mana berarti menambah pasal pasal dalam KUHP selain menambah pasal pasal dalam hukum acaranya.

BAB V HUKUM ADAT TATA NEGARA Hukum Adat Tata Negara adalah bagian hukum adat mengenai susunan pemerintahan.

48

Tentang istilah ini,kita harus lebih dulu membedakan dari istilah lain yang lazim dipakai;juga berlaku sebagai mana kuliah yaitu hokum tatanegara.Yang terakhir ini,kita maksud,hokum tertulis memuat peraturan-peraturan mengenai hak dan kewajiban alat-alat perlengkapan negara menurut konstitusi yang berlaku.Didalam arti yang lebih luas,istilah ini mencakup hokum tatapemrintahan/hukum administrasi Negara. Yang harus kita bedakan dengan tajam adalah istilah HTN yang terbentuk karena kebiasaan didalam lapangan ketatanegaraan yang berlaku diantara badanbadan kenegaraan satu dengan yang lain. Lazim disebut dengan istilah :convention. Jadi cabang ilmu pengetahuan hokum ini adalah segi-segi HTN modern berdasar konstitusi.justru lahir untuk mengisi kekosongan-kekosongan yang timbul akibat peraktek pemerintahan. Malahan kadang-kadang banyak keputusan-keputusan politik menjadi dasar bagi kesempurnaan tata pemerintahan. Maka dari itu,supaya tidak membingungkan lebih baik tita memakai hukum istilah adapt tata Negara, memperbincangkan segi-segi ketata negaraan yang terdapat didalam hukum adapt, dapat juga kita memakai istilah yang dipakai oleh van Dijk yaitu tata susunan rakyat. Kita telah mengetahui bahwa sebagian besar rakyat Indonesia didesa-desa, tersusun berdasar persekutuan-persekutuan kecil, merupakan masyarakat hokum adapt. Didalam HTN terkenal bagian yang paling bawah didalam pembagian kenegaraan sesudah propinsi dan kabupaten. Secara HTN (staatsrechtelijk),kita sebut bagian yang kecil itu:desa(otonom tingkat III). Masih didalam lingkungan dan sistem pembagian RI, adalah Juga daerah-daerah istimewa merupakan daerah swapraja diperintah oleh seorang sultan. Umumnya persekutuan rakyat yang kita sebut masyarakat adapt, terbagi dalam dua golongan besar, yaitu berdasar hubungan daerah ( genealogis ) dan hubungan tanah (teritorial). Tentang hal ini, pengetahuan kita dapat dikatakan cukup. Penting kiranya dalam system hokum ada tete Negara, adalah mengenai persekutuan hukum territorial ke dalam. (van dyk/soehardi,1958). Paling menonjol sebagai contoh satu mengenai desa di Bali, factor geneologi ( keturunan ) hamper tidak kelihatan lagi. Tetapi desa meliputi sejumlah persekutuan territorial dan terbentuknya perkumpulan-perkumpulan untuk tujuan tertentu. Desa diBali mempunya perlengkapan, rapat desa para orang tua serta pengurus desa yang sehari-hari mengepalai desa. Di desa-desa di Bali terdapat banjar, yakni kerukunan orang orang kekampung yang mempunyai rapat banjar sendiri dan pengurus banjar. Hal yang menonjol di Bali adalah yang dikenal dengan nama : subak ( water sechap ), yaitu sebuah persekutuan atau sebuah masyarakat yang semata-mata terbentuk, karena kepentingan di lapangan pengairan atau masyarakat yang demikian itu, adalah suatu masyarakat atau daerah sepengairan. Jadi subak adalah suatu gabungan atau persekutuan para pemilik sawah untuk menyelenggarakan pengairan bagi sawah. Selanjutnya desa diBAli mempunyai persekutuan tugas, diserahkan pekerjaan-pekerjaan tertentu. Antara lain bagi perkumpula pemuda yang disebut : sekha teruna dan sekha daha ( perkumpulan gadis ). Juga perkumpulan urusan tempat pemandian, perkumpulan urusan kesenian dan lain lain. Ringkasnya desa di Bali meliputi brbagai lingkaran atau persekutuan yang seluruhnya diliputi dan berhubungan dengan desa sebagai pusat kehidupan seharihari dengan tidak mengurangi, bahwa setiap persekutuan kecil mempunyai kepentingan, Tanggung jawab dan keuangan sendiri. Sebagai contoh II, mengenai suatu tipe tata susuna rakyat di Minangkabau yang disebut Negara, juga merupakan persekutuan hukum territorial. Sebagai kelak kita ketahui, disana tata susunan raakyat adalah berdasar hubungan garis keturunan ibu atau sering juga dikatakan susunan yang berdasar mamak kemenakan ; jad disitu terdapat klan matrilineal dan bagian-bagiannya. Anggota dari suatu klan tidak merupakan suatu persekutuan hokum, kecuali bila meraka tinggal bersama dalam satu negeri. Jelas disini, sangat penting factor territorial itu, karena batas-batas sebuah Negara memisahkan bagian-bagian klan. Jadi di dalam sebuah Negara mungkin terdapat sejumlah kelompok yang terdiri sekukrang-kurangnya empat bagian klan yang berlainan. Setiap bagian klan merupakan suatu masyarakat hukum dalam suatu parui ( famili ). Di antara famili-famili terdapat beberapa famili yang tergolong dalam satu klan. Kadang-kadang di antara beberapa famili bersatu lagi menjadi satu

49

unu ( serikat ) dalam negeri itu, yang bernama : suku, pada masa-masa yang lalu atau pada keadaan aslinya, setiap famili menurut adat tinggal bersama dalam sebuah rumah gadang. Yang tinggal dalam rumah serupa, itu mempunyai sebuah orang perempuan tua mingkin dengan suaminya dan anak-anaknya yang perempuan yang telah kawin bersama-sama dengan suaminya, menghuni sebuah kamar tidur, dmk juga halnya dengan setiap cucu perempuan yang telah kawin. Dahulu rumah untuk sebuah famili relative cukup luas. Berhhubung perkembangan keadaan, rumah gadang mulai sempit. Maka didirikan lagi sebuah rumah gadang yang baru ; sebagian dari famili itu pindah ke rumah gadang yang baru lambat laun mereka merupakan famili yang berdiri sendiri. Dengan demikian mulai terbentuk rumah-rumah kecil, khusus merupakan rumah satu keluarga dan sekarang cenderung, menunjukan bahwa rumah-rumah gadang itu bagaikan museum yang lengang dan kosong serta semata-mata merupakan perlambang dari kesatuan sbuah famili. Ini berarti juga ; lambat laun rumah gadang ini akan hapus. Namun setiap kelluarga yang berdiri sendiri, hidup dalam satu rumah tangga, tetap merupakan bagian dari famili atau klan, semula merupakan suatu masyarakat hokum.dapat kita pahami bahwa pertalilan itu kian lama kian renggang, sehingga dapat pula kita projektir, bahwa : di masadepan kemungkinan besar sekali, sebuah famili sebagai persekutuan hukum akan lenyap. Hal yang patut dicatat mengenai susunan ketata negaraan di minangkabau, terkenal dengan dua tipe tata susunan Negara atau dua macam adat kenegaraan yaitu : tipe bodi caniago dan koto piliang. Menurut adat bodi caniago brpusat di Agam, maka penghulu-penghulu andiko, yaitu kepala sebuah famili ( sebagai laki-laki tertua dari ranting yang tertua ) berama-sama, atas persamaan kedudukan memgang pemerintah dalam satu negeri. Kerapatan. ( suatu siding ), adalah : kekuasan yang tertinggi dan bagian klan sejumlah famili, tetap berdiri sendiri vbardampingan satu sama lain disebut suku. Kerap kali kerabat dipecah menjadi dua bagian dan bagia-bagian klan itu, disebut kampong, terdiri dari famili famili yang berdiri sendiri. Di dalam bentuk balainya tercermin suasana demokratis. Oleh karena di dalam nya tidak terdapat tingkat yang membedakan kedudukan satu sama lain. Kerapatan selalu di pimpin oleh penghulu andika, selalu memusyawarahkan hal-hal yang penting dalam negeri dan keputusan-keputusan diambil biasanya dengan suara bulat. Masih tergambar dalam pribahasa mereka : bulat air dalam pembuluh, bulan kata dalam mufakat . Bawahan dari penghulu andiko, adalah kepala kepala suku. Memerintah atas suku itu disebut : penghulu suku. Empat penghulu suku, di pimpin seorang dari mereka.disebut pucuk nagari memerintah atas seluruh negeri. Di dalam sebuah suku akan selalu terdapat orang nan ampe djinih, yaitu : empat pejabat yang membantu penghulu suku menyelenggarekan pme, terdiri dari : 1. Manti ( pembesar yang mengurus soal pemerintahan dalam negeri ) 2. Dubalang ( pembesar yang mengurus soal kepolisian ) 3. Malim ( pembesar yang mengurus soal agam ) ; bersama-sama dengan 4. Penghulu suku menyelenggarakan pemerintahan, kesejahteraan dan keamanan di dalam masing-masing suku. Masing-masing kedudukan, sejak dari penghulu andiko, penghulu suku, orang nan ampe djinih. Pengangkatannya diatur khas menurut asas-asas demokrasi, yaitu : melalui pemilihan. Atas penunjukan atau ketetapan dati pemillihan, sebuah orang penghulu andiko dikukuhkan dalam upacara besar menurut adapt. Menurut adat piliang yang berpusat di tanah datar dan lima puluh kota, tehimpun dalam gabungan-gabungan yang meliputi 4-5-6 dan 9 bagian-bagian klan termasuk golongan sekian klan terdiri dari famili yang berdiri sendiri ; gabungan-gabungan itu, disebut suku, meisalnya dengan nama suku nan ampe, suku nan limo dan seterusnya atau membawa nam klan dari kepala suku yang bersangkutan.

50

Dalam kebanyakan negeri, dari kebanyakan klan-klan mempunyai wakilnya dalam negeri dan mereka jarang terhimpun secara sama menjadi satu gabungan. ( ter Haar asas-asas dan suau nan hukum adat dan van dijk pengantar hukum adat Indonesia ) Selain itu sebuah negeri selalu di syaratkan memenuhi perwakilan paling sedikit empat klan, yang penting bahwa setiap negeri senan tiasa mempunyai empat tanda yang merupakan lembaga, yaitu : 1. harus mempunyai sebuah balai ( tempat bermusyawarah ) 2. harus mempunyai sebuah tapian ( tempat mandi ). 3. harus mempunyai sebuah gelanggang ( tempat selurh rakyat berkukmpul ). 4. harus mempunyai sebuah masjid ( tempat beribadah ) kalau keempat tanda atau syarat tersebut sedah ada barulah dikatakan sebuah masyarakat hukum itu merupakan sebuah negeri yang berdiri sendiri. Seperti juga di Minangkabau tata susunan desa atau negeri, terdapat pula di kerinci, yaitu wilayah yang dulu merupakan sebuah kabupaten termasuk propinsi sumatera barat tapi kini berhubung ada perubahan dalam susunan ketata negaraan, termasuk propinsi jambi. Di Tapanuli terdapat suatu tata susunan komplek di dalam persatuan hukum teritorial. Disana tata susunan rakyat umumnya adalah negeri merupakan suatu persekutuan wilayah-wilayah, dalam bahasa adat di sebut kuria, dengan huta dibawahnya sebagai bagian yang merupakankesatuan yang bediri sendiri. Untuk memudahkan uraian ini, kita pusatkan perhatian kita pada susunan sebuah huta saja. Pad lazimnya sebuah huta mempunyai perwakilan swkurang-kurangnya dari dua klan atau marga ( yang patrilineal ).setiap klan disebut : marga, merupakan sekumpulan orang orang yang percaya, bahwa mereka merupakan satu keturunan yang terbagi dalam kelompok-kelompok merupakan sebuah masyarakat hukum atau sebuah kesatuan social yang kompak. Disini kita lihat bukan karena adanya kepercayaan yang irrasional, tetapi ada alasan-alasan yang riil, membuat mereka satu kesatuan yang kompak, rasional, terutama dalam menghadapi urusan-urusan permusuhan / pembelaan ) terhadap marga lain. Dalam tiap huta, marga yang mendirikan huta itu ( marga asal ) adalah yang terutama, oleh karena itu, yang berkuasa atau memrintah disebut : marga raja atau marga tanah. Pada orang batak ada suatu sistem susunan pemerintahan huta, bertalian erat dengan cara ambil mengambil dalam perkawinan, antara marga-marga yang bersangkutan. Sudah kita ketahui bahwa sistem ini disebut exogami. Setiap marga ( misalnya marga A ) biasanya mempunyai satu atau lebih marga ( sebagai marga B ), yang senan tiasa menyediakan kaum wanita sebagai calon istri bagi laki-laki dari marga A. Marga B ini disebut : marga hula-hula atau marga mora : marga A terhadap marga B disebut : marga boru. Dalam pemikiran atau sistem pemikiran orang batak, marga A adalah marga yang menerima keselamatan yang berarti dialah pihak menentu atau semenda. Hubungan ini harus tetap asli tidak boleh timbal balik. pada masa kini keadaan tersebut sudah tidak beitu tertib lagi. Ditiap-tiap huta yang didiami oleh suatu marga tertentu ( yaitu marga hula-hula ), terdapat sedikitnya satu marga pendatang lain sebagai marga baru. Jadi dalam satu huta marga yang memerintah ( marga tanah ) ialah yang hula-hula ; sedang marga baru yang datang ( yang menumpang ) berkedudukan sebagai orang yang nomor dua . Marga tanah itulah yang menguasai hak-hak atas tanah dan mempunyai hak menjadi kepala huta atau raja. Walaupun dewasa in terdapat susunan yang agak berbeda, agak kurang tertib, namun susunan yang semestinya ( inoriginal ). Adalah seperti yang diuraikan tersebut diatas . karena hubunga perkawinan antara hula-hula dan boru tidak boleh timbal balik, sudah tentu marga hula-hula tersebut membutuhkan marga lain, tempat dia memngharapka mendapatkan wanita, untuk melanjutkan keturunannya. Jadi dia memerlukan satu arga yang merupakan hula-hula dan terhadap siapa dia menjadi boru. Berhubung-hubungan perkawinan dalam sebuah huta, selalu diperlukan paling sedikit tiga marga atau cabang dari tiga marga, hingga terdapat suatu hubungan saling memerlukan, merupakan suami lingkaran perkawinan yang kompak ; keadaan susunan tiga marga, inilah trkenal dalam tata susunan masyarakat batak, dengan nama : dalian na tolu. 51

