Anda di halaman 1dari 71

FIQH

MAWARIS

BUKU AJAR (DARAS)

Disusun Oleh:
Drs. Tgk. H. Asnawi Abdullah, MA
PENDAHULUAN
Perjalanan hidup seseorang di dunia ini yang di mulai dari lahir,
hidup berkembang dan diakhiri oleh kematian akan membawa pengaruh dan
akibat hukum kepada lingkungannya, terutama kepada orang dekat
dengannya, baik karena hubungan kekeluargaan maupun lainnya. Dan
selama hidup manusia menanggung hak dan kewajiban, baik sebagai
pribadi, anggota keluarga, masyarakat, dan sebagai seorang muslim yang
harus tunduk, taat, dan patuh kepada ketentuansyari’at dalaam seluruh
totalitas kehidupannya. Demikian juga dengan kematian yang membawa
pengaruh dan akibathukum kepada diri, keluarga, masyarakat dan
lingkungan sekitarnya. Disamping itu kematian menimbulkan kewajiban
orang lain kepada dirinya, terutama yang berhubungan dengan pengurusaan
janazahnya, seperti memandikannya, menyalatinya, menguburkannya yang
kita kenal dengan kewajiban kifayah tentang pengurusaan janazah. Dan
timbul pula akibat hukum lain yaang terjadi secara otomatis yang yang
berkaitan dengan hak ahli waris terhadap seluruh harta peninggaalannya.
Setelah diselesaikan hal-hal lain yanag berkaitan dengan hak tirkah
seseorang yang meninggaal dunia.
Adanya kematian seseorang mengakibatkan timbulnya akibat hukum
yang menyangkut bagaimana cara pengoperan atau penyelesaaian harta
peninggalaannya kepada ahli warisnya yang dalam hukum islam dikenal
dengan Hukum waris, atau ilmu mawaris, atau figh mawaris atau ilmu
faraidh. Jadi dengan meninggalnya seseorang terjadilah prosespewarisan
atau pemindahan dan pengoperan harta kekayaan seseorang yang telah
meninggal dunia. Masalah ini sangat penting karena erat sekali kaitannya
dengan ruang lingkup kehidupan manusia. Dan dalam islam sejak kematian
seseorang saat itu pula semua harta benda miliknya beralih kepada ahli
warisnya yang masih hidup.
Islam mengatur tentang hak ahli waris di dalam Al-qur’an dengan
sangat rinci, mengingat masalah pengalihan harta orang meninggal rentang
sekali untuk potensi penyimpangan dan ketidak adilan dalam membaginya
diantara ahli waris itu sendiri, siapa yang lebih kuat akan menguasai lebih
banyak, dan yang lemah akan mendapat lebih sedikit. Hal tersebut karena
pada manusia dalam kehidupan ini sebagaai makhluk hidup memiliki naluri
untuk mempertahankan hidup dan naluri untuk melanjutkan hidup. Untuk
terpenuhinya dua naluri tersebut, Allah menciptakan dalaam diri manusia
dua nafsu, yaitu nafsu makan dan nafsu syahwat, maka dari sinilah muncul
kecenderungaan manusia untuk mendaapaatkaan dan memiliki harta dan
memerlukan lawan jenisnya untuk menyalurkan nafsu syahwatnya. Sebagai
makhluk yang berakal manusia memerlukan sesuatu untuk mempertahankan
dan meningkatkan daya akalnya, dan sebagai manusia yang beragama
manusia memerlukan sesuatu untuk dapat mempertahankan dan
menyempurnakan agamanya, dengan demikian sebagai syarat untuk
keseimbangan hidup manusia harus memiliki lima hal yang sangat prinsip
yaitu agama, akal, jiwa, harta dan keturunan yang dalam bahasa lain disebut
dengan dharuriyat al-khamsah.
Nafsu yang ada dalam diri manusia merupakan sunnatullah, namun
di dalam surat Yusuf ayat 53, Allah mengingatkan bahwa nafsu itu
cenderung ke arah keburukan. Nafsu aapabila tidak dokontrol dan
dikendalikan dapat menimbulkan pertumpahan darah di atas permukaan
bumi ini, untuk mengendalikan itulah maka berbagai aturan dan ketentuan
hukum ditetapkan oleh Allah. Dan diantara aturan yang mengatur hubungan
manusia dengan sesama manusia yang ditetaapkan Allah adalah aturan
tentang harta warisan, yaitu harta dan pemilikan yang timbul sebagai akibat
dari kematian seseorang, kemana beralih pemilikannya, siapa yang berhak
menerimanya, berapa jumlah dan bagaimana cara mendapatkannya.
Aturan warisan yang ditetapkan Allah di dalam Al-Qur’an, pada
dasarnya ketentuan Allah yang sangat jelas maksud dan arahnya, dan hal-hal
yang masih memerlukan penjelasan, baik yang bersifat menegaskan maupun
yang bersifat merinci, dijelaskan oleh Rasulullah melalui hadisnya.
Walaupun demikian, penerapannyamasih menimbulkan pemikiran dan
ijtihad yang terus dikembangkan oleh mujtahid dan ilmuan yang kemudian
dirumuskan dalam bentuk ajaran yang bersifat normatif, dan aturan tersebut
kemudian ditulis dan dibukukan dalam lembaraan kitab-kitab fikih serta
menjadi menjadi pedoman bagi kaum muslimin dalam menyelesaikan
permasalahan kewarisan tersebut.Dan dengan berpijak pada aturan Allah,
maka umat Islam terpelihara dari memakan harta secara bathil, jauh dari
terjadi keributan dalam keluarga yang diakibatkan oleh hartawarisan serta
terwujudnya keadilab yang sempurna dalam pembagian harta warisan.
Amin...

BAB SATU
PENDAHULUAN

A. Pengertian Ilmu Mawaris

Kata waris berasal dari kata:


Menurut lughah berarti berpindah susuatu dari seseorang kepada orang
lain atau dari satu kelompok kepada kelompok lain baik harta, ilmu,
kesungguhan maupun kemuliaan. Sedangkan menurut Istilah ”berpindah
pemilikan dari orang mati kepada warisnya yang hidup baik harta, kebun
maupun hak yang dibangsakan kepada syara’. Dan sering juga disebut
dengan ilmu faraidh. Karena berkaitan dengan bagian ahli waris yang telah
ditentukan kadar besar kecilnya oleh syara’, oleh karena itu, para ulama
memberikan pengertian yang berbeda-beda namun secara subtansi ada
kesamaannya diantaranya :
1. Muhammad al-Syarbani mendefinisikan ilmu faraidh; ilmu figh yang
berkaitan dengan pewarisan, pengetahuan tentang cara perthitungan
yang dapat menyelesaikan pewarisan tersebut, dan pengetahuan tentang
bahagian-bahagian yang wajib dari harta peninggalan bagi setiap
pemilik hak waris
2. Hasbi Ash-Shiddieqy mendefinisikan ; Ilmu yang mempelajari tentang
siapa yang mendapatkan warisan dan siapa yang tidak mendapatkannya,
kadar yang diterima oleh tiap-tiap ahli waris, dan cara pembagiannya
3. Mmahyiddin Abdul Hamid mendefinisikan; Ilmu yang membahas
tentang kadar (bagian) dari harta peninggalan bagi setiap orang yang
berhak menerimanya (ahli waris.
4. Rifa’i Arif mendefinisikan; Kaidah-kaidah dan pokok-pokok yang
membahas tentang para ahli waris, bagian-bagian yang telah ditentukan
bagi mereka dan cara membagikan harta peninggalan kepada ahli waris
yang berhak menerimanya.
Dari definisi diatas dapatlah disimpulkan bahwa ilmu faraidh atau figh
mawaris adalah ilmu yang membicarakan hal ihwal pemindahan harta
peninggalan dari seorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang
masih hidup, baik berkaitan dengan harta yang ditinggalkannya, orang-
orang yang berhak menerimanya, bagian masing-masing ahli waris maupun
cara penyelesaian pembagian harta peninggalan.

B. Dasar hukum ilmu Mawaris


Sumber hukum ilmu Waris adalah ;
a. Al-qur’an
1).Surat an-Nisak ayat 7:
    
    
       
  
Artinya: laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut
bahagian yang Telah ditetapkan.

2).Surat an-Nisak ayat 11:


       
      
        
      
          
       
       
       
       
       
Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian
dua orang anak perempuan[272]; dan jika anak itu semuanya perempuan
lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan;
jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta.
dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang
yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya
(saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu
mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia
buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih
dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

3). Surat an-Nisak ayat 12:


         
        
         
        
         
         
       
       
        
        
       
Artinya: mereka tidak mempunyai anak. jika Isteri-isterimu itu mempunyai
anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya
sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar
hutangnya. para isteri 12. Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta
yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika memperoleh seperempat harta
yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu
mempunyai anak, Maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta
yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan)
sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki
maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan
anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang
saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis
saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-saudara seibu itu lebih dari
seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi
wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak
memberi mudharat (kepada ahli waris), (Allah menetapkan yang demikian
itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha
mengetahui lagi Maha Penyantun.

4). Surat an-Nisak ayat 176:


       
       
         
      
       
       
       
Artinya: Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah:
"Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang
meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara
perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta
yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh
harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara
perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri
dari) Saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara
laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah
menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah
Maha mengetahui segala sesuatu.

b. Al-Hadis; Artinya: Berikanlah harta pusaka kepada orang-orang yang


lebih berhak, sesudah itu sisanya untuk orang laki-laki yang lebih
utama (yang lebih dekat) H.R. Bukhari dan Muslim).

c. Ijmak dan ijtihad.


Ijmak dan ijtihad para sahabat, para imam Mazhab telah memberikan andil
yang besar terhadap pemecahan masalah mawaris yang belum dijelaskan
oleh Nas yang sareh. Seperti:
1). Status saudara yang mewarisi bersama kakek yang didalam al-
Qur’an tidak dijelaskan.
2). Sistem Aul pada masalah Ahli Waris Dua atau lebih saudara
perempuan kandung bersama suami.
3). Status cucu yang ayahnya lebih dahulu meninggal dunia dari
saudara ayahnya. Yang menurut ketentuan tidak mendapat apa-apa
karena dihijab oleh saudara ayahnya, namun menurut kitab undang-
undang Hukum wasiat mesir yang berpegang pada istimbat dan
ijtihad ulama mutaqaddimin diberi bagian berdasarkan atas ”Wasiat
Mujibah”.

C. Hukum Belajar dan Mengajar Ilmu Waris/ Fara’idh


Ketentua-ketentua Syari’at Islam yang di tunjuk oleh nash-nash yang
jelas termasuk di dalamnya masalah pembagian warisan, selama tidak ada
dalil lain yang menghendaki lain, maka ianya suatu keharusan yang harus
dilaksanakan oleh seluruh umat islam. Dalam hal ini mentaati dan
melaksanakan ketentuan pembagian warisan sesuai yang diperintahkan
Allah SWT akan mendapat fahala dan nikmat syurga-Nya, sebaliknya bagi
mereka yang tidak mengindahkannya, akan mendapat siksa dan di
masukkannya ke dalam api neraka jahannam, hal ini sebagaimana
dipahami dari firman Allah surat an-Nisak ayat 14:
       
    
Artinya: dan Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan
melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke
dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang
menghinakan.
Rasulullah memerintahkan belajar dan mengajarkan ilmu fara’idh,
agar tidak terjadi perselisihan dalam membagikan harta pusaka ,
sebagaimana Hadist Rasulullah SAW yang artinya:” Pelajarilah al-Qur’an
dan ajarkannya kepada orang-orang dan pelajarilah ilmu fara’idh serta
ajarkanlah kepada orang-orang. Karena saya orang yang bakal direnggut
(mati) sedang ilmu itu bakal diangkat. Hampir-hampir saja dua orang yang
bertengkar tentang pembagian pusaka, maka mereka tidak menemukan
seorangpun yang sanggup memfatwakannya kepada mereka .(H.R. Ahmad,
Darul Qutni dan Nasai)
Perintah tersebut menunjukkan wajib, namun kewajiban itu gugur
bila sudah ada sebagian orang yang melaksanakannya (Kewajiban Kifayah).
Artinya: Dari Abdullah bin Amr bin Ash r.a berkata Bersabda nabi SAW
”Ilmu itu ada tiga, selain yang tiga hanya bersifat tambahan (sekunder)
yaitu ayat-ayat muhkamat (yang jelas ketentuannya), Sunnah Nabi SAW
yang dilaksanakan dan ilmu faraidh.
Artinya: Pelajarilah ilmu faraidh, karena ia termasuk bagian dari
agamamu dan setengan dari ilmu. Ilmu ini adalah yang pertama kali akan
dicabut dari ummatku.
Para ulama berbeda pendapat tentang makna ”setengah dari ilmu”
Ada yang mengatakan bahwa dua itu adalah kehidupan dan kematian, dan
faraidh erat hubungannya dengan kematian. Yang lain berpendapat Ilmu
lain bersandar pada Nas dan Qias, sedangkan ilmu faraidh bersandar pada
nas saja. Yang lain lagi berpendapat bahwa ilmu tentang kepemilikan dibagi
dua satu pemilikan secara sukarela seperti pembelian, hibah dsb, dan yang
satu lagi secara paksa tidak dapat dikembalikan seperti harta warisan.
D. Sejarah Pusaka mempusakai Dan sebab waris mewarisi.
1. Pusaka mempusakai pada zaman jahiliyah
Orang-orang Arab Jahiliyah tergolong bangsa yang gemar mengembara
dan berperang, kehidupan mareka sedikit banyak tergantung pada hasil
jarahan dan rampasan perang disamping juga dari perniagaan. Dan dalam
bidang pembagian warisan mereka berpegang teguh pada tradisi yang
diwariskan oleh nenek moyang mereka dan diantaranya “anak-anak yang
belum dewasa dan kaum perempuan dilarang mempusakai”. Dan
Sebab-sebab dan syarat-syarat mempusakai pada masa itu adalah:
a. Adanya pertalian karabat yang dilengkapi kekuatan jasmani yang
sanggup untuk membela, melindungi dan memelihara keluarga, hal ini
menyisihkan anak laki-laki dan kaum perempuan. Dan yang termasuk
karabat adalah Anak laki-laki, Saudara lakai-laki, paman dan anak
paman.
b. Adanya janji prasetia yang menjadi kekuatan hukum, bila salah seorang
pihak telah ,mengikrarkan janji prasetianya kepada pihak lain dan pihak
lain menyetujuinya, dan sebagai akibat dari perjanjian ini, bila salah
satu meninggal dunia, maka pihak lain dapat mempusakai seper enam
harta peninggalannya.
c. Pengangkatan anak (adopsi). Seorang yang mengambil anak orang lain
untuk dipelihara dalam keluarganya, maka Bapak angkat berstatus
sebagai Bapak angkat. Dan bila ia sudah dewasa ia dapat mempusakai
harta peninggalan Bapak angkatnya dan ini masih berlaku sampai
beberapa saat di awal Islam.
2. Pusaka mempusakai mada Zaman awal Islam.
Pada masa awal-awal Islam dan sebelum turunnya ayat mawaris,
Sebab pusaka mempusakai yang berlaku pada masa jahiliyah, dua sebab
msih berlaku yaitu ”hubungan karabat dan adopsi” dan ditambah dengan
persaudaraan muhajirin dan ansar (Muakhkhah), hal ini sebagai usaha
memperteguh dan mengabadikan persaudaraan antara keduanya.
Kemudian sistem pewarisan yang berlaku dalam masyarakat
jahiliyah dan awal Islam disempurnakan dan ada yang dibatalkan oleh Islam
melalui ayat-ayat Al-Qur’an. Sebab pusaka mempusakai berdasarkan
”Muakhkhah” dibatalkah oleh firman Allah surat al-Ahzab ayat 6 :
       
         
      
      
Artinya: Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari
diri mereka sendiri[1] dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. dan
orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak
(waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmim dan
orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik[2] kepada
saudara-saudaramu (seagama). adalah yang demikian itu Telah tertulis di
dalam Kitab (Allah).

[1] Maksudnya: orang-orang mukmin itu mencintai nabi mereka lebih dari
mencintai diri mereka sendiri dalam segala urusan.
[2] yang dimaksud dengan berbuat baik disini ialah berwasiat yang tidak
lebih dari sepertiga harta.
Sebab mempusakai yang dikhususkan anak laki-laki dewasa lagi kuat
berjuang, dinasahkan oleh firman Allah surat an-Nisa’ ayat 7
      
          
  
Artinya: Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-
bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari
harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bahagian yang Telah ditetapkan.
Pusaka mempusakai berdasarkan adopsi dibatalkan oleh Firman Allah
surat al-Ahzab ayat 4 dan 5:
           
       
         
           
       
         
    
Artinya: Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati
dalam rongganya; dan dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar
itu sebagai ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai
anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu
dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang Sebenarnya dan dia
menunjukkan jalan (yang benar).
Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-
bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak
mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai)
saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu dan tidak ada dosa
atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya)
apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.
3. Sebab-sebab mempusakai setelah ayat-ayat Mawaris.
Adapun yang dimaksud dengan sebab-sebab adanya pewarisan adalah
sesuatu yang mewajibkan adanya hak mewarisi, dan sebab mewarisi itu
adalah:
a. Kekerabatan, yaitu hubungan nasab antara orang yang mewariskan
dengan orang yang mewarisi, hal ini didasarkan pada ayat-ayat
tersebut di atas.
b. Pernikahan, yaitu dengan sebab sudah menjadi suami isteri dengan
adanya akad nikah yang sah walaupun belum adanya hubungan
intim antara keduanya. Hal ini sesuai dengan kandungan ayat 12
surat an-Nisak di atas.
Talak Raji’i yang belum habis iddahnya tidak menjadi penghalang
mewarisi, karena isteri dalam talak raji’i masih dapat ruju’, dan ia
masih dihitung suami isteri.
c. Wala’ atau pemerdekaan Budak. Hal ini didasarkan pada hadis
Rasulullah dalam perkara Barirah r.a. ”Hak Wala’ itu hanya bagi
orang yang telah memerdekakan budaknya (Mutafaq alaih).
d. Baital mal, dalam hal Baitalmal menjadi salah satu sebab
mewarisi, para ahli fikih berbeda pendapat; pertama dapat
mewarisi secara mutlak, baik yang terorganisir maupun tidak,
dengan alasan kaum muslimin dibebani kewajiban membarar diyat
untuk saudaranya yang tidak mempunyai karabat, maka kedudukan
mereka bagaikan asabah dalam lingkungan karabat. Pendapat ini
dipegang oleh kalangan Malikiyah dan Imam Syafi’i dalam qaul
qadimnya. Kedua Baitulmal dapat menjadi ahli waris jika
terorganisir, dan bukan untuk kemaslahatan sosial tetapi untuk
diwarisi oleh kaum muslimin secara ushubah. Pendapat ini
dikemukakan oleh Imam Syafi’i dalam qaul jadidnya, orang
syafi’iyah dan Malikiyah yang berpegang pada pendapat ini
beralasan pada Sabda Rasulullah ”Aku adalah ahli waris orang
yang tidak mempunyai ahli waris, aku dapat membayar dendanya
dan mewarinya” Ketiga, Baitulmal bukan penyebab mewarisi. Ini
pendapat kalangan Hanafiyah dan Hambaliyah, merelka beralasan
pada firman Allah surat al-Anfal ayat 75 :
       .e
        
        
Artinya : Dan orang-orang yang beriman sesudah itu Kemudian berhijrah
serta berjihad bersamamu Maka orang-orang itu termasuk golonganmu
(juga). orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya
lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam
Kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
E. Peninggalan (tirkah)
Peninggalan (tirkah) adalah harta yang ditinggalkan oleh mayit (orang
yang mati) secara mutlak. Yang demikian itu ditetapkan oleh Ibnu Hazm,
katanya: Sesungguhnya Allah telah mewajibkan warisan kepada harta,
bukan yang lain, yang ditinggalkan oleh manusia sesudah dia mati. Adapun
hak-hak, maka ia tidak diwariskan kecuali yang mengikuti harta atau dalam
pengertian harta, misalnya hak pakai, hak penghormatan, hak tinggal di
tanah yang dimonopoli untuk bangunan dan tanaman. Menurut mazhab
Maliki, Syafi'i dan Hambali, peninggalan si mayit, baik hak harta benda
maupun hak bukan harta benda.
Adapun hak-hak yang berhubungan dengan harta peninggalan itu ada
empat. Keempatnya tidak sama kedudukannya, sebagiannya ada yang lebih
kuat dari yang lain sehingga ia didahulukan atas yang lain untuk dikeluarkan
dari peninggalan.
Hak-hak tersebut menurut tertib berikut :
- Biaya mengkafani dan memperlengkapinya menurut cara yang telah diatur
dalam masalah jenazah
- Melunasi hutangnya. Ibnu Hazm dan Asy-Syafi'i mendahulukan hutang
kepada Allah seperti zakat dan kifarat, atas hutang kepada manusia.
Orang-orang Hanafi menggugurkan hutang kepada Allah dengan adanya
kematian. Dengan demikian maka hutang kepada Allah itu tidak wajib
dibayar oleh ahli waris kecuali apabila mereka secara sukarela
membayarnya, atau diwasiatkan oleh mayit untuk dibayarnya. Dengan
diwasiatkannya hutang, maka hutang itu menjadi seperti wasiat kepada
orang lain yang dikeluarkan oleh ahli waris atau pemelihara dari
sepertiga yang tersisa setelah perawatan mayat dan hutang kepada
manusia. Ini bila dia mempunyai ahli waris. Apabila dia tidak mempunyai
ahli waris, maka wasiat hutang itu dikeluarkan dari seluruh harta.
Orang-orang Hambali mempersamakan antara hutang kepada Allah dengan
hutang kepada manusia. Demikian pula mereka sepakat bahwa hutang
hamba yang bersifat 'aini (hutang yang berhubungan dengan harta
peninggalan) itu didahulukan atas hutang muthlak.
- Pelaksanaan wasiat dari sepertiga sisa harta semuanya sesudah hutang
dibayar.
Bagi Masyarakat muslim Indonesia, disamping kewajiban yang telah
disebutkan di atas, perlu juga diperhatikan harta bersama suami isteri, yang
dalam masyarakat Aceh disebut dengan harta seuhareukat, masalah ini harus
diselesaikan lebih dahulu sebelum harta warisan dibagikan kepada ahli
waris, dan barulah sisa dari itu semuanya yang disebut dengan maurus atau
harta pusaka dan dibagikan kepada ahli waris.

