Anda di halaman 1dari 10

Kelompok Adat Bali

ANANDA PUTRI SAFIRA 010001800057


DEVI NOFITRI 010001800134
MARIANNA ELFRIDA 010001800284
NANDA APRILIA NURCAHYANINGRUM 010001600263
MILLANIA TRI RAHMADHANI 010001800294
LATAR BELAKANG
Waris merupakan salah satu dari hukum perdata secara keseluruhan dan
merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris sangat erat
kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia pasti
akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Akibat hukum yang
selanjutnya timbul, dengan terjadinya peristiwa hukum kematian seseorang,
diantaranya ialah masalah bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia tersebut.Oleh karena itu,
pokok pangkal uraian tentang hukum waris adat bertitik tolak dari bentuk masyarakat
dan sifat kekeluargaan yang terdapat di Indonesia menurut sistem keturunan.

Masyarakat Bali merupakan masyarakat yang berdasarkan kepadakombinasi


dari asas-asas ketunggalan darah, kesamaan-kesamaan lokalitas,agama dan
kepentingan guna kelangsungan ekstensinya baik di dunia yangini maupun di dalam
baka.Asas-asas ini mengenai dasar-dasar kesatuanini semua dinyatakan di dalam
kehidupan masyarakat sehari-hari dalamtatanan dan susunan masyarakat Bali
menurut kelompok-kelompok geologis,yang masing- masing menempati sebidang
tanah yang pada umumnyadiperoleh dari peninggalan nenek moyangnya.Selain itu
juga tetap berusahabertahan di dalam lingkungan tanah tempat kediaman
peninggalan nenekmoyangnya dengan maksud dapatnya memelihara kelangsungan
hubungandengan para nenek.

Masyarakat Bali memiliki sistem pewarisan yang berakar pada sistem


kekerabatan patrilinial yang menyebabkan sistem pertalian kewangsaan lebih
dititikberatkan menurut garis keturunan pria.Maka kedudukan pria lebih diutamakan
dari wanita. Pria adalah penerus keturunan bapaknya yang ditarik dari satu bapak
asal, sedangkan wanita disiapkan untuk menjadi anak orang lain yang akan
memperkuat keturunan orang lain. Oleh karena itu apabila satu keluarga tidak
mempunyai anak laki-laki dan tidak mempunyai keturunan dikatakan “putus
keturunan”.Sistem kekerabatan ini di Bali dikenal sebagai sistem keturunan laki-laki
purusha.
SISTEM KEKERABATAN

Sistem garis keturunan dan hubungan kekerabatan orang Bali berpegang


kepada prinsip patrilineal (purusa) yang amat dipengaruhi oleh sistem keluarga luar
patrilineal yang mereka sebut dadia dan sistem pelapisan sosial yang disebut
wangsa (kasta). Sehingga mereka terikat ke dalam perkawinan yang bersifat
endogami dadaia dan atau endogami wangsa. Orang-orang yang masih satu kelas
(tunggal kawitan, tunggal dadia dan tunggal sanggah) sama-sama tinggi
tingkatannya. Dalam perkawinan endogami klen dan kasta ini yang paling ideal
adalah antara pasangan dari anak dua orang laki-laki Tata kehidupan masyarakat
Bali khususnya di Kabupaten Gianyar, secara umum terbagi menjadi 2 (dua), yaitu :

Sistem kekerabatan yang terbentuk menurut adat yang berlaku, dan


dipengaruhi oleh adanya klen-klen keluarga; seperti kelompok kekerabatan disebut
Dedia (keturunan), pekurenan, kelompok kekerabatan yang terbentuk sebagai akibat
adanya perkawinan dari anak- anak yang berasal dari suatu keluarga inti.

Sistem kemasyarakatan merupakan kesatuan-kesatuan sosial yang didasarkan


atas kesatuan wilayah/ territorial administrasi (perbekelan/kelurahan) yang pada
umumnya terpecah lagi menjadi kesatuan sosial yang lebih kecil yaitu banjar dan
territorial adat. Banjar mengatur hal-hal yang bersifat keagamaan, adat dan
masyarakat lainnya.

