Dosen Pengampu :
Disusun Oleh :
SEMARANG
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Setiap individu yang hidup pasti akan menemui kematian dimana pun dan kapan
pun sesuai dengan yang sudah Allah SWT janjikan, dan ketika mati harta benda tak serta
merta di bawa oleh kita, semua nya di di tinggalkan di dunia, dan harta benda itu di
berikan secara otomatis kepada keluarga yang di tingalkan nya, namun di sini ketika
pembagian harta warisan sering terjadi konflik antar keluaga, mereka tidak terima dengan
bagian-bagian yang di berikan, terkadang mereka mengagap tak mendapatkan keadilan,
dan pada akhirnya perpecahan pun terjadi.
Mereka tidak mengetahuai bagaimana sebenarnya hukum waris itu sudah
mengatur secara terperinci dan adil, Allah SWT sudah menetapkan bagian-bagian harta
yang sesuai dengan ukuranya, tetapi terkadang keserakahan dari manusia itu sendiri yang
menyebabkan perpecahan.
Disini lah perlu peran dari dari sesroang yang bisa meredam perpecahan tersebut
dengan memberi pengetahuan hukum mawaris, kasus ini banyak terjadi terutama di kota-
kota besar yang notaben nya adalah orang-orang yang materialistis. Lalu banyak juga
masyarakat yang hanya ingin jalan instan ketika pembagian harta warisan, tidak
berdasarkan hukum kewarisan islam, mereka menggap ketika menggunaka itu tidak
simple dan repot, dan ini adalah suatu ralitas yang ada di masyarakat pada saat ini.
B. Rumusan Masalah
PEMBAHASAN
2
MK, Anshary. Hukum Kewarisan Islam (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2013) hlm 14
B. Kewajiban ahli waris sebelum membagi harta warisan
Setelah seseorang dinyatakan meninggal dunia, maka muncullah beberapa
kewajiban bagi para ahli waris terhadap pewaris untuk menunaikannya sebelum harta
warisan pewaris tersebut dibagikan kepada ahli warisnya. Kewajiban kewajiban tersebut
sebagai berikut:
a. Biaya pentajhizan/ pengurusan mayat. Biaya biaya dimaksud
menyangkut biaya untuk membeli tanah kuburan, biaya pemandian,
pengkafanan, dan biaya pemakaman.
b. Membayar utang utang si mayit, bila ada.
c. Menunaikan wasiat si mayit, bila ada.
Untuk lebih jelasnya ketiga kewajiban tersebut akan diuraikan lebih detail sebagai
berikut:
a) Perawatan jenazah yang dimaksudkan di sini meliputi seluruh biaya yang
dikeluarkan sejak orang tersebut meninggal dunia, dari biaya memandikan,
mengafani, mengantar (mengusung) jenazah dan menguburkannya. Besarnya
biaya tidak boleh terlalu besar dan juga tidak boleh terlalu kurang, tetapi
dilaksanakan secara wajar.
Menurut Imam Ahmad, biaya perawatan harus didahulukan dari pada membayar
utang. Sementara Imam Abu Hanifah, Malik dan Syafi’I mengatakan, bahwa
pelunasan utang harus didahulukan. Alasanya, jika utang tidak dilunasi terlebih
dahulu, jenazah itu ibarat tergadai.
Adapun dasar hukum bahwa biaya perawatan jenazah hendaknya dilakukan
secara wajar adalah Firman Allah SWT:
QS. Al-Furqan: 67
QS. An-Nisa:11
Ayat tersebut menjelaskan untuk memberi motivasi agar orang yang akan
meninggal dunia hendaknya melakukan wasiat atas sebagian hartanya. Untuk itu,
maka pelunasan utang hendaknya didahulukan daripada pelaksanaan wasiat.
Nabi Muhammad SAW. Sendiri telah mempraktikan pelunasan utang
didahulukan daripada pelaksanaan wasiat, seperti dijelaskan pada hadis beerikut:
Yang artinya : “sesungguhnya Nabi SAW.memutuskan untuk melunasi utang
sebelum melaksanakan wasiat, sedang kamu sekalian mendahulukan wasiat
sebelum melunasi utang”. (riwayat at-Tirmidzi).
Pertanyaanya adalah, utang mana yang harus didahulukan? Apakah utang
kepada sesama manusia atau utang kepada Allah. Para ulama berbeda pendapat
dalam menjawab pertanyaan ini.
1) Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa utang kepada Allah telah gugur
bersamaan dengan kematian seseorang. Peristiwa kemauan dengan
sendirinya menghilang kemampuan seseorang dan menghapus beban
hukum yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya. Ahli warisnya
tidak lagi berkewajiban melunasi utangnya. Ibadah haji misalnya,
meskipun pada waktu hidupnya orang yang meninggal sudah mampu,
tetapi belum dilaksanakan, dan terdapat sisa harta yang mencukupi
untuk biaya haji itu, ahli warisnya tidak wajib membayar biaya haji
tersebut.
