Anda di halaman 1dari 11

Wiwaha ( Perkawinan ) Menurut Hindu

Pengertian Wiwaha, Tujuan Wiwaha Menurut


Hindu, Sistem Pawiwahan Serta Jenis Banten Yang
Digunakan Menurut Agama Hindu, Syarat Agar
Pawiwahan Sah Menurut Hindu.

Pengertian Wiwaha
Dalam agama Hindu di Bali istilah perkawinan biasa disebut Pawiwahan.
Pengertian Pawiwahan itu sendiri dari sudut pandang etimologi atau asal katanya,
kata pawiwahan berasal dari kata dasar “ wiwaha”. Dalam Kamus Bahasa
Indonesia disebutkan bahwa kata wiwaha berasal dari bahasa sansekerta yang
berarti pesta pernikahan, perkawinan.
Pengertian pawiwahan secara sistematik dapat dipandang dari sudut yang berbeda-
beda sesuai dengan pedoman yang digunakan. Pengertian pawiwahan tersebut
antara lain: menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1
dijelaskan pengertian perkawinan yang berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan lahir
bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
KeTuhanan Yang Maha Esa.

Pernikahan atau wiwaha dalam Agama Hindu adalah yadnya dan perbuatan
dharma. Wiwaha (pernikahan) merupakan momentum awal dari Grahasta Ashram
yaitu tahapan kehidupan berumah tangga. dalam adat Hindu di Bali merupakan
upaya untuk mewujudkan hidup Grhasta Asmara, tugas pokoknya menurut lontar
Agastya Parwa adalah mewujudkan suatu kehidupan yang disebut „Yatha sakti
Kayika Dharma“ yang artinya dengan kemampuan sendiri melaksanakan Dharma.
Jadi seorang Grhasta harus benar-benar mampu mandiri mewujudkan Dharma
secara profesional haruslah dipersiapkan oleh seorang Hindu yang ingin
menempuh jenjang perkawinan.
Wiwaha adalah ikatan suci dan komitment seumur hidup menjadi suami-istri dan
merupakan ikatan sosial yang paling kuat antara laki laki dan wanita. Wiwaha juga
merupakan sebuah cara untuk meningkatkan perkembangan spiritual. Lelaki dan
wanita adalah belahan jiwa, yang melalui ikatan pernikahan dipersatukan kembali
agar menjadi manusia yang seutuhnya karena di antara keduanya dapat saling
mengisi dan melengkapi. Wiwaha harus berdasarkan pada rasa saling percaya,
saling mencintai, saling memberi dan menerima, dan saling berbagi tanggung
jawab secara sama rata, saling bersumpah untuk selalu setia dan tidak akan
berpisah.
Pawiwahan atau Pernikahan adat menurut orang bali pada hakekatnya adalah
upacara persaksian ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa dan kepada masyarakat
bahwa kedua orang yang bersangkutan telah mengikatkan diri sebagai suami-istri.
Sarana Pawiwahan berupa Segehan cacahan warna lima, Api takep (api yang
dibuat dari serabut kelapa), Tetabuhan (air tawar, tuak, arak), Padengan-
dengan/pekata-kalaan, Pejati, Tikar dadakan (tikar kecil yang dibuat dari pandan),
Pikulan (terdiri dari cangkul, tebu, cabang kayu dadap yang ujungnya berisi periuk,
bakul yang berisi uang), Bakul, Pepegatan terdiri dari dua buah cabang dadap yang
dihubungkan dengan benang putih.
Rangkaian upacara pawiwahan merupakan pengesahan karena sudah melibatkan
tiga kesaksian yaitu: Bhuta saksi (upacara mabeakala), Dewa saksi (upacara natab
banten pawiwahan, mapiuning di Sanggah pamerajan), dan Manusa saksi (dengan
hadirnya prajuru adat, birokrat, dan sanak keluarga/ undangan lainnya). Manusa
saksi diwujudkan secara hukum dalam bentuk Akta Perkawinan,Sesuai dengan
Undang-Undang No. 1/1974 pasal 2, Akta Perkawinan itu dicatatkan pada Kantor
Catatan Sipil. Di Daerah Kabupaten yang kecil, pejabat catatan sipil kadang-
kadang dirangkap oleh Bupati atau didelegasikan kepada Kepala Kecamatan. Jadi
tugas catatan sipil disini bukanlah “mengawinkan” tetapi mencatatkan perkawinan
itu agar mempunyai kekuatan hukum.

