Oleh :
Agung Rio Swandisara
NIM : 2008020015
PENDAHULUAN
ketentraman dan kebahagiaan dalam kehidupan berumah tangga. Dalam hukum adat yang
berlaku di Bali disebutkan bahwa apabila putusnya perkawinan karena salah satu pihak
meninggal dunia maka suami maupun istri dinamakan Balu yang dapat diartikan seseorang
dapat memiliki status janda atau duda disebabkan karena salah satu pasangannya
meninggal dunia. Apabila putusnya perkawinan karena perceraian dalam hukum adat di
Bali dinamakan Sapihan Sapihan dalam hubungannya dengan perceraian ini berarti tidak
ada yang kalah maupun menang. Jadi dalam perceraian ini istri maupun suami diserahkan
putusnya perkawinan karena putusan Pengadilan. Tujuan perkawinan itu sangat mulia,
maka seharusnya perkawinan tersebut dilaksanakan sesuai dengan ketentuan ajaran agama
dan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Akan tetapi dalam kenyataannya, masih
banyak yang tidak mematuhi undang-undang tersebut, sehingga tidak dapat dipungkiri
berdampak buruk terhadap kedua belah pihak, dan dapat juga mengorbankan anak-anak
Faktor putusnya perkawinan perceraian menjadikan suatu dasar adanya mulih daha
namun tidak seluruhnya wanita yang bercerai dapat berstatus mulih daha Kedudukan mulih
daha tidaklah merupakan hak yang melekat pada diri seorang janda sehingga otomatis
memperoleh kedudukan sebagai seorang gadis atau deha Mulih daha harus dilakukan
dengan persetujuan dari keluarganya termasuk pada ikatan-ikatan dadia atau keluarga besar
fenomena yang muncul dalam masyarakat tidak setiap perkawinan yang dilangsungkan
dapat berjalan sebagaimana tujuan perkawinan yang dikehendaki oleh pasangan suami istri
tersebut Perkawinan dapat putus baik karena kematian salah satu pihak atau karena
perceraian Akibat perceraian terhadap status suami atau istri dalam keluarga pada
umumnya pihak yang berstatus purusa akan kembali kerumah orang tuanya Dalam
perkawinan biasa wanita yang kembali kerumah orang tuanya karena perceraian akan
berstatus mulih daha di rumah orang tuanya Dengan status mulih daha maka wanita akan
Banjar Muncan, Desa Adat Kapal, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung – Bali
sendiri dijumpai beberapa kasus terkait yang berhubungan dengan perempuan mulih daha
yang mengalami permasalahan yang sama dengan yang dipaparkan diatas, Di Kecamatan
Mengwi tepatnya di Banjar Muncan, Desa Adat Kapal telah dijumpai beberapa perempuan
yang mengalami kasus mulih daha dimana permasalah mulih daha di Banjar Muncan
ditangani oleh penjuru banjar dan melibatkan keluarga yang bersangkutan dengan
melaporkan kepada penjuru adat lengkap dengan identitasnya dan di siarkan permasalahan
ini dalam rapat banjar. Adapun tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui dan memahami
prosedur wanita yang mulih daha di Banjar Muncan,, Mengwi, Badung dan untuk
mengetahui memahami kedudukan hukum wanita yang mulih daha di Banjar Muncan,
Mengwi, Badung.
masalah yang timbul dapat cepat terselesaikan, terlebih dahulu masalah tersebut harus
dirumuskan secara jelas. Berdasarkan latar belakang masalah dan pembatasan masalah
2. Bagaimana kedudukan ahli waris Wanita Hindu Bali yang muli daha terhadap
1.3 Tujuan
Tujuan dalam makalah ini menunjukkan kualitas dan nilai dari tugas dalam mata
kuliah hukum waris. Berdasarkan permasalahan yang telah penulis uraikan di atas, maka
2. Untuk mengetahui bagaimana ahli waris Wanita Hindu Bali yang muli daha
terhadap harta peninggalan dari pewaris di Banjar Muncan, Desa Adat Kapal.