Sekiranya utang untuk biaya haji itu dilunasi, status hukumnya
bukanlah sebagai pemenuhan utang kepada Allah, tetapi sebagai
sadaqah biasa (al-tabarru). Demikian juga seandaianya si mati pernah
berwasiat agar utangnya kepada Allah SWT. Dilunasi, wasiatnya
berlaku sebagai wasiat biasa, yang harus tunduk kepada ketentuan
bahwa maksimal wasiat adalah 1/3 dari harta yang ditinggalkannya,
dan harus diberikan kepada orang yang tidak termasuk ahli warisnya.
2) Mazhab Malikiyah berpendapat bahwa utang kepada sesame manusia
didahulukan pelunasanya daripada utang kepada Allah. Argumentasi
mereka, manusia sangat membutuhkan agar utang-utangnya dilunasi,
karena orang yang berpiutang tentu sangat membutuhkannya, kecuali
utang itu dibebaskanya. Sementara Allah Maha Kaya, karena itu tidak
memerlukan utang-utang manusia kepadanya dilunasi.
3) Ibn Hazm al-Andalusy dan ulama Syafi’iyah berpendapat, bahwa dain
Allah didahulukan daripada dain al-ibad. Dain ainiyah didahulukan
daripada dain mutlaqah .
4) Mazhab Hanabilah memandang dain Allah dan dain al-ibad sama-
sama harus dilunasi, apabila harta peninggalannya mencukupinya,
maka harus dibayarkan secara seimbang menurut porsi harta yang ada.
Pada dain al-ibad, dain ainiyah didahulukan daripada dain mutlaqah.
c) Pelaksanaan wasiat
Wasiat adalah tindakan seorang menyerahkan hak kebendaannya kepada
orang lain, yang berlakunya apabila yang berwasiat itu meninggal dunia.
Wasiat merupakan tindakan ikhtiyariyah, yang bersifat sukarela tanpa
dipengaruhi oleh siapapun. Apabila seseorang meninggal dunia dan
semasa hidupnya berwasiat atas sebagian harta kekayaanya kepada
sesuatu badan atau seseorang, maka wasiat itu wajib dilaksanakan sebelum
harta peninggalannya dibagi kepada ahli warisnya.
Ketiga wasiat diatas harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum harta warisan
pewaris dibagikan kepada para ahli warisnya. Pembayaran ketiga hal tersebut
dibebankan kepada harta warisan pewaris, yang terdiri dari harta asal pewaris
ditambah dengan bagian dari harta asal bersama.
Apabila salah seorang dari suami atau istri itu meninggal dunia, maka harta
bersama dibagi sama, ½ (seperdua) untuk pasangan yang meninggal dunia
seperdua sisa untuk pasangan yang hidup terlama. Dan yang dikatakan harta
warisan/tirkah pewaris adalah harta asal ditambah dengan bagian dari harta
bersama. Semua keperluan penyelesaian ketiga masalah di atas dibebankan
kepada harta warisan pewaris tersebut, danjika masih ada sisa harta barulah
dibagikan kepada para ahli waris yang berhak.
Dalam hal ini, Imam Syafi’I juga menegaskan bahwa sangat disukai bagi jiran tetangga si
mati untuk meyediakan makanan bagi keluarga si mati untuk beberapa hari, karena itu
merupakan sunnah dan perbuatan ahlul khair.
Dan para imam Mazhab telah sependapat atas kemakruhan perbuatan ahli mayit yang
menyediakan makanan untuk pentakziah, karena hal semacam itu merupakan perbuatan
kaum jahiliyah. Bahkan sebagian ulama mengharamkannya. Imam Al-Qurthuby berkata,
bahwa berkumpul kumpul di rumah orang mati, memakan makanan yang dihidangkan
oleh keluarga si mat itu termasuk perbuatan orang orang jahiliyah.
Untuk lebih jelasnya ketiga kewajiban tersebut akan diuraikan lebih detail sebagai
berikut:
d) Perawatan jenazah yang dimaksudkan di sini meliputi seluruh biaya yang
dikeluarkan sejak orang tersebut meninggal dunia, dari biaya memandikan,
mengafani, mengantar (mengusung) jenazah dan menguburkannya. Besarnya
biaya tidak boleh terlalu besar dan juga tidak boleh terlalu kurang, tetapi
dilaksanakan secara wajar.
Menurut Imam Ahmad, biaya perawatan harus didahulukan dari pada membayar
utang. Sementara Imam Abu Hanifah, Malik dan Syafi’I mengatakan, bahwa
pelunasan utang harus didahulukan. Alasanya, jika utang tidak dilunasi terlebih
dahulu, jenazah itu ibarat tergadai.
Adapun dasar hukum bahwa biaya perawatan jenazah hendaknya dilakukan
secara wajar adalah Firman Allah SWT:
QS. Al-Furqan: 67
QS. An-Nisa:11
Ayat tersebut menjelaskan untuk memberi motivasi agar orang yang akan
meninggal dunia hendaknya melakukan wasiat atas sebagian hartanya. Untuk itu,
maka pelunasan utang hendaknya didahulukan daripada pelaksanaan wasiat.