Agaknya nyata bagi kita tipe-tipe persekutuan hukum negeri / di MInangkabau atau persekutuan daerah di tanah batak, demikian juga tipe waterschap ( subak ) di Bali, walaupun dalam jumlah sekarang ini agak berkurang, juga tedapat golongan-golongan dan perkumpulan lain. Seperti perkumpulan agama dan dagang, hubngannya satu sama lain adalah organis, jadi bagaikan suatu kesatuan tubuh, bersangkut paut dan tali temali satu sama lain. Semua ditujukan untuk kesejahteraan persekutuan yang dianggap bersipat abadi dan kenjutan cara berpikir ini. Dihubungkan pula dengan kepercyaannya bahwa pencipta alam besar atau kosmos itu ada. Dasar cara berppikir ini pun dikembalikan kepada keterbatasan daya dan upaya manusia sebaliknya maha kuasanya sang penciptanya itu sendiri, inilah dasa yang sebenarnya cara berpikir orang sederhana di dalam masyarakat yang sederhana, yaitu religio magis difatnya dan komunalistis di dalam tata susunan masyarakat. Masih ada pembagian lain di dalam susunan ketata negaraan menurut adat, ialah adanya persekutuan atau golongan yang terbagi dalam tingkat-tingkat ( standen ). Kita dapat menarik kesimpulan, bahwa hubungan-hubungan seperti di dalam suatu huta di Batak, antara marga tanah dan marga-marga yang lain, sedikit banyak mempunyai hubungan yang cenderung di kualifikasikan sebagai hubungan antara tingkat gdn tingkat, walaupun hubungan itu adalah pungsionalsifatnya. Lambat laun menimbulkan kesan kepada agota-anggotanya bahwa tingkat yang satu kurang dari tingkat yang lain; di dalam prospek ke masyarakatannya, sudah tentu hubungan ini menjadi hubungan yang feodalistis. Di desa-desa di jawa dan bali, dimana tingkat-tingkat itu tampak jelas dan rapat hubungannya dengan pemilikan terhadap tanah (ada atau tidak adanya seorang warga yang memiliki sawah), khas juga dengan system keturunan, berhubungn rapat dengan kekuasaan yang timbul dikalangan orangorang yang berjasa, tetapi kemudian kekuasaannya ini cenderung untuk mengkonsilidir diri. Akhirnya punck kekuasaan seseorang didukung oleh suatu golongan kecil berhadapan dengan massa yang besar maka di dalam riwayat pertumbuhan masyarakat Indonesia, seorang yang ada di puncak disebut : Raja dengan dikelilingi oleh golongan elite yang disebut : kaum bangsawan. Dari kalangan massa yang besar itu, di Jawa mereka memiliki tanah/sawah sendiri beserta rumah dan pekarangannya, mereka ini disebut : tingkat baku/pelopor. Menyusul kemudian tingkat lain, agak kurang dari yang disebut pertama tadi, ialah orng-orang yang hanya mempunyai pekarangan atau rumah kecil, mereka ini disebut : Tingkat tegakkan. Termasuk tingkat yang ke tiga, ialah orang-orang yang tidaak mempunyai tanah dan pekarangan, yaitu tingkat penumpang dan tingkat pendatang. Dalam susunan ini sudah dapat dipastikan, bahwa yang menempati jabatan-jabatan di dalam suatu desa adalah orang-orang dari tingkat pertama dan ke dua ; seperti juga dipersekutuanpersekutuan hokum di daerah melayu dan Riau juga terdapat tingkat-tingkat yaitu : tingkat bangsawan dan orang kebanyakan, masing-masing disebut golongan datuk/datuk kayo, mempunyai title (gelar): wan atau tun; tingkat-tingkat seperti inipun terdapat pula sdi daerah-daerah lain seperti Kalimantan, Sulawese dan Sumba dengan berbagai nama; di Sulawesi ada golongn Karaeng kemudian menjadi daeng. Sering diceritakan di dalam susunan tingkat-tingkat di Indonesia terdapat tingkat budak belian; sungguhnya tidak ada lagi, namun menurut kenyataan di mana-mana di Indonesia golongan ini terjadi karena dua hal, yaitu; 1. Karena Khal perang dan kemudian ditawan 2. Karena berhutang dan tidak dapat membayar. Terpaksa ditebus dengan bekerja seumur hidup a.l. di Sumatra Barat yang dikenal dengan istilah anak kemenakan di bawah lutut-anak kemenakan bertali emas. Sudah tentu golongan ini, adalah golongan terendah di dalam masyarakat. Juga sudah tentu suatu perkawinan antara tingkat yang satu dengan tingkat yang lain merupakan larangan kuat atau suatu pantangan ; tetapi jika dilakukan di luar persekutuan, mungkin hal ini tidak berlaku bagi orang dari tingkat bangsawan. Sehingga dengan demikian walaupun ada pelanggaran, si bangsawan tetap mempertahankan derajatnya dan dengan demikian dimulainya suatu peluncuran dari

52

tingkat-tingakat itu, sehingga menjadi langkah kearah Demokratisasi, terlebih karena didorong atau dipengaruhi oleh peradaban moderen. Terutama bagi tingkat pembesar, dianggap suatu pantangan menikah diluar golongan, diluar standnya sendiri, yaitu suatu pantangan atau larangan yang turut menjaga, supaya golongan pembesar itu dapat bertahan sebagi suatu golongan yang jelas terpisah dari golongan lain. Apabila pantangan itu desertai dengan pantangan bagi orang biasa untuk kawin dengan orang diluar persekutuan hukumnya, maka pantangan yang terakhir ini kerap kali tidak berlaku bagi golongan pembesarnya, sehingga mereka ini dapat kawin diluar persekutuan hukumnya, tetapi di dalam golongan tingkatnya sendiri; dengan demikian ikut memudahkan pemeliharaan tinngakat pembesar yang bersangkutan. Akan tetapi di massa kini, pantangan kawin di luar stand ini mulai pudar. Peraturan ini tentu lambat laun akan lenyap, berhubung dengan meningkatnya peradaban terutama sekali karena pendidikan, manusia akan bertindak secara lebih rasional dan demokratis. Alat-alat perlengkapan dan tugasnya menurut/di dalam hokum adapt tata Negara. Setiap persekutuan hokum, baik territorial maupun genealogis, selalu bertindak segbagai kesatuan keluar dan kedalam. Persekutuan dapat berbuat demikian dengan alat-alat perlengkapannya bertindak untuk dan atas nama kesatuan itu. Persekutuan dapat bertindak kalau diadakan jabatan-jabatan umum, dengan pejabat-pejabatnya yang bertindak resmi untuk kepentingan umum. Di Negara-negara yang moderen sekarang telah biasa ada pembagian, malah pemisahan antara pelbagai jabatan dan pungsi, bahkan untuk jabatan yang penting ditunjuk seorang pejabat. Pembagian antara pelbagai pungsi (seperti perundang-undangan, pemerintahan dan kehakiman) telah lebih lama berlaku dari pemisahan yang jelas, yang terdapat antara para pejabat atau antara pelbagai kekuasaan. Di dalam hukum adat juga terdapat pembagian, tetapi sangat samara-samar dan di dalam hal pemisahan di dalam hukum adat belum ada sama sekali; tegasnya belum dikenal pejabat-pejabat tersendiri untuk per UU untuk pemerintahan dan untuk kehakiman. Oleh karena itu, percampura fungsi-fungsi dan jabatan-jabatan harus diingat dalam mempelajari hukum adat tata Negara. Dmk preuu an menyusun peraturan sebagai fungsi tersendiri, yaitu dengan sengaja menyusun dan menetapkan peraturan-peraturan hukum terlebih dahulu (a-priori) mengenai semua hal yang mungkn terjadi dikemudian hari, misalnya telah terdpat di Bali, setiap desa mempunyai peraturan-peraturan desa yang tertulis, yang disebut awig-awig. Juga di Jawa barat terdapat peraturan-peraturan desa yang ditetapkan dalam desa. Di Nias waktu mengadakan suatu ikhtiar dimuka kepala adat, dikuatkan dengan simpah dan sekaligus sumpah teresebut berfungsi sebagai peraturan pkok. Malahan sebagai sebuah aturan pokok, sebagai suatu peraturan dasar yang ditetapkan lebih dulu. Juga di Ambon, Batak, Toba dan minagkabau terdapat hal-hal serupa. Berhubungan dengan perkembangan jaman, proses penetapan peraturan yang menentukan peraturan-peraturan untuk kepentingan masyarakat, tentu mengalami perubahan-perubahan besar, terutama karena pengaruh modernisasi yang dating bertiup dari dunia barat. Namun dapat dikatakan untuk seluruh Indonesia terdapat empat sifat umum mengenai masalah-masalah alat-alat perlengkapan dan tugasnya yaitu : 1. Bahwa pemerintah di dalam sesuatu persekutuan hukum di Indonesia, menurut hukum adat tata Negara selalu di dalam tangan seorang pemuka atau kepala desa, kepala negeri, kepala negurai di Ambon. Di antara pembesar-pembesar itu, biasanya terdapat seorang atau dua orang yang derajatnya terhitung paling tinggi; jadi dalam pemerintah masyarakat hokum,dia memegang tampuk kekuasaan, sedang pembesar lain mejadi pembantunya. 2. Boleh dikatakan di setiap tempat, putusan-putusan yang terpenting mengenai perkara umum ditetapkan dengan suatu rapat oleh semua warga sepersekutuan, termasuk wanita dan orangorang yang terhitung setengah warga; masing-masing dibawah pimpinan kepalanya. Dalam rapat demikian, warga persekutuan terkemuka biasanya lebih banyak bersuara dan berpengaruh. 3. dalam pada itu mengenai hal-hal penting, kepala-kepala persekutuan ( termasuk pembantu-pembantunya) bermusyawarah dengan warganya atau dengan warga-warga yang terkemuka,

53

sehingga dalam hal demikian para pembesar dapat di anggap bertindak dengan pengaruh, atas nama dan sesuai dengan pendapat umum dalam persekutuan itu. 4. Dalam pengankatan seorang kepala adat dan pembantu-pemabantunya, unsure turun temurun hampei dimana-mana menjadi ciri yang khas. Jelas terlihat, juga hampir selalu disertai dengan suatu pemilihan atau dengan pengakuan tegas dari warga persekutuan. Dalam hal ini sebuah orang ahli waris jabatan adalah yang paling berhak, tetapi apabila dia karena alasan apappun dianggap tidak cakap, dia pun dilalui dan diganti oleh ahli waris berikutnya yang cakap ( ahli waris disertai dengan pemilihan). Di pelbagai daerah di Indonesia, dengan adanya pemerintah kolomial hadiah Belanda, dedikit banyak tentu timbul perubahan-perubahan yang disesusaikan dengan kepentingan pemerintah Belanda. Diantara perubahan yang mneyolok, adalah unsure penggantian, banyak diganti dengan cara penunjukan dan kadang-kadang juga dengan pemilihan, tetapi atas dasar pola barat. Walau bagaimana, perubahan yang didesakkan oleh kultur barat kepada kehidupan asli Indonesia, tidak seberapa berbekas disbanding dengan keadaan nyata, seperti halnya di Jawa ( susunan pemerintah dari kabupaten sampai ke desa ). Pemerintah negeri di MInangkabau pun tak banyak berubah. Di pedesaan jawa ( jawa tengah dan jawa timur ) sebagai alat atau organ pemerintah terutama adalah kepala desa ( bekel-lurah-petinggi); dial ah terutama menjalankan pemerintah sehari-hari desa dibantu oleh beberapa pejabat desa lain yang disebut perabot desa. Orang terpenting diantara pembantu-pembantu adalah wakilnya yang disebut kamitua, kexuali penting kedudukannya dalam arti pekerjaan sehari-hari, juga mewakili kepala desa dalam hal : dia tidak ada atau tidak dapat berfungsi sebuah orang juru tulis desa atau carik, kadang-kadang bertindak sebagai wakil lurah/kepala desa, malahan menjadi kebiasan dia kemudian mengganti kepala desa. Tugas-tugas di dalam desa yang lain diselenggarakan oleh pesuruh desa atau kebayan bertugas meneruskan perintah dan mengarahkan warga desa melakukan pekerjaan-pekerjaan untuk kepentingan umum; pejabatan lain disebut modin bertugas di lapangan agama, mengurus rumah rumah peribadatan, di dalam upacara-upacara bertindak sealku penghulu ( mengurus soal-soal nikah, rujuk dan talak ), tidak kurang penting ialah keamanan di dalam desa, diselenggarakan oleh polisi desa yang disebut jaga baya. Sungguhpun tidak fungsional sebagai alat kelengkapan desa yang organic, patut dicatat sekumpulan orang tua, orang orang terkemuka atau orang yang terpelajar ( menurut ukuran desa ), di dalam keadaan tertentu merupakan penjaga tradisi desa, menjadi penjaga hidup kebatinan dalam desa dan di dalam hal-hal penting mengawasi dan memutuskan prihal perbuatan-perbuatan yang merupakan pelanggaran kesusilaan, terutam dalam hubunga perbuatan muda-mudinya mereka memberi peringatan, celaan, izin dan juga hukuman, tentang perselisihan suatu istri antara orang tua dan anak penyelasaiannya tidak jarang menjadi tugas mereka. Jadi sungguh pun mereka merupakan pembantupembantu suka rela dari kepala desa, mereka juga lah merupakan tingkat-tingkat terakhir tempat pemerintah desa minta nasihat yang sungguh penting artinya bagi kehidupan desa. Di pedesaan jawa menurut hukum adat, ketiga alat kelengkapan desa tersebut terdiri dari : Orang orang tingkat pertama ( orang baku ), yaitu penduduk asli bertempat tinggal secara turun temurun dan mempunyai rumah sawah-tegalan ;mereka itulah kadang-kadang disebut keturunan pendiri-pendiri desa yang petama kali disebut dengan istilah : cikal bakal. Suatu segi penting lagi dalam kehidupan desa, adalah penyenggaraan pengadilan desa, diselenggarakan oleh kepala desa ( sebagai hakim desa tunggal ) sebagai mana diatur dalam : pasal 32 RO jo UU No. 1/1931: sudah barang tentu di dalam penelenggaran ini ia dapat memilih sendiri pembatu-pembantunya yang fungsional di tambah beberapa orang terkemuka. Disini kita melihat dengan jelas, bahwa alat perlengkapan desa ( lurah cs ). Selalu menyelenggarakan semua kewajiban mengenai cabang-cabang kekuasaan pemerintah desa. Ternyata pada bahwa disini tidak ada pemisahan kekuasaan yang jelas di antara fungsi-fungsi atau pejabat desa. Mengenai alat kelengkapan pemerintah negeri di Minangkabau telah kita bicarakan dalam halaman-halaman yang lalu namun untuk perbandingan dengan keadaan desa di jawa, patut kita 54

tegaskan lai disini sebagai patokan bahwa di Minangkabau dibedakan dua macam pemerintah ada, yaitu meurut adat bodi caniago dan menurut adat koto piling. Di dalam lingkungan daerah yang pertama( adat bodi caniago di daerah agam ) sebagai kita ketahui : penduduk negeri terdiri dari keluarga keluarga yang matrilineal ditiap-tiap famili menurut garis keturunan ibu. Walaupun hanya anak perempuan yang diikutkan atau yang menjadi factor dalam menentukan kedudukan di dalam pemerintah famili, namun tidak berarti bahwa kaum ibulah yang memrintah; oleh karena itu lah kata matrial khaat tidak cocok untuk kata susunan pemerintah di minangkabau karena : sesungguhnya bukanlah kaum ibu yang memerintah. Memang keturunan kaum ibu besar pegaruhnya terhadap unsure-unsur intern famili,tetapi kaum laki-laki lah ( yaitu : saudara laki-laki dari kaum itu tersebut ) yang memegang jabatan pemerintah famili, disebut ninik mamak. Suatu famili atau faruik meliputi pelbagai cabang famili / jurai, masing-masing dibawah pimpinan seorang tua laki-laki yang disebut : mamak kepala waris. Pada suatu saat mungkin saja terjadi, sebuah jurai tidak mempunyai mamak, kepala waris ( tungganai ) sendiri, maka yang akan menggantikannya adalah tungganai / jurai yang tertua, yaitu penghulu andika. Penghulu andiko dari semua famili di dalam suatu negeri, merupakan bersama-sama orang orang yang sederajat, membentuk apa yang dinamakan kerapatan negeri, suatu dewan pemerintah yang memegang pucuk pemerintah di dalam negeri itu. Di dalam rapat kepala kepala famili itu ( kerapatan negeri ) dibicarakan, di musyawarahkan dan diputuskan hal-hal yang menyangkut kepentingan umum di dalam negeri; untuk urusan semacam itu mereka berapat di dalam balai, mereka duduk sama rendah dan tegap sama tinggi lazimnya dikatakan, bahwa adat bodi caniago, demokratis sifatnya. Keputusankeputusan di ambil dengan suara bulat ( sekata sepakat ), dihadiri seluruh keluarga negeri yang kadang-kadang ikut berbicara. Kerapatan negeri merangkap dewan pemerintah sekaligus dewan pembantu peraturan, termasuk juga pengadilan. Jadi di banding dengan kebudayaan barat, dalam hukum adat tidak terdapat pembagian apalagi pemisahan kekuasaan. Lain halnya organisasi pemerintahan menurut adat koto filiang. Sebagai mana telah kita ketahui, disana famili famili terhimpun merupakan satu uni ( pederasi ), terdiri dari paling sedikit empat klan atau suku, disini setiap famili di kepalai oleh andiko. Sedang tiap-tiap suku di kepalai penghulu suku, seorang yang dituakan dari antara sekian banyak kepala kepala famili, bersama-sama dibawah pimpinan penghulu suku pemerintah suku itu, untuk keperluan pemerintahan suku atau kerapatan suku. Untuk keperluan pemerintah suku, diangkatlah pembantu-pembantunya, yaitu : 1. seorang manti ( untuk pemerintah ) 2. seorang dubalang ( untuk keamanan / polisi ) 3. seorang mallim ( untuk urusan agama ), bersama-sama dengan 4. penghulu suku mereka disebut urang nan ampe jinih ( orang yang berfungsi empat jenis ). Yang memangku negeri ialah keempat penghulu suku yang di kepalai oleh penghulu pucuk, bertindak sebagai kepala negeri atau pucuk negeri;selalu bermusyawarah dengan pembantunya dan dengan penghulu andiko. Pegadilan di atur tingkat-tingkat dengan kemungkinan melakukan banding atau appel kepada ke empat penghulu suku di dalam satu kerapatan negeri. Walaupun pada dasarnya mereka mengambil keputusan dengan musyawarah, jadi demokratis, namun di dalam balai terllihat perbedaan tingkat dalam tempat duduk, yaitu pucuk negeri dan penghulu suku menduduki tempat yang lebih tinggi.satu hal yang patut di perhatikan, bahwa semangat gotong royong sangat tinggi : bersamasama mereka menyumbangkan barang-barang keperluan, melakukan pekerjaan untuk kepentingan umum dan dianggap sebagai pekerjaan amal dengan tak mengharapkan imbalan, adalah suatu ciri kebudayaan. Sungguh pun tidak diatur secara tertulis, tetapi berlaku sangat kuat. Gotong royong ( sambat sinambat ) dilakukan untuk mendirikan balai desa, mesjid, membersihkan gelanggang, arena atau lapangan dan lain-lain. Syarat suatu negeri adalah : harus mempunyai gelanggang, mesjid ( surau ), tapian dan balai. Suatu segi dalam pekerjaan gotong royong in, sebagai suatu ciri khas dari adat, adalah bahwa pekerjaan yang dilakukan untuk para pembesar, mengerjakan tanah bengkok, mendirikan rumah, dipandang juga suatu pekerjaan secara gotong royong; sama dengan pekerjaan55

pekerjaan untuk dinas desa antara lain membuat jalan memelihara dan membuat saluran air, dan lainlain.

