MAWARIS
Disusun Oleh:
Drs. Tgk. H. Asnawi Abdullah, MA
PENDAHULUAN
Perjalanan hidup seseorang di dunia ini yang di mulai dari lahir,
hidup berkembang dan diakhiri oleh kematian akan membawa pengaruh dan
akibat hukum kepada lingkungannya, terutama kepada orang dekat
dengannya, baik karena hubungan kekeluargaan maupun lainnya. Dan
selama hidup manusia menanggung hak dan kewajiban, baik sebagai
pribadi, anggota keluarga, masyarakat, dan sebagai seorang muslim yang
harus tunduk, taat, dan patuh kepada ketentuansyari’at dalaam seluruh
totalitas kehidupannya. Demikian juga dengan kematian yang membawa
pengaruh dan akibathukum kepada diri, keluarga, masyarakat dan
lingkungan sekitarnya. Disamping itu kematian menimbulkan kewajiban
orang lain kepada dirinya, terutama yang berhubungan dengan pengurusaan
janazahnya, seperti memandikannya, menyalatinya, menguburkannya yang
kita kenal dengan kewajiban kifayah tentang pengurusaan janazah. Dan
timbul pula akibat hukum lain yaang terjadi secara otomatis yang yang
berkaitan dengan hak ahli waris terhadap seluruh harta peninggaalannya.
Setelah diselesaikan hal-hal lain yanag berkaitan dengan hak tirkah
seseorang yang meninggaal dunia.
Adanya kematian seseorang mengakibatkan timbulnya akibat hukum
yang menyangkut bagaimana cara pengoperan atau penyelesaaian harta
peninggalaannya kepada ahli warisnya yang dalam hukum islam dikenal
dengan Hukum waris, atau ilmu mawaris, atau figh mawaris atau ilmu
faraidh. Jadi dengan meninggalnya seseorang terjadilah prosespewarisan
atau pemindahan dan pengoperan harta kekayaan seseorang yang telah
meninggal dunia. Masalah ini sangat penting karena erat sekali kaitannya
dengan ruang lingkup kehidupan manusia. Dan dalam islam sejak kematian
seseorang saat itu pula semua harta benda miliknya beralih kepada ahli
warisnya yang masih hidup.
Islam mengatur tentang hak ahli waris di dalam Al-qur’an dengan
sangat rinci, mengingat masalah pengalihan harta orang meninggal rentang
sekali untuk potensi penyimpangan dan ketidak adilan dalam membaginya
diantara ahli waris itu sendiri, siapa yang lebih kuat akan menguasai lebih
banyak, dan yang lemah akan mendapat lebih sedikit. Hal tersebut karena
pada manusia dalam kehidupan ini sebagaai makhluk hidup memiliki naluri
untuk mempertahankan hidup dan naluri untuk melanjutkan hidup. Untuk
terpenuhinya dua naluri tersebut, Allah menciptakan dalaam diri manusia
dua nafsu, yaitu nafsu makan dan nafsu syahwat, maka dari sinilah muncul
kecenderungaan manusia untuk mendaapaatkaan dan memiliki harta dan
memerlukan lawan jenisnya untuk menyalurkan nafsu syahwatnya. Sebagai
makhluk yang berakal manusia memerlukan sesuatu untuk mempertahankan
dan meningkatkan daya akalnya, dan sebagai manusia yang beragama
manusia memerlukan sesuatu untuk dapat mempertahankan dan
menyempurnakan agamanya, dengan demikian sebagai syarat untuk
keseimbangan hidup manusia harus memiliki lima hal yang sangat prinsip
yaitu agama, akal, jiwa, harta dan keturunan yang dalam bahasa lain disebut
dengan dharuriyat al-khamsah.
Nafsu yang ada dalam diri manusia merupakan sunnatullah, namun
di dalam surat Yusuf ayat 53, Allah mengingatkan bahwa nafsu itu
cenderung ke arah keburukan. Nafsu aapabila tidak dokontrol dan
dikendalikan dapat menimbulkan pertumpahan darah di atas permukaan
bumi ini, untuk mengendalikan itulah maka berbagai aturan dan ketentuan
hukum ditetapkan oleh Allah. Dan diantara aturan yang mengatur hubungan
manusia dengan sesama manusia yang ditetaapkan Allah adalah aturan
tentang harta warisan, yaitu harta dan pemilikan yang timbul sebagai akibat
dari kematian seseorang, kemana beralih pemilikannya, siapa yang berhak
menerimanya, berapa jumlah dan bagaimana cara mendapatkannya.
Aturan warisan yang ditetapkan Allah di dalam Al-Qur’an, pada
dasarnya ketentuan Allah yang sangat jelas maksud dan arahnya, dan hal-hal
yang masih memerlukan penjelasan, baik yang bersifat menegaskan maupun
yang bersifat merinci, dijelaskan oleh Rasulullah melalui hadisnya.
Walaupun demikian, penerapannyamasih menimbulkan pemikiran dan
ijtihad yang terus dikembangkan oleh mujtahid dan ilmuan yang kemudian
dirumuskan dalam bentuk ajaran yang bersifat normatif, dan aturan tersebut
kemudian ditulis dan dibukukan dalam lembaraan kitab-kitab fikih serta
menjadi menjadi pedoman bagi kaum muslimin dalam menyelesaikan
permasalahan kewarisan tersebut.Dan dengan berpijak pada aturan Allah,
maka umat Islam terpelihara dari memakan harta secara bathil, jauh dari
terjadi keributan dalam keluarga yang diakibatkan oleh hartawarisan serta
terwujudnya keadilab yang sempurna dalam pembagian harta warisan.
Amin...
BAB SATU
PENDAHULUAN
[1] Maksudnya: orang-orang mukmin itu mencintai nabi mereka lebih dari
mencintai diri mereka sendiri dalam segala urusan.
[2] yang dimaksud dengan berbuat baik disini ialah berwasiat yang tidak
lebih dari sepertiga harta.
Sebab mempusakai yang dikhususkan anak laki-laki dewasa lagi kuat
berjuang, dinasahkan oleh firman Allah surat an-Nisa’ ayat 7
Artinya: Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-
bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari
harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bahagian yang Telah ditetapkan.
Pusaka mempusakai berdasarkan adopsi dibatalkan oleh Firman Allah
surat al-Ahzab ayat 4 dan 5:
Artinya: Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati
dalam rongganya; dan dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar
itu sebagai ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai
anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu
dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang Sebenarnya dan dia
menunjukkan jalan (yang benar).
Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-
bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak
mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai)
saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu dan tidak ada dosa
atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya)
apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.
3. Sebab-sebab mempusakai setelah ayat-ayat Mawaris.
Adapun yang dimaksud dengan sebab-sebab adanya pewarisan adalah
sesuatu yang mewajibkan adanya hak mewarisi, dan sebab mewarisi itu
adalah:
a. Kekerabatan, yaitu hubungan nasab antara orang yang mewariskan
dengan orang yang mewarisi, hal ini didasarkan pada ayat-ayat
tersebut di atas.
b. Pernikahan, yaitu dengan sebab sudah menjadi suami isteri dengan
adanya akad nikah yang sah walaupun belum adanya hubungan
intim antara keduanya. Hal ini sesuai dengan kandungan ayat 12
surat an-Nisak di atas.
Talak Raji’i yang belum habis iddahnya tidak menjadi penghalang
mewarisi, karena isteri dalam talak raji’i masih dapat ruju’, dan ia
masih dihitung suami isteri.
c. Wala’ atau pemerdekaan Budak. Hal ini didasarkan pada hadis
Rasulullah dalam perkara Barirah r.a. ”Hak Wala’ itu hanya bagi
orang yang telah memerdekakan budaknya (Mutafaq alaih).
d. Baital mal, dalam hal Baitalmal menjadi salah satu sebab
mewarisi, para ahli fikih berbeda pendapat; pertama dapat
mewarisi secara mutlak, baik yang terorganisir maupun tidak,
dengan alasan kaum muslimin dibebani kewajiban membarar diyat
untuk saudaranya yang tidak mempunyai karabat, maka kedudukan
mereka bagaikan asabah dalam lingkungan karabat. Pendapat ini
dipegang oleh kalangan Malikiyah dan Imam Syafi’i dalam qaul
qadimnya. Kedua Baitulmal dapat menjadi ahli waris jika
terorganisir, dan bukan untuk kemaslahatan sosial tetapi untuk
diwarisi oleh kaum muslimin secara ushubah. Pendapat ini
dikemukakan oleh Imam Syafi’i dalam qaul jadidnya, orang
syafi’iyah dan Malikiyah yang berpegang pada pendapat ini
beralasan pada Sabda Rasulullah ”Aku adalah ahli waris orang
yang tidak mempunyai ahli waris, aku dapat membayar dendanya
dan mewarinya” Ketiga, Baitulmal bukan penyebab mewarisi. Ini
pendapat kalangan Hanafiyah dan Hambaliyah, merelka beralasan
pada firman Allah surat al-Anfal ayat 75 :
.e
Artinya : Dan orang-orang yang beriman sesudah itu Kemudian berhijrah
serta berjihad bersamamu Maka orang-orang itu termasuk golonganmu
(juga). orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya
lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam
Kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
E. Peninggalan (tirkah)
Peninggalan (tirkah) adalah harta yang ditinggalkan oleh mayit (orang
yang mati) secara mutlak. Yang demikian itu ditetapkan oleh Ibnu Hazm,
katanya: Sesungguhnya Allah telah mewajibkan warisan kepada harta,
bukan yang lain, yang ditinggalkan oleh manusia sesudah dia mati. Adapun
hak-hak, maka ia tidak diwariskan kecuali yang mengikuti harta atau dalam
pengertian harta, misalnya hak pakai, hak penghormatan, hak tinggal di
tanah yang dimonopoli untuk bangunan dan tanaman. Menurut mazhab
Maliki, Syafi'i dan Hambali, peninggalan si mayit, baik hak harta benda
maupun hak bukan harta benda.
Adapun hak-hak yang berhubungan dengan harta peninggalan itu ada
empat. Keempatnya tidak sama kedudukannya, sebagiannya ada yang lebih
kuat dari yang lain sehingga ia didahulukan atas yang lain untuk dikeluarkan
dari peninggalan.
