Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

Asas-Asas dalam Fiqh Mawaris, dan

Kewajiban Harta Waris sebelum di Bagikan

Disusun : Guna Memenuhi Tugas

Mata kuliah : Fiqih Mawaris

Dosen Pengampu :

Disusun Oleh :

Fajar Muhammad Andhika. F : (1602036070)

Rizza Fajriyaturrohmaniyah : (1602036074)

Yahya Alaudin : (1402036018)

Rohmatul Ummah : (1602036055)

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

2017
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Setiap individu yang hidup pasti akan menemui kematian dimana pun dan kapan
pun sesuai dengan yang sudah Allah SWT janjikan, dan ketika mati harta benda tak serta
merta di bawa oleh kita, semua nya di di tinggalkan di dunia, dan harta benda itu di
berikan secara otomatis kepada keluarga yang di tingalkan nya, namun di sini ketika
pembagian harta warisan sering terjadi konflik antar keluaga, mereka tidak terima dengan
bagian-bagian yang di berikan, terkadang mereka mengagap tak mendapatkan keadilan,
dan pada akhirnya perpecahan pun terjadi.
Mereka tidak mengetahuai bagaimana sebenarnya hukum waris itu sudah
mengatur secara terperinci dan adil, Allah SWT sudah menetapkan bagian-bagian harta
yang sesuai dengan ukuranya, tetapi terkadang keserakahan dari manusia itu sendiri yang
menyebabkan perpecahan.
Disini lah perlu peran dari dari sesroang yang bisa meredam perpecahan tersebut
dengan memberi pengetahuan hukum mawaris, kasus ini banyak terjadi terutama di kota-
kota besar yang notaben nya adalah orang-orang yang materialistis. Lalu banyak juga
masyarakat yang hanya ingin jalan instan ketika pembagian harta warisan, tidak
berdasarkan hukum kewarisan islam, mereka menggap ketika menggunaka itu tidak
simple dan repot, dan ini adalah suatu ralitas yang ada di masyarakat pada saat ini.

B. Rumusan Masalah

1. Apa saja Asas-asas daria fiqih mawaris?


2. Apa yang menyebabkan adanya asas mawaris?
3. Mengapa harus ada kewajiban-kewajiban yang harus di penuhi snag muwaris kepada
mawaris?
4. Bagaimana cara pembagian harta waris sesudah terpenuhi kewajiban-kewajiaban si
muwaris?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Asas-asas Hukum Kewarisan Islam