BAB DUA
PRINSIP DAN DASAR WARIS MEWARISI
A. Rukun dan syarat dalam pewarisan
Ada tiga rukun dalam pewarisan:
1. Adanya pewaris (al-waarits) ialah orang yang mempunyai hubungan
penyebab kewarisan dengan mayit sehingga dia memperoleh kewarisan.
2. Orang yang mewariskan (al-muwarrits): ialah mayit itu sendiri, baik
nyata maupun dinyatakan mati secara hukum, seperti orang yang
hilang dan dinyatakan mati.
3. Harta yang diwariskan (al-mauruuts): disebut pula peninggalan dan
warisan. Yaitu harta atau hak yang dipindahkan dari yang mewariskan
kepada pewaris
Adapun Syarat dalam pewarisan itu ada tiga pula:
1. Kematian orang yang mewariskan, baik kematian secara nyata ataupun
kematian secara hukum, misalnya seorang hakim memutuskan kematian
seseorang yang hilang. Keputusan tersebut menjadikan orang yang
hilang sebagai orang yang mati secara hahiki, atau mati menurut dugaan
seperti seseoran memukul seorang perempuan yang hamil sehingga
janinnya gugur dalam keadaan mati; maka janin yang gugur itu
dianggap hidup sekalipun hidupnya itu belum nyata.
2. Pewaris itu hidup setelah orang yang mewariskan mati, meskipun
hidupnya itu secara hukum, misalnya kandungan. Kandungan secara
hukum dianggap hidup, karena mungkin ruhnya belum ditiupkan.
Apabila tidak diketahui bahwa pewaris itu hidup sesudah orang yang
mewariskan mati, seperti karena tenggelam atau terbakar atau tertimbun;
maka di antara mereka itu tidak ada waris mewarisi jika mereka itu
termasuk orang-orang yang saling mewaris. Dan harta masing- masing
mereka itu dibagikan kepada ahli waris yang masih hidup.
3. Bila tidak ada penghalang yang menghalangi pewarisan.
B. Penghalang Dalam Kewarisan
Adapun yang menjadi penghalang untuk mendapat warisan adalah
seseorang yang menjadi ahli waris, akan tetapi ia kehilangan hak
memporoleh warisan karena ada suatu sifat tertentu dan mereka disebut
mahrum, penghalang ini yang disepakati para ulama ada tiga :
1. Perbudakan: Baik orang itu menjadi budak dengan sempurna atau tidak.
2. Pembunuhan dengan sengaja yang diharamkan. Apabila pewaris
membunuh orang yang mewariskan dengan cara zhalim, maka dia
tidak lagi mewarisi, karena hadits Nabi saw bersabda : "Orang yang
membunuh itu tidak mendapatkan warisan sedikitpun".
Adapun pembunuhan yang tidak disengaja, maka para ulama berbeda
pendapat di dalamnya. Berkata Asy-Syafi'i: Setiap pembunuhan
menghalangi pewarisan, sekalipun pembunuhan itu dilakukan oleh
anak kecil atau orang gila, dan sekalipun dengan cara yang benar
seperti had atau qishash. Mazhab Maliki berkata: Sesungguhnya
pembunuhan yang menghalangi pewarisan itu adalah pembunuhan yang
sengaja bermusuhan, baik langsung ataupun mengalami perantaraan.
Undang-undang Warisan Mesir mengambil pendapat ini dalam pasal
lima belas, yang bunyinya :
"Di antara penyebab yang menghalangi pewarisan ialah membunuh orang
yang mewariskan dengan sengaja, baik pembunuh itu pelaku utama,
serikat, ataupun saksi palsu yang kesaksiannya mengakibatkan hukum
bunuh dan pelaksanaannya bagi orang yang mewariskan, jika
pembunuhan itu pembunuhan yang tidak benar atau tidak beralasan;
sedang pembunuh itu orang yang berakal dan sudah berumur lima belas
tahun; kecuali kalau dia melakukan hak membela diri yang sah.
3. Berlainan Agama
Dengan demikian seorang muslim tidak mewarisi dari orang kafir, dan
seorang
kafir tidak mewarisi dari seorang muslim; karena hadits yang
diriwayatkan oleh empat orang ahli hadits, dari Usamah bin Zaid,
bahwa Nabi saw bersabda: "Seorang muslim tidak mewarisi dari
seorang kafir, seorang kafirpun tidak mewarisi dari seorang muslim".
Diriwayatkan oleh Mu'adz, Mu'awiyah, Ibnul Musayyab, Masruq dan
An-Nakha'i, bahwa sesungguhnya seorang muslim itu mewarisi dari
seorang kafir; dan tidak sebaliknya. Yang demikian itu seperti halnya
seorang muslim laki-laki boleh menikah dengan seorang kafir
perempuan dan seorang kafir laki-laki tidak boleh menikah dengan
seorang muslim perem-puan. Adapun orang-orang yang bukan muslim,
maka sebagian mereka mewarisi sebagian yang lain, karena mereka
dianggap satu agama.
B. Ahli Waris
1. Tertib kelompok ahli Ahli Waris
Kelompok Orang-orang yang berhak menerima warisan, menurut
Muhammad Ali As-Shabuni tersusun sebagai berikut :
a. Ashhaabul Furuudh
b. 'Ashabah Nasabiyah
c. Radd kepada Ashhaabul Furuudh
d. Dzawul Arhaam
e. Radd kepada salah seorang suami isteri
f. ’Asabah Sababiyah
g. Orang yang menerima wasiat melebihi sepertiga harta peninggalan atau
semua harta
h. Baitul Maal
Adapun urutan orang-orang yang berhak menerima warisan menurut
kitab Undang- undang warisan yang berlaku di Mesir adalah sebagai
berikut:
a. Ashhaabul Furuudh
b. 'Ashabah Nasabiyah
c. Rodd kepada Ashhaabul Furuudh
d. Dzawul Arhaam
e. Rad ada salah seorang suami-isteri
f. habah Sababiyah
g. ang yang diakukan nasabnya kepada orang lain
h. ng yang menerima wasiat semua harta peninggalan
i. Baitu Mal
2. Jumlah Ahli waris.
Ahli waris dari kalangan laki-laki secara rinci ada 15 orang yaitu sebagai
berikut:
a. Anak laki-laki
b. Cucu laki-laki dari anak laki-laki
c. Ayah
d. Kakek (ayahnya ayah) terus ke atas
e. Saudara laki-laki seayah seibu (syakek)
f. Saudara laki-laki seayah
g. Saudara laki-laki seibu
h. Anak laki-lakinya sudara seayah seibu
i. Anak laki-lakinya saudara seayah
j. Saudara laki-lakinya ayah sekandung (paman)
k. Saudara laki-lakinya ayah seayah (paman seayah)
l. Anak laki-lakinya paman sekandung
m. Anak laki-lakinya paman seayah
n. Suami
o. Orang laki-laki yang memerdekakannya

Adapun ahli waris dari kalangan perempuan secara terperinci ada 10


orang yaitu sebagai berikut:
a. Anak perempuan
b. Ibu
c. Anak perempuan dari anak laki-laki (terus ke bawah)
d. Ibunya ibu (nenek dari ibu) terus ke atas
e. Ibunya bapak (nenek dari bapak) terus ke atas
f. Saudara perempuan sekandung
g. Saudara perempuan seayah
h. Saudara perempuan seibu
i. Isteri
j. Perempuan yang memerdekakannya

3. Ashabul Furudh Dan Bagian-Bagiannya


Ashhaabul Furuudh adalah mereka yang mempunyai bagian dari enam
bagian yang ditentukan di dalam Al-qur’an, yaitu: 1/2, 1/4, 1/8, 2/3, 1/3 dan
1/6.
Ashhaabul Furuudh ada dua belas orang: empat laki-laki, yaitu ayah,
kakek yang sah dan seterusnya ke atas, saudara laki-laki seibu, dan suami.
Dan delapan perempuan, yaitu isteri, anak perempuan, saudara perempuan
sekandung, saudara perempuan seayah, saudara perempuan seibu, anak
perempuan dari anak laki-laki, ibu, dan nenek serta seterusnya sampai ke
atas. Berikut ini akan dijelaskan bagian dari masing-masing secara
terperinci:
a. Ayah
Berfirman Allah SWT:
"Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari
harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika
orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh ibu-
bapaknya saja, maka ibunya mendapat sepertiga".
Ayah itu mempunyai tiga ketentuan: mewarisi dengan jalan fardh,
mewarisi dengan jalan 'ashabah, dan mewarisi dengan jalan fardh dan
'ashabah secara ber barengan.
- Dengan jalan Fardh: apabila ayah bersama dengan keturunan (far'un) laki-
laki Dalam keadaan demikian, maka bagian ayah adalah seperenam.
- Dengan jalan 'ashabah: Ayah mewarisi dengan jalan 'ashobah, jika mayit
tidak mempunyai keturunan (far'un) yang laki-laki. Dengan demikian, maka
ayah mengambil semua peninggalan bila ia sendirian, atau sisa dari
Ashhaabul Furuudh bila dia bersama dengan salah seorang di antara mereka.
- Dengan jalan fardh dan 'ashobah Yang demikian terjadi bila dia bersama
dengan keturunan perempuan yang mewarisi. Dalam keadaan yang
demikian, ayah mengambil seperenam sebagai fardh, kemudian mengambil
sisa dari Ashhaabul Furuudh sebagai 'ashobah.
b. Kakek
akek ada yang shahih dan ada yang fasid. Kakek yang shahih ialah kakek
yang nasabnya dengan mayit tidak diselingi oleh perempuan, misalnya ayah
dari ayah.
Kakek yang fasid ialah kakek yang nasabnya dengan si mayit diselingi oleh
perempuan, misalnya ayah dari ibu. Kakek yang shahih mendapatkan waris
menurut ijma'.
"Dari 'Imran bin Hushain, bahwa seorang laki-laki telah datang kepada
Rosululloh saw, lalu katanya: Sesungguhnya anak laki-laki dari anak laki-
lakiku telah mati, berapakah aku mendapatkan warisannya? Beliau
menjawab: "Engkau mendapatkan seperenam." Ketika orang itu hendak
pergi, Beliau memanggilnya dan berkata:
"Engkau mendapatkan seperenam." Dan ketika orang itu hendak pergi,
maka Beliau memanggilnya dan berkata: "Engkau mendapat seperenam
lainnya." Ketika orang itu hendak pergi, Beliau memanggilnya dan berkata:
"Sesungguhnya seperenam yang lain itu adalah tambahan." (HR Ahmad,
Abu Dawud, dan At-Tirmidzi dan dia menshahihkan pula).
Hak waris kakek yang shahih itu gugur dengan adanya ayah; dan bila ayah
tidak ada, maka kakek shahih yang menggantikannya, kecuali dalam empat
masalah:
1 Ibu dari ayah itu tidak mewarisi bila ada ayah, sebab ibu dari ayah itu
gugur dengan adanya ayah dan mewarisi bersama kakek.
2 Apabila si mayit meninggalkan ibu-bapak dan seorang dari suami-isteri,
maka ibu mendapatkan sepertiga dari sisa harta sesudah bagian salah
seorang dari suami isteri. Adapun bila kakek menggantikan ayah, maka ibu
mendapatkan sepertiga dari semua harta. Masalah ini dinamakan
Umaririyah, karena masalah ini diputuskan oleh Umar. Masalah ini juga
dinamakan gharraaiyyah karena terkenalnya bagai bintang pagi. Akan tetapi
Ibnu 'Abbas menentang hal itu, dan katanya: "Sesungguhnya ibu
mendapatkan sepertiga dari keseluruhan
harta ; karena firman Allah : 'dan bagi ibunya itu sepertiga'".
3 Bila ayah didapatkan, maka terhalanglah saudara-saudara laki-laki
perempuan sekandung, dan saudara-saudara laki-laki serta saudara-saudara
perempuan sebapak. Adapun kakek, maka mereka tidak terhalang olehnya.
Ini adalah mazhab Asy-Syafi'i, Abu Yusuf, Muhammad dan Malik. Sedang
Abu Hanifah berpendapat bahwa kakek menghalangi sebagaimana ayah
menghalangi mereka, tidak ada perbedaan antara kakek dan ayah. Undang-
undang Warisan Mesir telah mengambil pendapat yang pertama, dimana
dalam pasal 22 terdapat ketentuan berikut:
"Apabila kakek berkumpul dengan saudara-saudara lelaki dan saudara-
saudara perempuan seibu-sebapak, atau saudara-saudara lelaki dan
saudara-saudara perempuan seayah, maka bagi kakek ini ada dua ketentuan:
Pertama: Dia berbagi sama rata dengan merekan, seperti seorang saudara
laki-laki jika mereka itu laki-laki saja, atau laki-laki dan perempuan atau
perempuan-perempuan yang digolongkan (di'ashobahkan) dengan
keturunan perempuan.
Kedua : Dia mengambil sisa setelah Ashhaabul Furuudh dengan cara
ta’sib bila dia bersama dengan saudara-saudara perempuan yang
di'ashobahkan oleh saudara-saudara lelaki, atau di'ashobahkan oleh
keturunan perempuan menurut furudh atau pewarisan dengan jalan ta'shib
maka ketentuan yang telah dikemukakan itu manjauhkan kakek dari
pewarisan atau mengurangi bagiannya dari seperenam, maka dia dianggap
pemilik dari bagian seperenam. Dan tidak dianggap dalam pembagian
masalah kakek ini, orang yang terhalang dari saudara-saudara lelaki ataun
saudara-saudara perempuan sebapak (yang diprioritaskan dalam masalah
ini adalah hanya kakek saja, red).
c. Saudara Laki-Laki Seibu
Berfirman Allah SWT:
"Jika seorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak memeninggalkan anak, tetapi mempunyai
seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan
(seibu saja), maka bagi masing- masing dari kedua jenis saudara iru
seperenam harta. Akan tetapi jika saudara- saudara seibu itu lebih dari
seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu" (Surat An-Nisaa
ayat 12).
Kalalah adalah orang yang tidak mempunyai ayah dan tidak mempunyai
anak,baik laki-laki maupun perempuan. Dan yang dimaksud saudara laki-
laki dan saudara perempuan dalam ayat ini ialah saudara-saudara seibu. Dari
ayat di atas jelaslah bahwa bagi mereka ada tiga ketentuan:
1 Bahwa seperenam itu untuk satu orang, baik laki-laki maupun perempuan.
2 Bahwa sepertiga itu untuk dua orang atau lebih, baik laki-laki atau
perempuan.
3 Mereka tidak mewarisi sesuatu bersama-sama dengan keturunan yang
mewarisi, seperti anak laki-laki dan anak dari anak laki-laki, dan tidak pula
mewarisi bersama dengan ashal (pokok yang menurunkan) yang laki-laki
lagi mewarisi, seperti ayah dan kakek. Maka mereka ini tidak terhalang
dengan adanya ibu atau nenek.
d. Suami
Allah SWT berfirman :
"Dan magimu (para suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu
mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkan mereka" (An-Nisaa : 12)
Ayat ini menyebutkan bahwa bagi suami ada dua ketentuan:
Ketentuan pertama:
Dia mendapatkan warisan separuh, jika tidak ada keturunan yang
mewarisi, yaitu anak laki-laki dan seterusnya ke bawah, anak perempuan,
dan anak perempuan dari anak laki-laki sekalipun anak perempuan itu
diturunkan oleh anak laki-laki,baik keturunan itu dari dirinya ataupun dari
orang lain.
Ketentuan Kedua :
Dia mendapatkan warisan seperempat jika ada keturunan yang mewarisi.
Adapun keturunan yang tidak mewarisi, seperti anak perempuan dari anak
perempuan, maka dia tidak mengurangi bagian suami atau isteri.
e. Isteri
Allah SWT berfirman :
"Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu
tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri
memperolehseperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan" (An-Nisaa' :
12).