Dari sistem kemasyarakatan yang ada ini maka warga desa bisa masuk
menjadi dua keanggotaan warga desa atau satu yaitu : sistem pemerintahan desa
dinas sebagai wilayah administratif dan desa pakraman. Dari kehidupan masyarakat
setempat terdapat pula kelompok-kelompok adat. 1

1
SISTEM PEWARISAN

Menurut hukum adat anak- anak dan si peninggal warisan merupakan

golongan ahli waris yang terpenting. Oleh karena mereka
 pada hakikatnya

merupakan satu-satunya golongan ahli waris, sebab lain-lain anggota keluarga tidak

mejadi ahli waris, apabila si peninggal
 warisan meninggalkan anak- anak. Jadi

dengan adanya anak-anak, maka kemungkinan lain-lain anggota keluarga dari si

peninggal warisan
 untuk menjadi ahli waris tertutup. Menurut hukum adat Bali yang

menganut sistem kekeluargaan patrilineal maka yang menjadi ahli waris adalah anak
laki-laki, sedangkan anak perempuan tidak sebagai ahli waris.Sebagai pengecualian

dari sistem patrilineal dalam hukum kekeluargaan Bali, apabila pewaris
 hanya

mempunyai anak perempuan maka si anak dapat dijadikan sentana rajeg dengan
melakukan perkawinan nyeburin yaitu di wanita kawin dengan si laki- laki dengan
menaik laki-laki itu ke alam keluarganya. Di sini si wanita menjadi berkedudukan
sebagai laki- laki, sedangkan si laki-laki berkedudukan sebagai perempuan. Bagi si

wanita akan berlaku
 hukum kewarisan yang lazim berlaku untuk laki-laki di

keluarga itu. Bagi
 lakinlaki yang kawin nyeburin, kedudukannya dalam warisan

adalah sebagai wanita.
 Apabila pewaris tidak mempunyai keturunan sama sekali,

maka pewaris mengangkat anak laki-laki dari saudara kandung lelaki tersebut,
demikian seterusnya sehingga hanya anak laki-laki yang jadi ahli waris dan terhadap

segala sesuatu harus didasarkan atas musyawarah
 dan mufakat para anggota

kerabat. Pendapat ini sesuai dengan Paswara Residen Bali dan Lombok 1900, yang
menentukan syarat- syarat pengangkatan sentana. Pasal 11 dari paswara
menentukan seorang boleh mengangkat sentana dari keluarga kepurusa terdekat
dan paling jauh dalam derajat kedelapan ( mingletu menurut stelsel klasifikasi )
menyimpang dari ketentuan ini hanya dibolehkan dengan persetujuan keluarga lebih
dekat dari calon pertama itu atau degan izin pemerintah. Di Bali akibat dari
pengangkatan anak (Adopsi) dalam hukum adat adalah bahwa anak itu mempunyai
kedudukan sebagai anak yang lahir dari perkawinan suami istri yang
mengangkatnya sama seperti anak kandung dan hubungan dengan keluarga asal
jadi putus.

HARTA WARISAN

Menurut hukum adat Bali yang menganut sistem kekeluargaan patrilineal


maka yang menjadi ahli waris adalah anak laki-laki, sedangkan anak perempuan
tidak sebagai ahli waris. Sebagai pengecualian dari sistem patrilineal dalam hukum
kekeluargaan Bali, apabila pewaris hanya mempunyai anak perempuan maka si
anak dapat dijadikan sentana rajeg dengan melakukan perkawinan nyeburin yaitu di
wanita kawin dengan si laki-laki dengan menaik laki-laki itu ke alam keluarganya. Di
sini si wanita menjadi berkedudukan sebagai laki-laki, sedangkan si laki laki
berkedudukan sebagai perempuan. Bagi si wanita akan berlakuhukum kewarisan
yang lazim berlaku untuk laki-laki di keluarga itu. Bagi lakinlaki yang kawin nyeburin,
kedudukannya dalam warisan adalah sebagai wanita.

Apabila pewaris tidak mempunyai keturunan sama sekali, maka pewaris


mengangkat anak laki-laki dari saudara kandung lelaki tersebut, demikian
seterusnya sehingga hanya anak laki-laki yang jadi ahli waris dan terhadap segala
sesuatu harus didasarkan atas musyawarah dan mufakat para anggota kerabat.
Pendapat ini sesuai dengan Paswara Residen Bali dan Lombok 1900, yang
menentukan syarat-syarat pengangkatan sentana. Pasal 11 dari paswara
menentukan seorang boleh mengangkat sentana dari keluarga kepurusa terdekat
dan paling jauh dalam derajat kedelapan ( mingletu menurut stelsel
klasifikasi) menyimpang dari ketentuan ini hanya dibolehkan dengan
persetujuan keluarga lebih dekat dari calon pertama itu atau degan izin pemerintah.
Di Bali akibat dari pengangkatan anak (Adopsi) dalam hukum adat
adalah bahwa anak itu mempunyai kedudukan sebagai anak yang lahir
dari perkawinan suami istri yang mengangkatnya sama seperti anak kandung dan
hubungan dengan keluarga asal jadi putus. Demikian halnya dengan kedudukan
anak angkat di Bali pada umumnya anak sentana memperoleh kedudukan dan hak
(antara lain hak waris ) yang sama dengan seorang anak kandung.
AHLI WARIS
Menurut hukum adat anak-anak dan si peninggal warisan merupakan
golongan ahli waris yang terpenting. Oleh karena mereka pada hakikatnya
merupakan satu-satunya golongan ahli waris, sebab lain-lain anggota keluarga tidak
mejadi ahli waris, apabila si peninggal warisan meninggalkan anak-anak. Jadi
dengan adanya anak-anak, maka kemungkinan lain-lain anggota keluarga dari si
peninggal warisan untuk menjadi ahli waris tertutup.