Hak-hak tersebut menurut tertib berikut :
- Biaya mengkafani dan memperlengkapinya menurut cara yang telah diatur
dalam masalah jenazah
- Melunasi hutangnya. Ibnu Hazm dan Asy-Syafi'i mendahulukan hutang
kepada Allah seperti zakat dan kifarat, atas hutang kepada manusia.
Orang-orang Hanafi menggugurkan hutang kepada Allah dengan adanya
kematian. Dengan demikian maka hutang kepada Allah itu tidak wajib
dibayar oleh ahli waris kecuali apabila mereka secara sukarela
membayarnya, atau diwasiatkan oleh mayit untuk dibayarnya. Dengan
diwasiatkannya hutang, maka hutang itu menjadi seperti wasiat kepada
orang lain yang dikeluarkan oleh ahli waris atau pemelihara dari
sepertiga yang tersisa setelah perawatan mayat dan hutang kepada
manusia. Ini bila dia mempunyai ahli waris. Apabila dia tidak mempunyai
ahli waris, maka wasiat hutang itu dikeluarkan dari seluruh harta.
Orang-orang Hambali mempersamakan antara hutang kepada Allah dengan
hutang kepada manusia. Demikian pula mereka sepakat bahwa hutang
hamba yang bersifat 'aini (hutang yang berhubungan dengan harta
peninggalan) itu didahulukan atas hutang muthlak.
- Pelaksanaan wasiat dari sepertiga sisa harta semuanya sesudah hutang
dibayar.
Bagi Masyarakat muslim Indonesia, disamping kewajiban yang telah
disebutkan di atas, perlu juga diperhatikan harta bersama suami isteri, yang
dalam masyarakat Aceh disebut dengan harta seuhareukat, masalah ini harus
diselesaikan lebih dahulu sebelum harta warisan dibagikan kepada ahli
waris, dan barulah sisa dari itu semuanya yang disebut dengan maurus atau
harta pusaka dan dibagikan kepada ahli waris.
BAB DUA
PRINSIP DAN DASAR WARIS MEWARISI
A. Rukun dan syarat dalam pewarisan
Ada tiga rukun dalam pewarisan:
1. Adanya pewaris (al-waarits) ialah orang yang mempunyai hubungan
penyebab kewarisan dengan mayit sehingga dia memperoleh kewarisan.
2. Orang yang mewariskan (al-muwarrits): ialah mayit itu sendiri, baik
nyata maupun dinyatakan mati secara hukum, seperti orang yang
hilang dan dinyatakan mati.
3. Harta yang diwariskan (al-mauruuts): disebut pula peninggalan dan
warisan. Yaitu harta atau hak yang dipindahkan dari yang mewariskan
kepada pewaris
Adapun Syarat dalam pewarisan itu ada tiga pula:
1. Kematian orang yang mewariskan, baik kematian secara nyata ataupun
kematian secara hukum, misalnya seorang hakim memutuskan kematian
seseorang yang hilang. Keputusan tersebut menjadikan orang yang
hilang sebagai orang yang mati secara hahiki, atau mati menurut dugaan
seperti seseoran memukul seorang perempuan yang hamil sehingga
janinnya gugur dalam keadaan mati; maka janin yang gugur itu
dianggap hidup sekalipun hidupnya itu belum nyata.
2. Pewaris itu hidup setelah orang yang mewariskan mati, meskipun
hidupnya itu secara hukum, misalnya kandungan. Kandungan secara
hukum dianggap hidup, karena mungkin ruhnya belum ditiupkan.
Apabila tidak diketahui bahwa pewaris itu hidup sesudah orang yang
mewariskan mati, seperti karena tenggelam atau terbakar atau tertimbun;
maka di antara mereka itu tidak ada waris mewarisi jika mereka itu
termasuk orang-orang yang saling mewaris. Dan harta masing- masing
mereka itu dibagikan kepada ahli waris yang masih hidup.
3. Bila tidak ada penghalang yang menghalangi pewarisan.
B. Penghalang Dalam Kewarisan
Adapun yang menjadi penghalang untuk mendapat warisan adalah
seseorang yang menjadi ahli waris, akan tetapi ia kehilangan hak
memporoleh warisan karena ada suatu sifat tertentu dan mereka disebut
mahrum, penghalang ini yang disepakati para ulama ada tiga :
1. Perbudakan: Baik orang itu menjadi budak dengan sempurna atau tidak.
2. Pembunuhan dengan sengaja yang diharamkan. Apabila pewaris
membunuh orang yang mewariskan dengan cara zhalim, maka dia
tidak lagi mewarisi, karena hadits Nabi saw bersabda : "Orang yang
membunuh itu tidak mendapatkan warisan sedikitpun".
Adapun pembunuhan yang tidak disengaja, maka para ulama berbeda
pendapat di dalamnya. Berkata Asy-Syafi'i: Setiap pembunuhan
menghalangi pewarisan, sekalipun pembunuhan itu dilakukan oleh
anak kecil atau orang gila, dan sekalipun dengan cara yang benar
seperti had atau qishash. Mazhab Maliki berkata: Sesungguhnya
pembunuhan yang menghalangi pewarisan itu adalah pembunuhan yang
sengaja bermusuhan, baik langsung ataupun mengalami perantaraan.
Undang-undang Warisan Mesir mengambil pendapat ini dalam pasal
lima belas, yang bunyinya :
"Di antara penyebab yang menghalangi pewarisan ialah membunuh orang
yang mewariskan dengan sengaja, baik pembunuh itu pelaku utama,
serikat, ataupun saksi palsu yang kesaksiannya mengakibatkan hukum
bunuh dan pelaksanaannya bagi orang yang mewariskan, jika
pembunuhan itu pembunuhan yang tidak benar atau tidak beralasan;
sedang pembunuh itu orang yang berakal dan sudah berumur lima belas
tahun; kecuali kalau dia melakukan hak membela diri yang sah.
3. Berlainan Agama
Dengan demikian seorang muslim tidak mewarisi dari orang kafir, dan
seorang
kafir tidak mewarisi dari seorang muslim; karena hadits yang
diriwayatkan oleh empat orang ahli hadits, dari Usamah bin Zaid,
bahwa Nabi saw bersabda: "Seorang muslim tidak mewarisi dari
seorang kafir, seorang kafirpun tidak mewarisi dari seorang muslim".
Diriwayatkan oleh Mu'adz, Mu'awiyah, Ibnul Musayyab, Masruq dan
An-Nakha'i, bahwa sesungguhnya seorang muslim itu mewarisi dari
seorang kafir; dan tidak sebaliknya. Yang demikian itu seperti halnya
seorang muslim laki-laki boleh menikah dengan seorang kafir
perempuan dan seorang kafir laki-laki tidak boleh menikah dengan
seorang muslim perem-puan. Adapun orang-orang yang bukan muslim,
maka sebagian mereka mewarisi sebagian yang lain, karena mereka
dianggap satu agama.
B. Ahli Waris
1. Tertib kelompok ahli Ahli Waris
Kelompok Orang-orang yang berhak menerima warisan, menurut
Muhammad Ali As-Shabuni tersusun sebagai berikut :
a. Ashhaabul Furuudh
b. 'Ashabah Nasabiyah
c. Radd kepada Ashhaabul Furuudh
d. Dzawul Arhaam
e. Radd kepada salah seorang suami isteri
f. ’Asabah Sababiyah
g. Orang yang menerima wasiat melebihi sepertiga harta peninggalan atau
semua harta
h. Baitul Maal
Adapun urutan orang-orang yang berhak menerima warisan menurut
kitab Undang- undang warisan yang berlaku di Mesir adalah sebagai
berikut:
a. Ashhaabul Furuudh
b. 'Ashabah Nasabiyah
c. Rodd kepada Ashhaabul Furuudh
d. Dzawul Arhaam
e. Rad ada salah seorang suami-isteri
f. habah Sababiyah
g. ang yang diakukan nasabnya kepada orang lain
h. ng yang menerima wasiat semua harta peninggalan
i. Baitu Mal
2. Jumlah Ahli waris.
Ahli waris dari kalangan laki-laki secara rinci ada 15 orang yaitu sebagai
berikut:
a. Anak laki-laki
b. Cucu laki-laki dari anak laki-laki
c. Ayah
d. Kakek (ayahnya ayah) terus ke atas
e. Saudara laki-laki seayah seibu (syakek)
f. Saudara laki-laki seayah
g. Saudara laki-laki seibu
h. Anak laki-lakinya sudara seayah seibu
i. Anak laki-lakinya saudara seayah
j. Saudara laki-lakinya ayah sekandung (paman)
k. Saudara laki-lakinya ayah seayah (paman seayah)
l. Anak laki-lakinya paman sekandung
m. Anak laki-lakinya paman seayah
n. Suami
o. Orang laki-laki yang memerdekakannya
Dari ayat di atas jelaslah bahwa bagi isteri itu ada dua ketentuan :
Ketentuan Pertama:
Hak memperoleh bagian seperempat bagi isteri terjadi bila tidak ada
keturunan yang mewarisi, baik keturunan itu dari dirinya ataupun dari orang
lain.
Ketentuan Kedua :
Hak memperoleh bagian seperdelapan terjadi bila ada keturunan yang
mewarisi. Apabila isteri itu berbilang, maka bagi mereka berbagi rata dari
seperempat atau seperdelapan bagian. Isteri yang ditalak (diceraikan)
dengan talak raj'ie itu mewarisi dari suaminya apabila suami mati sebelum
habis masa iddahnya. Orang-orang Hambali berpendapat bahwa isteri yang
ditalak sebelum dicampuri oleh suami yang mentalaknya di waktu sakit
yang menyebabkan kematian, kalau suami mati karenasakit, sedang isteri
belum menikah lagi, maka isteri itu mendapat warisan. Demikian pula bila
isteri yang ditalak yang telah dicampuri oleh suami yang mentalaknya,
selama dia belum menikah lagi, dan berada dalam masa 'iddah karena
kematian suami.
Undang-undang yang baru menganggap bahwa isteri yang ditalak bain
dalam keadaan suami sakit yang menyebabkan kematian, maka dia dihukum
sebagai isteri, jika dia tidak rela ditalak dan suami yang mentalak mati
karena penyakit, sedang dia masih berada dalam masa 'iddahnya
f. Anak Perempuan Yang Shulbiyah
Allah SWT berfirman :
"Allah mensyari'atkan bagimu tentang pembagian harta pusaka untuk anak-
anakmu.Yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan dua bagian anak
perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka
bagi mereka duapertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan
itu seorang saja, maka dia memperoleh seperdua harta" (An-Nisaa' 12).
