Anda di halaman 1dari 16

MATERI PERTEMUAN 6

ADAT ISTIADAT LINGKARAN HIDUP DAN PERKAWINAN

Tingkat-Tingkat Sepanjang Hidup Individu

Hidup manusia di hampir seluruh masyarakat dibagi ke dalam

tingkat-tingkat tertentu. Tingkat-tingkat sepanjang hidup individu (stage

along the live cycle) itu adalah misalnya masa bayi, masa penyapihan, masa

kanak-kanak, masa remaja, masa pubertet, masa sesudah nikah, masa

hamil, masa tua, dll. Pada saat-saat peralihan dari satu tingkat hidup ke

tingkat lain, biasanya diadakan pesta atau upacara untuk merayakan

masa peralihan itu. Upacara peralihan ini bersifat universal, hampir

terdapat pada semua kebudayaan di dunia, hanya saja tidak semua

peralihan dianggap penting oleh semua kebudayaan. Misalnya dalam

satu kebudayaaan masa bayi ke masa penyapihan dianggap gawat, tetapi

bagi masyarakat lain tidak; kemudian ada masyarakat menganggap masa

kanak-kanak ke masa pubertet gawat, sementara bagi masyarakat lain

tidak.

Sifat universal dari upacara sepanjang hidup individu disebabkan

karena suatu kesadaran umum bahwa tiap tingkat baru sepanjang life-

cycle itu membawa si individu ke dalam suatu tingkat dan lingkungan

sosial yang baru dan yang lebih luas. Misalnya, si bayi kecil hidup dalam

lingkungan sosial yang terutama terdiri dari ibunya. Kalau si bayi


disapih, ia dilepaskan dari ibunya, dan dalam hidupnya ia mulai

tergantung pada orang lain dalam lingkungannya, ialah ayah, kakak-

kakaknya, dan mungkin juga orang lain. Lambat laun si bayi semakin

tumbuh, semakin luaslah lingkungan sosialnya.

Dalam banyak sekali kebudayaan, ada anggapan saat peralihan dari

satu tingkat ke tingkat hidup yang lain, atau dari satu lingkungan sosial

ke ligkungan sosial yang lain merupakan suatu saat yang gawat, yang

penuh bahaya, nyata maupun gaib. Demikian upacara-upacara pada

masa-masa peralihan itu sering kali mengandung unsur menolak bahaya

gaib yang mengancam individu serta lingkungannya. Dalam antropologi

upacara-upacara seperti itu disebut crisis-rites (upacara waktu krisis) atau

rites de passage (upacara peralihan). Selain itu, upacara-upacara itu

mempunyai fungsi sosial yang penting, ialah menyatakan kepada

khalayak ramai tingkat hidup baru yang dicapai si individu yang

bersangkutan.

Perkawinan

Salah satu peralihan terpenting pada life-cycle pada manusia ialah

peralihan dari tingkat hidup remaja ke tingkat hidup berkeluarga, yaitu

perkawinan. Di pandang dari kebudayaan manusia, maka perkawinan

merupakan pengatur kelakuan manusia yang bersangkut paut dengan

kehidupan sexnya. Perkawinan menyebabkan seorang laki-laki dalam


pengertian masyarakat tidak dapat bersetubuh dengan sembarang wanita

lain, tetapi hanya satu atau beberapa wanita tertentu dalam

masyarakatnya. Selain untuk pengaturan sex, perkawinan juga

mempunyai berbagai fungsi lain dalam kehidupan kebudayaan dan

masyarakat manusia.