56

BAB VI HUKUM ACARA ADAT Di Negara kita UU pokok kekuasaan kehakiman ( UU-pkk), menjadi h dasar untuk penyenggaraan kekuasaan kehakiman dan hukum acara baru. Sampai sekarang masih belum ada bentuk hukum acara perdata baru itu, sehingga masih berpedoman pada HIR hukum acara perdata kita. Tetapi bagi hakim yang bertugas mengadili menurut hukum adapt, soal yang dihadapi ialah : apakah isi dan arti suatu peradilan berdasar hukum adapt, hingga sekarang masih berlaku pasal 131 IS ayat 6 sampai berbentuk kodifikasi yang di uni fikasikanmenurut UU. PKK. Pasal 131 ayat 6 IS menentukan bahwa : hukum perdata dan hukum dagang bagi golongan bangsa Indonesia yang berlaku pada waktu mulai beralkunya IS ( jadi tanggal 1 januari 1926 ), tetep berlaku selama dan sekadar tidak diganti menurut per-UU-an Negara kita, jadi : masih tetap berlaku sebagai mana dinyatakan dalam pasal 75 RR ( lama ) tahun 1854. Pasal 75 RR ( lama ) berbunyi bahwa sejauh per-UU-an bagi golongan bangsa eropa tidak diterapkan untuk golongan bangsa Indonesia dan sejauh orang Indonesia tidak menyatakan dengan suka rela bahwa ia tunduk kepada hukum perdata dan hukum dagang eropa, maka untuk golongan hukum bangsa Indonesia asli,hakim harus memakai hukum adat sekadar hukum adat itu tidak bertentangan dengan dasar-dasar keadilan yang umum yang diakui; jikalau peraturan hukum adat yang bersangkutan bertentangan dengan dasar-dasar keadilan tersebut, maka hakim wajib memakai dasardasar hukum perdata dan hukum dagang eropa sebagai pedoman. Hal ini juga bukan suatu unieu ( sama dengan yang khas, ditempat lain tidak ada ) di daerahdaerah bekas jajahan inggris dan prancis, afrika yang memang selalu berpedoman kepada dasar-dasar umum dari Negara-negara penjajah, yang secara objektiv memang dapat lebih menjamin karena di dalam proses perkembangan sejarah sudah lebih tua dan juga karena tertulisnya menjadi lebih terjamin. Menurut hukum positive kita, dalam pasal 75 ayat 3 RR ( lama ) dinyatakan, bahwa hakim berwenang untuk mengesampingkan hukum adat jika hukum itu bertentangan dengan dasar-dasa keadilan yang umum dipakai. Selanjutnya di dalam pasal 75 ayat 6 RR ( lama ) dinyatakan, bahwa hakim berwenang untuk memakai dasar-dasar umum dari hukum eropa sebagai pedoman, jika tidak ada peraturan hukum adap. Agak jauh kita perlu meneliti secara histories,bagaimana kedua wewenang tersebut masuk dalam pasal 75 RR (lama)prof.van vollenhoven menulis di dalam adatrecht halaman 383,- bahwa pembentuk UU dalam tahun 1854 tidak mengetahui seluk beluk atau sifat-sifat tentang hukum adat serta sistemnya. Hanya pada waktu itu mereka menduga-duga bahwa : hukum adat tertentu mempunyai kekurangan-kekurangan bila dibandingkan dengan peraturan barat, sehingga tidak patut diperlakukan. Maka dalam hal ini pembentukan UU ( RR ) tatkala mengkuti persekutuan-UU-an yang telah ada lebih dulu di Hindia belanda, yaitu peraturan Raffles pada tahu 1814, bahwa para presiden ( kepala daerah setempat ) yang mengetahui pengadilan wajib melakukan UU dan kesusilaan asli yang telah ada jadi mengikuti hukum adat, asal hukum adat itu tidak bertentangan dengan the universal and ack konwleged principles of natural justice. Maka pada tahun 1819 komisi jendral Hindia Belanda, guberbur jendral van der-capellen pada tahun 1825 , mengikuti jejak Rafles. Malahan pada tahun 1832 pemerintahan Hindia Belanda mengeluarkan sebuah peraturan ( staat sblad) yang menyatakan, bahwa hukum adat tidak dianggap bertentangan dengan dasar keadilan, jika hukum itu semata-mata karena tidak sesuai dengan pasal-pasal 2 dalam UU positive yang berlaku bagi golongan eropa. Dari faktafakta diatas, kita dapat menarik kesimpulan, bahwa : wewenang hakim yang kita bicarakan diatas tadi sebenarnya berasal dari tahun 1814 kemudian dimasukan ke dalam pasal 11 AB san dari situ ditiru menjadi pasal 75 RR. Tetapi wewenang itu hanya meliputi bidang hukum perdata, tidak mengenai hukum pidana ( karena hukum pidana sudah ada kodifikasinya ). Dengan demikian, bila mana sesuai peraturan hukum adat bertentangan dengan dasar-dasar keadilan yang umum, terserah kepada anggapan hakim untuk menempuh kebijaksanaan sendiri. 57

Bagaimanakah penerapan hukum adat itu, yang dilakukan oleh hakim-hakim di massa lampau ? Menurut juris pridensi dalam adat recht in de jurisprudientie, a.l. dalam tahun 1912 oleh Mr. van enthoven; dalam tahun 1912 -1923 oleh Mr. v.d. meulen; dan dalam tahun 1923-1933 oleh Mr. poerenbeker, dapat ditemukan hal-hal sebagai berikut. Berdasarkan buku-buku tersebut, pada jaman Hindia Belanda ternyata sangat jarang hakim menganggap sesuatu perbuatan hukum adat bertentangan dengan dasar-dasar keadilan. Namun kita mendapat putusan-putusan hakim yang mengesampingkan hal-hal sebagai berikut, yaitu : 1. peraturan hukum islam, dalam laud rad Surabaya 1819, menentukan bahwa hibah oleh seseorang pada waktu ia sakit, yang menyebabkan kematiannya adalah batal ( artinya dibolehkan menurut hukum adat ) 2. peraturan hukum islam, bahwa orang bukan islam tidak berhak mendapat warisan dari orang islam ( dalam landrad- bogor 1924 ) 3. peeraturan hukum adat dibeberapa daerah di Jawa timur ( mojokerto, jombang, bangil ) bahwa tanah yang digarap oleh seorang warga desa, setelah beberapa tahun digarap akan dikuasai kembali oleh desa ( a.l. dalam landrad mojokerto 1918 ) 4. landrad medan dalam putusannya tanggal 1 juni 1937 ( T.148 ) menganggap bahwa peraturan hukum adat batak mengharuskan supaya anak-anak belum cukup umur, setelah ayahnya meninggal, ditarik dari kekuasaan ibunya dan diserahkan kepada pemililik dari pihak ayah. Bertentangan dengan dasar-dasar keailan umum yang diakaui apabila peraturan hukum adat tersebut diberlakukan terhadap sesuatu keluarga batak yang telah hidup secara modern, diluar daerah atau diluar suasana tradisional batak. 5. landrad menado diputuskan pada tangal 8 Desember 1938( T.150), bahwa adat kebiasaan minahasa tidak mengenal pertanggung jawaban dari seorang jurang ( = pemilik kapal ) atas orang orang bawahannya yang telah melakukan perbuatan-perbuatan melawan hukum di lapangan kerja, bertentangan dengan dasar-dasar keadilan umum yang diakui. Itulah contoh-contoh di dalam juris prudensi, hakim harus mengutus perkara menurut hukum adat dan yang telah menyimpang. Menurut juris prudensi pada jaman Hindia Belanda, seringkali hakim menganggap terhadap soal yang di adilinya tidak ada peraturan hukum adatnya. Sedang sebenarnya bukan tidak ada peraturan melainkan hakim tidak mengetahui adat setempat atau hakim tidak mengetahui sifat dan sistem hukum adapt. Maka dalam penyelidikan tentang ada atau tidak peraturan, menganalisa problem-problem yang dihadapi, sering kali salah umum umpamanya : apakah hukum adat mengenal lembaga hukum yang mempunyai arti dan isi tetap di dalam sistem BW. Dengan sendirinya pertanyaan tersebut tidak terjawab, oleh karena justru hukum adat berlainan dengan sistem BW ; hukum adat mempunyai pengertian-pengertian sendiri, sehingga segala persoalan dalam lingkungan hukum adat harus dipormulir cocok dengan sistem hukum adat. Berhubung dengan hal tersebut diatas itu, maka pasal 75 ( ayat 3 dan 6 ) RR ) mengandung instruksi kepada hakim. Ketika di dalam parlemen Belanda di adakan pembicaraan tentang rancangan perubahan pasal tersebut, di usulkan supaya ditentukan, bahwa apabila hukum adat bertentangan dengan rasa kemanusiaan atau bertentangan dengan perubahan hidup yang menyolok dari warga yang bersangkutan, hakim harus mengadili berdasar keeadilan yang patut (ex aequo et bono ); namun usul ini dicabut kembali oleh pemerintah belanda di Nederland. Di dalam tulisannya van vollenhoven menganjurkan, supaya usul yang telah dicabut, ditetapkan saja. Melalui perjuangan berbelit-belit dan lama, akhirnya berkata teman sepengertian yaitu ter Haar di Hindia Belanda di dalam S. 1932-80; pasal 26 ayat 2 ( tentang ordonnantie of de inheemscherechtspraak = peradilan adat ), dicantumkanlah kata-kata yang berbunyi, bahwa : jikalau sesuatu hukum adat bertentangan dengan syarat-syarat kemanusian maka hakim harus mengadili menurut keadilan yang patut. ( sebagai mana juga sekarang, syarat ex aequo et bono terdapat dalam pasal 38 ayat 2 dari statute international court of justice ).

58

Sebagai contoh peraturan hukum acara adat yang dianggap oleh ordonansi ( S. 1932-80 ) bertentangan dengan syarat-syarat kemanusiaan, yaitu cara pembuktian adat, misalnya terdakwa harus menyusup ( masuk ) ke dalam air atau masuk api ; maka pasal 42 ordonansi tersebut melarang dipakainya alat pembuktian itu sebagai cara untuk menemukan kebenaran material ( materieele waarheid ). Instruksi pada hakim yang dimuat dalam pasal 75 RR tidak dioper di dalam pasal 131 IS, sehingga hal ini tidak berarti : hakim tidak boleh lagi mempersoalkan apakah suatu peraturan hukum adat bertentangan atau tidak dengan syarat-syarat kemanusiaan malahan hakim menurut fungsinya berwenang, bahwa wajib mempertimbangkan apakah peraturan hukum adat mengenai perkara yang dihadapi, masih selaras atau sudah tidak sesuai atau bertentangan dengan kenyatan social, sepadan dengan pertumbuhan situasi baru di dalam masyarakat. Maka untuk menemui bagaimana bunyinya hukum adat terhadap perkara-perkara atau soal yang dihadapi, hakim tidak terikat peraturan peraturan tentagn pembuktian di dalam HIR ; di dalam hal ini hakim mempunyai kebebasan yang tidak dibatasi oleh peraturan. Timbul pertanyaan : bilamanakah suatu peraturan yang hidup di dalam masyarakat dapat diakui sebagai peraturan hukum ? dalam hal ini pandangan kita berdasar pendapat van vollen hoven adatrecht II, adalah sebagai berikut : bahwa dalam hal ini hakim harus tidak mempergunakan suatu teori, melainkan harus melihat kenyataan apabila hakim menemui peraturan-peraturan adat oleh masyarakat dianggap patut dan mengikat para penduduk serta perasaan umum bahwa peraturan itu harus dipertahakan oleh kepala adat ( tangsionaris hukum ) lainnya maka peraturan adat itu terang bersifat hokum. Juga ter Haar di dalam oratornya ( pidato dies ) tahun 1937-berkata, bahwa hukum adat yang berlaku, hanya dapat diketahui dari penetapan para fungsionaris hokum, baik di dalam maupun di luar persengketaan. Malah di dalam bukunya asas-asas dan susunan, bab XIV menulis, bahwa hanya dari penetapan ( Bes lissing ) yang dinyatakan oleh para fungsionaris hokum, dapat diketahu bahwa itulah persekutuan hukum yang berlaku pada saat penetapan itu suatu peraturan adapt yang tidak tertulis mendapat sifat hokum, pada saat penetapan itu diputuskan yang disebut moment eksistensi. Hukum itu ( logemann, over the theori van een stellig straatsrecht, 1941 hal 12 ). Penetapan para fungsionaris, secara formal mengandung peraturan hukum akan tetapi kekuatan material dari peraturan peraturan itu tidak sama. Apabila suatu putusan di dalam kenyataan social sehari-hari diturut oleh masyarakat, maka tentu kekuatan material keputusan tersebut dapat dipercaya ( pasti ). Aebaliknya suatu keputusan / penetapan yang tidak di turut atau tidak dijalankan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari meskipun formal mengandung peraturan hokum, namun kekuatan materialnya nihil. Dengan demikian maka kita mellihat tebal/tipisnya kekuatan material suatu peraturan hukum adat, tergantung kepada beberapa factor antara lain : 1. lebih atau kurang banyaknya penetapan serupa yang memberikan stabilitas kepada peraturan hukum yang diujudkan oleh penetapan hokum, 2. berapa jauh keadaan social di dalam masyarakat sudah mengalami perubahan, 3. berapa jauh peraturan itu selaras dengan sistem hukum adat yang berlaku, 4. berapa jauh penetapan itu selaras dengan syarat-syarat kemanusiaan . dengan melihat kepada empat factor diatas, disini ter haar menegaskan kembaliu ajaran yang telah kita ketahui pada pelajaran-pelajaran yang lalu. Dengan demikian kita melihat para fungsionaris ( petugas ) hukum di dalam masyarakat hukum adat, melahirkan keputusan-keputusannya tentang halhal yang telah hidup di dalam masyarakat dan yang dirasakan sebagai Patokan-patokan untuk mencapai rasa keadilan. Dengan keputusan atau ketetapan itu, rasa keadilan yang selama ini bersemayam di dalam hati para anggota masyarakat, dengan perantaraan para fungsionaris, dengan ketetapannya mendapat bentuk konkrit yang dikenal dalam istilah jermannya : gesialong. Memang ada ikatan batin ( dengan memakai kata ter Haar di dalam definisinya yaitu : ada strukturel binding ) antara keputusan para fungsionaris hukum adat dengan rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat. 59