Hukum kewarisan islam atau yang lazim disebut hukm faraid adalah salah satu
bagian dari keseluruhan hukum islam yang khusus mengatur peralihan harta seseorang
yang telah meninggal kepada orang yang masih hidup.
Asas- asas hukum kewarisan islam dapat digali dari keseluruhan ayat-ayat hukum
yang terdapat dalam Al-Qur’an dan penjelasan tambahan yang diberikan oleh nabi
Muhammad dengan sunah nya. Dalam pembahasan ini akan dikemukakan lima asas
yaitu: asas ijbari, asas bilateral asas individual, asas keadalian berimbang dan kewarisan
semata akibat kematian.
1. Asas ijbari
Dalam hukum islam peralihan harta seseorang yang telah meninggal
kepada yang masih hidup berlaku dengan sendirinya, yang dalam pengertian
hukum islam berlaku secara ijbari.
Kata “ijbari” secara etimologis mengandung arti paksaan (compulsory)
yaitu melakukan sesuatu diluar kehendak sendiri. Pengertian “wali mujbir”
dalam terminologi fiqih berarti wali yang dalam keadaan tertentu berhak
mengawin kan anak perempuan nya diluar kehendak atau kemauan si anak.
Begitupula kata “jabari” dalam terminologi ilmu kalam mengandung arti
paksaaan dengan arti semua perbuatan yang dilakukan oleh seorang hamba ,
bukan lah atas kehendak nya sendiri tetapi adalah sebab kehendak dan
kekuasaan Allah, sebagaimana berlaku dalam aliran jabariyah.
Hukum kewarisan islma menjalankan asas ijbari berarti bahwa peralihan
harta dari seseorang yang telah mati kepada ahli waris nya berlaku dengan
sendirinya menurut kehendak Allah tanpa tergantung kepada kehendak
pewaris atau ahli waris. Unsur paksaaan sesuai dengan arti terminologis
tersebut terlihat dari segi bahwa ahli waris terpaksa menerima kenyataan
pindahnya harta pewaris kepada nya sesuai dengan jumlah yang telah di
tentukan.
2. Asas Bilateral-individual
Asas bilateral dalam hukum kewarisan berarti bahwa seseorang menerima
hak kewarisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu pihak kerabat garis
keturunan laki-laki dan pihak kerabat garis keturunan perempuan.
Kewarisan dari dua pihak garis kekerabatan berlaku pula untuk kerabat
garis kesamping. Ayat 12 surat An-Nisa menetapkankewarisan sodara laki-
laki dan sodara perempuan dengan pembagian yang berbeda dengan hak
sodara dalam ayat 176 surat An-Nisa. Adanya perbedaan dalam hal itu
menunjukan adanya perbedaan dalam hal yang berhak. Oleh karena hak
saudara baik laki-laki maupun perempuan dalam ayat 12 adalah 1/6 atau 1/3
sama dengan pembagian ibu , maka dapat ditarik kesimpulan bahwa saudara-
saudara dalam ayat 12 itu maksudnya ialah saudara dari garis ibu sedangkan
saudara-saudara dalam ayat 176 adalah saudara garis ayah atau ayah dan ibu.1
3. Asas penyebar luasan dengan prioritas di lingkup keluarga
Suatau asas yang menegaskan bahwa pembagian harta warisan
berkemungkinan untuk mencakup banyak ahli waris. Bukan hanya anak saja
yang mendapatkan warisan, tetapi lebih luas lagi bagi suamiatau istri, orang
tua, saudara-saudara bahkan cucu kebawah dan orang tua keatas serta
keturanan saudara-saudara sama-sama tercakup.
Kendatipun penyebaran atau cakupan pembagian harta warisan meluas,
tepapi masih terbatas dilingkungan keluarga baikk karena perantaraan
pernikahan maupun karena hubungan keturunan (nasab) yang sah. Disamping
itu, dalam pembagian harta warisan kepada ahli waris yang meluas
dilingkungan keluarga tersebut, diadakan keutamaan , baik untuk mendapat
warisan maupun dari segi bagian-bagianya.
Keluaga yang lebih dekat hubunganya dengan pewaris mendapat
keutamaan daripada mereka yang jauh. Demiakian juga keluarga yang kuat
hubunganya dengan pewaris mendapat keutamaan dibanding dengan yang
lemah. Misalnya ayah lebih di utamakan daripada kakek, saudara kandung
lebih diutamakan dari pada saudara seayah.
4. Asas persamaan hak dan perbedaan bagian
Hukum warisan islam tidka membedakan hak untuk mendapatkan warisan
antara laki-laki dan perempuan, antara ankak-anaka yang masih kecil dan
mereka yang sudah dewasa. Semuanya sama-sama memiliki hak untuk
mendapatkan warisan. Jadi persamaan hak ini dapat dilihat dari segi usia
dan jenis kelamin. Perbedaanya hanya terletak pada bagian yang akan di
dapat setiap ahli waris hal ini di sesuaikan dengan perbedaan proporsi
beban kewajiban yang harus ditunaikan dalam keluarga. Laki-laki
mendapat bagian yang lebih besar dari pada perempuan, sebab secara
1
Anshori,Ghofur Abdul. Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia(Yogyakarta : Gadjah Mada University Press P.O. Box
14, Bulaksumur, 2012) hlm 20
umum laki-laki membutuhkan materi yang lebh banyak dari pada
perempuan. Laki-laki memilkul kewajiabn ganda yaitu terhadap dirmya
dan terhadap keluarganya termasuk di dalamnya perempuan keadaan ini
sesuai dengan Q.S (4) : 34. Demilian juga anak-anak pewaris yang
memiliki bagian lebih banyak dalam keadaan bagaimanapun dibandingkan
dengan orang tua. Hal ini karen aakewajiabn dan tanggung jawab anak
lebih besar, yaitu anka sebagai pelanjut dari orang tua yang diberi
tanggung jawab untuk meneruskan kehendak, kebutuhan, cita-cita, dan
citra dan prestise orang tua.
5. Asas keadilan berimbang
Asas ini berarti bahwa dalam ketentuan hukum waris islam senantiasa
terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiaban, antara hak yang diperoleh
seseorang dan kewajiabn yang harus ditunaikanya. Laki-laki dan perempuan
mendapat hak yang sebanding dengan kewajiaban yang dipikul nya masing-
masing dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.
Dalam sistem kewarisan islma, harta peninggalan yang diterima oleh ahli
waris dari pewaris pada hakikatnya adalah lanjutan tanggung jawab pewaris
kepada kkeluarganya . oleh karena itu bagian yang diterima oleh masing-
masing ahli waris berimbang dengan perbedaan tanggung jawab masing-
masing terhadap keluarga.
Seorang laki-laki menjadi penangung jawab kehidupan keluarga,
mencukupi keperluan hidup anak dan istri nya ( Q.S Al-Baqarah [2]: 233)
menurut kemampuanya ( Q.S At-Talaq [66] :7).2

