HUKUM KEKELUARGAAN
1. KETURUNAN
Keturunan adalah ketunggalan leluhur artinya ada perhubungan darah antara orang yang
seorang dan orang yang lain. Dua orang atau lebih mempuynyai hubungan darah, jadi yang
tunggal leluhur adalah keturunan yang seorang dari yang lain.
Keturunan dapat bersifat:
a. Lurus, apabila orang yang saat itu merupakan langsung keturunan yang lain. ,isalnya
antara bapak dan anak, antara kakak,sdcghkmhju bapak dan anak.
b. Menyimpang atau bercabang, apabila antara kedua orang atau lebih itu terdapat
adanya ketunggalan leluhur, misalnya bapak ibunya sama (saudara sekandung) atau
sekakek-senenek.
Kita juga mengenal:
a. Keturunan Patrilineal adalah orang-orang yang berhubungan darahnya hanya melulu
melewati orang laki-laki saja di antara mereka ada orang laki-laki dan orang
perempuan.
b. Keturunan matrilineal adalah orang-orang yang berhubungan darahnya hanya melulu
melewati orang perempuan saja.
Dan hubungan kekeluargaan ini merupakan factor yang sangat penting dalam:
a. Masalah perkawinan, yaitu untuk meyakinkan apakah ada hubungan kekeluargaan
yang merupakan larangan untuk menjadi suami-isteri.
b. Masalah waris; hubungan kekeluargaan merupakan dasar pembagian harta
peninggalan.
2. HUBUNGAN ANAK DAN ORANG TUANYA.
Anak kandung memiliki kedudukan yang terpenting dalam tiap somah masyarakat adat.
Anak dipandang sebagai penerus generasinya, sebagai wadah dimana semua harapan orang
tuanya kelak dikemudian hari wajib ditumpahkan. Pula dipandang sebagai pelindung orang
tuanya.
Anak yang lahir dalam perkawinan yang sah antara seorang pria dan wanita mempunyai
ibu sebagai wanita yang melahirkannya dan bapak pria suami wanita dimaksud. Ini adalah hal
yang normal. Tetapi syaangnya dalam kenyataannya tidak semua kejadian berjalan dengan
normal. Ada kalanya terdapat kejadian-kejadian abnormal:
a. Anak lahir di luar perkawinan
Semua daerah mempunyai pandangan yang berbeda mengenai masalah ini, namun
kebanyakan si ibu yang tidak kawin dan anaknya akan mendapat celaan yang sangat
keras dari masyarakat, bahkan ada yang dikeluarkan dari persekutuan, kadang-kadang
ada yang dibunuh atau pada zaman kerajaan terdahuu mereka diserahkan kepada
pihak kerajaan untuk dijadikan budak.
Ada dikenal beberapa lembaga untuk melepaskan si ibu dan anak dari nasib yang
malang tersebut, diantaranya adalah;
1) Kawin paksa. Dengan pria yang memang bertanggung jawab karena yang telah
menghamili wanita tersebut.
2) Kawin darurat dengan sembarang pria, supaya kelahiran bayinya terjadi dalam
ikatan perkawinn yang sah.
b. Anak lahir karena zinah
Apabila seorang isteri melahirkan anak karena hubungan gelap dengan seorang pria
lain bukan suaminya, maka menurut hukum adat suaminya itu menjadi bapak anak
yang dilahirkan tersebut, kecuali apabila sang suami ini berdasarkan alasan-alasan yang
dapat diterima dapat menolak menjadi bapak anak yang dilahirkan oleh isterinya
karena zinah ini.
c. Anak lahir setelah perceraian.
Menurut hukum adat anak yang lahir setelah perceraian bapaknya adalah mantan
suami ibu yang melahirkannya selama dalam perkawinan yang sah.
PENGANGKATAN ANAK
Adopsi adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri
sedemikian rupa, sehingga antara orang yang memungut anak dan anak yang dipungut itu
menimbulkan suatu hubungan kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orang tua
dengan anak kandung sendiri.
Ada beberapa macam pengangkatan anak;
a. Mengangkat anak bukan warga keluarga
Adopsi harus terang, artinya wajib dilakukan dengan upacara adat serta dengan bantuan
kepala adat. Hubungan kekeluargaan si anak dengan orang tua kandung nya menurut
hukum adat menjadi putus.
b. Mengangkat anak dari kalangan keluarga
Anak lazimnya diambil dari salah satu clan yang ada hubungan tradisionalnya, bahkan
ada yang mengambil anak dari keluarga isteri.
c. Mengangkat anak dari kalangan-kalangan keponakan.