Maka hakim atau pengadilan negeri yang mengadili perkara adat harus sadar akan struktur rohani masyarakat, agar supaya keputusan-keputusannya denar-benar selaras dengan lembagalembaga, peraturan peraturan serta kenyataan yang berupa tingkah laku, berpola pada sistem hukum adat dan kehidupan dalam masyarakat. Di dalam hubungan ini, dapat dikatakan bahwa kedudukan hakim (adat ), adalah terikat, tetapi bebas.terikat oleh karena hakim tidak boleh mengadili semata-mata perasaan keadilannya ( secara pribadi ), melainkan ia teikat kepada nilai-nilai yang berlaku secara objektif di dalam masyarakat. Demikian menurut anggapan para sarjana, tetapi hal ini di tegaskan lagi oleh Prof. koetink secara khas di dalam beberapa tulisannya. Ia tetap berpendirian dengan mengatakan, bahwa hakim terikat dengan sistem hukum yang terbentuk dalam masyarakat, tetapi juga berkembang sesuai dengan perubahan masyarakat. Maka dengan demikian, setiap keputusan hakim menyatakan dan memperkuat kehidupan normative yang tidak tertulis itu. Sudah tentu hakim terikat kepada keputusannya sendiri, artinya dalam hal-hal serupa dikemudian hari ia akan memutuskan serupa pula. Berhubung dengan itu tiaptiap keputusan hakim, lebih lebih yang sudah merupakan kasasi yang ditetapkan oleh MA, akan dapat menarik kesimpulan suatu peraturan hukum yang terkandung di dalamnya. Soebektikumpulan putusan Mahkamah Agung , malah kadang-kadang bukan suatu peraturan hukum yang terkandung di dalamnya namun lebih dari itu kadang-kadang keputusan kasasi itu merupakan : garis hukum baru yang revolusioner sifatnya. Berhubung dengan itu tepatt sekali kata prof. secholten dalam bukunya algemeen deel, bahwa tiap-tiap putusan otomatis merupakan suatu generalissering. Kita katakana hakim bebas, karena sistem hukum di Indonesia tibdak mengenal paraece denten leer, sebagai mana halnya berlaku di Negara inggris yang juga umumnya terikat pada hukum adat mereka, yaitu common law; pun di Amerika peradilan juri mengikuti pola yang demikian. Iini berarti, bahwa hakim yang akan mengadili menurut hukum adat bebas meninjau kembali secara mendalam keputusan-keputusan dijaman lampau yaitu mengolah dan menimbang apakah putusan yang terdahulu masih dapat di pertahankan, berhubung dengan perubahan-perubahan di dalam masyarakat. Dengan demikian timbul pertumbuhan perasaan keadilan yang baru. Masyarakat adalah sesuatu yang hidup, selalu bergerak. Berhubung dengan itu, timbullah perubahan-perubahan dan hakim yang cermat, orientasinya selalu sosiologis, berani memberi putusan yang menyimpang dari putusan-putusan yang lampau, walaupun dalam hal serupa. Oleh karena situasi baru di dalam masyarakat, menghendaki diadakannya putusan baru. Pikiran-pikiran yang teoritis original ini, sebenarnya bersumber pada garis yang telah diberikan oleh prof. van vollen hoven dalam adat recht II. Hal. 391 yang menulis, bahwa adalah wewenang bahkan kewjiban hakim untuk senantisa menambah ( menyempurnakan) hukum adat berdasar pertimbangan bahwa memang ada perubahan-perubahan yang cukup besar di dalam situasi kehidupan rekyat, menghendaki digariskannya untuk dibentuknya peraturan hukum yang baru. Di dalam pembangunan hukum seperti sekarang ini, tanggung jawab hakim terhadap masyarakat telah terjadi heterogen terpecah belah dalam beberapa golongan yang berbeda-beda anggapannya tentang normanorma kehidupan baru yang harus berlaku. Dalam hal demikian, harustumbuh suatu hubungan serta pertolongan dari pihak legislative (pembentuk Undang-undang ), sehingga kerja sama yang berlangsung dengan penuh pengertias dapat menentukan undang-undang ( atau apa yang harus berlaku di dalam Negara atau masyarakat sebagai peraturan hukum ), sebab seperti yang telah diuraikan oleh prof. kamhuizen, bahwa kebutuham atau peraturan perundang-undangan lebih besar dengan perkembangan masyarakat hukum dengan makin ruetnya interrelates di dalam masyarakat yang sedang berkebang dengan pesat. Maka keharusan mwmakai hukum yang sederhana itu lambat laun harus di tampung,dengan peraturan tertulis, sebab diperlukan acapkali tindakan-tindakan dari pihak penguasa. Kecuali hal-hal tersebut di atas ini, juga dengan tiap tiap keputusan yang diambil, hakim mempekut peraturan hukum yang berlaku tidak tertulis, mungkin pada suatu saat terhadap suatu soal hakim tidak menemui suatu peraturan, berhubung hukum adatl tersebut soal yang baru di dalam masyarakat yang bersangkutan. Maka dalam hal demikian, hakim tetap wajib mengambil putusan

60

dalam rangka sistem hukum adat yang hidup di dalam daerah hokum, hakim yang sedang menjalankan tugas yang terdapat dalam masyarakat. Di dalam sistem hukum tidak tertulis putusan hakim tidak harus berdasar atas peraturan hukum yang positive telah berlaku sebab putusan hakim tidak wajib berdasar atas suatu peraturan hukum yang perae existent. Di dalam rangka sistem hukum adat, hakim berwenang bahkan wajib, jika terhadap sesuatu soal yang belum ada peraturan hukumnya yang positive, memberi putusan yang mencerminkan rasa keadilan rakyat yang sedang tumbuh ; hakim sebagai pemimpin masyarakat / orang yang terkemuka, wajib membari conoretis sering ( perwujudan ) atau wajib mewujudkan secara konkrit di dalam putusannya hal yang menurut anggapanya sesuai dengan aliran yang terdapat dalam masyarakat. (soepomo, 1958 ). Prof. ter Haar dan scholten mengatakan bahwa peradilan menurut hukum adat adalah : 1. meneruskan dengan rasa tanggung jawab pembinaan segala hal yang terbentuk sebagai hukum di dalam masyarakat; 2. jika tidak ada ketetapan terhadap soal yang serupa / jika ketetapan dari waktu lampau ada, tetapi tidak dapat dipertahankan lagi hakim menurut keyakinannya wajib memberikan keputusan yang akan berlaku sebagai hokum di dalam daerah hukumnya, jadi hakim harus memberi bentuk ( Vorm )kepada hal yang dikehendaki oleh sistem hokum, oleh kenyataan sosisal dan oleh rasa pri kemanusiaan. Dengan demikian hakim wajib menjelaskan di dalam pertimbangan hukum dari keputusannya; berdasarkan alasan-alasan apakah, ia memberi putusan,dan dimuat dalam dictum putusan tersebut. Di dalam peradilan menurut hukum adat, hakim harus menguraikan di dalam putusannya ; apa sebab ia beranggapan bahwa rasa keadilan rakyat menghendaki / memperbolehkan putusan yang diberikan secara konkrit olehnya, mengenai soal yang dihadapi. Sebagai contoh kita tunjukan beberapa putusan ( kasus ) dari jaman Hindia Belanda dulu, jaman 20 tahun belakangan ini, terlihat sebagai contoh hakim tidak menjalankan peraturan hukum adat yang ada, melainkan memberikan putusan batu, berhubung ada pakta-pakta baru yang relevan sehinga langsung memberi sifat istimewa kepada soal yang menjadi sengketa, dengan demikian peraturan yang ada, tidak memberi rasa keadilan; oleh karena itulah dibutuhkan peraturan baru yang dapat memenuhi rasa keadilan terhadap situasi baru itu. Contoh putusan-putusan tersebut antara lain : a. RVJ Medan tahun 1938 memutuskan, bahwa untuk kepentingan anak-anak masih belum cukup umur, tidak mengijinkan diserahkannya anak-anak itu kepada famili pihak bapak, setelah bapak anak-anak itu meninggal, sebagai mana diharuskan menurut hukum garis keturunan bapak di Batak. Oleh karena keluarga batak yang bersangkutan ( ibu bersama dengan anak-anak itu) telah hidup secara modern di luar daerah tradisional batak ; jadi anak-anak itu tetap ada dibawah kekuasaan ibunya sendiri. b. RVJ padang tahun 1939 menetapkan bahwa di Minangkabau pada umumnya anak-anak yang belum cukup umur diwakili oleh mamak kepala warisnya. Tetap barang-barang yang diperoleh ayah anak-anak tersebut, dengan uang pencaharian dan yang dicatat atas nama anak-anak itu, si ayah dapat mewakili anak-anaknya di muka hakim disamping didampingi oleh mamak kepala waris. c. Tentang kasus Daerah. Mochtar yang diputuskan oleh landrad Padang janda dan 6 anaknya menjadi ahli waris yang sah dengan mengesampingkan anggota-anggota famili Daerah. Mochtar sendiri menrut garis ke ibuan yang berlaku di Minangkabau. d. Putusan kasasi MA No. 359/1960. seorang janda diangkat menjadi ahli waris berhubung dengan factor-faktor yang tumbuh di dalam masyarakat setempat yaitu seorang ibu telah lama ikut serta membina harta keluarga dan setelah suaminya meninggal tidak cenderung memutuskan hubungan keluarga dengan pihak anak-anaknya atau keluarga suaminya, - walaupun menurut hukum adat positive janda itu adalah bukan ahli waris. 61

Di dalam hubungan dengan putusan-putusan di atas, jika tidajk diketahui bagaimana bunyi putusan menurt\ut hukum adat dalam suatu perkara, tidak boleh sekali-kali hakim mencari penyelesaian perkara itu berdasarkan hukum islam; melainkan harus tetap mencari penyesaiannya perkara itu, berdasarkan hukum adat yang hidup, mungkin ditempat lain di dalam lingkungan hukum yang bersangkutan dapat ditemukan peraturan hukum adatnya, misalnya: dikatakan bahwa di kota Semarang hukum waris tidak begitu terang mengenai perkara yang dihadapi, maka hakim harus mencari penyelesaian berdasarkan hukum adat yang berlaku di tempat lain, di dalam lingkaran ( lingkungan ) hukum jawa tengah misalnya Ada kalanya pula hakim terpaksa memberi putusan bersifat jalan tengah, yaitu : 1. Bila pakta-pakta yang bersangkutan tidak terang 2. Hukum yang menguasai sengketa tersebut antara kedua nelah pihak tidak terang juga ; 3. Ada pula kemungkinan lain, yaitu memberikan putusan jalan tengah, walaupun paktapakta maupun hukum terang. ( Van Vallenhoven ) dalam adatrecht II, hal.270 dan seterusnya). Sebagai contoh dari peristiwa ad. 1 van vollenhoven menyebut sebuah putusan hakim di Bengkulu, mengenai suatu pertunangan yang putus tanpa diketahui siapa yang berslah, menurut hukum adat septempat apabila pihak laki-laki bersalah, ia akan kehilangan hadiah pertunangan, apabila pihak perempuan bersalah ia harus membayar kembalisebanyak 2 X harga tersebut pada pihak laki-laki, apabila tidak siketahui siapa bersalah, maka putusan hakim sepatutnya adalah : agar pihak perempuan mengembalikan saja hadiah tersebut atau jika dinilai dengan uang, sejumlah harga hadiah tersebut. Sedangkan sebagai contoh dari ad. 2 yaitu di dalam hal tidak diketahui peraturan hukum adat yang berlaku dalam sengketa antara kedua belah pihak, maka hakim memutuskan, bahwa masing-masing mendapat separuh dari panen sawah tersebut. Contoh yang pernah terjadi adalah di Madura. A menyewakan sawahnya kepada B, sedang C merasa bahwa sawah itu adalah miliknya dan menyewakan sawah itu kepada D, maka jika B dan D beritikad baik, mereka akan mendapatkan separuh dari panen sawah tersebut. Ad. 3 tentang kemungkinan hakim memberi putusan jalan tengah ,walaupun fakta dan peraturan hukumnya terang, van vollenhoven mengajarkan, bahwa hakim diharapkan memberi putusn demikian rupa, apabila peraturan hukum yang telah ada jika diperlakukan terhadap perkara yang diadili akan menimbulkan rasa tidak puas terhadap perasaan umum. Tetapi menurut ter Haar di dalam hal yang terakhir ini, putusan hakim tersebut bukanlah putusan bersifat jalan tengah, melainkan bersifat hukum belaka, oleh karena dalam perkara yang diadili terdapat fakta-fakta yang relevan yang menentukan sehingga hakim harus memberi putusan baru yang menyimpang dari putusn yang lama. Sehinggga scholten berpendapat bahwa putusan hakim tersebut sebagai pembentukan hukum baru, yang diciptakan sebagai penyimpangan (recht verfigni) dari hukum yang telah ada. Di dalam S. 1932-80 yang di dalam masa penjajahan Belanda, berlaku diluar jawa dan madura, dirancangkan oleh ter Haar, dimuat pasal 16 ayat 2 yang berbunyi bahwa apabila tidak ada peraturan hukum atau bila keadaan suatu peraturan hukum jika di terapkan akan mengakibatkan putusan-putusan yang menentang syarat-syarat kemanusiaan dan keadilan maka hakim harus mengadili menurut rasa keadilan yang layak (ex aequo et bono). Memang tiap-tiap putusan hakim jugaputusan-putusan yang bersifat jalan tengah, putusan itu akan bersifat putusan menurut keyakinan hakim sendiri ( naar eigen goedvinding) yang artbitrair : demikian antara lain logemann, diuraikan dalam sebuah tulisannya. Dengan demikian dapat kita simpulkan dari ajaran-ajaran tersebut diatas bahwa walaupun dikatakan suatu putusan jalan tengah , namun putusan tersebut tetap suatu putusan menurut hukum ; jadi objektiv atau lebih baik dikatakan : pandangan subjektiv hakim yang di objektivkan berdasarkan hukum ( peraturan-peraturan) yang ada.

62

Dengan demikian kita mellihat bahwa putusan jalan tengah, pada hakikatnya adalah putusan yang membentuk peraturan-peraturan hukum baru, berdasar fakta-fakta baru yang mulai berkembang dalam masyarakat sehingga hakim didorong, malahan diwajibkan menyimpang dari hukum yang murni, yang telah mendapat tempat di masyarakat sebagai hukum adat positive. Pendapat ini didukungo sarjanasarjana sezaman dengan ter Haar a. l. Scholten dan logemann. Tetapi patut diingat disamping mengadili menurut hokum, hakim wajib berusaha mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara; sepeti telah diuraikan oleh Soetomo dalam hukum acara perdata pengadilan negeri. Apabila usaha itu berhasil, menyelasiakan perkara atsa hukuman itu adalah melulu atas tanggung jawab kedua belah pihak, itu berarti : proses berakhir dengan perdamaian. Sudah tentu untuk mengusulkan secara damai, hakim harus mengetahui dasar-dasar hukum dan cara-cara memberi putusan itu. Dengan demikian kita dapat meyimpulkan, bahwa peradilan berdasar hukum adat acara, memerlukan hakim-hakim yang mempunyai rasa tanggung jawab, memandan gsejauh munkin dan tidak kurang pentingnya di tuntun oleh budi yang luhur untuk memberi keadilan, menurut keadaan setempat dansehubungan dengan jaman yang dihadapi; seperti yang pernah dituliskan dalam papakem sirebon maka hakim itu harus bagaikan: - candra yaitu bulan yang menyinari petang; - tirta yaitu air yang membersihkan tempat yang kotor; - sari yaitu bunga yang harum baunya, yang bagi setiap pihak menarik dan bermanfaat. - Cakra yaitu dewa keadilan yang mengawasi keadilan di dunia ini ( supomo, bab-bab 1958).