2
MK, Anshary. Hukum Kewarisan Islam (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2013) hlm 14
B. Kewajiban ahli waris sebelum membagi harta warisan
Setelah seseorang dinyatakan meninggal dunia, maka muncullah beberapa
kewajiban bagi para ahli waris terhadap pewaris untuk menunaikannya sebelum harta
warisan pewaris tersebut dibagikan kepada ahli warisnya. Kewajiban kewajiban tersebut
sebagai berikut:
a. Biaya pentajhizan/ pengurusan mayat. Biaya biaya dimaksud
menyangkut biaya untuk membeli tanah kuburan, biaya pemandian,
pengkafanan, dan biaya pemakaman.
b. Membayar utang utang si mayit, bila ada.
c. Menunaikan wasiat si mayit, bila ada.

Untuk lebih jelasnya ketiga kewajiban tersebut akan diuraikan lebih detail sebagai
berikut:
a) Perawatan jenazah yang dimaksudkan di sini meliputi seluruh biaya yang
dikeluarkan sejak orang tersebut meninggal dunia, dari biaya memandikan,
mengafani, mengantar (mengusung) jenazah dan menguburkannya. Besarnya
biaya tidak boleh terlalu besar dan juga tidak boleh terlalu kurang, tetapi
dilaksanakan secara wajar.
Menurut Imam Ahmad, biaya perawatan harus didahulukan dari pada membayar
utang. Sementara Imam Abu Hanifah, Malik dan Syafi’I mengatakan, bahwa
pelunasan utang harus didahulukan. Alasanya, jika utang tidak dilunasi terlebih
dahulu, jenazah itu ibarat tergadai.
Adapun dasar hukum bahwa biaya perawatan jenazah hendaknya dilakukan
secara wajar adalah Firman Allah SWT:
QS. Al-Furqan: 67

Termasuk dalam pengertian biaya perawatan adalah semua biaya yang


dikeluarkan semasa muwarris sakit menjelang kematiannya. Tentu saja apabila
harta yang ditinggalkannya mencukupi untuk membiayai perawatan ketika sakit.
Persoalannya adalah, bagaiamana jika harta peninggalanya tidak mencukupi, atau
bahkan tidak ada sama sekali, dan dari mana biaya tersebut harus diambil.
Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Apabila harta yang
ditinggalkan si mati tidak mencukupi, maka harta yang ada itu dimanfaatkan,
kekuranganya menjadi tanggungan keluarga. Yang menjadi tanggungannya ketika
si mawaris, merekalah yang memperoleh kenikmatan dibiayai hidupnya oleh si
muwaris, mereka pula yang menerima harta warisan jika ada kelebihan. Karena
itulah, wajar jika mereka juga harus bertanggung jawab untuk memikul biaya
perawatan.
Apabila mawarris tidak mempunyai keluarga, maka biaya diambilkan dari
bait al-mal (kas Negara). Jika bait al-mal tidak berfungsi, maka penyelesaiannya
dimintakan kepada orang-orang Islam yang kaya (mampu) dan mau membantu
sebagai pemenuhan kewajiban kifayah (kolektif). Sebab kalau tidak ada seorang
pun yang bersedia membiayainya maka semua orang Islam di lingkungan tersebut
akan menanggung dosa.
Pendapat yang berbeda dikemukakan Ulama Malikiyah, bahwa biaya
perawatan tersebut diambilkan dari bait al-mal, tanpa harus membebani keluarga
atau kaum Muslimin. Pendapat ini mempunyai celah kelemahan. Karena boleh
jadi, keluarga akan lebih leluasa untuk tidak bertanggung jawab terhadap
keluarganya yang meninggal dunia.
b) Pelunasan Utang

Utang merupakan tanggungan yang harus dilunasi dalam waktu tertentu


(yang disepakati) sebagai akibat dari imbalan yang telah di terima orang yang
utang. Apabila seseorang yang meninggal dunia ternyata meninggalkan utang
pada orang lain yang belum dibayar, maka sudah seharusnya utang tersebut
dilunasi terlebih dahulu dan diambilkan dari harta peninggalkan, sebelum harta itu
dibagikan kepada ahli waris.

Para ulama mengklasifikasikan utang pada dua macam, yaitu:


 Utang kepada sesame manusia, disebut dengan dain al-ibad.
 Utang kepada Allah, disebut dengan dain Allah.