Menurut hukum adat Bali yang menganut sistem kekeluargaan patrilineal


maka yang menjadi ahli waris adalah anak laki-laki, sedangkan anak perempuan
tidak sebagai ahli waris. Sebagai pengecualian dari sistem patrilineal dalam hukum
kekeluargaan Bali, apabila pewaris hanya mempunyai anak perempuan maka si
anak dapat dijadikan sentana rajeg dengan melakukan perkawinan nyeburin yaitu di
wanita kawin dengan si laki-laki dengan menaik laki-laki itu ke alam keluarganya. Di
sini si wanita menjadi berkedudukan sebagai laki-laki, sedangkan si laki-laki
berkedudukan sebagai perempuan. Bagi si wanita akan berlaku hukum kewarisan
yang lazim berlaku untuk laki-laki di keluarga itu. Bagi lakinlaki yang kawin nyeburin,
kedudukannya dalam warisan adalah sebagai wanita. Apabila pewaris tidak
mempunyai keturunan sama sekali, maka pewaris mengangkat anak laki-laki dari
saudara kandung lelaki tersebut, demikian seterusnya sehingga hanya anak laki-laki
yang jadi ahli waris dan terhadap segala sesuatu harus didasarkan atas
musyawarah dan mufakat para anggota kerabat. Pendapat ini sesuai dengan
Paswara Residen Bali dan Lombok 1900, yang menentukan syarat-syarat
pengangkatan sentana. Pasal 11 dari paswara menentukan seorang boleh
mengangkat sentana dari keluarga kepurusa terdekat dan paling jauh dalam derajat
kedelapan ( mingletu menurut stelsel klasifikasi) menyimpang dari ketentuan ini
hanya dibolehkan dengan persetujuan keluarga lebih dekat dari calon pertama itu
atau degan izin pemerintah.
Di Bali akibat dari pengangkatan anak (Adopsi) dalam hukum adat adalah
bahwa anak itu mempunyai kedudukan sebagai anak yang lahir dari perkawinan
suami istri yang mengangkatnya sama seperti anak kandung dan hubungan dengan
keluarga asal jadi putus. Demikian halnya dengan kedudukan anak angkat di Bali
pada umumnya anak sentana memperoleh kedudukan dan hak (antara lain hak
waris ) yang sama dengan seorang anak kandung.
KEDUDUKAN JANDA/DUDA DALAM ADAT BALI

Hukum adat di Bali, bahwa kekeluargaan pada kelompok masyarakat


patrilineal, yaitu garis keturunan dari pihak laki-laki. Sistem ini dipengaruhi unsur-
unsur agama Hindu yang berhubungan erat dengan hukum adat Bali sekaligus
merupakan sumber utama hukum adat waris di daerah Bali. Sistem pewarisan
hukum adat di daerah Bali umumnya berhubungan erat dengan bentuk perkawinan,
misalnya perkawinan mepadik (pinang), perkawinan ngerorod atau merangkat
<selarian), perkawinan melegandang (perkawinan paksa), perkawinan ambil anak
atau kawin sentana dan kawin nyeburin. Dalam sistem patrililneal sebagai ahli waris
adalah anak kandung laki-laki dari keturunan laki-laki, anak perempuan sentana
rajeg (anak perempuan yang berstatus sebagai anak laki-laki) dan anak angkat laki-
laki. Sedangkan seorang janda dianggap di luar dadya (garis keturunan laki-laki).
Jadi seorang janda dianggap di luar garis keturunan keluarga suaminya. Pada
dasarnya di Bali, antara suami isteri tidak ada hubungan saling mewaris, artinya
janda atau duda bukan saling mewaris harta peninggalan dari janda atau duda yang
meninggal dunia terlebih dahulu. Walaupun seorang janda bukan merupakan ahli
waris, namun bukanlah berarti bahwa janda mudah untuk ditelantarkan, tetapi janda
tersebut mempunyai hak untuk menikmati hasil dari harta peninggalan suami demi
untuk kelangsungan hidupnya.
KEDUDUKAN ANAK ANGKAT

Masyarakat Bali adalah menganut sistem kekeluargaan yang patrilineal


dimana si istri akan masuk ke dalam keluarga suaminya, demikian pula dengan
anak-anak yang dilahirkannya. Sistem patrilineal ini membawa kedudukan bahwa
seorang laki-laki menjadi utama, anak laki-laki akan meneruskan keturunan keluarga
tersebut dan sebaliknya tidak demikian halnya dengan anak perempuan.
Menonjolnya kedudukan anak laki-laki dalam masyarakat adat Bali, berakibat setiap
keluarga menginginkan adanya keturunan laki-laki, maka berkembanglah lembaga
pengangkatan anak.