63

BAB VII HUKUM TANAH ADAT

1. PENGANTAR Tanah mempunyai kedudukan sangat penting dalam hukum adat karena merupakan satusatunya benda kekayaan yang meskipun mengalami keadaan yang bagaimanapun akan tetap dalam keadaan semula, malah kadang-kadang menjadi lebih menguntungkan, di pandan dari segi ekonomis, umpamanya: sebidang tanah itu di bakar di atasnya dijatuhkan bom-bom, tentu tanah tersebut tidak lenyap setelah api padam atau pun setelah pemboman selesai sebidang tanah tersebut, akan muncul kembali tetap bewujud tanah seperti semula. Kalau dilanda banjir, misalnya setelah airnya surut, tanah muncul kembali sebagai sebidang tanah yang lebih subur dari semula. Kecuali itu, adalah suatu kenyataan bahwa tanah merupakan tempat tinggal keluarga dan masyarakat, memberikan penghidupan, merupakan, tempat dimana para warga yang meninggal dunia di kuburkan dan sesuai dengan kepercayaan merupakan pula tempat tinggal dewa-dewa pelindung dan tempat para roh leluhur bersemayam. 2. HAK MASYARAKAT HUKUM ATAS TANAH Di dalam hukum adapt , Maka antara masyarakat hukum sebagai keselamatan dengan tanah yang didudukinya, terdapat hubungan yang erat sekali, hubungan yang bersumber pada pandangan yang bersifat religio-magis. Hubungan yang erat yang bersifat religio magis ini menyebabkan masyarakat hukum memperoleh hak untuk menguasai tanah tersebut, memanfaatkan tanah itu, memungut hasil dari tumbuhan-tumbuhan yang hidup di atas tanah itu, juga berburu binatang yang hidup di situ. Hak masyarakat hukum atas tanah ini di sebut hak pertuanan atau hak ulayat, dan dalam literature hak ini oleh van volenhoven di sebut beschikkingsrecht. Istilah ini dalam bahasa Indonesia merupakan suatu pengertian baru satu dan lain karena dalam bahasa Indonesia (juga dalam bahasa daerah-daerah) semua istilah yang dipergunakan mengandung pengertian kekuasaan, sedangkan beschikkingsrecht itu menggambarkan tentang hubungan antara masyarakat hukum dan tanah itu sendiri. Ini lazimnya dipergunakan istilah hak ulayat sebagai terjemahan beschikkingsrecht . Istilah-istilah daerah yang berarti lingkungan kekuasaan, wilayah kekuasaan atau pun tanah yang merupakan wilayah yang di kuasai masyarakat hukum adalah : a.1. patuan (Ambon), panyampeto (Kalimantan), wewenkon (jawa) prabumian (bali), pawatasan (Kalimantan), totabuan (bulang mangondou), limpo (sulawesi selatan), nuru ( buru ), ulayat ( Minangkabau ). Beschikkingsrecht ataupun hak ulayat, hak patungan, berlaku keluar dan kedalam. Berlaku keluar, karena bukan warga masyarakat hukum pada prinsifnya tidak di perbolehkan turut mengenyam/menggaraptanah yang merupakan wilayah kekuasaan persekutuan yang bersngkutan hanya dengan seijin persekutuan serta setelah membayar pancang, uang pemasukan ( aceh), mesi ( jawa ) dan kemudian memberikan ganti rugi, orang luar bukan warga persekutuan ( masyarakat hukum ) dapat memperoleh kesempatan untuk turut serta menggunakan tanah wilayah persekutuan sebagai suatu persekutuan yang berarti semuan warga persekutuan besama-sama sebagai satu keseluruhan melakukan hak ulayat dimaksudkan dengan memetik hasil dari tanah beserta segala tumbuhantumbuhan dan binatang-binatang yang hidup di atasnya. Hak persekutuan ini pada hakekatnya 64

membatasi kebebasan usaha atau kebebasan gerak para warga persekutuan sebagai perseorangan pembatasan ini di lakukan demi kepentingan persekutuan. Antara hak persekutuan ini (hak ulayat) dan hak para warganya masing-masing(hak individu) adat hubungan timbale balik yang saling mengisi. Artinya lebih intensif hubungan antara individu, warga persekutuan, dengan tanah yang bersangkutan, maka lebih kuranglah kekuatan berlakunya hak ulayat persekutuan terhadap tanah di maksud; tetapi sebaliknya apabila hubungan individu dengan tanah tersebut, menjadi makain lama makin kabur, karena misalnya tanah itu kemudian di tinggalkan olehnya ataupun tanah itu kemudian tidak atau kurang dipeliharanya, Maka tanah di maksud kembali lambatlaun masuk kedalam kekuasaan hak ulayat persekutuan . Jadi hubungan interrelasi antara hak ulayat dan hak individu satu sama lain adalah dalam keadaan mengembung dan mengempis, tergantung pada intensitas (penggarapan) pengerjaan oleh individu. Apakah yang menjadi obyek hak ulayat ini ? Yang menjadi obyek ulayat ini : a. tanah (daratan) b. air (perairan seperti misalnya: kali, danau, pantai beserta perairannya). c. tumbuh-tumbuhan yang hidup secara liar (pohon buah-buahan, pohon untuk kayu pertukangan atau kayu bakar, dan sebagainya). d. binatang liar yang hidup bebas dalam hutan. Bagaimanakah caranya persekutuan memelihara serta mempertahankan hak ulayat? Pertama-tama persekutuan berusaha meletakan batas-batas di sekeliling wilayah kekuasaanya itu. Tetapi usaha ini lazimnya tidak dapat di selenggarakan secara sempurna, lebih-lebih apabila masyarakat persekutuan tersebut, tempat tinggalnya tersebar dalam pedukuha-pedukuhan kecil atau apabila daerah persekutuan tersebut , meliputi tanah tanah kosong yang luas. Usaha kedua adalah menunjuk pejabat-pejabat tertentu yang khusus bertugas mengawasi wilayah kekuasaan persekutuan yang bersangkutan. Pejabat ini di sebut jarring (Minangkabau ), teterusan ( minahasa), kepala kewang (ambon), lelipis lembukut (bali). Di samping petugas yang khusus ini, biasanya di adakan pula patroli-patroli perbatasan; perlu pula di sebut di sini sebagai salah satu cara penegasan wilayah kekuasaan adalh dilakukan dengan surat-surat pikukuh ataupun piagam yang di keluarkan oleh raja-raja dahulu, yang di keluarkan sebagai keputusan hakim hakim kerajaan ataupun hakim hakim pemerintah colonial belanda dahulu atau oleh pejabat-pejabat pamong praja lainnya yang berwenang. Hak ulayat dalm bentuk dasarnya adalah suatu hak dari persekutuan atas tanah yang di diami, sedangkan pelaksanaan nya di lakukan baik oleh persekutuan itu sendiri, maupu oleh kepala persekutuan atas nama persekutuan, Wilayah kekuasaan (deschikkingsgebied) persekutuan itu adalah merupakan milik persekutuan yang pada asasnya bersifat tetap, artinya perpindahan hak milik atas wilayah ini adalah tidak di perbolehkan. Dalam kenyataan nya terdapat pengecualian-pengecualiannya, oleh karenanya dia atas tadi di tegaskan pada asasnya bersifaf tetap. Hak ulayat sendiri di pengaruhi juga oleh kekuasaan kerajaan dan kekuasaan pemerintah colonial belanda.

65

Pengaruh-pengaruh menurut sifatnya ada yang menguntunkan (positif) dan adapula yang merugikan (negative). Pengaruh yang positif ( menguntungkan ) pada umumnya berwujud sebagai perlindungan terhadap ataupun penegakan dari hak ulayat, hak pertuanan suatu persekutuan terhadap tanah wilayah. Contoh : surat-surat pikukuh ataupun piagam yang di keluarkan oleh kerajaan kerajaan yang maksudnya menegaskan batas-batas wilayah persekutuan yang bersangkutan; hal mana berarti suatu oerlindungan bagi persekutuan yang bersangkutan terhadap pihak ke tiga. Hal-hl yang semacam di dapat pula pada jaman pemerintah colonial belanda, yaitu dengan di umumkan nya ordonasi-ordonasi seperti desa ordonnantie Staatsblaad 1941 No. 356 dan marga ordonnatie Staatblad 1931 No. 6 Pengaruh yang negatip (merugikan)di jumpai dalam tiga wujud, yaitu sebagai berikut : a. Perkosaan contoh : dalam kerajaan-kerajaan dahulu, khususnya pada persekutuan-persekutuan hukum yang berada di sekeliling ibukota kerajaan, sering kali mengalami tindakan-tindakan raja yang sama sekali tidak mengindahkan hak-hak pertuanan persekutuan, seperti pengambilan tanah wilayah (tanah wewengkon) dari persekutuan untuk keperluan raja; penggantian-penggantian kepala persekutuan dengan hamba kerajaan, sehingga kebebasan persekutuan dalam menggunakan hak pertuanan menjadi lemah dan lambat laun lenyap. Pada jaman pemerintah Kollonial Belanda perkosaan terhadap hak pertuana demikian ini, dialami pula oleh persekutuan-persekutuan yang berada di kota-kota, (Jakarta, Surabaya, Bandung , Medan dan sebagainya) karena persekutuan-persekutuan tersebut, harus mengikutu tata pemerintahan kota-kota yang bersangkutan yang diatus sesuai dengan cara-cara Barat, sedangkan persekutuanpsk yang berada di luar batas-batas kota mengalami perampasan tanah wilayahnya untuk kepentingan pemerintah colonial, seperti pada jaman Daendels dan Van den Bosh yang menagadakan sawah-sawah sendiri yang hasilnya di gunakan untuk membelanjai pegawai dan tenaga kolonial, pembuatan tanah pengareman di Jaabar dan Jatim, dan lain sebagainya.

b. perlunakan contoh : dalam kerajaan-kerajaan dengan adanya sistem apanage, yaitu sistem pemberian tanah oleh raja kepada pejabab-pejabat kerajaan tertentu (lurah misalnya) sebagai tanah jabatan yang dapat menjamin penghasilan para pejabat yang bersangkutan. Ini merupakan perlunakan terhadap hak pertuanan, karena hak itu pada prinsifnyamenberi kemungkianan kepada orang bukan bersangkutan untuk mengerjakan dan menarik manfaat dari tanah persekutuan, asalkan orang tadi telah mendapat ijin dari persekutuan serta telah memenuhi kewajiban menbayar hutang mesi, dalam sistem apanage ini tidak diperhatikan syarat-syarat di maksud. e. Pembatasan Contoh : Taindakan-tindakan raja dan pemerintah kolonial yang di wajibkan persekutuan untuk menggunakan tanah wilayahnya seintensip-intensipnya dengan pengerahan warganya sebanyak banyaknya, pula keharusan menanami tanah-tanah dengan tumbuh-tumbuhan yang di perlukan oleh 66

raja c.q. pemerintah colonial, seperti cengkeh dan lain sebagainya, adalah pada hakekatnya merupakan perbatasan terhadap hak pertuanan.

3. HAK PERORANGAN ATAS TANAH Pertama-tama harus di perhatikan bahwa hak perorangan atas tanah dibatas oleh hak ulayat; sebagai seorang warga persekutuan, maka tiap individu mempunyai hak untuk : a. mengumpulkan hasil-hasil hutan, seperti rotan, kayu, dan lain sebagainya. b.Memburu binatang liar yang hidup di wilayah kekuasaan persekutuan. c. Mengambil hasil dari pohon-pohon yang tumbuh liar. d.Membuka tanah dan kemudian mengerjakan tanah itu terus-menerus. e. Mengusahakan untuk di urus selanjutnya suatu kolam ikan.

Dengan perbuatan-perbuatan khususnya yang di maksudkan ayat c, d, dan e, diatas maka terjadi suatu perhubungan perseorangan antara seorang warga persekutuan dengan masing-masing pohon, tanah dan kolam itu. Agar dimaklumi oleh warga-warga persekutuan lainnya, lazimnya diberi tanda pelarangan yang religio-magis itu, sehingga hasil pohon, tanah atupun kolam tersebut hanya dapat di ambil oleh yang berkepentingan saja; lain orang tidak diperbolehkan mengambil hasilnya. Jika perhubungan persekutuan ini kemudian terputus, sehingga hak perseorangan menjadi hilang, maka kembalilah hak persekutuan (hak ulayat) untuk menguasai tanah. Jadi seorang warga persekutuan berhak untuk membuka tanah untuk mengerjakan tanah it uterus menerus dan menanam pohon itu di atas tanah itu, sehingga ia mempunyai hak milik atas tanah itu, hak milik ini dapat diperoleh, meskipun yang mengerjakan tnitu praktis tidak boleh lebih dari satu atau dua tahun panen. Apabila hak mengerjakan tanah itu tidak dapat lebih lamadaripada satu kali peradilan panen saja, maka warga persekutuan yang bersangkutan maka sesungguhnya hanya memperoleh hak mempergunakan tanah itu saja (ter Haar menamakan ini genotts recht ) dan bukan hak milik; hak mengunakan atau memungut hasil untuk satu panen saja. Apabila kemudian tanah itu di tinggalkan dan tidak diurus lagi oleh yang berkepentingan maka tanah itu di kuasai lagi oleh hak ulayat. Hak milk dari seorang warga persekutuan yang membuka dan mengerjakan tanah itu pengertianya adalah, bahwa warga berhak sepenuhnya atas tanah, tetapi dengan ketentuan wajib menghormati : a. hak ulayat desanya ; b. Kepentingan-kepentingan orang lain yang memiliki telah ; c. Peraturan-peraturan adat seperti kewajiban memberi ijin ternak orang lain masuk dalam tanah pertanian nya, selama tanah itu tidak dipergunakan dan tidak di pagari. Hak milik atas tanah ini, yang dalam bahasa Belanda di sebut Inlands bezitsrecht artinya adalh bahwa pemiliknya berkuasa penuh atas tanah yang bersangkutan seperti halnya ia menguasai rumah,ternak sepeda atau lain-lain benda miliknya. 67

Sawah-sawah hak milik seseorang di Jawa Barat biasanya di sebut sawah yasa atau sawah milik, sedangkan di daerah Jawa Tengah sawah demikian itu di sebut sawah yasa atau sawah pusaka. Pada tanah hak milik demikian ini, wewenang si pemilik hanya di batasi oleh ketentuanketentuan tersebut pada a, b, c, di atas tadi. Hak milik ini disebut hak yasan dan sesuai ketentuanketentuan konversi p s. II (1) Undang-Undang pokok agrarian menjadi hak milik ex ps. 28 (1) UndangUndang tersebut. Perlu kiranya di kemukakan di sini bahwa di samping hak milik atas tanah (Inlands bezitsrecht) demikian ini, dikenal juga adanya hak milik terkekang atau terbatas atas tanah (ingeklemd inlands bezirecht), yaitu apabila pemilikan kekuasaan atas tanah tersebut di batasi oleh hak pertuanan desa. Tergantung dari kuat atau tidaknya pengaruh hak pertuanan desa atas tanah yang di kuasai itu, apakah dan sampai dimanakah ada batasan terhadap hak milik atas tanah di maksud. Kalau hak pertuanan desa masih sangat kuat, maka hampir tidak mungkin hak milik atas tanah di pindahkan ketangan orang lain, bahkan ada daerah yang hak milik atas tanah itu di pindahkan ke tangan orang lain, bahkan ada daerah yang hak milik milik itu hanya di miliki untuk waktu yang tertentu dan pada akhir waktu itu tanahnya harus di serahkan kepada lain anggota persekutuan desa. Sesuai ketentuan-ketentuan konversi VII Undang-Undang Pokok Agraria, hak ini menjadi hak pakai ex, pasal. 41 (1) Undang-Undang tersebut. Kalau hak pertuanan desa sudah tidak kuat lagi pengaruhnya,maka tanah itu dapat di miliki terus sampai wafatnya si pemilik dan kemudian oleh persekutuan ditetapkan lagi siapa yang akan menjadi pemilik baru. Dan apabila hak pertuanan desa itu sungguh sangat lemah, maka hak milik atas tanah setelah wafatnya si pemilik dengan sendirinya jatuh kepada tangan Ahli Warisnya; dan ini hanya dapat dicabut dalam beberapa hal, misalnya kalau si pemilik dengan segenap keluarganya meninggalkan daerah desa tersebut untuk selama-lamanya; berdasarkan ketentuan-ketentuan konversi p, s, VII menjelma menjadi hak milik ex. ps 20 (1) Undang-Undang tersebut. tanah atau sawah yang di kuasai seseorang berdasarkan hak milik terbatas atau terkekang demikian ini di Jawa Tengah di sebut sawah pekeulen atau sawah narawita sedang di Jawa Barat disebut kasikepan (cirebon, kuningan )kanomeran(ciamis), kacacahan (majalengka); sesuai dengan keputusan mahkamah agung tanggal18-10-1958 Reg No. 301 K/Sip/1958, maka penunjukan tanah pakulen adalah semata-mata dari rapat desa, yang diberikan kepadanya oleh Hukum Adat; Pengadilan Negeri tidak berhak meninjau tentang benarr tidaknya putusan rapat desa itu. Pengadilan Negeri tidak berkuasa mengubah atau membatalkan keputusan desa mengenai sawah atau tanah pakulen (putusan mahkamah agung tgl. 6-1958 Reg. No. 149 K/Sip/1958). Hak menggunakan tanah atau hak memungut hasil tanah hanya untuk hasil panen satu panen saja, pada umumnya berlaku bagi orang luar bukan warga persekutuan yang sudah mandapat ijin untuk mengerjakan sebidang tanah, serta telah memenuhu syarat-syarat tertentu, seperti membayar mesi (Jawa atau uang pemasukan (Aceh). Dalam kenyataan hak memungut hasil ini dimiliki lebih lama daripada satu panen saja tetapi secara adat masa itu harus dilihat sebagai suatu masa panen yang bersambung dengan masa atau panen berikutnya dan seterusnya. Prof. Supomo dalam Het Adatprivaatrech van West Jva halaman 168 menyebut adanya hak usaha atas sebidang tanah. Dan yang dimaksudkan dengan hak usaha ini adalah suatu hak yang dimiliki oleh seorang untuk menganggap sebidang tanah tertentu sebagai tanah miliknya, asal saja ia 68