Utang kepada sesame manusia, ditinjau dari segi teknis pelaksanaannya


dibagi dua, yaitu:

 Utang yang berhubungan dengan wujud harta (utang gadai)


disebut dengan dain ainiyah.
 Utang yang tidak bersangkutan dengan wujud harta, disebut
dengan dain muthlaqah. Dain muthlaqah jika dilakukan pada
waktu sehat dan dapat dibuktikan disebut dain shihah, dan
apabila dilakukannya pada waktu sakit serta tidak ada bukti-
bukti kuat disebut dengan dain maradh.

Dasar hukum tentang wajibnya pelunasan utang si mati didahulukan,


dijelaskan dalam Firman Allah SWT:

QS. An-Nisa:11

Ayat tersebut menjelaskan untuk memberi motivasi agar orang yang akan
meninggal dunia hendaknya melakukan wasiat atas sebagian hartanya. Untuk itu,
maka pelunasan utang hendaknya didahulukan daripada pelaksanaan wasiat.
Nabi Muhammad SAW. Sendiri telah mempraktikan pelunasan utang
didahulukan daripada pelaksanaan wasiat, seperti dijelaskan pada hadis beerikut:
Yang artinya : “sesungguhnya Nabi SAW.memutuskan untuk melunasi utang
sebelum melaksanakan wasiat, sedang kamu sekalian mendahulukan wasiat
sebelum melunasi utang”. (riwayat at-Tirmidzi).
Pertanyaanya adalah, utang mana yang harus didahulukan? Apakah utang
kepada sesama manusia atau utang kepada Allah. Para ulama berbeda pendapat
dalam menjawab pertanyaan ini.
1) Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa utang kepada Allah telah gugur
bersamaan dengan kematian seseorang. Peristiwa kemauan dengan
sendirinya menghilang kemampuan seseorang dan menghapus beban
hukum yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya. Ahli warisnya
tidak lagi berkewajiban melunasi utangnya. Ibadah haji misalnya,
meskipun pada waktu hidupnya orang yang meninggal sudah mampu,
tetapi belum dilaksanakan, dan terdapat sisa harta yang mencukupi
untuk biaya haji itu, ahli warisnya tidak wajib membayar biaya haji
tersebut.
Sekiranya utang untuk biaya haji itu dilunasi, status hukumnya
bukanlah sebagai pemenuhan utang kepada Allah, tetapi sebagai
sadaqah biasa (al-tabarru). Demikian juga seandaianya si mati pernah
berwasiat agar utangnya kepada Allah SWT. Dilunasi, wasiatnya
berlaku sebagai wasiat biasa, yang harus tunduk kepada ketentuan
bahwa maksimal wasiat adalah 1/3 dari harta yang ditinggalkannya,
dan harus diberikan kepada orang yang tidak termasuk ahli warisnya.
2) Mazhab Malikiyah berpendapat bahwa utang kepada sesame manusia
didahulukan pelunasanya daripada utang kepada Allah. Argumentasi
mereka, manusia sangat membutuhkan agar utang-utangnya dilunasi,
karena orang yang berpiutang tentu sangat membutuhkannya, kecuali
utang itu dibebaskanya. Sementara Allah Maha Kaya, karena itu tidak
memerlukan utang-utang manusia kepadanya dilunasi.
3) Ibn Hazm al-Andalusy dan ulama Syafi’iyah berpendapat, bahwa dain
Allah didahulukan daripada dain al-ibad. Dain ainiyah didahulukan
daripada dain mutlaqah .
4) Mazhab Hanabilah memandang dain Allah dan dain al-ibad sama-
sama harus dilunasi, apabila harta peninggalannya mencukupinya,
maka harus dibayarkan secara seimbang menurut porsi harta yang ada.
Pada dain al-ibad, dain ainiyah didahulukan daripada dain mutlaqah.
c) Pelaksanaan wasiat
Wasiat adalah tindakan seorang menyerahkan hak kebendaannya kepada
orang lain, yang berlakunya apabila yang berwasiat itu meninggal dunia.
Wasiat merupakan tindakan ikhtiyariyah, yang bersifat sukarela tanpa
dipengaruhi oleh siapapun. Apabila seseorang meninggal dunia dan
semasa hidupnya berwasiat atas sebagian harta kekayaanya kepada
sesuatu badan atau seseorang, maka wasiat itu wajib dilaksanakan sebelum
harta peninggalannya dibagi kepada ahli warisnya.

Persoalannya adalah, apabila al-mawaris ternyata tidak melakukan wasiat.