1. Perkawinan memberi ketentuan hak dan kewajiban serta

perlindungan kepada anak hasil perkawinan

2. Memenuhi kebutuhan manusia akan seorang teman hidup

3. Memenuhi kebutuhan akan harta, akan gengsi, naik kelas

masyarakat

4. Pemeliharaan hubungan baik antara kelompok-kelompok kerabat

Pembatasan Jodoh dalam Perkawinan

Semua masyarakat di dunia mempunyai larangan-larangan

terhadap pemilihan jodoh bagi anggota-anggotanya. Di masyarakat Jawa

dari lapisan yang bersekolah di kota-kota hampir tidak ada pembatasan

jodoh asal saja mereka ingat bahwa mereka tidak boleh memilih jodoh

saudara sekandung sendiri. Memang ada perasaan kurang setuju dari

kerabat apabila seorang Jawa memilih jodohnya saudara sepupu dari

pihak ayah, saudara perempuan dari ayah atau ibu, atau wanita yang

umurnya lebih tua; tetapi pantangan untuk perkawinan seperti itu tidak

ada. Dibeberapa negara bagian di Amerika Serikat ada larangan yang


lebih luas, orang pantang kawin dengan saudara sekandung sendiri, serta

dilarang undang-undang untuk kawin dengan saudara sepupu tingkat

pertama dari pihak ayah maupun ibu, dan juga dilarang kawin dengan

wanita yang mempunyai “darah Afrika”. Di masyarakat lain mempunyai

pembatasan jodoh lebih luas dari itu. Orang Batak dilarang kawin dengan

orang yang mempunyai nama marga yang sama.

Larangan kawin dalam kelompok sendiri atau mengharuskan

memilih jodoh di luar batas suatu lingkungan tertentu di sebut dengan

exogami. Istilah itu mempunyai arti yang relatif, selalu kita menerangkan

exogami di luar batas apa? Misalnya exogami keluarga inti, exogami marga,

exogami desa, dll. Lawan dari exogami adalah endogami. Itupun istilah yang

relatif, harus dijelaskan dalam batas apa? Misalnya endogami kasta,

endogami sukubangsa, endogami desa, dll.

Konsep lain yang penting berkaitan dengan perkawinan ini adalah

sumbang (incest). Perkawinan sumbang timbul kalau adat exogami dalam

suatu masyarakat dilanggar. Dalam banyak masyarakat di dunia

sumbang merupakan suatu dosa utama yang dihukum keras dengan

hukum mati atau hukum buang.

Kecuali pembatasan jodoh yang bersifat pantangan kawin, dalam

masyarakat banyak sukubangsa di dunia adapula marriage preference atau

perkawinan yang menjadi preferansi umum, artinya ada perkawinan


yang amat diingini oleh sebagian besar warga masyarakat dan dianggap

perkawinan ideal.

Banyak masyarakat di dunia mengenal preferensi untuk kawin

dengan cross-cousin, ialah dengan anak saudara perempuan ayah atau

anak saudara laki-laki ibu. Pada Batak Toba perkawinan ideal adalah

seorang laki-laki dengan anak perempuan saudara laki-laki inangnya.

Saudara laki-laki ibunya disebut tulang, dan anak tulangnya adalah

pariban. Perkawinan dengan anak saudara perempuan ayahnya tidak,

tetapi dianggap kurang baik, dan kalau mungkin harus dihindari.

Perkawinan seperti ini (perkawinan cross-cousin dari pihak ibu saja)

disebut cross-cousin yang asimetris. Sementara, perkawinan yang

dilakukan kadang-kadang dengan satu cross-cousin dan kadang-kadang

dengan cross-cusin lain, maka itu disebut cross-cousin simetris.

Kata simetris dan asimetris dalam hubungan perkawinan cross-cousin

akan menjadi jelas dalam contoh berikut. Misalnya, dalam masyarakat

yang terdiri dari dua marga yang exogam; dinamakan A dan B

merupakan masyarakat yang patrilineal. Ada Ego termasuk marga A

karena ayahnya adalah A, tentu ibunya B.adat memaksa kawin dengan

orang di luar marga, maka Ego tidak boleh kawin dengan wanita dari

marga A. Ibu Ego tentu dari marga B, saudara laki-laki ibu marga B juga,

istrinya tentu dari A. Anak-anak mereka marga B; anak-anak ini cross-


cousin Ego. Kalau seandainya ia punya anak perempuan, maka si Ego

dapat kawin dengannya.

