Anda di halaman 1dari 28

BAB VI

HUKUM KEKELUARGAAN

1. KETURUNAN
Keturunan adalah ketunggalan leluhur artinya ada perhubungan darah antara orang yang
seorang dan orang yang lain. Dua orang atau lebih mempuynyai hubungan darah, jadi yang
tunggal leluhur adalah keturunan yang seorang dari yang lain.
Keturunan dapat bersifat:
a. Lurus, apabila orang yang saat itu merupakan langsung keturunan yang lain. ,isalnya
antara bapak dan anak, antara kakak,sdcghkmhju bapak dan anak.
b. Menyimpang atau bercabang, apabila antara kedua orang atau lebih itu terdapat
adanya ketunggalan leluhur, misalnya bapak ibunya sama (saudara sekandung) atau
sekakek-senenek.
Kita juga mengenal:
a. Keturunan Patrilineal adalah orang-orang yang berhubungan darahnya hanya melulu
melewati orang laki-laki saja di antara mereka ada orang laki-laki dan orang
perempuan.
b. Keturunan matrilineal adalah orang-orang yang berhubungan darahnya hanya melulu
melewati orang perempuan saja.
Dan hubungan kekeluargaan ini merupakan factor yang sangat penting dalam:
a. Masalah perkawinan, yaitu untuk meyakinkan apakah ada hubungan kekeluargaan
yang merupakan larangan untuk menjadi suami-isteri.
b. Masalah waris; hubungan kekeluargaan merupakan dasar pembagian harta
peninggalan.
2. HUBUNGAN ANAK DAN ORANG TUANYA.
Anak kandung memiliki kedudukan yang terpenting dalam tiap somah masyarakat adat.
Anak dipandang sebagai penerus generasinya, sebagai wadah dimana semua harapan orang
tuanya kelak dikemudian hari wajib ditumpahkan. Pula dipandang sebagai pelindung orang
tuanya.
Anak yang lahir dalam perkawinan yang sah antara seorang pria dan wanita mempunyai
ibu sebagai wanita yang melahirkannya dan bapak pria suami wanita dimaksud. Ini adalah hal
yang normal. Tetapi syaangnya dalam kenyataannya tidak semua kejadian berjalan dengan
normal. Ada kalanya terdapat kejadian-kejadian abnormal:
a. Anak lahir di luar perkawinan
Semua daerah mempunyai pandangan yang berbeda mengenai masalah ini, namun
kebanyakan si ibu yang tidak kawin dan anaknya akan mendapat celaan yang sangat
keras dari masyarakat, bahkan ada yang dikeluarkan dari persekutuan, kadang-kadang
ada yang dibunuh atau pada zaman kerajaan terdahuu mereka diserahkan kepada
pihak kerajaan untuk dijadikan budak.
Ada dikenal beberapa lembaga untuk melepaskan si ibu dan anak dari nasib yang
malang tersebut, diantaranya adalah;
1) Kawin paksa. Dengan pria yang memang bertanggung jawab karena yang telah
menghamili wanita tersebut.
2) Kawin darurat dengan sembarang pria, supaya kelahiran bayinya terjadi dalam
ikatan perkawinn yang sah.
b. Anak lahir karena zinah
Apabila seorang isteri melahirkan anak karena hubungan gelap dengan seorang pria
lain bukan suaminya, maka menurut hukum adat suaminya itu menjadi bapak anak
yang dilahirkan tersebut, kecuali apabila sang suami ini berdasarkan alasan-alasan yang
dapat diterima dapat menolak menjadi bapak anak yang dilahirkan oleh isterinya
karena zinah ini.
c. Anak lahir setelah perceraian.
Menurut hukum adat anak yang lahir setelah perceraian bapaknya adalah mantan
suami ibu yang melahirkannya selama dalam perkawinan yang sah.

PENGANGKATAN ANAK
Adopsi adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri
sedemikian rupa, sehingga antara orang yang memungut anak dan anak yang dipungut itu
menimbulkan suatu hubungan kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orang tua
dengan anak kandung sendiri.
Ada beberapa macam pengangkatan anak;
a. Mengangkat anak bukan warga keluarga
Adopsi harus terang, artinya wajib dilakukan dengan upacara adat serta dengan bantuan
kepala adat. Hubungan kekeluargaan si anak dengan orang tua kandung nya menurut
hukum adat menjadi putus.
b. Mengangkat anak dari kalangan keluarga
Anak lazimnya diambil dari salah satu clan yang ada hubungan tradisionalnya, bahkan
ada yang mengambil anak dari keluarga isteri.
c. Mengangkat anak dari kalangan-kalangan keponakan.
Perbuatan ini banyak terdapat di Jawa, Sulawesi, dan beberapa daerah lainnya.
Mengangkat keponakan menjadi anak itu seseungguhnya merupakan pergeseran
hubungan kekeluargaan 9dalam pengertian yang luas) dalam lingkungan keluarga.
Ada beberapa sebab mengangkat keponakan sebagai anak angkat ini:
- Karena tidak mempunyai anak sendiri
- Karena belum dikarunia anak, sehingga dengan memungut keponakan sebagai anak
angkat diharapkan akan mempercepat kemungkinan mendapat anak.
- Terdorong oleh rasa kasihan terhadap keponakan yang bersangkutan, misalnya
karena hidupnya kurang terurus dan lain sebagainya.
Anak yang diangkat itu pada umumnya anak yang belum kawin, dan kebanyakan anak
yang belum dewasa. Sedangkan yang mengangkat biasanya orang yang sudah kawin serta yang
berumur jauh lebih tua daripada anak yang diangkat, sehingga anak yang diangkat itu memang
sepantasnya menjadi anaknya.
Adopsi dapat dijatuhkan atau digugurkan dalam hal-hal yang juga dapat menjadi alasan untuk
membuang anak kandung sendiri dari lingkungan keluarga.
Masalah adopsi ini mendapat pengaruh juga dari agama islam, pengaruh tersebut seperti
diuraikan oleh Prof Supomo dalam bukunya “Adatprivatrecht van west Java” meliputi dua
bidang yaitu:
a. Dalam menikahkan, bapak angkat tidak dapat menjadi wali nikah. Yang berhak menjadi
wali nikah tetap bapak kandungnya atau penggantinya yang resmi menurut ketentuan
agama islam.
b. Dalam perkawinan, kalau semula tidak ada larangan kawin antara anak angkat dengan anak
kandungnya atau keturunan oang tua angkatnya dalam garis lurus, kemudian sekarang
tidakk boleh lagi.