memenuhikewajiban-kewajiban serta menghomati pembatasan-pembatasan yang melekat pada hak itu,bedasarkan peraturan untuk tanah partikelir di sebelah barat sungai ciimanuk,staatsblad 1912 no, 422 yo 613. Hak usaha ini oleh van vollenhoven di namakn hak menggarap(bouwen bewerkingsrecht).kewajiban-kewajiban apakah yang harus dunia penuhi oleh si pemilik hek usaha terhadap tuan tanah yang mempunyai hak eigen-dom atas tanah partikeelir itu? Kewajiban-kewajiban si pemilik usah adalah antara lain : a.membayar semacam pajak yang di namakan cukai. b. melakukan macam macam pekerjaan untuk keperluan tuan rumah sperti penjagaan desa sewaktu malam,memelihara jalan-jalan raya. Cuke atau cukai yang di maksud di atas lazimnya berupa sebagian hasil panen sawah yang tidak boleh melebihi seperlima dari jumlah hasil tersebut. Para pemilik hak usaha atas tanah menamkan tanah itu sebagai tanah nya serta menganggap dirinya penguasa penuh untuk memperlakuakan tanah itu semau-maunya, asal saja mereka memenuhi kewajiban-kewajiban terhadap tuan tanah seperti tersebut di atas. Bahkan menurut keputusan Pengadilan Negeri bogor tanggal. 29-7-1922 hak usaha itu adalah turun temuru pada Ahli Waris. Oleh karena itu maka sesungguhnya hak usaha ini dapat di katakana tidak berbeda dengan hak milik atas tanah tanah yang bukan tanah partikelir, sesusi ketentuan-ketentua konpersi ps.II UndangUndang pokok agrarian menjadi hak milik ex. ps . 20(1) Undang-Undang tersebut. Hukum Adat mengenal juga hak wenang pilih (istilah yang di pergunakan deer soekanto dalam bukunya meninjau Hukum Adat Indonesia, ter haar menyebut hak ini voorkeursrecht bagi perseorangan warga persekutuan yang membuka tanah atau pun yang menetapkan tanda tanda pelarangan ( pagar dan lain sebagai nya ) pada tanah yang bersangkutan. Hak ini memberi kesempatan pda warga yang pertama tama membuka tanah serta mengerjakan tanah tertentu itu, untuk lebih dahilu(artinya mendahului yang lain lain)kembali menggarap tanah tanah yang di maksud, apabila berhubung dengan suatu hal tanah itu dia tinggalkan untuk suatu masa tetentu tanah tanah yang ada hak wewnang pilih demikian ini di Kalimantan di sebut burukan. Sebagi hak perseorangan atas tanah dalam Hukum Adat kiranya perlu juga di sebut hak untuk membeli pertanian, kolam kolam ikan seharga seperti harga yang oleh orang lain besedia untuk membayarnya dengan menyampingkan orang lain yang telah bersedia untuk membeli dengan harga yang sama itu. Ter haar menyebut hak ini naastingsrecht. Hak demikian ini di jumpai dalam tiga bentuk sebagai berikut : a. hak anggota keluarga untuk membeli tanah dengan mengesampingkan pembeli pembeli bukan anggoata keluarga. b. Hak warga persekutuan untuk membeli tanah dengan mengesampingkan orang bukan warga persekutuan. c. Pemilik tanah yang berbatasan untuk membeli tanah yang bersangkutan dengan mengesampingkan pemilik tanah lain yang tidak berbatasan. Kepala persekutuan atau lain pembesar desa mempunyai hak atas tanah petanian yang di berikan oleh persekutuan untuk memelihara keluarga nya (= tanah bengkok). Ia mempunyai hak atas tanah itu, ia mem[unyai hak mengenyam hasilnya tanah itu krn jabatanya hak ini lazimnya di sebut hak 69

seorng pejabat atas sebiadang tanah.pemerintah colonial dahulu menemakan hak ini ambtelijk profijtrecht. Hak demikian ini di milik para pejabat baik semasa maswih aktif bekerja maupun setelahdi pension untuk selama memangku jabatanya ataupun selama hudupnya (setelah pernsiuan mengenyam penghasilan dari tanah/sawah itu). Tanah/sawah jabatan ini di sebut sawah-carik, sawah kalungguhan. tanah tanah yang di miliki para pejabat setelah pension di ketemukan di kabupaten ciamis, kuningan, majalengka, cirebon dan di daerah daerah itu di sebutnya sawah kehormatan, sawah-pensiun. Tanah/sawah sawah jabatan seperti tanah bengkok atau sawah kalungguhan di jumpai juga di tanah batak yang sebut sabana bolak, di Sulawesi Selatan yang di sebut galung arajang, di ambon yang di namakan dusun dati raja di bali yang di namakn bukti. Sesuai ketentuan- ketentuan konpersi pd VI Undang-Undang Pokok Agraria menjadi hak pakai ex ps . 41(1)Undang-Undang tersebut. Di Minangkabau suatu keluarga mempunyai hak milik atas sawah pusakanya , sedangkan anggota keluarga yang bersangkutan, mempunyai hak pakai ataupun ganggam bauntuiq atas tanah itu. 4. TRANSAKSI-TRANSAKSI TANAH Untuk sekedar mengadakan pemisahan yang tegas, maka hak ulayat dan berbagai hak perseorangan atas tanah seperti di uraiakan dalam ayat 1 dan 3 di atas tadi, lazimnya di sebutpula hukum tanah yang tidak bergerak, sedangkan transaksi transaksi tanah di masukan dalam golongan hukum tanah yang bergerak. Kita mengenal dua macam tanah, yaitu petama yang merupakan perbuatan hukum sepiohak, dan kedua : yang merupakan perbuatan hukum dua pihak. Transaksi tanah yang bersifat perbuatan hukum sepihak Sebagai contoh dari transaksi tanah semacam ini, dapat di sebut : a.pendirian suatu desa sekelompok orang orang mendiami suatu tempat tertentu dan membuat perkampungan di atas tanah itu membuka tanah pertanian mengubur orang orang yang meninggal dunia di tempat itu dan lain sebagai nya, sehingga lambat laun tempat itu menjadi desa,lambat laun timbul hubungan religo magis antara desa dengan tanah tersebut, tumbuh suatu hubungan hukum antara desa dan tanah di maksud, tumbuh suatu hak atas tanah itu bagi pasal yang bersankutan yakni hak ulayat. b. pembukaan tanah oleh seorang warga persekutuan kalau seoarng individu,warga persekutuan dengan izin kepala desa membuka tanah wilayah persekutuan, maka dengan menganggap tanah itu suatu hubungan hukum dan ekali gus juga hubungan religio-magis antara warga yang bersangkutan, dengan tanah di maksud. Lazimnya warga yang membuka tanah tersebut kemudian mendapatkan tanda tanda pelanggaran pada tanah yang ia kerjakan itu. Perbuatan hukum ini adalah bersifat sepihak juga; perbuatan ini berakibat timbulnya hak baginwr yang membuka tanah tersebut , yakni hak milik dan kemudian juga hak wenang pilih atas tanah yang bersangkutan. 70

Transaksi-transaksi tanah yang bersifat perbuatan hukum dua pihak Inti dari transaksi ini adalah pengoperan ataupun penyerahan dengan di sertai pembayaran kontan daripihak lain pada saat itu juga. Dalam hukum tanah perbuatan ini di sebut transaksi jual (jawa di sebut adol atau sade(=bahasa jawa tinggi). Transaksi jual ini menurut isinya dapat di bedakan dalam tiga macam sebagai berikut : a. b. penyerahantn dengan pembayaran kontan di sertai ketentuan, bahwa yang menyerahkan tanah dapat memiliki kembali tanah tersebut, dengan pembayaran sejumlah uang (sesuai perjanjian). Penyerahan tanah dengan pembayaran kontan tanpa syarat,jadi untuk seterusnya/selamanya. Disebut adol plas,pasti bogor, run tumurun (jawa), menjual jada(Kalimantan), menjual lepas(Riau dan Jambi). Penyerahan tanah dengan pembayaran kontan di sertai perjanjian, bahwa apabila kemudian tidak ada perbuatan hukum lain, sesuadah 1-2 tahunat beberapa kali panen tanah itu kembali lagi kepada pemilik tanah semula; di sebut menjual tahunan, adol oyodan (jawa).

c.

Transaksi ini, supaya merupakan perbuatan hukum yang syah artinya berhak perlindungan hukum, wajib di lakukan dengan bantuan kepal persekutuan ini, maka perbuatan tersebut, menjadi terang dan tidak gelap atau peteng( jawa). Untuk bantuannya ini kepala persekutuan lazimnya menerima uang saksi atau pago-pago (batak). Bagaimana kalau transaksi ini di lakukan di luar pengetahuan kepala persekutuan? Apabila di lakukan di luar pengetahuan kepala persekutuan maka transaksi tersebut, tidak di akui oleh Hukum Adat dan oleh karenanya maka pihak ketiga tidak terikat olehnya serta oleh umum si penerima tanah tidak di akui haknya atas tanah yang bersangkutan; perbuatan ini di anggap perbuatan yang tidak terang. Pada umumnya untuk transaksi-transaksi ini di buatkan suatu akta yang di tanda tangani(cap jmpol) oleh yang menyerahkan serta di bubuhi pula tanda tangan kepala persekutuan dan saksi-saksi. Akta ini adalah merupakan suatu bukti. Apa sajakah yang dapat menjadi obyek transaksi demikian ini? Pada umumnya tanah, tetapi dapat di persamakan pula dengan tanah adalah kolam ikan, rumah bserta pekarangannya, pohon buah bauhan bserta kebunnya. Pada umumnya yang menjadi sebab seorang pemilik tanah melakuakan transaksi tanah itu adalah kebutuhan akan uang apabila tidak dapat memperoleh pinjaman uang maka transaksi sudah di tutup dan mulai saat itu si pembeli mendapat hak tanah yang bersangkutan. Pada saat manakah transaksi itu terjadi? Pada waktu si penjualdi hadapan kepala persekutuan,bahwa ia mengakui menyerahkan tanah nya serta telah menerima uang nya maka transaksi sudah di tutup dan ,ulai saat itu si pembeli mendapat hak tanah yang bersangkutan. Tentang penyerahan tanah nya sendiri dalam kenyataannya dapat juga di tunda untuk beberpa waktu lamanya, tetpai hak si penerima atas tanah itu mulai berlaku sejak saat persetujuan terjadi. Penundaan itu di sebut di gangsur(jawa);di gangsur setahun kalau penundaan selama satu tahun. Marilah kita meneropong ketiga macam transaksi tanah tb di atas tadi agak mendalam sebagai berikut :

71

a. menjual gadai yang menerima tanah berhak untuk mengerjakan tanah itu serta untuk memungut dari hasil tanah itu dia hanya terikat oleh janjinya bahwa tanah itu hanya dapat di tebus oleh yang menjual gadai. Ia, bila sangat membutuhkan uang hanya dapat menjual gadaikan tanah itu lagi kepada orang lain dan sekali kali tidak boleh menjual lepas tanah tersebut. Ia tidak dapat minta kembali uang yang di berikannya kepada yang menjual gadai tetepi dalam transaksi ini biasanya di sertai dengan perjanjian tambahan seperti : 1. 2. kalau tidak di tebus dalam masa yang dijanjikan maka tanah menjadi milik yang menjadi gadai, tanah tidak boleh di tebus dalam satu, dua atau beberapa tahun dalam tangan pembeli gadai pada umumnya tanah di kembalikan dalam keadaan seperti pada waktu tanah itu di serahkan.

Transaksi ini terdapat di seluruh Indonesia Perbedaan tidak prinsifil hanya terdapat dalam oelaksanaanya saja seperti di aceh, dalam akta wajib di cantumkan formula ijb-kabul; di tanah batak transaksi harus dijalankan diatas nasi-ngebul di Minangkabau ada kebiasaan yang membeli gadai tahunannya memberi kiriman nasi kepada yang menjual gadai, satu tanda bahwa yang belakangan ini berhak untuk menebus (pitungguh gadai ) Perihal transaksi ini mahkamah agung dalam keputusan nya tanggal 19-3-1960 Reg. No. 45 k/Sip./1960. menetpkan sebagai berikut : jual gadai sawah dengan perjanjian bahwa apabila lewat suatu waktu tertentu tidak di tebus, sawah itu akan menjadi milik si pemegang gadai, dilakukannya penebusan, sawah itu dengan sendirinya menjadi milik si pemegang gadai. Untuk mendapatkan tanah milik itu masih di perlukan suatu tindakan hukum lain . Tindakan hukuman apakah itu? Menurut pertimbangan mahkamah agung tindakan itu adalah berupa suatu keputusan pengadilan yang di ambil berdasarkan atas permohonan si pemegang gadai yang menyatakan bahwa berlandaskan dan perjanjian tersebut si pemegang gadai di tetapkan menjadi pemilik dari sawah yang bersangkutan, Dalam menanggapi permohonan si pemegang gadai ini, pengadilan dapat mengambil keputusan menurut kebijaksanaan, misalnya memberi tempo lagi kepada si pembeli gadai atau untuk menebus gadai sawah itu dan apabila penebusan itu tindakan dilakukan lagi, maka tanah itu baru di tetapkan menjadi si pemilik gadai, apabila perlu menambah uang gadai kepada si pemberi gadai, b. menjual lepas

yang membeli lepas memperoleh hak milik atas tanah yang di belinya . pembayaran dilakukan di hadapan kepal persekutuan. Di Aceh terdapat kebiasaan bahwa dalam akta di cantumkan ijab Kabul, sedangkan di Minangkabau dalam transaksi pembeli lazimnya dalam pembayaran tidak hanya menyerahkan uang saja akan tetapi juga di sertai pisau atau sepotong kain ( magis). c. menjual tahunan

ini merupakan suatu bentuk menyewakan tanah. 72

Transaksi tanah ini di luar jawa tidak begitu di kenal lamanya pun tindakan tertentu. Disamping transaksitr-transaksi jual yang di uraikan di atas maka perlu pula di sebut transaksi tanah yang bukan dapat di jual seperti di bawah ini : -pewarisa tanah atau penghibaan tanah yang di bicarakan dalam acara hukum waris. - pemberian atau pengadiyahan tanah seperti yang terdapat di minahasa dan di sulawesi selatan sebagai jujur pada perkawinan di minahasa tengah, demikian di sebut tanah pey pamoya) juga sebagai tanda pengangkatan anak. Dalam Undang-Undang no 5 tahun 1960 ( Undang-Undang pokok agrarian ) pemerintah Republik Indonesia menetapkan suatu kebijak sanaan baru terhadap masalah jual gadai. Dalam pasal 16 ayat 1 (b) dan pasal 53 ayat 1 Undang-Undang tersebut di tetapkan bahwa, hak gadai itu sifatnya sementara. Artinya dalam waktu yang akan datang di usahakan di hapuskan. Dan pada saat itu, mengingat akan keadaan masyarakat Indonesia sekarang masih belum dapat di hapuskan dan diberi sifat sementara ini akan di atur lebih lanjut dengan Undang-Undang kemudian ternyata UndangUndang yang mengatur masalah gadai ini adalah peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang No, 56 tahun 1960yg menetapkan dalam pasal 7 ketentuan-ketentuan sebagai berikut : (1) barang siapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang pada mula berikutnya peraturan ini ( yaitu pada tanggal 1-1-1961)sudah berlangsung tujuh tahunan atau lebih wajib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam waktu sebulan sesudah tanaman-tanaman yang ada selesai di panen dengan tidak ada hak untuk menuntuk uang pembayaran tebusan. (2). Mengenai hak gadai yang pada mula berlakunya peraturan ini belum berlangsung 7 tahun, maka pemilik tanah nya berhak untuk memintanya kembali setiap waktu setelah tanaman yang ada selesai di panen dengan membayar uang tebusan yang besarnya di hitung menurut rumus di bawah ini : (7 + - waktu berlangsungnya hak gadai x uang gadai dibagi 7. pelak sanaan pengembaliannya adalah dalam waktu sebulan setelah panen yang bersangkutan. (3). Ketentuan dalam ayat (2) ini berlaku juga terhadap hak gadai yang diadakan sesudah mulai berlakunya peraturan ini. Dalam penjelasan umum perpu tersebut pasal (9) diuraikan bahwa, transaksi jual gadai itu diadakan oleh pemilik tanah, hanya ia bila berada dalam keadaan yang sangat mendesak dan kalau tidak di desak oleh kebutuhan-kebutuhan yang mendesak sekali , biasanya orang lebih suka menyewakan tanah nya. Oleh karena itu dalam transaksi jual gadai terdapat imbangan yang sangat merugikan penjual gadai serta sangat menguntungkan pihak pelepas uang dengan demikian jelas sekali, bahwa transaksi ini mudah menimbulkan praktek-praktek pemerasan, hal mana bertentangan dengan asas-asas pancasila.

