Anda di halaman 1dari 8

TUGAS MATA KULIAH HUKUM ADAT BALI

SI LUH DWITA CANIASTI

1804551113

KELAS B

42

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2020
Sebutkan prinsip-prinsip yang berlaku pada sistem kekeluargaan purusa.
Masyarakat adat Bali menganut sistem kekeluargaan Patrilineal atau yang lebih
dikenal dalam masyarakat di Bali dengan istilah Purusa. Dimana dalam sistem
kekeluargaan purusa ini memiliki prinsip-prinsip yang sama dengan sistem
kekeluargaan dalam Kitab Manawa Dharmasastra, yang dimana dalam umat Hindu
kitab tersebut merupakan kitab hukum hindu. Sehingga sistem kekeluargaan
masyarakat di Bali ini berhubungan erat dengan agama Hindu, serta dapat dikatakan
sistem kekeluargaan masyarakat di Bali berdasarkan hukum Hindu. Adapun prinsip-
prinsip dasar yang dianut dalam sistem kekeluargaan Purusa antara lain :
1. Prinsip Keturunan dilacak dari garis laki-laki (bapak)
Dalam sistem kekeluargaan purusa , keturunan dilacak dari garis laki-laki
(bapak). Secara hukum hanya individu-individu yang berasal dari satu bapak asal
(wit) yang diperhitungkan sebagai keluarga baik dalam keluarga batih maupun
keluarga luas. Orang-orang yang termasuk dalam garis ini lazim disebut
keluarga saking purusa.  Sedangkan orang-orang dari pihak ibu yang lazim disebut
keluarga saking pradana sama sekali tidak diperhitungkan sebagai keluarga.
Itulah sebabnya nilai atau derajat hubungan antara seseorang dengan sanak
saudara dari garis purusa (saking purusa) jauh lebih penting dibandingkan dengan
hubungannya dengan sanak saudara dari pihak ibu (saking pradana).
2. Prinsip dalam sistem perkawinan
Dalam perkawinan (kecuali dalam bentuk perkawinan nyeburin) seorang
perempuan dilepaskan dari hubungan hukumnya dengan keluarga asalnya dan
selanjutnya masuk secara total dalam keluarga suaminya. Dengan demikian,
seorang anak perempuan yang sudah kawin (atau anak laki-laki yang kawin
nyeburin) tidak lagi diperhitungkan hak dan kewajibannya, materiil maupun
immateriil, dalam keluarga asalnya melainkan sepenuhnya diperhitungkan dalam
keluarga suaminya.
3. Prinsip dalam menentukan kedudukan anak
Dalam sistem kekeluargaan purusa, Anak yang lahir dari perkawinan tersebut
mendapatkan sanak saudara (keluarga luas) dari pihak bapak, sedangkan sanak
saudara dari pihak ibu dianggap tidak adanya hubungan hukum, walaupun
demikian hubungan-hubungan sosial dan moral antara anak dan sanak saudara
dari pihak ibu tetap ada. Maka adanya keturunan laki-laki dalam keluarga
sangatlah penting. Kedudukan anak laki-lakilah yang berfungsi sebagai pelanjut
keturunan. Anak laki-laki sebagai pelanjut keturunan ini disebut dengan istilah
sentana. Pentingnya nilai anak laki dalam suatu keluarga sesuai dengan ajaran
agama Hindu yang sering dikatakan menjiwai kehidupan masyarakat Bali
termasuk dalam pelaksanaan hukum adatnya. Dalam pandangan masyarakat Bali,
anak laki-laki memang mempunyai nilai penting dalam menjalankan kehidupan di
dunia nyata, baik dalam kehidupan keluarga maupun kemasyarakatan. Pada anak
laki-laki digantungkan harapan sebagai penerus generasi; memelihara, dan
memberi nafkah jika orang tuanya sudah tidak mampu melaksanakan upacara
agama (Seperti: ngaben, dan lain-lain). Serta selalu bhakti kepada leluhur yang
bersemayam di sanggah atau merajan, dan menggantikan kedudukan bapaknya