Dari ayat di atas jelaslah bahwa bagi isteri itu ada dua ketentuan :
Ketentuan Pertama:
Hak memperoleh bagian seperempat bagi isteri terjadi bila tidak ada
keturunan yang mewarisi, baik keturunan itu dari dirinya ataupun dari orang
lain.
Ketentuan Kedua :
Hak memperoleh bagian seperdelapan terjadi bila ada keturunan yang
mewarisi. Apabila isteri itu berbilang, maka bagi mereka berbagi rata dari
seperempat atau seperdelapan bagian. Isteri yang ditalak (diceraikan)
dengan talak raj'ie itu mewarisi dari suaminya apabila suami mati sebelum
habis masa iddahnya. Orang-orang Hambali berpendapat bahwa isteri yang
ditalak sebelum dicampuri oleh suami yang mentalaknya di waktu sakit
yang menyebabkan kematian, kalau suami mati karenasakit, sedang isteri
belum menikah lagi, maka isteri itu mendapat warisan. Demikian pula bila
isteri yang ditalak yang telah dicampuri oleh suami yang mentalaknya,
selama dia belum menikah lagi, dan berada dalam masa 'iddah karena
kematian suami.
Undang-undang yang baru menganggap bahwa isteri yang ditalak bain
dalam keadaan suami sakit yang menyebabkan kematian, maka dia dihukum
sebagai isteri, jika dia tidak rela ditalak dan suami yang mentalak mati
karena penyakit, sedang dia masih berada dalam masa 'iddahnya
f. Anak Perempuan Yang Shulbiyah
Allah SWT berfirman :
"Allah mensyari'atkan bagimu tentang pembagian harta pusaka untuk anak-
anakmu.Yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan dua bagian anak
perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka
bagi mereka duapertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan
itu seorang saja, maka dia memperoleh seperdua harta" (An-Nisaa' 12).
Ayat di atas menunjukkan bahwa anak perempuan yang shulbiyah
mempunyai tiga ketentuan:
Ketentuan Pertama:
Dia mendapatkan bagian seperdua, apabila anak perempuan itu hanya
seorang diri.
Ketentuan Kedua :
Bagian duapertiga untuk dua orang anak perempuan atau lebih, bila tidak
ada seorang anak laki-laki atau lebih. Berkata Ibnu Qudamah: Ahli ilmu
telah sepakat bahwa fardh (bagian) dari dua orang anak perempuan adalah
duapertiga, kecuali satu riwayat syadz dari Ibnu 'Abbas. Berkata Ibnu
Rusyd: Telah dikatakan bahwa pendapat yang masyhur dari Ibnu 'Abbas itu
seperti pendapat jumhur.
Ketentuan Ketiga :
Mewaris secata ta'shib. Bila dia disertai oleh seorang anak laki-laki
ataulebih banyak, maka cara memperoleh warisannya dengan jalan ta'shib;
di dalam ta'shib bagian seorang laki-laki dua kali bagian seorang
perempuan. Denikian pula bila yang laki-laki dan perempuan itu kedua-
duannya banyak.
g. Saudara Perempuan (Seibu sebapak, Sebapak dan Seibu)
Allah SWT berfirman:
"Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah
memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal
dunia, dan dia tidak mempunyai anak dan mepunyai saudara perempuan,
maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang
ditinggalkannya, dan saudara yang laki-laki mempusakai (seluruh harta
saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak; akan tetapi jika
saudara perempuan itu dua orang; maka bagi keduanya dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris
itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian
seorang saudara laki-laki sebanyak dua bagian saudara perempuan" (An-
Nisa 176).
Rosululloh saw bersabda :
"Jadikanlah saudara-saudara perempuan dan anak-anak perempuan itu satu
'ashobah"
Bagi saudara perempuan sekandung ada lima ketentuan : 0 mmm
1 Separuh bagi seorang saudara perempuan sekandung bila dia tidak disertai
anak laki-laki, anak laki-laki dari anak laki-laki, ayah, kakek, dan
saudara laki- laki sekandung.
2 Dua pertiga bagi dua orang saudara perempuan sekandung atau lebih bila
tidak ada laki-laki.
3 Apabila saudara-saudara perempuan itu hanya disertai oleh saudara laki-
laki sekandung dan orang-orang yang telah dikemukakan di atas tidak ada,
maka saudara-saudara perempuan sekandung itu di'ashobahkan; sehingga
bagian dari seorang laki-laki adalah dua kali bagian seorang perempuan.
4 Saudara-saudara perempuan sekandung menjadi 'ashobah bersama dengan
anak-anak perempuan atau anak-anak perempuan dari anak-anak laki-
laki, sehingga mereka mengambil sisa harta sesudah bagian anak-anak
perempuan atau anak-anak perempuan dari anak-anak laki-laki.
5 Saudara-saudara perempuan sekandung itu gugur dengan adanya
keturunan laki- laki yang mewarisi, seperti anak laki-laki, dan anak laki-
laki dari anak laki- laki, serta pokok (yang menurunkan) laki-laki yang
mewarisi, seperti ayah menurut kesepakatan - da kakek - menurut Abu
Hanifah -. Pendapat Abu Hanifah ini berbeda dengan pendapat Abu
Yusuf dan Muhammad; dan perbedaan itu telah dikemukakan pada
pembicarann yang lalu.
Bagi perempuan seayah ada enam ketentuan :
1 Separuh, bila dia sendirian, tidak ada saudara perempuan seayah lainnya,
tidak ada saudara perempuan yang sekandung.
2 Dua pertiga, untuk dua orang saudara perempuan seayah atau lebih.
3 Seperenam, bila dia hanya bersama dengan saudara perempuan yang
sekandung,
sebagai penyempurnaan dua pertiga.
4 Mewarisi secara ta'shib bersama orang lain, bila bersamanya (seorang atau
lebih) terdapat seorang anak perempuan atau anak perempuan dari anak
laki- laki. Nereka mendapatkan sisa sesudah bagian anak perempuan atau
anak perempuan dari anak laki-laki.
5 Mereka gugur dengan adanya orang-orang berikut :
a. Pokok atau cabang laki-laki yang mewarisi.
b. Saudara laki-laki sekandung.
c. Saudara perempuan sekandung, bila menjadi 'ashobah oleh sebab anak
perempuan atau anak perempuan dari anak laki-laki, sebab saudara
perempuan sekandung dalam hal itu menduduki tempat saudara laki-
laki sekandung. Oleh sebab itu maka dia didahulukan atas saudara laki-
laki seayah dan saudara perempuan seayah, ketika dia menjadi
'ashobah oleh sebab orang lain.
d. Dua orang saudara perempuan sekandung, kecuali bila bersama mereka
terdapat
6 saudara lelaki seayah, maka mereka di'ashobahkan, sehingga sisanya
dibagi: untuk laki-laki adalah duan bagian seorang perempuan.
Apabila mayit meninggalkan dua orang saudara perempuan sekandung,
saudara-saudara perempuan seauayh dan seorang saudara laki-laki seayah,
maka dua orang saudara perempuan sekandung itu mendapat duapertiga,
dan sisanya dibagi antara saudara-saudara perempuan seayah dan saudara
laki-laki seayah dengan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan.
h. Cucu Perempuan dari anak Laki-laki
Bagi anak-anak perempuan dari anak laki-laki ada lima ketentuan:
1 Separuh, bila anak perempuan dari anak laki-laki itu sendiri saja dan tidak
ada anak laki-laki shulbi.
2 Duaperiga bagi dua orang atau lebih anak perempuan dari anak laki-laki,
bila tidak ada anak laki-laki shulbi.
3 Seperenam bagi seorang atau lebih anak perempuan dari anak laki-laki
bila ber-samanya terdapat anak perempuan shulbiyah sebagai
penyempurnaan duapertiga; kecuali bila bersama mereka terdapat seorang
anak laki-laki yang sederajat dengan mereka (cucu laki-laki), maka
mereka di'ashobahkan; dan sisanya sesudah bagian anak perempuan
shulbiyah, dibagikan: untuk lelaki dua bagian perempuan.
4 Mereka tidak mewarisi bila ada anak laki-laki.
5 Mereka tidak mewarisi bila ada dua orang anak perempuan sulbiyah atau
lebih, kecuali bila bersama didapatkan seorang anak laki-laki dari anak
laki-laki yang sederajat dengan mereka (cucu laki-laki) atau lebih rendah
dari mereka, maka mereka di'ashobahkan
i. Ibu
Allah SWT berfirman :
"Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari
harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal mempunyai anak, jika yang
meninggalkan itu tidak mempunyai anak, dan dia diwarisi oleh ibu-
bapaknya saja, maka ibunya mendapapatkan sepertiga. (An-Nisaa' ayat 10).
Bagi ibu itu ada tiga ketentuan :
1 Mendapatkan seperenam, bila dia bersama dengan anak laki-laki atau
seorang anak laki-laki dari anak laki-laki, atau dua orang saudara laki-laki
atau saudara perempuan secara muthlak, baik mereka itu dari fihak ayah
dan ibu, fihak ayah saja ataupun fihak ibu saja.
2 Mendapat sepertiga dari semua harta peninggalan, bila tidak didapatkan
seorangpun dari yang telah dikemukakan (dalam no. 1).
3 Mengambil sepertiga dari sisa harta bila tidak ada orang-orang yang telah
disebutkan tadi sesudah bagian seorang suami-isteri. Yang demikian itu
terdapat dalam dua masalah yang dinamakan gharraiyyah, yaitu :
Pertama: Bila si mayit meninggalkan suami dan dua orang tua.
Kedua : Bila si mayit meninggalkan isteri dan dua orang tua.
n. Nenek
"Dari Qubaishah bin Dzuaib, dia berkata: Seorang nenek telah datang
menghadap Abu Bakr, lalu dia menanyakan tentang warisannya. Abu Bakr
menjawab: "Engkau tidak mempunyai hak sedikitpun menurut Kitab Allah
dan aku tidak tahu sedikitpun berapa hakmu di dalam sunnah Rosululloh
saw. Maka pulanglah engkau sampai aku menanyakan kepada seseorang".
Kemudian Abu Bakr menanyakan kepada para shahabat. Al-Mughiroh bin
Syu'bah menjawab: "Aku pernah menyaksikan Rosululloh saw memberikan
kepada nenek seperenam fardh". Abu Bakr bertanya: "Apakah ada orang
lain bersamamu?" Maka berdirilah Muhammad bin Maslamah al-Anshori,
mengatakan seperti apa yang dikatakan Al-Mughiroh bin Syu'bah. Maka
Abu Bakrpun memberikan seperenam fardh kepada si nenek. Berkata
Qubaishah: Kemudian datanglah seorang nenek yang lain kepada 'Umar,
menanyakan warisannya. 'Umar menjawab: "Engkau tidak mempunyai hak
sedikitpun menurut kitab Allah, akan tetapi seperenam itulah. Oleh sebab
itu, jika kamu berdua, maka seperenam itupun untuk kamu berdua. Siapa
saja diantara kamu berdua yang sendirian, maka seperenam itu untuknya".
(HR lima orang ahli hadits kecuali An-Nasai, dishahihkan At-Tirmidzi)
Bagi nenek yang shahihah (=nenek yang nasabnya dengan si mayit tidak
diselingi oleh kakek yang fasid. Kakek yang fasid ialah kakek yang
nasabnya dengan si mayit diselingi oleh perempuan , seperti ayah dari ibu)
ada tiga ketentuan :
1 Seperenam bila dia sendirian, dan bila lebih dari satu, maka berserikat di
dalam seperenam itu, dengan syarat sama derajatnya seperti ibu dari ibu
dan ibu dari ayah.
2 Nenek yang dekat dari jihat manapun menghalangi nenek yang jauh,
seperti ibu dari ibu (nenek) menghalangi ibu dari ibu dari ibu (buyut) dan
menghalangi juga ibu dari ayah dari ayah.
3 Nenek dari jihat manapun gugur dengan adanya ibu; dan nenek dari jihat
ayah gugur dengan adanya ayah, akan tetapi adanya ayah tidak
menggugurkan nenek dari fihak ibu. Kakek menghalangi ibunya (buyut)
sebab ibu kakek gugur haknya karena adanya kakek
Untuk lebih mudak tentang furudh-furudh dan syarat-syaratnya
masing-masing dapat dilihat dalam tabel berikut:
Furudhul Muqaddarah
Dan Orang-orang yang menerimanya
1. Yang Mendapat 2/3 Harta Warisan
Ahli Waris Syarat-Syaratnya
1.Dua orang atau lebih anak Si Mayit tidak meninggalkan anak
perempua laki-laki
2.Dua orang atau lebih cucu Si mayit tidak meninggalkan :
perempuan dari anak laki-laki a. Anak
b. Cucu laki-laki dari anak laki-
laki
3.Dua orang atau lebih saudara Si mayit tidak meninggalkan:
perempuan seibu sebapak a. Anak
b. Cucu
c. Bapak
d. Kakek
e. Saudara laki-laki seibu
sebapak

4.Dua orang atau lebih saudara Si mayit tidak meninggalkan :


perempuan sebapak a. Anak
b. Cucu
c. Bapak
d. Kakek
e. Saudara laki-laki seibu
sebapak
f. Saudara laki-laki sebapak
g. Saudara perempuan seibu
sebapak

2. Yang mendapat ½ harta warisan


Ahli Waris Syarat
1. Seorang anak perempuan Si Mayit tidak meninggalkan anak
laki-laki
2. Seorang cucu perempuan Si Mayit tidak meninggalkan:
dari anak laki-laki a. Anak
b. Cucu laki-laki
3. Seorang saudara perempuan Si mayit tidak meninggalkan:
seibu sebapak a. Anak laki-laki
b. Anak perempuan lebih dari
seorang
c. Cucu laki-laki
d. Cucu perempuan lebih dari
seorang
e. Saudara laki-laki seibu
sebapak
f. Bapak
g. kakek
4. Seorang saudara perempuan Si mayit tidak meninggalkan
sebapak a. Anak laki-laki
b. Anak perempuan lebih dari
seorang
c. Cucu laki-laki
d. Cucu perem;puan lebih dari
seorang
e. Bapak
f. Kakek
g. Saudara laki-laki seibu
sebapak
h. Saudara perempuan seibu
sebapak
i. Saudara laki-laki sebapak
5. Suami Si mayit tidak meninggalkan:
a. Anak
b. cucu

3. Yang mendapat 1/3 harta warisan


Ahli Waris Syaratnya
1. Dua orang atau lebih saudara Si Mayit tidak meninggalkan:
seibu a. Anak
b. Cucu
c. Bapak
d. kakek
2. Ibu Si mayit tidak meninggalkan:
a. Anak
b. Cucu
c. Saudara lebih seorang baik
laki-laki maupun perempuan
4. Yang Mendapat ¼ harta warisan
Ahli Waris Syaratnya
1. Suami Si mayit Meninggalkan:
a. Anak,
b. b. cucu
2. Isteri seorang atau labih Si mayit tidak meninggalkan:
a. Anak
b. Cucu

5. Yang mendapat 1/6 Harta Warisan


Ahli Waris Syaratnya
1. Bapak Si mayit meninggalkan:
a. Anak
b. cucu
2. Ibu Si mayit meninggalkan
a. Anak
b. Cucu
c. Saudara lebih seorang
3. Kakek dari bapak Si mayit tidak meninggalkan bapak,
namun meninggalkan:
a. Anak
b. cucu
4. Nenek a. Dari bapak seorang atau
lebih, jika si mayit tidak
meninggalkan bapak dan ibu
b. Dari ibu, jika si mayit tidak
meninggalkan ibu
c. Apabila kedua-duanya ada,
maka seperenam dibagi rata
diantara mereka
5. Cucu perempuan dari anak Si mayit tidak meninggaalkan anak
laki-laki, seorang atau lebih laki-laki, namun meninggalkan
seorang anak perempuan.
Apabila cucu perempuan lebih dari
seorang, maka seperenam dibagi rata
diantara mereka
6. Saudara perempuan sebapak, Si mayit tidak meninggalkan:
seorang atau lebih a. Anak laki-laki
b. Cucu laaki-laki
c. Bapak
d. Kakek
e. Saudara laki-laki seibu
sebapak
f. Saudara laki-laki sebapak
Namun si mayit
meninggalkan seorang
saudara perempuan seibu
sebapak (tidak lebih)

7. Seorang saudara seibu tidak Si mayit tidak meninggalkan :


lebih (laki-laki atau a. Anak
perempuan b. Cucu
c. Bapak
d. kakek

6. yang mendapat 1/8 harta warisan


Ahli Waris Syaratnya
Isteri, seorang atau lebih Si mayit meninggalkan:
a. anak
b. cucu
Bila isteri lebih seorang, maka
seperdelapan dibagi rata
diantara mereka

Hijab Mahjub

Hijab adalah penutup atau penghalang. Yang dimaksud di sini adalah


penghapusan hak waris seseorang, baik penghapusan secara seluruhnya atau
hanya pengurangan bagiannya disebabkan adanya ahli waris yang lebih
dekat dengan mayit.
Hijab ada dua macam yaitu :
1. Hijab Nuqshan : penghalang yang dapat mengurangi bagian yang
seharusnya diterima oleh ahli waris.
2. Hijab Hirman : penghalang yang menyebabkan ahli waris tidak
mendapatkan warisan sama sekali karena ada ahli waris yang lebih dekat
pertalian kerabatnya.

Adapula ahli waris yang tidak bisa terhijab oleh ahli waris yang lainnya,
yaitu anak laki-laki dan anak perempuan.
Uraian ahli waris yang dapat hijab adalah sebagai berikut :

1. Ahli waris yang bisa terhijab nuqshan :


a. ibu, terhijab oleh anak, cucu dan dua orang saudara atau
lebih
b. bapak, terhijab oleh anak atau cucu
c. suami atau istri, terhijab oleh anak atau cucu
2. Ahli waris yang bisa terhijab hirman :
a. cucu laki-laki, terhijab oleh: anak laki-laki
b. kakek dari bapak, terhijab oleh: bapak
c. saudara laki-laki kandung, terhijab oleh:
1) anak laki-laki
2) cucu laki-laki dari anak laki-laki
3) Bapak
d. saudara laki-laki sebapak, terhijab oleh :
1) anak laki-laki
2) cucu laki-laki dari anak laki-laki
3) bapak
4) saudara laki-laki kandung
5) saudara perempuan kandung bersama dengan
anak/cucu perempuan
e. saudara laki-laki seibu, terhijab oleh:
1) anak laki-laki
2) anak perempuan
3) cucu laki-laki dari anak laki-laki
4) cucu perempuan dari anak laki-laki
5) bapak
6) kakek dari pihak bapak.
f. keponakan laki-laki dari saudara laki-laki kandung, terhijab
oleh:
1) anak laki-laki
2) cucu laki-laki dari anak laki-laki
3) bapak
4) kakek dari pihak bapak
5) saudara laki-laki kandung
6) saudara laki-laki sebapak
7) saudara perempuan kandung atau sebapak bersama
anak/cucu perempuan (dari pihak anak laki-laki)
g. keponakan laki-laki dari saudara laki-laki sebapak, terhijab
oleh:
1) anak laki-laki
2) cucu laki-laki dari anak laki-laki
3) bapak
4) kakek dari pihak bapak
5) saudara laki-laki kandung
6) saudara laki-laki sebapak
7) saudara perempuan kandung atau sebapak bersama
anak/cucu perempuan (dari pihak anak laki-laki)
8) keponakan laki-laki dari saudara laki-laki kandung
h. paman kandung (saudara laki-laki kandung bapak), terhijab
oleh:
1) anak laki-laki
2) cucu laki-laki dari anak laki-laki
3) bapak
4) kakek dari pihak bapak
5) saudara laki-laki kandung
6) saudara laki-laki sebapak
7) saudara perempuan kandung atau sebapak bersama
anak/cucu perempuan (dari pihak anak laki-laki)
8) keponakan laki-laki dari saudara laki-laki kandung
9) keponakan laki-laki dari saudara laki-laki sebapak
i. paman sebapak (saudara laki-laki sebapak dengan bapak)
terhijab oleh:
1) anak laki-laki
2) cucu laki-laki dari anak laki-laki
3) bapak
4) kakek dari pihak bapak
5) saudara laki-laki kandung
6) saudara laki-laki sebapak
7) saudara perempuan kandung atau sebapak bersama
anak/cucu perempuan (dari anak laki-laki)
8) keponakan laki-laki dari saudara laki-laki kandung
9) keponakan laki-laki dari saudara laki-laki sebapak
10) paman kandung
j. keponakan laki-laki paman kandung, terhijab oleh:
1) anak laki-laki
2) cucu laki-laki dari anak laki-laki
3) bapak
4) kakek dari pihak bapak
5) saudara laki-laki kandung
6) saudara laki-laki sebapak
7) saudara perempuan kandung atau sebapak bersama
anak/cucu perempuan (dari pihak laki-laki)
8) keponakan laki-laki dari saudara laki-laki kandung
9) keponakan laki-laki dari saudara laki-laki sebapak
10) paman kandung
11) paman sebapak
k. keponakan laki-laki paman sebapak, terhijab oleh:
1) anak laki-laki
2) cucu laki-laki dari anak laki-laki
3) bapak
4) kakek dari pihak bapak
5) saudara laki-laki kandung
6) saudara laki-laki sebapak
7) saudara perempuan kandung atau sebapak bersama
anak/cucu perempuan dari pihak anak lak-laki)
8) keponakan laki-laki dari saudara laki-laki kandung
9) keponakan laki-laki dari saudara laki-laki sebapak
10) paman kandung
11) paman sebapak
12) anak laki-laki paman kandung
l. cucu perempuan dari anak laki-laki, terhijab oleh:
1) anak laki-laki
2) dua anak perempuan atau lebih jika tidak ada cucu
laki-laki dari anak laki-laki
m. nenek dari pihak bapak, terhijab oleh : bapak
n. nenek dari pihak ibu terhijab oleh: ibu
o. saudara perempuan kandung, terhijab oleh:
1) anak laki-laki
2) cucu laki-laki dari anak laki-laki
3) bapak
p. saudara perempuan sebapak, terhijab oleh:
1) anak laki-laki
2) cucu laki-laki dari anak laki-laki
3) bapak
4) dua saudara kandung atau lebih, jika tidak ada
saudara laki-laki sebapak
5) seorang saudara perempuan bersama anak/cucu
perempuan (dari pihak anak laki-laki)
q. saudara perempuan seibu, terhijab oleh:
1) anak laki-laki
2) anak perempuan
3) cucu laki-laki dari anak laki-laki
4) cucu perempuan dari anak laki-laki
5) bapak
6) kakek dari pihak bapak

D. Menentukan Asal Masalah


Mengenal asal masalah dalam ilmu faraidh sangat penting agar
masing-masing ahli waris dapat mengambil haknya dengan utuh sesuai
dengan ketentuan dalam al-Qur’an. Yang dimaksud dengan ashal masalah
adalah angka pokok dalam pembagian harta pusaka. Untuk itu cara
menentukan asla maslah adalah sebagai berikut :
1. Bila ahli waris semuanya asabah, maka asal masalahnya jumlah ahli waris
itu sendiri.
2. Bila ahli waris satu orang zawil furudh, maka asal masalahnya adalah
angka penyebut dari bagian zawil furudh tersebut
3. Bila ahli waris ada beberapa kelompok zawil furudh, maka asal
masalahnya adalah angka terkecil diantara angka-angka yang dapat dibagi
dengan angka yang ada (kpk), seperti ½ dan 1/3 sama dengan 6. Dalam
hal ini ada empat Nisbah yang populer dikalangan ulama Faraidh untuk
mendapat KPK tersebut yaitu.
a. Nisbah Tamasul yaitu bila terdapat dua bilangan yang bersamaan pada
kelompok zawil Furudh seperti pada masalah ibu dan 2 saudari
kandung (1/3 dan 2/3 = 3)
b. Nisbah Tadakhul yaitu bila bagian-bagian furudh terdapat dua yang
bermasukan, maka asal masalah adalah angka yang paling besar
seperti pada kasus 1 orang anak perempuan dan suami ( ½ dan ¼ = 4)
c. Nisbah tawafuk yaitu bila ada dua bilangan yang bersesuaian pada satu
suku seperti pada kasus isteri dan satu saudara seibu, maka asal
masalahnya dengan mengkalikan salah satu penyebut dengan hasil
bagi penyebut yang lain ( ¼ dan 1/6 = 4x6/2= 12)
d. Nisbah Tabayun yaitu bila tidak terdapat antara dua bilangan pada
suatu suku yang sesuai , maka asal masalah dengan mengkalikan salah
satu kepada yang lainnya. Seperti masalah ¼ dan 1/3 = 12.
Adapun cara lain mencari asal masalah adalah dengan membagikan
semua furudh yang ada dalam dua kelompok :
Kelompok pertama : ½ , ¼, dan 1/8 dan kelompok kedua : 2/3 , 1/3 dan
1/6.
Bila fardhu-fardhu adalah kelompok pertama saja, maka asal masalahnya
adalah angka yang lebih besar dari fardhu-fardhu yang ada, begitu juga bila
fardhu-fardhu yang hanya kelompok kedua saja.
Adapun bila fardhu-fardhu bercampur dimana salah satunya dari kelompok
pertama dan yang lainnya dari kelompok kedua, maka ketentuannya sebagai
berikut :
- Bila ½ dari kelompok pertama bergabung dengan kelompok kedua maka
asal masalahnya 6
- Bila ¼ dari kelompok pertama dan boleh ada 1/2 bergabung dengan
kelompok kedua, maka asal masalahnya 12.
- Bila 1/8 dari kelompok pertama dan boleh ada ½ dan 1/4 begabung
dengan kelompok kedua maka asal masalahnya 24.