HUKUM PERKAWINAN
Perkawinan dalam hukum adat suatu peristiwa penting dalam penghiddupan masyarakat
kita. Sebab, perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita dan pria bakal mempelai saja.
Tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan kelurga mereka masing-
masing. Bahkan bukan hanya bagi merka yang hidup, tetapi juga mendapat perhatian dan
diikuti oleh arwah-arwah leluhur kedua belah pihak.
Prof Hazairin dalam bkunya “Rejang” mengemukakan peristiwa perkawinan itu sebagai
tiga buah rentetan perbuatan-perbuatan magis yang bertujuan menjamin ketenangan
(“koelte”), keahagiaan (“welvaart”), dan kesuburan (“vruchtbaarheid”).
Hubungan suami isteri setelah perkawinan bukanlah merupakan suatu hubungan
perikatan yang berdasarkan perjanjian atau kontrak. Tetapi merupakan suatu
paguyuban.bpaguyuban oleh Profesor djojodiguno disebut paguyuban hidup yang menjadi
pokok ajang hidup suami-isteri selanjutnta beserta anak-anaknya. Paguyuban hidup ini lazimnya
disebut somah dan dalam somah ini, hubungan suami-isteri demikian rapatnya sehingga
menurut orang jawa suami-isteri ini adalah suatu ketinggalan. Hal ini terbukti:
a. Kedua mempelai melepaskan nama yang mereka masing-masing pakai (nama kecil)
serta kemudian memperoleh nama baru (nama tua) yang selanjutnya mereka pakai
bersama.
b. Sebutan yang dipakai untuk menggambarkan hubungan suami-isteri yaitu “garwa”
(Jawa), istilah-istilah berasal dari kata-kata “sigaraning nyawa” (artinya belahan jiwa).
c. Adanya ketunggalan harta benda dalam perkawinan yang disebut harta gono-gini.
PERTUNANGAN
Pertunangan adalah merupakan stadium (keadaan) yang bersifat khusus ya ng di Indonesia ini
biasanya mendahului dilangsungkan nya suatu perkawinan. Stadium ini dilangsungkan setelah
adanya persetujuan antara kedua belah pihak untuk mengadakan perkawinan. Yang mana
sebelumnya melalui proses lamaran.
Pertunangan baru mengikat apabila dari pihak laki-laki sudah memberikan kepada pihak
perempuan suatu tanda pengikat yang kelihatan yang disebut panjer atau peningset di Jawa.
Panyancang di daerah pasundan, tanda kong Marit di Aceh, bobo mibu di pulau Nias. Tanda
pengikat dimaksud diberikan atau kepada pihak keluarga pihak perempuan atau kepada orang
tua pihak perempuan atau kepada bakal mempelai perempuan itu sendiri.
Dasar diadakan pertunangan tidaklah sama di semua daerah. Lazimnya adalah karena;
a. Karena ingin menjamin perkawinan yang dikehendaki itu dapat dilangsungkan dalam
waktu dekat
b. Untuk membatasi pergaulan yang bebas antara muda-mudi yang telah diikat
pertunangan
c. Member kesempatan kepada kedua belah pihak untuk saling lebih mengenal.
Bahwa dengan adanya pertunangan itu tidaklah harus berarti bahwa kedua belah pihak tidak
boleh tidak melakukan perkawinan, sebabnya adalah bahwa pertunangan itu masih mungkin
untuk dibatalkan dengan segala konsekuensinya.
Pertunangan masih mungkin dibatalkan, dalam hal-hal berikut:
a. Kalau pembatalan itu memang menjadi kehendak kedua belah pihak
b. Salah satu pihak tidak memenuhi janjinya.

Upacara adat dalam perkawinan


Perkawinan itu suatu upacara adat (rite), seperti halnya setiap perbuatan introduksi unsur baru
ke dalam proses kehidupan alam semesta (kosmos) yang keramat dan tak terduga akal.
Peristiwa upacara adat itu meliputi:
a. Transisi dwi tunggal mempelai baru ke dalam kelas paguyuban hidup dan periode
kehidupan baru
b. Pencarian posisi keseimbangan dari pasangan baru itu terhadap paguyuban hidup itu
sendiri dan terhadap dunia luar.

SISTEM PERKAWINAN
Ada 3 macam system perkawinan yaitu:
1. System endogamy
Dalam system ini orang hanya diperbolehkan kawin dengan seseorang dari suku
keluarganya sendiri. Menurut van Vollenhoven hanya ada satu daerah saja yang secara
praktis mengenal system endogamy ini, yaitu tanah Toraja.
2. System exogami
Dalam system ini orang diharuskan kawin dengan orang di luar suku keluaganya. System
ini terdapat di daerah gayo, Alas, Tapanuli, Minangkabau, Sumatera Selatan, Buru dan
Seram.
3. System eleutherogami
System ini tidak mengenal larangan-larangan atau keharusan-keharusan seperti halnya
dalam system endogamy atau eksogami. Larangan dalam system ini adalah larangan-
larangan yang bertalian dengan ikatan kekeluargaan yakni larangan karena :
Nasab (turunan yang dekat) seperti kawin dengan ibu, nenek, anak kandung, cucu,
(keturunan garis lurus ke atas dank e bawah) juga dengan saudara kandung, saudara
bapak/ibu.
Musyakarah (periparan) seperti kawin dengan ibu tiri, menantu, mertua dan anak tiri.

Perkawinan dalam pelbagai sifat kekeluargaan:


a. Dalam sifat susunan kekeluargaan patrilineal
Corak utama dari perkawinan dalam persekutuan yang susunan kekeluargaannyaa
patrilinea adalah dengan “jujur”. Pemberian jujur adalah dari pihak laki-laki kepada
pihak perempuan. Setelah perkawinan, si isteri akan masuk dalam lingkungan
kekeluargaan suaminya, bahkan juga anak-anak dan keturunannya.
b. Dalam sifat kekeluargaan matrilineal
Dalam keluarga matrilineal tidak ada pembayaran jujur, setelah kawin suami tetap
masuk/berada pada keluarganya sendiri akan tetapi dapat bergaul dengan keluarga
isterinya sebagai “urang Sumando”. Pada saat perkawinan mempelai laki-laki dijemput
dari rumahnya dengan sekedar upacara untuk kemudian dibawa kerumah bakal
isterinya.
Suami tidak masuk pada keluarga isterinya, hanya anak-anak keturunannya masuk
keluarga isterinya dan si ayah pada hakekatnya tidak mempunyai kekuasaan terhadap
anak-anaknya.
c. Dalam sifat kekeluargaan parental
Setelah perkawinan suami menjadi anggota keluarga isterinya dan begitu juga
sebaliknya. Dalam sifat kekeluargaan ini akibat perkawinan adalah bahwa suami dan
isteri masing-masing menjadi mempunyai dua kekeluargaan, yaitu kerabat suami dan
kerabat iseri. Begitu seterusnya untuk anak-anak keturunannya.

