Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Dalam dinamika kehidupan sehari-hari sering terjadi konflik antara individu dengan
lainnya. Konflik yang terjadi sering tidak dapat diselesaikan oleh para pihak yang
terkait.
Untuk dapat menyelesaikan persoalan tersebut sering sekali diperlukan campur
tangan institusi khusus yang memberikan penyelesaian imparsial (secara tidak
memihak), penyelesaian itu tentunya harus didasarkan kepada patokan-patokan yang
berlaku secara obyektif. Fungsi ini lazimnya dijalankan oleh suatu lembaga yang
disebut dengan lembaga peradilan, yang berwenang untuk melakukan pemeriksaan,
penilaian dan memberikan keputusan terhadap konflik. Wewenang yang sedemikian
itulah yang disebut dengan “kekuasaan kehakiman” yang di dalam praktiknya
dilaksanakan oleh “hakim”.
Agar dapat menyelesaikan masalah atau konflik yang dihadapkan kepadanya secara
imparsial berdasarkan hukum yang berlaku, maka dalam proses pengambilan
keputusan, para hakim harus mandiri dan bebas dari pengaruh pihak manapun,
termasuk dari pemerintah. Dalam mengambil keputusan, para hakim hanya terikat
pada fakta- fakta yang relevan dan kaidah hukum yang menjadi atau dijadikan
landasan yuridis keputusannya. Tetapi penentuan fakta-fakta mana yang termasuk
fakta-fakta yang relevan dan pilihan kaidah hukum yang mana yang akan dijadikan
landasan untuk menyelesaikan kasus yang dihadapinya diputuskan oleh hakim yang
bersangkutan itu sendiri.
Dengan demikian, jelas bahwa hakim atau para hakim memiliki kekuasaan yang
besar terhadap para pihak (yustiabel) berkenaan dengan masalah atau konflik yang
dihadapkan kepada hakim atau para hakim tersebut.
Namun dengan demikian berarti pula bahwa para hakim dalam menjalankan
tugasnya sepenuhnya memikul tanggung jawab yang besar dan harus menyadari
tanggung jawabnya itu, sebab keputusan hakim dapat membawa akibat yang sangat
jauh pada kehidupan para yustiabel dan atau orang-orang lain yang terkena oleh

1
jangkauan keputusan tersebut. Keputusan hakim yang tidak adil bahkan dapat
mengakibatkan penderitaan lahir dan bathin yang dapat membekas dalam bathin
para yustiabel yang bersangkutan sepanjang perjalanan hidupnya.
Karena itu tentunya sangat terkutuk sekali apabila hakim dalam mengambil sesuatu
keputusan atas suatu konflik yang dihadapkan kepadanya berdasar pengaruh-
pengaruh yang datang dari luar.

1.2 Rumusan Masalah

- Apa yang dimaksud dengan profesi hakim?


- Bagaimana wewenang dan tugas hakim?
- Bagaimana pedoman etika dan perilaku hakim?
- Bagaimana pengawasan terhadap etika profesi hakim?

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hakim

Hakim berasal dari kata hakam, yang sama artinya dengan qadhi yang artinya
memutus. Sedangkan menurut bahasa, hakim adalah orang yang bijaksana atau
orang yang memutuskan perkara dan menetapkannya.
Memberikan keputusan atas setiap perkara yang dihadapkan kepadanya, atau dengan
kata lain menetapkan hubungan hukum, nilai hukum dari perilaku serta kedudukan
hukum para pihak yang terlibat dalam situasi yang dihadapkan kepadanya atau
menyatakan apa hukumnya bagi situasi konkret tertentu. Secara lebih filosofis
hakim berperan sebagai juru bicara nilai-nilai fundamental dari masyarakat atau “the
spokesmen of the fundamental values of the community”.
 Profesi Hakim
Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-
Undang untuk mengadili (Pasal 1 butir 8 KUHAP), yaitu serangkaian tindakan
hakim, untuk menerima, memeriksa, memutus perkara pidana berdasarkan asas
bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal menurut cara yang
diatur dalam Undang-Undang. Karena itu, seorang hakim harus bersungguh-
sungguh mencari kebenaran agar dapat menghukum seseorang dengan seadil-
adilnya.