Saudara perempuan ibu tentu sama dengan ibu bermarga B dan ia

harus kawin dengan laki-laki A, maka anak-anaknya tentu bermarga A

sama seperti marga Ego. Mereka bukan cross-cousin Ego tetapi parallel-

cousin Ego. Ego tidak bisa kawin dengan parallel cousinnya, sama seperti

anak saudara laki-laki ayah. Sementara anak saudara perempuan ayah

adalah cross-cousin juga. Perkawinan cross-cousin ini merupakan

perkawinan preferensi atau ideal di masyarakat Toba dan juga banyak

masyarakat lainnya. Perkawinan seperti contoh ini disebut perkawinan

cross-cousin simetris.

Bagan 1

Belum dibuat

Keadaan asimetris akan timbul kalau laki-laki A biasanya kawin

dengan perempuan B; tetapi lelaki B tidak boleh kawin dengan

perempuan A. Lelaki B harus mencari jodoh perempuan dari maga lain

misalnya C. Begitu juga lelaki C tidak boleh kawin dari wanita B, tetapi

misalnya mencari pada marga A. Kedudukan seperti itu adalah asimetris,

karena hanya bisa sebagai marga pemberi wanita kepada marga

pasangannya yang satu, dan sebagai penerima wanita dari pasangan

marga yang lain. Dalam keadaan seperti ini si Ego hanya bisa kawin
dengan satu cross-cousin yaitu dari anak saudara lelaki ibunya, tetapi

tidak dengan anak saudara perempuan ayahnya.

Perkawinan preferensi dalam tiap masyarakat hanya berupa suatu

perkawinan yang dicita-citakan. Dalam kenyataan banyak sekali keadaan

khusus yang tidak memungkinkan perkawinan preferensi dilaksanakan.

Bagan 2

Belum dibuat

Adat Istiadat Pembatasan Jodoh dalam Sistem Perkawinan di Australia

dan Melanesia

Pada berbagai sukubangsa di Australia, Melanesia, dan mungkin

juga Indonesia Timur, ada pembatasan jodoh yang mengakibatkan

hubungan perkawinan yang amat kompleks. Sebagai contoh pada etnik

Aranda yang hidup di daerah sungai Finke di bagian selatan dari

Northern Territory, Australia. Orang Aranda adalah salah satu penduduk

pribumi Australia. Masyarakat Aranda terbagi dua paroh masyarakat

(moiety). Kelompok keturunan masyarakat ini merupakan double descent.

Bagan 3

Belum dibuat
Perkawinan pada masyarakat Aranda yang double descent ini diatur

oleh kedua keturunan patrilinel dari pihak ayah dan seksi dan sub seksi

oleh keturunan matrilineal dari pihak ibu. Contohnya, masyarakat terdiri

dari dua moiety atau patrimoiety 1 dan 2, yang terpotong oleh dua seksi

yang matrilineal atau matri-seksi A dan B. Karena moiety dan seksi bersifat

eksogami, maka terjadilah 4 kelas perkawinan. Oleh karena itu seorang

warga dari patrimoiety 1 (Ego) harus mencari jodohnya pada patrimoiety 2;

tetapi karena ia juga matri-seksi A, makanya ia harus kawin dengan

wanita dari luar matri-seksi A, ialah dengan orang matri-seksi B. Bila

dipandang dari sudut perkawinannya, maka Ego termasuk kelas 1A.

Wanita dari matri-seksi 1B termasuk warga patrimoiety dari Ego, maka

wanita yang boleh dikawininya adalah dari patrimoiety 2 pada matri-seksi

2B. Di pandang dari sudut kelas, anak-anak termasuk kelas 1B. Seorang

anak lelaki Ego 1B hanya boleh kawin dengan wanita dari kelas 2A, anak-

anak mereka menjadi warga kelas 1A.