Ayat di atas menunjukkan bahwa anak perempuan yang shulbiyah
mempunyai tiga ketentuan:
Ketentuan Pertama:
Dia mendapatkan bagian seperdua, apabila anak perempuan itu hanya
seorang diri.
Ketentuan Kedua :
Bagian duapertiga untuk dua orang anak perempuan atau lebih, bila tidak
ada seorang anak laki-laki atau lebih. Berkata Ibnu Qudamah: Ahli ilmu
telah sepakat bahwa fardh (bagian) dari dua orang anak perempuan adalah
duapertiga, kecuali satu riwayat syadz dari Ibnu 'Abbas. Berkata Ibnu
Rusyd: Telah dikatakan bahwa pendapat yang masyhur dari Ibnu 'Abbas itu
seperti pendapat jumhur.
Ketentuan Ketiga :
Mewaris secata ta'shib. Bila dia disertai oleh seorang anak laki-laki
ataulebih banyak, maka cara memperoleh warisannya dengan jalan ta'shib;
di dalam ta'shib bagian seorang laki-laki dua kali bagian seorang
perempuan. Denikian pula bila yang laki-laki dan perempuan itu kedua-
duannya banyak.
g. Saudara Perempuan (Seibu sebapak, Sebapak dan Seibu)
Allah SWT berfirman:
"Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah
memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal
dunia, dan dia tidak mempunyai anak dan mepunyai saudara perempuan,
maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang
ditinggalkannya, dan saudara yang laki-laki mempusakai (seluruh harta
saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak; akan tetapi jika
saudara perempuan itu dua orang; maka bagi keduanya dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris
itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian
seorang saudara laki-laki sebanyak dua bagian saudara perempuan" (An-
Nisa 176).
Rosululloh saw bersabda :
"Jadikanlah saudara-saudara perempuan dan anak-anak perempuan itu satu
'ashobah"
Bagi saudara perempuan sekandung ada lima ketentuan : 0 mmm
1 Separuh bagi seorang saudara perempuan sekandung bila dia tidak disertai
anak laki-laki, anak laki-laki dari anak laki-laki, ayah, kakek, dan
saudara laki- laki sekandung.
2 Dua pertiga bagi dua orang saudara perempuan sekandung atau lebih bila
tidak ada laki-laki.
3 Apabila saudara-saudara perempuan itu hanya disertai oleh saudara laki-
laki sekandung dan orang-orang yang telah dikemukakan di atas tidak ada,
maka saudara-saudara perempuan sekandung itu di'ashobahkan; sehingga
bagian dari seorang laki-laki adalah dua kali bagian seorang perempuan.
4 Saudara-saudara perempuan sekandung menjadi 'ashobah bersama dengan
anak-anak perempuan atau anak-anak perempuan dari anak-anak laki-
laki, sehingga mereka mengambil sisa harta sesudah bagian anak-anak
perempuan atau anak-anak perempuan dari anak-anak laki-laki.
5 Saudara-saudara perempuan sekandung itu gugur dengan adanya
keturunan laki- laki yang mewarisi, seperti anak laki-laki, dan anak laki-
laki dari anak laki- laki, serta pokok (yang menurunkan) laki-laki yang
mewarisi, seperti ayah menurut kesepakatan - da kakek - menurut Abu
Hanifah -. Pendapat Abu Hanifah ini berbeda dengan pendapat Abu
Yusuf dan Muhammad; dan perbedaan itu telah dikemukakan pada
pembicarann yang lalu.
Bagi perempuan seayah ada enam ketentuan :
1 Separuh, bila dia sendirian, tidak ada saudara perempuan seayah lainnya,
tidak ada saudara perempuan yang sekandung.
2 Dua pertiga, untuk dua orang saudara perempuan seayah atau lebih.
3 Seperenam, bila dia hanya bersama dengan saudara perempuan yang
sekandung,
sebagai penyempurnaan dua pertiga.
4 Mewarisi secara ta'shib bersama orang lain, bila bersamanya (seorang atau
lebih) terdapat seorang anak perempuan atau anak perempuan dari anak
laki- laki. Nereka mendapatkan sisa sesudah bagian anak perempuan atau
anak perempuan dari anak laki-laki.
5 Mereka gugur dengan adanya orang-orang berikut :
a. Pokok atau cabang laki-laki yang mewarisi.
b. Saudara laki-laki sekandung.
c. Saudara perempuan sekandung, bila menjadi 'ashobah oleh sebab anak
perempuan atau anak perempuan dari anak laki-laki, sebab saudara
perempuan sekandung dalam hal itu menduduki tempat saudara laki-
laki sekandung. Oleh sebab itu maka dia didahulukan atas saudara laki-
laki seayah dan saudara perempuan seayah, ketika dia menjadi
'ashobah oleh sebab orang lain.
d. Dua orang saudara perempuan sekandung, kecuali bila bersama mereka
terdapat
6 saudara lelaki seayah, maka mereka di'ashobahkan, sehingga sisanya
dibagi: untuk laki-laki adalah duan bagian seorang perempuan.
Apabila mayit meninggalkan dua orang saudara perempuan sekandung,
saudara-saudara perempuan seauayh dan seorang saudara laki-laki seayah,
maka dua orang saudara perempuan sekandung itu mendapat duapertiga,
dan sisanya dibagi antara saudara-saudara perempuan seayah dan saudara
laki-laki seayah dengan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan.
h. Cucu Perempuan dari anak Laki-laki
Bagi anak-anak perempuan dari anak laki-laki ada lima ketentuan:
1 Separuh, bila anak perempuan dari anak laki-laki itu sendiri saja dan tidak
ada anak laki-laki shulbi.
2 Duaperiga bagi dua orang atau lebih anak perempuan dari anak laki-laki,
bila tidak ada anak laki-laki shulbi.
3 Seperenam bagi seorang atau lebih anak perempuan dari anak laki-laki
bila ber-samanya terdapat anak perempuan shulbiyah sebagai
penyempurnaan duapertiga; kecuali bila bersama mereka terdapat seorang
anak laki-laki yang sederajat dengan mereka (cucu laki-laki), maka
mereka di'ashobahkan; dan sisanya sesudah bagian anak perempuan
shulbiyah, dibagikan: untuk lelaki dua bagian perempuan.
4 Mereka tidak mewarisi bila ada anak laki-laki.
5 Mereka tidak mewarisi bila ada dua orang anak perempuan sulbiyah atau
lebih, kecuali bila bersama didapatkan seorang anak laki-laki dari anak
laki-laki yang sederajat dengan mereka (cucu laki-laki) atau lebih rendah
dari mereka, maka mereka di'ashobahkan
i. Ibu
Allah SWT berfirman :
"Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari
harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal mempunyai anak, jika yang
meninggalkan itu tidak mempunyai anak, dan dia diwarisi oleh ibu-
bapaknya saja, maka ibunya mendapapatkan sepertiga. (An-Nisaa' ayat 10).
Bagi ibu itu ada tiga ketentuan :
1 Mendapatkan seperenam, bila dia bersama dengan anak laki-laki atau
seorang anak laki-laki dari anak laki-laki, atau dua orang saudara laki-laki
atau saudara perempuan secara muthlak, baik mereka itu dari fihak ayah
dan ibu, fihak ayah saja ataupun fihak ibu saja.
2 Mendapat sepertiga dari semua harta peninggalan, bila tidak didapatkan
seorangpun dari yang telah dikemukakan (dalam no. 1).
3 Mengambil sepertiga dari sisa harta bila tidak ada orang-orang yang telah
disebutkan tadi sesudah bagian seorang suami-isteri. Yang demikian itu
terdapat dalam dua masalah yang dinamakan gharraiyyah, yaitu :
Pertama: Bila si mayit meninggalkan suami dan dua orang tua.
Kedua : Bila si mayit meninggalkan isteri dan dua orang tua.
n. Nenek
"Dari Qubaishah bin Dzuaib, dia berkata: Seorang nenek telah datang
menghadap Abu Bakr, lalu dia menanyakan tentang warisannya. Abu Bakr
menjawab: "Engkau tidak mempunyai hak sedikitpun menurut Kitab Allah
dan aku tidak tahu sedikitpun berapa hakmu di dalam sunnah Rosululloh
saw. Maka pulanglah engkau sampai aku menanyakan kepada seseorang".
Kemudian Abu Bakr menanyakan kepada para shahabat. Al-Mughiroh bin
Syu'bah menjawab: "Aku pernah menyaksikan Rosululloh saw memberikan
kepada nenek seperenam fardh". Abu Bakr bertanya: "Apakah ada orang
lain bersamamu?" Maka berdirilah Muhammad bin Maslamah al-Anshori,
mengatakan seperti apa yang dikatakan Al-Mughiroh bin Syu'bah. Maka
Abu Bakrpun memberikan seperenam fardh kepada si nenek. Berkata
Qubaishah: Kemudian datanglah seorang nenek yang lain kepada 'Umar,
menanyakan warisannya. 'Umar menjawab: "Engkau tidak mempunyai hak
sedikitpun menurut kitab Allah, akan tetapi seperenam itulah. Oleh sebab
itu, jika kamu berdua, maka seperenam itupun untuk kamu berdua. Siapa
saja diantara kamu berdua yang sendirian, maka seperenam itu untuknya".
(HR lima orang ahli hadits kecuali An-Nasai, dishahihkan At-Tirmidzi)
Bagi nenek yang shahihah (=nenek yang nasabnya dengan si mayit tidak
diselingi oleh kakek yang fasid. Kakek yang fasid ialah kakek yang
nasabnya dengan si mayit diselingi oleh perempuan , seperti ayah dari ibu)
ada tiga ketentuan :
1 Seperenam bila dia sendirian, dan bila lebih dari satu, maka berserikat di
dalam seperenam itu, dengan syarat sama derajatnya seperti ibu dari ibu
dan ibu dari ayah.
2 Nenek yang dekat dari jihat manapun menghalangi nenek yang jauh,
seperti ibu dari ibu (nenek) menghalangi ibu dari ibu dari ibu (buyut) dan
menghalangi juga ibu dari ayah dari ayah.