Perbuatan ini banyak terdapat di Jawa, Sulawesi, dan beberapa daerah lainnya.
Mengangkat keponakan menjadi anak itu seseungguhnya merupakan pergeseran
hubungan kekeluargaan 9dalam pengertian yang luas) dalam lingkungan keluarga.
Ada beberapa sebab mengangkat keponakan sebagai anak angkat ini:
- Karena tidak mempunyai anak sendiri
- Karena belum dikarunia anak, sehingga dengan memungut keponakan sebagai anak
angkat diharapkan akan mempercepat kemungkinan mendapat anak.
- Terdorong oleh rasa kasihan terhadap keponakan yang bersangkutan, misalnya
karena hidupnya kurang terurus dan lain sebagainya.
Anak yang diangkat itu pada umumnya anak yang belum kawin, dan kebanyakan anak
yang belum dewasa. Sedangkan yang mengangkat biasanya orang yang sudah kawin serta yang
berumur jauh lebih tua daripada anak yang diangkat, sehingga anak yang diangkat itu memang
sepantasnya menjadi anaknya.
Adopsi dapat dijatuhkan atau digugurkan dalam hal-hal yang juga dapat menjadi alasan untuk
membuang anak kandung sendiri dari lingkungan keluarga.
Masalah adopsi ini mendapat pengaruh juga dari agama islam, pengaruh tersebut seperti
diuraikan oleh Prof Supomo dalam bukunya “Adatprivatrecht van west Java” meliputi dua
bidang yaitu:
a. Dalam menikahkan, bapak angkat tidak dapat menjadi wali nikah. Yang berhak menjadi
wali nikah tetap bapak kandungnya atau penggantinya yang resmi menurut ketentuan
agama islam.
b. Dalam perkawinan, kalau semula tidak ada larangan kawin antara anak angkat dengan anak
kandungnya atau keturunan oang tua angkatnya dalam garis lurus, kemudian sekarang
tidakk boleh lagi.
HUKUM PERKAWINAN
Perkawinan dalam hukum adat suatu peristiwa penting dalam penghiddupan masyarakat
kita. Sebab, perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita dan pria bakal mempelai saja.
Tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan kelurga mereka masing-
masing. Bahkan bukan hanya bagi merka yang hidup, tetapi juga mendapat perhatian dan
diikuti oleh arwah-arwah leluhur kedua belah pihak.
Prof Hazairin dalam bkunya “Rejang” mengemukakan peristiwa perkawinan itu sebagai
tiga buah rentetan perbuatan-perbuatan magis yang bertujuan menjamin ketenangan
(“koelte”), keahagiaan (“welvaart”), dan kesuburan (“vruchtbaarheid”).
Hubungan suami isteri setelah perkawinan bukanlah merupakan suatu hubungan
perikatan yang berdasarkan perjanjian atau kontrak. Tetapi merupakan suatu
paguyuban.bpaguyuban oleh Profesor djojodiguno disebut paguyuban hidup yang menjadi
pokok ajang hidup suami-isteri selanjutnta beserta anak-anaknya. Paguyuban hidup ini lazimnya
disebut somah dan dalam somah ini, hubungan suami-isteri demikian rapatnya sehingga
menurut orang jawa suami-isteri ini adalah suatu ketinggalan. Hal ini terbukti:
a. Kedua mempelai melepaskan nama yang mereka masing-masing pakai (nama kecil)
serta kemudian memperoleh nama baru (nama tua) yang selanjutnya mereka pakai
bersama.
b. Sebutan yang dipakai untuk menggambarkan hubungan suami-isteri yaitu “garwa”
(Jawa), istilah-istilah berasal dari kata-kata “sigaraning nyawa” (artinya belahan jiwa).
c. Adanya ketunggalan harta benda dalam perkawinan yang disebut harta gono-gini.
PERTUNANGAN
Pertunangan adalah merupakan stadium (keadaan) yang bersifat khusus ya ng di Indonesia ini
biasanya mendahului dilangsungkan nya suatu perkawinan. Stadium ini dilangsungkan setelah
adanya persetujuan antara kedua belah pihak untuk mengadakan perkawinan. Yang mana
sebelumnya melalui proses lamaran.
Pertunangan baru mengikat apabila dari pihak laki-laki sudah memberikan kepada pihak
perempuan suatu tanda pengikat yang kelihatan yang disebut panjer atau peningset di Jawa.