Tujuan Pawiwahan
Wiwaha dalam agama Hindu dipandang sebagai suatu yang amat mulia. Dalam
Manawa Dharmasastra dijelaskna bahwa wiwaha itu bersifat sakral yang
hukumnya wajib, dalam artian harus dilakukan oleh seseorang yang normal
sebagai suatu kewajiban hidupnya. Penderitaan atau penebusan dosa para leluhur
akan dapat dilakukan oleh keturunannya. Tujuan utama dapat pertama dalam
wiwaha adalah untuk memperoleh keturunan yang suputra yakni anak yang hormat
kepada orang tuanya, cinta kasih terhadap sesama dan berbhakti kepada tuhan.
dalam Nitisastra dijelaskan bahwa “ orang yang mampu membuat seratus sumur
masih kalah keutamaannya dengan orang yang mampu membuat satu waduk,
orang yang mampu membuat seratus waduk kalah keutamaannya dengan membuat
satu yadnya yang tulus iklas dan masih kala dengan orang yang mampu melahirkan
seorang anak suputra. Demikian keutamaan anak suputra”.
Dalam kehidupan berumah tangga adapun kewajiban yang harus dilaksanakan
yaitu :
1)      Melanjutkan keturunan
2)      Membina rumah tangga
3)      Bermasyarakat
4)      Melaksanakan panca yadnya
 Tujuan pawiwahan berdasarkan undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974
pasal 1 yang dijelaskan bahwa perkawinan dilaksanakan dengan tujuan untuk
membentuk keluarga ( rumah tangga) yang bahagia dan kekal maka dalam agama
Hindu sebagaimana diutarakan dalam kitab suci Veda perkawinan adalah
terbentuknya sebuah keluarga yang berlangsung sekali dalam hidup manusia.
 Menurut I Made Titib dalam makalah “Menumbuhkembangkan pendidikan agama
pada keluarga” disebutkan bahwa tujuan perkawinan menurut agama Hindu adalah
mewujudkan 3 hal yaitu:
1.     Dharmasampati yang berarti bahwa pernikahan merupakan salah satu
dharma yang harus dilaksanakan sebagai umat Hindu sesuai dengan ajaran Catur
Ashrama, sehingga pasangan suami istri melaksanakan: Dharmasastra, Artasastra,
dan Kamasastra. Jika dikaitkan dengan Catur Purusaarta, maka pada masa Grhasta
manusia Hindu telah melaksanakan Tripurusa, yaitu Dharma, Artha, dan Kama.
Purusa keempat (Moksa) akan sempurna dilaksanakan bila telah melampaui masa
Grhasta yaitu Wanaprasta dan Saniyasin. Melalui pernikahan ini juga kedua
mempelai diberikan jalan untuk dapat melaksanakan dharma secara utuh seperti
dharma seorang suami atau istri, dharma sebagai orang tua, dharma seorang
menantu, dharma sebagai ipar, dharma sebagai anggota masyarakat sosial, dharma
sebagai umat, dll.
2.     Praja yang berarti bahwa pernikahan bertujuan untuk melahirkan keturunan
yang akan meneruskan roda kehidupan di dunia. Tanpa keturunan, maka roda
kehidupan manusia akan punah dan berhenti berputar. sehingga Pernikahan /
pawiwahan sangat dimuliakan karena bisa memberi peluang kepada anak/
keturunan untuk melebur dosa-dosa leluhurnya agar bisa menjelma kembali
sebagai manusia. Dari perkawinan diharapkan lahir anak keturunan yang
dikemudian hari bertugas melakukan Sraddha Pitra Yadnya bagi kedua orang
tuanya sehingga arwah mereka dapat mencapai Nirwana. Sebagai orang tua,
suami-istri diwajibkan memberikan bimbingan dharma kepada semua keturunan
agar mereka kelak dapat meneruskan kehidupan yang harmonis, damai, dan
sejahtera. Anak keturunan merupakan kelanjutan dari kehidupan atau eksistensi
keluarga. Anak dalam Bahasa Kawi disebut “Putra” asal kata dari “Put” (berarti
neraka) dan “Ra” (berarti menyelamatkan). Jadi Putra artinya: “yang
menyelamatkan dari neraka”. Suatu kekeliruan istilah di masyarakat dewasa ini,
bahwa anak laki-laki dinamakan putra dan anak perempuan dinamakan putri;
melihat arti putra seperti di atas, maka putri tidak mempunyai makna apa-apa
karena “ri” tidak ada dalam kamus Bahasa Kawi. Pandita berpendapat lebih baik
anak perempuan dinamakan Putra Istri, bukannya putri.
3.     Rati yang berarti pernikahan adalah jalan yang sah bagi pasangan mempelai
untuk menikmati kehidupan seksual dan kenikmatan duniawi lainnya. Merasakan
nikmat duniawi secara sah diyakini akan dapat memberikan ketenangan batin yang
pada akhirnya membawa jiwa berevolusi menuju spiritualitas yang meningkat dari
waktu kewaktu. Kedua mempelai diharapkan dapat membangun keluarga yang
sukinah (selalu harmonis dan berbahagia), laksmi (sejahtera lahir batin), siddhi
(teguh, tangguh, tegar, dan kuat menghadapi segala masalah yang menerpa), dan
dirgahayu (pernikahan berumur panjang dan tidak akan tercerai berai). Hal ini
sesuai dengan mantra yang seringkali kita lantunkan dalam puja bhakti sehari hari:
“Om Sarwa Sukinah Bhawantu. Om Laksmi, Sidhis ca Dirgahayuh astu tad astu
swaha”.