 Wewenang dan Tugas Hakim

Wewenang pokok dari lembaga peradilan adalah melakukan tindakan pemeriksaan,


penilaian dan penetapan nilai perilaku menusia tertentu, serta menentukan nilai
suatu konkret dan menyelesaikan persoalan (konflik) yang ditimbulkan secara
imparsial berdasarkan hukum yang dalam hal ini bisa dijadikan sebagai patokan
objektif. Wewenang itulah yang disebut kewenangan (kekuasaan) kehakiman.
Pengambilan keputusan dalam mewujudkan kewenangan kehakiman tersebut dalam

3
kenyataan konkret, dilaksanakan oleh pejabat lembaga peradilan yang dinamakan
hakim.5
Pada dasarnya, tugas hakim adalah memberikan keputusan atas setiap perkara
(konflik) yang dihadapkan kepadanya. Artinya, hakim bertugas untuk menetapkan
hubungan hukum, nilai hukum dari perilaku, serta kedudukan hukum para pihak
yang terlibat dalam situasi yang dihadapkan kepadanya. Dalam mengambil
keputusan, para hakim hanya terikat pada fakta-fakta yang relevan dan kaidah
hukum yang menjadi atau dijadikan landasan yuridis keputusannya, di samping
sikap etis atau etika profesi hakim harus berintikan: sikap taqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, jujur, adil, bijaksana, imparsial (tidak memihak), sopan, sabar,
memegang teguh rahasia jabatan, dan solidaritas sejati.

 Pedoman Etika dan Perilaku Hakim

Sering diketahui bahwa setiap profesi, termasuk hakim, menggunakan sistem etika
untuk menyediakan struktur yang mampu menciptakan disiplin tata kerja dan
menyediakan garis batas tata nilai yang dapat dijadikan pedoman para profesional
untuk menyelesaikan dilema etika yang dihadapi saat menjalankan fungsi
pengembanan profesinya sehari-hari. Tujuan kode etik ini adalah menjunjung tinggi
martabat profesi atau seperangkat kaidah perilaku sebagai pedoman yang harus
dipatuhi dalam mengemban suatu profesi. Keberadaan suatu pedoman etika dan
perilaku hakim sangat dibutuhkan dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan dan keluhuran martabat, serta perilaku hakim.6
Untuk menjaga martabat profesi hakim, Mahkamah Agung mengeluarkan pedoman
perilaku hakim yang berlaku untuk hakim di seluruh pengadilan di Indonesia.
Pedoman Perilaku Hakim ini merupakan prinsip-prinsip dasar bagi para hakim,
termasuk hakim Pengadilan Niaga dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.7
Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial telah mengeluarkan Surat Keputusan
Bersama Nomor: 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor: 02/SKB/P-KY/IV/2009
tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku hakim yang mengatur perilaku hakim
sebagai berikut :

4
1. Berperilaku Adil
Adil bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan yang
menjadi haknya, didasarkan pada suatu prinsip bahwa semua orang sama
kedudukannya di depan hukum. Dengan demikian, tuntutan yang paling
mendasar dari keadilan adalah memberikan perlakuan dan kesempatan yang
sama (equality and fairness) terhadap setiap orang. Oleh karenanya, seseorang
melaksanakan tugas atau profesi di bidang peradilan yang memikul tanggung
jawab menegakkan hukum yang adil dan benar, serta harus selalu berlaku adil
dengan tidak membeda-bedakan orang.

2. Berperilaku Jujur
Kejujuran bermakna dapat dan berani menyatakan bahwa yang benar adalah
benar dan yang salah adalah salah. Kejujuran mendorong terbentuknya pribadi
yang kuat dan membangkitkan kesadaran akan hakikat yang hak dan batil.
Dengan demikian, akan terwujud sikap pribadi yang tidak berpihak terhadap
setiap orang baik dalam persidangan maupun di luar persidangan.

3. Berperilaku Arif dan Bijaksana


Arif dan bijaksana bermakna mampu bertindak sesuai dengan norma- norma
yang hidup dalam masyarakat, baik hukum, keagamaan, kebiasaan- kebiasaan,
maupun kesusilaan dengan memerhatikan situasi dan kondisi pada saat itu, serta
mampu memperhitungkan akibat dari tindakannya. Perilaku yang arif dan
bijaksana mendorong terbentuknya pribadi berwawasan luas, mempunyai
tenggang rasa tinggi, bersikap hati-hati, sabar dan santun.