dalam masyarakat kalau anak tersebut sudah kawin (menjadi krama banjar atau
krama desa).
Kedudukan anak laki-laki seperti disebutkan di atas berbeda dengan kedudukan
anak perempuan, baik deha (gadis) maupun deha tua (perawan tua, wanita yang
tidak kawin sampai tua). Terhadap anak perempuan tidak digantungkan harapan-
harapan ataupun tanggung jawab sebagaimana tanggung jawab anak laki-laki
seperti diuraikan di atas, sebab anak perempuan sesuai kodratnya suatu saat akan
kawin. Prinsip dalam perkawinan purusa, adalah dengan perkawinan itu seorang
anak perempuan akan mengikuti suami dan secara hukum putus hubungannya
dengan orang tua kandung dan sanak saudara dari keluarga asalnya. Apabila
dalam suatu keluarga tidak mempunyai anak laki-laki, hal ini akan menimbulkan
suatu keadaan yang disebut ceput atau puntung, suatu keadaan diamana suatu
keluarga (dinasti) tidak mempunyai pelanjut keturunan. Untuk
menyiasatinya/menghindari kepuntungan adalah dengan cara sentana rajeg dan
sentana paperasan (anak angkat) yang pastinya sesuai dengan prosedur yang
berlaku.
4. Prinsip dalam pengasuhan anak yang dibawah umur dalam hal orang tua
meninggal atau cerai
Di dalam pengasuhan anak yang dibawah umur dalam hal orang tua meninggal
yaitu anak akan di asuh oleh keluarga dari sang bapak. Apabila orang tua cerai,
anak tetap berkedudukan hukum dalam keluarga bapaknya sehingga ia
mengemban hak dan kewajiban dilingkungan keluarga bapaknya, dalam kata lain
diasuh oleh bapaknya. Namun apabila anak tersebut masih bayi menyusui, bayi
tersebut dapat dipelihara oleh ibunya dengan status tetap sebagai keluarga pihak
bapaknya. Karena dalam sistem kekeluargaan purusa ini pihak bapaklah yang
memiliki hak sehingga pengasuhan anak tetap diberikan kepada keluarga laki-laki.
Sebutkan pengaruh sistem kekeluargaan purusa ini terhadap:
a. Hukum perkawinan;
Perkawinan dalam masyarakat Bali lebih dikenal dengan istilah pawiwahan,
nganten, makerab kambe, pewarangan, dan yang lainnya. Dalam awig-awig desa
pakraman, perkawinan (pawiwahan) didefinisikan sebagai “patemoning purusa
kelawan pradana, melarapan antuk panunggalan kayun suka cita, kadulurin
upasaksi sekala niskala”. Konsep sekala-niskala merupakan konsep yang tidak
dapat dilepaskan dari kehidupan masyarakat Bali yang religius, yang senantiasa
menjaga keharmonisan hubungan antara dunia nyata (sekala) dan dunia gaib
(niskala), dalam setiap aspek kehidupannya, termasuk juga dalam perkawinan.
Maka pelaksanaan perkawinan tidak hanya menjadi urusan calon mempelai,
keluarga, dan masyarakat (banjar), melainkan juga berurusan dengan leluhur yang
bersemaya di sanggah ataupun merajan, bhuta kala dan Sang Hyang Widhi. Jika
dikaitkan dengan sistem kekeluargaan purusa, dalam suatu perkawinan, istri
mengikuti garis kekeluargaan laki-laki dan terlepas hubungan hukum
kekeluargaannya dengan keluarga asalnya. Sehingga anak yang lahir dari
perkawinan tersebut juga akan mengikuti garis kekeluargaan bapak. Sistem
kekeluargaan kepurusa ini sesuai dengan ajaran Agama Hindu yang dianut
sebagian besar masyarakat bali, sehingga terdapat perpaduan yang erat antara adat
bali dengan agama hindu dalam hukum kekeluarga yang berlaku. Berdasarkan
garis kekeluargaan ini hubungan kekeluargaan antara anak dengan keluarga dari