BAB II
PEMBAHASAN
mempunyai pengertian yang lebih luas dari pada pengertian system kekerabatan patrilinial
pada umumnya karena didalamnya tercakup pengertian garis laki-laki yang secara biologis
adalah laki-laki yang disebut “purusa” dan wanita yang mempunyai kedudukan hukum
sebagai laki-laki yang disebut “sentana rajeg” Jadi dalam pengertian system kekerabatan
patrilinial yang lebih luas ini disamping lakilaki (purusa) juga adalah wanita (sentana
rajeg).
Dalam Hukum Adat Bali tidak menganut prinsip persamaan hak dan kewajiban
antara pria dan wanita karena hal tersebut dapat disimak dari ketentuan bahwa yang
tergolong sebagai ahli waris adalah keturunan laki-laki dan ketentuan tersebut adalah
sebagai konsekwensi dianutnya system kekerabatan patrilinial yang dijiwai oleh Agama
Hindu dan lebih umum dikenal dengan system “kepurusa”.Tidak dianutnya prinsip
persamaan hak dan kewajiban karena lebih sesuai dengan sebutan “prinsip kesebandingan
“ yang artinya bahwa pihak yang dibebani kewajiban lebih ringan akan mendapatkan hak
yang lebih sedikit atau sebaliknya. Jadi walaupun Hukum Adat Bali tidak menganut prinsip
persamaan hak antara laki-laki dan wanita , tetapi dalam hal-hal yang bersifat khusus ,
wanita mempunyai kedudukan yang sama dengan laki-laki dalam artian yang terbatas dan
bersyarat.
Walaupun anak wanita ditegaskan tidak sebagai ahli waris, namun dalam
kenyataannya anak wanita dapat menikmati harta peninggalan orang tuanya selama belum
kawin berupa “pengupa jiwa”, dan bagi wanita yang telah kawin diberikan bekal berupa
“jiwadana” atau “tetadtadan” . Dan sebagai janda ia juga dapat menikmati harta
almarhum suaminya. Dengan demikian dari hal-hal yang telah diuraikan diatas
menunjukkan bahwa hak waris janda dan anak wanita masih dapat dikatakan terbats dan
bersyarat.
Sistem kekerabatan patrilinial yang dijiwai oleh Agama Hindu yang diterapkan di
Banjar Muncan, Desa Adat Kapal terdapat pandangan bahwa laki-laki mempunyai
kedudukan yang lebih tinggi di dalam keluarga dan masyarakat dibandingkan dengan
krama banjar atau karma desa) , memelihara dan memberi nafkah kepada orang tua kalau
sudah tidak mampu, melaksanakan upacara agama (seperti ngaben dan lain-lain )serta selalu
bhakti kepada leluhur yang bersemayam di “sanggah” atau “merajan”. Sesuai dengan
tanggung jawab yang dimiliki oleh anak laki-laki baik dalam keluarga, agama dan
masyarakat, maka Hukum Adat Bali menempatkan anak laki-laki sebagai ahli waris dalam
keluarga. Selanjutnya kedudukan laki-laki seperti yang telah disebutkan diatas berbeda
dengan anak wanita baik “daha (gadis)”, maupun “daha tua (wanita yang tidak kawin
sampai tua)”., karena terhadap anak wanita tidak mungkin digantungkan harapan-harapan
ataupun tanggung jawab sebagaimana halnya tanggung jawab yang harus dilakukan oleh
anak laki-laki , sebab berdasarkan system kekeluargaan yang berlaku pada masyarakat
hukum adat Bali. Seorang daha sesuai dengan kodratnya suatu saat akan kawin dan dengan
perkawinannya itu ia akan mengikuti suami kecuali dalam perkawinan keceburin secara
hukum akan putus hubungannya dengan keluarga asalnya (dengan orang tua kandungnya).
Hal ini membawa konsekwensi dan memberi corak yng khas pula pada Hukum Adat Waris
Bali yang menentukan bahwa yang tergolong sebagai ahli waris adalah anak laki-laki atau
2.2 Hak Waris Wanita Bali Hindu sebagai Daha atau Daha Tua
Secara literlijk daha bararti muda, dan secara khusus berrti bajang atau perawan.