Panyancang di daerah pasundan, tanda kong Marit di Aceh, bobo mibu di pulau Nias. Tanda
pengikat dimaksud diberikan atau kepada pihak keluarga pihak perempuan atau kepada orang
tua pihak perempuan atau kepada bakal mempelai perempuan itu sendiri.
Dasar diadakan pertunangan tidaklah sama di semua daerah. Lazimnya adalah karena;
a. Karena ingin menjamin perkawinan yang dikehendaki itu dapat dilangsungkan dalam
waktu dekat
b. Untuk membatasi pergaulan yang bebas antara muda-mudi yang telah diikat
pertunangan
c. Member kesempatan kepada kedua belah pihak untuk saling lebih mengenal.
Bahwa dengan adanya pertunangan itu tidaklah harus berarti bahwa kedua belah pihak tidak
boleh tidak melakukan perkawinan, sebabnya adalah bahwa pertunangan itu masih mungkin
untuk dibatalkan dengan segala konsekuensinya.
Pertunangan masih mungkin dibatalkan, dalam hal-hal berikut:
a. Kalau pembatalan itu memang menjadi kehendak kedua belah pihak
b. Salah satu pihak tidak memenuhi janjinya.
SISTEM PERKAWINAN
Ada 3 macam system perkawinan yaitu:
1. System endogamy
Dalam system ini orang hanya diperbolehkan kawin dengan seseorang dari suku
keluarganya sendiri. Menurut van Vollenhoven hanya ada satu daerah saja yang secara
praktis mengenal system endogamy ini, yaitu tanah Toraja.
2. System exogami
Dalam system ini orang diharuskan kawin dengan orang di luar suku keluaganya. System
ini terdapat di daerah gayo, Alas, Tapanuli, Minangkabau, Sumatera Selatan, Buru dan
Seram.
3. System eleutherogami
System ini tidak mengenal larangan-larangan atau keharusan-keharusan seperti halnya
dalam system endogamy atau eksogami. Larangan dalam system ini adalah larangan-
larangan yang bertalian dengan ikatan kekeluargaan yakni larangan karena :
Nasab (turunan yang dekat) seperti kawin dengan ibu, nenek, anak kandung, cucu,
(keturunan garis lurus ke atas dank e bawah) juga dengan saudara kandung, saudara
bapak/ibu.
Musyakarah (periparan) seperti kawin dengan ibu tiri, menantu, mertua dan anak tiri.
PERCERAIAN
Perceraian adalah menurut adat merupakan suatu peristiwa luar biasa, merupakan problema
social dan yuriddis yang penting dalam kebanyakan daerah.
Pada asasnya setiap keluarga, kerabat serta persekutuan mengehndaki suatu perkawinan yang
sudah dilakukan itu dipertahankan untuk selama hidupnya. Namun apabila memang menurut
keadaan serta kenyataan, perceraian itu demi kepentingan bukan bagi suami-isteri saja
melainkan juga kepentingan keluarga kedua belah pihak maka perbuatan tersbut dapat
dijalankan.
Sebab-sebab yang oleh hukum adat dibenarkan untuk melakukan perceraian adalah:
a. Isteri berzinah
b. Isteri mandul
c. Impotensi suami
d. Suami meninggalkan isteri sangat lama ataupun isteri berkelakuan tidak sopan.
e. Adanya keinginan bersama dari kedua belah pihak, adanya persetujuan antara suami-
isteri untuk bercerai.
Pada umumnya perceraian-perceraian yang terjadi itu dipengaruhi oleh ketentuan-ketentuan
agama, baik agama islam maupun agama Kristen.
Di daam agama islam dan nasrani menunjukkan persamaan dalam 2 hal:
a. Perceraian itu sangat tercela
b. Yang dicampurinya bukanlah lembaga perkawinannya selaku urusan masyarakat,
melainkans segi pribadi dari pemutusan perkawinan tersebut.
Perceraian yang ada pada dasarnya merupakan peristiwa hukum itu, merupakan suatu kejadian
yang menimbulkan atau menghilangkan hak maupun kewajiban. Sebagai peristiwa hukum maka
percerian mempunyai hubungan erat dengan sikap tindak dalam hukum ang berupa tanggung
jawab (responsibility) terhadap pihak lain, pihak lain ini dapat menyangkut keturunan atau
anak, atau harta benda dan mungkin juga terhadap bekas isteri.