pihak bapak atau keluarga pancer kapurusa memiliki nilai dan derajat yang lebih
penting dari keluarga dari pihak ibu (saking pradana). Dari segi hukum, seorang
anak hanya mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan keluarga pancer
kepurusa ini sedangkan hubungan dengan kelurga saking pradana hanya
mempunyai nilai sosial dan nilai moral saja.
Berdasarkan sistem kekeluargaan ini, nilai dan kedudukan anak laki laki di dalam
keluarga mejadi sangatlah penting, seperti yang terdapat pada kitab Manawa
Dharmacastra, suatu kitab hukum yang menjadi dasar-dasar umum mengenai
hukum hindu , dalam Sloka 137 buku IX kitab Manawa Dharmacastra diebutkan
bahwa :
“Putrena lokanjayati pantrena anatyamcnute,atha putrasya
putranabradhnasyapnotiwistapam “ (melalui anak laki ia menundukan dunia,
melaui cucu laki ia mencapai kekekalan tetapi melalui anak dari cucunya ia
mencapai alam matahari). Kedudukan anak laki menjadi penting, karena menurut
kepercayaan hindu keturunan laki-laki yang mengantarkan leluhur mencapai
sorga. Kitab manawa dharmacastra dalam hal ini menegaskan dalam cloka 138
buku IX sebagai berikut :
“Pumnamo narakadyas mattraya te pitaram sudah, tasmat putra iti proktah
swayamewa swayambhu wa “ (karena anak laki yang mengantar pitara dari neraka
yang disebut put, karena itu ia disebut putra dengan kelahirannya).
Dalam masyarakat bali dari anak-anak laki digantungkan harapan menjadi
penerus generasi, menggantikan kedudukan bapaknya dalam masyarakat,
memelihara merawat memberi nafkah jika orang tuanya sudah tidak mampu,
melaksanakan upacara agama (ngaben), dan selalu berbakti kepada para leluhur
yang bersemayam di sanggah atau merajan. Sesuai dengan tangung jawab yang
dimiliki oleh anak laki-laki yang sangat besar dalam keluarga seperti disebutkan
diatas maka hukum adat bali menempatkan anak laki-laki sebagai ahli waris
dalam keluarga. Tingkat hidup berumah tangga atau membina keluarga disebut
grhasta. Seoarang grhastin atau kepala keluarga memikul tanggung jawab yang
besar. Menurut ajaran agam hindu yang berfungsi sebagai kepala keluarga adalah
ayah, seorang ibu adalah pengasuh dan merawat, membina keluarga terutama
anak-anak yang lahir dalam keluarga itu. Mengingat ayah sebagai penanggung
jawab keluarga maka seorang anak laki-laki sebagai penerus kelangsungan hidup
keluarga. Apabila tidak terdapat anak laki pada suatu keluarga anak perempuan
dapat bertindak sebagai anak laki asalkan tetap tinggal di rumah ayahnya.
Seandainya dia kawin maka perkawinan bersifat istimewa dan suaminya
mengikuti istrinya. Perkawinan itu disebut dengan “nyentana”. Kata itu
merupakan berasal dari kata “ sanatana ” yang berarti abadi. Menurut kitab
manawa dharmacastra dan mahabrata bahwa setiap anggota keluarga mempunyai
kewajiban masing-masing sesuai dengan dharma. Seorang ayah atau suami
memiliki kedudukan yang sejajar dengan istrinya. Akan tetapi dalam
Svadharmanya secara kodrati peranan ayah atau suami lebih menonjol. Suami
sebagai bapak mempunyai fungsi sebagai kepala rumah tangga yang harus di
hormati. Kedudukan dan kewajiban ibu memegang peranan yang sangat penting
dalam rumah tangga. Tugas dan tanggung jawab seorang ibu sangatlah berat.
Sejak ibu hamil melahirkan, memelihara dan mendidik putra putrinya dalam
rumah tangga yang merupakan tugas yang dilakukan oleh seorang ibu.

