Anda di halaman 1dari 17

DIH, Jurnal Ilmu Hukum

Agustus 2011, Vol. 7, No. 14, Hal. 107 - 123

PERKAWINAN PADA GELAHANG


DALAM MASYARAKAT HUKUM ADAT DI PROVINSI BALI DITINJAU DARI
UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

Putu Dyatmikawati
Dosen Pengajar Fakultas Hukum
Universitas Dwijendra

Abstrak

Perkawinan bagi orang Bali-Hindu yang hidup dalam masyarakat hukum adat di Bali
(dikenal dengan “desa adat” atau “desa pakraman”), relatif berbeda dengan perkawinan
bagi masyarakat yang lainnya. Perbedaan ini terjadi sebagai konsekuensi sistem
kekerabatan patrilenial atau purusadan kapurusa yang dianut. Sistem ini membawa
konsekuensi adanya dua bentuk perkawinan, yaitu: (1) Perkawinan biasa (pihak wanita
meninggalkan keluarganya dan masuk menjadi anggota keluarga suaminya); (2)
Perkawinan nyentana atau nyeburin (pihak laki-laki yang meninggalkan keluarganya dan
masuk menjadi anggota keluarga istrinya). Apabila calon pengantin tidak mungkin memilih
bentuk perkawinan biasa dan bentuk perkawinan nyentana, maka akan dipilih bentuk
perkawinan pada gelahang. Bentuk perkawinan ini masih menjadi pro dan kontra dalam
masyarakat adat di Bali. Oleh karena itu perlu dilakukan kalian pada perkawinan Gelahang
Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Bali, Ditinjau dari Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan.
Kata kunci: Masyarakat Adat, Sistem Kekeluargaan, Perkawinan Pada Gelahang.

PENDAHULUAN awig desa pakraman. Apabila kewajiban yang


tertuang dalam awig-awig dilanggar, kepada
Hukum adat yang dianut oleh masyarakat
pelakunya dapat dikenakan sanksi, mulai yang
Bali, yang dikenal dengan istilah desa adat
paling ringan, berupa minta maaf atau ngak-
atau desa pakraman, perkawinan memiliki arti
sama, sampai yang paling berat, dikucilkan
penting karena erat kaitannya dengan ta-
atau kasepekang.
nggung jawab, kewajiban atau dikenal dengan
istilah swadharma seseorang, baik terhadap Dianutnya sistem kekeluargaan patrilenial
atau kapurusa oleh masyarakat adat Bali
keluarga maupun masyarakat. Tanggungja-
berpengaruh terhadap pelaksanaan dan bentuk
wab atau kewajiban tersebut meliputi kewa-
perkawinan bagi masyarakat hukum adat Bali.
jiban yang berkaitan dengan aktivitas keaga-
Perkawinan bagi masyarakat hukum adat Bali,
maan sesuai dengan ajaran agama Hindu atau
pada hakekatnya sama dengan perkawinan
parhayangan, aktivitas kemanusiaan atau
sebagaimana diatur di dalam undang-undang
pawongan dan aktivitas memelihara ling-
perkawinan nasional yang kini berlaku, yaitu
kungan atau palemahan, baik itu untuk ke-
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
pentingan keluarga maupun masyarakat.
Perkawinan. Di dalam ketentuan Pasal 1 ayat
Tanggung jawab seseorang dalam masyarakat
(1), dirumuskan: Perkawinan adalah ikatan
adat atau desa pakraman, dituangkan lebih
lahir dan batin antara seorang pria dengan
lanjut dalam aturan yang berlaku di desa
seorang wanita sebagai suami istri dengan
pakraman, yang dikenal dengan sebutan awig-
tujuan membentuk keluarga atau rumah ta-

107
Putu Dyatmikawati

ngga yang bahagia dan kekal berdasarkan pada saat perkawinan dilangsungkan. Wanita
Ketuhanan Yang Maha Esa. Pengertian perka- yang dikawini secara nyeburin berstatus seba-
winan menurut hukum adat Bali, dirumuskan gai sentana rajeg, yang melanjutkan keturu-
sebagai sebuah ikatan suci antara seorang pria nan keluarganya.5
dengan seorang wanita dengan tujuan untuk Memilih perkawinan biasa, keluarga pe-
membentuk keluarga yang utama, yang ketu- rempuan pasti keberatan, karena keluarga ini
runan purusa. 1 akan ditinggalkan oleh satu-satunya anak
Bagi masyarakat hukum adat Bali yang perempuan yang dimiliki. Kalau memilih
beragama Hindu, perkawinan dipandang seba- bentuk perkawinan nyentana, keluarga laki-
gai kewajiban, karena perkawinan mempunyai laki pasti juga tidak akan setuju, karena ke-
arti dan kedudukan yang sangat penting dan luarga ini akan ditinggalkan oleh satu-satunya
khusus dalam kehidupan. Salah satu tujuan anak laki-laki yang dimiliki. Bagaimana per-
perkawinan menurut pandangan masyarakat masalahan semacam ini harus diselesaikan?
Hindu di Bali sangat terkait dengan tujuan dan Berbeda dengan hukum adat Bali, Undang-
kewajiban seseorang untuk mempunyai anak, undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perka-
untuk menebus dosa-dosa orang tuanya de- winan, tidak menganut sistem kekerabatan
ngan menurunkan seorang putra2. Selanjutnya patrilenial atau kapurusa, melainkan cendrung
penekanan pada upaya untuk memperoleh ke sistem parental. Dalam arti, masing-masing
anak dalam perkawinan dapat dalam Sloka suami istri mempunyai kedudukan yang sama
No. 2 dari Weda Slokantara3. Pemaparan dalam keluarga maupun dalam masyarakat.
tentang pentingnya mempunyai anak, juga Hal ini dapat diketahui dari ketentuan Pasal 30
dapat diketahui dari Pasal 161 Buku IX dan Pasal 31, yang menentukan sebagai
ManawaDharmasastra4. berikut:
Sebagai konsekuensi dari sistem kekeluar- Pasal 30
gaan patrilineal atau kapurusa yang diikuti, Suami isteri memikul kewajiban yang luhur
selanjutnya dalam masyarakat hukum adat untuk menegakkan rumah tangga yang menja-
Bali dikenal dua bentuk perkawinan, yaitu: (1) di sendi dasar dari susunan masyarakat.
Perkawinan biasa atau dikenal dengan ngan-
ten biasa, dalam hal ini pihak wanita me- Pasal 31
ninggalkan keluarganya dan masuk menjadi 1. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang
anggota keluarga suaminya; (2) Perkawinan dengan hak dan kedudukan suami dalam
nyentana atau nyeburin, dalam hal ini pihak kehidupan rumah tangga dan pergaulan
laki-laki yang yang meawak luh (berstatus hidup bersama dalam masyarakat.
wanita atau predana) dan meninggalkan 2. Masing-masing pihak berhak untuk mela-
keluarganya untuk masuk menjadi anggota kukan perbuatan hukum.
keluarga istrinya yang meawak muani 3. Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu
(berstatus sebagai laki-laki atau purusa) dan rumah tangga.
tetap bertempat tinggal dalam keluarganya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
1
Tentang Perkawinan, juga tidak mengenal
Djaksa, Gde, 1976, Hubungan Perkawinan Menurut bentuk perkawinan biasa, perkawinan nyen-
Hukum Hindu dengan Perkawinan Menurut UU No.
tana, seperti halnya yang lazim dikenal dalam
1/1974, Skripsi pada Fakultas Hukum UI, Jakarta, hlm.
41.
hukum adat Bali. Akta perkawinan ada pene-
2
gasan siapa diantara pasangan tersebut yang
Pudja, Gde, Loc. Cit berstatus kapurusa atau predana. Terkait
3
Astiti, Tjok Istri Putra, 1981, Perkawinan Menurut dengan sahnya perkawinan, Pasal 2 Undang-
Hukum dan Agama Hindu di Bali, Biro Dokumentasi &
Publikasi FH & PM Unud, Denpasar, hlm. 6.
4
Pudja, Gde dan Tjokorda Rai Sudharta, 1878,Manawa 5
Windia, Wayan P. dan Ketut Sudantra, 2006,
Dharmasastra (Manu Dharmacastra) Dit. Jen Bimas
Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga Dokumentasi
Hindu dan Departemen Agama RI, Jakarta, hlm. 572.
dan Publikasi FH Unud, hlm. 85.