Menurut hukum adat, maka untuk menentukan siapa yang akan menjadi ahli waris digunakan
dua macam garis pokok, yaitu:
a. Garis pokok keutamaan
Adalah garis hukum yang menentukan urutan-urutan keutamaan diantara golongan-
golongan dalam keluarga pewaris dengan pengertian bahwa golongan yang satu lebih
diutamakan dari golongan yang lain.
1. Kelompok garis keutamaan I : keturunan pewaris
2. Kelompok garis keutamaan II : orang tua pewaris
3. Kelompok garis keutamaan III : saudara-saudara pewaris, dan keturunannya
4. Kelompok garis keturunan IV : kakek dan nenek pewaris.
b. Garis pokok pengganti
Adalah garis hukum yang bertujuan untuk menentuka siapa diantara orang-orang di
dalam kelompok keutamaan tertentu tampil sebagai ahli waris. Yang dapat sungguh-
sungguh menjadi garis pengganti adalah:
1. Orang yang tidak mempunyai penghubung dengan pewaris
2. Orang yang tidak ada lagi penghubungnya dengan pewaris
PENGHIBAHAN
Yaitu pembagian keseluruhan ataupun sebagian dari pada harta kekayaan semasa pemiliknya
masih hidup.
a. Pada suatu somah dengan sifat kekeluargaan parental
Contoh pada masyarakat jawa, ada suatu kebiasaan untuk memberikan kepadanya
secara hibah sebagian daripada harta keluarga misalnya sebidang tanah pertanian, pada
waktu ia menjadi dewasa dan telah cakap bekerja sendiri (kuat gawe) sebagai dasar
materiil untuk kehidupannya selanjutnya setelah ia mentas.
Kepada anak perempuan yang telah dewasa dan dikawinkan, lazimnya pada waktu
dikawinkan itu juga sebagai dasar materiil bagi kehidupannya lebih lanjut setelah ia
berdiri sendiri dengan suaminya sebagai suatu keluarga baru, dihibahkan dari harta
keluarga itu sebagian , misalnya sebidang tanah perkebunan atau sebuah rumah.
Pengibahan sebagian dari harta keluarga seseorang atau beberapa anak demikian ini,
kemudian setelah meninggalnya orang tua yang menghibahkan itu dan akan dilakukan
pembagian harta peninggalan kepada ahli waris, diperhatikan serta diperhitungkan
dengan bagian yang semestinya diterima oleh anak-anak yang bersangkutan andaikan
belum menerima bagian dari harta keluarga secara hibah.
b. Pada suatu somah dengan sifat kekeluargaan matrilineal.
1
Iman Sudiyat, 2010, Hukum Adat Sketsa Asas, Yogyakarta: Liberty, Hal: 169
Suami tidak akan diwaris oleh anak-anaknya sendiri, melainkan oleh saudara-
saudaranya sekandung beserta keturunan saudara-saudara perempuan sekandung.
Maka seorang suami yang mempunyai harta pencaharian yang lumayan akan melakukan
penghibahan terhadap barang-barang dari harta pencahariannya kepada anak-anaknya.
c. Pada suatu soamah dengan sifat kekeluargaan patrinieal.
Hanya anak laki-laki yang mewaris harta peninggalan bapaknya. Ketentuan ini
diperlunak dengan penghibahan sawah atau ternak oleh bapak kepada anak-anak
perempuan yang tidak atau sudah kawin, bahkan juga kepada cucu yang pertama.
HIBAH WASIAT
Merupakan suatu jalan bagi bagi pemilik harta kekayaan semasa hidupnya menyatakan
keinginannya yang terakhir tentang pembagian harta peninggalannya kepada ahli waris yang
baru akan berlaku setelah ia meninggal dunia.
Maksud dari hibah wasiat ini terutama untuk mewajibkan para ahli warisnya membagi-bagi
harta peninggalannya dengan cara yang layak menurut anggapannya. Maksud kedua ialah
untuk mencegah perselisihan, keributan atau cekcok dalam membagi harta peninggalannya
dikemudian hari diantara para ahli waris.
Kedudukan janda/duda
Dengan system kekeluargaan matrilineal, suami pada hakikatnya tidak masuk keluarga isteri.
Akibat daripada keadaan ini adalah bahwa suami pada hakikatnya tidak berhak menerima apa-
apa dari harta isterinya.
Untuk system kekeluargaan yang patrilineal ditegaskan bahwa janda laki-laki/duda mendapat
bagian dari harta warisan isterinya, yaitu barang-barang yang dulu oleh isteri dan barang-
barang bagian isteri dari harta milik bersama suami-isteri.