4. Bersikap Mandiri
Mandiri bermakna mampu bertindak sendiri tanpa bantuan pihak lain, bebas dari
campur tangan siapapun dan bebas dari pengaruh apapun. Sikap mandiri
mendorong terbentuknya perilaku hakim yang tangguh, berpegang teguh pada

5
prinsip, dan keyakinan atas kebenaran sesuai tuntutan moral serta ketentuan
hukum yang berlaku.

5. Berintegritas Tinggi
Integritas bermakna sikap dan kepribadian yang utuh, berwibawa, jujur dan tidak
tergoyahkan. Integritas tinggi pada hakikatnya terwujud pada sikap setia dan
tangguh berpegang pada nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku dalam
melaksanakan tugas. Integritas tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi
yang berani menolak godaan dan segala bentuk intervensi, dengan
mengedepankan tuntutan hati nurani untuk menegakkan kebenaran juga keadilan
serta selalu berusaha melakukan tugas dengan cara terbaik untuk mencapat
tujuan.

6. Bertanggung Jawab
Bertanggung jawab bermakna kesediaan untuk melaksanakan sebaik- baiknya
segala sesuatu yang menjadi wewenang dan tugasnya, serta memiliki keberanian
untuk menanggung segala akibat atas pelaksanaan wewenang dan tugasnya
tersebut.

7. Menjunjung Tinggi Harga Diri


Harga diri bermakna bahwa pada diri manusia melekat martabat dan kehormatan
yang harus dipertahankan serta dijunjung tinggi oleh setiap orang. Prinsip
menjunjung tinggi harga diri, khususnya hakim, akan mendorong dan
membentuk pribadi yang kuat juga tanggguh, sehingga senantiasa menjaga
kehormatan serta martabat sebagai aparatur peradilan.

8. Berdisiplin Tinggi
Disiplin bermakna ketaatan pada norma atau kaidah yang diyakini sebagai
panggilan luhur untuk mengemban amanah serta kepercayaan masyarakat
pencari keadilan. Disiplin tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi yang

6
tertib di dalam melaksanakan tugas, ikhlas dalam pengabdian dan berusaha
untuk menjadi teladan dalam lingkungannya, serta tidak menyalahgunakan
amanah yang dipercayakan kepadanya.

9. Berperilaku Rendah Hati


Rendah hati bermakna kesadaran akan keterbatasan kemampuan diri, jauh dari
kesempurnaan dan terhindar dari setiap bentuk keangkuhan. Rendah hati akan
mendorong terbentuknya sikap realistis, mau membuka diri untuk terus belajar
menghargai pendapat oranglain, menumbuh kembangkan sikap tenggang rasa,
serta mewujudkan kesederhanaan, penuh rasa syukur dan ikhlas di dalam
mengemban tugas.

10. Bersikap Profesional


Profesional bermakna suatu sikap moral, dilandasi oleh tekad untuk
melaksanakan pekerjaan yang dipilihnya dengan kesungguhan, didukung oleh
keahlian atas dasar pengetahuan, keterampilan dan wawasan luas. Sikap
profesional akan mendorong terbentuknya pribadi yang senantiasa menjaga dan
mempertahankan mutu pekerjaan, serta berusaha untuk meningkatkan
pengetahuan dan kinerja, sehingga tercapai setinggi-tingginya mutu hasil
pekerjaan, efektif dan efisien.

Hakim dituntut untuk berintegrasi dan profesional serta menjunjung tinggi pedoman
etika dan perilaku hakim. Profesionalisme tanpa etika menjadikannya “bebas sayap”
(vluegel vrif), dalam arti tanpa kendali serta tanpa pengarahan yang akan berakibat
otoriter. Sebaliknya, etika tanpa profesionalisme menjadikannya “lumpuh sayap”
(vluegellam) dalam arti tidak maju, bahkan tidak tegak.
Untuk itulah, dalam struktur kekuasaan kehakiman di Indonesia, dibentuk sebuah
Komisi Yudisial. Dengan kehormatan dan keluhuran martabatnya, kekuasaan
kehakiman yang merdeka dan bersifat imparsial (independent and impartial

