Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

UAS Tindak Pidana Pers


“Mengenai Tindak Pidana Pers
Berkaitan dengan Tindak Pidana Yang pernah terjadi”

Oleh :

NAMA : Whidy Chaerunisa


NIM : EAA 116 246

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS PALANGKARAYA
FAKULTAS HUKUM
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena atas rahmat-Nya
maka saya dapat menyelesaikan makalah tentang “Mengenai Tindak Pidana Pers
Berkaitan dengan Tindak Pidana Yang pernah terjadi”. Makalah ini disusun untuk
melengkapi salah satu tugas mata kuliah Tindak Pidana Pers sesuai ketentuan
yang diberikan oleh dosen sebagai pengajar.

Tugas ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penyusun
mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah
ini. Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya sebagai penyusun dapat
memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini, dan kami harapkan kedepannya
dapat lebih baik. Mohon maaf apabila terdapat kekurangan dalam Tugas makalah
kami ini.

Palangka Raya 15 Maret 2020

Penyusun

i
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Produk hukum yang mengatur mengenai delik pers dilihat berdasarkan


perspektif sejarah hukum pers telah ada berawal dari zaman penjajahan Kolonial
Belanda pada saat Indonesia belum merdeka, kemudian pada zaman era orde
lama, orde baru, hingga saat ini pada zaman reformasi. Masing-masing produk
hukum yang lahir dari zaman ke zaman ini memiliki sistem pertanggungjawaban
pidana terhadap pers ketika ada kasus pers yang diselesaikan melalui pengadilan
(litigasi).

Pers sendiri memiliki dua pengertian yaitu pers dalam arti kata sempit dan
pers dalam arti kata luas.Pers dalam arti kata sempit yaitu menyangkut kegiatan
komunikasi yang hanya dilakukan dengan perantaraan barang cetakan.1
Sedangkan pers dalam arti kata luas ialah menyangkut kegiatan komunikasi, baik
yang dilakukan dengan media cetak maupun dengan media elektronik seperti
radio, televisi maupun internet

Pers sebagai media informasi sering disebut juga sebagai pilar keempat
demokrasi setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif. Hal ini dikarenakan pers
memiliki posisi yang sangat strategis dalam informasi massa, pendidikan kepada
publik sekaligus menjadi alat kontrol sosial yang berjalan seiring dengan
penegakan hukum untuk terciptanya keseimbangan dalam suatu negara. Oleh
karena itu, telah menjadi suatu keharusan jika pers sebagai media informasi dan
juga media koreksi dijamin kebebasannya dalam menjalankan profesi
kewartawanannya. Namun, pada kenyataannya para insan pers di Indonesia tidak
dapat dikecualikan atau memiliki kekebalan dari segala tuntutan hukum (immune)
sebagai subjek dari hukum pidana dan harus tetap tunduk terhadap Kitab
Undangundang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia karena
berdasarkan pada Undang-Undang Dasar 1945 setiap warga negara Indonesia
termasuk wartawan memiliki persamaan di hadapan hukum.

Dalam penerapan delik pers di Indonesia, Majelis Hakim dalam berbagai


tingkat pengadilan menggunakan berbagai penafsiran yang berbeda tentang
penerapan Undang-Undang Pers sebagai lex specialis. Namun, adapun penafsiran
yang meneguhkan bahwa Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
bersifat lex specialis dari peraturan”perundang-undangan yang lain.

Menurut beberapa ahli hukum, istilah delik pers ini sering dianggap bukan
suatu terminologi hukum karena ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) menyatakan bahwa yang disebut sebagai delik
pers bukanlah delik yang semata-mata dapat ditujukan kepada pers, melainkan
ketentuan atau peraturan hukum yang berlaku secara umum yang ditujukan
kepada semua warga negara Indonesia. Akan tetapi, para pelaku pers merupakan
insan yang profesinya berdekatan sekali dengan bidang usaha yang bertugas untuk
menyiarkan, mempertunjukkan, memberitakan, dan sebagainya, maka unsur-unsur
delik pers dalam KUHP seperti Pasal 310 KUHP (tindak pidana pencemaran
nama baik/penghinaan), Pasal 311 KUHP (fitnah/pencemaran tertulis) dan
lainlainnya itu akan lebih sering ditujukan kepada para pelaku pers karena
disebabkan hasil pekerjaannya lebih mudah tersiar, terlihat, atau terdengar di
kalangan khalayak masyarakat banyak dan bersifat umum.