Pada masyarakat adat Bali bagi seorang yang tidak mempunyai anak akan
berusaha mengangkat anak dengan alasan antara lain : 2

1. Tidak mempunyai anak atau keturunan.


2. Alasan kepercayaan bahwa dengan mengangkat anak akan dapat melahirkan
anak kandung sendiri.
3. Meneruskan keturunan yang berkaitan dengan peribadatan.
Pada mulanya alasan pengangkatan anak di Bali dilakukan semata-
mata untuk melanjutkan dan mempertahankan garis keturunan dalam suatu
keluarga yang tidak mempunyai anak. Di samping alasan tersebut juga sebagai
pancingan agar dapat melahirkan anak kandung, dan keabsahan kekuatan
hukum pengangkatan anak tidak terganggu apabila nantinya ibu angkat
melahirkan anak kandung. Dengan demikian pengangkatan anak dengan
sendirinya mempersaudarakan anak kandung dengan anak angkat.
KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN

Pada masyarakat Bali yang beragama Hindu tujuan perkawinan adalah untuk
memperoleh anak ( putra ), yang diharapkan dapat melanjutkan peribadatan
keluarga seperti melakukan persembahyangan di pura, melaksanakan pemujaan
terhadap leluhur mereka. Dengan tujuan agar keluarga tersebut selamat dan
memperoleh kehidupan yang lebih baik . Menurut hukum adat Bali yang menganut
sistem kekeluargaan patrilineal maka yang menjadi ahli waris adalah anak laki-laki,
sedangkan anak perempuan tidak sebagai ahli waris. Sebagai pengecualian
dari sistem patrilineal dalam hukum kekeluargaan Bali, apabila pewaris
hanya mempunyai anak perempuan maka si anak dapat dijadikan sentana
rajeg dengan melakukan perkawinan nyeburin yaitu di wanita kawin dengan si laki-
laki dengan menaik laki-laki itu ke alam keluarganya. Di sini si wanita menjadi
berkedudukan sebagai laki-laki, sedangkan si laki-lakiberkedudukan sebagai
perempuan. Bagi si wanita akan berlaku hukum kewarisan yang lazim berlaku untuk
laki-laki di keluarga itu. Bagi lakinlaki yang kawin nyeburin, kedudukannya dalam
warisan adalah sebagai wanita. Apabila pewaris tidak mempunyai keturunan sama
sekali, maka pewaris mengangkat anak laki-laki dari saudara kandung lelaki
tersebut, demikian seterusnya sehingga hanya anak laki-laki yang jadi ahli waris dan
terhadap segala sesuatu harus didasarkan atas musyawarah dan mufakat para
anggota kerabat. Pendapat ini sesuai dengan Paswara Residen Bali dan Lombok
1900, yang menentukan syarat-syarat pengangkatan sentana. Pasal 11 dari
paswara menentukan seorang boleh mengangkat sentana dari keluarga kepurusa
terdekat dan paling jauh dalam derajat kedelapan ( mingletu menurut stelsel
klasifikasi ) menyimpang dari ketentuan ini hanya dibolehkan dengan
persetujuan keluarga lebih dekat dari calon pertama itu atau degan izin pemerintah.
Di Bali akibat dari pengangkatan anak (Adopsi) dalam hukum adat adalah bahwa
anak itu mempunyai kedudukan sebagai anak yang lahir dari perkawinan suami istri
yang mengangkatnya sama seperti anak kandung dan hubungan dengan keluarga
asal jadi putus. Demikian halnya dengan kedudukan anak angkat di Bali pada
umumnya anak sentana memperoleh kedudukan dan hak (antara lain hak waris )
yang sama dengan seorang anak kandung.

DAFTAR PUSTAKA

http://eprints.undip.ac.id/15725/1/Mery_Wanyi_Rihi.pdf

https://www.komangputra.com/pewarisan-hukum-waris-adat-bali.html

http://repository.ubaya.ac.id/25665/

http://www.lontar.ui.ac.id/file?

http://repository.unpas.ac.id/1256/2/BAB%20I.pdf

Anda mungkin juga menyukai