Atau perempuan yang belum kawin. Sedangkan “daha tua” adalah perempuan yang tidak
kawin sampai tua. dan apabila mereka tidak kawin maka mereka akan tetap tinggal di rumah
orang tuanya. Jadi anak perempuan yang tidak menikah ada dua kemungkinan yakni :
sebagai “daha”( anak perempuan yang belum kawin) dan “daha tua”(anak perempuan yang
tidak kawin). Sedangkan anak perempuan yang sudah menikah mempunyai kedudukan
yang bervariasi seperti anak perempuan yang status pernikahannya “keceburin” (seperti
penjelasan diatas) berkedudukan sebagai “sentana rajeg”. Anak perempuan yang sudah
kawin keluar dan anak perempuan yang “mulih daha” (anak perempuan yang setelah
menjadi janda kemudian pulang ke rumah orang tuanya dan diterima baik oleh keluarganya)
Menurut hukum adat Bali anak perempuan (baik sebagai daha maupun daha tua) dengan
tegas dinyatakan tidak sebagai ahli waris. Namun dalam kenyataannya anak perempuan
dapat menikmati harta peninggalan orang tuanya selama belum kawin sebagai “pengupa
jiwa” dan bagi wanita yang telah atau akan kawin dapat diberikan “bekel” berupa “jiwa
dana atau tetadtadan”., bersama-sama ahli wris lainnya. Dalam kedudukannya seperti ini
mereka tidak berhak melakukan tindakan hukum yang dapat dianggap sebagai pemilikan
misalnya tindakan menjual ataupun menggadaikan ataupun tindakan hukum lainnya tanpa
persetujuan ahli waris lainnya. Ketentuan hukum adat waris seperti itu tertera dalam padal
147 Kitab Manawadharma sastra sebagai berikut : “Pada asasnya seorang anak
perempuan, seorang wanita dewasa maupun yang telah tua, mereka tidak bebas berbuat
walaupun dirumahnya sendiri”. Apabila wanita menikah dengan sttus kawin keluar , ia
harus mengembalikan bagin yang dinikmatinya itu. Oleh karena itu hak waris anak
Hak seorang daha tua untuk menikmati harta warisan tetap berlangsung selama ia
hidup. Dengan demikian , anak wanita berhak atas bagian harta warisan keluarga , dan
bukan sebagai pemilik, melainkan sebahai harta yang dinikmati saja. Dan bagian yang
berhak diterima anak wanita adalah 2:1 (ategen-asuun) yaitu 2 gbagian untuk anak laki-laki
dan 1 bagian untuk anak wanita. Hal seperti ini sudah menjadi putusan pengadilan sejak
zaman Raad Kertha seperti Raad Kertha Singaraja tanggal 19 Juli 1937 Nomor 41/Sipil,
maupun Raad Kertha Karangasem tanggal 3 Nopember 1936 No.33/Sipil. Demikian pula
Untuk mengetahui secara lebih konkrit kedudukan anak perempuan khususnya daha
dan daha tua dalam hukum adat waris Bali, dapat diketahui dari beberapa putusan
7 Juni 1982 menyatakan bahwa :Anak perempuan daha tua adalah ahli waris
satusatunya anak menutup hak waris dari ahli waris lainnya.Putusan tersebut
Dari beberapa putusan pengadilan seperti yang telah diuraikan diatas nampaknya
bahwa dalam hukum adat waris Bali , dari dahulu sampai sekarang yang masih selalu
menjadi persoalan dan sering menjadi perdebatan adalah hak mewaris anak wanita sebagai
janda dan anak wanita yang bukan berkedudukan sebagai sentana rajeg.. Hal ini terjadi
karena berkaitan dengan apakah anak wanita menjadi ahli waris, berapa besar bagiannya dan
bagaimana dengan warisan yang berkaitan dengan warisan yang bersifat immatriil., baik
dalam beberapa putusan pengadilan ada didalilkan bahwa anak perempuan (daha, daha tua
dan anak perempuan satu-satunya) adalah sebagai ahli waris., akan tetapi yang dimaksudkan
disitu bukanlah sebagai ahli waris mutlak seperti hak yang dimiliki oleh anak laki-laki
melainkan tetap dalam arti hak waris yang terbatas dan bersyarat. Dipihak lain , putusan
yang menyatakan bahwa anak perempuan yang telah kawin keluar kehilangan hak warisnya.