          Perkawinan pada hakikatnya adalah suatu yadnya guna memberikan


kesempatan kepada leluhur untuk menjelma kembali dalam rangka memperbaiki
karmanya. Dalam kitab suci Sarasamuscaya sloka 2 disebutkan :

“Ri sakwehning sarwa bhuta, iking janma wang juga wenang gumaweakenikang
subha asubha karma, kunang panentasakena ring subha karma juga ikang asubha
karma pahalaning dadi wang”

artinya:
“Dari demikian banyaknya semua mahluk yang hidup, yang dilahirkan sebagai
manusia itu saja yang dapat berbuat baik atau buruk. Adapun untuk peleburan
perbuatan buruk ke dalam perbuatan yang baik, itu adalah manfaat jadi manusia.”

          Berkait dengan sloka tersebut, karma hanya dengan menjelma sebagai
manusia, karma dapat diperbaiki menuju subha karma secara sempurna.
Melahirkan anak melalui perkawinan dan memeliharanya dengan penuh kasih
sayang sesungguhnya suatu yadnya kepada leluhur. Lebih-lebih lagi kalau anak itu
dapat dipelihara dan dididik menjadi manusia suputra, akan merupakan suatu
perbuatan melebihi seratus yadnya, demikian disebutkan dalam Slokantara.
Keluarga yang berbahagia kekal abadi dapat dicapai bilamana di dalam rumah
tangga terjadi keharmonisan serta keseimbangan hak dan kewajiban antara suami
dan istri, masing-masing dengan swadharma mereka. Keduanya (suami-istri)
haruslah saling isi mengisi, bahu membahu membina rumah tangganya serta
mempertahankan keutuhan cintanya dengan berbagai “seni” berumah tangga,
antara lain saling menyayangi, saling tenggang rasa, dan saling memperhatikan
kehendak masing-masing. Mempersatukan dua pribadi yang berbeda tidaklah
gampang, namun jika didasari oleh cinta kasih yang tulus, itu akan mudah dapat
dilaksanakan.
Tujuan pokok perkawinan adalah terwujudnya keluarga yang berbahagia lahir
bathin. Kebahagiaan ini ditunjang oleh unsur-unsur material dan non material.
Unsur material adalah tercukupinya kebutuhan sandang, pangan, dan papan/
perumahan (yang semuanya disebut Artha). Unsur non material adalah rasa
kedekatan dengan Hyang Widhi (yang disebut Dharma), kepuasan sex, kasih
sayang antara suami-istri-anak, adanya keturunan, keamanan rumah tangga, harga
diri keluarga, dan eksistensi sosial di masyarakat (yang semuanya disebut Kama).