Lalua tindakan apa yang harus dilakukan sehubungan dengan harta
peninggalany? Apakah harus diambil 1/3 dari harta kekayaan yang
ditinggalkan untuk diserahkan kepada orang lain, ataukah tidak perlu
diambil untuk melaksanakan wasiat yang memang tidak dilakukan si
mati?
Imam Malik berpendapat, jika simati tidak berwasiat, tidak perlu
dikeluarkan harta untuk pelaksanaan wasiat. Apabila berwasiat, maka
diambilkan 1/3 dari harta yang ditinggalkan. Berbeda dengan Imam Malik
adalah Imam Syafi’i. menurutnya, apabila si mati tidak berwasiat, tetap
diambil sebagian hartanya untuk wasiat, sebagai pelaksanaan wasiat
wajibah.
Dengan demikian, realisasi pelaksanaan wasiat, karena hukumnya
tidak fardlu ain, didasarkan kepada tindakan orang yang akan meninggal.
Apabila orang yang berwasiat, maka harus dilaksanakan wasiatnya. Tetapi
apabila yang meninggal itu tidak berwasiat, maka tidak perlu dilaksanakan
wasiat wajibah. Mayoritas Ulama berpendapat bahwa ketentuan hukum
wasiat kepada kedua orang tua dan kerabat lainnya diwajibkan adalah
berlaku pada masa awal Islam. Ketentuan wasiat ini, yang diatur dalam
QS. al-Baqarah ayat 180 tersebut kemudian dinasakh dengan QS. an-Nisa
ayat 11-12 yang mengatur secara detail para ahli waris yang mendapat
bagian tertentu. Oleh karena itu, bagi orang tua dan kerabat, baik yang
menerima bagian warisan atau tidak, telah tertutup haknya untuk
menerima wasiat.
Menurut al-Alusy, penghapusan berlakunya ayat wasiat tersebut,
orang yang berwasiat tidak dapat lagi memperhatikan batas-batas yang
diperkenankan dalam berwasiat sebagaimana diisyaratkan al-Qur’an
dalam kalimat bi al-ma’ruf. Ini dipandang sebagai iktikad yang tidak baik.
Atas dasar itulah, kemudian Allah mengalihkannya melalui ketentuan QS.
an-Nisa ayat 11-12. Setelah itu, perintah wasiat kepada keluarga dan
kerabat berakhir dan berlaku ketentuan hukum
warisan.
Alasan lain adalah, bahwa keluarga tidak berhak menerima wasiat,
dijelaskan dalam sabda Nabi SAW.
Yang artinya: “Dari Abi Umamah ra. Berkata, aku mendengar Rasulullah
SAW. Bersabda pada kutbah tahun haji wada: “ sesungguhnya Allah telah
memberikan kepada yang mempunyai hak akan hak-haknya, karena itu
tidak sah berwasiat kepada ahli waris”. (Riwayat at-Tirmizi).
Dari ilustrasi diatas dapat disimpulkan, bahwa wasiat kepada orang tua
dan kerabat tidak dapat dibenarkan secara hukum. Adapun pengecualian
dalam hadis yang menyerahkan kepada izin ahli waris, adalah sebagai
bentuk kerelaan mereka untuk dikurangi hak-hak waris yang mestinya
mereka terima dari harta peninggalan tersebut.
Apabila memang terbukti bahwa seseorang telah melakukan wasiat
sebelum harta peninggalanya dibagi, wasiat yang dibuat harus dilaksanakan.
Ketentuanya , maksimal 1/3 dari harta peninggalan yang siap dibagi. Apabila si
mati tidak berwasiat, jika dipandang perlu dan ahli warisnya menetujui, dalam
usaha mewujudkan keadilan, maka dapat dilaksanakan wasiat wajibah kepada ahli
waris yang tidak mendapat bagian. 3

Ketiga wasiat diatas harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum harta warisan
pewaris dibagikan kepada para ahli warisnya. Pembayaran ketiga hal tersebut
dibebankan kepada harta warisan pewaris, yang terdiri dari harta asal pewaris
ditambah dengan bagian dari harta asal bersama.

I. Harta asal dapat berupa:


 Harta yang diperoleh pewaris sebelum nikah, rumah, emas, deposito,
dan sebagainya.
 Harta yang diperoleh pewaris dalam bentuk hibah, wasiat atau warisan
baik diperoleh sebelum maupun setelah pewaris menikah.
II. Harta bersama atau harta kekayaan dalam perkawinan adalah harta yang
diperoleh baik sendiri sendiri atau bersama sama seami istri selama dalam
ikatan perkawinan berlangsung tanpa tanpa mempersoalkan terdaftar atas
nama siapa.

Apabila salah seorang dari suami atau istri itu meninggal dunia, maka harta
bersama dibagi sama, ½ (seperdua) untuk pasangan yang meninggal dunia
seperdua sisa untuk pasangan yang hidup terlama. Dan yang dikatakan harta
warisan/tirkah pewaris adalah harta asal ditambah dengan bagian dari harta
bersama. Semua keperluan penyelesaian ketiga masalah di atas dibebankan
kepada harta warisan pewaris tersebut, danjika masih ada sisa harta barulah
dibagikan kepada para ahli waris yang berhak.