Kasus pers yang telah terjadi mayoritas adalah kasus penghinaan dan
pencemaran nama baik. Pada saat pemberitaan pers ini menjadi sebuah kasus yang
akan diselesaikan melalui jalur hukum (pengadilan), jika pihak yang
mengeluarkan pemberitaan tersebut terbukti salah secara sah dan meyakinkan
menurut hukum, maka akan timbul pertanyaan, siapakah yang akan
bertanggungjawab terhadap pemberitaan tersebut? Apakah perusahaan pers
tersebut dapat diberikan sanksi pidana ataukah seorang Pemimpin Redaksi dan
wartawannya dan mungkinkah hanya seorang Pemimpin Redaksinya saja?
Berdasarkan sejarah perjalanannya hingga saat ini, pers di Indonesia secara
umum memiliki empat sistem pertanggungjawaban pidana yaitu yang pertama
adalah pertanggungjawaban sistem bertangga (stair system), kedua, sistem air
terjun (waterfall system), dan yang ketiga adalah pertanggung jawaban
berdasarkan KUHP yaitu berdasarkan teori kesalahan (schuld) dan penyertaan
(deelneming).

Pada saat pemberitaan yang dilakukan pers telah memenuhi unsur-unsur


tindak pidana pencemaran nama baik, maka yang akan digunakan adalah Pasal
yang mengatur tindak pidana tersebut di dalam KUHP karena di dalam UU Pers
itu sendiri tidak mengatur mengenai hal tersebut. Sehingga yang digunakan
apakah sistem pertanggungjawaban yang digunakan di dalam UU Pers itu sendiri
ataukah menggunakan pertanggungjawaban berdasarkan KUHP. Perbedaan
pendapat dan pandangan mengenai pertanggungjawaban pers dalam kaitannya
dengan substansi pemberitaan hingga saat ini memang masih diperdebatkan,
apakah akan menjadi tanggungjawab perusahaan/pemimpin redaksi ataukah
menjadi tanggungjawab individu wartawan.

Hal ini menggambarkan bahwa masih belum ada kepastian hukum akan
pertanggungjawaban terhadap pelaku pers yang melakukan tindak pidana pers.
Selain itu, masih belum ada keseragaman terhadap sistem pertanggungjawaban
pidana di dalam Undang-Undang yang mengatur pers seperti Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002
tentang Penyiaran, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik, dan KUHP.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Penyebab Terjadinya Tindak Pidana dalam Tindak Pidana Pers ?
2. Apa Jenis Tindak Pidana yang ada dalam Tindak Pidana Pers ?
3. Bagaimanakah Orang/Pelaku Tindak Pidana yang ada dalam

Tindak Pidana Pers ?


4. Bagaimana Putusan Hakim dalam Tindak Pidana Pers ?

BAB II

PEMBAHASAN

1. Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Pers Terhadap Wartawan Yang


Sedang Menjalankan Tugas Profesi

1. Lemahnya Regulasi

Indonesia merupakan Negara yang media massa dan pers nya


berkembang begitu pesat. Kemajuan teknologi dan kebutuhan masyarakat
akan informasi yang tiada henti menjadi salah satu faktor tumbuh pesat nya
media massa dan pers di Indonesia. Dalam sejarah media massa di Indonesia
seperti yang dicantumkan dalam buku Pers di masa orde baru karangan.