Sistem pawiwahan serta jenis banten yang digunakan


menurut Agama Hindu

Perenungan :
“ Brahma Dai vastat hai varsyah,
Prapaja yastatha surah,
Gandharwa raksasa caiva,
Paisacasca astamo dharmah”
Terjemahan :
“ Adapun system perkawinan itu ialah Brahma wiwaha, Daiwa wiwaha, Rsi
wiwaha, Prajapati wiwaha, Asura wiwaha, Gandharwa wiwaha, Raksasa
wiwaha, dan Paisaca wiwaha”.
( Manawa Dharmasastra.III.21)

Sistem pawiwahan adalah cara yang dibenarkan untuk dilakukan oleh seseorang
menurut hukum Hindu dalam melaksanakan tata cara perkawinan, sehingga dapat
dinyatakan sah sebagai suami istri. Menurut Dharmasastra ada delapan sistem
perkawinan yakni :
1)    Brahma wiwaha, adalah pemberian anak wanita kepada seorang pria yang ahli
weda dan berperilaku baik setelah menghormati yang diundang sendiri oleh ayah
wanita (Manawa Dharmasastra III.27)
Sloka :
“Acchadya carcayitwa ca cruti cila wate swayam, ahuya danam kanyaya brahma
dharmah prakirtitah”

“ Pemberian seorang gadis setelah terlebih dahulu dirias (dengan pakaian yang
mahal) dan setelah menghormati (dengan menghadiahi permata) kepada seorang
yang aktif dalam weda lagi pula budi bahasanya yang baik yang diundang (oleh
ayah si wanita) disebut Brahma Wiwaha”

2)    Daiwa wiwaha, adalah pemeberian anak wanita kepada pendeta yang


melaksanakan upacara atau yang telah berjasa (Manawa Dharmasastra III.28)
Sloka :
“Yajne tu witate samyag rtwije karma kurwate, alamkrtya sutadanam daiwam
dharmam pracaksate”

“Pemberian seorang wanita yang setalah terlebih dahulu dihias dengan perhiasan-
perhiasan kepada seorang pendeta yang melaksanakan upacara pada saat upacara
itu berlangsung disebut Daiwa wiwaha”

3)    Arsa wiwaha, adalah perkawinan yang dilakukan setelah wanita mengikuti aturan
yakni menerima seekor atau dua pasang lembu dari pihak mempelai laki – laki
(Manawa Dharmasastra III.29)
Sloka :
“Ekam gomithunam dwe wa waradadaya dharmatah, kanyapradanam widhi
wadarso dharma sa ucyate’

“ Kalau seorang ayah mengawinkan anak perempuannya sesuai dengan peraturan


setelah menerima seekor sapi atau seekor atau dua pasang lembu dan pengantin
pria untuk memenuhi peraturan dharma, disebut acara Arsa Wiwaha”

4)    Prajapati wiwaha, pemberian seorang anak setelah berpesan dengan mantra kamu
berdua melaksanakan kewajibanmu bersama dan setelah menunjukkan
penghormatan kepada pengantin pria (Manawa Dharmasastra III.30)
Sloka :
“Sahobhau caratam dharmam iti wacanubhasya ca, kanyapradanam abhyarcya
prajapatyo widhih smrtah.”

“Pemberian seorang anak perempuan (oleh ayah si wanita) setelah berpesan


kepada mempelai dengan mantra (semoga kamu berdua melaksanakan kewajiban)
dan  menunjukkan penghormatan (kepada pengantin pria), perkawinan itu di dalam
kitab smreti dinamai perkawinan Prajapati”
5)    Asura wiwaha,  adalah bentuk perkawinan dimana setelah pengantin pria
memberikan mas kawin sesuai dengan kemampuan dan didorong oleh
keinginannya sendiri kepada si wanita dan ayahnya menerima wanita itu untuk
dimiliki (Manawa Dharmasastra III.31)
Sloka :
“Jnatibhyo drawinam dattwa kanyayai caiwa caktitah, kanyapradanam
sacchandyad asuro dharma ucyate”

“ Kalau pengantin Pria menerima seorang perempuan setelah pria itu member mas
kawin sesuai dengan kemampuannya dan didorong oleh keinginannya sendiri
kepada mempelai wanita dan keluarganya cara itu dinamakan perkawinan Asura.”