BAB VII
2
Ibid, Hal:168
HAK ULAYAT
sebagai salah satu unsur esensial pembentuk negara, tanah memegang peranan
penting/vital dalam kehidupan dan penghidupan bangsa pendukung negara yang bersangkutan,
lebih-lebih corak agraria mendominasi.
Karena sifatnya, tanah merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun
mengalami keadaan yang bagaimanapun juga, toh masih bersifat tetap dalam keadaannya
bahkan kadang-kadang malahan menjadi lebih menguntungkan. Contohnya: apabila sebidang
tanah dibakar, tanah tersebut tidak akan lenyap malahan sebidang tanah tersebut akan tetap
berwujud seperti semula. Bahkan bisa menjadi lebih subur.
Hak persekutuan atas tanah atau biasa disebut sebagai hak pertuanan atau hak ulayat.
Persekutuan dengan tanah yang didudukinya itu terdapat hubungan yang erat sekali, hubungan
yang mempunyai sumber serta yang bersifat religio magis. Hubungan yang erat dan religio
magis ini menyebabkan persekutuan memperoleh hak untuk menguasai tanah dimaksud,
memanfaatkan tanah itu, memungut hasil dar tumbuh-tumbuhan yang hidup di atas tanah itu,
juga berburu terhadap binatang-binatang yang hidup disitu.
Istilah Hak ulayat terdiri dari dua kata yakni “hak” dan “ulayat”. Secara etimologi kata
ulayat identic dengan wilayah, kawasan, marga dan nagari.
Mr Van Vollenhoven menyebut sebagai “beschikkingsrecht” yang mana menggambarkan
tentang hubungan antara persekutuan dengan tanah itu sendiri.
Hak ulayat ini berlaku keluar dan kedalam. Berlaku keluar artinya bukan warga persektuan pada
prinsipnya tidak diperbolehkan turut mengenyam/menggarap tanah yang merupakan wilayah
kekuasaan persekutuan yang bersangkutan. Menurut ter Haar berlaku ke luar, yaitu:
1. Anggota suku bangsa lain (juga tetangganya) tidak boleh mengambil manfaat dari tanah
daerah hak ulayat, kecuali dengan izin kepala suku/masyarakat hukum.
2. Suku bangsa/masyarakat hukum yang mempunyai hak ulayat atas wilayahnya,
bertanggung jawab atas hal-hal yang terjadi dalam masyarakat itu.
Berlaku kedalam karena persekutuan sebagai suatu keseluruhan yang berarti semua warga
persekutuan bersama-sama sebagai suatu kesatuan.
Menurut Ter Haar, hak ulayat mempunyai kekuatan kedalam, yaitu:
1. Masyarakat hukum/anggotanya bersama-sama dapat mengambil manfaat dari tanah
serta tumbuh-tumbuhan maupun hewan liar yang hidup di atasnya.
2. Anggota suku bangsa/masyarakat hukum, untuk keperluan sendiri berhak untuk
berburu, mengumpulkan hasil hutan (yang kemudian dimiliki dengan hak milik) bahkan
berhak memiliki beberapa batang pohon yang tumbuh liar apabila pohon itu dipelihara
olehnya.
3. Mereka mempunyai hak untuk membuka tanah dengan sepengetahuan kepala
suku/masyarakat hukum. Dengan sepengetahuan kepala suku/masyarakat hukum/desa
merupakan suatu perbuatan hukum yang mendapat perlindungan dalam masyarakat
hukum itu.
4. Oleh masyarakat hukum sendiri dapat ditentukan bagian-bagian wilayah yang akan
digunakan untuk tempat pemukiman, tempat untuk makam, pengembangan umum,
sawah dan lain-lain keperluan bersama.