Kebebasan pers pun mulai dikibar dan dikumandangkan oleh insan pers
dan jurnalis di Indonesia pada masa reformasi. Kejayaan dan kemerdekaan
pers ini tidak di lewati dan di sia sia kan begitu saja oleh insan pers di
indonesia, dengan semangat berekspresi dan berkarya jurnalis dan wartawan
di seluruh indonesia menumpahkan seluruh semangat dan jiwa raga nya
demi memenuhi kebutuhan masyarakat indonesia akan informasi. Tidak
hanya sebagai penyedia dan pemberi informasi pers juga mulai memainkan
peran nya sebagai pengontrol sosial kehidupan berbangsa dan bernegara
sesuai dengan Undang undang No. 11 Tahun 1996 tentang ketentuan
ketentuan pokok pers Bab. II Fungsi, kewajiban dan hak pers pada Pasal 3
Pers mempunyai hak kontrol, kritik, dan koreksi yang bersifatkorektif dan
konstruktif. Hak ini pun dilakukan dengan selalu mengangkat isu isu yang
berkembang untuk dinilai dan diamati dari berbagai aspek secara universal
oleh seluruh masyarakat dan konsumen media di berbagai pelosok tanah air
melalui media cetak dan elektronik di seluruh Indonesia.

Kekerasan (geweld) itu adalah perbuatan dengan menggunakan kekuatan


fisik yang besar, yang ditunjukkan pada orang yang mengakibatkan orang
itu (fisiknya) tidak berdaya Pengertian luas, kekerasan kolektif dilakukan
oleh segerombolan orang (mob) dan kumpulan orang banyak (crowd) dan
dalam pengertian sempitnya dilakukan oleh kelompok.

Bentuk kekerasan yang bersifat kolektif maupun individual, oleh


Thomas Santoso dimisalkan seperti serangan dengan memukul (assault and
battery), pembunuhan (homicide), dan pemerkosaan (rape), dan akhirnya
tindak kekerasan individu, seperti bunuh diri (suiside). Namun kekerasan
individu menimbulkan permasalahan riset yang agak serius, terutama dalam
mengidentifikasi mereka yang melakukannya, karena aktifitas mereka sering
kali tidak diketahui kecuali si korban.

Selain ketidakpahaman pelaku kekerasan terhadap profesi jurnalis,


jurnalis dan pemilik media pun berperan terhadap kekerasan yang terjadi.
Faktor pertama pelaku kekerasan tidak memahami jurnalis merupakan
profesi yang dilindungi dan bekerja menjalankan Undang-Undang Nomor
40 Tahun 1999 Tentang Pers. “Dalam arti, jurnalis bekerja mewakili
publik dalam hal pencarian informasi dan menyiarkannya kepada
masyarakat. Di sini ada kekurangpahaman pelaku.

Kekerasan terhadap wartawan merupakan pelanggaran terhadap hak


asasi manusia. Dikatakan demikian sebab kekerasan terhadap wartawan
merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap kebebasan pers dalam
menyampaian informasi secara universal telah diakui dalam Declaration of
Human Rights, tepatnya diatur dalam Pasal 19 yang menyatakan “setiap
orang berhak atas kebebasan dan mempunyai pendapat-pendapat dengan
tidak mendapat gangguan dan untuk mencari, menerima dan
menyampaikan keterangan dan pendapat dengan cara apapun dengan tidak
memandang batas-batas.

Ketentuan mengenai adanya perlindungan terhadap wartawan, secara


jelas tercantum dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999,
yang selengkapnya berbunyi dalam melaksanakan profesinya wartawan
mendapat perlindungan hukum. Yang dimaksud adalah jaminan
perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dan atau masyarakat kepada
wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan perannya sesuai
dengan ketentuan.

2. Pelaku penganiayaan tidak memahami jurnalis adalah profesi yang


dilindungi hukum dan konstitusi.

Pasal 8 undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers


mengungkapkan perlindungan hukum berupa jaminan perlindungan dari
pemerintah dan atau masyarakat yang diberikan kepada wartawan dalam
melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Praktik impunitas bagi pembunuh dan pelaku kekerasan terhadap


jurnalis membuat pelakunya, termasuk aparat hukum, tidak memahami
bahwa profesi jurnalis di lindungi hukum dan konstitusi. Akibatnya kasus
kekerasan terhadap jurnalis terus terjadi.