Mengingat akan hal tersebut, di atas, maka dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1960 gadai di tetapkan bersifat sementara yang harus di usahakan, supaya pada waktunya di hapuskan harus di atur sedemikian rupa, sehingga unsure-unsur yang bersifat pemerasan itu hilang. Hak gadai itu baru bias di sediakan kredit, jika mencukupi keperluan para petani.

73

5. TRANSAKSITR-TRANSAKSI YANG ADA HUBUNGANNYA DENGAN TANAH Dalam transaksi-transaksi ini obyeknya bukan tanah, tetapi hanya mempunyai hubungan dengan tanah. Dalam adat, transaksi-transaksi yang di kenal ada hubungannya dengan tanah sebagai berikut : a. Memperduai (Minangkabau ), Maro (Jawa) Toyo (Minahasa), Tesang (Sulawesi Selatan), Nengah (Priangan), Mertelu (Jawa), atau Jejuran (Priangan).

Transaksi dimaksud diatas terjadi, apabila pemilik tanah memberi ijin kepada orang lain untuk mengerjakan tanahnya dengan perjanjian, bahwa yang mendapat ijin itu harus memberikan sebagian (separo kalau memperduai atau maro serta sepertiga atau mertelu atau jejuron) hasil tanahnya kepada pemilik tanah. Apakah dasar dari transaksi demikian ini ? Dasarnya adalah pemilik tanah ingin memungut hasil dari tanahnya atau ingin memanfaatkan tanahnya, tetapi ia tidak dapat mengerjakan sendiri tanahnya itu. Contoh : A memiliki sebidang tanah. Ia menarik penghasilan dari tanah itu, tetapi tidak ingin atau tidak dapat mengerjakan sendiri. ia mengadakan perjanjian dengan B, yang maksud nya memberi izin kepada B untuk mengerjakan, menanam dan memungut hasil dari tanahnya, disertai ketentuan sebagaian dari hasil ini harus diserahkan kepada A. Apakah sesungguhnya fungsi transaksi memperduai dan lain sebagainya ini ? Pungsinya ialah hak milik atas tanah dijadikan produktip tanpa kerja sendiri. Kalau diadakan perbandingan tentang dasar serta fungsi transaksi memperduai, dan lain sebagainnya ini, dengan transaksi jaual yang dimaksud pada 4 diatas, maka kita akan menemukan perbedaanperbedaan sebagai berikut :

Transaksi

Dasarnya tanah milik dipergunakan untuk menutup kebutuhan uang kontan pada saat tu; pemilik tanah (sementara)menganggap pemilik uang lebih berguna baginya pada saat itu daripada pemilik tanah.

Fungsinya tanah milik dibaktikan untuk melayani semua kebutuhankebutuhan hidup yang lain-lain; dilihat dari sudut yang lain adalah pemilikan uang dijadikan produktip dengan pembelian tanah.

Jual

Memperduai, maro dan lain sebagainya

Ingin membuat hasil dari tanah milik nya, tetapi tidak dapat atau tidak ingin mengerjakan sendiri

tanah milik di buat produktif tanpa bekerja sendiri ;atau memberi kesempatan bercocok tanam serta memetik hasilnya tanpa memiliki tanah

74

Apakah yang menjadi objaek transaksi memperduai dan lain sebagainya ?obyeknya adalah bukan tanah, tetapi tenaga dan tanaman. Oleh Karen bukan tanah, maka kepala persekutuan tidak perlu mengesahkan perjanjian ini, lagi pula surat keterangan mengenai perjanjian-perjanjian demikian ini jarang di buat. Transaksi ini pada umumnya mulai berlaku pada saat menanam dan berakhir setelah panen. Pada transaksi demikian ini, pemilik tanah tidak menghiraukan tentang masalah mengerjakan tanah ; kadang-kadang apabila berjanji, ia meminjamkan ternak untuk meluku, ataupun memberikan bibit padi. Pada umumnya yang mengerjakan tanah mendapatkan separo dari penghasilan ;demikian juga dengan perikanan dan peternakan. Khususnya di Jawa Tengah dan kebiasaan dalam adapt, bahwa pada permulaan transaksi ini dibayar srama atau mesi. Artinya dari srama ini adalah permohonan disertai pemberian, sedangkan mesi maksudnya sebagai tanda pengakuan bahwa tanah yang di kerjakan itu adalah milik orang lain. Di Bli dan Sulawesi Selatan transaksi ini kadang-kadang digabung dengan peminjaman uang tanpa bunga dari pemilik tanah kepada penggarap tanah, yang di sebut balagu (Sulawesi Saelatan), Palais (Bali). Penggarap tanah tidak menagih selama ia masih diperbolehkan mengerjakan tanah yang bersangkutan. Pembayaran kembali, pinjaman adalah yang diperhitungkan dengan bagian hasil tanah yang di terima oleh penggarap tanah secara berangsur-angsur, adapula yang di bayar sekaligus. b. sewa.

Sewa adalah suatu transaksi yang mengijinkan orang lain untuk mengerjakan tanahnya atau untuk tinggal di tanahnya dengan membayar uang sewa yang tetap sesudah tiap panen atau sesudah tiap bulan atau tiap tahun. Di beberapa daerah untuk transaksi ini dipergunakan istilah khusus seperti mengasidi ( Tapanuli Selatan), sewa bumi (Sumatera Selatan), Cukai (Kalimantan), ngupetenin (Bali). Papabila pada transaksi sewa ini oleh penyewa dibayarkan uang muka, hala mana yang sering terjadi pada penyewaan tanah oleh perkebunan-perkebunan gula misalnya, maka transaksi ini sangat menyerupai jual tahunan atau jaual oyodan, lebih-lebih kalau uang muaka yang dibayarkan itu untuk dimaksudkan untuk waktu yang agak lama. c. Tanggungan atau joggolan di Jawa, makantah di Bali, tanah di Tapanuli

Transaksi macam ini terjadi, apabila seseorang yang berhutang kepada orang lain berjanji kepada orang yang memberi pinjaman yadi, bahwa selama belum melunasi hutangnya ia tidak akan mengadakan transaksi tentang tanahnya, kecuali dengan pemberi hutang. Bagaimana kalau batas waktu telah lampau dan hutangnya belum dapat di lunasi? Kalau waktu yang di janjikan dan hutang belum dapat dilunasi, maka tanah yang dijadikan tanggungan itu wajib di korbankan untuk melunasi hutangnya. tanah yang dijadikan tanggungan lantas menjelma menjadi 75

tanah dijual gandakan atau dijuallepaskan atau dijualtahunkan ; ini tergantung dari besar kecilnya jumlah hutang. Malahan dapat juga di anggap tanah tersebut disewakan dengan bayar sewa dimuka. d. Numpang atau Magesari di Jawa atau lindung di Priangan. Apabila seorang pemilik tanah yang bertempat tinggal di tanah itu (= mempunyai rumah diatas tanah itu ) memberi izin kepada orang lain untuk membuat rumah yang kemudian di tempati olehnya diatas tanah itu juga. Maka terdapat suatu transaksi yang disebut numpang. Juga terjadi suatu transaksi numpang apabila seorang pemilik pekarangan mengijinkan orang lain membuat rumah untuk didiami sendiri diatas pekarangannya. Dalam transaksi ini orang yang mendapat ijin untuk membuat rumah di atas tanah orang lain itu di sebut numpang atau magersari (Jawa), lindung atau indung (Priangan). Izin tersebut dapat di tarik kembali oleh pemilik tanah atau pemilik pekarangan, dan apabila dari pihak penumpang tidak ada alasan untuk disuruh pergi maka pemilik tanah atau pekarangan menumpang atau tumpang karang. Pemilik pekarangan di daerah priangan disebut dundungan hanya di daerah priangan ini dibedakan dua macam menumpang, yaitu menumpang lahan yang memiliki rumah tetapi tidak memiliki pekarangan juga serta bertempat tinggal bersama-sama dundungannya, dapat pembagian dari rumah dundungannya. e. memperduai atau sewa bersama-sama dengan gadai transaksi demikian ini merupakan transaksi gabungan antara transaksi tanah dengan yang berhubungan dengan tanah dapat terjadi apabila A (yang menerima tanah yang digadaikan) memberi izin kepada B (pemilik tanah = yang menggadaikan tanah) untuk mengerjakan tanah itu dengan perjanjian memperduai atau sewa. Apabila transaksi gabungan ini dibangkitkan dengan transaksi tanggungan tersebut ayat c diatas maka akan yrliat adanya perbedaan-perbedaan sebagai berikut :

Transaksi memperduai bersama-sama dengan gadai 1 Transaksi tanah

Transaksi tanggungan Bukan transaksi tanah, berhubungan dengan tanah melainkan hanya

Dibutuhkan bantuan kepala persekutuan

Tidak perlu, tetapi apabila kemudian hutangnya itu dilunasi dengan cara penggadaian tanahnya maka bantuan. Kepala persekutuan di butuhkan

Hak atas tanah berpindah dari pemilik tanah kepada penggali tanah 76

Hak atas tanah tetap pada pemilik tanah.

4. Wanprestasi (= ingkari janji) dari yang menggadaikan tanah dapat dituntut tanah yang di gandakan supaya diserahkan. Jumlah uang gadai atau tebusan tidak dapat dituntut. 5. Wanprestasi mengenai penyerahan hasil tanah separo misalnya kalau maroizin mengerjakan tanah yang di gadaikan dapat di cabut. 6. Kalau tanah yang di gadaikan karena bencana alam (banjir, gempa bumi, longsor, dan lain sebagainya. Longsor dan lenyap/hanyut, penggadai tanah tidak dapat menuntut apa-apa dari pemilik tanah.

Wanprestasi dari pinjaman uang yang meminjamkan dapat menuntut pembayaran jumlah uang yang di hutangkan. tanah yang dijadikan tanggungan tidak dapat dituntut. Wanprestasi mengenai bayar bunga pinjaman biasanya memberi hak untuk menuntut pengambilan jumlah uang pinjaman keseluruhannya. Kalau tanah yang dijadikan tanggung lenyap/hanyut Karena bencana alam hak menuntut pembayaran kembali uang pinjaman masih tetap ada.

Akhinya dalam deretan transaksi yang berhubungan dengan tanah ini, kiranya perlu ditambahkan pula suatu transaksi yang banyak terdapat dalam praktek, yaitu apa yang di sebut dalam bahasa Jawa dengan istilah titip. Titip adalah suatu transaksi yang memberi izin kepada orang yang tidak berhak untuk tidak mengunakan tanahnya, sekaligus memelihara untuknya. Adapun sebab untuk mengadakan transaksi ini adalah biasanya: a. untuk sementara meninggalkan tempat kediamannya dimana tanahnya itu berada, sehingga tidak dapat sendiri menggunakan tanah tersebut. Lazimnya tanahnya itu di titipkan kepada seorang anggota keluarga ataupun seorang warga desa; artinya memberi izin kepada orang lain itu untuk selama ia meninggalan desanya,menggunakan tanahnya sekaligus memelihara tanah itu untuknya. b. tanah milik keluarga/famil,misalnya sawah-harta-peninggalan yang tidak di bagi;karena tidak mungkin semua anggota keluarga yang memiliki tanah tersebut (Ahli Waris )mengerjakan dan memelihara tanah di maksud,maka oleh keluarga yang bersangkutan,tanah itu dititipkan kepada seorang anggota famili lain atau dapat juga kepada salah seorang Ahli Waris.

77

BAB VIII MENINJAU KEMUNGKINAN TIMBULNYA ASAS BILATERAL DI INDONESIA (pembaruan hukum)

Adapun unifikasi berarti kestuan hukum, dalam hal ini kesatuan hukum Perkawinan, berlaku bagi warga Negara. Pokok pikiran kita, ialah membuktikan bahwa asas bilateral itu dapat dipergunakan, dalam hukum perkawinan behubung kuatnya tendensi atau corak bilateral dalam masyarakat kita sekarang ini. Terlebih dahulu kita terangkan, bahwa pokok pikiran kita adalah dalam batas kemungkinan dan di lihat dari dua sudut : pandangan dari segi politis; pandangan dari segi dan alasan ilmiah;

1. PANDANGAN DARI SEGI POLITIS Dari segi politis, pandangan berdasarkan Haluan Negara, yaitu yang disebut dalam mukadimah Undang-Undang Dasar,yaitu Negara kesatuan atau membentuk Negara kesatuan yang menjadi landasan hukum atau ketatanegaraan untuk menuju kepada suatu nitarisme, tidak hanya di lapangan ketatanegaraan atau kenegaraan belaka, tetapi juga unitarisme di lapangan hukum- ekonomi dan kebudayaan. Sungguhpun hal ini masih merupakan das Sollen suatu hal yang masih akan dicapai dan diperjuangkan, namun lambat laun sesuai dengan kemajuan masyarakat menuju kearah integrasi, sesuai dengan tingkat-tingkat kemajuan di beberbagai lapangan dalam kehidupan (lihatlah kutipan pada PENDAHULUAN, halaman 2 dan 3 ( Supomo, ter Haar ). 2. PANDANGAN DARI SEGI DAN ALASAN ILMIAH Di lapangan ilmiah, untuk menuju unifikasiyg berasas bilateral, pandangan kita apat dibagi atas 3 dasar alasan, yaitu : a. Alasan atas asas Hukum Adat ; b. Alasan atas hukum Islam ; c. Alasan Sosiologis ; Ad. a. Alasan atas asas Hukum Adat Seperti telah kita ketahui di Indonesia terdapat tiga susunan atau system keturunan : Pertama : Masyarakat atau system keibuan di Minangkabau, cenderung menuju ke masyarakat bilateral. Sebagai contoh dapat kita kemukakan suatu tendensi kearah masyarakat yang bilateral yang berasaskan keluarga/gezin. Seperti telah kita ketahui, terdapat di lapangan hukum perkawinan yang menunjukan adanya pertumbuhan dalam tiga tahap,lihatlah pada halaman, 5, 6 dan 7 diatas tadi, masing-masing merupakan pertumbuhan terhadap satu sama lain dan berkembang kearah suatu perikehidupan lepas dari ikatan-ikatan klan dan adat istiadat dan lepas pula dari ikatan harta pusaka/ekonomis atau suatu pelepasan dari suatu ikatan-ikatan ekonomis yang berdasar hidup-agraris pedusunan. Itulah yang kita 78