108
Perkawinan Pada Gelahang Dalam Masyarakat Hukum Adat Di Provinsi Bali Ditinjau Dari Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan

undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perka- melangsungkan perkawinan pada gela-
winan menentukan sebagai berikut: hang?
1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya METODE PENELITIAN
dan kepercayaannya itu. Penelitian ini merupakan penelitian hukum
2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut pera- normatif, yaitu merupakan penelitian yang
turan perundangan yang berlaku. menitik beratkan pada kajian ketentuan hukum
Diantara tiga bentuk perkawinan yang ada positif baik yang berlaku, maupun yang
di Bali, bentuk perkawinan pada gelahang pernah berlaku, khususnya yang berhubungan
memang belum lazim dikenal dalam masya- dengan permasalahan yang dikemukakan da-
rakat adat Bali atau umat Hindu pada umum- lam penelitian. Analisis dalam penelitian ini
nya. Walaupun demikian, dalam kenyataannya ditekankan pada norma hukum yang berlaku,
ditemukan 51 pasangan suami istri yang me- baik hukum nasional maupun hukum adat Bali
langsungkan perkawinan pada gelahang. terutama tentang perkawinan. Pada dasarnya,
Pengadilan Negeri Denpasar dalam putusan- penelitian hukum normatif tidak mengenal
nya Nomor 273/PDT.G/2008/PN. Dps, yang penelitian lapangan. Walaupun demikian da-
dibacakan pada tanggal 4 November 2008, lam bagian-bagian tertentu dari penelitian ini
pada dasarnya mengakui keberadaan perka- dikolaborasikan dengan data empirik tentang
winan pada gelahang di Bali. Demikian pula pelaksanaan perkawinan pada gelahang, akan
halnya dengan Putusan Mahkamah Agung tetapi hal itu hanyalah sebagai penunjang agar
Nomor 1331/K/Pdt/2010, tanggal 30 Septem- diperoleh gambaran yang lengkap dan utuh
ber 2010, telah menyatakan sah perkawinan dalam pembahasan permasalahan yang di-
dengan status sama-sama purusaatau perka- rumuskan dalam penelitian disertas ini.
winan pada gelahangdi Bali.
Norma hukum adat Bali, terutama yang
PEMBAHASAN
tertuang dalam awig-awig desa pakraman,
hanya mengenal dua bentuk perkawinan, yaitu Perkawinan Pada Gelahang Di Bali
perkawinan biasa dan perkawinan nyetana. Dalam Bab II telah sudah dibahas menge-
Sementara itu fakta menunukan bahwa dalam nai keberadaan masyarakat hukum adat (desa
keadaan dan alsan tertentu terdapat fakta yang adat atau desa Pakraman) di Bali, perkawinan
menyebabakan tidak mungkin calon pasangan menurut hukum adat Bali dan perkawinan
suami istri memilih salah satu dari dua bentuk menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun
perkawinan yang selama ini dikenal dalam 1974 tentang Perkawinan. Dalam Bab II di-
hukum adat Bali tersebut, sehingga mereka uraikan mengenai pelaksanaan perkawinan
harus memilih bentuk perkawinan lain yang pada gelahang, kedudukan perkawinan pada
belum lazim, yaitu perkawinan pada gela- gelahang ditinjau dari agama Hindu, hukum
hang. adat Bali dan Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan.
Rumusan Masalah Sekali lagi perlu dikemukakan bahwa da-
Berdasarkan latar belakang sebagaimana lam masyarakat hukum adat Bali dikenal dua
telah diuraikan di atas, maka permasalaha bentuk perkawinan, yaitu: (1) Perkawinan
dapat dirumuskan sebagai berikut: biasa (dikenal dengan nganten biasa). Dalam
a. Bagaimana kedudukanhukum perkawinan hal ini pihak wanita meninggalkan keluarga-
pada gelahang dalam masyarakat hukum nya dan masuk menjadi anggota keluarga
adat Bali, ditinjau dari Undang-undang suaminya. (2) Perkawinan nyentana atau Nye-
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan? burin. Dalam hal ini pihak laki-laki yang yang
b. Bagaimana pelaksanaan tanggung jawab meawak luh (berstatus wanita atau predana)
atau swadharma terhadap keluarga dan dan meninggalkan keluarganya untuk masuk
masyarakat bagi pasangan suami istri yang menjadi anggota keluarga istrinya yang mea-
wak muani (berstatus sebagai laki-laki atau

109
Putu Dyatmikawati

purusa) dan tetap bertempat tinggal dalam Faktor utama yang menyebabkan pasangan
keluarganya pada saat perkawinan dilangsung- pengantin dan keluarganya sepakat melang-
kan. sungkan perkawinan pada gelahang adalah
Dalam kehidupan masyarakat adat Bali kekhawatiran warisan yang ditinggalkan oleh
terdapat beberapa istilah yang dipergunakan orang tuanya, tidak ada yang mengurus dan
untuk menyebut bentuk perkawinan pada atau meneruskannya. Warisan yang dimaksud
gelahang seperti, perkawinan negen dua dapat berwujud tanggungjawab atau kewa-
(Banjar Pohmanis, Penatih, Denpasar), mapa- jiban (swadharma), seperti kewajiban meme-
nak bareng (Banjar Kukup Perean, Tabanan, lihara orang tua di masa tua, kewajiban me-
Banjar Cerancam, Kesiman, Denpasar.), negen laksanakan upacara ngaben terhadap jenasah
dadua mapanak bareng (Lingkungan Banjar orang tua yang telah meninggal, kewajiban
Kerta Buana, Denpasar, Desa Adat Pegu- terhadap roh leluhur di sanggah/merajan (tem-
yangan, Denpasar), nadua umah (Kerambitan, pat persembahyangan keluarga), maupun yang
Tabanan), makaro lemah (Desa Pakraman berupa hak (swadikara), seperti misalnya hak
Gianyar, Gianyar), magelar warang (Sangsit, terhadap harta kekayaan yang ditinggalkan
Bulelelng dan Melaya, Jemberana). Ada juga pewaris.
yang menyebutnya dengan ungkapan lumayan Hal ini sejalan dengan definisi dan tujuan
panjang seperti “Perkawinan nyentana (Nye- perkawinan menurut Hukum Adat Bali seperti
burin) dengan perjanjian tanpa upacara mepa- dikemukakan oleh Gede Pudja dan Tjok Rai
mit”, seperti yang dikenal di Kerobokan, Sudharta adalah patemoning purusa kelawan
Denpasar). Dalam ungkapan I Gusti Ketut pradana, malarapan antuk panunggalan ka-
Kaler (1967), perkawinan ini disebut “perka- yun suka cita, kadulurin upasaksi sekala
winan parental”.6 nisekala (pertemuan laki-laki dan perempuan,
Ida Bagus Sudarsana, seorang tokoh agama berdasarkan suka sama suka disertai saksi
Hindu di Bali mengemukakan bahwa perka- secara nyata dan gaib). Lebih lanjut Gede
winan dengan sistem makaro lemah atau Pudja dan Tjok Rai Sudharta mengemukakan
madua umah ini sangat didasarkan oleh keke- bahwa perkawinan menurut umat Hindu
rabatan yang sama, karena waris pewaris adalah ikatan antara seorang laki-laki dengan
dikemudian hari. Perkawinan ini terjadi karena seorang perempuan sebagai suami istri dalam
dari kedua pihak keluarga sama-sama tidak rangka mengatur hubungan seks yang layak
memiliki keluarga pewaris yang lain yang guna mendapatkan keturunan anak laki-laki
berhak serta berkewajiban pada masing- dalam rangka menyelamatkan arwah orang
masing keluarga tersebut. Pada pewarisan tuanya.8
nanti diharapkan dari keturunan sang pengan-
tin diperikan hak dan kewajiban masing- Persyaratan Perkawinan PadaGelahang
masing. Perkawinan ini juga berdasarkan cinta Berdasarkan pengamatan langsung pelak-
sama cinta, suka sama suka dan mendapat sanaan perkawinan pada gelahang di beberapa
persetujuan dari kedua keluarga7. desa Pakraman, dapat dikemukakan bahwa
secara umum, persyaratan untuk melangsung-
6
kan perkawinan pada gelahang, tidak jauh
Istilah ini pertama kali dimunculkan oleh I Gusti Ketut
berbeda dengan pelaksanaan bentuk perka-
Kaler , disampaikan kepada I Nyoman Nada, B.A,
(Banjar Sedahan, Mengwi) pada waktu yang winan biasa mauipun bentuk perkawinan
bersangkutan bermaksud melangsungkan perkawinan nyentana. Persyaratan perkawinan diatur da-
dengan Ni Wayan Pasti (Banjar Mawang Kaja, Ubud), lam Pasal 6 sampai Pasal 12 Undang-undang
pada tahun 1967. I Gusti Ketut Kaler (alm), berasal dari Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Blahkiuh, Badung, mantan Kepala Jawatan Agama
Secara garis besar dapat dikemukakan bahwa
Hindu (sekarang Kanwil Departemen Agama) Provinsi
Bali adalah salah seorang tokoh adat Bali. Bukunya persyaratan perkawinan terdiri dari (1) adanya
yang sering dijadikan referensi bagi peneliti hukum adat persetujuan kedua mempelai, (2) ijin dari
Bali berjudul Butir-Butir Tercecer tentang Adat Bali,
diterbitkan oleh Bali Agung, Denpasar (1983).
7 8
Sudarsana, Loc. Cit Windia dan Sudantra, 2006. Op.Cit.