PERCERAIAN
Perceraian adalah menurut adat merupakan suatu peristiwa luar biasa, merupakan problema
social dan yuriddis yang penting dalam kebanyakan daerah.
Pada asasnya setiap keluarga, kerabat serta persekutuan mengehndaki suatu perkawinan yang
sudah dilakukan itu dipertahankan untuk selama hidupnya. Namun apabila memang menurut
keadaan serta kenyataan, perceraian itu demi kepentingan bukan bagi suami-isteri saja
melainkan juga kepentingan keluarga kedua belah pihak maka perbuatan tersbut dapat
dijalankan.
Sebab-sebab yang oleh hukum adat dibenarkan untuk melakukan perceraian adalah:
a. Isteri berzinah
b. Isteri mandul
c. Impotensi suami
d. Suami meninggalkan isteri sangat lama ataupun isteri berkelakuan tidak sopan.
e. Adanya keinginan bersama dari kedua belah pihak, adanya persetujuan antara suami-
isteri untuk bercerai.
Pada umumnya perceraian-perceraian yang terjadi itu dipengaruhi oleh ketentuan-ketentuan
agama, baik agama islam maupun agama Kristen.
Di daam agama islam dan nasrani menunjukkan persamaan dalam 2 hal:
a. Perceraian itu sangat tercela
b. Yang dicampurinya bukanlah lembaga perkawinannya selaku urusan masyarakat,
melainkans segi pribadi dari pemutusan perkawinan tersebut.
Perceraian yang ada pada dasarnya merupakan peristiwa hukum itu, merupakan suatu kejadian
yang menimbulkan atau menghilangkan hak maupun kewajiban. Sebagai peristiwa hukum maka
percerian mempunyai hubungan erat dengan sikap tindak dalam hukum ang berupa tanggung
jawab (responsibility) terhadap pihak lain, pihak lain ini dapat menyangkut keturunan atau
anak, atau harta benda dan mungkin juga terhadap bekas isteri.

HARTA KEKAYAAN (HARTA PERKAWINAN)


Harta kekayaan dari keluarga yang baru terbentuk itu dan dalam keadaan selanjutnya, mungkin
diperoleh dari :
a. Suami atau isteri yang merupakan warisan atau hibah/pemberian dari kerabaht yang di
bawa ke dalam keluarga.
Sebelum melangsungkan perkawinan para kerabat atau keluarga (kedua orang tua)
menghibahkan sebagian harta kekayaan kepada anak-anak mereka sebagai modal
dalam membina keluarga. Atau mungkin saja sebelum melangsungkan perkawinan
mereka (suami/isteri memperoleh warisan dari orang tua mereka.
Telah menjadi asas umum dalam hukum adat, bahwa harta suami atau isteri yang
berasal dari warisan atau hibah, akan tetap menjadi milik suami atau isteri itu. Artinya
harta tersebut tetap terpisah satu sama lain sampai saatnya harta kekayaan itu menjadi
satu secara warisan dan yang akan diwariskan lagi kepada anak-anak mereka.
Pada masyarakat Lampung, pada dasarnya setelah perkawinan berlangsung seluruh
harta kekayaan menjadi satu dan berada dI bawah kekuasaan suami. Demikian juga
dengan harta bawaan si isteri.
b. Harta kekayaan yang berasal dari usaha suami maupun isteri yang diperoleh sebelum
atau selama perkawinan berlangsung.
Barang-barang yang diperoleh sebelum perkawinan di Sumatera selatan disebut sebagai
“harta pembujangan” kalau yang memperolehnya adalah suami, sedangkan kalau yang
memperolehnya isteri maka disebut “harta pennatian”.
Barang-barang yang diperoleh selama perkawinan pada umumnya jatuh ke dalam harta
perkawinan, milik bersama suami-isteri. Harta ini menjadi bagian dari kekayaan keluarga
dan apabila terjadi perceraian maka suami-isteri dapat meuntut masing-masing
bagiannya.
c. Barang-barang yang diperoleh sebagai hadiah pernikahan.
Pada masyarakat kebanyakan harta kekayaan yang demikian itu pada dasarnya
merupakan harta bersama.
d. Harta kekayaan sebagai usaha bersama antara suami-isteri.
Masyarakat Indonesia pada dasarnya mengenal adanya harta bersama namun dengan
pengecualian-pengecualian tertentu. Menurut keputusan Mahkamah Agung tertanggal
7 MNopember 1956 Nomor 51 K/sip/1956 semua harta yang diperoleh selama
berlangsungnya perkawinan termasuk harta gono-gini, meskipun semuanya hasiil
kegiatan suami sendiri.
BAB VI
HUKUM WARIS ADAT

Hukum waris adat meliputi aturan-aturan dan keputusan-keputusan hukum yang


bertalian dengan proses penerusan/pengoperan dan peralihan/perpindaha harta kekayaan
materiil dan non materiil dari generasi ke generasi.
Proses pengalihannya itu sendiri sesungguhnya sudah dapat dimuali semasa pemilik harta
kekayaan itu sendiri masih hidup serta prose situ sendiri masih terus berlangsung hingga
keturunan-keturunannya masing-masing menjadi keluarga baru yang berdiri sendiri yang kelak
juga akan mendapat giliran untuk meneruskan proses tersebut ke generasi berikutnya.
Menurut Soepomo:
“hukum adat waris membuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta
mengoperkan barang-barang harta benda barang-barang yang tidak berwujud benda
(immateriele goerden) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada keturunannya”
Menurut Wirjono:
“bahwa warisan itu adalah soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban-
kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada
orang lain yang masih hidup”.
Dalam pengertian warisan itu terdapat 3 unsur yang esensial (mutlak) yaitu:
1. Orang yang meninggal yang meninggalhan harta kekayaan
2. Adanya ahli waris yang berhak menerima kekayaan yang ditingggalkan itu
3. Adanya harta warisan atau harta yang ditinggalkan.
Sistem Kewarisan adat di Indonesia dijumpai tiga system kewarisan dalam hukum adat:
a. System kewarisan individual
Harta peninggalan dapaat dibagi-bagikan di antara para ahli waris.
b. System kewarisan kolektif.
Harta peninggalan itu diwarisi oleh sekumpulan ahli waris yang bersama-sama
merupakan semacam badan hukum dimana harta pusaka tersebut tidak boleh dibagi-
bagikan pemilikannya di antara ahli waris dan hanya dibagikan pemakaiannya saja.
(hanya hak pakai)
c. System kewarisan mayorat
Harta peninggalan diwaris keseluruhannya atau sebagian besar oleh seorang anak saja.
Mis di bali hanya anak lelaki tertua saja yang mendapat.

Menurut hukum adat, maka untuk menentukan siapa yang akan menjadi ahli waris digunakan
dua macam garis pokok, yaitu:
a. Garis pokok keutamaan
Adalah garis hukum yang menentukan urutan-urutan keutamaan diantara golongan-
golongan dalam keluarga pewaris dengan pengertian bahwa golongan yang satu lebih
diutamakan dari golongan yang lain.
1. Kelompok garis keutamaan I : keturunan pewaris
2. Kelompok garis keutamaan II : orang tua pewaris
3. Kelompok garis keutamaan III : saudara-saudara pewaris, dan keturunannya
4. Kelompok garis keturunan IV : kakek dan nenek pewaris.
b. Garis pokok pengganti
Adalah garis hukum yang bertujuan untuk menentuka siapa diantara orang-orang di
dalam kelompok keutamaan tertentu tampil sebagai ahli waris. Yang dapat sungguh-
sungguh menjadi garis pengganti adalah:
1. Orang yang tidak mempunyai penghubung dengan pewaris
2. Orang yang tidak ada lagi penghubungnya dengan pewaris