Cara Mentashih Pokok Masalah


Setelah kita ketahui dengan baik makna-makna at-tamaatsul,
attadaakhul, at-tawaafuq, dan at-tabaayun, maka kita perlu mengetahui
kapan kita dapat atau memungkinkan untuk mentashih pokok masalah? Dan
apa tujuannya,

Pada hakikatnya, kalangan ulama faraid tidak mau menerima


permasalahan pembagian waris kecuali dengan angka-angka yang pasti
(maksudnya tanpa pecahan, penj.). Hal ini dimaksudkan agar dapat
mewujudkan keadilan yang optimal dalam pembagian tersebut. Selain itu,
untuk mewujudkan keadilan mereka berusaha mengetahui jumlah bagian
yang merupakan hak setiap ahli waris, sehingga tidak mengurangi ataupun
menambahkan. Hal ini merupakan satu perhatian yang sangat baik dari para
ulama faraid dalam usaha mereka mewujudkan kemaslahatan yang
menyeluruh, sebagaimana yang dikehendaki ad-Din al-Islam.

Cara pentashihan yang biasa dilakukan para ulama faraid seperti berikut:
langkah pertama, melihat bagian setiap ahli waris dan jumlah per kepalanya.
Bila jumlah per kepala setelah dibagi cocok dan pas dengan jumlah bagian
setiap ahli waris yang berhak untuk menerimanya, maka inilah yang
sempurna dan sangat diharapkan. Namun, bila jumlah per kepalanya jauh
lebih sedikit dari jumlah bagian ahli waris yang ada --jumlah pokok
masalahnya sudah habis, tetapi ada ahli waris yang belum mendapat
bagian-- maka kita harus melihat apakah ada kecocokan di antara kedua hal
itu ataukah tidak. Bila ada kesesuaian antara bagian tiap ahli waris dengan
jumlah per kepalanya, maka setiap anak berhak mendapat bagian sesuai
dengan jumlah per kepalanya, dengan cara mengalikan jumlah per kepala
dengan pokok masalah atau dengan meng-'aul-kannya. (Misalnya, empat
anak perempuan, dan bagiannya 2/3 dari 6, berarti 4, maka ada kesamaan.
Sebab setiap anak mendapat bagian satu).

Adapun bila terjadi mubayaanah (ada selisih) maka kalikan jumlah per
kepalanya dengan pokok masalah atau dengan meng-'aul-kannya, maka
hasil dari perkalian itu yang menjadi pokok masalah sebenamya. Inilah yang
disebut "pentashihan pokok masalah" oleh kalangan ulama faraid.

Sedangkan mengenai bagian untuk mengalikan pokok masalah atau


meng-'aul-kan dengan tujuan mentashih pokok masalah, oleh ulama faraid
disebut dengan juz'us sahm. Maksudnya, sebagai bagian khusus yang
berkaitan dengan setiap bagian pada pokok masalah.

Untuk lebih memperjelas masalah ini, perlu saya kemukakan contoh kasus
sehingga pembaca dapat lebih memahaminya.
Contoh amaliah tentang pentashihan pokok masalah

Seseorang wafat dan meninggalkan empat anak perempuan, ibu, ayah, dan
tiga cucu perempuan keturunan anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti
berikut: pokok masalahnya dari enam (6). Bagian keempat anak perempuan
ialah dua per tiga (2/3) berarti empat (4) bagian. Sang ayah seperenam
berarti satu bagian, dan sang ibu juga seperenam berarti satu bagian.
Sedangkan tiga cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki tidak
mendapat bagian (mahjub karena anak pewaris lebih dari dua orang, penj.).

Dalam contoh tersebut kita lihat jumlah anak perempuan ada empat (4), dan
bagian yang mereka peroleh juga empat. Karena itu tidak lagi memerlukan
pentashihan pokok masalah, sebab bagian yang mesti dibagikan kepada
mereka (keempat anak perempuan itu) tidak lagi memerlukan pecahan-
pecahan. Sehingga dalam pembagiannya akan dengan pas dan mudah, setiap
anak menerima satu bagian.

Contoh lain yang at-tamaatsul. Seseorang wafat dan meninggalkan ibu, dua
saudara perempuan seibu, dan empat saudara kandung perempuan. Maka
pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari enam (6), kemudian
di-'aul-kan menjadi tujuh (7). Bagian ibu seperenam (1/6) berarti satu
bagian, kemudian bagian kedua saudara perempuan seibu sepertiga (1/3)
berarti dua bagian, sedangkan bagian keempat saudara kandung perempuan
adalah dua per tiga (2/3) yang berarti empat (4) bagian.

Bila kita perhatikan baik-baik contoh ini, kita lihat bahwa pokok
masalahnya tidak memerlukan pentashihan. Sebab jumlah per kepalanya
sesuai dengan jumlah yang dibagikan. Bagi kedua saudara perempuan seibu
dua bagian, maka tiap orang mendapat satu bagian. Bagi keempat saudara
kandung perempuan empat bagian, maka setiap orang mendapat satu bagian.
Berarti kesesuaian pembagian tersebut tidak memerlukan pentashihan pokok
masalah. Dengan demikian, tahulah kita bahwa contoh masalah tersebut
cenderung (bernisbat) pada at-tamaatsul.

Contoh masalah yang at-tawaafuq. Seseorang wafat dan meninggalkan


delapan (8) anak perempuan, ibu, dan paman kandung. Maka pembagiannya
seperti berikut: pokok masalahuya dari enam (6). Bagian kedelapan anak
perempuan dua per tiga (2/3) berarti empat (4) bagian, ibu seperenam (1/6)
berarti satu bagian, dan sisanya (satu bagian) adalah bagian paman kandung
sebagai 'ashabah.

Kita lihat dalam contoh di atas ada at-tawaafuq antara jumlah per kepala
anak perempuan dengan jumlah bagian yang mereka peroleh, yaitu dua (2).
Angka dua itulah yang menurut istilah ulama faraid sebagai bagian dari
bagian juz'us sahm kemudian bagian dari bagian itu dikalikan dengan pokok
masalah, yakni angka enam (6). Maka 2 x 6 = 12. Itulah tashih pokok
masalah.

Misal lain, seseorang wafat dan meninggalkan suami, enam saudara


kandung perempuan, dan dua orang saudara laki-laki seibu. Maka
pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari enam (6), kemudian
di-'aul-kan menjadi sembilan (9). Bagian suami setengah (1/2) berarti tiga
bagian, sedangkan bagian keenam saudara kandung perempuan dua per tiga
(2/3), berarti empat bagian, dan bagian kedua saudara laki-laki seibu
sepertiga (1/3), berarti dua bagian.

Dalam contoh di atas kita lihat ada tawaafuq antara jumlah bagian yang
diterima para saudara kandung perempuan dengan jumlah per kepala
mereka, yaitu dua (2). Kemudian kita ambil separo jumlah per kepala
mereka, berarti tiga (3), dan kita kalikan dengan pokok masalah setelah
di-'aul-kan yakni angka sembilan (9), berarti 3 x 9 = 27. Hasil dari perkalian
itulah yang akhirnya menjadi pentashihan pokok masalah. Setelah
pentashihan, maka pembagiannya seperti berikut: suami mendapat sembilan
bagian (9), keenam saudara kandung perempuan mendapat dua belas bagian,
dan kedua saudara laki-laki seibu mendapat enam bagian (9 + 12 + 6 = 27).

Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan suami, anak perempuan,


tiga cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, dan saudara kandung
laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 12.
Bagian suami 1/4 berarti tiga (3) bagian, bagian anak perempuan 1/2 berarti
enam (6) bagian, dan bagian cucu perempuan keturunan anak laki-laki 1/6
sebagai penyempurna 2/3 berarti 2 bagian, dan bagian saudara kandung laki-
laki satu bagian (sisanya) sebagai 'ashabah bin nafsihi. Inilah tabelnya:

3
12 36

3 9
Suami ¼
6 18
Anak perempuan ½

2 6
Tiga cucu perempuan keturunan anak laki-laki 1/6

1 3
Saudara kandung laki-laki ('ashabah)

Berdasarkan tabel tersebut kita lihat antara bagian cucu perempuan


keturunan anak laki-laki dengan jumlah per kepala mereka (yakni 2 dengan
3) ada tabaayun (perbedaan), karenanya kita kalikan angka 3 dengan pokok
masalahnya, yakni 3 x 12 = 36, maka angka 36 itu berarti pokok masalah
hasil pentashihan.

Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri, lima anak perempuan,
ayah, ibu, dan saudara kandung laki-laki. Maka bagian masing-masing
seperti berikut: pokok masalahnya dari 24, kemudian di-'aul-kan menjadi
27. Bagian istri 1/8 = 3, kelima anak perempuan mendapat bagian 2/3 yang
berarti 16, ayah memperoleh 1/6 berarti 4, dan ibu mendapat 1/6 yang
berarti 4, sedangkan bagian saudara kandung laki-laki mahjub (terhalang).
Inilah tabelnya:

27 135
24

3 15
Istri 1/8

16 80
Lima anak perempuan 2/3

4 20
Ayah 1/6

4 20
Ibu 1/6

- -
Saudara kandung laki-laki (mahjub)

Dalam tabel tersebut kita lihat bahwa bagian kelima anak perempuan tidak
bisa dibagi oleh jumlah per kepala mereka. Karenanya di antara keduanya
ada tabaayun (perbedaan). Kemudian kita kalikan pokok masalahnya setelah
di-'aul-kan (yakni 27) dengan jumlah per kepala mereka, yakni 27 x 5 = 135.
Angka itu merupakan pokok masalah setelah pentashihan. Dan angka lima
(5) itulah yang dinamakan juz'us sahm.

Misal lain, seorang wafat dan meninggalkan tiga orang istri, tujuh anak
perempuan, dua orang nenek, empat saudara kandung laki-laki, dan saudara
laki-laki seibu. Pembagiannya seperti berikut:

Pokok masalahnya dari 24. Ketiga istri mendapat 1/8 = 3. Tujuh anak
perempuan mendapat 2/3-nya = 16, kedua nenek 1/6-nya = 4, dan empat
saudara kandung laki-laki (sisanya) yaitu 1 sebagai 'ashabah, sedangkan
saudara seibu mahjub. Perhatikan tabel berikut:

28
24 672

3 84
3 istri bagiannya 1/8

16 448
7 anak perempuan 2/3

4 112
2 orang nenek 1/6

1 28
saudara kandung laki-laki ('ashabah)

- -
Saudara laki-lah seibu (mahjub

Dalam tabel tersebut kita lihat bahwa bagian anak perempuan (16) dengan
jumlah per kepala mereka (7) ada perbedaan (tabaayun), begitu juga dengan
bagian keempat saudara kandung yang hanya satu bagian, dan jumlah per
kepala mereka ada perbedaan (tabaayun). Untuk mentashih pokok masalah
dari contoh ini, kita kalikan jumlah per kepala anak perempuan (yakni 7)
dengan jumlah per kepala saudara kandung (yakni 4), berarti 7 x 4 = 28.
Angka tersebut (yakni 28) merupakan juz'us sahm. Kemudian juz'us sahm
tersebut kita kalikan dengan pokok masalahnya (28 x 24 = 672) hasilnya
itulah yang menjadi pokok masalah setelah pentashihan. Pentashihan seperti
ini dapat diterapkan dalam contoh-contoh yang lain.

C. Pembagian Harta Peninggalan


At-tarikah (peninggalan) dalam bahasa Arab bermakna seluruh jenis
kepemilikan yang ditinggalkan pewaris, baik berupa harta, benda, atau
tanah. Semua peninggalan itulah yang harus dibagikan kepada ahli waris
yang ada sesuai dengan hak bagian yang harus mereka terima.

Untuk mengetahui pembagian harta waris kepada setiap ahlinya ada


beberapa cara yang harus ditempuh, namun yang paling masyhur di
kalangan ulama faraid ada dua -- dalam hal yang berkenaan dengan harta
yang dapat ditransfer.

Cara pertama: kita ketahui nilai (harga) setiap bagiannya, kemudian kita
kalikan dengan jumlah bagian tiap-tiap ahli waris. Maka hasilnya
merupakan bagian masing-masing ahli waris.

Cara kedua: kita ketahui terlebih dahulu bagian setiap ahli waris secara
menyeluruh. Hal ini kita lakukan dengan cara mengalikan bagian tiap-tiap
ahli waris dengan jumlah (nilai) harta peninggalan yang ada, kemudian kita
bagi dengan angka pokok masalahnya atau tashihnya. Maka hasilnya
merupakan bagian dari masing-masing ahli waris.

Contoh Cara Pertama

Seseorang wafat dan meninggalkan istri, anak perempuan, ayah, dan ibu.
Sedangkan harta peninggalannya sebanyak 480 dinar, maka pembagiannya
seperti berikut:

Pokok masalahnya dari 24, istri mendapatkan 1/8 yang berarti 3 bagian,
anak perempuan 1/2 berarti 12 bagian, ibu mendapatkan 1/6 berarti 4
bagian, sedangkan sisanya (yakni 5 bagian) merupakan hak ayah sebagai
'ashabah.

Adapun nilai (harga) per bagiannya didapat dari hasil pembagi harta waris
yang ada (480 dinar) dibagi pokok masalah (24), berarti 480: 24 = 20 dinar
adalah harga per bagian.

x =
Jadi, bagian istri 3 bagian 20 dinar 60 dinar
x =
Anak perempuan 12 bagian 20 dinar 240 dinar
x =
Ibu 4 bagian 20 dinar 80 dinar
x =
Ayah ('ashabah) 5 bagian 20 dinar 100 dinar
=
Total 480 dinar

Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan dua saudara kandung


perempuan, ibu, suami, cucu perempuan keturunan anak laki-laki.
Sedangkan harta waris yang ada sebanyak 960 dinar. Maka pembagiannya
seperti berikut: pokok masalahnya dari 12 kemudian di-tashikkan-kan
menjadi 24. Cucu perempuan mendapatkan 1/2 yang berarti 12 bagian,
suami mendapatkan 1/4 yang berarti 6 bagian, dan ibu memperoleh 1/6 yang
berarti 4 bagian. Sedangkan sisanya (dua bagian) untuk dua saudara
kandung perempuan sebagai 'ashabah ma'al ghair. Tabelnya seperti berikut:

2
12 24

1/2 6 12
24 Cucu perempuan keturunan anak laki-laki

1/4 3 6
Suami ¼

1/6 2 4
Ibu 1/6

1 2
2 saudara perempuan kandung ('ashabah ma'al ghair)

Adapun nilai per bagian; 960 dinar: 24 = 40 dinar. Jadi, bagian masing-
masing ahli waris:

x =
Jadi, Cucu pr. keturunan anak laki-laki 12 40 dinar 480 dinar
x =
Suami 6 40 dinar 240 dinar
x =
Ibu 4 40 dinar 160 dinar
x =
Dua saudara kandung perempuan 2 40 dinar 80 dinar
=
Total 960 dinar
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan empat anak perempuan, dua
anak laki-laki, ayah, ibu, dan tiga saudara kandung laki-laki, dan harta
peninggalannya 3.000 dinar. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok
masalahnya dari 6 kemudian ditashih menjadi 12. Sang ayah mendapatkan
1/6 berarti 2 bagian, ibu mendapatkan 1/6 berarti 2 bagian, dan sisanya
dibagikan kepada enam (6) anak, dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali
lipat bagian perempuan, berarti bagian anak perempuan 4 bagian (masing-
masing satu bagian), sedangkan bagian anak laki-laki juga 4 bagian
(masing-masing 2 bagian), sedangkan saudara kandung laki-laki mahjub.
Simak tabel berikut:

2
6 12

4 4
Empat anak perempuan

3 4
Dua anak laki-laki

1/6 1 2
Ayah

1/6 1 2
Ibu

- -
Tiga saudara kandung laki-laki (mahjub)

Adapun nilai per bagiannya adalah 3.000:12 = 250 dinar

x =
Jadi, Jadi bagian 4 anak perempuan 4 250 dinar 1.000 dinar
x =
dua anak laki-laki 4 250 dinar 1.000 dinar
x =
Ibu 2 250 dinar 500 dinar
x =
Ayah 2 250 dinar 500 dinar
=
Total 3.000 dinar

Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung


perempuan, dua saudara laki-laki seibu, dan nenek. Sedangkan harta
peninggalan seluruhnya 9.900 dinar. Maka pembagiannya seperti berikut:
pokok masalahnya dari 6 kemudian di-'aul-kan (dinaikkan) menjadi 9.
Suami mendapat 1/2 yang berarti 3, saudara kandung perempuan 1/2 berarti
3, dua saudara laki-laki seibu memperoleh 1/3 berarti 2, sedangan nenek
mendapat 1/6 berarti satu (1). Perhatikan tabel berikut:

6 9

½ 3
Suami

½ 3
Saudara kandung perempuan

1/3 2
Saudara laki-laki seibu

1/6 1
Nenek

Adapun nilai per bagiannya adalah 9.900: 9 = 1.100 dinar

x =
Jadi, Suami 3 1.100 dinar 3.300 dinar
x =
Saudara perempuan kandung 3 1.100 dinar 3.300 dinar
x =
Dua saudara laki-laki seibu 2 1.100 dinar 2.200 dinar
x =
Nenek 1 1.100 dinar 2.200 dinar
=
Total 9.000 dinar

Bila seseorang wafat dan meninggalkan suami, ibu, dua anak perempuan, 3
cucu perempuan keturunan anak laki-laki, satu cucu laki-laki dari keturunan
anak laki-laki, sedangkan harta yang ditinggalkan sejumlah 585 dinar, maka
pembagiannya seperti berikut:

Pokok masalahnya dari 12 kemudian di-'aul-kan menjadi 13. Suami


mendapatkan 1/4 (berarti 3 bagian), ibu mendapatkan 1/6 (berarti 2 bagian),
dan dua anak perempuan 2/3 (berarti 8 bagian).

Sedangkan kedudukan para cucu dalam hal ini sebagai 'ashabah, sehingga
mereka tidak memperoleh bagian karena harta waris telah habis dibagikan
kepada ashhabul furudh. Perhatikan tabel berikut:
12 13

¼ 3
Suami

1/6 2
Ibu

2/3 8
Dua anak perempuan

Tiga cucu perempuan 'ashabah -


Dua cucu perempuan

x =
Jadi, Suami 3 585:13 dinar 135 dinar
x =
Ibu 2 585:13 dinar 90 dinar
x =
Dua anak perempuan 8 585:13 dinar 360 dinar
=
Total 585 dinar

Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan dua saudara kandung, cucu
perempuan keturunan anak laki-laki, ibu, suami, sedangkan harta warisnya
berjumlah 240 dinar. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok
masalahnya dari 12 kemudian ditashih menjadi 24, cucu perempuan
keturunan anak laki-laki mendapatkan 1/2 (berarti 12 bagian), ibu
mendapatkan 1/6 (berarti 4 bagian), suami mendapatkan 1/4 (berarti 6
bagian), dan dua saudara kandung 2 bagian sebagai 'ashabah.