Masalah biaya pentajhizan/pengurusan mayat, tidak termasuk biaya


kenduri/slametan 3 hari, 7 hari, 44 hari, dan 100 hari kematian pewaris. Tuntunan
dan ajaran tentang anjuran kenduri/slametan kematian tidak dijumpai dalam
ajaran islam, ia lebih kepada praktik kaum abangan/aba’an yaitu suatu model
beragama orang islam yang mencampuradukkan nilai nilai islam dengan
3
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001, hlm 46.
ajaran/isme lain seperti hindu, animism dan dinamisme, dan perilaku semacam ini
dikenal dengan istilah sinkretisisme.

Rasulullah SAW tidak pernah menganjurkan perilaku beragama semacam itu,


beliau hanya mengajarkan ta’ziyah 3 hari berturut turut kepada keluarga
almarhum dengan perintah menyediakan makanan bagi keluarga yang
ditinggalkan. Sebagaimana hadis Rasulullah SAW yang berbunyi

Artinya : “Dari Abdillah bin Ja’far ia berkata, bersabda Rasulullah SAW:


bikinkanlah untuk keluarga ja’far makanan, karena mereka telah ditimpa
kemasyhulan”. (HR. Abu Dawud, Ibn Hibban dan Tirmidzi).

Dalam hal ini, Imam Syafi’I juga menegaskan bahwa sangat disukai bagi jiran tetangga si
mati untuk meyediakan makanan bagi keluarga si mati untuk beberapa hari, karena itu
merupakan sunnah dan perbuatan ahlul khair.

Dan para imam Mazhab telah sependapat atas kemakruhan perbuatan ahli mayit yang
menyediakan makanan untuk pentakziah, karena hal semacam itu merupakan perbuatan
kaum jahiliyah. Bahkan sebagian ulama mengharamkannya. Imam Al-Qurthuby berkata,
bahwa berkumpul kumpul di rumah orang mati, memakan makanan yang dihidangkan
oleh keluarga si mat itu termasuk perbuatan orang orang jahiliyah.

Untuk lebih jelasnya ketiga kewajiban tersebut akan diuraikan lebih detail sebagai
berikut:
d) Perawatan jenazah yang dimaksudkan di sini meliputi seluruh biaya yang
dikeluarkan sejak orang tersebut meninggal dunia, dari biaya memandikan,
mengafani, mengantar (mengusung) jenazah dan menguburkannya. Besarnya
biaya tidak boleh terlalu besar dan juga tidak boleh terlalu kurang, tetapi
dilaksanakan secara wajar.
Menurut Imam Ahmad, biaya perawatan harus didahulukan dari pada membayar
utang. Sementara Imam Abu Hanifah, Malik dan Syafi’I mengatakan, bahwa
pelunasan utang harus didahulukan. Alasanya, jika utang tidak dilunasi terlebih
dahulu, jenazah itu ibarat tergadai.
Adapun dasar hukum bahwa biaya perawatan jenazah hendaknya dilakukan
secara wajar adalah Firman Allah SWT:
QS. Al-Furqan: 67

Termasuk dalam pengertian biaya perawatan adalah semua biaya yang


dikeluarkan semasa muwarris sakit menjelang kematiannya. Tentu saja apabila
harta yang ditinggalkannya mencukupi untuk membiayai perawatan ketika sakit.
Persoalannya adalah, bagaiamana jika harta peninggalanya tidak mencukupi, atau
bahkan tidak ada sama sekali, dan dari mana biaya tersebut harus diambil.
Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Apabila harta yang
ditinggalkan si mati tidak mencukupi, maka harta yang ada itu dimanfaatkan,
kekuranganya menjadi tanggungan keluarga. Yang menjadi tanggungannya ketika
si mawaris, merekalah yang memperoleh kenikmatan dibiayai hidupnya oleh si
muwaris, mereka pula yang menerima harta warisan jika ada kelebihan. Karena
itulah, wajar jika mereka juga harus bertanggung jawab untuk memikul biaya
perawatan.
Apabila mawarris tidak mempunyai keluarga, maka biaya diambilkan dari
bait al-mal (kas Negara). Jika bait al-mal tidak berfungsi, maka penyelesaiannya
dimintakan kepada orang-orang Islam yang kaya (mampu) dan mau membantu
sebagai pemenuhan kewajiban kifayah (kolektif). Sebab kalau tidak ada seorang
pun yang bersedia membiayainya maka semua orang Islam di lingkungan tersebut
akan menanggung dosa.
Pendapat yang berbeda dikemukakan Ulama Malikiyah, bahwa biaya
perawatan tersebut diambilkan dari bait al-mal, tanpa harus membebani keluarga
atau kaum Muslimin. Pendapat ini mempunyai celah kelemahan. Karena boleh
jadi, keluarga akan lebih leluasa untuk tidak bertanggung jawab terhadap
keluarganya yang meninggal dunia.
e) Pelunasan Utang