Objek hukum waris:


a. Harta suami atau isteri yang merupakan hibah atau pemberian kerabat yang dibawa
dalam keluarga
b. Usaha suami atau isteri yang diperoleh sebelum dan sesudah perkawinan
c. Harta yang merupakan hadiah kepada suami atau isteri pada waktu perkwinan
d. Harta yang merupakan usaha suami-isteri dalam masa perkawinan.
Harta peninggalan orang yang tutup usia tidak dapat dipandang sebagai kesatuan bulat yang
diwariskan dengan cara serupa. Di dalam harta ini mungkin terdapat:
a. Enda-benda yang masih terpancang dalam ikatan kerabat tertentu
b. Benda-benda yang terkait pada ikatan keluarga
c. Benda-benda yang termasuk martabat tertentu
d. Benda-benda yang masih terpaut pada paguyuban hukum dalam ikatan tertentu, pada
kesatuan tata susunan rakyat, yang bila si pemegang hak individual meninggal dapat
dikuasai oleh hak purba paguyuban tersebut dengan cara tertentu
e. Utang disamping utang piutang1

PENGHIBAHAN
Yaitu pembagian keseluruhan ataupun sebagian dari pada harta kekayaan semasa pemiliknya
masih hidup.
a. Pada suatu somah dengan sifat kekeluargaan parental
Contoh pada masyarakat jawa, ada suatu kebiasaan untuk memberikan kepadanya
secara hibah sebagian daripada harta keluarga misalnya sebidang tanah pertanian, pada
waktu ia menjadi dewasa dan telah cakap bekerja sendiri (kuat gawe) sebagai dasar
materiil untuk kehidupannya selanjutnya setelah ia mentas.
Kepada anak perempuan yang telah dewasa dan dikawinkan, lazimnya pada waktu
dikawinkan itu juga sebagai dasar materiil bagi kehidupannya lebih lanjut setelah ia
berdiri sendiri dengan suaminya sebagai suatu keluarga baru, dihibahkan dari harta
keluarga itu sebagian , misalnya sebidang tanah perkebunan atau sebuah rumah.
Pengibahan sebagian dari harta keluarga seseorang atau beberapa anak demikian ini,
kemudian setelah meninggalnya orang tua yang menghibahkan itu dan akan dilakukan
pembagian harta peninggalan kepada ahli waris, diperhatikan serta diperhitungkan
dengan bagian yang semestinya diterima oleh anak-anak yang bersangkutan andaikan
belum menerima bagian dari harta keluarga secara hibah.
b. Pada suatu somah dengan sifat kekeluargaan matrilineal.

1
Iman Sudiyat, 2010, Hukum Adat Sketsa Asas, Yogyakarta: Liberty, Hal: 169
Suami tidak akan diwaris oleh anak-anaknya sendiri, melainkan oleh saudara-
saudaranya sekandung beserta keturunan saudara-saudara perempuan sekandung.
Maka seorang suami yang mempunyai harta pencaharian yang lumayan akan melakukan
penghibahan terhadap barang-barang dari harta pencahariannya kepada anak-anaknya.
c. Pada suatu soamah dengan sifat kekeluargaan patrinieal.
Hanya anak laki-laki yang mewaris harta peninggalan bapaknya. Ketentuan ini
diperlunak dengan penghibahan sawah atau ternak oleh bapak kepada anak-anak
perempuan yang tidak atau sudah kawin, bahkan juga kepada cucu yang pertama.

HIBAH WASIAT
Merupakan suatu jalan bagi bagi pemilik harta kekayaan semasa hidupnya menyatakan
keinginannya yang terakhir tentang pembagian harta peninggalannya kepada ahli waris yang
baru akan berlaku setelah ia meninggal dunia.
Maksud dari hibah wasiat ini terutama untuk mewajibkan para ahli warisnya membagi-bagi
harta peninggalannya dengan cara yang layak menurut anggapannya. Maksud kedua ialah
untuk mencegah perselisihan, keributan atau cekcok dalam membagi harta peninggalannya
dikemudian hari diantara para ahli waris.

Kedudukan janda/duda
Dengan system kekeluargaan matrilineal, suami pada hakikatnya tidak masuk keluarga isteri.
Akibat daripada keadaan ini adalah bahwa suami pada hakikatnya tidak berhak menerima apa-
apa dari harta isterinya.
Untuk system kekeluargaan yang patrilineal ditegaskan bahwa janda laki-laki/duda mendapat
bagian dari harta warisan isterinya, yaitu barang-barang yang dulu oleh isteri dan barang-
barang bagian isteri dari harta milik bersama suami-isteri.

Pewarisan tanpa anak


Pewarisan harta benda dalam hal tiada anak terlepas dari tuntutan hak jodoh yang hidup
terlama dan anak angkat adalah mudah:
1. Harta benda itu kembali satu langkah (ke atas) di dalam silsilah si meninggal dan diwaris
oleh keturunan dari warga silsilah yang terdapat disitu.
2. Bila keturunan yang demikian itu tidak ada, maka harta tersebut kembali satu langkah
lagi dan begitu seterusnya.2