Rupanya ada pula masyarakat dengan suatu sistem kekerabatan

yang menegenal dua paroh eksogam yang terpotong oleh tiga seksi

eksogam. Masyarakat itu tidak lokal sifatnya karena semua kelompok

berburu akan terbagi dalam dua paroh, tiap-tiap dua paroh terbagi lagi

dalan dua seksi, dan tiap keempat seksi terbagi lagi dalam dua kelas,

sehingga seluruh masyarakat ada delapan kelas yang semuanya

mempunyai nama sendiri-sendiri. Kelas Panunga, Knuria, Bultara, dan


Pungata termasuk paroh I, sedangkan Parula, Ngala, Kumara, dan Mbicana

termasuk paroh II. Ke delapan kelas ini tidak lokal sifatnya, tetapi

tersebar di seluruh daerah orang Aranda, dalam arti hampir semua

kelompok berburu orang Aranda mempunyai warga-warga dari

kedelapan kelas tersebut.

Bagan 4

Paroh I Paroh II
SEKSI 1 Panunga Parula SEKSI 2
Knuria Ngala
SEKSI 2 Bultara Kumara SEKSI 4
Pungata Mbicana

Kelas-kelas orang Aranda itu berfungsi dalam adat pembatasan jodoh.

Tiap paroh, seksi, dan kelas bersifat eksogami. Adat menentukan seorang

lelaki Panunga harus kawin dengan gadis Parula (ialah di luar paroh,

seksi dan kelas); anak-anak mereka menjadi Pungata, dan harus kawin

dengan Mbicana, anak-anak mereka menjadi warga Ngala, yang harus

mencari jodoh pada warga Knuria, anak-anak mereka menjadi warga

Bultara dan harus mencari jodoh di kelas Kumara, anak-anak mereka

menjadi warga Parula.

Syarat-syarat untuk Kawin


Perkawinan merupakan suatu peristiwa sosial yang luas, makanya

orang akan mengambil inisiatif untuk kawin (dalam hampir semua

masyarakat di dunia orang itu selalu lelaki), harus memenuhi syarat-

syarat. Syarat-syarat untuk kawin itu, yang ada di dunia ada tiga macam,

ialah (a) mas kawin atau bride-price, (b) pencurahan tenaga untuk kawin

atau bride-service, (c) pertukaran gadis bride-exchange.

Arti dasar kata mas kawin adalah mula-mula mengganti kerugian.

Dalam berbagai sukubangsa di Indonesia arti kata penggantian itu tidak

amat terang terlihat lagi. Dalam beberapa istilah terdapat di dalam bahasa

sukubangsa di indoneisa tampak di dalamnya arti pembelian, seperti

bahasa Nias beuli niha; bahasa Batak Toba pangoli, boli, buhor; bahasa

Ambon welin; bahasa Bali patuku; bahasa Jawa tukon, semuanya

mengandung arti beli. Tetapi kalau dikupas secara mendalam, maka

terbukti mas kawin tidak dirasakan sebagai harta pembelian. Fungsi mas

kawin pada banyak sukubangsa di Indonesia adalah sebagai syarat.

Mengenai syarat itu, makanya banyak orang tidak mempertanyakan mas

kawin itu untuk apa.

Mengenai siapakah yang harus membayar mas kawin kepada

siapakah harus diberikan, ada 3 kemungkinan untuk itu, ialah;

1. Mas kawin diberikan kepada kerabat si gadis dengan atau tidak

diterangkan lebih lanjut siapakah di antara kaum kerabat si gadis

menjadi orang penerima mas kawin


2. Mas kawin diberikan kepada si gadis sendiri

3. Mas kawin untuk sebagian diberikan kepada si gadis, sebagian

kepada kaum kerabat si gadis

Pada banyak sukubangsa di dunia adat pemberian pada perkawinan

tidak saja datang dari satu pihak, ialah pihak lelaki saja, tetapi juga

dari pihak si gadis dan kaum kerabatnya. Di Indonesia di

sukubangsa Yamdena di di kepualuan Tanimbar terdapat contoh

seperti itu. Di sana ada pembedaan kelompok pembemberi gadis

dan kelompok penerima gadis. Kelompok pemberi gadis disebut

nduwe dan kelompok penerima gadis disebut uranak. Hubungan di

antara kedua kelompok itu dikuatkan oleh adat pertukaran harta

benda. Nduwe lebih tinggi kedudukan dari uranak. Nduwe

memberikan harta berjenis wanita, seperti pakaian, kain tenun,

perhiasan, dll. Uranak memberikan harta berjenis lelaki, seperti arak,

hasil pemburuan, senjata, perhiasan lelaki, dll.