Dan yang dimaksudkan disini kehilangan hak untuk menikmati hasil dari harta kekayaan
Untuk mengerti kedudukan janda dalam mewaris menurut hukum adapt Bali
haruslah mengetahui terlebih dahulu status perkawinannya . Janda dalam status perkawinan
biasa (perkawinan keluar) akan mempunyai kedudukan yang berbeda dengan janda dalam
sentana rajeg dan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan anak laki-laki. Yang
banyak menimbulkan persoalan dan hal ini dapat dibuktikan dari banyaknya kasus-kasus
warisan yang menyngkut janda masuk ke pengadilan adalah janda dalam status kawin
keluar.karena adanya pertanyaan apakah janda berhak mewarisi harta peninggalan suaminya,
berapa bagian yang dapat diterimanya dan jenis harta yang bagaimana yang boleh ia terima
Dari hasil diskusi tentang Hukum dat Bali juga disebutkan bahwa : janda adalah
bukan ahli waris, akan tetapi berhak atas bagian harta warisan suami saja, selama ia
melaksanakan dharmanya sebagai janda .Seorang janda tidak berhak menikmati harta warisan
suaminya apabila : bergendak, kawin. Janda berhak atas bagian guna kaya dalam hal ia
memutuskan hubungan dengan keluarga suami. Besarnya bagian janda tergantung pada
kebiasaan setempat.
Hukum adat waris yang diterapkan dalam memecahkan kasus-kasus warisan baik
oleh masyarakat hukum adat Bali, Raad Kertha maupun setelah terbentuknya pengadilan baik
putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap maupun yang tidak dimohonkan
banding ataupun kasasi maupun Mahkamah Agung dalam yurisprudensinya yang
mendalilkan bahwa :Janda sebagai ahli waris almarhum suaminya , hanyalah dimaksudkan
bukan mewaris secara mutlak , tetapi masih secara terbatas dan bersyarat.
hukum adat Bali janda akan tetap mempunyai kedudukan yang istimewa sepanjang ia tetap
setia melaksanakan dharmanya sebagai janda dan tetap pula melaksanakan tugas dan
kewajibannya serta tetap tinggal dalam lingkungan keluarga suami , maka janda tersebut tetap
dapat menguasai dan menikmati seluruh harta peninggalan suaminya bahkan untuk keperluan
hidup dan keperluan yang lainnya atas seizin ahli waris lainnya maupun keluarga suami
seorang janda dapat menjual harta yang ada dan yang dikuasainya. Jadi kedudukan janda
dalam mewaris seperti tersebut diatas adalah dalam arti penguasaan yang terbatas. Dan
Mulih daha yang artinya kembali pulang seperti masih gadis. Secara literlijk, mulih
berarti pulang, pergi kembali kerumah, daha, daa berarti gadis sedangkan dalam hasil-hasil
Diskusi Hukum adat Waris di Bali, disebutkan bahwa kedudukan wanita mulih daha adalah
: sama dengan anak wanita yang belum kawin:, ia berhak atas bagian harta warisan selama
Seorang anak perempuan yang sudah pernah kawin keluar , kemudian cerai dan
kembali kerumah asal (orang tuanya) dan diterima secara baik-baik oleh keluarga asalnya
dan berkedudukan sebagai gadis lagi, maka di rumah asalnya ia berhak ikut menikmati hasil
dari harta peninggalan orang tuanya. Wanita yang mulih daha mempunyai kedudukan yang
yang masih hidup. dalam masyarakat sampai saat ini,diakui dan dilaksanakan dan hukum
adapt waris yang diterapkan dalam kasus – kasus konkrit yang menyangkut wanita seperti
dalam beberapa putusan pengadilan yang telah diuraikan diatas maka dapat dinyatakan
bahwa : pada prinsipnya wanita Bali Hindu baik ia sebagai “ anak ( sebagai daha,daha
tua,atau mulih daha,kecuali sentana rajeg) maupun sebagai janda , tidak berhak mewaris.