Menurut Moh. Koesnoe perkataan “ulayat” pada dasarnya berarti suatu lingkungan tanah yang
berada dalam kekuasaan yang sah suatu persekutuan. Setiap lingkungan ulayat selalu meliputi 3
(tiga) bagian pokok, yaitu: a). lingkungan sebagai pusat persekutuan, b). lingkungan usaha para
warga, berupa sawah, kebun lading, hutan, dll, c). lingkungan tanah persediaan, berupa hutan
belukar di luar lingkungan usaha tersebut. Dengan demikian secara harfiah hak ulayat diartikan
sebagai kewenangan masyarakat hukum adat atas tanah dalam lingkungan/wilayah/daerah
tertentu untuk menguasai dalam arti mengambil dan memanfaatkan tanah untuk kepentingan
masyarakat hukum dan anggota-anggotanya.3
Sebenarnya hukum adat tidak memberikan suatu nama, tetapi terdapat nama-nama yang
menunjuk tanah yang merupakan lingkungan wilayah sebagai sebutan bagi tanahnya, yaitu:
1. Tanah wilayah sebagai kepunyaan (pertuanan-Ambon)
2. Tanah sebagai tempat memberi makan (payampeto-Kalimantan)
3. Tanah sebagai daerah yang dibatasi (pewatasan-Kalimantan, wewengkon-Jawa,
Parabunian-Bali)
4. Tanah sebagai tanah yang terlarang bagi orang lain (totabuan-Bolang-Mangandow)
3
Ibid, hal:103
Menurut Iman Sudiyat, ciri-ciri hak ulayat/purba antara lain sebagai berikut:
1. Hanya persekutuan hukum dengan warganya yang berhak dengan bebas menggunakan
tanah liar di wilayahnya
2. orang luar boleh menggunakan tanah itu setelaah ada izin dari penguasa masyarakat
hukum/persekutuan hukum tersebut, bila tanpa izin orang itu dianggap melakukan
pelanggaran.
3. Warga masyarakat hukum/persekutua boleh mengambil dengan batasan hanya untuk
keperluan somah/brayat/keluarga sendiri. Bila dimanfaatkan untuk kepentingan orang
lain itu dianggap orang asing, maka ia mendapat izin terlebih dahulu dan memenuhi
syarat yang ditentukanoleh persekutuan, misalnya membayar upeti, mesi kepada
persekutuan.
4. Persekutuan hukum bertanggung jawab atas segala hal yang terjadi di wilayahnya
terutama tindakan melawan hukum yang merupakan delik.
5. Hak ulayat/hak purba tidak dapat diasingkan atau dipindahtangankan untuk selamanya
6. Hak ulayat/hak purba meliputi tanah yang sudah digarap atau sudah diliput oleh hak
perorangan. 4
Hak ulayat ini dalam bentuk dasarnya adalah suatu hak daripada persekutuan atas tanah yang
didiami, sedangkan pelaksanaannya dilakukan oleh persekutuan itu seendiri atau oleh kepala
persekutuan atas nama persekutuan.
Objek Hak Ulayat:
a. Tanah (daratan)
b. Air (kali, danau, pantai beserta perairannya)
c. Tumbuh-tumbuhan yang hidup secara liar.
d. Binatang yang hidup secara liar.
Para persekutuan memelihara serta mempertahankan hak ulayatnya,
a. pertama-tama persekutuan berusaha meletakkan batas-batas disekeliling wilayah
kekuasaannya dengan batas-batas fisik, misalnya dengan menandai batu, penanaman
pohon, bukit, sungai dan sebagainya.
4
Ibid, Hal:109
b. Menunjuk pejabat tertentu yang khusus bertugas mengawasi wilayah kekuasaan
persekutuan yang bersangkutan. Seperti Jaring di Minangkabau, terusan di Minahasa,
kepala kewang di Ambon, lelipis lembukit di Bali.
c. Patrol-patroli perbatasan.
d. Penegasan wlayah kekuasaan surat-surat pikukuh ataupun piagam yang dikeluarkan
oleh raja-raja terdahulu.
Subyek Hak ulayat
Berdasarkan struktur masyarakat, hak ulayat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
masyarakat hukum. Oleh karenanya menurut Van Vollenhoven, hak ulayat dimiliki suatu
masyarakat hukum adat (suku, desa, serikat desa) untuk menguasai seluruh isinya dan
lingkungan wilayahnya.
Dengan demikian subyek hak ulayat adalah masyarakat hukum adat, baik yang tunggal maupun
persekutuan daerah, tetapi tidak merupakan hak dari individu, merupakan pula hak dari family.
Misalnya seperti di Minangkabau ada Nagari, di Ambon ada hak dari Famili (tanah dati).
Masyarakat hukum adat berwenang untuk memanfaatkan sumber daya alam, yang dalam
pelaksanaannya dipimpin dan dipegang oleh kepala adat itu sendiri yang ada diwilayahnya.
Dengan izin kepala adatnya warga mempunyai kekuasaan untuk membuka dan menggunakan
tanah itu untuk kebutuhannya, orang luar yang bukan warganya diperbolehkan menggunakan
setelah mendapat izin dari kepala adat dengan pembayaran yang disebut recognitie.