Adat melamar gadis dengan cara bekerja bagi keperluan keluarga si

gadis atau bride service ada banyak juga di suku-sukubangsa di

muka bumi. Adat bride service berdampingan dengan adat menetap

setelah nikah, yang menetapkan bahwa pengantin baru menetap di

sekitar kaum kerabat istri (uxorilocal). Akan tetapi banyak contoh

dari adat bride-service dengan adat menetap sesudah nikah yang lain.
Di indonesia contoh adat bride-service adalah adat ambil anak di

Lampung atau adat sentana di Bali. Adat seperti biasanya dilakukan

dalam masyaraka dengan sistem waris yang menurunkan waris

kepada anak lelaki dan adat menetap setelah menikah di sekitar

kerabat suami (virilocal). Kalau dalam masyarakat virilocal ada

seorang ayah yang mempunyai anak perempuan, tetapi tidak

mempunyai anak lelaki, maka ia mengambil seorang pemuda,

biasanya yang miskin yang tidak sanggup membayar mas kawin

untuk tinggal di rumahnya. Pemuda itu biasanya harus bekerja

untuk keluarga si gadis dan sebagai menantu yang akan mewarisi

harta dari ayah si gadis. Di Bali perkawinan sentana dianggap tidak

terhormat untuk lelaki.

Adat pertukaran si gadis bride-exchange, mewajibkan kepada si

pelamar si gadis untuk menyediakan seorang gadis dari kerabatnya

sendiri untuk suka dikawinkan dengan orang dari kerabat si gadis

yang dilamar. Contoh adat seperti ini terdapat pada penduduk

pribumi Australia, Melanesia, dan irian. Selain itu juga terdapat di

Afrika danAmerika Selatan. Di Indonesia terdapat di irian Jaya pada

sukubangsa Bonggo di daerah Sarmi pantai utara Irian Jaya.

Adat Menetap Sesudah Nikah


Sedikitnya ada tujuh kemungkinan adat menetap sesudah nikah di

dunia, yaitu;

1. Adat utrolokal, yang memberikan kemerdekaan kepada

pengantin baru untuk menetap di sekitar kaum kerabat suami

atau kerabat istri

2. Adat virilokal, yang menentukan pengantin baru menetap di

sekitar pusat kediaman kerabat suami

3. Adat uxorilokal, yang menentukan bahwa pengantin baru

menetap di sekitar pusat kerabat istri

4. Adat bilokal, menentukan pengantin baru harus tinggal

berganti-ganti, pada masa tertentu di sekitar pusat kerabat

suami da pada masa lain si sekitar pusat kerabat istri

5. Adat neolokal, yang menentukan bahwa pengantin baru tinggal

sendiri di tempat kediaman baru, tidak mengelompok di

sekitar kerabat suami mau pun istri.

6. Adat avunkulokal, menetukan pengatin baru tinggal menetap

di sekitar tempat kediaman saudara laki-laki ibu.

7. Adat natolokal, yang menentukan pengantin baru tinggal

terpisah, suami di sekitar kerabat sendiri, dan istri di sekitar

kerabatnya pula pula


RUMAH TANGGA DAN KELUARGA INTI

Rumah Tangga. Sebagai akibat perkawinan, akan terjadi suatu

kesatuan sosial yang disebut rumah tangga (household). Kesatuan ini

mengurus ekonomi rumah tangga sebagai satu kesatuan. Satu rumah

tangga sering terdiri dari satu keluarga inti saja, tetapi bisa juga terdiri

dari lebih dari satu, misalnya 2 sampai 3 keluarga inti. Pada banyak

sukubangsa istilah “untuk rumah tangga” adalah “dapur”. Di Bali

misalnya, kata “kuren” bisa berarti rumah tangga dan bisa juga berarti

“dapur”.