Pasal 1 angka 11 dan angka 12 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999


bahwa adanya hak jawab dan hak koreksi yang dapat dijadikan langkah
bagi masyarakat atau warga yang dirugikan oleh pemberitaan dengan
menggunakan hak jawab dan hak koreksi. yakni hak untuk mengoreksi
atau membetulkan kekeliruan atas suatu informasi, data, fakta, opini atau
gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh wartawan, maka dari
itu dalam memberitakan peristiwa dan opini harus menghormati norma-
norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta praduga tak bersalah,
dan melayani hak jawab dan hak tolak sebagaimana yang terdapat didalam
Pasal 5 ayat (1),(2),(3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999.

3. Wartawan yang Tidak Bekerja sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik dan
Undang-Undang No. 40 Tahun 1999.

Wartawan memiliki etika profesinya sendiri, yaitu kode etik


jurnalistik, secara sederhana kode etik jurnalistik ini mengisyaratkan
tanggung jawab yang besar dikalangan wartawan, artinya wartawan yang
bertanggung jawab adalah wartawan yang menggunakan kebebasan
menyajikan berita untuk kepentingan masyarakat luas, tidak untuk
kepentingan diri sendiri. Karena itu, cara yang dianggap konstruktif
menggunakan kebebasan menyajikan berita adalah penggunaan kebebasan
secara etis.

Menyandang gelar wartawan di masa depan diprioritaskan dedikasi


dalam mengabdi mengemban tugas negara. Idealnya kaum jurnalis
menjalankan fungsinya sepatutnya mengindahkan koridor-koridor elegan.
“Wartawan itu sudah memiliki kebebasan pers, makanya harus dilengkapi
rasa tanggung jawab, artinya kalau membuat berita harus berdasarkan
fakta obyektivitas, lalu patuh pada standar dan etika jurnalistik. Tantangan
dalam menjalankan jurnalistik kerap tersandung delik pers.

2. Jenis Tindak Pidana yang ada dalam Tindak Pidana Pers

Arti Tindak Pidana Pers.

Undang-undang tidak mengenal istilah tindak pidana pers. Istilah itu


dikenal dalam masyarakat, merupakan istilah sosial. Suatu istilah yang
menggambarkan sekelompok tindak pidana yang mengandung ciri-ciri:

 Dilakukan dengan perbuatan mempublikasikan.wujudnya bisa


bermacam-macam bergantung dan berhubungan dengan unsur
perbuatan yang dicantumkan dalam rumusan tindak pidana tertentu
yang bersangkutan. Misalnya menyerang kehormatan atau nama baik
dengan tulisan (Pasal 310 KUHP); menyiarkan, mempertunjukkan
atau menempelkan tulisan (Pasal 144, 155, 157 KUHP).
 Objek yang dipublikasikan adalah berita/informasi, atau mengenai
buah pikiran tertentu.
 Caranya atau sarananya dengan menggunakan tulisan/barang
cetakan.
 Di dalam berita/informasi mengandung sifat melawan hukum.
Karena isinya melanggar kepentingan hukum orang pribadi atau
masyarakat termasuk Negara yang dilindungi hukum.

Agar dapat dipidananya tindak pidana pers, selain perlu memenuhi unsur
tersebut juga harus adanya kesengajaan, yang ditujukan baik terhadap
perbuatnnya, sifat melawan hukumnya perbuatanmaupun sifat melawan
hukum mengenaiisi beritanya.

Kesengajaan harus dibuktikan ataukah tidak, bergantung


dicantumkan ataukah tidak di dalam rumusan tindak pidana in concreto.
Unsur sengaja selalu harus dianggap ada pada setiap kejahatan, kecuali
jika dinyatakan secara expressis verbis kulpa.Jika dicantumkan wajib
dibuktikan, sebaliknya jika tidak – tidak perlu dibuktikan. Dengan
terbuktinya perbuatan unsur sengaja dianggap terbukti pula. Sebaliknya
kalau yang terbuktiketiadaankesengajaan (pengetahuan) terhadap unsur
tertentu, tidak boleh dipidana. Ketiadaan kesengajaan (pengetahuan)
merupakan alasan penghapus kesalahan.