BAB VII
2
Ibid, Hal:168
HAK ULAYAT

sebagai salah satu unsur esensial pembentuk negara, tanah memegang peranan
penting/vital dalam kehidupan dan penghidupan bangsa pendukung negara yang bersangkutan,
lebih-lebih corak agraria mendominasi.
Karena sifatnya, tanah merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun
mengalami keadaan yang bagaimanapun juga, toh masih bersifat tetap dalam keadaannya
bahkan kadang-kadang malahan menjadi lebih menguntungkan. Contohnya: apabila sebidang
tanah dibakar, tanah tersebut tidak akan lenyap malahan sebidang tanah tersebut akan tetap
berwujud seperti semula. Bahkan bisa menjadi lebih subur.
Hak persekutuan atas tanah atau biasa disebut sebagai hak pertuanan atau hak ulayat.
Persekutuan dengan tanah yang didudukinya itu terdapat hubungan yang erat sekali, hubungan
yang mempunyai sumber serta yang bersifat religio magis. Hubungan yang erat dan religio
magis ini menyebabkan persekutuan memperoleh hak untuk menguasai tanah dimaksud,
memanfaatkan tanah itu, memungut hasil dar tumbuh-tumbuhan yang hidup di atas tanah itu,
juga berburu terhadap binatang-binatang yang hidup disitu.
Istilah Hak ulayat terdiri dari dua kata yakni “hak” dan “ulayat”. Secara etimologi kata
ulayat identic dengan wilayah, kawasan, marga dan nagari.
Mr Van Vollenhoven menyebut sebagai “beschikkingsrecht” yang mana menggambarkan
tentang hubungan antara persekutuan dengan tanah itu sendiri.
Hak ulayat ini berlaku keluar dan kedalam. Berlaku keluar artinya bukan warga persektuan pada
prinsipnya tidak diperbolehkan turut mengenyam/menggarap tanah yang merupakan wilayah
kekuasaan persekutuan yang bersangkutan. Menurut ter Haar berlaku ke luar, yaitu:
1. Anggota suku bangsa lain (juga tetangganya) tidak boleh mengambil manfaat dari tanah
daerah hak ulayat, kecuali dengan izin kepala suku/masyarakat hukum.
2. Suku bangsa/masyarakat hukum yang mempunyai hak ulayat atas wilayahnya,
bertanggung jawab atas hal-hal yang terjadi dalam masyarakat itu.
Berlaku kedalam karena persekutuan sebagai suatu keseluruhan yang berarti semua warga
persekutuan bersama-sama sebagai suatu kesatuan.
Menurut Ter Haar, hak ulayat mempunyai kekuatan kedalam, yaitu:
1. Masyarakat hukum/anggotanya bersama-sama dapat mengambil manfaat dari tanah
serta tumbuh-tumbuhan maupun hewan liar yang hidup di atasnya.
2. Anggota suku bangsa/masyarakat hukum, untuk keperluan sendiri berhak untuk
berburu, mengumpulkan hasil hutan (yang kemudian dimiliki dengan hak milik) bahkan
berhak memiliki beberapa batang pohon yang tumbuh liar apabila pohon itu dipelihara
olehnya.
3. Mereka mempunyai hak untuk membuka tanah dengan sepengetahuan kepala
suku/masyarakat hukum. Dengan sepengetahuan kepala suku/masyarakat hukum/desa
merupakan suatu perbuatan hukum yang mendapat perlindungan dalam masyarakat
hukum itu.
4. Oleh masyarakat hukum sendiri dapat ditentukan bagian-bagian wilayah yang akan
digunakan untuk tempat pemukiman, tempat untuk makam, pengembangan umum,
sawah dan lain-lain keperluan bersama.
Menurut Moh. Koesnoe perkataan “ulayat” pada dasarnya berarti suatu lingkungan tanah yang
berada dalam kekuasaan yang sah suatu persekutuan. Setiap lingkungan ulayat selalu meliputi 3
(tiga) bagian pokok, yaitu: a). lingkungan sebagai pusat persekutuan, b). lingkungan usaha para
warga, berupa sawah, kebun lading, hutan, dll, c). lingkungan tanah persediaan, berupa hutan
belukar di luar lingkungan usaha tersebut. Dengan demikian secara harfiah hak ulayat diartikan
sebagai kewenangan masyarakat hukum adat atas tanah dalam lingkungan/wilayah/daerah
tertentu untuk menguasai dalam arti mengambil dan memanfaatkan tanah untuk kepentingan
masyarakat hukum dan anggota-anggotanya.3
Sebenarnya hukum adat tidak memberikan suatu nama, tetapi terdapat nama-nama yang
menunjuk tanah yang merupakan lingkungan wilayah sebagai sebutan bagi tanahnya, yaitu:
1. Tanah wilayah sebagai kepunyaan (pertuanan-Ambon)
2. Tanah sebagai tempat memberi makan (payampeto-Kalimantan)
3. Tanah sebagai daerah yang dibatasi (pewatasan-Kalimantan, wewengkon-Jawa,
Parabunian-Bali)
4. Tanah sebagai tanah yang terlarang bagi orang lain (totabuan-Bolang-Mangandow)
3
Ibid, hal:103
Menurut Iman Sudiyat, ciri-ciri hak ulayat/purba antara lain sebagai berikut:
1. Hanya persekutuan hukum dengan warganya yang berhak dengan bebas menggunakan
tanah liar di wilayahnya
2. orang luar boleh menggunakan tanah itu setelaah ada izin dari penguasa masyarakat
hukum/persekutuan hukum tersebut, bila tanpa izin orang itu dianggap melakukan
pelanggaran.
3. Warga masyarakat hukum/persekutua boleh mengambil dengan batasan hanya untuk
keperluan somah/brayat/keluarga sendiri. Bila dimanfaatkan untuk kepentingan orang
lain itu dianggap orang asing, maka ia mendapat izin terlebih dahulu dan memenuhi
syarat yang ditentukanoleh persekutuan, misalnya membayar upeti, mesi kepada
persekutuan.
4. Persekutuan hukum bertanggung jawab atas segala hal yang terjadi di wilayahnya
terutama tindakan melawan hukum yang merupakan delik.
5. Hak ulayat/hak purba tidak dapat diasingkan atau dipindahtangankan untuk selamanya
6. Hak ulayat/hak purba meliputi tanah yang sudah digarap atau sudah diliput oleh hak
perorangan. 4
Hak ulayat ini dalam bentuk dasarnya adalah suatu hak daripada persekutuan atas tanah yang
didiami, sedangkan pelaksanaannya dilakukan oleh persekutuan itu seendiri atau oleh kepala
persekutuan atas nama persekutuan.
Objek Hak Ulayat:
a. Tanah (daratan)
b. Air (kali, danau, pantai beserta perairannya)
c. Tumbuh-tumbuhan yang hidup secara liar.
d. Binatang yang hidup secara liar.
Para persekutuan memelihara serta mempertahankan hak ulayatnya,
a. pertama-tama persekutuan berusaha meletakkan batas-batas disekeliling wilayah
kekuasaannya dengan batas-batas fisik, misalnya dengan menandai batu, penanaman
pohon, bukit, sungai dan sebagainya.

4
Ibid, Hal:109
b. Menunjuk pejabat tertentu yang khusus bertugas mengawasi wilayah kekuasaan
persekutuan yang bersangkutan. Seperti Jaring di Minangkabau, terusan di Minahasa,
kepala kewang di Ambon, lelipis lembukit di Bali.
c. Patrol-patroli perbatasan.
d. Penegasan wlayah kekuasaan surat-surat pikukuh ataupun piagam yang dikeluarkan
oleh raja-raja terdahulu.
Subyek Hak ulayat
Berdasarkan struktur masyarakat, hak ulayat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
masyarakat hukum. Oleh karenanya menurut Van Vollenhoven, hak ulayat dimiliki suatu
masyarakat hukum adat (suku, desa, serikat desa) untuk menguasai seluruh isinya dan
lingkungan wilayahnya.
Dengan demikian subyek hak ulayat adalah masyarakat hukum adat, baik yang tunggal maupun
persekutuan daerah, tetapi tidak merupakan hak dari individu, merupakan pula hak dari family.
Misalnya seperti di Minangkabau ada Nagari, di Ambon ada hak dari Famili (tanah dati).
Masyarakat hukum adat berwenang untuk memanfaatkan sumber daya alam, yang dalam
pelaksanaannya dipimpin dan dipegang oleh kepala adat itu sendiri yang ada diwilayahnya.
Dengan izin kepala adatnya warga mempunyai kekuasaan untuk membuka dan menggunakan
tanah itu untuk kebutuhannya, orang luar yang bukan warganya diperbolehkan menggunakan
setelah mendapat izin dari kepala adat dengan pembayaran yang disebut recognitie.

