Anda di halaman 1dari 2

Hak dan kedudukan janda menurut hukum waris adat suku Dayak Ngaju adalah bahwa janda diakui

sebagai ahli waris, Namun harta warisan suaminya tidak boleh dikuasai sendiri tetapi dikelola
bersama-sama untuk kepentingan bersama ( para janda dan anak-anaknya). Baik isteri pertama
Maupun isteri kedua kedudukannya sama sebagai ahli waris atas harta peninggalan suaminya.
Namun isteri pertama biasanya lebih dihormati dalam keluarga, seperti keputusan masalah-masalah
keluarga terlebih dahulu dimintakan pendapat isteri tertua. Apabila janda tersebut kawin lagi baik
dengan kerabat sendiri maupun dengan orang luar suku maka kedudukanya sebagai ahli waris
dicabut.

 Hak dan kedudukan anak dalam hukum waris adat dayak


Pada masyarakat suku dayak yang termasuk dalam sistem kekeluargaan parental. Menurut sistem ini
kedudukan anak laki-laki dan perempuan sebagai waris adalah sama dan sama-sama berhak atas
warisan orang tuanya. Namun demikian tidak berarti bahwa jenis atau jumlah harta warisan dibagi
sama rata diantara semua waris, oleh karena harta warisan itu tidak merupakan kesatuan yang dapat
dengan begitu saja dinilai harganya dengan nominal tertentu, begitu pula bagaimana pembagian itu
kelak akan dilaksanakan tergantung pada keadaan harta dan warisnya.
Dalam masyarakat dayak, meskipun termasuk dalam garis keturunan parental, tetapi yang
merupakan ahli waris adalah anak perempuan yang tertua yang berkedudukan sebagai tunggu
tubing/anak pangkalan karena tugas dan tanggung jawabnya mengurus, memelihara dan menjamin
kehidupan orang tuanya sampai wafat. Dalam adat dayak, anak perempuan yang tertua berkewajiban
mempertahankan bagian-bagian pokok dari harta warisan sebagai kebulatan yang tidak terbagi-bagi
untuk kepentingan semua anggota keluarga pewaris. Hal tersebut bukan berarti ada perbedaan
kedudukan antara anak laki-laki dan perempuan, tetapi lebih merupakan menjaga kelestarian warisan
dan dapat mengatur pemanfaatannya.
Demikian pula bila mereka merupakan keturunan dari orang tua yang berpoligami ( hajambua ),
maka anak perempuan tertua dari isteri pertamalah yang dipercaya memelihara dan mewarisi harta
peninggalan orang tuanya. Namun mereka tetap tinggal bersama dan memanfaatkan serta menikmati
bersama, kecuali jika ada yang sudah berkeluarga dan memutuskan keluar dari rumah orang tuanya
maka mereka dianggap sudah mampu untuk berdikari.
Dalam hal ini tidak ada perbedaan hak dan kedudukan anak-anak dari isteri pertama dan anak-anak
dari isteri kedua, karena harta peninggalan orang tua mereka anggap milik bersama. Yang
membedakan hanya mereka sebagai anak tertua .juga dituakan, artinya lebih dihormati dan harus
dapat menjadi panutan bagi anak-anak yang lain.
Namun dalam perkembangannya kedudukan anak sulung terutama yang perempuan sebagai tunggu
tubing juga mulai goyah karena kemajuan pendidikan, pergi merantau keluar daerah, apalagi jika
mereka telah melakukan perkawinan campuran dan tidak kembali lagi ke kampung halamannya.
Lain halnya dengan anak angkat, menurut adat suku dayak kedudukan seorang anak angkat sama
seperti kedudukan anak kandung juga berhak juga atas harta peninggalan orang tuanya sama seperti
anak kandung. Karena menurut suku dayak yang dikatakan anak angkat itu adalah apabila anak
tersebut telah dipelihara sejak masih kecil, dan upacara pengangkatannya dilakukan dengan
memotong hewan kurban (boleh babi/sapi/ayam) kemudian anak tersebut dipalas dengan darah
hewan kurban tersebut dengan disaksikan oleh kepala/demang adat. Ritual itulah yang mereka
anggap mensyahkan anak itu sebagai ahli waris yang sah juga seperti anak kandung, sehingga hak dan
kedudukannyapun disamakan seperti anak kandung termasuk dalam hal mewaris harta peninggalan
orang tua angkatnya. Hubungan hukum dengan orang tua kandungnya terputus karena dengan
pengangkatan secara adat ( dengan segala ritual adatnya ) oleh kepada adat, menjadikan anak
tersebut murni hanya mempunyai hubungan perdata dengan bapak dan ibu angkatnya saja, meskipun
bila dia sudah besar kelak akan diberitahu siapa orang tua kandungnya, tetapi ia tidak ada hak
mewaris harta peninggalan orang tua kandungnya.
Hukum Waris Adat Dayak Tunjung tidak mengenal adanya hak bagi ahli waris untuk sewaktu-waktu menu
ntut agar harta warisan segera dibagikan dimana dalam adat dayak pembagian warisan terbagi atas dua y
aitu ditentukan oleh orang tua sebelum ia meninggal kepada anak cucunya dan jika warisan dia bagikan s
ebelum pewaris meninggal maka tidak akan ada Lurat Penglio (dalam bahasa dayak tunjung) dan ke dua p
embagian warisan pada saat ia sudah meninggal dimana pembagiannya bagi rata antara anak cucunya se
suai kesepakatan bersama oleh anak cucunya pembagian ini dalam bahasa adat dayak tunjung disebuat L
urat Penglio. Berdasarkan ketentuan Hukum Adat pada prinsipnya asas hukum waris itu  penting, karena 
asas-asas yang ada selalu dijadikan pegangan dalam penyelesaian  pewarisan. Adapun berbagai asas itu d
i antaranya seperti asas ketuhanan dan  pengendalian diri, kesamaan dan kebersamaan hak, kerukunan d
an kekeluargaan, musyawarah dan mufakat, serta keadilan dan parimirma. Jika dicermati berbagai asas t
ersebut sangat sesuai dan jiwai oleh kelima sila yang termuat dalam dasar negara RI, yaitu Pancasila.

Anda mungkin juga menyukai