3 Nenek dari jihat manapun gugur dengan adanya ibu; dan nenek dari jihat
ayah gugur dengan adanya ayah, akan tetapi adanya ayah tidak
menggugurkan nenek dari fihak ibu. Kakek menghalangi ibunya (buyut)
sebab ibu kakek gugur haknya karena adanya kakek
Untuk lebih mudak tentang furudh-furudh dan syarat-syaratnya
masing-masing dapat dilihat dalam tabel berikut:
Furudhul Muqaddarah
Dan Orang-orang yang menerimanya
1. Yang Mendapat 2/3 Harta Warisan
Ahli Waris Syarat-Syaratnya
1.Dua orang atau lebih anak Si Mayit tidak meninggalkan anak
perempua laki-laki
2.Dua orang atau lebih cucu Si mayit tidak meninggalkan :
perempuan dari anak laki-laki a. Anak
b. Cucu laki-laki dari anak laki-
laki
3.Dua orang atau lebih saudara Si mayit tidak meninggalkan:
perempuan seibu sebapak a. Anak
b. Cucu
c. Bapak
d. Kakek
e. Saudara laki-laki seibu
sebapak
Hijab Mahjub
Adapula ahli waris yang tidak bisa terhijab oleh ahli waris yang lainnya,
yaitu anak laki-laki dan anak perempuan.
Uraian ahli waris yang dapat hijab adalah sebagai berikut :
Cara pentashihan yang biasa dilakukan para ulama faraid seperti berikut:
langkah pertama, melihat bagian setiap ahli waris dan jumlah per kepalanya.
Bila jumlah per kepala setelah dibagi cocok dan pas dengan jumlah bagian
setiap ahli waris yang berhak untuk menerimanya, maka inilah yang
sempurna dan sangat diharapkan. Namun, bila jumlah per kepalanya jauh
lebih sedikit dari jumlah bagian ahli waris yang ada --jumlah pokok
masalahnya sudah habis, tetapi ada ahli waris yang belum mendapat
bagian-- maka kita harus melihat apakah ada kecocokan di antara kedua hal
itu ataukah tidak. Bila ada kesesuaian antara bagian tiap ahli waris dengan
jumlah per kepalanya, maka setiap anak berhak mendapat bagian sesuai
dengan jumlah per kepalanya, dengan cara mengalikan jumlah per kepala
dengan pokok masalah atau dengan meng-'aul-kannya. (Misalnya, empat
anak perempuan, dan bagiannya 2/3 dari 6, berarti 4, maka ada kesamaan.
Sebab setiap anak mendapat bagian satu).
Adapun bila terjadi mubayaanah (ada selisih) maka kalikan jumlah per
kepalanya dengan pokok masalah atau dengan meng-'aul-kannya, maka
hasil dari perkalian itu yang menjadi pokok masalah sebenamya. Inilah yang
disebut "pentashihan pokok masalah" oleh kalangan ulama faraid.
Untuk lebih memperjelas masalah ini, perlu saya kemukakan contoh kasus
sehingga pembaca dapat lebih memahaminya.
Contoh amaliah tentang pentashihan pokok masalah
Seseorang wafat dan meninggalkan empat anak perempuan, ibu, ayah, dan
tiga cucu perempuan keturunan anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti
berikut: pokok masalahnya dari enam (6). Bagian keempat anak perempuan
ialah dua per tiga (2/3) berarti empat (4) bagian. Sang ayah seperenam
berarti satu bagian, dan sang ibu juga seperenam berarti satu bagian.
Sedangkan tiga cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki tidak
mendapat bagian (mahjub karena anak pewaris lebih dari dua orang, penj.).
Dalam contoh tersebut kita lihat jumlah anak perempuan ada empat (4), dan
bagian yang mereka peroleh juga empat. Karena itu tidak lagi memerlukan
pentashihan pokok masalah, sebab bagian yang mesti dibagikan kepada
mereka (keempat anak perempuan itu) tidak lagi memerlukan pecahan-
pecahan. Sehingga dalam pembagiannya akan dengan pas dan mudah, setiap
anak menerima satu bagian.
Contoh lain yang at-tamaatsul. Seseorang wafat dan meninggalkan ibu, dua
saudara perempuan seibu, dan empat saudara kandung perempuan. Maka
pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari enam (6), kemudian
di-'aul-kan menjadi tujuh (7). Bagian ibu seperenam (1/6) berarti satu
bagian, kemudian bagian kedua saudara perempuan seibu sepertiga (1/3)
berarti dua bagian, sedangkan bagian keempat saudara kandung perempuan
adalah dua per tiga (2/3) yang berarti empat (4) bagian.
Bila kita perhatikan baik-baik contoh ini, kita lihat bahwa pokok
masalahnya tidak memerlukan pentashihan. Sebab jumlah per kepalanya
sesuai dengan jumlah yang dibagikan. Bagi kedua saudara perempuan seibu
dua bagian, maka tiap orang mendapat satu bagian. Bagi keempat saudara
kandung perempuan empat bagian, maka setiap orang mendapat satu bagian.
Berarti kesesuaian pembagian tersebut tidak memerlukan pentashihan pokok
masalah. Dengan demikian, tahulah kita bahwa contoh masalah tersebut
cenderung (bernisbat) pada at-tamaatsul.
Kita lihat dalam contoh di atas ada at-tawaafuq antara jumlah per kepala
anak perempuan dengan jumlah bagian yang mereka peroleh, yaitu dua (2).
Angka dua itulah yang menurut istilah ulama faraid sebagai bagian dari
bagian juz'us sahm kemudian bagian dari bagian itu dikalikan dengan pokok
masalah, yakni angka enam (6). Maka 2 x 6 = 12. Itulah tashih pokok
masalah.
Dalam contoh di atas kita lihat ada tawaafuq antara jumlah bagian yang
diterima para saudara kandung perempuan dengan jumlah per kepala
mereka, yaitu dua (2). Kemudian kita ambil separo jumlah per kepala
mereka, berarti tiga (3), dan kita kalikan dengan pokok masalah setelah
di-'aul-kan yakni angka sembilan (9), berarti 3 x 9 = 27. Hasil dari perkalian
itulah yang akhirnya menjadi pentashihan pokok masalah. Setelah
pentashihan, maka pembagiannya seperti berikut: suami mendapat sembilan
bagian (9), keenam saudara kandung perempuan mendapat dua belas bagian,
dan kedua saudara laki-laki seibu mendapat enam bagian (9 + 12 + 6 = 27).
3
12 36
3 9
Suami ¼
6 18
Anak perempuan ½
2 6
Tiga cucu perempuan keturunan anak laki-laki 1/6
1 3
Saudara kandung laki-laki ('ashabah)
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri, lima anak perempuan,
ayah, ibu, dan saudara kandung laki-laki. Maka bagian masing-masing
seperti berikut: pokok masalahnya dari 24, kemudian di-'aul-kan menjadi
27. Bagian istri 1/8 = 3, kelima anak perempuan mendapat bagian 2/3 yang
berarti 16, ayah memperoleh 1/6 berarti 4, dan ibu mendapat 1/6 yang
berarti 4, sedangkan bagian saudara kandung laki-laki mahjub (terhalang).
Inilah tabelnya:
27 135
24
3 15
Istri 1/8
16 80
Lima anak perempuan 2/3
4 20
Ayah 1/6
4 20
Ibu 1/6
- -
Saudara kandung laki-laki (mahjub)
Dalam tabel tersebut kita lihat bahwa bagian kelima anak perempuan tidak
bisa dibagi oleh jumlah per kepala mereka. Karenanya di antara keduanya
ada tabaayun (perbedaan). Kemudian kita kalikan pokok masalahnya setelah
di-'aul-kan (yakni 27) dengan jumlah per kepala mereka, yakni 27 x 5 = 135.
Angka itu merupakan pokok masalah setelah pentashihan. Dan angka lima
(5) itulah yang dinamakan juz'us sahm.
Misal lain, seorang wafat dan meninggalkan tiga orang istri, tujuh anak
perempuan, dua orang nenek, empat saudara kandung laki-laki, dan saudara
laki-laki seibu. Pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari 24. Ketiga istri mendapat 1/8 = 3. Tujuh anak
perempuan mendapat 2/3-nya = 16, kedua nenek 1/6-nya = 4, dan empat
saudara kandung laki-laki (sisanya) yaitu 1 sebagai 'ashabah, sedangkan
saudara seibu mahjub. Perhatikan tabel berikut:
28
24 672
3 84
3 istri bagiannya 1/8
16 448
7 anak perempuan 2/3
4 112
2 orang nenek 1/6
1 28
saudara kandung laki-laki ('ashabah)
- -
Saudara laki-lah seibu (mahjub
Dalam tabel tersebut kita lihat bahwa bagian anak perempuan (16) dengan
jumlah per kepala mereka (7) ada perbedaan (tabaayun), begitu juga dengan
bagian keempat saudara kandung yang hanya satu bagian, dan jumlah per
kepala mereka ada perbedaan (tabaayun). Untuk mentashih pokok masalah
dari contoh ini, kita kalikan jumlah per kepala anak perempuan (yakni 7)
dengan jumlah per kepala saudara kandung (yakni 4), berarti 7 x 4 = 28.
Angka tersebut (yakni 28) merupakan juz'us sahm. Kemudian juz'us sahm
tersebut kita kalikan dengan pokok masalahnya (28 x 24 = 672) hasilnya
itulah yang menjadi pokok masalah setelah pentashihan. Pentashihan seperti
ini dapat diterapkan dalam contoh-contoh yang lain.
Cara pertama: kita ketahui nilai (harga) setiap bagiannya, kemudian kita
kalikan dengan jumlah bagian tiap-tiap ahli waris. Maka hasilnya
merupakan bagian masing-masing ahli waris.
Cara kedua: kita ketahui terlebih dahulu bagian setiap ahli waris secara
menyeluruh. Hal ini kita lakukan dengan cara mengalikan bagian tiap-tiap
ahli waris dengan jumlah (nilai) harta peninggalan yang ada, kemudian kita
bagi dengan angka pokok masalahnya atau tashihnya. Maka hasilnya
merupakan bagian dari masing-masing ahli waris.
Seseorang wafat dan meninggalkan istri, anak perempuan, ayah, dan ibu.