Karena sebagai anak di rumah orang tuanya wanita tidak berhak mewaris karena ia akan
kawin keluar dan akan masuk ke keluarga suaminya. Di rumah suami, sebagai istri mupun
sebagai janda tidak mempunyai hubungan darah karena syarat sebagai ahli waris adalah
adanya hubungan darah.Jadi wanita hanya berhak menikmati hasil dari harta warisan orang
tua/suami dan itupun sifatnya terbatas dan bersyarat. Karena walaupun dalam beberapa
putusan pengadilan didalilkan anak perempuan (daha, daha tua dan anak perempuan satu-
satunya ) adalah sebagai ahli waris, akan tetapi yang dimaksud disitu bukanlah sebagai ahli
waris mutlak seperti hak yang dimiliki anak laki-laki. Demikian pula dalam putusan
pengadilan yang menyatakan bahwa anak perempuan yang telah kawin keluar akan
kehilangan hak warisnya , dan yang dimaksudkan disini hanyalah kehilangan hak untuk
menikmati hasil bukan kehilangan hak mewaris secara mutlak . Jadi kecendrungan ini
menunjukkan bahwaq sampai saat ini sebenarnya masih ada perbedaan makna kata “
mewaris “pada laki-laki berarti mutlak dan pada wanita berarti terbatas dan bersyarat.
Jika ditinjau dari hasil penelitian yang dilakukan melalui yurisprudensi terhadap
hak waris wanita Bali Hindu dalam mewaris dapat dikatakan bahwa hak waris wanita baik
sebagai “daha,daha tua, mulih daha maupun janda “ hampir tidak mengalami perkembangan
apabila hal itu dianalisis berdasarkan hukum adat waris Bali yang sampai saat ini masih
dasar pertimbangan oleh hakim dalam memutus sengketa warisan yang menyangkut anak
wanita Bali Hindu. Dalam arti mempunyai hak waris yang terbatas dan bersyarat., walaupun
kelihatannya hukum waris anak wanita dan janda dalam mewaris kelihatannya sulit
kedudukan wanita terhadap harta peninggalan orang tuanya. , baik yang dating dari
masyarakat, pemuka masyarakat maupun para hakim sebagai penegak hukum, semua itu
perkembangan atau perubahan hukum waris janda dan anak perempuan kea rah hak dan
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan uraian yang telah dikemukan diatas maka dapat ditarik beberpa simpulan hal-
1. Sistem kekeluargaan yang dianut oleh masyarakat hukum adat Bali khususnya di
Banjar Muncan, Desa Adat Kapal sampai saat ini adalah system kekeluargaan
patrilinial yang lebih umum dikenal dengan sebutan “system kepurusa”, dengan
konsekwensi sebagai penerus garis keturunan yang utama adalah anak kandung laki-
laki, anak angkat yang sah sebagai anak angkat baik laki-laki atau wanita atau anak
“keceburin”, sepanjang tidak terputus haknya sebagai ahli waris maupun penerus garis
keturunan.
2. Kedudukan anak wanita Bali Hindu dalam mewaris dapat dikatakan masih belum
berubah atau berkembang karena sampai saat ini masih merupakan ahli waris yang
terbatas dan bersyarat.Terbatas artinya hanya mempunyai hak menikmati saja dari
harta warisan orang tuanya. Sedangkan bersyarat dalam arti bahwa hak itu baru akan
diperoleh apabila janda tetap me4laksanakan dharmanya sebagai janda dan tetap
dehe tua yang tidak kawin sampai tua dan wanita mulih dehe yang kembali kerumah
asalnya secara sah. Atau selama tidak kawin dan tidak ada ahli waris lainnya.
3. Faktor-faktor yang dapat mendorong meningkatkan kedudukan anak wanita dalam