Nabi Muhammad SAW. Sendiri telah mempraktikan pelunasan utang
didahulukan daripada pelaksanaan wasiat, seperti dijelaskan pada hadis beerikut:
Yang artinya : “sesungguhnya Nabi SAW.memutuskan untuk melunasi utang
sebelum melaksanakan wasiat, sedang kamu sekalian mendahulukan wasiat
sebelum melunasi utang”. (riwayat at-Tirmidzi).
Pertanyaanya adalah, utang mana yang harus didahulukan? Apakah utang
kepada sesama manusia atau utang kepada Allah. Para ulama berbeda
pendapat dalam menjawab pertanyaan ini.
5) Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa utang kepada Allah telah gugur
bersamaan dengan kematian seseorang. Peristiwa kemauan dengan
sendirinya menghilang kemampuan seseorang dan menghapus beban
hukum yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya. Ahli warisnya
tidak lagi berkewajiban melunasi utangnya. Ibadah haji misalnya,
meskipun pada waktu hidupnya orang yang meninggal sudah mampu,
tetapi belum dilaksanakan, dan terdapat sisa harta yang mencukupi
untuk biaya haji itu, ahli warisnya tidak wajib membayar biaya haji
tersebut.
Sekiranya utang untuk biaya haji itu dilunasi, status hukumnya
bukanlah sebagai pemenuhan utang kepada Allah, tetapi sebagai
sadaqah biasa (al-tabarru). Demikian juga seandaianya si mati pernah
berwasiat agar utangnya kepada Allah SWT. Dilunasi, wasiatnya
berlaku sebagai wasiat biasa, yang harus tunduk kepada ketentuan
bahwa maksimal wasiat adalah 1/3 dari harta yang ditinggalkannya,
dan harus diberikan kepada orang yang tidak termasuk ahli warisnya.
6) Mazhab Malikiyah berpendapat bahwa utang kepada sesame manusia
didahulukan pelunasanya daripada utang kepada Allah. Argumentasi
mereka, manusia sangat membutuhkan agar utang-utangnya dilunasi,
karena orang yang berpiutang tentu sangat membutuhkannya, kecuali
utang itu dibebaskanya. Sementara Allah Maha Kaya, karena itu tidak
memerlukan utang-utang manusia kepadanya dilunasi.
7) Ibn Hazm al-Andalusy dan ulama Syafi’iyah berpendapat, bahwa dain
Allah didahulukan daripada dain al-ibad. Dain ainiyah didahulukan
daripada dain mutlaqah .
8) Mazhab Hanabilah memandang dain Allah dan dain al-ibad sama-
sama harus dilunasi, apabila harta peninggalannya mencukupinya,
maka harus dibayarkan secara seimbang menurut porsi harta yang ada.
Pada dain al-ibad, dain ainiyah didahulukan daripada dain mutlaqah.
f) Pelaksanaan wasiat
Wasiat adalah tindakan seorang menyerahkan hak kebendaannya kepada
orang lain, yang berlakunya apabila yang berwasiat itu meninggal dunia.
Wasiat merupakan tindakan ikhtiyariyah, yang bersifat sukarela tanpa
dipengaruhi oleh siapapun. Apabila seseorang meninggal dunia dan
semasa hidupnya berwasiat atas sebagian harta kekayaanya kepada
sesuatu badan atau seseorang, maka wasiat itu wajib dilaksanakan sebelum
harta peninggalannya dibagi kepada ahli warisnya.
Alasan lain adalah, bahwa keluarga tidak berhak menerima wasiat, dijelaskan dalam sabda
Nabi SAW.
Yang artinya: “Dari Abi Umamah ra. Berkata, aku mendengar Rasulullah SAW. Bersabda
pada kutbah tahun haji wada: “ sesungguhnya Allah telah memberikan kepada yang
mempunyai hak akan hak-haknya, karena itu tidak sah berwasiat kepada ahli waris”.
(Riwayat at-Tirmizi).
Dari ilustrasi diatas dapat disimpulkan, bahwa wasiat kepada orang tua dan kerabat tidak
dapat dibenarkan secara hukum. Adapun pengecualian dalam hadis yang menyerahkan
kepada izin ahli waris, adalah sebagai bentuk kerelaan mereka untuk dikurangi hak-hak waris
yang mestinya mereka terima dari harta peninggalan tersebut.
Apabila memang terbukti bahwa seseorang telah melakukan wasiat sebelum harta
peninggalanya dibagi, wasiat yang dibuat harus dilaksanakan. Ketentuanya , maksimal 1/3
dari harta peninggalan yang siap dibagi. Apabila si mati tidak berwasiat, jika dipandang
perlu dan ahli warisnya menetujui, dalam usaha mewujudkan keadilan, maka dapat
dilaksanakan wasiat wajibah kepada ahli waris yang tidak mendapat bagian. 4
4
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001, hlm 46.