110
Perkawinan Pada Gelahang Dalam Masyarakat Hukum Adat Di Provinsi Bali Ditinjau Dari Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan

orang tua, dan (3) ketentuan tentang batas Pakraman Pihak Pertama, sementara Pihak
umur perkawinan. Kalaupun ada bedanya, Kedua berkedudukan sebagai predana dengan
perbedaan itu tampak dalam pasobayan segala swadharma yang patut dilaksanakan
mawarang yaitu perjanjian antara pengantin sebagai seorang predana.
beserta keluarga masing-masing tentang ben- Selanjutnya Pihak Kedua memiliki kewa-
tuk dan pelaksanaan perkawinan serta ber- jiban dan hak penuh sebagai purusa terhadap
bagai konsekwensi tanggung jawab yang kelangsungkan parhyangan, pawongan dan
menyertai perkawinan tersebut dikemudian palemahan orang tua dan leluhur Pihak
hari, baik yang berkaitan dengan parhyangan Kedua, sesuai hukum adat Bali dan awig-awig
(aktivitas keyakinan beragama) pawongan yang berlaku di desa Pakraman Pihak Kedua,
(aktivitas kemanusiaan menurut agama Hindu) sementara Pihak Pertama berkedudukan
dan palemahan (aktivitas lingkungan alam sebagai predana dengan segala swadharma
sesuai agama Hindu) secara sekala (kenya- yang patut dilaksanakan sebagai seorang
taan) maupun secara nisekala (keyakinan atau predana.
gaib).
b. Keberlanjutan Kewajiban dan Hak
Untuk memudahkan dalam memahami me-
ngenai kedudukan para pihak serta tanggung Anak pertama pasangan suami istri Pihak
jawab yang harus dilaksanakan bagi para Pertama dan Pihak Kedua, melanjutkan garis
pihak sesudah perkawinan dilangsungkan, keturunan Pihak pertama dan pihak kedua
berikut dikutip sebagian pasobayan mawa- sesuai kesepakatan serta leluhurnya, dalam
rang, seperti contoh di bawah ini. kedudukan sebagai cucu marep purusa (cucu
utama dan berstatus purusa) dengan segala
a. Kedudukan Suami Istri Sesudah kewajiban dan hak-hak yang menyertainya,
Perkawinan sesuai hukum adat Bali dan awig-awig yang
Dalam perkawinan pada gelahang, sesudah berlaku di desa Pakraman.
perkawinan dilangsungkan pada dasarnya Anak kedua dan seterusnya dari pasangan
tidak merubah status dan kedudukan masing- suami istri Pihak Pertama dan Pihak Kedua,
masing yang melangsungkan perkawinan, melanjutkan garis keturunan Pihak ...... serta
pihak pertama (suami) dan pihak kedua (istri) leluhurnya, dengan segala kewajiban dan hak-
tetap berkedudukan sebagai purusa di rumah hak yang menyertainya, sesuai hukum adat
masing-masing lingkungan keluarganya, de- Bali dan awig-awig yang berlaku di desa
ngan segala kewajiban dan hak seorang Pakraman Pihak ........). Apabila pasangan
purusa,sesuai hukum adat Bali dan awig-awig suami istri Pihak Pertama dan Pihak Kedua
yang berlaku di desa Pakraman setempat. hanya dikaruniai satu orang anak atau tidak
Oleh karena itu perkawinan ini merupakan dikaruniai anak, maka demi keberlanjutan
bentuk perkawinan baru, yang berbeda dengan kewajiban dan hak-haknya, pasangan suami
perkawinan yang pernah ada sebelumnya, istri ini dimungkinkan mengangkat anak
khususnya perkawinan nyentana. Sebagaima- sesuai hukum adat Bali dan awig-awig yang
na diketahui bahwa dalm perkawinan bentuk berlaku di desa Pakraman setempat.
nyentana ini, status laki-laki suami berubah
Perkawinan Pada Gelahang Merupakan
menjadi perempuan, sedangkan status perem-
Kebutuhan Masyarakat Hukum Adat Bali
puannya menjadi laki-laki.
Dalam perkawinan adat Bali, salah satu
Konsekwensi Kedudukan Purusa terhadap fase penting yang harus dilewati sebelum
Kewajiban dan Hak memasuki jenjang perkawinan disebut mage-
Pihak Pertama memiliki kewajiban dan hak lanan (berpacaran atau bertunangan). Gelan
penuh sebagai purusa terhadap kelangsungkan artinya, pacar atau tunangan. Apabila proses
parhyangan, pawongan dan palemahan orang magelanan (berpacaran) berjalan mulus, akan
tua dan leluhur Pihak Pertama, sesuai hukum dipilih perkawinan dengan cara memadik
adat Bali dan awig-awig yang berlaku di desa (meminang). Sebaliknya, apabila proses mage-

111
Putu Dyatmikawati

lanan berjalan kurang mulus (dua sejoli saling Untuk mengetahui perkembangan terakhir
mencintai, tetapi hubungan mereka tidak jumlah pasangan suami istri yang melang-
direstui oleh orang tua salah satu pihak), maka sungkan perkawinan pada gelahang, sejak
mereka akan melangsungkan perkawinan bulan Januari tahun 2012, penulis mempelajari
dengan cara ngarorod (lari bersama). catatan konsultasi di Bali Shanti,9Berdasarkan
Berdasarkan hasil penelitian Windia, dkk penelitian tahun 2012, ditemukan 51 pasangan
dari Pershada Bali (2008), dapat diketahui suami istri yang melangsungkan perkawinan
bahwa di Bali ditemukan 28 pasangan suami pada gelahang, tampak seperti dalam tabel di
istri yang melangsungkan perkawinan pada bawah ini.
gelahang di Bali, tersebar di seluruh Bali, Tabel 2
seperti tampak dalam tabel di bawah ini. Jumlah Pasangan Perkawinan
Semua pasangan yang memilih bentuk perka- PadaGelahang di Bali (2012)
winan pada gelahang, melangsungkan perka- NO. KABUPATEN JUMLAH
winan dengan cara memadik. 1. Jemberana 7
2. Tabanan 19
Tabel 1
3. Badung 1
Jumlah Pasangan Perkawinan
PadaGelahang di Bali (2008) 4. Denpasar 6
NO KABUPATEN JUMLAH 5. Gianyar 7
1. Jemberana 4 6. Klungkung 4
2. Tabanan 8 7. Bangli 1
3. Badung 1 8. Karangasem 2
9. Buleleng 4
4. Denpasar 5
JUMLAH 51
5. Gianyar 5
6. Klungkung 1 Sumber: Diolah berdasarkan penelitian
7. Bangli 0 sampai bulan Mei 2012.
8. Karangasem 1
Apabila pelaksanaan perkawinan pada
9. Buleleng 3 gelahang sebelum tahun 2008 dibandingkan
JUMLAH 28 dengan perkawinan serupa yang dilangsung-
kan sesudah tahun 2008, tampak jelas bahwa
Sumber: Hasil penelitian Pershada Bali, pelaksanaan perkawinan pada gelahang di
Nopember 2008. Bali cendrung mengalami peningkatan hanya
28 pasangan, sementara sesudah tahun 2008
Memperhatikan tabel di atas dapat di- meningkat menjadi 51. Peningkatan yang
ketahui bahwa di Kabupaten Tabanan paling cukup signifikan terjadi sesudah tahun 2012,
banyak pasangan yang memilih bentuk perka- karena masing-masing keluarga hanya mem-
winan pada gelahang (8 pasangan). Disusul 9
Kabupaten Gianyar dan Kota Denpasar (ma- Bali Shanti adalah Lembaga Konsultasi Adat dan
Budaya Bali, merupakan salah satu unit kegiatan
sing-masing 5 pasangan), kemudian Kabu- Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat
paten Jemberana (4 pasangan), Kabupaten Universitas Udayana. Didirikan tahun 2008. Sebagian
Buleleng (3 pasangan). Berikutnya Kabupaten data pasangan suami istri yang melangsungkan
Karangasem dan Kabupaten Klungkung (ma- perkawinan pada gelahang tercatat di lemabaga ini,
sing-masing 1 pasangan), dan terkahir di karena umumnya sebelum melangsungkan perkawinan,
mereka konsultasi di Bali Shanti dan ayu nulus . Data
Kabupaten Bangli tidak ditemukan adanya tambahan didapat dengan menggunakan teknik
pasangan suami istri yang memilih bentuk snowball sampling, yaitu dengan menjadikan salah satu
perkawinan pada gelahang. pasangan suami istri yang telah melangsungkan
perkawinan pada gelahang sebagai informan kunci (key
informan).

112
Perkawinan Pada Gelahang Dalam Masyarakat Hukum Adat Di Provinsi Bali Ditinjau Dari Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan

punyai anak laki/anak perempuan. Apabila bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
dilihat dari tahun dilangsungkannya perka- Yang Maha Esa (Pasal 1 Undang-undang
winan pada gelahang, tampak seperti tergam- Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
bar dalam tabel di bawah ini. Berdasarkan definisi tersebut tampak tujuan
Seperti telah dikemukakan di atas bahwa perkawinan adalah membentuk keluarga
pelaksanaan perkawinan pada gelahang, cen- (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
derung mengalami peningkatan dari tahun ke berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
tahun. Berdasarkan data tahun 2012, kembali Dalam hal ini mengandung arti bahwa
Kabupaten Tabanan menempati ranking tera- pasangan suami istri yang melangsungkan
tas dengan 19 pasangan pengantin yang me- perkawinan haruslah bertujuan mewujudkan
milih bentuk perkawinan pada gelahang. keluarga (rumahtangga) yang bahagia materiil
Disusul Kabupaten Gianyar dan Kabupaten spirituil guna menuju perkawinan yang kekal
Jemberana masing-masing 7 pasangan, kemu- dan abadi. Untuk itu suami istri haruslah
dian Kota Denpasar 6 pasangan, Kabupaten saling membantu dan melengkapi agar
Klungkung dan Kabupaten Buleleng, masing- masing-masing mengembangkan kepribadian-
masing 4 pasangan. Berikutnya Kabupaten nya untuk mencapai kesejahteraan dan keba-
Karangasem 2 pasangan, disusul kemudian hagiaan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Kabupaten Bangli dan Kabupaten Badung, Esa.
masing-masing masing-masing 1 pasangan Untuk mencapai tujuan itu, perkawinan
suami istri yang memilih bentuk perkawinan tidak dapat dilakukan secara sembarangan,
pada gelahang. Adanya peningkatan pasangan melainkan harus memenuhi persyaratan ter-
suami istri yang memilih bentuk perkawinan tentu. Persyaratan perkawinan diatur dalam
ini dapat ditafsirkan bahwa bentuk perkawinan Pasal 6 sampai Pasal 12 Undang-undang
ini memang dapat diterima oleh masyarakat, Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
mungkin karena dianggap sejalan dengan Secara garis besar dapat dikemukakan bahwa
konsep kesetaraan antara laki-laki dan perem- persyaratan perkawinan terdiri dari (1) adanya
puan atau karena pasangan yang dimaksud persetujuan kedua mempelai, (2) ijin dari
tidak mungkin memilih bentuk perkawinan orang tua, dan (3) ketentuan tentang batas
biasa dan bentuk perkawinan nyentana. umur perkawinan.
Berdasarkan hasil peneleitian ini dapat Ditegaskannya syarat bahwa perkawinan
dikemukakan bahwa hampir semua pasangan harus di dasarkan kepada persetujuan kedua
yang memilih bentuk perkawinan pada gela- calon mempelai, maka cara-cara pemaksaan
hang, karena mereka tidak mungkin memilih dalam pelaksanaan perkawinan tidak dibenar-
bentuk perkawinan biasa dan perkawinan kan lagi, seperti perkawinan melegandang
nyentana. yang dimasa lalu sering terjadi.
Mengenai persetujuan kedua mempelai dan
Keabsahan Hukum Perkawinan Pada ijin orang tua, yang diatur dalam Pasal 6,
Gelahang Ditinjau dari Undang-undang selengkapnya berbunyi sebagai berikut.
Nomor 1 Tahun 1974 (1) Perkawinan harus didasarkan persetujuan
kedua calon mempelai.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
(2) Untuk melangsungkan perkawinan seo-
tentang Perkawinan yang mulai berlaku secara
rang yang belum mencapai umur 21 (dua
efektif pada tanggal 1 Oktober tahun 1975,
puluh satu) tahun harus mendapat izin
bertujuan untuk memantapkan peraturan di
kedua orang tua.
bidang perkawinan secara nasional. Pengertian
(3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang
perkawinan dalam Undang-undang Nomor 1
tua telah meninggal dunia atau dalam
Tahun 1974 tentang perkawinan, diserumus-
keadaan tidak mampu menyatakan kehen-
kan sebagai berikut. Perkawinan ialah ikatan
daknya, maka izin dimaksud ayat 2 pasal
lahir batin antara seorang pria dan seorang
ini cukup diperoleh dari orang tua yang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan
mampu menyatakan kehendaknya.
membentuk keluarga (rumah tangga) yang

113
Putu Dyatmikawati

(4) Dalam hal kedua orang tua telah meni- Pasal 8


nggal dunia atau dalam keadaan tidak Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
mampu untuk menyatakan kehendaknya, a. Berhubungan darah dalam garis keturunan
maka izin diperoleh dari wali, orang yang lurus kebawah ataupun keatas.
memelihara atau keluarga yang mempu- b. Berhubungan darah dalam garis keturunan
nyai hubungan darah dalam garis ketu- menyamping yaitu antara saudara.
runan lurus keatas selama mereka masih c. Berhubungan semenda, yaitu anak tiri,
hidup atau dari orang tua yang mampu menantu dan ibu/bapak tiri.
menyatakan kehendaknya. d. Berhubungan susuan, yaitu orang tua
(5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara susuan, anak susuan, saudara susuan dan
orang-orang yang disebut dalam ayat 2,3 bibi/paman susuan.
dan 4 pasal ini, atau salah seorang atau e. Berhubungan saudara dengan istri atau
lebih diantara mereka tidak menyatakan sebagai bibi atau kemenakan dari istri
pendapatnya, maka Pengadilan dalam dalam hal seorang suami beristri lebih dari
daerah hukum tempat tinggal orang yang seorang.
akan melangsungkan perkawinan atas f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya
permintaan orang tersebut dapat membe- atau peraturan lain yang berlaku, dilarang
rikan izin setelah lebih dahulu mendengar kawin.
orang-orang tersebut dalam ayat 2,3 dan 4
pasal ini. Terkait dengan sahnya perkawinan, diatur
(6) Ketentuan tersebut ayat 1 sampai dengan dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 1
ayat 5 pasal ini berlaku sepanjang hukum Tahun 1974 tentang Perkawinan. Selengkap-
masing-masing agamanya dan keperca- nya menentukan sebagai berikut.
yaannya itu dari yang bersangkutan tidak Pasal 2
menentukan lain.
(1) Perkawinan dikatakan sah bila dilakukan
Syarat ketiga yang tidak kalah pentingnya menurut hukum masing-masing agama
adalah mengenai batas umur untuk perka- dan kepercayaanya.
winan. Berdasarkan Pasal 7, perkawinan ha- (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
nya dizinkan jika calon mempelai pria sudah peraturan perundang-undangan yang ber-
mencapai umur 19 (sembian belas) tahun dan laku.
calon mempelai wanita sudah mencapai umur
16 (enam belas) tahun. Penyimpangan terha- Ketentuan Pasal 2 di atas, diatur lebih
dap ketentuan ini hanya dimungkinkan bila lanjut dalam Pasal 3 Peraturan Pemeritah
ada dispensasi dari Pengadilan atau pejabat Nomor 9 Tahun 1975 menentukan “Setiap
lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak orang yang akan melangsungkan perkawinan
pria maupun wanita. memberitahukan kehendaknya itu kepada
Hal lain yang juga perlu dipahami terkait Pegawai Pencatatan di tempat perkwinan akan
dengan pelaksanaan perkawinan berdasarkan dilangsungkan” (ayat 1). “Pemberitahuan ter-
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tetang sebut dalam ayat 1 dilakukan sekurang-
Perkawinan adalah adanya larangan perka- kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum
winan. Dalam hubungan dengan larangan perkawinan dilangsungkan” (ayat 2). Ketentu-
perkawinan, tampak ada ketentuan yang mirip an ini sampai sekarang tidak berlaku efektif di
antara Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Bali, baik untuk perkawinan biasa, perka-
tentang Perkawinan dengan ketentuan dalam winan nyentana, maupun perkawinan pada
hukum adat Bali. Dalam arti, keduanya me- gelahang.
ngatur tentang larangan perkawinan secara Terlepas dari kenyataan perkawinan didaf-
tegas. Tentang hal ini, Pasal 8 Undang-undang tarkan atau tidak, perkawinan dianggap sah
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menurut hukum adat Bali (perkawinan biasa,
menentukan sebagai berikut. perkawinan nyentana, dan perkawinan pada
gelahang), bila memenuhi triupasaksi (tiga

114
Perkawinan Pada Gelahang Dalam Masyarakat Hukum Adat Di Provinsi Bali Ditinjau Dari Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan

kesaksian), yang terdiri dari: (1) Bhuta saksi Sukarta dan Lelly Nawaksari. (Lihat lampiran
(bersaksi kepada bhutakala, dengan menggu- 4 Akta Perkawinan Nawaksari).
nakan upacara tertentu sesuai ajaran Hindu. Atas kerancuan pilihan bentuk perkawinan
(2) Manusa saksi (disaksikan oleh keluarga ini, akhirnya Ni Made Sudiasih (ibu tiri Lelly
dan masyarakat yang ditandai kehadiran Nawaksari) menggugat keabsahan akta perka-
prajuru atau perangkat pimpinan desa Pakra- winan dengan status “sama-sama purusa” ke
man dan suaran kulkul atau bunyi kentongan). pengadilan, seperti telah diuraikan secara
(3) Dewa saksi (bersaksi kepada Tuhan, de- singkat pada Sub Bab 3.1 Pelaksanaan Perka-
ngan menggunakan upacara tertentu sesuai winan Pada Gelahang di atas, khususnya
ajaran Hindu). Sesudah upacara perkawinan dalam pembahasan mengenai Permasalahan
dengan tri upasaksi, kemudian dilanjutkan Perkawinan Pada Gelahang. Pengadilan
dengan penyelesaian administrasi perkawinan, Negeri Denpasar mengabulkan gugatan pe-
untuk mendapatkan akta perkawinan, sesuai nggugat berdasarkan Putusan No. 273/Pdt.G/
dengan undang-undang perkawinan. 2008/PN.Dps tanggal 06 Nopember 2008,
Berdasarkan uraian di atas dapat dikemu- yang dikuatkan dengan Putusan Pengadilan
kakan, bahwa pelaksanaan perkawinan pada Tinggi Denpasar No. 74/Pdt/2009/PT.Dps
gelahang tidak bertentangan dengan Undang- tanggal 19 Agustus 2009.
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perka- Di t ingkat kasasi, Mahkamah Agung
winan. Baik dilihat dari ketentuan tentang dalam putusannya No. 1331 K/Pdt12010,
persyaratan perkawinan, pelaksanaan perkawi- tanggal 30 September 2010, membatalkan
nan, dan syahnya perkawinan. Perkawinan putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No.
pada gelahang baru dapat dilaksanakan, 27/Pdt/ 20091PT.Dps tanggal 18 Agustus
sesudah segala persyaratan perkawinan seperti 2009 yang menguatkan putusan Pengadilan
yang diwajibkan oleh Undang-undang Nomor Negeri Denpasar No. 273/Pdt.Gl2008/PN.Dps
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dapat tanggal 06 Nopember 2008, dan menyatakan
dipenuhi. Kalau ada persyaratan perkawinan hukum bahwa perkawinan dengan status
yang tidak dipenuhi, ada dua konsekwensi “sama-sama purusa” adalah sah menurut
yang muncul. Perkawinan dapat dibatalkan hukum, dan menyatakan bahwa Akta Perka-
tergantung jenis persyaratan yang tidak winan Nomor: 130/MG/1990, tanggal 31
dipenuhi atau dilanggar. Desember 1990 adalah sah menurut hukum.
Pada umumnya Dinas Kependudukan dan Memperhatikan putusan Mahkamah Agung
Catatan Sipil Kabupaten/Kota yang ada di tersebut, maka secara jelas dapat dikatakan
Bali, berkeberatan mengeluarkan akta perka- bahwa keabsahan yuridis perkawinan pada
winan bagi pasangan suami istri yang memilih gelahang tidak perlu dipertanyakan lagi, sebab
bentuk perkawinan pada gelahang. Oleh kare- kpetusan Mahkamah Agung merupakan kepu-
na itu, pasangan suami istri yang melang- tusan lembaga peradilan tertinggi di Indoensia.
sungkan perkawinan pada gelahang, pada Di samping itu pengakuan terhadap hukum
umumnya melaporkan bentuk perkawinan adat oleh negara dilakukan sepanjang tindak
biasa atau perkawinan nyentana. Hal ini bertentangan dengan kepentigan nasio-nal
dimaksudkan untuk memudahkan menyelesai- yang lebih luas, sehingga penyesuaian awig-
kan administrasi perkawinan termasuk menda- awig dengan memberikan pengakuan terhadap
patkan akta perkawinannya. perkawinan pada geahang cukup memiliki
Satu-satunya Dinas Kependudukan dan alasan hukm yang kuat. Oleh karena itu
Catatan Sipil yang berani menerbitkan akta dengan meperhatikan putusan Mahkamah
perkawinan dengan status “sama-sama kapu- Agung di atas, maka permasalahan penyele-
rusa” adalah Dinas Kependudukan dan Cata- saian administrasi perkawinan pada gelahang,
tan Sipil Kabupaten Karangasem. Akta perka- seharusnya tidak perlu terjadi, dengan kata
winan yang dimaksud adalah Akta Perkawinan lain seharusnya tidak ada permasalahan admi-
Nomor: 130/MG/1990, tanggal 31 Desember nistrasi terkait dengan perkawinan pada gela-
1990 atas nama pasangan suami istri Ketut hang, seandainya semua pihak, khususnya