Sedangkan harta peninggalannya sebanyak 480 dinar, maka pembagiannya
seperti berikut:
Pokok masalahnya dari 24, istri mendapatkan 1/8 yang berarti 3 bagian,
anak perempuan 1/2 berarti 12 bagian, ibu mendapatkan 1/6 berarti 4
bagian, sedangkan sisanya (yakni 5 bagian) merupakan hak ayah sebagai
'ashabah.
Adapun nilai (harga) per bagiannya didapat dari hasil pembagi harta waris
yang ada (480 dinar) dibagi pokok masalah (24), berarti 480: 24 = 20 dinar
adalah harga per bagian.
x =
Jadi, bagian istri 3 bagian 20 dinar 60 dinar
x =
Anak perempuan 12 bagian 20 dinar 240 dinar
x =
Ibu 4 bagian 20 dinar 80 dinar
x =
Ayah ('ashabah) 5 bagian 20 dinar 100 dinar
=
Total 480 dinar
2
12 24
1/2 6 12
24 Cucu perempuan keturunan anak laki-laki
1/4 3 6
Suami ¼
1/6 2 4
Ibu 1/6
1 2
2 saudara perempuan kandung ('ashabah ma'al ghair)
Adapun nilai per bagian; 960 dinar: 24 = 40 dinar. Jadi, bagian masing-
masing ahli waris:
x =
Jadi, Cucu pr. keturunan anak laki-laki 12 40 dinar 480 dinar
x =
Suami 6 40 dinar 240 dinar
x =
Ibu 4 40 dinar 160 dinar
x =
Dua saudara kandung perempuan 2 40 dinar 80 dinar
=
Total 960 dinar
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan empat anak perempuan, dua
anak laki-laki, ayah, ibu, dan tiga saudara kandung laki-laki, dan harta
peninggalannya 3.000 dinar. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok
masalahnya dari 6 kemudian ditashih menjadi 12. Sang ayah mendapatkan
1/6 berarti 2 bagian, ibu mendapatkan 1/6 berarti 2 bagian, dan sisanya
dibagikan kepada enam (6) anak, dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali
lipat bagian perempuan, berarti bagian anak perempuan 4 bagian (masing-
masing satu bagian), sedangkan bagian anak laki-laki juga 4 bagian
(masing-masing 2 bagian), sedangkan saudara kandung laki-laki mahjub.
Simak tabel berikut:
2
6 12
4 4
Empat anak perempuan
3 4
Dua anak laki-laki
1/6 1 2
Ayah
1/6 1 2
Ibu
- -
Tiga saudara kandung laki-laki (mahjub)
x =
Jadi, Jadi bagian 4 anak perempuan 4 250 dinar 1.000 dinar
x =
dua anak laki-laki 4 250 dinar 1.000 dinar
x =
Ibu 2 250 dinar 500 dinar
x =
Ayah 2 250 dinar 500 dinar
=
Total 3.000 dinar
6 9
½ 3
Suami
½ 3
Saudara kandung perempuan
1/3 2
Saudara laki-laki seibu
1/6 1
Nenek
x =
Jadi, Suami 3 1.100 dinar 3.300 dinar
x =
Saudara perempuan kandung 3 1.100 dinar 3.300 dinar
x =
Dua saudara laki-laki seibu 2 1.100 dinar 2.200 dinar
x =
Nenek 1 1.100 dinar 2.200 dinar
=
Total 9.000 dinar
Bila seseorang wafat dan meninggalkan suami, ibu, dua anak perempuan, 3
cucu perempuan keturunan anak laki-laki, satu cucu laki-laki dari keturunan
anak laki-laki, sedangkan harta yang ditinggalkan sejumlah 585 dinar, maka
pembagiannya seperti berikut:
Sedangkan kedudukan para cucu dalam hal ini sebagai 'ashabah, sehingga
mereka tidak memperoleh bagian karena harta waris telah habis dibagikan
kepada ashhabul furudh. Perhatikan tabel berikut:
12 13
¼ 3
Suami
1/6 2
Ibu
2/3 8
Dua anak perempuan
x =
Jadi, Suami 3 585:13 dinar 135 dinar
x =
Ibu 2 585:13 dinar 90 dinar
x =
Dua anak perempuan 8 585:13 dinar 360 dinar
=
Total 585 dinar
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan dua saudara kandung, cucu
perempuan keturunan anak laki-laki, ibu, suami, sedangkan harta warisnya
berjumlah 240 dinar. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok
masalahnya dari 12 kemudian ditashih menjadi 24, cucu perempuan
keturunan anak laki-laki mendapatkan 1/2 (berarti 12 bagian), ibu
mendapatkan 1/6 (berarti 4 bagian), suami mendapatkan 1/4 (berarti 6
bagian), dan dua saudara kandung 2 bagian sebagai 'ashabah.
12 24
1/2 6 12
Cucu pr. ket. anak laki-laki
1/6 2 4
Ibu
1/4 3 6
Suami
1 2
Dua saudara kandung ('ashabah)
x =
Cucu pr. ket. anak laki-laki 12 240:24 dinar 120 dinar
x =
Ibu 4 240:24 dinar 40 dinar
x =
Suami 6 240:24 dinar 60 dinar
x =
Dua saudara kandung ('ashabah) 2 240:24 dinar 20 dinar
=
Total 240 dinar
Misal lain, seseorang wafat dan meninggalkan ibu, dua saudara kandung
perempuan, saudara perempuan seayah, saudara laki-laki seayah, dan cucu
perempuan keturunan anak laki-laki. Sedangkan harta peninggalan sebanyak
1.500 dinar. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 6,
ibu mendapatkan 1/6 (berarti satu bagian), cucu perempuan 1/2 (berarti 3
bagian), dan sisanya --dua bagian-- menjadi hak kedua saudara perempuan
kandung sebagai 'ashabah. Sedangkan ahli waris yang lain ter- mahjub.
Inilah tabelnya:
1/6 1
Ibu
1/2 3
Cucu pr. ket. anak laki-laki
2
Dua saudara kandung pr. ('ashabah)
Ada dua masalah yang dikenal oleh kalangan ulama faraid, yakni istilah ad-
dinariyah ash-shughra dan ad-dinariyah al-kubra. Ad-dinariyah ash-shughra
memiliki pengertian seluruh ahli warisnya terdiri atas kaum wanita, dan
setiap ahli waris hanya menerima satu dinar.
Contoh masalahnya, seseorang wafat dan meninggalkan tiga (3) orang istri,
dua (2) orang nenek, delapan (8) saudara perempuan seayah, dan empat (4)
saudara perempuan seibu. Harta peninggalannya: 17 dinar. Adapun
pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 12 kemudian di-'aul-
kan menjadi 17. Tiga orang istri mendapatkan 1/4 (berarti 3 bagian), dua
orang nenek mendapatkan 1/6 (berarti 2 bagian), kedelapan saudara
perempuan seayah mendapatkan 2/3 (berarti 8 bagian), sedangkan keempat
saudara perempuan seibu mendapatkan 1/3 (berarti 4 bagian). Jumlah harta
peninggalannya ada 17 dinar, jumlah bagian seluruh ahli warisnya pun 17,
dengan demikian masing-masing mendapat satu dinar. Maka kasus seperti
ini disebut ad-dinariyah ash-shughra. Berikut ini tabelnya:
12 17
1/4 3
Ke-3 istri masing-masing 1 bagian = 1 dinar
1/6 2
Kedua nenek masing-masing 1 bagian = 1 dinar
2/3 8
Ke-8 sdr. pr. seayah masing-masing 1 bagian = 1 dinar
1/3 4
Ke-4 sdr. pr. seibu masing-masing 1 bagian = 1 dinar
x =
Jadi, bagian Istri 3 600:24 dinar 75 dinar
x =
Ibu 4 600:24 dinar 100 dinar
x =
Kedua anak perempuan 16 600:24 dinar 400 dinar
=
Total 575 dinar
25
24 600
1/8 3 75
Istri
1/6 4 100
Ibu
2/3 16 100
Kedua anak perempuan
1 24
12 saudara kandung laki-laki 1
1 saudara kandung perempuan ('ashabah)
E. Asabah
'Ashobah adalah jamak dari 'aashib, seperti halnya tholabah adalah
jamak dari thoolib. 'Ashabah ini ialah anak turun dan kerabat seorang lelaki
dari fihak ayah. Mereka dinamakan 'ashobah karena kuatnya ikatan antara
sebagian mereka dengan sebagian yang lain. Kata 'ashobah ini diambil dari
ucapan mereka: "Ashobal qoumu bi fulaan",bila mereka bersekutu dengan si
fulan. Maka anak laki-laki adalah satu fihak dari 'ashobah, dan ayah adalah
fihak lain; saudara laki-laki adalah satu segi dari 'ashobah sedangkan paman
(dari fihak ayah) adalah sisi yang lain.
Yang dimaksud dengan 'ashobah disini ialah mereka yang mendapatkan
sisa sesudah Ashhaabul Furuudh mengambil bagian-bagian yang ditentukan
bagi mereka. Apabila tidak ada sisa sedikitpun dari mereka (ashhaabul
furuudh), maka mereka ('ashobah) tidak mendapatkan apa-apa, kecuali bila
'ashib itu seorang anak laki-laki maka dia tidak akan mendapatkan bagian,
bagaimanapun keadaannya.
Dinamakan 'ashobah juga mereka yang berhak atas semua peninggalan
bila tidak didapatkan seorangpun di antara ashhaabul furuudh, karena hadits
yang diriwayatkan oleh Al-Bukhori dan Muslim, dari Ibnu 'Abbas, bahwa
Nabi saw bersabda:"Berikanlah bagian-bagian yang telah ditentukan itu
kepada pemiliknya yang berhak menurut nash; dan apa yang tersisa maka
berikanlah kepada 'ashobah laki-laki yang terdekat kepada si mayit".
Dari Abu Hurairoh ra, bahwa Nabi saw bersabda: "Tidak ada bagi seorang
mukminkecuali aku lebih berhak atasnya dalam urusan dunia dan
akhiratnya. Bacalah bila kamu suka: "Nabi itu lebih utama bagi orang-orang
mukmin daripada diri mereka sendiri." Oleh sebab itu, siapa saja orang
mukmin yang mati dan meninggalkan harta, maka harta itu diwariskan
kepada 'ashobahnya, siapapun mereka itu adanya.