Tindak pidana bentuk apapun, baru dapat dimasukkan ke dalam


kelompok tindak pidana pers, apabila memenuhi ciri-ciri tersebut. Tindak
pidana yang memenuhi ciri itu, terdapat pada bermacam-macam tindak
pidana tertentu. Misalnya dalam bentuk-bentuk penghinaan, penghasutan,
pornografi, menyiarkan berita bohong, pembocoran rahasia Negara, dll.

3. Kebijakan Hukum Pidana dalam Memberikan Perlindungan Hukum


terhadap Wartawan Dalam Menjalankan Tugas Profesi.
Beberapa dekade terakhir berkembang ide-ide perbuatan tanpa pidana,
artinya tidak semua tindak pidana menurut undang-undang pidana
dijatuhkan pidana, serentetan pendapat dan beberapa hasil penelitian
menemukan bahwa pemidanaan tidak memiliki kemanfaatan ataupun
tujuan, pemidaan tidak menjadikan lebih baik. Karena itulah perlunya
sarana non penal diintensifkan dan diefektifkan, disamping beberapa
alasan tersebut, juga masih diragukannya atau dipermasalahkannya
efektifitas sarana penal dalam mencapai tujuan politik kriminal.

Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “non penal”


lebih bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka
sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab
terjadinya kejahatan. Faktorfaktor kondusif itu antara lain, berpusat pada
masalah-masalah atau kondisikondisi sosial yang secara langsung atau
tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan.
Dengan demikian, dilihat dari sudut politik kriminal secara makro dan
global, maka upaya-upaya non penal menduduki posisi kunci dan strategis
dari keseluruhan upaya politik kriminal. Di berbagai Kongres PBB
mengenai “The Prevention of Crime and Treatment of Offenders”
ditegaskan upaya-upaya strategis mengenai penanggulangan sebabsebab
timbulnya kejahatan.

Pasal 98 KUHAP memberi kesempatan kepada korban untuk


menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian ke dalam proses peradilan
pidana, dimana ganti kerugian ini dipertanggungjawabkan kepada pelaku
tindak pidana. Penggabungan gugatan ganti kerugian alam perkara pidana
akan memudahkan korban atau keluarganya karena tidak perlu
mengajukan gugatan tersendiri. Gugatan ganti rugi ini tetap bersifat
keperdataan walaupun diberikan melalui proses pidana.

KUHAP tidak mengatur bagaimana bila pelaku tidak mau atau tidak
mampu membayar ganti rugi tersebut kepada korban. Proses
penggabungan perkara ganti kerugian ini pun bersifat fakultatif, dimana
dalam Pasal 99 ayat (2) KUHAP disebutkan bahwa hakim dapat menolak
atau menerima permohonan penggabungan gugatan ganti kerugian yang
diajukan oleh korban atau keluarganya.

Pasal 99 ayat (1) KUHAP mengadakan pembatasan, dimana ganti


kerugian yang diajukan ganti kerugian terhadap biaya-biaya yang telah
dikeluarkan korban atau ganti kerugian yang bersifat materiil, sedang
kerugian yang bersifat immaterial tidak dapat diterima. Kerugian
immaterial tersebut harus diajukan dalam perkara perdata.

Eksistensi Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 berlandaskan legal


formal kebebasan pers, belum seutuhnya menjamin perlindungan
wartawan dalam menjalankan fungsi jurnalistiknya. Euforia politik &
kebebasan, malah menggiring institusi-institusi pers dan organisasi-
organisasi wartawan tak berfungsi optimal. Dalam situasi tidak kondusif
setiap terjadi permasalahan, larilah ke hukum. Tetapi apakah hukum
mampu memberikan perlindungan maksimal bagi insan jurnalis.

Pasal 1 angka (11) dan angka (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun


1999 bahwa adanya hak jawab dan hak koreksi yang dapat dijadikan
langkah bagi masyarakat atau warga yang dirugikan oleh pemberitaan
dengan menggunakan hak jawab dan hak koreksi. yakni hak untuk
mengoreksi atau membetulkan kekeliruan atas suatu informasi, data,
fakta, opini atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh
wartawan maka dari itu dalam memberitakan peristiwa dan opini harus
menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta
praduga tak bersalah, dan melayani hak jawab dan hak tolak sebagaimana
yang terdapat didalam Pasal 5 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 1999.