12 24

1/2 6 12
Cucu pr. ket. anak laki-laki

1/6 2 4
Ibu

1/4 3 6
Suami

1 2
Dua saudara kandung ('ashabah)

x =
Cucu pr. ket. anak laki-laki 12 240:24 dinar 120 dinar
x =
Ibu 4 240:24 dinar 40 dinar
x =
Suami 6 240:24 dinar 60 dinar
x =
Dua saudara kandung ('ashabah) 2 240:24 dinar 20 dinar
=
Total 240 dinar

Misal lain, seseorang wafat dan meninggalkan ibu, dua saudara kandung
perempuan, saudara perempuan seayah, saudara laki-laki seayah, dan cucu
perempuan keturunan anak laki-laki. Sedangkan harta peninggalan sebanyak
1.500 dinar. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 6,
ibu mendapatkan 1/6 (berarti satu bagian), cucu perempuan 1/2 (berarti 3
bagian), dan sisanya --dua bagian-- menjadi hak kedua saudara perempuan
kandung sebagai 'ashabah. Sedangkan ahli waris yang lain ter- mahjub.
Inilah tabelnya:

1/6 1
Ibu

1/2 3
Cucu pr. ket. anak laki-laki

2
Dua saudara kandung pr. ('ashabah)

Saudara perempuan seayah, -


Dua saudara laki-laki seayah (mahjub)

Masalah Dinariyah ash-Shughra

Ada dua masalah yang dikenal oleh kalangan ulama faraid, yakni istilah ad-
dinariyah ash-shughra dan ad-dinariyah al-kubra. Ad-dinariyah ash-shughra
memiliki pengertian seluruh ahli warisnya terdiri atas kaum wanita, dan
setiap ahli waris hanya menerima satu dinar.

Contoh masalahnya, seseorang wafat dan meninggalkan tiga (3) orang istri,
dua (2) orang nenek, delapan (8) saudara perempuan seayah, dan empat (4)
saudara perempuan seibu. Harta peninggalannya: 17 dinar. Adapun
pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 12 kemudian di-'aul-
kan menjadi 17. Tiga orang istri mendapatkan 1/4 (berarti 3 bagian), dua
orang nenek mendapatkan 1/6 (berarti 2 bagian), kedelapan saudara
perempuan seayah mendapatkan 2/3 (berarti 8 bagian), sedangkan keempat
saudara perempuan seibu mendapatkan 1/3 (berarti 4 bagian). Jumlah harta
peninggalannya ada 17 dinar, jumlah bagian seluruh ahli warisnya pun 17,
dengan demikian masing-masing mendapat satu dinar. Maka kasus seperti
ini disebut ad-dinariyah ash-shughra. Berikut ini tabelnya:

12 17

1/4 3
Ke-3 istri masing-masing 1 bagian = 1 dinar

1/6 2
Kedua nenek masing-masing 1 bagian = 1 dinar

2/3 8
Ke-8 sdr. pr. seayah masing-masing 1 bagian = 1 dinar

1/3 4
Ke-4 sdr. pr. seibu masing-masing 1 bagian = 1 dinar

Masalah Dinariyah al-Kubra

Adapun masalah ad-dinariyah al-kubra memiliki pengertian bahwa ahli


waris yang ada sebagian terdiri dari ashhabul furudh dan sebagian lagi dari
'ashabah. Masing-masing ahli waris di antara mereka ada yang hanya
mendapatkan bagian satu (1) dinar, sebagian ada yang mendapatkan dua (2)
dinar, dan sebagian lagi ada yang mendapatkan lebih dari itu. Hal seperti ini
di kalangan ulama faraid disebut ad-dinariyah al-kubra.

Contoh masalah ini sebagai berikut: misalnya, seseorang wafat


meninggalkan istri, ibu, dua anak perempuan, dua belas saudara kandung
laki-laki, dan seorang saudara kandung perempuan. Sedangkan harta
peninggalannya 600 dinar. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok
masalahnya dari 24 kemudian setelah ditashih menjadi 600. Istri
mendapatkan 1/8 (berarti 3 bagian), ibu mendapatkan 1/6 (berarti 4 bagian),
kedua anak perempuan memperoleh 2/3 (16 bagian), dan sisanya satu (1)
bagian merupakan bagian ke-12 saudara kandung laki-laki dan seorang
saudara kandung perempuan sebagai 'ashabah.

x =
Jadi, bagian Istri 3 600:24 dinar 75 dinar
x =
Ibu 4 600:24 dinar 100 dinar
x =
Kedua anak perempuan 16 600:24 dinar 400 dinar
=
Total 575 dinar

Sedangkan ke-12 saudara kandung laki-laki dan seorang saudara kandung


perempuan mendapat sisanya, yakni 25 dinar sebagai 'ashabah, dengan
ketentuan bagian anak laki-laki dua kali lipat bagian perempuan. Dengan
demikian, yang 24 dinar dibagikan kepada ke-12 saudara kandung laki-laki
dan masing-masing mendapat dua (2) dinar, dan yang satu (1) dinar bagian
saudara kandung perempuan. Berikut ini tabelnya:

25
24 600

1/8 3 75
Istri

1/6 4 100
Ibu

2/3 16 100
Kedua anak perempuan
1 24
12 saudara kandung laki-laki 1
1 saudara kandung perempuan ('ashabah)

Masalah ad-dinariyah al-kubra ini pernah terjadi pada zaman al-Qadhi


Syuraih (seseorang mengajukan masalah kepadanya). Akhirnya Syuraih
memvonis dengan memberikan hak saudara kandung perempuan pewaris
hanya satu (1) dinar. Tetapi, wanita tersebut kemudian mengadukan hal itu
kepada Imam Ali bin Abi Thalib r.a. yang menyebutkan bahwa Syuraih
telah menzhaliminya, mengurangi hak warisnya hingga memberinya satu
dinar dari peninggalan saudaranya yang 600 dinar itu.

Kendatipun wanita tersebut tidak menyebutkan seluruh ahli waris yang


berhak menerima warisan, namun dengan ketajaman dan keluasan ilmunya,
Ali bin Abi Thalib bertanya, "Barangkali saudaramu yang wafat itu
meninggalkan istri, dua anak perempuan, ibu, 12 saudara kandung laki-laki,
dan kemudian engkau?" Wanita tersebut menjawab, "Ya, benar." Ali
berkata, "Itulah hakmu tidak lebih dan tidak kurang."
Kemudian Ali bin Abi Thalib r.a. memberitahukan kepada wanita tersebut
bahwa hakim Syuraih telah berlaku adil dan benar dalam memvonis perkara
yang diajukannya. Wallahu a'lam bish shawab.

E. Asabah
'Ashobah adalah jamak dari 'aashib, seperti halnya tholabah adalah
jamak dari thoolib. 'Ashabah ini ialah anak turun dan kerabat seorang lelaki
dari fihak ayah. Mereka dinamakan 'ashobah karena kuatnya ikatan antara
sebagian mereka dengan sebagian yang lain. Kata 'ashobah ini diambil dari
ucapan mereka: "Ashobal qoumu bi fulaan",bila mereka bersekutu dengan si
fulan. Maka anak laki-laki adalah satu fihak dari 'ashobah, dan ayah adalah
fihak lain; saudara laki-laki adalah satu segi dari 'ashobah sedangkan paman
(dari fihak ayah) adalah sisi yang lain.
Yang dimaksud dengan 'ashobah disini ialah mereka yang mendapatkan
sisa sesudah Ashhaabul Furuudh mengambil bagian-bagian yang ditentukan
bagi mereka. Apabila tidak ada sisa sedikitpun dari mereka (ashhaabul
furuudh), maka mereka ('ashobah) tidak mendapatkan apa-apa, kecuali bila
'ashib itu seorang anak laki-laki maka dia tidak akan mendapatkan bagian,
bagaimanapun keadaannya.
Dinamakan 'ashobah juga mereka yang berhak atas semua peninggalan
bila tidak didapatkan seorangpun di antara ashhaabul furuudh, karena hadits
yang diriwayatkan oleh Al-Bukhori dan Muslim, dari Ibnu 'Abbas, bahwa
Nabi saw bersabda:"Berikanlah bagian-bagian yang telah ditentukan itu
kepada pemiliknya yang berhak menurut nash; dan apa yang tersisa maka
berikanlah kepada 'ashobah laki-laki yang terdekat kepada si mayit".
Dari Abu Hurairoh ra, bahwa Nabi saw bersabda: "Tidak ada bagi seorang
mukminkecuali aku lebih berhak atasnya dalam urusan dunia dan
akhiratnya. Bacalah bila kamu suka: "Nabi itu lebih utama bagi orang-orang
mukmin daripada diri mereka sendiri." Oleh sebab itu, siapa saja orang
mukmin yang mati dan meninggalkan harta, maka harta itu diwariskan
kepada 'ashobahnya, siapapun mereka itu adanya.
Dan barang siapa ditinggali hutang atau beban keluarga oleh si mayit, maka
hendaklah dia datang kepadaku, karena akulah maulanya.
PEMBAGIAN 'ASHOBAH
'Ashobah itu dibagi menjadi dua bagian :
1 'Ashobah Nasabiyah,
2 'Ashobah Sababiyah.
ASHOBAH NASABIYAH
'Ashobah Nasabiyah ada tiga golongan :
1 'Ashobah binafsih
2 'Ashobah bighoirih
3 'Ashobah ma'aghoirih.
ASHOBAH BINAFSIH
'Ashobah binafsih ialah semua orang laki-laki yang nasabnya dengan si
mayit tidak diselingi oleh perempuan. 'Ashobah binafsih ada empat
golongan:
1 Bunuwwah (keanakan), dianamakan juz-ul mayyit.
2 Ubuwwah (keayahan), dinamakan ashlul mayyit.
3 Ukhuwwah (kesaudaraan), dinamakan juz-u abiih.
4 Umumah (kepamanan), dinamakan juz-ul jadd.
'ASHOBAH BIGHOIRIH
'Ashobah bighoirih adalah perempuan yang bagiannya separuh dalam
keadaan sendirian, dan duapertiga bila bersama dengan saudara
perempuannya atau lebih. Apabila bersama perempuan atau perempuan-
perempuan itu terdapat seorang saudara laki-laki, maka di saat itu mereka
semuanya menjadi 'Ashobah dengan adanyasaudara laki-laki tersebut.
Perempuan-perempuan yang menjadi 'Ashobah bighoirih ada empat :
1 Seorang anak perempuan atau anak-anak perempuan,
2 Seorang anak perempuan atau anak-anak perempuan dari anak laki-laki,
3 Seorang saudara perempuan atau saudara-saudara perempuan sekandung,
4 Seorang saudara perempuan atau saudara-saudara perempuan seayah.
Setiap golongan dari keempat golongan ini menjadi 'Ashobah bersama
orang lain, yaitu saudara laki-laki. Pewarisan diantara mereka adalah laki-
laki mendapat dua bagian perempuan.
Perempuan-perempuan yang tidak mendapatkan bagian (fardh) bila tidak
ada saudara laki-lakinya yang 'ashib (menjadi 'ashobah) itu tidak menjadi
'ashobah bighoirih di saat adanya saudara laki-laki. Sebab seandainya
seseorang itu mati sedang dia meninggalkan seorang paman atau bibi (dari
fihak ayah), maka semua hartanya itu untuk paman, sedang bibi tidak
mendapatkan dan tidak menjadi 'ashobah bersama saudara laki-lakinya;
sebab bibi itu tidak mendapatkan bagian bila tidak bersama saudara laki-
lakinya. Demikian pula anak laki-laki dari saudara laki-laki bersama anak
perempuan dari saudara lelaki.
'ASHOBAH MA'AGHOIRIH
'Ashobah ma'aghoirih ialah setiap perempuan yang memerlukan
perempuan lain untuk menjadi 'Ashobah. 'Ashobah ma'aghoirih ini terbatas
hanya pada dua golongan dari perempuan, yaitu :
1 Saudara perempuan sekandung atau saudara-saudara perempuan
sekandung bersama dengan anak perempuan atau anak perempuan dari
anak laki-laki.
2 Saudara perempuan seayah atau saudara-saudara perempuan seayah
bersama dengan anak perempuan atau anak perempuan dari anak laki-laki;
mereka mendapatkan sisa peninggalan sesudah furudh.
CARA PEWARISAN 'ASHOBAH BINAFSIH
Pada fasal terdahulu telah dikemukakan cara pewarisan untuk 'ashobah
bighoirih dan 'ashobah ma'aghoirih. Adapun cara pewarisan 'ashobah
binafsih, maka akan kami jelaskan sebagai berikut :
'Ashobah binafsih ada empat golongan, dan mewarisi menurut tertib
berikut:
1 Bunuwwah meliputi anak-anak laki-laki dan anak laki-laki dari anak laki-
laki danseterusnya ke bawah.
2 Bila jihat bunuwwah tidak didapatkan, maka peninggalan atau sisanya itu
berpindah ke jihat ubuwwah yang meliputi ayah dan kakek shahih
seterusnya keatas.
3 Bila tidak ada seorangpun dari jihat ubuwwah, maka peninggalan atau
sisanyaberpindah ke ukhuwwah. Ukhuwwah ini meliputu saudara-saudara
laki-laki sekandung, saudara-saudara laki-laki seayah, anak laki-laki dari
saudara laki-laki sekandung, anak-anak laki-laki dari saudara laki-laki
seayah, dan seterusnya ke bawah.
4 Bila tidak ada seorang pun dari jihat ukhuwwah, maka peninggalan atau
sisanya berpindah ke jihat 'umumah tanpa ada perbedaan antara 'umumah
si mayit itu sendiri dengan 'umumah ayahnya atau 'umumah kakeknya;
hanya saja 'umumah si mayit didahulukan atas 'umumah ayahnya, dan
'umumah ayahnya didahulukan atas 'umumah kakeknya, dan begitu
seterusnya.
Bila didapatkan sejumlah orang dari satu tingkatan, maka yang paling
berhak untuk mendapatkan warisan adalah mereka yang paling dekat
kepada si mayit.
Bila terdapat sejumlah orang yang sama hubungan nasabnya dengan si
mayit dari segi jihat dan derajat, maka yang paling berhak mendapatkan
warisan adalah mereka yang paling kuat hubungan kekerabatannya dengan
si mayit.
Apabila mayit meninggalkan sejumlah orang yang sama nasab mereka
kepada dirinya dari segi jihat, derajat dan kekuatan, hubungan, maka mereka
sama-sama berhak untuk mendapatkan warisan sesuai dengan kepala
mereka. Inilah makna dari ucapan fuqoha: "Sesungguhnya pendahuluan di
dalam 'ashobah binafsih adalah dengan jihat. Bila jihatnya sama, maka
dengan derajat. Bila derajatnya sama, maka dengan kekuatan hubungan.
Bila mereka sama dalam jihat, derajat dan kekuatan hubungan, maka
mereka sama-sama berhak untuk mendapatkan warisan dan peninggalan itu
dibagi rata diantara mereka menurut jumlah mereka.
'ASHOBAH SABABIYAH
'Ashib Sababi adalah maula (tuan) yang memerdekakan. Bila orang yang
memerdekakan tidak ada, maka warisan itu bagi 'ashobahnya yang laki-laki.
F. Hijab dan Mahjub
1. Definisi
Hajbu menurut bahasa berarti man'u: menghalangi, mencegah.
Maksudnya adalah terhalangnya seseorang tertentu dari semua atau sebagian
warisannya karena adanya orang lain.
Hirman ialah terhalangnya seseorang tertentu dari warisannya karena
terjadi penghalang pewarisan, seperti membunuh dan lain-lainnya.
2. Pembagian Hajb
Hajbu ada dua macam yaitu Hajbu Nuqshoon, dan Hajbu Hirman
Hajbu Nuqshon ialah berkurangnya warisan salah seorang ahli waris
karena adanya orang lain. Hajbu Nuqshon ini terjadi pada lima orang :
a. Suami terhalang dari separuh menjadi seperempat di waktu ada anak laki-
laki.
b. Isteri terhalang dari seperempat menjadi seperdelapan di waktu ada anak
lelaki
c. Ibu terhalang dari sepertig menjadi seperenam di waktu ada keturunan
yang mewarisi.
d. Anak perempuan dari anak laki-laki.
e. Saudara perempuan seayah.
Adapun Hajbu Hirman adalah terhalangnya semua warisan bagi
seseorang karena adanya orang lain, seperti terhalangnya warisan bagi
saudara laki-laki di waktu adanya anak laki-laki. Hajbu Hirman ini tidak
termasuk ke dalam warisan dari enam orang pewaris, sekalipun mereka bisa
terhalang oleh Hajbu nuqshon.
Mereka itu adalah :
1 & 2 Kedua orang tua, yaitu ayah dan ibu,
3 & 4 Kedua orang anak, yaitu anak laki-laki dan anak perempuan ,
5 & 6 Dua orang suami-isteri.
Hajbu Hirman itu masuk ke dalam ahli waris selain dari keenam ahli
waris tersebut di atas.
Hajbu Hirman ditegakkan atas dua asas:
1 Bahwa setiap orang mempunyai hubungan dengan si mayit karena adanya
orang lain itu, dia tidak mewarisi bila orang tersebut itu ada. Misalnya
anak laki-laki dari anak laki-laki itu tidak mewarisi bersama dengan
adanya anak laki-laki, kecuali anak-anak laki-laki dari ibu, maka mereka
itu mewarisi bersama mereka ibu, padahal mereka mempunyai hubungan
dengan si mayit karena dia.
2 Orang yang lebih dekat itu didahulukan atas orang yang lebih jauh, maka
anak laki-laki menghalangi anak laki-laki dari saudara laki-laki. Apabila
mereka sama dalam derajat, maka ditarjih (diseleksi) dengan kekuatan
hubungan kekerabatannya, sperti saudara laki-laki sekandung
menghalangi saudara laki-laki seayah.
G. Perbedaan Antara Mahrum Dan Mahjub
Perbedaan antara mahrum dan mahjub itu kelihatan jelas dalam dua hal
berikut
1 Mahrum sama sekali tidak berhak untuk mewarisi, seperti orang yang
membunuh (orang yang mewariskan). Sedang mahjub itu berhak
mendapatkan warisan, akan tetapi dia terhalang karena adanya orang lain
yang lebih utama darinya untuk endapatkan warisan.
2 Orang yang mahrum dari warisan itu tidak mempengaruhi orang lain,
maka dia tidak menghalanginya sama sekali, bahkan dia dianggap seperti
tidak ada saja. Misalnya bila seseorang mati dan meninggalkan seorang
anak laki-laki kafir dan seorang saudara laki-laki muslim; maka warisan
itu semua adalah bagi saudara laki-laki, sedang anak laki-laki tidak
mendapatkan apa-apa. Adapun orang yang mahjub (terhalang), maka
terkadang dia mempengaruhi orang lain, dia menghijabnya baik dengan
Hajbu hirman ataupun hajbu Nuqshon. Misalnya, dua tahu lebih saudara-
saudara laki-laki bersama dengan adanya ayah
dan ibu. Keduanya (saudara laki-laki) tidak mewarisi karena adanya ayah;
dan keduanya (ayah dan saudara laki-laki) menghijab ibu dari menerima
sepertiga menjadi seperenam.