HAK PERSEORANGAN ATAS TANAH


Maka setiap individu mempunyai hak untuk;
a. Mengumpulkan hasil-hasil hutan, seperti rotan dan lain sebagainya
b. Memburu binatang liar yang hidup di wilayah kekuasaan persekutuan
c. Mengambil hasil dari pohon-pohon yang tumbuh liar
d. Membuka tanah dan kemudian mengerjakan tanah it uterus menerus
e. Mengusahakan untuk diburu

PERPINDAHAN HAK-HAK ATAS TANAH


ada 3 sifat perbuatan hukum perpindahan hak-hak atas tanah:
1. Tunai, artinya tanah dan pembayarannya serentak (simultan) berpindah
2. Terang, artinya perpindahan itu sudah sesuai dengan hukum adat, beres dan sah karena
ditanggung dan dijamin oleh para pembesar persekutuan.
3. Masyarakat hukum dimana tanah itu terletak, dan kini mengalami proses pemindahan
tidak dirugikan.
TRANSAKSI-TRANSAKSI TANAH
1. Transaksi tanah yang bersifat perbuatan hukum sepihak
a. Pendirian suatu desa
Sekelompok orang mendiami suatu tempat tertentu dan membuat perkampungan di
atas tanah itu, membuka tanah pertanian, mengubur orang-orang yang meninggal,
sehingga lambat laun tempat tersebut menjadi sebuah desa sehingga lambat laun
tercipta hubungan religio magis antara desa dan tanah tersebut. Tumbuh suatu
hubungan hukum antra desa dan tanah yang dimaksud.
b. Pembukaan tanah oleh individu oleh seorang warga persekutuan.
Kalau seorang warga persekutuan dengan izin kepala desa membuka wilayah tanah
persekutuan, maka dengan menggarap tanah itu terjadi suatu hubungan hukum dan
sekaligus hubungan religio magis antara warga dengan tanah yang dimaksud.
2. Transaksi-transaksi tanah yang bersifat perbuatan hukum dua belah pihak.
a. Menjual gadai
Merpakan perbuatan pemindahan hak atas tanah kepada pihak lain yang dilakukan
secara terang dan tunai sedemikian rupa, sehingga pihak yang melakukan
pemindahan hak mempunyai hak untuk menebus kembali tanah tersebut. Dengan
demikian maka pemindahan hak atas tanah tersebut hanya bersifat sementara. Yang
menerima tanah berhak untuk mengerjakan tanah itu serta memungut penghasilan
dari tanah itu. Ia hanya terikat oleh janji-janji bahwa tanah itu hanya dapat ditebus
oleh yang menjual gadai. Tidak diperbolehkan menjual tanah tersebut, namun
biasanya selalu ada perjanjian tambahan bahwa kalau tidak ditebus dalam masa
yang dijanjikan maka tanah menjadi pemilik gadai. Tanah tidak boleh ditebus hanya
dalam masa satu, dua atau beberapa tahun dalam tangan pembeli.
b. Menjual lepas
Merupakan proses pemindahan hak atas tanah yang bersifat terang dan tunai,
dimana semua ikatan antara bekas penjual dengan tanahnya menjadi lepas sama
sekali. Yang membeli lepas memperoleh hak milik atas tanah yang dibelinya.
Pembayaran dilakukan di hadapan kepala persekutuan. Biasanya pada jual lepas
calon pembeli akan memberikan suatu tanda pengikat yang lazim disebut sebagai
panjer. Akan tetapi dalam kenyataannya panjer tersebut yang merupakan tanda jadi,
tidak serta merta mengikat walaupun ada akibatnya bagi calon pembeli yang tidak
jadi melaksanakan pembelian tanah dikemudian hari.
c. Menjual tahunan
Merupakan suatu perilaku hukum yang berisikan penyerahan hak atas sebidang
tanah tertentu kepada subjek hukum lain dengan menerima sejumlah uang tertentu
dengan ketentuan bahwa sesudah jangka waktu tertentu maka tanah tersebut akan
kembali dengan sendirinya tanpa melalui perilaku hukum tertentu. .Ini suatu bentuk
menyewakan tanah. Yaitu penyerahan tanah dengan pembayaran kontan disertai
dengan perjajian bahwa apabila kemudian tidak ada perbuatan hukum lain, sesudah
satu, dua, tiga atau beberapa kali panen, tanah itu kembali lagi kepada pemilik tanah
semula.

BAB VIII
HUKUM ADAT DELIK
Ter haar mengatakan bahwa suatu delik itu adalah sebagai tiap-tiap gangguan dari
keseimbangan, tiap-tiap gangguan pada barang-barang materiil dan immaterial milik hidup
seorang atau kesatuan (persatuan) orang-orang, yang menyebabkan timbulnya suatu reaksi
adat; dengan reaksi adat ini keseimbangan akan dan harus dapat dipulihkan kembali. Artinya
suatu delik ini harus mengakibatkan suatu gocangan dalam neraca kseimbangan masyarakat.
Van Vollenhoven menyebutkan delik adat itu sebagai perbuatan yang tidak
diperbolehkan.
Prof Soepomo hanya menjelaskan bahwa dalam system hukum adat segala perbuatan
yang bertentangan dengan peraturan hukum adat merupakan perbuatan illegal dan hukum
adat mengenal pula ikhtiar-ikhtiar untuk memperbaiki hukum jika hukum itu diperkosa.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa delik adat itu adalah pada dasarnya suatu tindakan yang
melanggar perasaan keadilan dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat, sehingga
menyebabkan terganggunya ketentraman serta keseimbangan masyarakat yang bersangkutan
guna memulihkan kembali ketentraman dan keseimbangan itu, maka terjadi reaksi-reaksi adat.
Reaksi-reaksi adat ini merupakan tindakan untuk mengenbalikan ketentraman magis yang
diganggu dan meniadakan atau menetralisasikan suatu keadaan sial yang ditimbulkan oleh
suatu pelanggaran adat.

SIFAT PELANGGARAN HUKUM ADAT


1. Tradisional magis religious, artinya perbuatan yang tidak boleh dilakukan dan perbuatan
mana mengganggu keseimbangan masyarakat itu bersifat turun temurun dan dikaitkan
dengan keagamaan, misalnya sejak dahulu sampai sekarang anak tidak boleh melawan
orangtua, adik tidak boleh melangkahi kakak, tidak boleh berzina. Apabila larangan itu
dilanggar, maka bukan saja keluarga, masyarakat akan terganggu keseimbangannya.
Dan perbuatan itu akan mendapatkan hukuman dari sang Pencipta seperti misalnya
gunung meletus, banjir atau penyakit yang merajalela.
2. Menyeluruh dan menyatukan, Hukum adat tidak mengadakan perpisahan antara
pelanggaran hukum yang mewajibkan tuntutan memperbaiki kembali hukum di dalam
lapangan hukum pidana dan pelanggaran hukum yang hanya dapat dituntut di lapangan
perdata.
3. Tidak menyamaratakan, apabila perbuatan pelanggaran delik adat itu dilakukan oleh
orang yang bermartabat, golongan bangsawan, atau raja-raja adat, orang pintar dan
orang kaya maka hukumannya lebih berat dibandingkan pelaku dari orang biasa.
4. Terbuka dan lentur, hukum adat tidak menolak perubahan-perubahan yang terjadi di
dalam masyarakat asal tidak bertentangan dengan kesadaran hukum dan keagamaan
masyarakat.
Oleh karenanya maka system hukum adat hanya mengenal satu posedur dalam
penuntutan. Ini berarti bahwa petugas hukum yang berwenang untuk membetulkan hukum
yang dilanggar adalah satu pejabat saja yaitu kepala adat, hakim perdamaian desa atau hakim
pengadilan negeri untuk semua macam pelanggaran hukum adat.
Terhadap beberapa jenis pelanggaran hukum, petugas hukum hanya bertindak apabila
diminta oleh orang yang terkena. Sedangkan terhadap tindakan-tindakan lainnya petugas
hukum bertindak atas inisiatif sendiri. Ukuran yang dipakai dalam hukum adat untuk
menentukan dalam hal mana petugas hukum harus bertindak ex officio (wajib bertindak) dan
dalam hal mana mereka bertindak atas permintaan orang yang berkepentingan. Dalam hal
harus bertindak (ex officio) apabila kepentingan umum langsung terkena oleh suatu
pelanggaran hukum.

