Dosen Pengampu :
NIM : 1704551014
Kelas : A
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2019
I. Sistem Kekeluargaan Masyarakat Hukum Adat Bali
Menurut Korn (1932:29), sentana berasal dari kata ”santana” yang diartikan sebagai
anak keturunan. Secara spesifik Korn menunjuk bahwa istilah sentana ini senantiasa (dalam
keadaan biasa) dilekatkan kepada anak laki-laki. Kemudian anak laki-laki inilah yang
dibentuk untuk meneruskan hak dan kewajiban serta keturunan keluarga.
Sistem Purusa yang mencakup hukum keluarga masyarakat hukum adat Bali dapat
dimaknai dari prinsip-prinsip dasarnya yang memiliki urgensi cukup signifikan. Setidaknya
terdapat tiga prinsip dasar yang dapat dimaknai dari sistem kekeluargaan Purusa ini, yakni :
Dengan demikian, dalam sistem kekeluargaan purusa, anak laki-laki lah yang
merupakan ahli waris. Sepintas, tatanan hukum kewarisan yang sedemikian rupa terlihat
begitu kaku dan sempit. Namun, jika diteliti dalam implementasinya, ternyata masyarakat
masih dimungkinkan mengembangkan strategi tertentu sebagai konklusi. Strategi masyarakat
untuk menghadapi konsep kewarisan ini membawa kita masuk lebih dalam ke celah terkecil
untuk dapat melihat persoalan lebih jernih bahwa kewarisan dan perkawinan adalah dua hal
yang sungguh melekat dalam hukum adat Bali. Dalam kesimpulan tersendiri, penulis melihat
bahwa hukum kewarisan sampai sejauh ini telah memantik dinamika dalam hukum
perkawinan adat Bali, kemudian mempengaruhi fleksibelitas pilihan bentuk-bentuk
perkawinan di Bali.
Kewarisan dalam hukum adat Bali selain melahirkan hak (swadikara) atas warisan,
juga pada saat yang sama dibarengi oleh lahirnya kewajiban (swadharma) bagi si ahli waris.
Bentuk kewajiban seorang ahli waris berwujud material maupun immaterial. Kewajiban-
kewajiban yang dimaksud dalam hal ini antara lain:
a. Perkawinan biasa
b. Perkawinan Nyeburin
Pada gelahang merupakan bentuk perkawinan yang dapat dikatakan baru dalam topik
hukum perkawinan menurut hukum adat Bali. Perkawinan pada gelahang ini diambil sebagai
solusi tatkala terdapat keadaan di mana sang suami merupakan anak tunggal, kemudian istri
juga merupakan anak perempuan tunggal. Keadaan seperti ini membuat tidak
dimungkinkannya oleh kedua belah pihak untuk memilih bentuk perkawinan biasa maupun
bentuk perkawinan nyeburin. Hal ini karena diantara kedua bentuk perkawinan yang disebut
belakangan, mensyaratkan salah seorang (istri atau suami) harus putus dari hubungan hukum
keluarga asalnya. Padahal baik istri dan suami sma-sama adalah anak tunggal, sehingga
ditakutkan kewajiban-kewajiban kepurusa salah satu keluarga menjadi terbengkalai. Maka
sebagai konklusinya, diperkenalkan bentuk perkawinan pada gelahang.
Perkawinan pada gelahang secara upacara hampir sama dengan perkawinan biasa
maupun perkawinan nyeburin. Perbedaan perkawinan pada gelahang dengan dua bentuk
perkawinan lainya hanyalah terletak pada adanya kesepakatan antara kedua mempelai dan
keluarganya. Kesepakatan tersebut dibuat sebelum terjadinya perkawinan, yang memuat
bahwa kedua pihak sepakat melaksanakan perkawinan pada gelahang, dengan intinya ialah
menegaskan bahwa perkawinan dilangsungkan dengan maksud agar keluarga kedua belah
pihak sama-sama memiliki keturunan.
Keturunan yang lahir dari bentuk perkawinan pada gelahang, sesuai kesepakatan
nantinya diharapkan dapat mengurus dan meneruskan warisan yang ditinggalkan oleh kedua
orang tua mereka. Dimana ibu dan bapaknya dalam hal ini, masih sama-sama tidak putus dari
hubungan hukum keluarga asalnya, sehingga keduanya masih ada dalam
garis kepurusa keluarga asalnya masing-masing. Sehingga anak yang lahir dari bentuk
perkawinan ini menjadi ahli waris atas kewajiban (swadharma) maupun yang berupa hak
(swadikara) dari keluarga ibu dan keluarga bapak.
Bentuk perkawinan ini dalam prakteknya memang masih terjadi pro dan kontra di
masyarakat. Apakah praktek perkawinan demikian dapat dianggap sah menurut agama dan
adat. Terlepas dari pro dan kontra tersebut, bentuk perkawinan ini telah mendapatkan
penguatan berdasarkan Keputusan Pasamuan Agung III Majelis Utama Desa Pakraman
tanggal 15 Oktober 2010.
Daftar Referensi
Ketut Sudantra. 2011. Tri Semaya Hukum Adat Bali: Potret Perkembangan Hak Perempuan
Bali Dalam Hukum Keluarga. Makalah disampaikan pada seminar dengan tema: ”Perempuan
dalam Budaya, Adat, dan Teologi Hindu”, yang diselenggarakan oleh Program Studi
Magister (S2) Brahma Widya Program Pascasarjana IHDN Denapsar, di Denpasar, tanggal
21 Desember 2011.
I Ketut Artadi. 2003. Hukum Adat Bali, Dengan Aneka Masalahnya. Cet. III. Pustaka Bali
Post. Denpasar.
Gede Panetja. 1986. Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali. CV. Kayumas Agung.
Denpasar.
Windia, Wayan P, dkk., 2009. Perkawinan Pada Gelahang di Bali, Udayana University Press,
Denpasar.