6)    Gandharwa wiwaha, adalah bentuk perkawinan suka sama suka antara kedua
mempelai (Manawa Dharmasastra III.32)
Sloka :
“Icchayanyonya samyogah kanyanya warasya ca, gandharwah satu wijneyo
maithunyah kamasam bhawah”

“Pertemuan suka sama suka antara perempuan dengan kekasihnya yang timbul dari
nafsunya dan bertujuan melakukan perhubungan kelamin dinamakan acara
perkawinan Gandharwa’

7)    Raksasa wiwaha, bentuk perkawinan dengan cara menculik wanita dengan


kekerasan (Manawa Dharmasastra III.33)
Sloka :
Hatwa chitwa ca bhittwa ca krocatim rudatim grihat, prasahya kanya haranam
raksaso widhi rucyate”

“Melarikan seorang gadis denga paksa dari rumahnya dimana wanita berteriak-
teriak menangis setelah keluarganya terbunuh atau terluka, rumahnya dirusak,
dinamakan perkawina Raksasa”

8)    Paisaca wiwaha, adalah bentuk perkawinan dengan cara mencuri, memaksa dan
membuat bingung atau mabuk (Manawa Dharmasastra III.34)
Sloka :
“Sutpam mattam pramattam waraho yatropagacchati, sa papistho wiwahanam
paicaca ccastamo dhamah.”

“Kalau seorang laki-laki dengan secara mencuri-curi dan memperkosa seorang


wanita yang sedang tidur, sedang mabuk atau bingung, cara demikian adalah
perkawinan Paisaca yang amat rendah dan penuh dosa”
bentuk perkawinan diatas ada dua sistem yang dilarang dalam kehidupan baik oleh
hukum agama atau hukum negara yaitu sistem perkawinan Raksasa dan Paisaca
wiwaha. Menurut tradisi adat di Bali adapun sistem yaitu :
1.      Sistem mapadik atau meminang,  pihak calon serta keluarga memepelai laki –
laki datang ke rumah calon mempelai wanita untuk meminang calon istrinya.
Biasanya kedua calon mempelai sebelumnya telasa saling mengena da ada
kesepakatan untuk hidup berumah tangga. Inilah sistem yang dianggap paling
terhormat
2.      Sistem ngerorod atau rangkat, bentuk perkawinan atas dasar suka sama suka
dengan pasangan dan cukup usia akan tetapi tidak mendapat restu salah satu orang
tua dari mempelai. Sistem ini dikenal dengan sistem kawin lari
3.      Sistem nyentana atau nyeburin, perkawinan atas dasar perubahan status
hukum dimana calon mempelai wanita secara adat berstatus sebagai purusa dan
pria berstatus sebagai pradana. Dalam hubungan ini mempelai laki – laki tinggal di
rumah mempelai wanita
4.      Sistem melegandang, bentuk perkawinan dengan cara paksa yang tidak
didasari atas cinta.
Selain itu dalam ketentuan pasal 57 dari Undang – undang Perkawinan diatur
tentang perkawinan campurang antara mereka yang berbeda warga negara dan
agama. Menurut Ordenansi perkawinan campuran maka hukum agama si suami
yang harus diik uti.
Berhubungan dengan hal itu agar perkawinan dapat berlangsung dengan baik dan
dipandang sah menurut Agama Hindu maka rohaniwan yang muput upcara wiwaha
tersebut kepada pihak wanita diawali dengan upacara sudhawadani sebagai upacara
pernyataan bahwa si wanita rela dan sanggup mengikuti agama pihak suami.
Setelah itu, barulah upacara tersebut dilaksanakan.