LAHIRNYA DELIK ADAT


1. Lahirnya delik adat serupa lahirnya dengan aturan hukum yang tidak tertulis.
2. Suatu peraturan mengenai tingkah laku manusia pada suatu waktu mendapat sifat
hukum, pada suatu saat ketika petugas hukum yang bersangkutan mempertahankannya
terhaddap orang yang melanggar peraturan itu, atau pada saat petugas hukum
bertindak untuk mencegah pelanggaran peraturan etrsebut.

Hukum adat tidak mengenal suatu system peraturan yang statis, artinya delik adat itu
tidak sepanjang masa tetap merupakan delik adat. Tiap peraturan hukum adat timbul,
berkembang dan selanjutnya lenyap dengan lahirnya peraturan hukum adat yang baru; sedang
peraturan yang baru itu dengan sendirinya berkembang juga dan kemudian akan lenyap juga
dengan adanya peruahan rasa keadilan rakyat yang dahulu melahirkan peraturan itu, dan
proses ini berjalan terus menerus.
Begitu pula dengan delik adat, lahir, berkembang dan kemudian lenyap. Ini berarti bahwa
perbuatan-perbuatan yang semula merupakan pelanggaran hukum lambat laun berubah
menjadi tidak lagi melanggar hukum oleh karena hukum yang dilanggar itu berjalan sesuai
dengan jalannya perubahan perasaan keadilan rakyat.
Terjadinya delik apabila tata tertib adat setempat dilanggar, atau dikarenakan adanya
suatu pihak merasa dirugikan, sehingga timbul reaksi dan koreksi dan keseimbangan
masyarakat menjadi terganggu. Misalnya perbuatan mencuri buah-buahan di Aceh jika
pelakuknya memetik buah-buahan itu dari pohon yang tidak dipelihara maka si pencuri
dihukum membayar harganya. Namun di Lampung berdasarkan aturan Kuntara Raja Niti (KRN)
dikatakan bahwa “mencari buah-buahan yang pohonnya tidak terpasang ranting penghalang
atau tidak ada pembalut pohonnya yang terletak di tepi jalan, maka perbuatan itu disebut
“ngaranat nyinggah baya” si pencuri cukup ditegur dan diperingatkan agar tidak berbuat lagi.
Jadi, delik adat itu terjadi tetapi masyarakat setempat tidak lagi merasa terganggu
keseimbangannya sehingga tidak ada reaksi adat atau sanksi adat terhadap pelaku, maka
perbuatan itu bukan lagi delik adat atau delik adat yang tidak mempunyai akibat hukum. Dan
delik-delik adat itu berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya.
Suatu tindakan yang mungkin melanggar beberapa norma hukum sekaligus, sehingga
untuk memulihkan keseimbangan hukum harus diambil beberapa tindakan reaksi/koreksi
misalnya penggantian kerugian dan selamatan untuk membersihkan masyarakat. Ada beberapa
tindakan-tindakan reaksi atau koreksi adat itu misalnya:
1. Penggantian kerugian non-materril dalam berbagai rupa seperti paksaan menikah
dengan gadis yang telah dicemarkan.
2. Pembayaran “uang adat” kepada orang yang terkena, berupa benda sakti selaku
pengganti kerugian normal.
3. Selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran gaib
4. Penutup malu, permintaan maaf
5. Berbagai rupa pidana badan, sampai kepada pidana mati
6. Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang di luar tatanan hukum 5

PENEBUSAN DELIK
Penebusan delik membutuhkan coraknya yang magis, karena kegemaran orang untuk
menyebutkan barang-barang yang harus dibayar oleh orang-orang yang bersalah, misalnya
seekor kerbau, sekian orang budak, kemudin membiarkan orang-orang yang bersalah itu
membayarnya dengan barang-barang yang tidak mahal atau dengan uang saja.
Ter haar memberikan beberapa contoh tentang penebusan delik di berbagai daerah sesuai
dengan perbuatannya:
1. Di kalangan orang Dayak Lawangan, tiga buah piring untuk penebusan satu penghinaan
biasa saja. Tiga buah piring dan seekor babi untuk suatu penghinaan berat. 10 buah
piring jika menghina seorang kepala adat.
2. Di Kalimantan Barat, bosi sebelas kepala tajau yang berarti sebuah tempayan seharga 10
kepala dan 12 kepala terpenggal dan pembayaran demikian bukan hanya berlaku untuk
satu jenis delik saja tetapi segolongan delik yang bermacam-macam jenisnya tetapi rupa
sama nilainya.
3. Di kalangan Toraja, penghinaan dengan kata-kata ditebus dengan seekor ayam,
kejahatan dengan menggunakan tangan ditebus dengan seekor kambing, kejahatan
mengenai seluruh manusia ditebus dengan seekor kerbau.
4. Di Bali, berbagai jenis kejahatan kebanyakan dihukum dengan denda uang.
5. Sifat umum dari pembalasan terhadap kejahatan pencurian barang-barang
(vermogensdelicten) ialah penebusan deliknya berjumlah dua atau beberapa kali dari
harga barang yang dicuri.
6. Dalam delik penganiayaan, keadaannya berbeda. Apabila yang teraniaya adalah warga
dari satu masyarakat, maka warga dari masyarakat itu sendiri mengehndaki penebusan
dosa atau si teraniaya dapat melakukan penuntutan (karena rasa malu) atau dalam hal
si teraniaya melepas tuntutannya. Dalam ketiga kemungkinan itu, kepala-kepala
5
Ibid, hal:180
persekutuan harus mencari jalan untuk memulihkan keadaan dan
melepaskan/menyelematkan masyarakat dari kemungkinan-kemungkinan musibah-
musibah yang bakal menimpa.6
PERBEDAAN ANTARA ALIRAN DUNIA BARAT DENGAN ALIRAN PIKIRAN TRADISIONAL
INDONESIA
1. Aliran dunia barat yang bersifat liberalistic adalah bercorak rasionalistik dan
intelektualistik. Agama, ekonomi, kesenian dan lain sebagainya mempunyai lapangan
sendiri-sendiri yang terpisah satu dengan yang lainnya. Alam pikiran tradisional
Indonesia seperti juga alam pikiran tradisional timur lainnya, bersifat kosmis meliputi
segala-galanya sebagai satu kesatuan. Umat manusia merupakan bagian dari alam tidak
ada pembatasan antara manusia dengan makhluk-makhluk lainnya. Yang paling utama
adalah keseimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib.
2. Perbedaan besar dari dua aliran ini adalah menegnai kedudukan seorang individu dalam
suatu masyarakat. Menurut aliran liberalistis tiap-tiap individu merupakan pusat
kepentingan hukum, sehingga nyawanya, kemerdekaannya dan harta bendanya harus
dilindungi sebaik-baiknya oleh negara. Sedangkan bagi dunia tradisional Indonesia yang
merupakan pokok dari segala penyelenggaraan hukum bukanlah orang sebagai individu
melainkan masyarakat sebagai persukutuan; dan penting tidaknya seseorang tergantung
kepada fungsinya di dalam persekutuan.
3. Organisasi masyarakat tradisional ditujukan kepada pemeliharaan keseimbangan
tersebut di atas.