BAB TIGA
PENYELESAIAN MASALAH ’AUL DAN RAD
A. 'Aul
1. Definisi
'Aul menurut bahasa berarti irtifa': mengangkat. Dikatakan 'aalal miizaan
bila timbangan itu naik, terangkat. Kata 'aul ini terkadang berarti cenderung
epada perbuatan aniaya (curang). Arti ini ditunjukkan dalam firman Allah
SWT:"Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya
(ta'uuluu)" S. An-Nisaa' ayat 3).
Menurut para fuqoha, 'aul ialah bertambahnya saham dzawul furudh dan
kurangnya kadar penerimaan warisan mereka. Diriwayatkan bahwa
faridhah (pembagian) harta pertama yang mengalami 'aul di dalam Islam itu
diajukan kepada 'Umar ra. Maka dia memutuskan dengan 'aul pada suami
dan dua orang saudara perempuan. Dia be kata kepada para sahabat yang
ada di sisinya:"Jika aku mulai memberikan kepada suami atau dua orang
saudara perempuan, maka idak ada hak yang sempurna bagi yang lain.
Maka berilah aku pertimbangan. Maka Abbas bin 'Abdul Mutholib pun
memberikan pertimbangan kepadanya dengan aul.dikatakan pula bahwa
yang memberikan pertimbangan itu ialah 'Ali. Sementara yang mengatakan
bahwa yang memberikan pertimbangan ialah Zaid bin Tsabit.
2. Contoh-Contoh Masalah 'Aul
a. Telah mati seorang perempuan dengan meninggalkan seorang suami, dua
orang saudara perempuan sekandung, dua orang saudara perempuan seibu
dan ibu. Masalah demikian dianamakan masalah Syuraihiyyah, sebab si
suami itu mencaci-maki Syuraih, hakim yang terkenal itu, dimana si suami
diberi bagian tiga persepuluh. Lalu dia mengelilingi kabilah-kabilah sambil
mengatakan: "Syuraihtidak memberikan kepadaku separuh dan tidak pula
sepertiga." Ketika Syuraihmengetahui hal itu, dia memanggilnya untuk
menghadap, dan memberikan hukumanta'zir kepadanya. Kata Syuraih:
"Engkau buruk bicara, dan menyembunyikan 'aul."
b. Seorang suami talah mati, sedang dia meninggalkan seorang isteri, dua
orang anak perempuan, seorang ayah, dan seorang Ibu. Masalah ini
dinamakan masalah mimbariyyah, sebab Sayyidina 'Ali ra tengah berada di
atas mimbar di Kufah, dan dia mengatakan di dalam khutbahnya: "Segala
puji bagi Allah yang telah memutuskan dengan kebenaran secara pasti, dan
membalas setiap orang dengan apa yang diausahakan, dan kepada-Nya
tempat berpulang dan kembali," lalu beliau ditanya tentang masalah itu,
maka beliau menjawab di tengah-tengah khutbahnya: "Dan isteri itu,
seperdelapan menjadi sepersembilan," kemudian beliau
melanjutkankhutbahnya.
Masalah-masalah yang dimasuki oleh Allah itu ialah masalah-masalah
yang pokok (ashal)-nya : 6 - 12 - 24.
Enam terkadang ddibesarkan menjadi tujuh, atau delapan, atau sembilan,
atau sepuluh. Dan duabelas dibesarkan menjadi tiga belas, lima belas, atau
tujuh belas. Dan dua puluh empat tidak dibesarkan kecuali menjadi dua
puluh tujuh.
Masalah-masalah yang tidak dimasuki Allah sama sekali ialah masalah-
masalah yang pokok (ashal)-nya: 2, 3, 4, 8.
Undang-undang Warisan Mesir menetapkan Allah pada fasal lima belas,
dan nashnya sebagai berikut: "Apabila bagian-bagian ashhaabul furuudh
melebihi harta peninggalan, maka harta peninggalan itu dibagi di antara
mereka menurut perbandingan bagian-bagian mereka di dalam pewarisan."

3. Cara Pemecahan Masalah-Masalah 'Aul


Cara pemecahan masalah-masalah Allah ialah harus mengetahui pokok
masalah,yakni yang menimbulkan masalah itu, dan mengetahui saham-
saham setiap ashhaabul furuudh serta mengabaikan pokonya. Kemudian
bagian-bagian mereka dikumpulkan,dan kumpulan itu dijadikan sebagai
pokok. Lalu peninggalan dibagi atas dasaritu. Dan dengan demikian, maka
akan terjadi kekurangan bagi setiap orang sesuaidengan sahamnya. Di
dalam masalah ini tidak ada kezaliman dan kecurangan.Misalnya, bagi
suami dan dua orang saudara perempuan sekandung, maka pokok
masalahnya adalah enam, untuk suami separuh, yaitu tiga, dan untuk dua
orang saudara perempuan sekandung duapertiga, yaitu empat. Maka
jumlahnya menjaditujuh. Dan tujuh itulah yang menjadi dasar pembagian
harta peninggalan.

B. Radd
Kata radd berarti i'aadah: mengembalikan. Dikatakan rodda 'alaihi
haqqohartinya a'aadahu ilaih: dia mengembalikan haknya kepadanya. Dan
kata radd jugabearti sharf: memulangkan kembali. Dikatakan rodda 'anhu
kaida 'aduwwih: dia memulangkan kembali tipu muslihat musuhnya.
Yang dimaksud radd menurut para fuqoha ialah pengembalian apa yang
tersisadari bagian dzawul furudh nasabiyah kepada mereka sesuai dengan
besar kecilnyabgian mereka bila tidak ada orang lain yang berhak untuk
menerimanya.
Rukunnya.
Radd tidak akan terjadi kecuali bila ada tiga rukun:
1 Adanya ashhaabul furuudh,
2 Adanya sisa peninggalan,
3 Tidak adanya ahli waris 'ashobah.
Pendapat Para Ulama Tentang Radd
Tidak ada nash yang menjadi rujukan masalah radd; oleh sebab itu para
ulama berselisih pendapat tentang radd ini.
Di antara mereka ada yang berpendapat tentang tidak adanya radd
terhadap seorang pun di antara ashhaabul furuudh; dan sisa harta sesudah
ashhaabul furuudh mengambil furudh (bagian-bagian) mereka itu
diserahkan kepada baitulmalbila tidak ada ahli waris 'ashobah.
Ada pula yang berpendapat tentang adanya radd bagi ashhaabul furuudh,
bahkansampai pada suami-isteri menurut kadar bagian masing-masing.
Sedang pendapat lain adalah radd itu diberikan kepada semua ashhaabul
furuudh, kecuali suami-isteri, ayah dan kakek.
Maka radd diberikan kepada delapan golongan sebagai berikut:
1 Anak perempuan
2 Anak perempuan dari anak laki-laki
3 Saudara perempuan sekandung
4 Saudara perempuan seayah
5 Ibu
6 Nenek
7 Saudara laki-laki seibu
8 Saudara perempuan seibu.
Pendapat inilah pendapat yang terpilih. Ini adalah pendapat 'Umar,
'Ali,jumhur sahabat dan tabi'in. Dan inilah mazhab Abu Hanifah, Ahmad,
dan pendapatyang dipegang bagi aliran Syafi'i, serta sebagian pengikut
Malik, ketika baitulmal rusak.
Mereka berkata: Radd itu tidak diberikan kepada suami-isteri karena radd
dimiliki dengan jalan rahim, sedang suami-isteri tidak mempunyai
hubungan rahimkecuali hanya sebab perkawinan. Radd juga tidak diberikan
kepada ayah dan kakekkarena radd itu ada bila tidak ada ahli waris 'ashobah,
sedang ayah dan kakek termasuk ahli waris 'ashobah yang mengambil sisa
dengan jalan ta'shib dan bukan dengan cara radd.
Undang-undang Waris Mesir mengambil pendapat ini, kecuali dalam satu
masalah, maka ia mengambil pendapat 'Utsman. Undang-undang itu
menetapkan adanyaradd bagi salah seorang suami-isteri, maka suami/isteri
yang hidup mengambilbagian dengan cara fardh dan radd. Radd terhadap
seorang dari suami-isteri di dalam undang-undang itu sesudah dzawul
arham. Dalam fasal 30 terdapat ketentuan sebagai berikut: "Apabila furudh
tidak dapat menghabiskan harta peninggalandan tidak terdapat 'ashobah
nasab, maka sisanya dikembalikan kepada selain
suami-isteri dari golongan ashhaabul furuudh, menurut perbandingan furudh
mereka. Dan sisa dari harta peninggalan sikembalikan kepada salah seorang
suami-isteri, bila tidak didapatkan 'ashobah nasab atau salah seorang
ashhaabul furuudh nasabiyah atau seorang dzawul arhaam."
C. Cara Memecahkan Masalah-Masalah Radd
Caranya ialah bila bersama ashhaabul furuudh didapatkan orang yang
tidak mendapatkan radd berupa salah seorang suami-isteri, maka salah
seorang suami-isteri mengambil fardhnya dari pokok harta peninggalan.
Dan sisa sesudah fardh ini adalah untuk ashhaabul furuudh sesuai dengan
jumlah mereka bila mereka terdiri dari satu golongan, baik yang ada itu
hanya salah seorang diantara mereka seperti anak perempuan. Apabila
ashhaabul furuudh itu lebih banyak darisatu golongan, seperti seorang ibu
dan seorang anak perempuan, maka sisanyadibagikan kepada mereka sesuai
dengan fardh mereka dan dikembalikan kepada mereka sesuai dengan
perbandingan fardh mereka pula.
Adapun bila bersama ashhaabul furuudh tidak didapatkan salah seorang
suami-isteri, maka sisa harta peninggalan sesudah fardh mereka
dikembalikan kepada mereka sesuai dengan jumlah mereka, bila mereka itu
terdiri dari satu golongan,baik yang ada di antara golongan itu hanya
seorang ataupun banyak.Apabila ashhaabul furuudh itu lebih dari satu
golongan, maka sisanya dikembalikan kepada mereka sesuai dengan
perbandingan fardh mereka. Dengan emikian makabagian dari setiap
ashhaabul furuudh itu bertambah sesuai dengan melimpahnya
harta; sehingga dia mendapatkan sejumlah warisan yang berupa fardh dan
radd.

BAB EMPAT
PUSAKA ZAWIL ARHAM
A. Pendapat Ulama Tentang Pusaka Zawil Arham
Para imam mujtahid berbeda pendapat dalam masalah hak waris dzawil
arham, sama halnya dengan perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan
para sahabat Rasulullah saw.. Dalam hal ini ada dua pendapat:

Pertama: golongan ini berpendapat bahwa dzawil arham atau para kerabat
tidak berhak mendapat waris. Lebih jauh mereka mengatakan bahwa bila
harta waris tidak ada ashhabul furudh atau 'ashabah yang mengambilnya,
maka seketika itu dilimpahkan kepada baitulmal kaum muslim untuk
disalurkan demi kepentingan masyarakat Islam pada umumnya. Dengan
demikian, tidak dibenarkan jika harta tersebut diberikan kepada dzawil
arham. Di antara mereka yang berpendapat demikian ialah Zaid bin Tsabit
r.a. dan Ibnu Abbas r.a. dalam sebagian riwayat darinya, dan juga
merupakan pendapat dua imam, yaitu Malik dan Syafi'i rahimahumullah.

Kedua: golongan kedua ini berpendapat bahwa dzawil arham (kerabat)


berhak mendapat waris, bila tidak ada ashhabul furudh, ataupun 'ashabah
yang menerima harta pewaris. Lebih jauh golongan kedua ini mengatakan
bahwa dzawil arham adalah lebih berhak untuk menerima harta waris
dibandingkan lainnya, sebab mereka memiliki kekerabatan dengan pewaris.
Karena itu mereka lebih diutamakan untuk menerima harta tersebut daripada
baitulmal. Pendapat ini merupakan jumhur ulama, di antaranya Umar bin
Khathab, Ibnu Mas'ud, dan Ali bin Abi Thalib. Juga merupakan pendapat
Imam Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal rahimahumullah.

Adapun dalil yang dijadikan landasan oleh Imam Malik dan Syafi'i
(golongan pertama) ialah:

1. Asal pemberian hak waris atau asal penerimaan hak waris adalah dengan
adanya nash syar'i dan qath'i dari Al-Qur'an atau Sunnah. Dan dalam hal ini
tidak ada satu pun nash yang pasti dan kuat yang menyatakan wajibnya
dzawil arham untuk mendapat waris. Jadi, bila kita memberikan hak waris
kepada mereka (dzawil arham) berarti kita memberikan hak waris tanpa
dilandasi dalil pasti dan kuat. Hal seperti ini menurut syariat Islam adalah
batil.

2. Rasulullah saw. ketika ditanya tentang hak waris bibi --baik dari garis
ayah maupun dari ibu-- beliau saw. menjawab: "Sesungguhnya Jibril telah
memberitahukan kepadaku bahwa dari keduanya tidak ada hak menerima
waris sedikit pun."

Memang sangat jelas betapa dekatnya kekerabatan saudara perempuan ayah


ataupun saudara perempuan ibu dibandingkan kerabat lainnya. Maka jika
keduanya tidak berhak untuk menerima harta waris, kerabat lain pun
demikian. Sebab, tidak mungkin dan tidak dibenarkan bila kita memberikan
hak waris kepada kerabat lain, sedangkan bibi tidak mendapatkannya. Hal
demikian dalam dunia fiqih dikenal dengan istilah tarjih bilaa murajjih yang
berarti batil. Dengan dasar ini dapat dipetik pengertian bahwa karena
Rasulullah saw. tidak memberikan hak waris kepada para bibi, maka tidak
pula kepada kerabat yang lain.

3. Harta peninggalan, bila ternyata tidak ada ahli warisnya secara sah dan
benar --baik dari ashhabul furudh-nya ataupun para 'ashabahnya-- bila
diserahkan ke baitulmal akan dapat mewujudkan kemaslahatan umum,
sebab umat Islam akan ikut merasakan faedah dan kegunaannya. Namun
sebaliknya, bila diserahkan kepada kerabatnya, maka kegunaan dan
faedahnya akan sangat minim, dan hanya kalangan mereka saja yang
merasakannya. Padahal dalam kaidah ushul fiqih telah ditegaskan bahwa
kemaslahatan umum harus lebih diutamakan daripada kemaslahatan pribadi.
Atas dasar inilah maka baitulmal lebih diutamakan untuk menyimpan harta
waris yang tidak ada ashhabul furudh dan 'ashabahnya ketimbang para
kerabat.

Adapun golongan kedua, yakni Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad,
menyatakan bahwa dzawil arham atau para kerabat berhak mendapatkan
waris, mereka mendasari pendapatnya itu dengan Al-Qur'an, As-Sunnah,
dan logika. Dalil Al-Qur'an yang dimaksud ialah:

"... Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih


berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (al-Anfal:
75)

Makna yang mendasar dari dalil ini ialah bahwa Allah SWT telah
menyatakan atau bahkan menegaskan dalam Kitab-Nya bahwa para kerabat
lebih berhak untuk mendapatkan atau menerima hak waris daripada yang
lain. Di sini, lafazh arham yang berarti kerabat adalah umum, termasuk
ashhabul furudh, para ''ashabah, serta selain keduanya. Pendek kata, makna
kata itu mencakup kerabat yang mempunyai hubungan rahim atau lebih
umumnya hubungan darah.

Ayat tersebut seolah-olah menyatakan bahwa yang disebut kerabat --siapa


pun mereka, baik ashhabul furudh, para 'ashabah, atau selain dari
keduanya-- merekalah yang lebih berhak untuk menerima hak waris
ketimbang yang bukan kerabat. Bila pewaris mempunyai kerabat dan
kebetulan ia meninggalkan harta waris, maka berikanlah harta waris itu
kepada kerabatnya dan janganlah mendahulukan yang lain. Jadi, atas dasar
inilah maka para kerabat pewaris lebih berhak untuk menerima hak waris
ketimbang baitulmal.

Hal ini juga berdasarkan firman-Nya yang lain:

"Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan
kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dan harta peninggalan
ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang
telah ditetapkan." (an-Nisa': 7)

Melalui ayat ini Allah SWT menyatakan bahwa kaum laki-laki dan wanita
mempunyai hak untuk menerima warisan yang ditinggalkan kerabatnya,
baik sedikit ataupun banyak. Seperti yang disepakati oleh jumhur ulama
bahwa yang dimaksud dengan dzawil arham adalah para kerabat. Dengan
demikian, mereka (dzawil arham) berhak untuk menerima warisan.

Kemudian sebagaimana dinyatakan oleh mayoritas ulama bahwa ayat di atas


me-mansukh (menghapus) kebiasaan pada awal munculnya Islam, pada
masa itu kaum muslimin saling mewarisi disebabkan menolong dan hijrah.
Dengan turunnya ayat ini, maka yang dapat saling mewarisi hanyalah antara
sesama kerabat (dzawil arham). Oleh karena itu, para kerabatlah yang paling
berhak untuk menerima harta peninggalan seorang pewaris.

Adapun dalil dari Sunnah Nabawiyah adalah seperti yang diberitakan dalam
sebuah riwayat masyhur, dalam riwayat ini dikisahkan. Ketika Tsabit bin
ad-Dahjah meninggal dunia, maka Rasulullah saw. bertanya kepada Qais
bin Ashim, "Apakah engkau mengetahui nasab orang ini?" Qais menjawab,
"Yang kami ketahui orang itu dikenal sebagai asing nasabnya, dan kami
tidak mengetahui kerabatnya, kecuali hanya anak laki-laki dari saudara
perempuannya, yaitu Abu Lubabah bin Abdul Mundir. Kemudian Rasul pun
memberikan harta warisan peninggalan Tsabit kepada Abu Lubabah bin
Abdul Mundzir.

Keponakan laki-laki dari anak saudara perempuan tidak lain hanyalah


merupakan kerabat, yang bukan dari ashhabul furudh dan bukan pula
termasuk 'ashabah. Dengan pemberian Rasulullah saw. akan hak waris
kepada dzawil arham menunjukkan dengan tegas dan pasti bahwa para
kerabat berhak menerima harta waris bila ternyata pewaris tidak mempunyai
ashhabul furudh yang berhak untuk menerimanya atau para 'ashabah.

Dalam suatu atsar diriwayatkan dari Umar bin Khathab r.a. bahwa suatu
ketika Abu Ubaidah bin Jarrah mengajukan persoalan kepada Umar. Abu
Ubaidah menceritakan bahwa Sahal bin Hunaif telah meninggal karena
terkena anak panah yang dilepaskan seseorang. Sedangkan Sahal tidak
mempunyai kerabat kecuali hanya paman, yakni saudara laki-laki ibunya.
Umar menanggapi masalah itu dan memerintahkan kepada Abu Ubaidah
untuk memberikan harta peninggalan Sahal kepada pamannya. Karena
sesungguhnya aku telah mendengar bahwa Rasulullah saw. bersabda:

"(Saudara laki-laki ibu) berhak menerima waris bagi mayit yang tidak
mempunyai keturunan atau kerabat yang berhak untuk menerimanya."

Atsar ini --yang di dalamnya Umar al-Faruq memberitakan sabda Rasulullah


saw.--- merupakan dalil yang kuat bahwa kerabat lebih berhak menerima
harta waris peninggalan pewaris ketimbang baitulmal. Kalaulah baitulmal
lebih berhak untuk menampung harta peninggalan pewaris yang tidak
mempunyai ahli waris dari ashhabul furudh dan 'ashabah-nya, maka Umar
bin Khathab pasti tidak akan memerintahkan kepada Abu Ubaidah Ibnul
Jarrah r.a. untuk memberikan kepada paman Sahal tersebut. Sebab, Umar
bin Khathab r.a adalah seorang khalifah Islam yang dikenal sangat mengu
tamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi. Dan hal ini
terbukti seperti yang banyak dikisahkan dalam kitab-kitab tarikh.

Adapun dalil logikanya seperti berikut: sesungguhnya para kerabat jauh


lebih berhak untuk menerima harta warisan daripada baitulmal. Alasannya,
karena ikatan antara baitulmal dan pewaris hanya dari satu arah, yaitu ikatan
Islam --karena pewaris seorang muslim. Berbeda halnya dengan seseorang
yang memiliki hubungan kekerabatan dengan pewaris, dalam hal ini ia
mempunyai dua ikatan: ikatan Islam dan ikatan rahim.

Oleh sebab itu, ikatan dari dua arah sudah barang tentu akan lebih kuat
dibandingkan ikatan satu arah. Permasalahan ini sama seperti dalam kasus
adanya saudara kandung laki-laki dengan saudara laki-laki seayah dalam
suatu keadaan pembagian harta waris, yang dalam hal ini seluruh harta
waris menjadi hak saudara kandung laki-laki. Sebab, ikatannya dari dua
arah, dari ayah dan dari ibu, sedangkan saudara seayah hanya dari ayah.

Di samping itu, kelompok kedua (jumhur ulama) ini menyanggah dalil yang
dikemukakan oleh Imam Malik dan Imam Syafi'i bahwa hadits itu
kemungkinannya ada sebelum turunnya ayat di atas. Atau, mungkin juga
bahwa bibi (baik dari ayah atau ibu) tidak berhak mendapat waris ketika
berbarengan dengan ashhabul furudh atau para 'ashabah.

Jadi, yang jelas --jika melihat konteks hadits yang pernah dikemukakan--
jawaban Rasulullah saw. tentang hak waris bibi ketika itu disebabkan ada
ashhabul furudh atau ada 'ashabah-nya. Inilah usaha untuk menyatukan dua
hadits yang sepintas bertentangan.