Utang merupakan tanggungan yang harus dilunasi dalam waktu tertentu


(yang disepakati) sebagai akibat dari imbalan yang telah di terima orang yang
utang. Apabila seseorang yang meninggal dunia ternyata meninggalkan utang
pada orang lain yang belum dibayar, maka sudah seharusnya utang tersebut
dilunasi terlebih dahulu dan diambilkan dari harta peninggalkan, sebelum harta itu
dibagikan kepada ahli waris.

Para ulama mengklasifikasikan utang pada dua macam, yaitu:


 Utang kepada sesame manusia, disebut dengan dain al-ibad.
 Utang kepada Allah, disebut dengan dain Allah.

Utang kepada sesame manusia, ditinjau dari segi teknis pelaksanaannya


dibagi dua, yaitu:

 Utang yang berhubungan dengan wujud harta (utang gadai)


disebut dengan dain ainiyah.
 Utang yang tidak bersangkutan dengan wujud harta, disebut
dengan dain muthlaqah. Dain muthlaqah jika dilakukan pada
waktu sehat dan dapat dibuktikan disebut dain shihah, dan
apabila dilakukannya pada waktu sakit serta tidak ada bukti-
bukti kuat disebut dengan dain maradh.

Dasar hukum tentang wajibnya pelunasan utang si mati didahulukan,


dijelaskan dalam Firman Allah SWT:

QS. An-Nisa:11

Ayat tersebut menjelaskan untuk memberi motivasi agar orang yang akan
meninggal dunia hendaknya melakukan wasiat atas sebagian hartanya. Untuk itu,
maka pelunasan utang hendaknya didahulukan daripada pelaksanaan wasiat.
Nabi Muhammad SAW. Sendiri telah mempraktikan pelunasan utang
didahulukan daripada pelaksanaan wasiat, seperti dijelaskan pada hadis beerikut:
Yang artinya : “sesungguhnya Nabi SAW.memutuskan untuk melunasi utang
sebelum melaksanakan wasiat, sedang kamu sekalian mendahulukan wasiat
sebelum melunasi utang”. (riwayat at-Tirmidzi).
Pertanyaanya adalah, utang mana yang harus didahulukan? Apakah utang
kepada sesama manusia atau utang kepada Allah. Para ulama berbeda
pendapat dalam menjawab pertanyaan ini.
5) Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa utang kepada Allah telah gugur
bersamaan dengan kematian seseorang. Peristiwa kemauan dengan
sendirinya menghilang kemampuan seseorang dan menghapus beban
hukum yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya. Ahli warisnya
tidak lagi berkewajiban melunasi utangnya. Ibadah haji misalnya,
meskipun pada waktu hidupnya orang yang meninggal sudah mampu,
tetapi belum dilaksanakan, dan terdapat sisa harta yang mencukupi
untuk biaya haji itu, ahli warisnya tidak wajib membayar biaya haji
tersebut.
Sekiranya utang untuk biaya haji itu dilunasi, status hukumnya
bukanlah sebagai pemenuhan utang kepada Allah, tetapi sebagai
sadaqah biasa (al-tabarru). Demikian juga seandaianya si mati pernah
berwasiat agar utangnya kepada Allah SWT. Dilunasi, wasiatnya
berlaku sebagai wasiat biasa, yang harus tunduk kepada ketentuan
bahwa maksimal wasiat adalah 1/3 dari harta yang ditinggalkannya,
dan harus diberikan kepada orang yang tidak termasuk ahli warisnya.
6) Mazhab Malikiyah berpendapat bahwa utang kepada sesame manusia
didahulukan pelunasanya daripada utang kepada Allah. Argumentasi
mereka, manusia sangat membutuhkan agar utang-utangnya dilunasi,
karena orang yang berpiutang tentu sangat membutuhkannya, kecuali
utang itu dibebaskanya. Sementara Allah Maha Kaya, karena itu tidak
memerlukan utang-utang manusia kepadanya dilunasi.
7) Ibn Hazm al-Andalusy dan ulama Syafi’iyah berpendapat, bahwa dain
Allah didahulukan daripada dain al-ibad. Dain ainiyah didahulukan
daripada dain mutlaqah .
8) Mazhab Hanabilah memandang dain Allah dan dain al-ibad sama-
sama harus dilunasi, apabila harta peninggalannya mencukupinya,
maka harus dibayarkan secara seimbang menurut porsi harta yang ada.
Pada dain al-ibad, dain ainiyah didahulukan daripada dain mutlaqah.
f) Pelaksanaan wasiat
Wasiat adalah tindakan seorang menyerahkan hak kebendaannya kepada
orang lain, yang berlakunya apabila yang berwasiat itu meninggal dunia.
Wasiat merupakan tindakan ikhtiyariyah, yang bersifat sukarela tanpa
dipengaruhi oleh siapapun. Apabila seseorang meninggal dunia dan
semasa hidupnya berwasiat atas sebagian harta kekayaanya kepada
sesuatu badan atau seseorang, maka wasiat itu wajib dilaksanakan sebelum
harta peninggalannya dibagi kepada ahli warisnya.