Sesuai dengan UU Pers, Pasal 18 menyebutkan setiap orang yang


secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang
berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan Pasal 4 ayat (3)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda
paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah). Kalangan
Pers hendaknya bersama-sama pro-aktif dalam memberikan informasi
terkini tentang hal tersebut ke publik, agar aksi kekerasan yang menimpa
insan pers tidak berulang terjadi. Menelisik faktor intern dalam
menghindari delik pers, seyogyanya insan jurnalis pun harus kembali
pada penegakan kode etik jurnalistik. Dalam menjalankan tugas
jurnalistiknya berusaha mentaati ketentuan kode etik, ketentuan hukum
dan profesionalisme.

4. Putusan Hakim dalam Tindak Pidana Pers

Kasus Terhadap Putusan Nomor 315/PID/B/2011/PN.PMS

1) Kronologis

Rusli Sarmauli Simbolon B.Sc selaku petugas di Kapolresta kota P.


Siantar, memberitahukan kepada Briptu Rudianto selaku ajudan
Kapolres (Fatori SIK) melaporkan kepada Kapolres P. Siantar
(Fatori SIK) bahwa Andi Rianto SP (wartawan Trans Tv) selaku
tahanan atas kasus penganiayaan anak dibawah umur menolak untuk
dipindahkan dari kamar tahanan 4 ke kamar 2. Mendengar laporan
ajudannya Fatori SIK langsung mendatangi Andi Rianto SP yang
sedang berada di ruang olahraga tahanan Polresta P. Siantar dan
langsung memanggil Andi Rianto SP serta menanyakan kepada Andi
kenapa dia tidak mau dipindahkan ke kamar tahanan 2. Kemudian
Andi berkata “Aku tidak mau”, sehingga dengan emosi tanpa
mendengar alasan Andi lalu Fatori SIK langsung memukul bibir
Andi Rianto SP dengan menggunakan sarung tinju sebelah kiri yang
diambil nya dari narapidana yang sedang melakukan olahraga tinju
di ruang olahraga tersebut. setelah memukul bibir Andi, kemudian
Fatori memukul ke arah rusuk Andi sebanyak dua kali yang
mengenai bagian perut nya. Akibat dari pukulan tersebut, Andi
terbentur ke dinding ruangan olahraga tahanan hingga jatuh terduduk
dan muntah-muntah akibatnya Andi mengalami bengkak pada kepala
bagian belakang sebelah kanan sepanjang 1 cm x 0,5 cm x 0,5 cm
dan luka lecet pada bibir bawah bagian bawah selebar 0,2 cm x 0,3
cm sesuai Visum et Repertum Nomor 4702/VI/UPM/XII/2010
Tanggal 3 Desember 2010 atas nama Andi Rianto SP.

2) Dakwaan

Atas perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa,


maka terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal
351 Ayat (1) KUHP.

3) Tuntutan

Tuntutan pidana Jaksa/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri


Pematang Siantar tanggal 4 Januari 2012 sebagai berikut:

a) Menyatakan terdakwa Fatori SIK terbukti secara sah dan


meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana
“Penganiayaan” sebagaimana dalam Surat Dakwaan melanggar
Pasal 351 Ayat (1) KUHP;
b) Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Fatori SIK dengan
pidana penjara selama 8 (delapan) bulan dengan perintah
Terdakwa supaya ditahan;
c) Menyatakan barang bukti berupa: - 1 (satu) pasang sarung tinju
warna merah merek “Rocky”: Dirampas untuk dimusnahkan;
d) Menetapkan supaya Terdakwa dibebani membayar biaya
perkara sebesar Rp. 5.000,00 (lima ribu rupiah);
4) Putusan Pengadilan Negeri P. Siantar

Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Pematang Siantar Nomor:


315/PID/B/2011/PN.PMS, terdakwa FATORI SIK dijatuhkan pidana
penjara selama 8 bulan dengan perintah supaya terdakwa ditahan.