115
Putu Dyatmikawati

pegawai atau Pejabat Pemerinah Propinsi, internasional, pengaruh negara donor, dan lain
Kantor Catatan Sipil, memahami perkem- sebagainya10.
bangan teori hukum modern, misalnya ajaran Menetralkan hukum positif dari nilai-nilai
hukum progresif, bahwa hukum tidak hanya yang berasal dari luar norma hukum, sama
apa tertulis dalam undang-undang, tetapi juga dengan artinya menafikan keberadaan masya-
hukum yang hidup dalam masyarakat yang rakat dan budayanya sebagai landasan sosio-
terus mengalami perkembangan. Bahkan de- logis terbentuknya aturan hukum tersebut,
ngan perkembangan yang ada di dalam sebab bagaimanapun juga hukum positif lahir,
masyarakat, tidak jarang pelaksanaan hukum tumbuh, dan berkembang hanya disebabkan
tertulis disimpangi, atau keluar dari frame oleh keberadaan masyarakat dengan segala
hukum positif yang tertulis. perilakunya. Oleh karena penakuan terhadap
Penolakan pegawai catatan sipil yang perkawinan pada gelahang merupakan sebuah
menolak melakukan pencatatan perkawinan keharusan manakala tidak ingin mencederai
pada gelahang sebenarnya tidak perlu dilaku- rasa keadilan masyarakat, sebab bagaimana-
kan, manakala pegawai pencatat perkawinan pun juga fenomena perkawinan pada gelahang
tersebut atau pihak-pihak yang berkompeten sudah merupakan gejala masyarakat yang
dapat memahami perkembangan teori-teori sudah tidak mungkin dinafikan.
hukum yang berkembang pada saat ini, khu- Dalam pandanganutilitarian memandang
susnya teori-teori hukum kontemporer yang bahwa, hukum merupakan sarana untuk me-
memandang hukum tidak lagi sebagai semata- wujudkan kesejahteraan, Jeremy Bentham,
mata apa yang tertulis di dalam undang- yang menyatakan pendapatnya bahwa tujuan
undang, melainkan juga apa yang hidup di hukum adalah untuk mewujudkan apa yang
dalam masyarakat, seperti aliaran critical legal disebut sebagai “the greatest happiness for
studies, rejection legal formalism atau aliran the greatest numbers of people”, hukum harus
realism, aliran utlilitarian dan lain sebagainya. memberikan kebahagiaan yang sebesar-
Sebagai gambaran bagaimana pandangan besarnya untuk sebanyak-banyaknya orang.
hukum atau aliran baru dalam memandang Oleh karena itu tujuan hukum positif harus
norma hukum positif sebagai norma yang mengupayakan bagi terwujudnya kebahagiaan
harus dipatuhi secara ketat diuraikan pada sebagaian besar masyarakat, dan untuk menca-
paparan di bawah ini. pai kebahagiaan, maka hukum positif harus
Hukum positif tidak selalu normative dan mewujudkan 4 sasaran, yang meliputi:
bebas nilai, hukum positif tidak harus di- a. to provide subsistence (memberi nafkah
anggap sebagai sebuah kebenaran yang hidup);
mutlak, hukum positif banyak mengandung b. to provide abundance (memberikan maka-
kelemahan atau cacatnya. Oleh karena itu nan yang cukup);
hukum positif terbuka bagi intervensi nilai- c. to provide security (memberikan perlin-
nilai lain di luar hukum, sehingga sangat dungan);
dimungkinkan hukum positif itu dikritisi, dan d. to attain equality (mencapai persamaan).
bahkan untuk dirubah, dan perubahan itu dapat Pandangan Bentham ini juga diperkuat oleh
dilakukan melalui putusan-putusan hukum. John Stuartmil, dengan menyatakan, bahwa
Sesuai dengan pendapat tersebut Nyoman keliru apabila hukum bertujuan untuk menca-
Nurjaya menyatakan, bahwa hukum positif itu pai kebalikan dari kebahagiaan, dengan per-
tidak netral, setidak-tidaknya sejak saat nyataanya sebagai berikut:”actions are right
pembentukan hukum (law making process), in proportion as they tend to promote an
pelaksanaan hukum (law implementation/law happiness, and wrong as they tends to pro-
application), sampai dengan penegakan hu- mote the reverse of happiness (tujuan itu
kum (law enforcement), tidak dapat dilepaskan
dari pengaruh-pengaruh kekuasaan, politik, 10
Disarikan dari diskusi pada sesi kuliah dengan I
ekonomi, sosial, budaya, idiologi, realitas Nyoman Nurjaya dalam matrikulasai mata kuliah
Politik Hukum, Program Studi Doktor Ilmu Hukum,
Universitas Brawijaya, Malang, Juli-Agustus, 2006.

116
Perkawinan Pada Gelahang Dalam Masyarakat Hukum Adat Di Provinsi Bali Ditinjau Dari Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan

hendaknya ditujukan pada pencapaian kebaha- bahwa hukum untuk manusia dan bukan
giaan, dan keliru apabila ia menghasilkan sebaliknya, hukum tidak hanya menerima
sesuatu yang merupakan kebalikan dari keba- hukum sebagai institusi yang mutlak serta
hagiaan)”. Fungsi hukum menurut Ivor Jhe- final, dan harus ditaati. Hukum sangat diten-
ring sebagai:”the function of the law to scure tukan oleh kemampuan untuk mengabdi kepa-
and to maintain the fundation of social life, da manusia, jadi hukum seharusnya menye-
esensi hukum merupakan kehendak nyata suaikan dengan kebutuhan masyarakat. Demi-
untuk melindungi kepentingan kehidupan ber- kian juga terkait dengan awig-awig masya-
sama dan kepentingan individu, melalui koor- rakat adat Bali, bahwa sehubungan dengan
dinasi diantara kedua jenis kepentingan ter- kenyataan bahwa perkawinan pada gekahang
sebut, dan dengan koordinasi, maka konflik sebagai fenomena yang tidak dapat dihindari,
dapat dicegah. Selanjutnya dikatakan Jhe- maka awig-awig seharusnya disesuaikan de-
ring:”the law aims at the good of society, ngan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
hukum diarahkan untuk membentuk masya- tersebut.
rakat yang baik, dan kepentingan masyarakat Hukum progresif ditujukan untuk melindu-
harus didahulukan dari kepentingan hukum. ngi rakyat menuju ideal hukum dan menolak
Memperhatikan paparan perkambangan status quo, serta tidak ingin menjadikan hu-
teori-teori hukum baru di atas, sudah saatnya kum sebagai teknologi yang tidak bernurani,
bagi aparat pelaksana hukum dan aparat melainkan suatu institusi yang bermoral.
penegak hukum dalam menjalankan fungsinya Konsep pemikiran tersebut ditawarkan untuk
tidak hanya berpedoman secara kaku pada diimplementasikan dalam tataran agenda
norma perundag-undangan formal, tetapi juga akademia dan agenda aksi”.11
harus memperhatikan nilai-nilai yang hidup Dalam pandangan hukum progersif, hukum
dan berkembang di dalam masyarakat. Dengan tidak tidak dipandang sebagai institusi yang
demikian diharapkan apa yang dijalankan oleh mutlak serta final, melainkan sangat ditentu-
aparat pelaksana dan aparat penegak hukum kan oleh kemampuanya untuk mengabdi kepa-
sesuai dengan keinginan masyarakat, sebab da manusia. Berdasarkan pemikiran tersebut,
bukankah hukum positif itu merupakan produk hukum selalu berada dalam proses untuk terus
yang tidak sempurna. menjadi. Perkawinan pada gelahang meru-
Penolakan atau keragu-raguan pejabat pen- pakan salah satu bentuk hukum perkawinan
catat perkawinan terhadap pasangan suami yang terus berproses, hukum adalah isntitusi
istri yang melangsungkan perkawinan pada yang secara terus menerus membangun dan
gelahang dengan dasar hukum adat belum mengubah dirinya menuju kepada tingkat
nengatur, tentunya tidak atau kurang tepat, kesempurnaan yang lebih baik. Kualitas
sebab Undang-undang Nomor 1 Tahun l974 kesempuranaan itu bisa dievaluasi ke dalam
tentang Perkawinan melalui Pasal 2 ayat (2) faktor-faktor keadilan, kesejahteraan, kepedu-
memerintahkan mencatat setiap perkawinan lian kepada rakyat dan lain-lain. Inilah
yang dilangsungkan ssuai dengan hukum adat “hakekat hukum” yang selalu dalam proses
dan kepercayaam masing-masing, dan sebagai menjadi” (law as a process, law in the ma-
mana diketahui dalam perkawinan pada gela- king”). Hukum tidak ada untuk hukum itu
hang tidak melanggar kepercayaan dan keya- sendiri, tetap untuk manusia.12
kinan masyarakat Bali, permasalahanya hanya Bentuk akta yang mungkin sedikit bebeda
awig-awig sebagai pranata adat tidak atau dengan akta perkawinan dalam perkawinan
belum mengatur saja. adat Bali sebenarnya bukan merupakan bentuk
Keluwesan Undang-undang Nomor 1 pelanggaran terhadap hukum perkawinan, da-
Tahun l974 tentang Perkawinan juga merupa-
kan bentuk toleransi dan akomodasi terhadap 11
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sebuah Sintesa
kemajemukan masyarakat Indonesia. Dalam Hukum Indonesia, Genta Publishing, Cet.Pertama,
pandangan pemuka-pemuka teori hukum pro- Yogyakarta, 2009, hlm. 1.
gersif yang mendasarkan pada asumsi dasar 12
Ibid.

117
Putu Dyatmikawati

lam hal ini Undang-undang Nomor 1 Tahun diwarisi oleh orang tuanya atau bila tidak ada
l974 tentang Perkawinan, maupun Peraturan kemudian saudara-saudara pewaris sendiri.
Pemerintah Nomor 9 Tahun l975 tentang Hal tersebut juga sesuai dengan penggolongan
Peraturan Pelaksanaan Undang-ndang Nomor ahli waris dalam hukum adat Bali yakni
1 Tahun l974 tentang Perkawinan. Sebab berdasarkan garis pokok keutamaan dan garis
perbedaan itu hanya terletak pada tambahan pokok pengganti seperti yang telah diuraikan
catatan adanya status para pihak dalam per- pada Bab II. Bila tidak ada keturunan, segala
kawinan, yaitu purusa atau predana. kewajiban atau swadharma dan harta warisan
Dalam perspektif Undang-undang Nomor diteruskan kepada ayah pewaris apabila tidak
39 Tahun l999 tentang Hak Asasi Manusia, ada, baru kemudian kepada saudara pewaris.
bentuk dan isi akta perkawinan adat Bali tidak Ketentuan tentang pembagian warisan ini
melanggar hak asasi, bahkan hal ini me- apaila dikaitkan dengan teori receptio in
nunjukan adanya kekahasan masyarakat Bali, complexu yang diperkenalkan oleh Lode-
kekhasan hukum adat dan masyarakat Bali, wijstian van den Berg (1884), tentunya sangat
dan sekaligus sebagai wujud keberagaman sesuai. Dalam perspektif teori hukum,
yang merupakan karakter masyarakat Indo- pembagian warisan demikian dapat dianggap
nesia. Keberagaman sudah diakui sebagai sah-sah saja, sebab dalam konsepsi teori
bagian dari bangsa Indonesia, dan justru kalau hukum modern, kepastian hukum tidak sela-
akta perkawinan bagi masyarakat adat Bali manya menjadi tujuan utama hukum, keadilan
diseragamkan dalam pengertian tidak dibeda- dan kemanfaatan pada akhirnya menuntut
kan dengan akta perkawinan yang digunakan porsi yang lebih besar, utamanya dalam
dalam perkawinan biasa, justru akan mele- masyarakat modern. Bahkan dalam konteks
mahkan keberagaman sebagai corak masya- negara hukum Indonesia, kearifan lokal sema-
rakat dan bangsa Indoensia tergambarkan kin memperoleh tempat yang proporsional,
dalam semangat “bhineka tunggal ika”. artinya hukum itu hanya akan mencapai
tujuanya manakala sesuai dengan rasa kea-
PelaksanaanTanggung Jawab Suami Istri dilan masyarakatnya. Kaitan pembagian wari-
pada Keluarga dalam PerkawinanBiasa, san di atas, sepanjang sesuai dengan rasa
Nyeburin dan Pada Gelahang keadilan masyarakat adat di Bali, bagai-
manapun pembagian warisan tersebut di-
Berbicara hukum adat Bali, khususnya
anggap wajar, dan tidak perlu dipersoalkan.
tentang warisan, akan memunculkan kesan
seolah-olah hukum adat Bali kurang membe- Hukum adat Bali menempatkan tanggung
jawab atau swadharma di atas hak atau
rikan keadilan, terutama kepada kaum perem-
swadikara. Dalam konteks pewarisan, hal ini
puan. Hal ini mudah dimengerti, karena dalam
mengandung arti, keturunan atau anak atau
kenyataannya perempuan Bali memang tidak
ahli waris yang lainnya, berhak mewaris,
berhak atas warisan, kecuali yang bersngkutan
kalau yang bersangkutan melaksanakan segala
berstatus purusa. Hal ini sejalan dengan aturan
kewajiban dan tanggung jawabnya sebagai
pembagian warisan berdasarkan Paswara 13
ahli waris, sesuai ajaran agama Hindu.
Oktober 1900. Hal ini juga sejalan dengan
Sebaliknya manakala kewajiban dan tanggung
ketentuan Kitab Manawadharmasatra IX.185
jawabnya sebagai ahli waris, sesuai ajaran
yang menentukan sebagai berikut: Bukannya
agama Hindu tidak dilaksanakan dikenal
saudara dari ayah, ataupun bukannya ayah
dengan istilah ninggal kedaton, maka hak
dari pada ayah melainkan anak-anak laki-
mewarisnya dinyatakan gugur dan orang yang
lakinya sendirilah yang berhak atas harta
bersangkutan tidak berhak atas warisan
warisan, ayah dari pada ayah hanya berhak
keluarga. Dalam awig-awig desa pakraman.
atas harta warisan anaknya yang tidak ber-
Dalam kenyataannya, hal ini belum tampak
putra, demikian pula saudara-saudaranya.
dan belum diatur dalam awig-awig desa
Pasal IX.185 mengandung makna, bahwa
pakraman, terutama dalam awig-awig tertulis.
harta warisan bersifat menurun diantara ketu-
Untuk itu, desa pakraman patut memiliki
runannya. Hanya bila tidak ada anak baru

118
Perkawinan Pada Gelahang Dalam Masyarakat Hukum Adat Di Provinsi Bali Ditinjau Dari Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan

keberanian merevisi awig-awig nya dan tentang desa pakraman, antara lain: membuat
mengadopsi keputusan Pesamuhan Agung awig-awig, mengatur krama desa, bersama-
MDP Bali, sehingga awig-awig desa pakra- sama pemerintah melaksanakan pembangunan
man sebagai bagian hukum adat Bali, meme- di segala bidang terutama dibidang keagama-
nuhi unsur tujuan hukum seperti dikons- an, kebudayaan dan kemasyarakatan, membi-
truksikan Gustav Radbruch, yaitu keadilan, na dan mengembangkan nilai-nilai budaya
finalitas, dan kepastian. Terlepas dari hal itu, Bali dalam rangka memperkaya, melestarikan,
penelitian lebih lanjut terkait dengan hal ini dan mengembangkan kebudayaan nasonal
tentunya menarik untuk dilakukan, mengingat pada umumnya dan kebudayaan daerah pada
perkawinan pada gelahang merupakan feno- khususnya berdasarkan paras-paros, sagilik-
mena yang relatif baru. saguluk,salunglung-sabayantaka atau musya-
warah-mufakat, mengayomi krama desa.
Pelaksanaan Tanggung Jawab Suami Istri Penjabaran lebih lanjut dari tugas dan
pada Masyarakat dalam Perkawinan Biasa, wewenang desa pakraman sebagaimana diten-
Nyeburin dan Pada Gelahang tukan dalam Perda Nomor 3 tahun 2001 di
atas, dituangkan dalam awig-awig desa pakra-
Dalam hal ini yag dimaksud masyarakat
man. Untuk memudahkan dalam memahami
adalah masyarakat hukum adat yang ada di
tanggung jawab atau swadharma pasangan
Provinsi Bali, yang dikenal dengan desa adat
suami istri terhadap masyarakat (dalam hal ini
atau desa pakraman. Eksistensinya diakui
desa adat atau desa pakraman) sesudah
dalam sistem pemerintahan Negara Repubilik
melangsungkan perkawinan, berikut dikemu-
Indonesia menurut ketentuan Pasal 18 B
kakan beberapa contoh awig-awig desa pakra-
Undang-undang dasar 1945, seperti telah
man yang mengatur tentang tanggung jawab
dijelaskan dalam Bab II di atas. Keberadaan
warga (krama) desa pakraman.
desa pakraman di Provinsi Bali, diatur
Memperhatikan beberapa ketentuan awig-
berdasarkan Perda Provinsi Bali Nomor 3
awig desa pakraman tentang warga atau
Tahun 2001 tentang desa pakraman.
krama desa seperti dikutip di atas, dapat
Seperti juga telah dikemukakan bahwa
dikemukakan bahwa pada dasarnya awig-awig
yang dimaksud masyarakat hukum adat di
tentang warga desa mengandung beberapa hal,
Provinsi Bali disebut desa adat atau desa
yaitu:
pakraman, merupakan organisasi masyarakat
1. Pengertian tentang warga desa;
Hindu Bali yang berdasarkan kesatuan
wilayah tempat tinggal bersama dan spiritual 2. Mulai menjadi warga desa;
3. Kewajiban yang harus dilaksanakan warga
keagamaan yang paling mendasar bagi pola
desa;
hubungan dan pola interaksi sosial masyarakat
4. Hak-hak warga desa.
Bali. Sebuah desa pakraman, terdiri dari tiga
5. Berhenti menjadi warga desa.
unsur, yaitu: (1) Unsur parahyangan (hal-hal
Hal lainnya yang dapat diketahui dari
dan aktivitas yang berkaitan dengan Ketu-
ketentuan awig-awig tentang warga desa
hanan menurut agama Hindu). (2) Unsur
adalah bahwa setiap warga desa adat memikul
pawongan (hal-hal dan aktivitas yang ber-
kewajiban-kewajiban atau swadharma yang
kaitan dengan warga desa menurut agama
patut dipenuhi atau dilaksanakannya. Kewa-
Hindu). (3) Unsur palemahan (hal-hal dan
jiban yang harus dilaksanakan dapat dikelom-
aktivitas yang berkaitan dengan lingkungan
pokkan menjadi dua, yaitu:
alam desa, menurut agama Hindu).
1. Berupa ayahan (wajib kerja secara fisik).
Penjabaran lebih lanjut mengenai tugas dan
2. Pawedalan (berupa urunan materi).
wewenang desa pakraman, dituangkan dalam
Tanggung jawab suami istri yang melang-
Pasal 5 dan 6 Perda Provinsi Bali Nomor 3
sungkan perkawinan pada umumnya ditentu-
Tahun 2001 tentang desa pakraman, dan awig-
kan di dalam awig-awig desa, hal ini seperti
awig desa pakraman, baik tertulis maupun
yang tercantum di dalam awig-awig Desa
tidak tertulis. Tugas desa pakraman, seperti
Legian, yang di dalam Pawos atau Pasal 3
diatur dalam Pasal 5 Perda 3 Tahun 2001

119
Putu Dyatmikawati

awig-awig Desa Pakraman Legian tersebut Pasal 29


dirumuskan sebagai berikut: (1) Pada waktu atau sebelum perkawinan
Pawos 3 dilangsungkan kedua pihak atas perse-
a. Luir petitis desane: tujuan bersama dapat mengadakan perjan-
b. Mapokukuh miwah ngerajegang Sang jian tertulis yang disyahkan oleh pegawai
Hyang Agama. pencatat perkawinan, setelah mana isinya
c. Nginggilang tata prewertine magama. berlaku juga terhadap pihak ketiga se-
d. Ngerajegang pastikretan lan saba pawo- panjang pihak ketiga tersangkut.
ngania sekala kelawan niskala. (2) Perjanjian tersebut tidak dapat disyahkan
bila mana melanggar batas-batas hukum
Substansi awig-awig tersebut di atas, dan
agama dan kesusilaan.
juga awig-awig pada umumnya, menjelaskan
(3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak
bahwa kewajiban dalam hidup di desa pakra-
perkawinan dilangsungkan.
man pada dasarnya merupakan kewajiban
(4) Selama perkawinan berlangsung perjanji-
sosial yang patut dilaksanakan oleh manusia
an tersebut tidak dapat dirubah, kecuali
sebagai mahkluk sosial yang menginginkan
bila dari kedua belah pihak ada perse-
adanya keserasian dan keseimbangan hidup
tujuan untuk merubah dan perubahan
sebagai landasan untuk mewujudkan ketentra-
tidak merugikan pihak ketiga.
man, keadilan dan kesejahteraan lahir batin
dalam persekutuan bersama, yang dalam
Terkait dengan kewajiban yang harus di-
ungkapan awig-awig desa pakraman, disebut
jalankan oleh pasangan suami istri, diatur
kasukertan desa.
dalam Pasal 30, Pasal 31, Pasal 33 dan pasal
34, yang menentukan sebagai berikut.
Pelaksanaan Tanggung Jawab Suami Istri
pada Keluarga dan Masyarakat terhadap Pasal 30
Perkawinan Pada Gelahang dalam Per- Suami isteri memikul kewajiban yang luhur
spektif Undang-undang Nomor 1 Tahun untuk menegakkan rumah tangga yang
1974 Tentang Perkawinan menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
Berbeda dengan hukum adat Bali yang Pasal 31
menekankan bahwa tanggung jawab suami
istri terhadap keluarga dan masyarakat terdiri (1)Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang
dari tanggung jawab sekala atau kenyataan dengan hak dan kedudukan suami dalam
dan tanggung jawab niskala (keyakinan, kehidupan rumah tangga dan pergaulan
seperti tri rna), tidak demikian halnya dengan hidup bersama dalam masyarakat.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang (2) Masing-masing pihak berhak untuk
Perkawinan. Tanggung jawab sosial spiritual melakukan perbuatan hukum.
pasangan suami istri yang menurut hukum (3) Suami adalah kepala keluarga dan isteri
adat Bali terdiri dari: tanggung jawab terhadap ibu rumah tangga.
parhyangan, tanggung jawab pawongan dan Pasal 33
tanggung jawab palemahan, semuanya
dilaksanakan secara bersama-sama, tanpa Suami isteri wajib saling cinta mencintai,
membedakan mana yang berstatus kapurusa hormat menghormati, setia dan memberi
dan mana yang predana. bantuan lahir bathin yang satu kepada yang
Dalam hubungan dengan harta kekayaan, lain.
pasangan suami istri dimungkinkan untuk Pasal 34
membuat perjanjian kawin, seperti tertuang
dalam pasal 29 undang Nomor 1 Tahun 1974 1. Suami wajib melindungi isterinya dan
tentang Perkawinan, yang menentukan sebagai memberikan segala sesuatu keperluan
berikut. hidup berumah tangga sesuai dengan ke-
mampuannya.

120
Perkawinan Pada Gelahang Dalam Masyarakat Hukum Adat Di Provinsi Bali Ditinjau Dari Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan

2. Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga rakat, tanpa mempersoalkan status kapurusa
sebaik-baiknya. atau predana seperti yang dikenal dalam
3. Jika suami atau isteri melalaikan kewaji- hukum adat Bali.
bannya masing-masing dapat mengajukan Substansi Undang-undang Nomor 1 Tahun
gugatan kepada Pengadilan. 1974 tentang Perkawinan dibandingkan de-
ngan substansi awig-awig desa pakraman
Adanya kesejajaran kedudukan suami istri, sebagai salah satu sumber hukum adat Bali
berpengaruh terhadap kedudukannya terhadap sepanjang yang mengatur mengenai perka-
harta perkawinan, seperti dapat diketahui winan dan tanggung jawab suami istri, tampak
darrti ketentuan Pasal 35, Pasal 36 dan Pasal bahwa ketentuan Undang-undang Nomor 1
37 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Tahun 1974 tentang Perkawinan lebih sesuai
dengan prinsip negara hukum. Hal ini sejalan
Pasal 35
dengan salah satu unsur-unsur negara hukum
(1)Harta benda yang diperoleh selama seperti dikemukakan Sri Soemantri, yaitu
perkawinan menjadi harta bersama. adanya jaminan terhadap hak-hak asasi
(2)Harta bawaan dari masing-masing suami manusia dan warga negara. Hal ini akan
dan isteri dan harta benda yang diperoleh tampak lebih jelas lagi apabila dikaitkan
masing-masing sebagai hadiah atau dengan ketentuan Pasal 28A UUD 1945, yang
warisan, adalah dibawah pengawasan menentukan sebagai berikut. Setiap orang
masing-masing sepanjang para pihak tidak berhak untuk hidup serta berhak memper-
menentukan lain. tahankan hidup dan kehidupannya. Sementara
Pasal 36 itu Pasal 28B menentukan sebagi berikut. (1)
Setiap orang berhak membentuk keluarga dan
(1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri melanjutkan keturunan melalui perkawinan
dapat bertindak atas persetujuan kedua yang sah. (2) Setiap anak berhak atas
belah pihak. kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang
(2) Mengenai harta bawaan masing-masing serta berhak atas perlindungan dari kekerasan
suami dan isteri mempunyai hak sepenuh- dan diskriminasi.
nya untuk melakukan perbuatan hukum Dikaitkan dengan Undang-undang Nomor
mengenai harta bendanya. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
Pasal 37 dan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984
Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskri-
Bila perkawinan putus karena perceraian harta minasi Terhadap Wanita. Pasal 4 Undang-
bersama diatur menurut hukumnya masing- undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
masing. Asasi Manusia menyebutkan adanya bebe-
Memperhatikan beberapa pasal Undang- rapa hak asasi manusia yang bersifat mutlak
undang Perkawinan seperti dikutip di atas, dan dan tidak dapat dikurangi dalam keadaan
bila dikaitkan dengan sistem kekerabatan, apapun dan oleh siapapun. Hak-hak tersebut
dapat dikemukakan beberapa hal asumsi adalah:
bahwa Undang-undang Perkawinan tidak me- 1. hak untuk hidup;
nganut sistem kekerabatan patrinilial, namun 2. hak untuk tidak disiksa;
juga tidak menganut sistem kekeluargaan 3. hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati
parental secara tegas. Artinya, hubungan darah nurani
dilacak berdasarkan garis ibu dan bapak. Hal 4. hak beragama
ini berdampak terhadap kedudukan suami istri 5. hak untuk tidak diperbudak
dan tanggung jawabnya terhadap keluarga dan 6. hak untuk diakui sebagai pribadi dan
masyarakat. Tampak ada kedudukan yang persamaan dihadapan hukum
seimbang antara suami dan istri, dalam 7. hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum
melaksanakan tanggung jawab (swadharma) yang berlaku surut.
baik dalam keluarga maupun dalam masya-