Dan barang siapa ditinggali hutang atau beban keluarga oleh si mayit, maka
hendaklah dia datang kepadaku, karena akulah maulanya.
PEMBAGIAN 'ASHOBAH
'Ashobah itu dibagi menjadi dua bagian :
1 'Ashobah Nasabiyah,
2 'Ashobah Sababiyah.
ASHOBAH NASABIYAH
'Ashobah Nasabiyah ada tiga golongan :
1 'Ashobah binafsih
2 'Ashobah bighoirih
3 'Ashobah ma'aghoirih.
ASHOBAH BINAFSIH
'Ashobah binafsih ialah semua orang laki-laki yang nasabnya dengan si
mayit tidak diselingi oleh perempuan. 'Ashobah binafsih ada empat
golongan:
1 Bunuwwah (keanakan), dianamakan juz-ul mayyit.
2 Ubuwwah (keayahan), dinamakan ashlul mayyit.
3 Ukhuwwah (kesaudaraan), dinamakan juz-u abiih.
4 Umumah (kepamanan), dinamakan juz-ul jadd.
'ASHOBAH BIGHOIRIH
'Ashobah bighoirih adalah perempuan yang bagiannya separuh dalam
keadaan sendirian, dan duapertiga bila bersama dengan saudara
perempuannya atau lebih. Apabila bersama perempuan atau perempuan-
perempuan itu terdapat seorang saudara laki-laki, maka di saat itu mereka
semuanya menjadi 'Ashobah dengan adanyasaudara laki-laki tersebut.
Perempuan-perempuan yang menjadi 'Ashobah bighoirih ada empat :
1 Seorang anak perempuan atau anak-anak perempuan,
2 Seorang anak perempuan atau anak-anak perempuan dari anak laki-laki,
3 Seorang saudara perempuan atau saudara-saudara perempuan sekandung,
4 Seorang saudara perempuan atau saudara-saudara perempuan seayah.
Setiap golongan dari keempat golongan ini menjadi 'Ashobah bersama
orang lain, yaitu saudara laki-laki. Pewarisan diantara mereka adalah laki-
laki mendapat dua bagian perempuan.
Perempuan-perempuan yang tidak mendapatkan bagian (fardh) bila tidak
ada saudara laki-lakinya yang 'ashib (menjadi 'ashobah) itu tidak menjadi
'ashobah bighoirih di saat adanya saudara laki-laki. Sebab seandainya
seseorang itu mati sedang dia meninggalkan seorang paman atau bibi (dari
fihak ayah), maka semua hartanya itu untuk paman, sedang bibi tidak
mendapatkan dan tidak menjadi 'ashobah bersama saudara laki-lakinya;
sebab bibi itu tidak mendapatkan bagian bila tidak bersama saudara laki-
lakinya. Demikian pula anak laki-laki dari saudara laki-laki bersama anak
perempuan dari saudara lelaki.
'ASHOBAH MA'AGHOIRIH
'Ashobah ma'aghoirih ialah setiap perempuan yang memerlukan
perempuan lain untuk menjadi 'Ashobah. 'Ashobah ma'aghoirih ini terbatas
hanya pada dua golongan dari perempuan, yaitu :
1 Saudara perempuan sekandung atau saudara-saudara perempuan
sekandung bersama dengan anak perempuan atau anak perempuan dari
anak laki-laki.
2 Saudara perempuan seayah atau saudara-saudara perempuan seayah
bersama dengan anak perempuan atau anak perempuan dari anak laki-laki;
mereka mendapatkan sisa peninggalan sesudah furudh.
CARA PEWARISAN 'ASHOBAH BINAFSIH
Pada fasal terdahulu telah dikemukakan cara pewarisan untuk 'ashobah
bighoirih dan 'ashobah ma'aghoirih. Adapun cara pewarisan 'ashobah
binafsih, maka akan kami jelaskan sebagai berikut :
'Ashobah binafsih ada empat golongan, dan mewarisi menurut tertib
berikut:
1 Bunuwwah meliputi anak-anak laki-laki dan anak laki-laki dari anak laki-
laki danseterusnya ke bawah.
2 Bila jihat bunuwwah tidak didapatkan, maka peninggalan atau sisanya itu
berpindah ke jihat ubuwwah yang meliputi ayah dan kakek shahih
seterusnya keatas.
3 Bila tidak ada seorangpun dari jihat ubuwwah, maka peninggalan atau
sisanyaberpindah ke ukhuwwah. Ukhuwwah ini meliputu saudara-saudara
laki-laki sekandung, saudara-saudara laki-laki seayah, anak laki-laki dari
saudara laki-laki sekandung, anak-anak laki-laki dari saudara laki-laki
seayah, dan seterusnya ke bawah.
4 Bila tidak ada seorang pun dari jihat ukhuwwah, maka peninggalan atau
sisanya berpindah ke jihat 'umumah tanpa ada perbedaan antara 'umumah
si mayit itu sendiri dengan 'umumah ayahnya atau 'umumah kakeknya;
hanya saja 'umumah si mayit didahulukan atas 'umumah ayahnya, dan
'umumah ayahnya didahulukan atas 'umumah kakeknya, dan begitu
seterusnya.
Bila didapatkan sejumlah orang dari satu tingkatan, maka yang paling
berhak untuk mendapatkan warisan adalah mereka yang paling dekat
kepada si mayit.
Bila terdapat sejumlah orang yang sama hubungan nasabnya dengan si
mayit dari segi jihat dan derajat, maka yang paling berhak mendapatkan
warisan adalah mereka yang paling kuat hubungan kekerabatannya dengan
si mayit.
Apabila mayit meninggalkan sejumlah orang yang sama nasab mereka
kepada dirinya dari segi jihat, derajat dan kekuatan, hubungan, maka mereka
sama-sama berhak untuk mendapatkan warisan sesuai dengan kepala
mereka. Inilah makna dari ucapan fuqoha: "Sesungguhnya pendahuluan di
dalam 'ashobah binafsih adalah dengan jihat. Bila jihatnya sama, maka
dengan derajat. Bila derajatnya sama, maka dengan kekuatan hubungan.
Bila mereka sama dalam jihat, derajat dan kekuatan hubungan, maka
mereka sama-sama berhak untuk mendapatkan warisan dan peninggalan itu
dibagi rata diantara mereka menurut jumlah mereka.
'ASHOBAH SABABIYAH
'Ashib Sababi adalah maula (tuan) yang memerdekakan. Bila orang yang
memerdekakan tidak ada, maka warisan itu bagi 'ashobahnya yang laki-laki.
F. Hijab dan Mahjub
1. Definisi
Hajbu menurut bahasa berarti man'u: menghalangi, mencegah.
Maksudnya adalah terhalangnya seseorang tertentu dari semua atau sebagian
warisannya karena adanya orang lain.
Hirman ialah terhalangnya seseorang tertentu dari warisannya karena
terjadi penghalang pewarisan, seperti membunuh dan lain-lainnya.
2. Pembagian Hajb
Hajbu ada dua macam yaitu Hajbu Nuqshoon, dan Hajbu Hirman
Hajbu Nuqshon ialah berkurangnya warisan salah seorang ahli waris
karena adanya orang lain. Hajbu Nuqshon ini terjadi pada lima orang :
a. Suami terhalang dari separuh menjadi seperempat di waktu ada anak laki-
laki.
b. Isteri terhalang dari seperempat menjadi seperdelapan di waktu ada anak
lelaki
c. Ibu terhalang dari sepertig menjadi seperenam di waktu ada keturunan
yang mewarisi.
d. Anak perempuan dari anak laki-laki.
e. Saudara perempuan seayah.
Adapun Hajbu Hirman adalah terhalangnya semua warisan bagi
seseorang karena adanya orang lain, seperti terhalangnya warisan bagi
saudara laki-laki di waktu adanya anak laki-laki. Hajbu Hirman ini tidak
termasuk ke dalam warisan dari enam orang pewaris, sekalipun mereka bisa
terhalang oleh Hajbu nuqshon.
Mereka itu adalah :
1 & 2 Kedua orang tua, yaitu ayah dan ibu,
3 & 4 Kedua orang anak, yaitu anak laki-laki dan anak perempuan ,
5 & 6 Dua orang suami-isteri.
Hajbu Hirman itu masuk ke dalam ahli waris selain dari keenam ahli
waris tersebut di atas.
Hajbu Hirman ditegakkan atas dua asas:
1 Bahwa setiap orang mempunyai hubungan dengan si mayit karena adanya
orang lain itu, dia tidak mewarisi bila orang tersebut itu ada. Misalnya
anak laki-laki dari anak laki-laki itu tidak mewarisi bersama dengan
adanya anak laki-laki, kecuali anak-anak laki-laki dari ibu, maka mereka
itu mewarisi bersama mereka ibu, padahal mereka mempunyai hubungan
dengan si mayit karena dia.
2 Orang yang lebih dekat itu didahulukan atas orang yang lebih jauh, maka
anak laki-laki menghalangi anak laki-laki dari saudara laki-laki. Apabila
mereka sama dalam derajat, maka ditarjih (diseleksi) dengan kekuatan
hubungan kekerabatannya, sperti saudara laki-laki sekandung
menghalangi saudara laki-laki seayah.
G. Perbedaan Antara Mahrum Dan Mahjub
Perbedaan antara mahrum dan mahjub itu kelihatan jelas dalam dua hal
berikut
1 Mahrum sama sekali tidak berhak untuk mewarisi, seperti orang yang
membunuh (orang yang mewariskan). Sedang mahjub itu berhak
mendapatkan warisan, akan tetapi dia terhalang karena adanya orang lain
yang lebih utama darinya untuk endapatkan warisan.
2 Orang yang mahrum dari warisan itu tidak mempengaruhi orang lain,
maka dia tidak menghalanginya sama sekali, bahkan dia dianggap seperti
tidak ada saja. Misalnya bila seseorang mati dan meninggalkan seorang
anak laki-laki kafir dan seorang saudara laki-laki muslim; maka warisan
itu semua adalah bagi saudara laki-laki, sedang anak laki-laki tidak
mendapatkan apa-apa. Adapun orang yang mahjub (terhalang), maka
terkadang dia mempengaruhi orang lain, dia menghijabnya baik dengan
Hajbu hirman ataupun hajbu Nuqshon. Misalnya, dua tahu lebih saudara-
saudara laki-laki bersama dengan adanya ayah
dan ibu. Keduanya (saudara laki-laki) tidak mewarisi karena adanya ayah;
dan keduanya (ayah dan saudara laki-laki) menghijab ibu dari menerima
sepertiga menjadi seperenam.