Setelah membandingkan kedua pendapat itu, kita dapat menyimpulkan


bahwa pendapat jumhur ulama (kelompok kedua) lebih rajih (kuat dan
akurat), karena memang merupakan pendapat mayoritas sahabat, tabi'in, dan
imam mujtahidin. Di samping dalil yang mereka kemukakan lebih kuat dan
akurat, juga tampak lebih adil apalagi jika dihubungkan dengan kondisi
kehidupan dewasa ini.

Sebagai contoh, kelompok pertama berpendapat lebih mengutamakan


baitulmal ketimbang kerabat, sementara di sisi lain mereka mensyaratkan
keberadaan baitulmal dengan persyaratan khusus. Di antaranya, baitulmal
harus terjamin pengelolaannya, adil, dan amanah; adil dalam memberi
kepada setiap yang berhak, dan tepat guna dalam menyalurkan harta
baitulmal.

Maka muncul pertanyaan, dimanakah adanya baitulmal yang demikian,


khususnya pada masa kita sekarang ini. Tidak ada jawaban lain untuk
pertanyaan seperti itu kecuali: "telah lama tiada". Terlebih lagi pada masa
kita sekarang ini, ketika musuh-musuh Islam berhasil memutus
kelangsungan hidup khilafah Islam dengan memporakporandakan barisan,
persatuan dan kesatuan muslimin, kemudian membagi-baginya menjadi
negeri dan wilayah yang tidak memiliki kekuatan. Sungguh tepat apa yang
digambarkan seorang penyair dalam sebuah bait syairnya: "Setiap jamaah di
kalangan kita mempunyai iman, namun kesemuanya tidak mempunyai
imam."

Melihat kenyataan demikian, para ulama dari mazhab Maliki dan


mazhab Syafi'i mutakhir memberikan fatwa dengan mendahulukan para
kerabat ketimbang baitulmal, khususnya setelah abad ketiga Hijriah, ketika
pengelolaan baitulmal tidak lagi teratur sehingga terjadi penyalahgunaan.
Dengan demikian, dapat kita katakan bahwa kedua kelompok ulama
tersebut pada akhirnya bersepakat untuk lebih mengutamakan pemberian
harta waris kepada kerabat ketimbang baitulmal. Hal ini dapat terlihat
tentunya dengan melihat dan mempertimbangkan kemaslahatan yang ada,
dari mulai akhir abad ketiga Hijriah hingga masa kita dewasa ini.

Pengelompokkan Dzawil Arham


a. Kelompok pertama (Termasuk dalam kelompok ini adalah furu’
(cabang) si mayit yang perempuan) yakni sebagai berikut :
1) Cucu dari anak perempuan dan keturunan di bawahnya, seperti cucu
laki- laki dari anak perempuan, cucu perempuan dari anak
perempuan, cicit laki-laki dari cucu perempuan dari anak
perempuan, dan seterusnya
2) Cicit dari cucu perempuan dari anak laki-laki dan keturunan di
bawahnya, seperti cicit laki-laki dari cucu perempuan dari anak laki-
laki, dan cicit perempuan dari cucu perempuan dari anak laki-laki.
b. Kelompok kedua (Termasuk dalam kelompok ini adalah ushul (leluhur)
si mayit yang disela oleh perempuan) yakni sebagai berikut :
1) Kakek leluhur, yaitu bapak dari ibu dan ushul lainnya yang berada
di atas kakek, seperti bapak dari ibunya bapak, bapak dari ibunya
ibu, dan bapak dari bapaknya ibu.
2) Nenek leluhur dan ushul lainnya yang berada di atas nenek, yaitu
yang berhubungan dengan si mayit, seperti ibu dari bapaknya ibu.
c. Kelompok ketiga (termasuk dalam kelompok ini adalah furu’ dari bapak
atau ibu yang bukan ashabul furudh dan bukan ‘ashabah) yakni sebagai
berikut :
1) Anak saudara seibu, baik laki-laki maupun perempuan,seperti anak
laki-laki dari saudara seibu, anak perempuan dari saudara seibu,
dan yang lainnya, meskipun secara keturunan derajatnya semakin
ke bawah.
2) Anak saudara perempuan kandung atau sebapak, seperti anak laki-
laki dari saudara perempuan kandung, anak perempuan dari
saudara perempuan kandung, anak laki-laki dari saudara
perempuan sebapak, anak perempuan dari saudara perempuan
sebapak, dan yang lainnya meskipun secara keturunan derajatnya
semakin ke bawah.
3) Anak perempuan dari saudara kandung atau sebapak, seperti anak
perempuan dari saudara kandung, anak perempuan dari saudara
sebapak, dan seterusnya. Sementara itu, anak laki-laki dari saudara
kandung atau sebapak termasuk ahli waris dalam kelompok
‘ashabah.
d. Kelompok keempat (termasuk dalam kelompok ini adalah furu’ dari
kakek dan nenek, yang bukan ashabul furudh dan juga bukan ‘ashabah)
yakni sebagai berikut :
1) Paman dan bibi si mayit yang seibu dari pihak bapak; serta paman
dan bibi kandung si mayit atau sebapak dari pihak ibu.
2) Anak-anak dari ahli waris yang disebutkan dalam kelompok
pertama dan keturunan yang ada di bawahnya; anak-anak
perempuan paman si mayit dari pihak bapak yang sebapak-seibu
atau sebapak saja; anak-anak perempuan dari anak-anak laki-laki
mereka dan keturunan yang ada di bawahnya; dan anak-anak
mereka yang telah disebutkan.
3) Paman dan bibi dari bapak si mayit (dari pihak bapak maupun dari
pihak ibu), yang sebapak-seibu atau salah satunya; paman dan bibi
dari ibu si mayit (dari pihak bapak maupun dari pihak ibu), yang
sebapak-seibu atau salah satunya saja.
4) Anak-anak dari ahli waris yang disebutkan dlam kelompok ketiga
dan keturunnya; anak-anak perempuan paman dari bapak si mayit
(dari pihak bapak) yang sebapak-seibu atau sebapak; cucu
perempuan dari anak laki-laki mereka dan keturunannya; serta
anak-anak mereka sebagaimana yang telah disebutkan.
5) Paman dan bibi dari bapaknya bapak si mayit yang seibu (dari
pihak bapak); paman dan bibi dari bapaknya ibu si mayit (dari
pihak bapak); paman dan bibi dari bapaknya bapak dan bapaknya
ibu si mayit (dari pihak ibu) yang sebapak-seibu atau sebapak atau
seibu saja; paman dan bibi dari ibunya ibu si mayit (dari pihak
bapak); paman dan bibi dari ibunya bapak si mayit (dari pihak
bapak); paman dan bibi dari ibunya ibu dan ibunya bapak si mayit
(dari pihak ibu) yang sebapak-seibu atau sebapak atau seibu saja.
6) Anak-anak dari ahli waris yang disebutkan dalam kelompok
kelima, anak-anak perempuan paman dari kakek si mayit dari pihak
bapak yang sebapak-seibu atau sebapak saja; anak-anak perempuan
dari anak laki-laki mereka dan keturunan di bawahnya; serta anak-
anak dari anak-anak perempuan tadi dan seterusnya.

. Cara Pembagian Waris Zawil Arham

Di antara fuqaha terjadi perbedaan pendapat mengenai tata cara memberikan


hak waris kepada para kerabat, dan dalam hal ini terbagi menjadi tiga
kelompok pendapat.

1. Menurut Ahlur-Rahmi

Mengenai cara pembagian hak waris para kerabat, ahlur-rahmi menyatakan


bahwa semua kerabat berhak mendapat waris secara rata, tanpa
membedakan jauh-dekatnya kekerabatan, dan tanpa membeda-bedakan
antara laki-laki dengan perempuan.

Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan seorang cucu perempuan


keturunan anak perempuan, seorang keponakan perempuan dari saudara
perempuan, bibi (saudara perempuan ayah), bibi (saudara perempuan ibu),
dan keponakan laki-laki keturunan saudara laki-laki seibu. Maka dalam hal
ini mereka mendapatkan bagian waris secara rata, tanpa melebihkan atau
mengurangi salah seorang dari ahli waris yang ada.
Mazhab ini dikenal dengan sebutan ahlur-rahmi disebabkan orang-orang
yang menganut pendapat ini tidak mau membedakan antara satu ahli waris
dengan ahli waris yang lain dalam hal pembagian, mereka juga tidak
menganggap kuat serta lemahnya kekerabatan seseorang. Yang menjadi
landasan mereka ialah bahwa seluruh ahli waris menyatu haknya karena
adanya ikatan kekerabatan.

Mazhab ini tidak masyhur, bahkan dhaif dan tertolak. Karenanya tidak ada
satu pun dari ulama atau para imam mujtahid vang mengakuinya apalagi
mengikuti pendapat ini dengan alasan telah sangat nyata bertentangan
dengan kaidah syar'iyah yang masyhur dalam disiplin ilmu mawarits.

2. Menurut Ahlut-Tanzil

Golongan ini disebut ahlut-tanzil dikarenakan mereka mendudukkan


keturunan ahli waris pada kedudukan pokok (induk) ahli waris asalnya.
Mereka tidak memperhitungkan ahli waris yang ada (yang masih hidup),
tetapi melihat pada yang lebih dekat dari ashhabul furudh dan para
'ashabahnya. Dengan demikian, mereka akan membagikan hak ahli waris
yang ada sesuai dengan bagian ahli waris yang lebih dekat, yakni pokoknya.
Inilah pendapat mazhab Imam Ahmad bin Hambal, juga merupakan
pendapat para ulama mutakhir dari kalangan Maliki dan Syafi'i.

Untuk memperjelas pemahaman tentang mazhab ini perlu saya kemukakan


contoh-contoh seperti berikut:

1. Bila seseorang wafat dan meninggalkan cucu perempuan keturunan


anak perempuan, keponakan laki-laki keturunan saudara kandung
perempuan, dan keponakan perempuan keturunan saudara laki-laki
seayah. Maka keadaan ini dapat dikategorikan sama dengan
meninggalkan anak perempuan, saudara kandung perempuan, dan
saudara laki-laki seayah. Oleh karena itu, pembagiannya seperti
berikut: anak perempuan mendapat setengah (1/2) bagian, saudara
kandung perempuan mendapat setengah (1/2) bagian, sedangkan
saudara laki-laki seayah tidak mendapat bagian (mahjub) disebabkan
saudara kandung perempuan di sini sebagai 'ashabah, karena itu ia
mendapatkan sisanya. Inilah gambarannya:

Anak kandung pr. 1/2, Sdr. kandung pr. 1/2, Sdr. laki-laki seayah
mahjub.
2. Seseorang wafat dan meninggalkan keponakan perempuan
keturunan saudara kandung perempuan, keponakan perempuan
keturunan saudara perempuan seayah, keponakan laki-laki keturunan
saudara perempuan seibu, dan sepupu perempuan keturunan paman
kandung (saudara laki-laki seayah). Maka pembagiannya seperti
berikut: keponakan perempuan keturunan saudara kandung
perempuan mendapatkan setengah (1/2) bagian, keponakan
perempuan keturunan dari saudara perempuan seayah mendapat
seperenam (1/6) sebagai penyempurna dua per tiga (2/3), keponakan
laki-laki keturunan saudara perempuan seibu mendapatkan
seperenam (1/6) bagian secara fardh, dan sepupu perempuan anak
dari paman kandung juga mendapatkan seperenam (1/6) bagian
sebagai 'ashabah. Hal demikian dikarenakan sama saja dengan
pewaris meninggalkan saudara kandung perempuan, saudara
perempuan seayah, saudara perempuan seibu, dan paman kandung.
Inilah gambarnya:

Sdr. kand. Pr. 3/6, sdr. pr. seayah 1/6, sdr. pr. 1/6, seibu paman kand.
1/6

Begitulah cara pembagiannya, yakni dengan melihat kepada yang lebih


dekat derajat kekerabatannya kepada pewaris.

Adapun yang dijadikan dalil oleh mazhab ahlut-tanzil ini ialah riwayat yang
marfu' (sampai sanadnya) kepada Rasulullah saw.. Ketika beliau memberi
hak waris kepada seorang bibi (saudara perempuan ayah) dan bibi (saudara
perempuan ibu) kebetulan saat itu tidak ada ahli waris lainnya-- maka beliau
memberi bibi (dari pihak ayah) dengan dua per tiga (2/3) bagian, dan
sepertiga lagi diberikannya kepada bibi (dari pihak ibu).

Selain itu, juga berlandaskan fatwa Ibnu Mas'ud r.a. ketika ia menerima
pengaduan tentang pembagian waris seseorang yang wafat dan
meninggalkan cucu perempuan keturunan anak wanita, dan keponakan
perempuan keturunan saudara kandung perempuan. Maka Ibnu Mas'ud
memberikan setengah bagian untuk cucu perempuan dan setengah bagian
lainnya untuk keponakan perempuan. Lebih jauh mazhab ini menyatakan
bahwa hadits Rasulullah saw. dan keputusan yang dilakukan Ibnu Mas'ud
menunjukkan betapa kuatnya pendapat mereka.

Adapun dalih orang-orang yang memperkuat mazhab kedua ini, yang


tampak sangat logis, adalah bahwa memberikan hak waris kepada dzawil
arham tidak dibenarkan kecuali dengan berlandaskan pada nash-nash umum
--yang justru tidak memberikan rincian mengenai besarnya bagian mereka
masing-masing dan tidak ada pentarjihan secara jelas. Oleh karena itu,
dengan mengembalikan kepada pokoknya --karena memang lebih
mendekatkan posisinya kepada pewaris-- jauh lebih utama dan bahkan lebih
berhak. Sebab, rincian besarnya bagian ashhabul furudh dan para 'ashabah
telah dijelaskan. Maka, sekali lagi saya tegaskan bahwa tidak ada jalan lain
untuk mengenali dan menuntaskan masalah ini kecuali dengan
mengembalikan atau menisbatkannya kepada pokok ahli waris yang lebih
dekat kekerabatannya kepada pewaris.

3. Menurut Ahlul Qarabah

Adapun mazhab ketiga menyatakan bahwa hak waris para dzawil arham
ditentukan dengan melihat derajat kekerabatan mereka kepada pewaris. Hal
ini, menurut mereka, dilakukan dengan mengqiyaskannya pada hak para
'ashabah, berarti yang paling berhak di antara mereka (para 'ashabah) adalah
yang paling dekat kepada pewaris dari segi dekat dan kuatnya kekerabatan.

Sebagaimana telah diungkapkan, dalam hal melaksanakan pembagian waris


untuk dzawil arham mazhab ini membaginya secara kelompok. Dalam
prakteknya sama seperti membagi hak waris para 'ashabah, yaitu melihat
siapa yang paling dekat hubungan kekerabatannya dengan pewaris,
kemudian barulah yang lebih kuat di antara kerabat yang ada. Selain itu,
pelaksanaannya tetap mengikuti kaidah umum pembagian waris: bagian
laki-laki adalah dua kali bagian wanita.

Mazhab ini merupakan pendapat Ali bin Abi Thalib r.a. dan diikuti oleh
para ulama mazhab Hanafi.

Di samping itu, mazhab ketiga ini telah mengelompokkan dan membagi


dzawil arham menjadi empat golongan, kemudian menjadikan masing-
masing golongan mempunyai cabang dan keadaannya. Lebih jauh akan
dijelaskan hak masing-masing golongan dan cabang tersebut akan hak
warisnya. Keempat golongan tersebut adalah:

1. Orang-orang (ahli waris) yang bernisbat kepada pewaris.


2. Orang-orang yang dinisbati kekerabatan oleh pewaris.
3. Orang-orang yang bernisbat kepada kedua orang tua pewaris.
4. Orang-orang yang bernisbat kepada kedua kakek pewaris atau kedua
nenek pewaris.

Yang bernisbat kepada pewaris sebagai berikut:

a. Cucu laki-laki keturunan anak perempuan, dan seterusnya, baik laki-


laki ataupun perempuan.
b. Buyut laki-laki dari keturunan cucu perempuan dan keturunan anak
laki-laki, dan seterusnya, baik laki-laki ataupun perempuan.
Yang dinisbati oleh pewaris:

a. Kakek yang bukan sahih, dan seterusnya seperti ayah dari ibu, ayah
dari ayahnya ibu (kakek dari ibu).
b. Nenek yang bukan sahih, dan seterusnya seperti ibu dari ayahnya
ibu, ibu dari ibu ayahnya ibu.

Yang bernisbat kepada kedua orang tua pewaris:

a. Keturunan saudara kandung perempuan, atau yang seayah, atau yang


seibu, baik keturunan laki-laki ataupun perempuan.
b. Keturunan perempuan dari saudara kandung laki-laki, atau seayah,
seibu, dan seterusnya.
c. Keturunan dari saudara laki-laki seibu dan seterusnya.

Yang bernisbat kepada kedua kakek atau nenek dari pihak ayah ataupun ibu:

a. Bibi (saudara perempuan ayah) pewaris, baik bibi kandung, seayah,


atau seibu. Kemudian paman (saudara laki-laki ibu) pewaris, dan
bibi (saudara perempuan ibu), dan paman (saudara ayah) ibu.
b. Keturunan dari bibi (saudara perempuan ayah), keturunan dari
pamannya (saudara laki-laki ibu), keturunan bibinya (saudara
perempuan ibu), keturunan paman (saudara laki-laki ayah) yang
seibu, dan seterusnya.
c. Bibi dari ayah pewaris, baik yang kandung, seayah, ataupun seibu.
Juga semua pamannya dan bibinya (paman dan bibi dari ayah). Juga
pamannya (saudara ayah) yang seibu (mencakup semua paman dan
bibi dari ibu, baik yang kandung maupun yang seayah).
d. Seluruh keturunan kelompok yang saya sebutkan itu dan seterusnya,
misalnya keturunan laki-laki dan perempuan dari bibi sang ayah.
e. Paman kakak yang seibu, dan juga paman nenek. Kemudian paman
dan bibi --baik dari ayah maupun ibu-- dari kakek dan nenek.
f. Seluruh keturunan kelompok yang saya sebutkan di atas (Butir e)
dan seterusnya.

Itulah keenam kelompok yang bernisbat kepada kedua kakek dan kedua
nenek pewaris.

Perbedaan antara Ahlut-tanzil dengan Ahlul Qarabah

Dari uraian-uraian sebelumnya, ternyata kita menemukan beberapa


perbedaan yang jelas antara mazhab ahlut-tanzil dengan ahlul qarabah:
1. Ahlut-tanzil tidak menyusun secara berurutan kelompok per
kelompok, dan tidak pula mendahulukan antara satu dari yang lain.
Sedangkan ahlul qarabah menyusun secara berurutan dan
mendahulukan satu dari yang lain sebagai analogi dari 'ashabah bi
nafsihi..
2. Dasar yang dianggap oleh ahlut-tanzil dalam mendahulukan satu
dari yang lain adalah "dekatnya keturunan" dengan sang ahli waris
shahibul fardh atau 'ashabah. Sedangkan oleh ahlul qarabah yang
dijadikan anggapan ialah "dekatnya dengan kekerabatan", dan
bagian anak laki-laki dua kali lipat bagian kaum wanita sebagaimana
yang berlaku pula dalam kalangan ahlul 'ashabah.