7
judiciary) diharapkan dapat diwujudkan. Hal tersebut sekaligus diimbangi oleh
prinsip akuntabilitas kekuasaan kehakiman, baik dari segi hukum maupun segi etika.
Untuk itu, diperlukan suatu institusi pengawasan yang independen terhadap para
hakim itu sendiri.
Melalui instansi tersebut, aspirasi masyarakat di luar struktur resmi dapat dilibatkan
dalam proses pengangkatan para hakim agung, serta dilibatkan pula dalam proses
penilaian terhadap etika kerja dan kemungkinan pemberhentian para hakim karena
pelanggaran terhadap etika. Pada dasarnya, Komisi Yudisial adalah sebuah lembaga
yang masih tergolong baru di negara kita. Sebuah komisi yang bersifat mandiri yang
kewenangannya adalah mengusulkan pengangkatan hakim agung dan kewenangan
lain, yaitu menjaga (mengawasi) dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,
serta perilaku hakim.
Dalam menjaga dan menegakkan kehormatan hakim, Komisi Yudisial akan menilai
apakah putusan yang dibuat sesuai dengan kehormatan hakim dan rasa keadilan
yang timbul dari masyarakat ataukah tidak. Adapun dalam menjaga dan
menegakkan keluhuran martabat hakim, Komisi Yudisial harus mengawasi apakah
profesi hakim itu telah dijalankan sesuai pedoman etika dan perilaku hakim, atau
memperoleh pengakuan masyarakat, serta mengawasi dan menjaga agar para hakim
tetap dengan hakikat kemanusiannya, berhati nurani, sekaligus memelihara harga
dirinya, dengan tidak melakukan perbuatan tercela.

8
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-
Undang untuk mengadili (Pasal 1 butir 8 KUHAP), yaitu serangkaian tindakan
hakim, untuk menerima, memeriksa, memutus perkara pidana berdasarkan asas
bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal menurut cara
yang diatur dalam Undang-Undang. Begitu pentingnya posisi dan peranan
hakim, mengharuskan pemangkunya harus kredibel, orang yang dihormati dan
adil dalam memberikan keputusan.
Wewenang dan tugas pokok dari lembaga peradilan (dalam hal ini hakim)
adalah melakukan tindakan pemeriksaan, penilaian dan penetapan nilai perilaku
menusia tertentu, serta menentukan nilai suatu konkret dan menyelesaikan
persoalan (konflik) yang ditimbulkan secara imparsial berdasarkan hukum yang
dalam hal ini bisa dijadikan sebagai patokan objektif.
Pedoman etika dan perilaku hakim merupakan inti yang melekat pada profesi
hakim sebab ia adalah kode perilaku yang memuat nilai etika dan moral. Hakim
dituntut untuk berintegrasi dan profesional serta menjunjung tinggi pedoman
etika dan perilaku hakim. Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial telah
mengeluarkan Surat Keputusan Bersama tentang Kode Etik dan Pedoman
Perilaku hakim yang mengatur perilaku hakim. Yakni hakim harus berperilaku
adil, berperilaku jujur, berperilaku arif dan bijaksana, bersikap mandiri,
berintegritas tinggi, bertanggung jawab, menjunjung tinggi harga diri, berdisiplin
tinggi, berperilaku rendah hati dan bersikap profesional.

9
Pengawasan terhadap kode etik profesi hakim yaitu dilakukan oleh masyarakat
dan Komisi Yudisial, karena tugasnya adalah menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

DAFTAR PUSTAKA

 Muhammad Nuh, S.H., M.H., Adv. 2011. Etika Profesi Hukum.


Bandung: Pustaka Setia.
 Suhrawardi K. Lubis, S.H. 2017. Etika Profesi Hukum. Jakarta: Sinar
Grafika\
 Dr. Suparman Marzuki, S.H., M.Si. 2017. Etika & Kode Etik Profesi
Hukum. Yogyakarta: FH UII Press.
 Dr. Mardani. 2017. Etika Profesi Hukum. Depok: Raja Grafindo Persada
 Dr. H. Sutrisno, S.H., M.Hum & Wiwin Yulianingsih, S.H., M.Kn. 2016.
Etika Profesi Hukum. Yogyakarta: CV. Andi Offset.

10

Anda mungkin juga menyukai