LAPANGAN BERLAKUNYA HUKUM ADAT:


Berlainan Dengan Hukum Pidana Barat, Hukum Adat Tidak Menegnal Sistem Pelanggaran
Hukum yang ditetapkan terlebih dahulu, hukum adat tidak mengadakan peraturan semacam
pasal 1 KUHP (asas legalitas).
Dalam lapangan hukum adat seluruh lapangan hidup menjadi satu ujian perihal apa yang
dilarang dan apa yang diperolehkan.

6
Drs. Nico Ngani, SH, MM, CLE, Dipl. Phil, 2012, Perkembangan Hukum Adat Indonesia, Jakarta: PT Buku Seru,
Hal:74-75
Delik adat ini lambat laun akan mendapat sifat yang tetap, apabila setelah ada putusan pertama
dari petugas hukum tersebut, berturut-turut terjadi perbuatan yang serupa serta perbuatan-
perbuatan itu menyebabkan diambilnya putusan-putusan yang serupa juga dari pihak petugas
hukum yang bersangkutan.

PETUGAS HUKUM UNTUK PERKARA ADAT


Terhadap delik-delik yang disamping delik adat juga merupakan delik menurut KUH Pidana,
rakyat desa lambat laun telah menerima dan menganggap sebagai sewajarnya bila yang
bersalah diadili serta dijatuhi hukuman oleh hakim Pengadilan Negeri dengan pidana yang
ditentukan oleh KUH Pidana.
Hanya terhadap perbuatan-perbuatan yang melanggar norma-norma kesusilaan, hukuman
menurut KUH Pidana itu masih dianggap tidak mencukupi rasa keadilan rakyat. Oleh karena
itulah perlu diambil tindakan adat disamping hukuman yang telah dijatuhkan KUH Pidana
tersebut guna memulihkan kembali keseimbangan masyarakat yang terganggu.
Contoh misalnya: terhadap delik perkosaaan. Hukuman penjara saja dianggap tidak cukup,
sebab masyarakat masih belum dibersihkan dari kotoran batin yang disebbakan oleh perbuatan
itu.
Hakim perdamaian desa berwenang juga setelah pengadilan Negerri menjatuhkan hukuman
kepada orang yang bersalah, menghukum orang itu untk menyelenggarakan usaha-usaha adat
yang diwajibkan, seperti meminta maaf secara adat, selamatan guna pembersihan dusun dari
kotoran batin yang disebabkan oleh perbuatannya dan lain sebagainya.

KEWAJIBAN PETUGAS HUKUM ADAT


Para petugas hukum di dalam masyarakat adat melahirkan di dalam penetapan-penetapannya,
apa yang hidup sebagai rasa keadilan di dalam masyarakat. Dengan penetapan itu, rasa
keadilan tersebut dituangkan daklam bentuk yang konkrit.
Hakim pengadilan negeri yang harus mengadili menurut hukum adat, harus sadar akan struktur
kerohanian masyarakat agar supaya putusan-putusannya benar-benar selaras dengan
hubungan-hubungan, lembaga-lembaga dan peraturan-peraturan tingkah laku yang hidup di
dalam masyarakat yang bersangkutan.
Hakim terikat pada system yang telah terbentuk dan yang berkembang di dalam masyarakat.
Dengan tiap keputusannya, hakim menyatakan dan memperkuat kehidupan norma hukum yang
tidak tertulis.
Di dalam system hukum adat, hakim berwenang, malahan berkewajiban jikalau terhadap suatu
soal belum ada peraturan hukum yang positif, memberikan putusan yang mencerminkan rasa
keadilan rakyat yang bertumbuh baru, wajib memberi konkretisasi, wajib menuangkan yang
kongkrit di dalam keputusannya apa yang menurut keyakinannya sesuai dengan aliran
masyarakat.
Peradilan menurut hukum adat adalah:
a. Meneruskan dengan rasa tanggung jawab, pembinaan segala hal yang telah terbentuk
sebagai hukum di dalam masyarakat.
b. Jika tidak ada penetapan-penetapan terhadap soal yang serupa atau jika penetapan-
penetapan pada waktu yang lampau tidak dapat dipertahankan. Maka harus member
putusan yang menurut keyakinannya akan berlaku sebagai keputusan hukum di dalam
daerah hukumnya hakim itu. Hakim harus member bentuk kepada apa yang dikehendaki
oleh system hukum, oleh Kenyataan social dan oleh syarat kemanusiaan sebagai
peraturan hukum.

ALASAN-ALASAN YANG DAPAT MENUTUP KEMUNGKINAN UNTUK DIPIDANA, DAPAT


MERINGANKAN DAN DAPAT MEMBERATKAN.

Hal-hal yang menutup dipidananyaa seseorang dalam hukum adat:


1. Perbuatan-perbuatan yang dilakukan untuk memperoleh obat bagi orang yang sakit
2. Keperluan-keperluan lain yang mendesak, seperti memenuhi keinginan seorang wanita
yang mengidam.
Maka dengan alasan-alasan untuk keperluan tersebut diatas seseorang terpksa mengambil
buah-buahan atau tanaman milik orang, maka si pencuri tidak akan mendapat reaksi adat dan
tidak akan dihukum. Dalam pikiran adat ini berarti bahwa perbuatan dimaksud di atas tidak
dianggap mengganggu perimbangan hukum.

Alasan-alasan yang memberatkan:


Kedudukan seseorang dalam persekutuan.
Makin tinggi kedudukan dalam persekutuan, makin berat sifat delik yang dilakukan
terhadapnya, dan makin berat hukuman yang dijatuhkan kepadanya. Selain itu terdapat
pula beberapa golongan delik yang dipidana lebih berat jika perbuatan dilakukan
dengan sengaja daridapa dengan yang tidak sengaja (membunuh atau melukai orang).

Alasan-alasan yang meringankan:


1. Penyesalan
2. Hak asyl yaitu suatu hak untuk mendapat perlindungan.
Misalnya yang terjadi di Sulawesi Selatan, Sumba dan Bali yaitu bagi orang yang
melakukan deik terhadap suatu family (membawa lari gadis, berzinah) atau terhadap
orang lain (mencuri) dapat bebas dari hak pembalasan pihak yang terkena, apabila ia
dapat lari dan berlindung ke tempat istimewa tertentu, seperti istana raja, rumah kepala
adat atau rumah seorang pegawai agama.

Anda mungkin juga menyukai