BAB VIII
HUKUM ADAT DELIK
Ter haar mengatakan bahwa suatu delik itu adalah sebagai tiap-tiap gangguan dari
keseimbangan, tiap-tiap gangguan pada barang-barang materiil dan immaterial milik hidup
seorang atau kesatuan (persatuan) orang-orang, yang menyebabkan timbulnya suatu reaksi
adat; dengan reaksi adat ini keseimbangan akan dan harus dapat dipulihkan kembali. Artinya
suatu delik ini harus mengakibatkan suatu gocangan dalam neraca kseimbangan masyarakat.
Van Vollenhoven menyebutkan delik adat itu sebagai perbuatan yang tidak
diperbolehkan.
Prof Soepomo hanya menjelaskan bahwa dalam system hukum adat segala perbuatan
yang bertentangan dengan peraturan hukum adat merupakan perbuatan illegal dan hukum
adat mengenal pula ikhtiar-ikhtiar untuk memperbaiki hukum jika hukum itu diperkosa.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa delik adat itu adalah pada dasarnya suatu tindakan yang
melanggar perasaan keadilan dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat, sehingga
menyebabkan terganggunya ketentraman serta keseimbangan masyarakat yang bersangkutan
guna memulihkan kembali ketentraman dan keseimbangan itu, maka terjadi reaksi-reaksi adat.
Reaksi-reaksi adat ini merupakan tindakan untuk mengenbalikan ketentraman magis yang
diganggu dan meniadakan atau menetralisasikan suatu keadaan sial yang ditimbulkan oleh
suatu pelanggaran adat.
Hukum adat tidak mengenal suatu system peraturan yang statis, artinya delik adat itu
tidak sepanjang masa tetap merupakan delik adat. Tiap peraturan hukum adat timbul,
berkembang dan selanjutnya lenyap dengan lahirnya peraturan hukum adat yang baru; sedang
peraturan yang baru itu dengan sendirinya berkembang juga dan kemudian akan lenyap juga
dengan adanya peruahan rasa keadilan rakyat yang dahulu melahirkan peraturan itu, dan
proses ini berjalan terus menerus.
Begitu pula dengan delik adat, lahir, berkembang dan kemudian lenyap. Ini berarti bahwa
perbuatan-perbuatan yang semula merupakan pelanggaran hukum lambat laun berubah
menjadi tidak lagi melanggar hukum oleh karena hukum yang dilanggar itu berjalan sesuai
dengan jalannya perubahan perasaan keadilan rakyat.
Terjadinya delik apabila tata tertib adat setempat dilanggar, atau dikarenakan adanya
suatu pihak merasa dirugikan, sehingga timbul reaksi dan koreksi dan keseimbangan
masyarakat menjadi terganggu. Misalnya perbuatan mencuri buah-buahan di Aceh jika
pelakuknya memetik buah-buahan itu dari pohon yang tidak dipelihara maka si pencuri
dihukum membayar harganya. Namun di Lampung berdasarkan aturan Kuntara Raja Niti (KRN)
dikatakan bahwa “mencari buah-buahan yang pohonnya tidak terpasang ranting penghalang
atau tidak ada pembalut pohonnya yang terletak di tepi jalan, maka perbuatan itu disebut
“ngaranat nyinggah baya” si pencuri cukup ditegur dan diperingatkan agar tidak berbuat lagi.
Jadi, delik adat itu terjadi tetapi masyarakat setempat tidak lagi merasa terganggu
keseimbangannya sehingga tidak ada reaksi adat atau sanksi adat terhadap pelaku, maka
perbuatan itu bukan lagi delik adat atau delik adat yang tidak mempunyai akibat hukum. Dan
delik-delik adat itu berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya.
Suatu tindakan yang mungkin melanggar beberapa norma hukum sekaligus, sehingga
untuk memulihkan keseimbangan hukum harus diambil beberapa tindakan reaksi/koreksi
misalnya penggantian kerugian dan selamatan untuk membersihkan masyarakat. Ada beberapa
tindakan-tindakan reaksi atau koreksi adat itu misalnya:
1. Penggantian kerugian non-materril dalam berbagai rupa seperti paksaan menikah
dengan gadis yang telah dicemarkan.
2. Pembayaran “uang adat” kepada orang yang terkena, berupa benda sakti selaku
pengganti kerugian normal.
3. Selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran gaib
4. Penutup malu, permintaan maaf
5. Berbagai rupa pidana badan, sampai kepada pidana mati
6. Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang di luar tatanan hukum 5
PENEBUSAN DELIK
Penebusan delik membutuhkan coraknya yang magis, karena kegemaran orang untuk
menyebutkan barang-barang yang harus dibayar oleh orang-orang yang bersalah, misalnya
seekor kerbau, sekian orang budak, kemudin membiarkan orang-orang yang bersalah itu
membayarnya dengan barang-barang yang tidak mahal atau dengan uang saja.
Ter haar memberikan beberapa contoh tentang penebusan delik di berbagai daerah sesuai
dengan perbuatannya:
1. Di kalangan orang Dayak Lawangan, tiga buah piring untuk penebusan satu penghinaan
biasa saja. Tiga buah piring dan seekor babi untuk suatu penghinaan berat. 10 buah
piring jika menghina seorang kepala adat.
2. Di Kalimantan Barat, bosi sebelas kepala tajau yang berarti sebuah tempayan seharga 10
kepala dan 12 kepala terpenggal dan pembayaran demikian bukan hanya berlaku untuk
satu jenis delik saja tetapi segolongan delik yang bermacam-macam jenisnya tetapi rupa
sama nilainya.
3. Di kalangan Toraja, penghinaan dengan kata-kata ditebus dengan seekor ayam,
kejahatan dengan menggunakan tangan ditebus dengan seekor kambing, kejahatan
mengenai seluruh manusia ditebus dengan seekor kerbau.
4. Di Bali, berbagai jenis kejahatan kebanyakan dihukum dengan denda uang.
5. Sifat umum dari pembalasan terhadap kejahatan pencurian barang-barang
(vermogensdelicten) ialah penebusan deliknya berjumlah dua atau beberapa kali dari
harga barang yang dicuri.
6. Dalam delik penganiayaan, keadaannya berbeda. Apabila yang teraniaya adalah warga
dari satu masyarakat, maka warga dari masyarakat itu sendiri mengehndaki penebusan
dosa atau si teraniaya dapat melakukan penuntutan (karena rasa malu) atau dalam hal
si teraniaya melepas tuntutannya. Dalam ketiga kemungkinan itu, kepala-kepala
5
Ibid, hal:180
persekutuan harus mencari jalan untuk memulihkan keadaan dan
melepaskan/menyelematkan masyarakat dari kemungkinan-kemungkinan musibah-
musibah yang bakal menimpa.6
PERBEDAAN ANTARA ALIRAN DUNIA BARAT DENGAN ALIRAN PIKIRAN TRADISIONAL
INDONESIA
1. Aliran dunia barat yang bersifat liberalistic adalah bercorak rasionalistik dan
intelektualistik. Agama, ekonomi, kesenian dan lain sebagainya mempunyai lapangan
sendiri-sendiri yang terpisah satu dengan yang lainnya. Alam pikiran tradisional
Indonesia seperti juga alam pikiran tradisional timur lainnya, bersifat kosmis meliputi
segala-galanya sebagai satu kesatuan. Umat manusia merupakan bagian dari alam tidak
ada pembatasan antara manusia dengan makhluk-makhluk lainnya. Yang paling utama
adalah keseimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib.
2. Perbedaan besar dari dua aliran ini adalah menegnai kedudukan seorang individu dalam
suatu masyarakat. Menurut aliran liberalistis tiap-tiap individu merupakan pusat
kepentingan hukum, sehingga nyawanya, kemerdekaannya dan harta bendanya harus
dilindungi sebaik-baiknya oleh negara. Sedangkan bagi dunia tradisional Indonesia yang
merupakan pokok dari segala penyelenggaraan hukum bukanlah orang sebagai individu
melainkan masyarakat sebagai persukutuan; dan penting tidaknya seseorang tergantung
kepada fungsinya di dalam persekutuan.
3. Organisasi masyarakat tradisional ditujukan kepada pemeliharaan keseimbangan
tersebut di atas.
6
Drs. Nico Ngani, SH, MM, CLE, Dipl. Phil, 2012, Perkembangan Hukum Adat Indonesia, Jakarta: PT Buku Seru,
Hal:74-75
Delik adat ini lambat laun akan mendapat sifat yang tetap, apabila setelah ada putusan pertama
dari petugas hukum tersebut, berturut-turut terjadi perbuatan yang serupa serta perbuatan-
perbuatan itu menyebabkan diambilnya putusan-putusan yang serupa juga dari pihak petugas
hukum yang bersangkutan.