5) Putusan Pengadilan Tinggi Medan

Berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor:


226/PID/2012/PT/MDN, terdakwa FATORI SIK dijatuhkan pidana
penjara selama 4 (empat) bulan dengan perintah pidana tersebut
tidak perlu dijalani dijalani oleh terdakwa, kecuali sebelum lewat
masa percobaan selama 8 (delapan) bulan terdakwa atas putusan
hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dipersalahkan
melakukan sesuatu tindak pidana.

6) Putusan Mahkamah

Memperhatikan Pasal 351 ayat (1) KUHP, serta peraturan lain yang
berhubungan dengan perkara ini;

a. Menyatakan bahwa Terdakwa FATORI SIK, telah terbukti


secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
“PENGANIAYAAN”;
b. Menjatuhkan pidana oleh karena itu terhadap terdakwa
FATORI SIK, dengan pidana penjara selama 2 (dua) bulan;
c. Menyatakan barang bukti berupa: - 1 (satu) pasang sarung
tinju warna merah merek “Rocky”. Dirampas untuk
dimusnahkan.
d. Menetapkan agar terdakwa membayar biaya perkara sebesar
Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah).
BAB III

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan-pembahasan yang telah diuraikan pada bab


terdahulu maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

Pers sebagai media informasi sering disebut juga sebagai pilar keempat
demokrasi setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif. Hal ini dikarenakan pers
memiliki posisi yang sangat strategis dalam informasi massa, pendidikan
kepada publik sekaligus menjadi alat kontrol sosial yang berjalan seiring
dengan penegakan hukum untuk terciptanya keseimbangan dalam suatu negara.

Oleh karena itu, telah menjadi suatu keharusan jika pers sebagai media
informasi dan juga media koreksi dijamin kebebasannya dalam menjalankan
profesi kewartawanannya. Namun, pada kenyataannya para insan pers di
Indonesia tidak dapat dikecualikan atau memiliki kekebalan dari segala
tuntutan hukum (immune) sebagai subjek dari hukum pidana dan harus tetap
tunduk terhadap Kitab Undangundang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di
Indonesia karena berdasarkan pada Undang-Undang Dasar 1945 setiap warga
negara Indonesia termasuk wartawan memiliki persamaan di hadapan hukum.
1. penyebab terjadinya tindak pidana kekerasan terhadap wartawan yang
sedang menjalankan tugas profesi, yaitu :

Faktor internal

1) Lemahnya Regulasi

2) Perubahan peraturan perundang-undangan

3) Ketidakprofesionalan wartawan

4) Standar kompetensi wartawan terhadap perubahan undang-undang


pers

Faktor eksternal

1) Pelaku Penganiayaan Tidak Memahami Jurnalis adalah Profesi yang


Dilindungi Hukum dan Konstitusi.

2) Wartawan yang tidak bekerja sesuai dengan kode etik jurnalistik dan
Undang-Undang No. 40 Tahun 1999

3) Perusahaan pers yang belum total dalam membela wartawan

Eksistensi Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 berlandaskan legal


formal kebebasan pers, belum seutuhnya menjamin perlindungan wartawan
dalam menjalankan fungsi jurnalistiknya. Euforia politik & kebebasan, malah
menggiring institusi-institusi pers dan organisasi-organisasi wartawan tak
berfungsi optimal. Dalam situasi tidak kondusif setiap terjadi permasalahan,
larilah ke hukum. Tetapi apakah hukum mampu memberikan perlindungan
maksimal bagi insan jurnalis.
DAFTAR PUSTAKA

http://tugasbelajarhukum.blogspot.com/2011/01/makalah-pidana-pers.html

http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/58492/Chapter%20III-
V.pdf?sequence=2&isAllowed=y

https://www.kompasiana.com/adamichazawi/552ac6cbf17e61ff3dd623a9/tindak-
pidana-pers-dalam-uu-pers-bukan-lex-specialis

Anda mungkin juga menyukai