kenal dengan permulaan kawin bertandang, kemudian kawin menetap dan akhirnya kawin bebas. Terutama terdapat di kota-kota besar, bila penghidupan itu merupakan hidup keluarga dalam suatu rumah tangga yang merasa hubungan nya satu sama lain antara ayah-ibu dan anak. Selanjutnya hal ini mendorong kearah satu tanggung jawab besar, kalau kita menunjukan dalam hubungannya dengan kasus Dr. Mochtar, yaitu suatu kasus yang menyolok, justru karena yang menjadi Ahli Waris adalah anak anak yang meninggal dengan mengesampingkan semua orang yang semula diperkirakan akan menuntut menjadi Ahli Waris pula, berdasarkan hukum keibuan yang asli; berdasar system keibuan,mereka merasa berhak sebagian dari warisan itu. Jadi dengan kedua alasan ini terang, bahwa tendensi kearah masyarakat bilateral menjadi suatu pertanda yang kuat dipandang dari segi sosiologis. System bilateral bertambah lama bertambah kuat, lebih-lebih kalau kita ketahui bahwa proses ini telah berlangsung lebih dari 50 tahun lamanya Kedua : Yaitu alasan yang dipandang dari sudut system kebapaan, juga kuat menuju kearah system bilateral, tetapi sedikit banyak tekanan tetap pada bapak. Dengan melihat contoh-contoh yang telah diketahui, kita dapat ambil suatu masyarakat kebapaan yang kuat dan menjadi contoh teladan, ialah Batak; disana lambat laun asas kebapaan yang keras ditinggalkan dan menuju kehidupan keluarga yang bilateral sifatnya. Pengaruh itu bertambah besar mengimbangi pengaruh bapak, terlebih-lebih di perantauan atau di kotakota besar, juga di daerah asalnya sendiri, system kebapaan lambat laun menjadi goyah, terlihat umpamanya : di dalam suatu perkawinan seorang gadis, membawa serta sejumlah besar hartanya yang disebut Indahan Harian, juga dilapangan hukum waris, lambat laun terlihat tendensi, bahwa anak perempuan, mendapat harta yang sesuai dengan kodrat kewanitaan dan dinilai dari segi keselamatan. Di daerah kebapaan lain, tendensi kearah system bilateral terlihat pada bentuk-bentuk perkawinannya seperti kawin semendo rajo-rajo di Bengkulu, kawin semendo anak tengah di pasemah, dan lain-lain, semuanya membawa akibat pertambahan kecenderungan menuju kearah system bilateral, terutama di lapangan pewarisnya. ( lihat Soebekti : kumpulan putusan mahkamah agung, 1960). Ketiga Masyarakat ke ibu-bapaan, yang terutama sekali berdasarkan rumpun/trible di Kalimantan, yang hidup berkelompok dalam suatu rumah besar (lamin), juga cenderung menuju ke masyaraka bilateral yang bbrasas keluarga, kita melihat hal ini di Kalimantan, kehidupan berumpun lambat laun pecah atau buyar- (desintegrasi) mencari kehidupan berkeluarga, terlihat banyak ke pantai. Malahan hal ini telah dikemukakan oleh Dr. Mallinckrodt yang menulis buku het adatrecht van Borneo 1928 dalam dua jilid, disebut oleh beliaw sebagai suatuverekonomiseringsproces ialah suatu proses yang mendorong pecahnya rumpun itu yang diakibatkan oleh pengaruh perkembangan ekonomi dalam arti yang luas, oleh Supomo disebut suatu verindividualiseringspoces atau process van ver-zekelijking en verwestering, dengan demikian kita mendapa kesimpulan, ialah melihat dari segi hukum berdasar tenagatenaga dalam kalangannya sendiri, suatu proses menuju ke arah system bilateral keluarga, terlihat dengan jelas. Ad. b. Alasan atas asas hukum Islam : Apakah hukum islam itu beasas pada cita-cita bilateral dalam system keturunan? Hal ini perlu dijawab. Seperti kita ketahui, menurut Al-Quran sepanjang penafsiran hazairin, dalam hukum kewarisan bilateral menurut Al-Quran, islam cenderung menghendaki suatu system keturunan yang berasas bilateral, dengan mengindahkan hak-hak kodrati antara wanita laki-laki Sandaran kita ialah pada surat An-Nisa ayat 22,23 dan ayat 24. Dalam surat annisa ini dicantumkan tentang larangan dengan siapa-siapa kita tidak boleh kawin. Larangan-larangan yang boleh dikatakan universal dan merupakan prinsip dimana-mana. Disini pun 79

sisebut secara medetail, yang keseluruhannya merupakan suatu sistemaktik yang kita dapat golonkan dalam tiga besar : 1. larangan kawin dengan anggota keluarga sedarah yang dekat; 2. larangan kawin dengan orang-orang bersama menyusu kepada seorang ibu. 3. larangan kawin dengan orang-orang yang ada hubungan periparan karena perkawinan, hingga ada hubungan yang erat. Patut kita catat bunyi ayat-ayat surat annisa tersebut yang disalin dari allquran dan terjemahannya/penafsir Al-quran, departemen Agama, dan yang berbunyi : Ayat 22 : dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oloeh ayahmu terkecuali pada masa yang telah lampau, sesungguhnya perbuatan itu sangat keji dan dibenci Allah dan seburukburuknya jalan ( yang ditempuh ). Ayat 23 : diharamkan atas kamu (mengawini ) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan, saudarasaudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapak mu yang perempuan, saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki ; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan ; ibu-ibumu yang menyesui kamu saudara perempuan sepersusuan ; ibu-ibu istrimu ( mertua ) anak-anak isterimu yang dalam peliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan) maka tidak berdosa kamu mengawininya;(diharamkan bagimu) istri-istri anak-anak kandungmu (menantu); dan menghimpun (dalam perkawinan ) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang. Ayat 24 : dan (diharamakn juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki. (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapannya atas kamu, dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berjina. Maka istri-istri yang telah kami nikmati (campuri) diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (sempurna), sebagai suatu kewajiaban dan tidaklah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu tekah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya lah maha mengetahui lagi meha Bijaksana. Tetapi dari larangan-larangan itu ternyata tidak tedapat larangan-larangan yang lazimnya di dalam masyarakat yang unilateral keibuan atau masyarakat yang unilateral kebapaan yaitu : oleh ayat-ayat yang memuat 15 buah larangan. Agama islam tidak melaragn perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan yang bapaknya masing-masing adalah bersaudara sekandung / atau yang bapaknya dan ibunya masing-masing adalah saudara sekandung; jadi di dalam islam tidak dilarang sedang dalam masyarakat unilateral kebapaan dilarang. Demikian juga apa yang kita kenal dari masyarakat keibuan ; melarang perkawinan antara dua orang yang ibunya masing-masing bersaudara / adik kakak. Dari dua tipe pokok perkawinan dalam masyarakat unilateral ini merupakan inti dari atau cirri khas dalam masyarakat unilateral, dan dihubungkan dengan larangan-larangan yang tesebut dalam ayat-ayat : 22,23 dan 24 surat Annisa tadikita dapat menrik kesimpulan bahwa islam memalingkan diri atau mengesampingkan larangan yang terdapat dalam masyarakat unilateral yang hakiki. Jadi secaara positif dapat dikatakan bahwa islam cenderung kepada system bilateral : islam menghendaki system bilateral itu Malah lebih jauh dapat dibuktikan, bahwa islam menhendaki sitem kewarisan bilateral sebagai mana dibuktikan oleh hazairin dalam hukum kewarisan bilateral menurut Al-quran atau dalam hendak kemana hukum islam ? dari uraian-uraian tesebut diatas, dapat kita simpl;kan apa yang dilarang oleh system unilateral tidak dilarang oleh islam atau sebaliknya kecuali larangan-larangan yang disebut ayat 22 dan khusus ayat 23, maka sebaliknya adalah halal bagi islam dengan lain perkataan islam tidak menghenadaki system unilateral dan menghendaki masyarakat bilateral yang mendapat ridho Allah

80

yang maha esa. Khusus di Indonesia suatu kenyataan yang terlihat, bagian terbesar rakyat memeluk agama islam kuat di Indonesia berarti bahwa bilateral adalah lebih kuat di Indonesia. Melalui pandangan ini, kita berkesimpulan bahwa system bilateral yang lebih kuat untuk tumbuh di Indonesia. Ad. c. alasan sosiologis : Alasan sosiologis berdasarkan pandangan terhadap factor-faktor ke masyarakatan yang ada dalam masyarakat, yang membawa dan mempengaruhi keadaan. Dapat pula kita melihat kecenderunga masyarakat Indonesia menuju ke arah system bilateral-kelurga. Factor-faktor itu adalah : 1. factor pendidikan; 2. factor perantawan/migrasi dalam arti luas; 3. factor hidup berdasar system kelurga serumah tangga. 4. factor ekonomi; industrialisasi, tekhnologi, hidup dikota-kota besar. 5. revolusi dan lain-lain 1. factor pendidikan pendidikan membawa akibat, bahwa : manusia lebih rasional dari sebelumnya. Dia lebih banyak memakai logika dan perhitunga, mempertimbangkan segi-segi negative dari sesuatu hal, kejadian atau tindakan sesuatu yang bermanfaat atau tidak, sehingga berkuranglah sifat atau berpikir spekulativ menterah kepada keadaan. Dengan demikian orang akan lebih individualistis karena individualitasnya menonjol dengan demikian dia akan lebih banyak berpikir untuk diri sendiri, untuk keluarganya, tidak ikut bergabung dengan pendapat umum serta kepentingan umum dan menjadi dasar cirri hidup dalam klan dan masyarakat Hukum Adat. 2. factor perantauan / migrasi dalam arti luas di dalam pengertian perantauan, ialah dimaksud suatu pengertian luas, etercakup di dalamnya migraton dan urganisation, yaitu terlihat gejala social yang menyojok tentang perpindahan penduduk atau orang-orang dari daerah terpencil ( remote areas ) ke tempat-tempat yang lebih terjamin kehidupan baginya. Jadi yang meninggalkansifat hidup yang relative nyata tergantung pada alam / tanah/ pantai/ hutan, jadi mengurai sifat spekulativ dan menghendaki cara hidup yang lebih aktif yang mencari. Kecenderungan manusia pada tingkat ini, menuju kepada sifat pekerjaan /sebagai buruh,pegawai, pedagang, dan lain-lain, maka dalam hubungan ini, tersangkut pula masalah ekonomi dan lalu lilntas. Di dalam masalah ekonomi berarti timbul suatu masyarakat uang, suatu gelegduiretechaftwirtschpt. Orang tidak berdiri dalam system ekonomi tukrar dan tertutup. Malahan dia sekarang membuka suatu horizon yang lebih luas hubungan nya menyangkut setiap orang , yang ada di sekitarnya semua orang yang membawa hubungan dalam arti luas, dari manusia dan barang, lebih lama dan lebih intesiv sehingga pertukaran barang dan simpang siurnya, manusia lebih bergerak lebih dinamis. Kembali di sini manusia akan lebih cinderun lebih memikirakan kepentingan-kepentingan sendiri lebih individualistis, lebih famili centris dan keluarga menjadi pusat kehidupnya. 3. factor hidup berdasar system kelurga serumah tangga sebagai kelnjutanyg tersebut dalam ad. 2 maka akan berkembang kehudupan keluarga, yang terjalin mesra antara satu dengan lain, ayah, ibu, dan anak-anak, akan terbina kesederajatan dan kesejahteraan antara sesame anggota keluarga, semuanya itu dalam satu rumah tangga. Juga akan timbul sejara wajar fungsi-fungsi rumah tangga dan dalam penilaian fihak ibu sama derajat dengan yang lain. Jadi system bilateral itu, berkembang di dalam kehidupan keluarga. Hidup dalam suatu rumah tangga dan hidup keluarga ini, kita anggap sangat penting dalam pembinaan suatu bangsa atau Negara, lebih lebih sangatlah terasa pentingnya kedudukan keluarga, di pandang dari sudut pertahanan terhadap dunia luar , yang justru kadang-kadang 81

sangat bertentangan dengan nilai-nilai moral di dalam keluarga itu sendiri. Fungsi pendidikan dan prikemanusiaan, disana tempat membinanya, karena manusia menjadi manusia berkembangnya nilai-nilai moral dimulai dari dalam rumah tangga : cinta, kasih; agama;berkorban dan lain-lain. Dimulai dari dalam rumah tangga, diatas sesame anggota rumah tangga. Seperti banyak dikhawatirkan oleh bebrapa sosiolog, antara lain Dr. P.J.Bouwman, kehidupan di dunia Industri dan kapitalsme, keluarga telah runtuh dan pecah dan tidak lagi melakukan fungsinya sebagaimana seharusnya, kerukunan, keikhlasan dan keimanan tidak pernah muncul. Maka masyarakat yang demikian bertambah lama bertambah hilang manusia nya, seperti kita lihat di dunia komunis atau kapitalis. 4. factor ekonomi factor ekonomi dalam arti luas, sebagaimana juga Dr. Mallinckrodt dalam bukunya het adatrecht van Borneo 1928, menyebut perubahan-perubahan rumpun orang dayak itu, bertambah ke pantai, kepesisir, dengan ver-ekonomiseringsprocess atau istilah yang mengandung pengertian yang luas ; termasuk factor industriliasisasi. Pada hakekatnya rapat pula perhubungan dengan perkembangan di lapangan tekhnologi dan perkembangan kota-kota besar; semua menunjukan dan membawa tenaga-tenaga di dalam masyarakat dan alam, samasama menuju kepada suatu susunan ekonomi yang melipat gandakan hasil produksi di segala lapangan (masa production ). Semua adalah suatu akibat dari kemajuan pendidikan dalam arti luas, khususnya manusia di dorong untuk mengadakan cara-cara baru di dalam produksi. Sebaliknya membawa akibat pindahnya manusia banyak, di perlukan untuk tenaga buruh tetapi juga diperbanyak pemakaian mesin-mesin, kesemuanya mempengaruhi tata hubunga dalam masyarakat, yaitu lebih rasional, zakelijk berdasarkan perhitungan untung rugi, dan sebagainya. Dengan manusia menjadi lebih individualistis, mementingkan diri sendiri dan keluarganya, do dorong untuk lebih ekonomis dalam segala hal dan akan lebih menonjol keperluan materi, kebutuhan nyata dalam hidup. Demikian lah hidup di dalam kota-kota yang sifatnya seperti apa yang disebut oleh Tonnies dengan gesel schaft atau masyarakat kota-kota besar. Sifat masyarakat itu cenderung lebih zakalijk materialistis dan pula lebih kelihatan sifat-sifat per orangan. Pada suatu saat masih tetap mementingkan keluarga sendiri sampai selanjutnya keluarga ini pun akan kehilangan fungsinya, memang selalu dikhawatirkan oleh banyak sosiolog seperti disebut diatas, tetapi peringatan Paus leo XIII adalah tetap berguna, yaitu : In het gezin liggen de kiemen der maatschappij besloten en voor een groot deel wordt binnen de huiselijke kring de welvaart dermeeste staten gekweekt ( di dalam keluargalah disamai bibit bagi sesuatu masyarakat dan untuk sebagian besar, kebahagiaan (kemakmuran) banyak Negara itu, dibina dalam lingkungan rumah tangga ). Dan juga semoga Pancasila dapat mempertahnkan diri terhadap desakan dunia yang bertambah individualistis sehingga hilang kemanusiannya tetapi tetap mempertahankan sistem hidup keluarga, dan demikian juga dipertahankan si bilateral. 5. Faktor revolusi dan perang Revolusi adalah suatu perubahan besar dan mendalam pada masyarakat, yang belangsung dkm tempo yang cepat, seperti kata Bluntesshli : Eine Revolution ist eine Umgestaltumvon Grund aus ialah suatu perubahan yang berputa-balik, dicabut sampai ke akar-akarnya. Perubahan ini membawa akibat cara-cara hidup lama, cara bertempat tinggal, kebiasaan, lalu lintas dan lain-lain lebih-lebih membawa perubahan dalam sikap mental dan rohani dan berlaku sangat cepat, sehingga kesatuasn-kesatuan yang tadinya berpusat pada kehidupan yang serba alamiyah menurut saluran-saluran yang biasa, kini dengan revolusi itu mencampur-baurkan berbagai golongan dan tingkatan manusia, sehingga membawa suasana baru dalam cara hidup dan berpikir serta adat-istiadat, dan lebih dari pada itu; ia membentuk kesatuan-kesatuan kecil dalam grup-grup masyarakat yang kita sebut : keluarga, kesatuan ini berdiri sendiri secara 82

ekonomis dan terlepas dari ikatan-ikatan klan dan seunber produksi lama, yang statis / agraris, dan menciptakan kesamaan derajat antara laki-laki dan perempuan ( bilateral ). Dengan demikian kita melihat, revolusi juga merevolusikan kehidupan-kehidupan dalam lingkungan-lingkungan yang lebih besar menjadi kesatuan-kestuan kecil yang berdiri sendiri. Apa yang kita sebut dalam hubungan dengan revolusi, kiranya berlaku terhadap keadaan yang ditimbulkan karena perang, pendudukan oleh tentara AS-ing, dan lain sebagainya. Demikianlah dari berbagai segi mangenai perubahan-perubahan dalam masyarakat oleh berbagai factor, kesemua menuju ke sistem bilateral-keluarga, setidak-tidaknya menonjolkan suatu peri kehidupan yang sistem sosialnya mengajarkan dan membawa kesederajatan atau persamaan antara sesama manusia, lebih tegas lagi antara laki-laki dan perempuan.

83

Anda mungkin juga menyukai