BAB TIGA
PENYELESAIAN MASALAH ’AUL DAN RAD
A. 'Aul
1. Definisi
'Aul menurut bahasa berarti irtifa': mengangkat. Dikatakan 'aalal miizaan
bila timbangan itu naik, terangkat. Kata 'aul ini terkadang berarti cenderung
epada perbuatan aniaya (curang). Arti ini ditunjukkan dalam firman Allah
SWT:"Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya
(ta'uuluu)" S. An-Nisaa' ayat 3).
Menurut para fuqoha, 'aul ialah bertambahnya saham dzawul furudh dan
kurangnya kadar penerimaan warisan mereka. Diriwayatkan bahwa
faridhah (pembagian) harta pertama yang mengalami 'aul di dalam Islam itu
diajukan kepada 'Umar ra. Maka dia memutuskan dengan 'aul pada suami
dan dua orang saudara perempuan. Dia be kata kepada para sahabat yang
ada di sisinya:"Jika aku mulai memberikan kepada suami atau dua orang
saudara perempuan, maka idak ada hak yang sempurna bagi yang lain.
Maka berilah aku pertimbangan. Maka Abbas bin 'Abdul Mutholib pun
memberikan pertimbangan kepadanya dengan aul.dikatakan pula bahwa
yang memberikan pertimbangan itu ialah 'Ali. Sementara yang mengatakan
bahwa yang memberikan pertimbangan ialah Zaid bin Tsabit.
2. Contoh-Contoh Masalah 'Aul
a. Telah mati seorang perempuan dengan meninggalkan seorang suami, dua
orang saudara perempuan sekandung, dua orang saudara perempuan seibu
dan ibu. Masalah demikian dianamakan masalah Syuraihiyyah, sebab si
suami itu mencaci-maki Syuraih, hakim yang terkenal itu, dimana si suami
diberi bagian tiga persepuluh. Lalu dia mengelilingi kabilah-kabilah sambil
mengatakan: "Syuraihtidak memberikan kepadaku separuh dan tidak pula
sepertiga." Ketika Syuraihmengetahui hal itu, dia memanggilnya untuk
menghadap, dan memberikan hukumanta'zir kepadanya. Kata Syuraih:
"Engkau buruk bicara, dan menyembunyikan 'aul."
b. Seorang suami talah mati, sedang dia meninggalkan seorang isteri, dua
orang anak perempuan, seorang ayah, dan seorang Ibu. Masalah ini
dinamakan masalah mimbariyyah, sebab Sayyidina 'Ali ra tengah berada di
atas mimbar di Kufah, dan dia mengatakan di dalam khutbahnya: "Segala
puji bagi Allah yang telah memutuskan dengan kebenaran secara pasti, dan
membalas setiap orang dengan apa yang diausahakan, dan kepada-Nya
tempat berpulang dan kembali," lalu beliau ditanya tentang masalah itu,
maka beliau menjawab di tengah-tengah khutbahnya: "Dan isteri itu,
seperdelapan menjadi sepersembilan," kemudian beliau
melanjutkankhutbahnya.
Masalah-masalah yang dimasuki oleh Allah itu ialah masalah-masalah
yang pokok (ashal)-nya : 6 - 12 - 24.
Enam terkadang ddibesarkan menjadi tujuh, atau delapan, atau sembilan,
atau sepuluh. Dan duabelas dibesarkan menjadi tiga belas, lima belas, atau
tujuh belas. Dan dua puluh empat tidak dibesarkan kecuali menjadi dua
puluh tujuh.
Masalah-masalah yang tidak dimasuki Allah sama sekali ialah masalah-
masalah yang pokok (ashal)-nya: 2, 3, 4, 8.
Undang-undang Warisan Mesir menetapkan Allah pada fasal lima belas,
dan nashnya sebagai berikut: "Apabila bagian-bagian ashhaabul furuudh
melebihi harta peninggalan, maka harta peninggalan itu dibagi di antara
mereka menurut perbandingan bagian-bagian mereka di dalam pewarisan."
B. Radd
Kata radd berarti i'aadah: mengembalikan. Dikatakan rodda 'alaihi
haqqohartinya a'aadahu ilaih: dia mengembalikan haknya kepadanya. Dan
kata radd jugabearti sharf: memulangkan kembali. Dikatakan rodda 'anhu
kaida 'aduwwih: dia memulangkan kembali tipu muslihat musuhnya.
Yang dimaksud radd menurut para fuqoha ialah pengembalian apa yang
tersisadari bagian dzawul furudh nasabiyah kepada mereka sesuai dengan
besar kecilnyabgian mereka bila tidak ada orang lain yang berhak untuk
menerimanya.
Rukunnya.
Radd tidak akan terjadi kecuali bila ada tiga rukun:
1 Adanya ashhaabul furuudh,
2 Adanya sisa peninggalan,
3 Tidak adanya ahli waris 'ashobah.
Pendapat Para Ulama Tentang Radd
Tidak ada nash yang menjadi rujukan masalah radd; oleh sebab itu para
ulama berselisih pendapat tentang radd ini.
Di antara mereka ada yang berpendapat tentang tidak adanya radd
terhadap seorang pun di antara ashhaabul furuudh; dan sisa harta sesudah
ashhaabul furuudh mengambil furudh (bagian-bagian) mereka itu
diserahkan kepada baitulmalbila tidak ada ahli waris 'ashobah.
Ada pula yang berpendapat tentang adanya radd bagi ashhaabul furuudh,
bahkansampai pada suami-isteri menurut kadar bagian masing-masing.
Sedang pendapat lain adalah radd itu diberikan kepada semua ashhaabul
furuudh, kecuali suami-isteri, ayah dan kakek.
Maka radd diberikan kepada delapan golongan sebagai berikut:
1 Anak perempuan
2 Anak perempuan dari anak laki-laki
3 Saudara perempuan sekandung
4 Saudara perempuan seayah
5 Ibu
6 Nenek
7 Saudara laki-laki seibu
8 Saudara perempuan seibu.
Pendapat inilah pendapat yang terpilih. Ini adalah pendapat 'Umar,
'Ali,jumhur sahabat dan tabi'in. Dan inilah mazhab Abu Hanifah, Ahmad,
dan pendapatyang dipegang bagi aliran Syafi'i, serta sebagian pengikut
Malik, ketika baitulmal rusak.
Mereka berkata: Radd itu tidak diberikan kepada suami-isteri karena radd
dimiliki dengan jalan rahim, sedang suami-isteri tidak mempunyai
hubungan rahimkecuali hanya sebab perkawinan. Radd juga tidak diberikan
kepada ayah dan kakekkarena radd itu ada bila tidak ada ahli waris 'ashobah,
sedang ayah dan kakek termasuk ahli waris 'ashobah yang mengambil sisa
dengan jalan ta'shib dan bukan dengan cara radd.
Undang-undang Waris Mesir mengambil pendapat ini, kecuali dalam satu
masalah, maka ia mengambil pendapat 'Utsman. Undang-undang itu
menetapkan adanyaradd bagi salah seorang suami-isteri, maka suami/isteri
yang hidup mengambilbagian dengan cara fardh dan radd. Radd terhadap
seorang dari suami-isteri di dalam undang-undang itu sesudah dzawul
arham. Dalam fasal 30 terdapat ketentuan sebagai berikut: "Apabila furudh
tidak dapat menghabiskan harta peninggalandan tidak terdapat 'ashobah
nasab, maka sisanya dikembalikan kepada selain
suami-isteri dari golongan ashhaabul furuudh, menurut perbandingan furudh
mereka. Dan sisa dari harta peninggalan sikembalikan kepada salah seorang
suami-isteri, bila tidak didapatkan 'ashobah nasab atau salah seorang
ashhaabul furuudh nasabiyah atau seorang dzawul arhaam."
C. Cara Memecahkan Masalah-Masalah Radd
Caranya ialah bila bersama ashhaabul furuudh didapatkan orang yang
tidak mendapatkan radd berupa salah seorang suami-isteri, maka salah
seorang suami-isteri mengambil fardhnya dari pokok harta peninggalan.
Dan sisa sesudah fardh ini adalah untuk ashhaabul furuudh sesuai dengan
jumlah mereka bila mereka terdiri dari satu golongan, baik yang ada itu
hanya salah seorang diantara mereka seperti anak perempuan. Apabila
ashhaabul furuudh itu lebih banyak darisatu golongan, seperti seorang ibu
dan seorang anak perempuan, maka sisanyadibagikan kepada mereka sesuai
dengan fardh mereka dan dikembalikan kepada mereka sesuai dengan
perbandingan fardh mereka pula.
Adapun bila bersama ashhaabul furuudh tidak didapatkan salah seorang
suami-isteri, maka sisa harta peninggalan sesudah fardh mereka
dikembalikan kepada mereka sesuai dengan jumlah mereka, bila mereka itu
terdiri dari satu golongan,baik yang ada di antara golongan itu hanya
seorang ataupun banyak.Apabila ashhaabul furuudh itu lebih dari satu
golongan, maka sisanya dikembalikan kepada mereka sesuai dengan
perbandingan fardh mereka. Dengan emikian makabagian dari setiap
ashhaabul furuudh itu bertambah sesuai dengan melimpahnya
harta; sehingga dia mendapatkan sejumlah warisan yang berupa fardh dan
radd.
BAB EMPAT
PUSAKA ZAWIL ARHAM
A. Pendapat Ulama Tentang Pusaka Zawil Arham
Para imam mujtahid berbeda pendapat dalam masalah hak waris dzawil
arham, sama halnya dengan perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan
para sahabat Rasulullah saw.. Dalam hal ini ada dua pendapat:
Pertama: golongan ini berpendapat bahwa dzawil arham atau para kerabat
tidak berhak mendapat waris. Lebih jauh mereka mengatakan bahwa bila
harta waris tidak ada ashhabul furudh atau 'ashabah yang mengambilnya,
maka seketika itu dilimpahkan kepada baitulmal kaum muslim untuk
disalurkan demi kepentingan masyarakat Islam pada umumnya. Dengan
demikian, tidak dibenarkan jika harta tersebut diberikan kepada dzawil
arham. Di antara mereka yang berpendapat demikian ialah Zaid bin Tsabit
r.a. dan Ibnu Abbas r.a. dalam sebagian riwayat darinya, dan juga
merupakan pendapat dua imam, yaitu Malik dan Syafi'i rahimahumullah.