Keluarga Inti. Sebagai akibat dari perkawinan, akan juga terjadi

suatu kelompok kekerabatan yang disebut keluarga inti atau keluarga

batih (nuclear family). Suatu keluarga inti terdiri dari seorang suami,

seorang istri, dan anak-anak mereka yang belum kawin. Anak tiri dan

anak angkat yang secara resmi yang mempunyai hak wewenang yang

kurang lebih sama dengan anak kandungnya, dapat pula dianggap

sebagai anggota keluarga inti. Selain itu, anggota keluarga inti bisa

ditambah dengan orang yang menumpang, pembantu rumah tangga,

pelayan, atau budak.

Bentuk keluarga inti yang dijelaskan di atas merupakan bentuk

keluarga inti yang sederhana biasanya disebut keluarga inti monogami.

Selain itu, ada keluarga inti yang lebih kompleks, yaitu bila ada lebih dari

seorang istri atau suam, yaitu keluarga inti poligamii. Secara khusus, bila
ada seorang istri dengan lebih dari seorang suami, disebut keluarga inti

yang berdasarkan poliandri. Sedangkan sebaliknya, bila seorang suami

dengan lebih dari seorang istri, keluarga inti itu disebut dengan keluarga

inti berdasarkan poligini. Keluarga inti poliandri dan poligini disebut

dengan poligami.

Jumlah sukubangsa di dunia yang mengenal poligini lebih banyak

dibanding yang monogami. Akan tetapi, masyarakat yang poligini itu

tidak 100% menerapkan poligini itu, hanya sebagian kecil saja. Menurut

para ahli kurang dari 20% malkukan poligini, mereka itu biasanya adalah

orang-orang dari kelas atas, bangsawan, orang-orang kaya, dsb.

Yang perlu diingat bahwa pengertian keluarga inti harus

dipisahkan secara tajam dari pengertian rumah tangga.

Ada beberapa fungsi pokok dari keluarga inti pada semua sukubangsa di

dunia, ialah sebagai berikut:

1. Keluarga inti merupakan kelompok di mana si individu pada

dasarnya dapat menikmati bantuan utama dari sesamanya serta

keamanan dalam hidup;

2. Keluarga inti merupakan kelompok di man si individu itu, waktu ia

sebagai kanak-kanak masih belum berdaya, mendapat pengasuhan

dan permulaan dari pendidikannya.

Di samping kedua fungsi tesebut, keluarga inti dalam banyak

masyarakat juga merupakan kelompok sosial yang menjalankan


ekonomi rumah tangga sebagai satu kesatuan. Fungsi lain yang amat

penting adalah sebagai kesatuan dalam masyarakat yang melakukan

usaha-usaha produktif, seperti bertani di ladang atau bertani di sawah.

Tetapi tidak semua masyarakat seperti itu, pada masyarakat berburu

dan meramu, keluarga inti tidak merupakan satu kesatuan ekonomi

produktif, karena yang berburu itu laki-laki, sementara istri bekerja

dengan wanita-wanita lain untuk menanam atau mencari tumbuh-

tumbuhan. Di dalam masyarakat kita juga demikian, misalnya suami

bekerja sebagai buruh dan istri jualan, dll.

Suatu gejala yang sekarang banyak tampak di dunia ialah ada

keluarga inti yang tidak lengkap, tetapi berfungsi sendiri. Keluarga inti

seperti itu terdiri dari ibu dan anak, sedangkan ayah tidak ada karena

berbagai sebab. Sungguh pun ayah tidak ada keluarga itu tetap

berfungsi sebagai kesatuan. Keluarga semacam itu dalam antropologi

disebut keluarga matrifokal. Sekarang ini kita lihat juga mulai banyak

keluarga patrifokal.

Sumber :
Koentjaraningrat, 1985. Beberpa Pokok Antropologi Sosial, Dian Rakyat,
Jakarta. hal

Anda mungkin juga menyukai