Kelahiran seorang anak laki-laki dalam keluarga hindu merupakan


kebahagian, karena mempunyai anak laki-laki adalah tujuan utama dari setiap
keluarga hindu. Anak laki disebut putra dan dipandang sebagai juru selamat nenek
monyang yang telah meninggal, menyelamatkannya dari neraka. Berbeda halnya
kedudukan anak laki-laki maka kedudukan anak perempuan karena dianggap
sebagai dewi kemakmuran bertahta. Apabila dalam suatu keluarga tidak terdapat
anak laki-laki maka ia berhak juga untuk mewarisi semua harta peninggalan
orangtuanya. Sedangkan bila memiliki saudara laki-laki maka ia berhak pula
mewarisi setengah dari yang diterima saudara laki-lakinya. Jadi dalam keluarga
hindu kedudukan anak perempuan juga mendapat tempat yang istimewa.
b. Hukum Waris.
Disebutkan bahwa patrilineal tidak sama dengan kepurusa dan predana tidak
sama dengan matrilineal karena secara hukum laki-laki bisa berkedudukan sebagai
predana dan perempuan bisa berkedudukan sebagai kepurusa. Hal ini jelas
nampak dalam hukum perkawinan di Bali dimana apabila perkawianan terjadi
karena pengantin laki laki nyentana atau ikut istri maka status kepurusa yang
tadinya dimiliki berubah menjadi predana begitu pula sebaliknya istri yang
tadinya berstatus sebagai predana berubah menjadi kepurusa. Dalam hal
pewarisan, pihak purusa dalam hal ini istri berhak untuk mewaris seperti halnya
saudara saudara laki-laki lainnya apabila ada. Apabila tidak maka dialah yang
menjadi pewaris tunggal. Apabila dibandingkan antara mereka yang lakilaki yang
berstatus kepurusa dan perempuan yang berstatus kepurusa maka kepurusa ( laki-
laki) jauh lebih banyak. Hal ini disebabkan oleh karena lembaga perkawinan
nyentana yang mengakibatkan berubahnya status perempuan menjadi kepurusa
kebanyakan dilakukan karena terpaksa oleh karena di keluarga tersebut tidak
memiliki anak laki-laki sebagai penerus keturunan. Jadi dapat kita simpulkan
bahwa perkawinan nyentana hanya dilakukan dalam keadaan terpaksa. Namun
belakangan ini ada gejala baru yang muncul dimana keluarga yang sudah
memiliki anak kai-laki dan bahkan lebih dari satu juga mengangkat sentana.
Biasanya ini dilakukan setelah ada kesepakatan ayah dan anak laki-laki yang
bekerja di luar daerah sehingga menantu ini bisa menggantikan anak lakilaki
lainnya untuk melakukan kewajiban di lingkungan desanya. Ada pertanyaan yang
sering muncul manakala anak laki-laki berkedudukan sebagai kepurusa sehingga
anak perempuan tidak memiliki hak mewaris sehingga terlihat telah terjadi
diskriminasi terhadap anak perempuan. Seperti apa yang telah disebut di atas
hanya kepurusa saja yang berhak mewaris, hal ini disebabkan oleh karena tradisi
mewaris di Bali tidak hanya mewarisi hak atas harta warisan berupa harta benda
yang riil tetapi juga mewarisi kewajiban seperti memelihara pura keluarga atau
merajan. Warisan ini merupakan kewajiban yang harus dilakukan seperti
memelihara dan merawat pura keluarga serta melaksanakan upacara enam bulanan
atau odalan sebagai perwujudan bakti kepada leluhurnya.
Menurut Wayan P. Windia dalam hukum adat Bali yang berdasarkan pada
sistem kekeluargaan ke purusa orang-orang yang dapat di perhitungkan sebagai
ahli waris dalam garis pokok keutamaan dan garis pokok pengganti adalah para
lakilaki dalam keluarga yang bersangkutan sepanjang tidak terputus ahaknya
sebagai ahli waris. Kelompok orang-orang yang termasuk dalam garis keutamaan
pertama sebagai ahli waris adalah keturunan pewaris kenceng ke bawah, yaitu
anak kandung laki-laki ataupun anak perempuan yang ditingkat kan statusnya
sebagai penerus keturunan (sentana rajeg ) dan anak angkat (sentana peperasan).
Soerjono Soekanto mengatakan pada masyarakat di Bali walaupun anak
perempuan dan janda bukanlah merupakan ahli waris akan tetapi mereka berhak
menikmati atas bagian dari harta warisan selama tidak terputus haknya.
Kehilangan hak menikmati dari harta warisan itu terjadi apabila anak perempuan
itu;
a) kawin ke luar
b) dipecat sebagai anak oleh orang tuanya
Sedangkan bagi janda ha k menikmati itu hilang apabila janda itu ;
a) bergendak
b) kawin lagi.
DAFTAR BACAAN :

Agus Putra Sumardan, I Putu, 2020, Perkawinan Menurut Hukum Hindu, Artikel Advokat di
Bali.

Asmarajaya, I Made, Sistem Kekerabatan Kepurusa Di Bali, Jurnal Hukum, Fakultas Hukum
Universitas Mahasaraswati, Denpasar.

Putra Astiti, Tjok Istri et Al, 2017, Buku Ajar Hukum Adat Lanjutan, Fakultas Hukum
Universitas Udayana, Denpasar.

P. Windia, Wayan & I Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga
Publikasi dan Dokumentasi Fakultas Hukum, Universitas Udayana, Denpasar.

Anda mungkin juga menyukai