Syarat Agar Pawiwahan Sah Menurut Hindu

Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974  dan Kitab Suci Manava


Dharmasastra maka  syarat tersebut menyangkut keadaan calon pengantin dan
administrasi, sebagai berikut:
•        Dalam pasal 6 disebutkan perkawinan harus ada  persetujuan dari kedua
calon mempelai.dan mendapatkan izin kedua orang tua.  Persetujuan tersebut itu
harus secara murni dan bukan paksaan dari calon pengantin serta jika salah satu
dari kedua orang tua telah meninggal maka yang memberi izin adalah keluarga,
wali yang masih ada hubungan darah. Dalam ajaran agama Hindu syarat tersebut
juga merupakan salah satu yang harus dipenuhi, hal tersebut dijelaskan dalam
Manava Dharmasastra III.35 yang berbunyi:
“Adbhirewa dwijagryanam kanyadanam wicisyate,
Itaresam tu warnanam itaretarkamyaya”
“Pemberian anak perempuan di antara golongan Brahmana, jika didahului dengan
percikan air suci sangatlah disetujui, tetapi antara warna-warna lainnya cukup
dilakukan dengan pernyataan persetujuan bersama” (Pudja dan Sudharta, 2002:
141).
•        Menurut pasal 7 ayat 1, perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah
mencapai umur 19 ( sembilan belas ) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur
16 (enam belas) tahun. Ketentuan tersebut tidaklah mutlak karena jika belum
mencapai umur.
minimal tersebut untuk melangsungkan perkawinan maka diperlukan persetujuan
dari pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria
maupun wanita, sepanjang hukum yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Agama Hindu memberikan aturan tambahan mengenai hal tersebut dimana dalam
Manava Dharmasastra IX.89-90 yang menyatakan bahwa walaupun seorang gadis
telah mencapai usia layak untuk kawin, akan lebih baik tinggal bersama orang
tuanya hingga akhir hayatnya, bila ia tidak memperoleh calon suami yang memiliki
sifat yang baik atau orang tua harus menuggu 3 tahun setelah putrinya mencapai
umur yang layak untuk kawin, baru dapat dinikahkan  dan orang tua harus
memilihkan calon suami yang sederajat untuknya. Dari sloka tersebut disimpulkan
umur yang layak adalah 18 tahun, sehingga orang tua baru dapat mengawinkan
anaknya setelah berumur 21 tahun (Dirjen Bimas Hindu dan Budha, 2001: 34).
•        Sebagaimana diatur dalam pasal 8-11 Undang- Undang No. 1 tahun 1974,
dalam Hukum Hindu perkawinan yang dilarang dan harus dihindari dijelaskan
dalam Manava Dharmasastra III.5-11 adalah jika ada hubungan sapinda dari garis
Ibu dan Bapak, keluarga yang tidak menghiraukan upacara suci, tidak mempunyai
keturunan laki-laki, tidak mempelajari Veda, keluarga yang anggota badannya
berbulu lebat, keluarga yang memiliki penyakit wasir, penyakit jiwa, penyakit
maag dan wanita yang tidak memiliki etika.
•        Selain itu persayaratan administrasi untuk catatan sipil yang perlu disiapkan
oleh calon pengantin, antara lain: surat sudhiwadani, surat keterangan untuk nikah,
surat keterangan asal usul, surat keterangan tentang orang tua, akta kelahiran, surat
keterangan kelakuan baik, surat keterangan dokter, pas foto bersama 4x 6, surat
keterangan domisili, surat keterangan belum pernah kawin, foto copy KTP, foto
copy Kartu Keluarga dan surat ijin orang tua.
Samskara atau sakramen dalam agama Hindu dianggap sebagai alat permulaan
sahnya suatu perkawinan. Hal tersebut dilandasi oleh sloka dalam Manava Dharma
sastra  II. 26 sebagai berikut:
“Waidikaih karmabhih punyair nisekadirdwijanmanam,
Karyah carira samskarah pawanah pretya ceha ca”
“Sesuai dengan ketentuan-ketentuan pustaka Veda, upacara-upacara suci
hendaknya dilaksanakan pada saat terjadi pembuahan dalam rahim Ibu serta
upacara-upacara kemanusiaan lainnya bagi golongan Triwangsa yang dapat
mensucikan dari segala dosa dan hidup ini maupun setelah meninggal dunia”
(Pudja dan Sudharta, 2002:69).
Dalam pelaksanaan upacara perkawinan ( samskara ) tersebut, agama Hindu tidak
mengabaikan adat yang telah terpadu dalam masyarakat karena dalam agama
Hindu selain Veda sruti dan smrti, umat Hindu dapat berpedoman pada Hukum
Hindu yang berdasarkan kebiasaan yang telah turun temurun disuatu tempat yang
biasa disebut Acara. Dengan melakukan upacara dengan dilandasi oleh ajaran oleh
pustaka Veda dan mengikuti tata cara adat, maka akan didapatkan kebahagiaan di
dunia (Jagadhita ) dan Moksa. Hal tersebut dijelaskan dalam Manava Dharma
sastra II. 9 sebagai berikut:
“Sruti smrtyudita dharma manutisthanhi manavah,
iha kirtimawapnoti pretya canuttamam sukham”
“Karena orang yang mengikuti hukum yang diajarkan oleh pustaka-pustaka suci
dan mengikuti adat istiadat yang keramat, mendapatkan kemashuran di dunia ini
dan setelah meninggal menerima kebahagiaan yang tak terbatas (tak ternilai)”
Suatu pawiwahan dapat dikatakan sah apabila memenuhi syarat yang
diselenggarakan dalam ajaran agama hindu, adapun ajarannya adalah sebagai
berikut :
1) Pawiwahan dikatakan sah apabila dilakukan menurut ketentuan hukum hindu
2) Untuk mengesahkan pawiwahan menurut hukum hindu harus dilakukan oleh
pendeta atau pejabat agama yang memenuhi syarat untuk melaksanakan upacara
ini
3) Suatu pawiwahan dikatakan sah apabila kedua mempelai menganut kepercayaan
yang sama
4)  Berdasarkan tradisi yang berlaku di Bali, pawiwahan dikatakan sah apabila
telah melaksanakan upacara byakala atau biokaonan sebagai rangkaian upacara
wiwaha
5) Calon mempelai tidak terikat oleh suatu ikatan pernikahan
6) Tidak ada kelainan seperti banci, kuming (tidak pernah haid), sakit jiwa atau
sehat secara jasmani dan rohani
7) Calon mempelai cukup umur, pria berumur 21 tahun dan wanita minimal 18
tahun
8) Calon mempelai tidak mempunyai hubungan darah atau sepinda.