Cara Pembagian Waris Menurut Ahlul Qarabah

Telah saya kemukakan bahwa ahlul qarabah ini mengelompokkan dan


memberikan urutan --dalam pembagian hak waris-- dengan mengqiyas pada
jalur 'ashabah. Dengan demikian, menurut ahlul qarabah, yang pertama kali
berhak menerima waris adalah keturunan pewaris (anak, cucu, dan
seterusnya). Bila mereka tidak ada, maka pokoknya: ayah, kakek, dan
seterusnya. Jika tidak ada juga, maka barulah keturunan saudara laki-laki
(keponakan). Bila mereka tidak ada, maka barulah keturunan paman (dari
pihak ayah dan ibu). Jika tidak ada, maka barulah keturunan mereka yang
sederajat dengan mereka, seperti anak perempuan dari paman kandung atau
seayah. Dengan demikian, berdasarkan urutan tersebut dapat disimpulkan
bahwa kelompok ahli waris yang lebih awal disebutkan dapat
menggugurkan kelompok berikutnya.
BAB LIMA
PUSAKA ANAK DALAM KANDUNGAN DAN KHUNSA
A. kandungan (hamlu)
Kandungan (hamlu) adalah anak yang dikandung di perut ibu. Kami akan
mem-bicarakan kandungan di sini dari segi pewarisan dan lamanya
kandungan.
1. Hukumnya Dalam Pewarisan
Kandungan itu adakalanya lahir dari perut ibu dan adakalanya tetap di
dalamperutnya. Masing-masing dari dua keadaan ini mempunyai hukum-
hukumnya sendiri,dan akan kami sebutkan berikut ini :
2. Kandungan Yang Lahir Dari Perut Ibu
Apabila kandungan lahir dari perut ibu, maka adakalanya ia lahir dalam
keadaan hidup dan adakalanya dalam keadaan mati. Apabila ia lahir dalam
keadaan mati, maka kemungkinan lahirnya bukan karena tindak pidana dan
permusuhan terhadap sang ibu, dan kemungkinan disebabkan tindak pidana
terhadap sang ibu.
Apabila dia lahir dalam keadaan hidup, maka dia mewarisi dan diwarisi
olehorang lain; karena adanya riwayat dari Abu Hurairoh bahwa Nabi saw
bersabda:
"Apabila anak yang dilahirkan itu menangis, maka dia diberi warisan".
Istihlaal artinya jeritan tangisan bayi; maksudnya ialah bila nyata kehidupan
anak yang lahir itu, maka dia diberi warisan. Tandanya hidup ialah suara,
nafas, bersin, atau yang serupa dengan itu. Ini adalah pendapat Ats-Tsauri,
Al-Auza'i, Asy-Syafi'i dan sahabat-sahabat Abu Hanifah.
Apabila kandungan lahir dalam keadaan mati bukan karena tindak pidana
yang dilakukan terhadap ibunya, menurut kesepakatan, dia tidak mewarisi
dan tidak pula diwarisi. Apabila dia lahir dalam keadaan mati disebabkan
tindak pidana yang dilakukan terhadap ibunya, maka dalam keadaan
demikian, dia mewarisi dan diwarisi menurut orang-orang Hanafi.
Sedang mazhab Syafi'i, Hambali, dan Malik berpendapat bahwa dia tidak
mewarisi sedikitpun, akan tetapi dia mendapatkan ganti rugi saja karena
darurat.Dia tidak mendapatkan selain itu. Ganti rugi ini diwarisi oleh setiap
orang yang berhak mendapat warisan darinya.
Al-Laits bin Sa'd dan Robi'ah bin 'Abdurrahman berpendapat bahwa janin
itubila lahir dalam keadaan mati disebabkan tindak pidana terhadap ibunya,
maka diatidak mewarisi dan tidak pula diwarisi; akn tetapi iibunya
mendapat ganti rugi.Ganti rugi itu diberikan kepada ibunya, karena tindak
pidana itu menimpa sebagian dari dirinya, yaitu si janin. Dan bila tindak
pidana itu hanya menimpa diri si ibu saja, maka ganti ruginya pun hanya
untuk dirinya. Undang-undang Warisan Mesir mengambil pendapat ini.
3. Kandungan Yang Berada Dalam Perut Ibu
a. Kandungan yang masih berada dalam perut ibu tidak bisa menahan
sebagian harta peninggalan, bila dia bukan pewaris atau terhalang oleh
orang lain dalam segala keadaan. Apabila seseorang mati dan
meninggalkan seorang isteri, seorang ayah dan seorang ibu yang hamil
yang bukan dari ayahnya, maka kandungan yang demikian tidak
mendapatkan warisan; sebab dia tidak akan keluar dari keadaannya
sebagai saudara laki-laki atau saudara perempuan seibu, sedang saudara
laki-laki atau saudara perempuan seibu tidak mewarisi dengan adanya
ayah.
b. Semua harta peninggalan ditahan sampai kandungan dilahirkan, bila dia
pewaris dan tidak ada seorang pewarispun yang ada bersamanya, atau
ada seorang pewaris tetapi terhalang olehnya. Demikian kesepakatan
para fuqoha.Demikian pula semua harta peninggalan ditahan bila
bersamanya terdapat ahli waris yang tidak terhalang, akan tetapi mereka
semua merelakan baik secara terang-terangan maupun tersembunyi,
untuk tidak membagi warisan secara segera, misalnya mereka diam saja
atau tidak menuntutnya.
c. Setiap ahli warisyang mempunyai fardh (bagian) tidak berubah dengan
berubahnya kandungan, maka dia mendapatkan bagiannya secara
sempurna, dan sisa-nya ditahan.Misalnya, bila si mayit meninggalkan
seorang nenenk dan seorang isteri yang hamil, maka nenek mendapatkan
bagian seperenam karena bagiannya tidak berubah, baik anak yang akan
dilahirkan itu laki-laki ataupun perempuan.
d. Pewaris yang gugur dengan salah satu dari dua keadaan kandungan dan
tidak gugur dengan keadaan lain, tidak diberi bagian sedikitpun karena
hak kewarisan-nya itu meragukan. Misalnya, bila mayit meninggalkan
seorang isteri yang hamil dan seorang saudara laki-laki, maka saudara
laki-laki itu tidak mendapatkan sesuatu, sebab mungkin kandungan yang
akan lahir itu laki-laki. Demikian mazhab jumhur.
e. Ashabul furudh yang berubah bagiannya karena kandungan yang akan
dilahirkan itu laki-laki atau perempuan, diberi bagian yang minimal dari
dua kemungkinan tersebut, dan yang di dalam kandungan diberi bagian
yang maksimaldari kedua kemungkinan di atas kemudian ditahan
sampai ia lahir. Bila kandunganyang dilahirkan itu hidup, dan ternyata ia
berhak memperoleh bagian yang lebihbesar, maka tinggal
mengambilnya. Dan bila dia tidak merhak memperoleh bagian yang
lebih besar dan hany berhak memperoleh bagian yang minimal, maka
dia meng-ambilnya; dan sisanya dikembalikan kepada ahli waris.
Apabila dia lahir dalamkeadaan mati, maka dia tidak berhak sedikitpun;
dan semua harta peninggalandibagikan kepada ahli waris tanpa
memeperhatikan kandungan itu.
B. Batas waktu maksimal dan minimal bagi kandungan
Batas waktu minimal terbentuknya janin dan dilahirkan dalam keadaan
hidup adalah enam bulan, karena firman Allah SWT:
"Dan mengadungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan" (S. Al-
Ahqoof 15)
"Dan menyapihnya dalam dua tahun" (S. Luqmaan 14).
Apabila menyapihnya dua tahun, maka tidak ada sisa lagi selain enam
bulan untuk mengandung. Inilah pendapat yang dianut oleh jumhur fuqoha.
Berkata Al-Kamal ibnul Hamam, salah seorang imam golongan Hanafi,
"Sesungguhnya kebiasaan yang berlaku ialah bahwa keadaan kandungan itu
lebih banyak dari enam bulan, bahkan mungkin sampai bertahun-tahun pun
tidak didengar adanya kelahiran kandungan dalam umur enam bulan."
Pendapat sebagian orang-orang Hambali ialah batas waktu minimal dari
kandungan adalah sembilan bulan.
Undang-undang Warisan Mesir bertentangan dengan pendapat jumhur
ulama dan mengambil pendapat dari sebagian orang-orang Hambali dan
pendapat para dokter resmi, yaitu bahwa batas minimal dari kandungan
adalah sembilan bulan Qomariyahyakni 270 hari, karena yang demikian itu
sesuai dengan apa yang banyak sekali terjadi.
Sebagaimana mereka berselisih pendapat tentang batas minimal waktu
mengandung, maka merekapun berselisih pula tentang batas maksimalnya.
Di antaramereka ada yang berpendapat dua tahun. Ada pula yang
berpendapat sembilan bulan.Sedang yang lainnya mengatakan satu tahun
Qomariyah (354 hari). Dan undang-undang yang disarankan oleh para
dokter resmi. Maka disebutkanlah bahwa batas waktu maksimal dari
kandungan adalah satu tahun Syamsiyyah (365 hari); dan yang demikian ini
dipegangi dalam menatapkan nasab, pewarisan, wakaf dan wasiat.
Adapun undang-undang warisan, maka ia mengambil pendapat Abu
Yusuf yang memberikan fatwa pada mazhab bahwa kandungan itu diberi
bagian maksimal dari dua kemungkinan dan mengambil pendapat tiga
orang imam dalam mempersyaratkan dilahirkannya kandungan secara
keseluruhan dalam keadaan hidup untuk dapat memperoleh hak warisannya.
Undang-undang juga mengambil pendapat Muhammad ibnul Hikam yang
menyatakan bahwa kandungan itu tidak mewarisi kecuali bila dia dilahirkan
dalam batas waktu satu tahun sejak tanggal kematian atau perceraian antara
ayahnya dan ibunya.
Termuat dalam fasal-fasal 42, 43, dan 44 sebagai berikut :
Fasal 42: Ditahan demi kandungan harta peninggalan si mayit yaitu dua
bagian maksimal menurut perkiraan bahwa yang dilahirkan itu laki-laki atau
perempuan.
Fasal 43: Bila seorang laki-laki mati dengan meninggalkan isterinya yang
sedang 'iddah, maka kandungannya tidak dapat mewarisi kecuali bila dia
dilahirkan dalam keadaan hidup, dan masa kelahiran maksimal 365 hari
dari tanggal kematian atau perceraian. Kandungan tidak mewarisi selain
ayahnya, kecuali dalam dua keadaan berikut :
1 Bila dia dilahirkan dalam keadaan hidup dalam batas waktu maksimal 365
hari dari tanggal kematian atau perceraian, bila ibunya ber'iddah karena
kematian atau perceraian, dan orang yang mewariskan mati di tengah 'iddah.
2 Bila dia dilahirkan dalam keadaan hidup dalam batas waktu maksimal 270
hari dari tanggal kematian orang yang mewariskan, jika dia lahir dari
perkawinan yang masih utuh di saat kematian.
Fasal 44: Apabila yang ditahan untuk kandungan itu kurang dari hak yang
semestinya diterima, maka ahli waris yang mendapatkan bagian wajib
mengembalikan sisanya untuk sang janin. Dan bila yang ditahan untuk
kandungan itu lebih darihak yang semestinya diterima, maka kelebihan itu
dikembalikan kepada ahli waris yang berhak meneriman

C. Pusaka orang khunsa

Pengertian al-khuntsa (banci) dalam bahasa Arab diambil dari kata


khanatsa berarti 'lunak' atau 'melunak'. Misalnya, khanatsa wa takhannatsa,
yang berarti apabila ucapan atau cara jalan seorang laki-laki menyerupai
wanita: lembut dan melenggak-lenggok. Karenanya dalam hadits sahih
dikisahkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:

"Allah SWT melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang
menyerupai laki-laki."

Adapun makna khanatsa menurut para fuqaha adalah orang yang


mempunyai alat kelamin laki-laki dan kelamin wanita (hermaphrodit), atau
bahkan tidak mempunyai alat kelamin sama sekali. Keadaan yang kedua ini
menurut para fuqaha dinamakan khuntsa musykil, artinya tidak ada
kejelasan. Sebab, setiap insan seharusnya mempunyai alat kelamin yang
jelas, bila tidak berkelamin laki-laki berarti berkelamin perempuan.

Kejelasan jenis kelamin seseorang akan mempertegas status hukumnya


sehingga ia berhak menerima harta waris sesuai bagiannya.

Oleh karena itu, adanya dua jenis kelamin pada seseorang --atau bahkan
sama sekali tidak ada-- -disebut sebagai musykil. Keadaan ini
membingungkan karena tidak ada kejelasan, kendatipun dalam keadaan
tertentu kemusykilan tersebut dapat diatasi, misalnya dengan mencari tahu
dari mana ia membuang "air kecil". Bila urinenya keluar dari penis, maka ia
divonis sebagai laki-laki dan mendapatkan hak waris sebagaimana kaum
laki-laki. Sedangkan jika ia mengeluarkan urine dari vagina, ia divonis
sebagai wanita dan memperoleh hak waris sebagai kaum wanita. Namun,
bila ia mengeluarkan urine dari kedua alat kelaminnya (penis dan vagina)
secara berbarengan, maka inilah yang dinyatakan sebagai khuntsa munsykil.
Dan ia akan tetap musykil hingga datang masa akil baligh.

Di samping melalui cara tersebut, dapat juga dilakukan dengan cara


mengamati pertumbuhan badannya, atau mengenali tanda-tanda khusus
yang lazim sebagai pembeda antara laki-laki dengan perempuan. Misalnya,
bagaimana cara ia bermimpi dewasa (maksudnya mimpi dengan
mengeluarkan air mani, penj.), apakah ia tumbuh kumis, apakah tumbuh
payudaranya, apakah ia haid atau hamil, dan sebagainya. Bila tanda-tanda
tersebut tetap tidak tampak, maka ia divonis sebagai khuntsa musykil.

Dikisahkan bahwa Amir bin adz-Dzarb dikenal sebagai seorang yang bijak
pada masa jahiliah. Suatu ketika ia dikunjungi kaumnya yang mengadukan
suatu peristiwa, bahwa ada seorang wanita melahirkan anak dengan dua
jenis kelamin. Amir kemudian memvonisnya sebagai laki-laki dan
perempuan.

Mendengar jawaban yang kurang memuaskan itu orang-orang Arab


meninggalkannya, dan tidak menerima vonis tersebut. Amir pun menjadi
gelisah dan tidak tidur sepanjang malam karena memikirkannya. Melihat
sang majikan gelisah, budak wanita yang dimiliki Amir dan dikenal sangat
cerdik menanyakan sebab-sebab yang menggelisahkan majikannya.
Akhirnya Amir memberitahukan persoalan tersebut kepada budaknya, dan
budak wanita itu berkata: "Cabutlah keputusan tadi, dan vonislah dengan
cara melihat dari mana keluar air seninya."

Amir merasa puas dengan gagasan tersebut. Maka dengan segera ia


menemui kaumnya untuk mengganti vonis yang telah dijatuhkannya. Ia
berkata: "Wahai kaumku, lihatlah jalan keluarnya air seni. Bila keluar dari
penis, maka ia sebagai laki-laki; tetapi bila keluar dari vagina, ia dinyatakan
sebagai perempuan." Ternyata vonis ini diterima secara aklamasi.

Ketika Islam datang, dikukuhkanlah vonis tersebut. Diriwayatkan dari Ibnu


Abbas r.a. bahwa Rasulullah saw. ketika ditanya tentang hak waris
seseorang yang dalam keadaan demikian, maka beliau menjawab dengan
sabdanya: "Lihatlah dari tempat keluarnya air seni."

Perbedaan Ulama Mengenai Hak Waris Banci


Ada tiga pendapat yang masyhur di kalangan ulama mengenai pemberian
hak waris kepada banci musykil ini:

1. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa hak waris banci adalah yang


paling (lebih) sedikit bagiannya di antara keadaannya sebagai laki-
laki atau wanita. Dan ini merupakan salah satu pendapat Imam
Syafi'i serta pendapat mayoritas sahabat.
2. Mazhab Maliki berpendapat, pemberian hak waris kepada para banci
hendaklah tengah-tengah di antara kedua bagiannya. Maksudnya,
mula-mula permasalahannya dibuat dalam dua keadaan, kemudian
disatukan dan dibagi menjadi dua, maka hasilnya menjadi
hak/bagian banci.
3. Mazhab Syafi'i berpendapat, bagian setiap ahli waris dan banci
diberikan dalam jumlah yang paling sedikit. Karena pembagian
seperti ini lebih meyakinkan bagi tiap-tiap ahli waris. Sedangkan
sisanya (dari harta waris yang ada) untuk sementara tidak dibagikan
kepada masing-masing ahli waris hingga telah nyata keadaan yang
semestinya. Inilah pendapat yang dianggap paling rajih (kuat) di
kalangan mazhab Syafi'i.

Hukum Banci dan Cara Pembagian Warisnya

Untuk banci --menurut pendapat yang paling rajih-- hak waris yang
diberikan kepadanya hendaklah yang paling sedikit di antara dua
keadaannya --keadaan bila ia sebagai laki-laki dan sebagai wanita.
Kemudian untuk sementara sisa harta waris yang menjadi haknya dibekukan
sampai statusnya menjadi jelas, atau sampai ada kesepakatan tertentu di
antara ahli waris, atau sampai banci itu meninggal hingga bagiannya
berpindah kepada ahli warisnya.

Makna pemberian hak banci dengan bagian paling sedikit menurut kalangan
fuqaha mawarits mu'amalah bil adhar-- yaitu jika banci dinilai sebagai
wanita bagiannya lebih sedikit, maka hak waris yang diberikan kepadanya
adalah hak waris wanita; dan bila dinilai sebagai laki-laki dan bagiannya
ternyata lebih sedikit, maka divonis sebagai laki-laki. Bahkan, bila ternyata
dalam keadaan di antara kedua status harus ditiadakan haknya, maka
diputuskan bahwa banci tidak mendapatkan hak waris.

Bahkan dalam mazhab Imam Syafi'i, bila dalam suatu keadaan salah
seorang dari ahli waris gugur haknya dikarenakan adanya banci dalam salah
satu dari dua status (yakni sebagai laki-laki atau wanita), maka gugurlah hak
warisnya.
Beberapa Contoh Amaliah Hak Waris Banci

1. Seseorang wafat dan meninggalkan seorang anak laki-laki, seorang anak


perempuan, dan seorang anak banci. Bila anak banci ini dianggap sebagai
anak laki-laki, maka pokok masalahnya dari lima (5), sedangkan bila
dianggap sebagai wanita maka pokok masalahnya dari empat (4). Kemudian
kita menyatukan (al-jami'ah) antara dua masalah, seperti dalam masalah al-
munasakhat. Bagian anak laki-laki adalah delapan (8), sedangkan bagian
anak perempuan empat (4), dan bagian anak banci lima (5). Sisa harta waris
yaitu tiga (3) kita bekukan untuk sementara hingga keadaannya secara nyata
telah terbukti.

2. Seseorang wafat meninggalkan seorang suami, ibu, dan saudara laki-laki


banci. Pokok masalahnya dari enam (6) bila banci itu dikategorikan sebagai
wanita, kemudian di-'aul-kan menjadi delapan (8). Sedangkan bila sang
banci dianggap sebagai laki-laki, maka pokok masalahnya dari enam (6)
tanpa harus di- 'aul-kan. Dan al-jami'ah (penyatuan) dari keduanya,
menjadilah pokok masalahnya dua puluh empat (24).

Sedangkan pembagiannya seperti berikut: suami sembilan (9) bagian, ibu


enam (6) bagian, saudara laki-laki banci tiga (3) bagian, dan sisanya kita
bekukan. Inilah tabelnya:

6 8 6 24

3 3 9
Suami 1/2 Suami 1/2

2 2 6
Ibu 1/3 Ibu 1/3

3 1 4
Banci Banci kandung

Pada tabel tersebut sisa harta yang ada yaitu lima (5) bagian dibekukan
sementara, dan akan dibagikan kembali ketika keadaan yang sebenamya
telah benar-benar jelas.

3. Seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung perempuan,


dan saudara laki-laki seayah banci. Maka pembagiannya seperti berikut:

Bila banci ini dikategorikan sebagai laki-laki, maka pokok masalahnya dua
(2), sedangkan bila dikategorikan sebagai perempuan maka pokok
masalahnya dari tujuh (7), dan penyatuan dari keduanya menjadi empat
belas (14).

Bagian suami enam (6), saudara kandung perempuan enam (6) bagian,
sedangkan yang banci tidak diberikan haknya. Adapun sisanya, yakni dua
(2) bagian dibekukan. Ini tabelnya:

2 6 7 14

1 3 6
Suami 1/2 Suami 1/2

1 3 6
Sdr. kdg. pr. 1/2 Sdr. kdg. pr. 1/2

- 1 -
Banci lk. Sdr. pr. seayah 1/6

SUMBER RUJUKAN
1. Muhammad Ali As-Sabuni, Al-Mawaris fi asy-syari’atil Islam,
Makkah, tt
2. Abdullah Siddik, Hukum Waris Islam, Widjaya, Jakarta, 1984
3. Dian Khairul Umam, Fiqih mawaris, Pustaka Setia, Bandung, 1999
4. Fatchur rahman, Ilmu waris, PT. Al-Ma’arif, Bandung, m1975
5. Komite Fakultas Syari’ah Universitas Al-Azhar, Mesir, Hkum
Waris, SenayanAbadi Publising, Jakarta, 2004
6. Abd al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Mazahib al-arba’ah, Darusl
Hadis, Kairo, 2004
7. Sayi Sabiq, Fiqh al-Sunnah
8. Ibnu Rusy, Bidayatul Mujtahid.
9. Wahbah al-Zuhaili, Fiqhul Islam wa adillatuh, darul Fikri, Mesir,
2002
10. Qamaruddin Saleh, Ayat-ayat larangan dan perintah dalam al-
Qur’an, Diponogoro, Bandung, 2004.
11. Amir Syarifuddin: Hukum Kewarisan Islam, Kencana, Jakarta, 2008

Anda mungkin juga menyukai