121
Putu Dyatmikawati

Kalau ketentuan Undang-undang Nomor 1 kemampuan untuk mengabdi kepada ma-


Tahun 1974 sepanjang mengatur mengenai nusia.13
tanggung jawab suami istri dalam keuarga dan
masyarakat dapat diatakan sesuai dengan PENUTUP
prinsip negara hukum, tidak demikian halnya Ditinjau dari Undang-undang Nomor 1
dengan substansi awig-awig desa pakraman. Tahun 1974 tentang Perkawinan, bentuk
Sesuai dengan sistem kekerabatan patrilenial perkawinan pada gelahang dalam masyarakat
yang dianut oleh masyarakat Bali yang adat Bali (dalam hal ini suami dan istri
beragama Hindu, maka titik berat swadharma bersatus sama-sama purusa di rumahnya
atau tanggung jawab diletakan pada keluarga masing-masing), memiliki kedudukan hukum
yang berstatus kapurusa dan bukan pada yang sama dengan bentuk perkawinan lainnya
mereka yang berstatus predana. Hal ini (perkawinan biasa dan perkawinan nyentana),
berdampak terhadap swadikara atauhak yang dan tidak bertentangan dengan Undang-
dapat dinikmati oleh mereka yang berstatus undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perka-
predana. Dalam arti, oleh karena tanggung winan, baik dilihat dari persyaratan perka-
jawab yang harus dilaksanakan lebih berat, winan, pelaksanaan perkawinan, mapun syah-
maka hak yang diterima tentu lebih banyak nya perkawinan.
pula. Dalam hubungannya dengan masalah Untuk membuktikan bahwa pasangan yang
pembagian warisan, mengacu kepada Paswara dimaksud melangsungkan perkawinan pada
1900, kaum perempuan (mereka yang ber- gelahang, maka akta perkawinannya disertai
status predana), bahkan tidak berhak atas kesepakatan keluarga yang dikenal dengan
pembagian warisan. perjanjian mawarang, yang menegaskan
Untuk menghindarsi kenyataan yang tanggung jawab atau swadharma yang harus
kurang mencerminkan negara hukum, kurang dilaksanakan oleh pasangan suami istri ini
mencerminkan kesetaraan dalam melaksana- beserta keturunannya sesudah perkawinan
kan tanggung jawab bagi suami istri, kiranya dilangsungkan, baik terhadap keluarga mau-
desa pakraman perlu mengadakan pembe- pun terhadap masyarakat atau desa pakraman.
nahan atau revisi atas awig-awig desa pakra- Tanggungjawab atau swadharma suami
man, terutama awig-awig tertulis. Meminjam dan istri dalam perkawinan pada gelahang,
istilah para penganut teori Critical Legal baik terhadap keluarga maupun terhadap
Studies (CSL) yang diperkenalkan oleh masyarakat, relatif berbeda dengan tanggung
Richard A. Postner (1970-an), perlu diupaya- jawab suami istri yang melangsungkan per-
kan perubahan tafsir hukum, yaitu munculnya kawinan biasa dan perkawinan nyentana.
kekuatan-kekuatan lain di luar dari dominasi Dalam perkawinan pada gelahang, suami dan
hukum modern yang bersifat individual, istri melaksanakan tanggung jawab atau
liberal, kapitalistik dan semakin meluasnya swadharma yang seimbang terhadap keluarga
peran serta masyarakat atau emansipasi dalam dan masyarakatnya masing-masing, baik
hukum. Dalam ungkapan Satjipto Rahardjo, secara kenyataan atau sekala maupun spiritual
penafsiran ini dikenal dengan penafsiran atau niskala, karena masing-masing suami dan
hukum progresif, yaitu memahami proses istri berstatus purusa.
hukum sebagai proses pembebasan terhadap
suatu proses yang kuna yang tidak dapat lagi
dipakai untuk melayani kehidupan masa kini. DAFTAR BACAAN
Selanjutnya terkait dengan hukum progresif Artadi, I Ketut, 2009. “Perkawinan Menurut
ini, Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa Undang-Undang No. 1 tahun 1974 dalam
...hukum progersif dimulai dari suatu asumsi Hubungannya dengan Perkawinan Menu-
dasar bahwa hukum untuk manusia dan bukan rut Hukum Adat Bali dengan Konsekwensi
sebaliknya. Hukum progresif tidak menerima Kewarisannya”. Makalah dalam Seminar
hukum sebagai institusi yang mutlak serta
final, melainkan sangat ditentukan oleh 13
Satjipto Rahardjo, Loc. Cit

122
Perkawinan Pada Gelahang Dalam Masyarakat Hukum Adat Di Provinsi Bali Ditinjau Dari Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Akademik Fakultas Hukum, Universitas Suhardana F.X, 1987. HukumPerdata I.


Dwijendra, Sabtu, tgl. 30 Mei 2009. Pranhalindo, Jakarta.
Astiti, Tjok Istri Putra, 1981, Perkawinan Suhardana, Km, 2008, Tri Rna Tiga Jenis
Menurut Hukum dan Agama Hindu di Bali, hutang Yang Harus Dibayar Manusia,
Biro Dokumentasi & Publikasi FH & PM Paramita Surabaya.
Unud, Denpasar. Surodjo Wignjodiporo, 1989, Pangantar dan
Djaksa, Gde, 1976, Hubungan Perkawinan Asas-Asas Hukum Adat, Cetakan ke-8, Haji
Menurut Hukum Hindu dengan Perka- Masagung, Jakarta,.
winan Menurut UU No. 1/1974, Skripsi Suyatna, ”Kajian Yuridis terhadap Sahnya
pada Fakultas Hukum UI, Jakarta. Perkawinan Nyeburin Berbeda Wangsa di
Dyatmikawati, Putu, 2008. Sentana Papera- Kabupaten Daerah Tingkat II Tabanan”.
san. Pengangkatan Anak Menurut Hukum Tesis pada Program Pascasarjana, Univer-
Adat Bali. Fakultas Hukum Universitas sitas Airlangga, Surabaya, 1997.
Dwijendra, Denpasar. Theo Huijbers. 1984, Filsafat Hukum dalam
I Made Surada, Kamus Sanskerta Indonesia, Lintasan Sejarah. Yayasan Kanisius, Yog-
Denpasar, Widya Dharma, 2007. yakarta.
Panetje, Gde, 1986, Aneka Catatan Hukum Wiana, Ketut, 1993, “Tujuan Hidup Menurut
Adat Bali. Denpasar, Guna Agung. Hindu”, dalam Kasta Dalam Hindu Kesa-
lahpahaman Berabad-Abad, Yayasan
Pudja, Gde dan Tjokorda Rai Sudharta, 1878,
Dharma Naradha, Denpasar.
Manawa Dharmasastra (Manu Dharma-
castra) Dit. Jen Bimas Hindu dan Depar- Wiana, I Ketut, 2011. Weda Wakya III.
temen Agama RI, Jakarta. Tuntunan Menyelenggarakan Hindu. Para-
mita, Surabaya.
Pudja, Gde,1975, Pengantar Tentang Perka-
winan Menurut Hukum Hindu, Maya-sari,
Perundang-Undangan
Jakarta.
Undang-Undang Dasar 1945.
Satjipto Rahardjo, 2009, Hukum Progresif
Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Publishing, Cet. Pertama, Yogyakarta. Perkawinan dan P.P Nomor 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan undang-undang
Sudantra, I Ketut, 2011, Perkawinan menurut Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Hukum Adat Bali Unud Press, Denpasar.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
Sudarsana, Ida Bagus Putu, Ajaran Agama Tentang Hak Asasi Manusia
Hindu. (Makna yang Terkandung dalam
Upacara Perkawinan Hindu). Denpasar, Undang-Undang 48 Tahun 2009 Nomor
Yayasan Dharma Acarya, 1989. Tentang Kekuasaan Kehakiman
Awig-awig sebagai aturan Hukum Adat Bali

123

Anda mungkin juga menyukai