Selain itu juga agar pawiwahan dianggap sah maka harus dibuatkan akta
pernikahan sesuai dengan undang – undang yang berlaku. Orang yang berwenang
melaksanakan upacara pawiwahan adalah pendeta yang memiliki status Loka Pala
Sraya. Demikian juga cara pengajuan pembatalan pawiwahan menurut pasal 23
bab IV undang – undang no 1 tahun1974 sebagai berikut :
1.      Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau istri
2.      Suami atau istri
3.      Pejabat yang berwenang selama perkawinan belum diputuskan
4.      Pejabat yang ditunjuk dalam ayat 1 pasal 16 undang – undang no 1 tahun
1974 dan setiap orang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap
perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.

Perenungan :
“ Prajavanto anamiva anagasah “
Terjemahan :
“Ya, Sang Hyang Surya, semoga kami memiliki anak-cucu dan bebaskan dari
penyakit dan dosa “.
(Rg Veda X. 37. 7).\

 Pawiwahan Yang Dilarang

Pawiwahan dapat dicegah atau dilarang apabila calon mempelai tidak memenuhi
persyaratan untuk melangsungkan pernikahan. Pencegahan akan dilakukan secara
hukum dan agama. Pencegahan dilakukan oleh pendeta atau Brahmana dengan
menolak untuk mengesahkannya karena dipandang tidak layak secara hukum
agama. Selain itu pencegahan dapat dilakukan apabila ada indikasi penipuan dan
kekerasan. Misalnya,  mengambil sistem raksasa wiwaha, paisaca wiwaha atau
melegadang, sakit jiwa. Dalam peristiwa yang disengaja dalam perkawinan maka
pelaku dapat dikenakan sanksi.
Menurut dharmasastra pencegahan dilakukan apabila ada indikasi perkawinan
sapinda.menurut undang – undang no 1 tahun 1974 suatu perkawinan dapat
dibatalkan sesuai dengan ketentuan pasal 24 dan pasal 27 yang isinya sebagai
berikut :
1)     Bertentangan dengan hukum agama
2)     Calon masih terikat dengan perkawinan atau tidak single
3)     Bila clon suami atau istri mempunyai cacat yang disembunyikan, sehingga
salah satu pihak merasa ditipu.
4)     Perkawinan yang masih ada hubungan darah.
5)     Apabila si istri tidak menganut agama yang sama dengan suami menurut
hukum Hindu.

Anda mungkin juga menyukai