Persoalannya adalah, apabila al-mawaris ternyata tidak melakukan wasiat.


Lalua tindakan apa yang harus dilakukan sehubungan dengan harta
peninggalany? Apakah harus diambil 1/3 dari harta kekayaan yang
ditinggalkan untuk diserahkan kepada orang lain, ataukah tidak perlu
diambil untuk melaksanakan wasiat yang memang tidak dilakukan si
mati?
Imam Malik berpendapat, jika simati tidak berwasiat, tidak perlu
dikeluarkan harta untuk pelaksanaan wasiat. Apabila berwasiat, maka
diambilkan 1/3 dari harta yang ditinggalkan. Berbeda dengan Imam Malik
adalah Imam Syafi’i. menurutnya, apabila si mati tidak berwasiat, tetap
diambil sebagian hartanya untuk wasiat, sebagai pelaksanaan wasiat
wajibah.
Dengan demikian, realisasi pelaksanaan wasiat, karena hukumnya tidak fardlu ain,
didasarkan kepada tindakan orang yang akan meninggal. Apabila orang yang berwasiat, maka
harus dilaksanakan wasiatnya. Tetapi apabila yang meninggal itu tidak berwasiat, maka tidak
perlu dilaksanakan wasiat wajibah. Mayoritas Ulama berpendapat bahwa ketentuan hukum
wasiat kepada kedua orang tua dan kerabat lainnya diwajibkan adalah berlaku pada masa awal
Islam. Ketentuan wasiat ini, yang diatur dalam QS. al-Baqarah ayat 180 tersebut kemudian
dinasakh dengan QS. an-Nisa ayat 11-12 yang mengatur secara detail para ahli waris yang
mendapat bagian tertentu. Oleh karena itu, bagi orang tua dan kerabat, baik yang menerima
bagian warisan atau tidak, telah tertutup haknya untuk menerima wasiat.
Menurut al-Alusy, penghapusan berlakunya ayat wasiat tersebut, orang yang berwasiat
tidak dapat lagi memperhatikan batas-batas yang diperkenankan dalam berwasiat
sebagaimana diisyaratkan al-Qur’an dalam kalimat bi al-ma’ruf. Ini dipandang sebagai
iktikad yang tidak baik. Atas dasar itulah, kemudian Allah mengalihkannya melalui
ketentuan QS. an-Nisa ayat 11-12. Setelah itu, perintah wasiat kepada keluarga dan kerabat
berakhir dan berlaku ketentuan hukum warisan.

Alasan lain adalah, bahwa keluarga tidak berhak menerima wasiat, dijelaskan dalam sabda
Nabi SAW.

Yang artinya: “Dari Abi Umamah ra. Berkata, aku mendengar Rasulullah SAW. Bersabda
pada kutbah tahun haji wada: “ sesungguhnya Allah telah memberikan kepada yang
mempunyai hak akan hak-haknya, karena itu tidak sah berwasiat kepada ahli waris”.
(Riwayat at-Tirmizi).

Dari ilustrasi diatas dapat disimpulkan, bahwa wasiat kepada orang tua dan kerabat tidak
dapat dibenarkan secara hukum. Adapun pengecualian dalam hadis yang menyerahkan
kepada izin ahli waris, adalah sebagai bentuk kerelaan mereka untuk dikurangi hak-hak waris
yang mestinya mereka terima dari harta peninggalan tersebut.

Apabila memang terbukti bahwa seseorang telah melakukan wasiat sebelum harta
peninggalanya dibagi, wasiat yang dibuat harus dilaksanakan. Ketentuanya , maksimal 1/3
dari harta peninggalan yang siap dibagi. Apabila si mati tidak berwasiat, jika dipandang
perlu dan ahli warisnya menetujui, dalam usaha mewujudkan keadilan, maka dapat
dilaksanakan wasiat wajibah kepada ahli waris yang tidak mendapat bagian. 4

4
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001, hlm 46.

Anda mungkin juga menyukai