Adapun dalil yang dijadikan landasan oleh Imam Malik dan Syafi'i
(golongan pertama) ialah:
1. Asal pemberian hak waris atau asal penerimaan hak waris adalah dengan
adanya nash syar'i dan qath'i dari Al-Qur'an atau Sunnah. Dan dalam hal ini
tidak ada satu pun nash yang pasti dan kuat yang menyatakan wajibnya
dzawil arham untuk mendapat waris. Jadi, bila kita memberikan hak waris
kepada mereka (dzawil arham) berarti kita memberikan hak waris tanpa
dilandasi dalil pasti dan kuat. Hal seperti ini menurut syariat Islam adalah
batil.
2. Rasulullah saw. ketika ditanya tentang hak waris bibi --baik dari garis
ayah maupun dari ibu-- beliau saw. menjawab: "Sesungguhnya Jibril telah
memberitahukan kepadaku bahwa dari keduanya tidak ada hak menerima
waris sedikit pun."
3. Harta peninggalan, bila ternyata tidak ada ahli warisnya secara sah dan
benar --baik dari ashhabul furudh-nya ataupun para 'ashabahnya-- bila
diserahkan ke baitulmal akan dapat mewujudkan kemaslahatan umum,
sebab umat Islam akan ikut merasakan faedah dan kegunaannya. Namun
sebaliknya, bila diserahkan kepada kerabatnya, maka kegunaan dan
faedahnya akan sangat minim, dan hanya kalangan mereka saja yang
merasakannya. Padahal dalam kaidah ushul fiqih telah ditegaskan bahwa
kemaslahatan umum harus lebih diutamakan daripada kemaslahatan pribadi.
Atas dasar inilah maka baitulmal lebih diutamakan untuk menyimpan harta
waris yang tidak ada ashhabul furudh dan 'ashabahnya ketimbang para
kerabat.
Adapun golongan kedua, yakni Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad,
menyatakan bahwa dzawil arham atau para kerabat berhak mendapatkan
waris, mereka mendasari pendapatnya itu dengan Al-Qur'an, As-Sunnah,
dan logika. Dalil Al-Qur'an yang dimaksud ialah:
Makna yang mendasar dari dalil ini ialah bahwa Allah SWT telah
menyatakan atau bahkan menegaskan dalam Kitab-Nya bahwa para kerabat
lebih berhak untuk mendapatkan atau menerima hak waris daripada yang
lain. Di sini, lafazh arham yang berarti kerabat adalah umum, termasuk
ashhabul furudh, para ''ashabah, serta selain keduanya. Pendek kata, makna
kata itu mencakup kerabat yang mempunyai hubungan rahim atau lebih
umumnya hubungan darah.
"Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan
kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dan harta peninggalan
ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang
telah ditetapkan." (an-Nisa': 7)
Melalui ayat ini Allah SWT menyatakan bahwa kaum laki-laki dan wanita
mempunyai hak untuk menerima warisan yang ditinggalkan kerabatnya,
baik sedikit ataupun banyak. Seperti yang disepakati oleh jumhur ulama
bahwa yang dimaksud dengan dzawil arham adalah para kerabat. Dengan
demikian, mereka (dzawil arham) berhak untuk menerima warisan.
Adapun dalil dari Sunnah Nabawiyah adalah seperti yang diberitakan dalam
sebuah riwayat masyhur, dalam riwayat ini dikisahkan. Ketika Tsabit bin
ad-Dahjah meninggal dunia, maka Rasulullah saw. bertanya kepada Qais
bin Ashim, "Apakah engkau mengetahui nasab orang ini?" Qais menjawab,
"Yang kami ketahui orang itu dikenal sebagai asing nasabnya, dan kami
tidak mengetahui kerabatnya, kecuali hanya anak laki-laki dari saudara
perempuannya, yaitu Abu Lubabah bin Abdul Mundir. Kemudian Rasul pun
memberikan harta warisan peninggalan Tsabit kepada Abu Lubabah bin
Abdul Mundzir.
Dalam suatu atsar diriwayatkan dari Umar bin Khathab r.a. bahwa suatu
ketika Abu Ubaidah bin Jarrah mengajukan persoalan kepada Umar. Abu
Ubaidah menceritakan bahwa Sahal bin Hunaif telah meninggal karena
terkena anak panah yang dilepaskan seseorang. Sedangkan Sahal tidak
mempunyai kerabat kecuali hanya paman, yakni saudara laki-laki ibunya.
Umar menanggapi masalah itu dan memerintahkan kepada Abu Ubaidah
untuk memberikan harta peninggalan Sahal kepada pamannya. Karena
sesungguhnya aku telah mendengar bahwa Rasulullah saw. bersabda:
"(Saudara laki-laki ibu) berhak menerima waris bagi mayit yang tidak
mempunyai keturunan atau kerabat yang berhak untuk menerimanya."
Oleh sebab itu, ikatan dari dua arah sudah barang tentu akan lebih kuat
dibandingkan ikatan satu arah. Permasalahan ini sama seperti dalam kasus
adanya saudara kandung laki-laki dengan saudara laki-laki seayah dalam
suatu keadaan pembagian harta waris, yang dalam hal ini seluruh harta
waris menjadi hak saudara kandung laki-laki. Sebab, ikatannya dari dua
arah, dari ayah dan dari ibu, sedangkan saudara seayah hanya dari ayah.
Di samping itu, kelompok kedua (jumhur ulama) ini menyanggah dalil yang
dikemukakan oleh Imam Malik dan Imam Syafi'i bahwa hadits itu
kemungkinannya ada sebelum turunnya ayat di atas. Atau, mungkin juga
bahwa bibi (baik dari ayah atau ibu) tidak berhak mendapat waris ketika
berbarengan dengan ashhabul furudh atau para 'ashabah.
Jadi, yang jelas --jika melihat konteks hadits yang pernah dikemukakan--
jawaban Rasulullah saw. tentang hak waris bibi ketika itu disebabkan ada
ashhabul furudh atau ada 'ashabah-nya. Inilah usaha untuk menyatukan dua
hadits yang sepintas bertentangan.
1. Menurut Ahlur-Rahmi
Mazhab ini tidak masyhur, bahkan dhaif dan tertolak. Karenanya tidak ada
satu pun dari ulama atau para imam mujtahid vang mengakuinya apalagi
mengikuti pendapat ini dengan alasan telah sangat nyata bertentangan
dengan kaidah syar'iyah yang masyhur dalam disiplin ilmu mawarits.
2. Menurut Ahlut-Tanzil
Anak kandung pr. 1/2, Sdr. kandung pr. 1/2, Sdr. laki-laki seayah
mahjub.
2. Seseorang wafat dan meninggalkan keponakan perempuan
keturunan saudara kandung perempuan, keponakan perempuan
keturunan saudara perempuan seayah, keponakan laki-laki keturunan
saudara perempuan seibu, dan sepupu perempuan keturunan paman
kandung (saudara laki-laki seayah). Maka pembagiannya seperti
berikut: keponakan perempuan keturunan saudara kandung
perempuan mendapatkan setengah (1/2) bagian, keponakan
perempuan keturunan dari saudara perempuan seayah mendapat
seperenam (1/6) sebagai penyempurna dua per tiga (2/3), keponakan
laki-laki keturunan saudara perempuan seibu mendapatkan
seperenam (1/6) bagian secara fardh, dan sepupu perempuan anak
dari paman kandung juga mendapatkan seperenam (1/6) bagian
sebagai 'ashabah. Hal demikian dikarenakan sama saja dengan
pewaris meninggalkan saudara kandung perempuan, saudara
perempuan seayah, saudara perempuan seibu, dan paman kandung.
Inilah gambarnya:
Sdr. kand. Pr. 3/6, sdr. pr. seayah 1/6, sdr. pr. 1/6, seibu paman kand.
1/6
Adapun yang dijadikan dalil oleh mazhab ahlut-tanzil ini ialah riwayat yang
marfu' (sampai sanadnya) kepada Rasulullah saw.. Ketika beliau memberi
hak waris kepada seorang bibi (saudara perempuan ayah) dan bibi (saudara
perempuan ibu) kebetulan saat itu tidak ada ahli waris lainnya-- maka beliau
memberi bibi (dari pihak ayah) dengan dua per tiga (2/3) bagian, dan
sepertiga lagi diberikannya kepada bibi (dari pihak ibu).
Selain itu, juga berlandaskan fatwa Ibnu Mas'ud r.a. ketika ia menerima
pengaduan tentang pembagian waris seseorang yang wafat dan
meninggalkan cucu perempuan keturunan anak wanita, dan keponakan
perempuan keturunan saudara kandung perempuan. Maka Ibnu Mas'ud
memberikan setengah bagian untuk cucu perempuan dan setengah bagian
lainnya untuk keponakan perempuan. Lebih jauh mazhab ini menyatakan
bahwa hadits Rasulullah saw. dan keputusan yang dilakukan Ibnu Mas'ud
menunjukkan betapa kuatnya pendapat mereka.
Adapun mazhab ketiga menyatakan bahwa hak waris para dzawil arham
ditentukan dengan melihat derajat kekerabatan mereka kepada pewaris. Hal
ini, menurut mereka, dilakukan dengan mengqiyaskannya pada hak para
'ashabah, berarti yang paling berhak di antara mereka (para 'ashabah) adalah
yang paling dekat kepada pewaris dari segi dekat dan kuatnya kekerabatan.
Mazhab ini merupakan pendapat Ali bin Abi Thalib r.a. dan diikuti oleh
para ulama mazhab Hanafi.
a. Kakek yang bukan sahih, dan seterusnya seperti ayah dari ibu, ayah
dari ayahnya ibu (kakek dari ibu).
b. Nenek yang bukan sahih, dan seterusnya seperti ibu dari ayahnya
ibu, ibu dari ibu ayahnya ibu.
Yang bernisbat kepada kedua kakek atau nenek dari pihak ayah ataupun ibu:
Itulah keenam kelompok yang bernisbat kepada kedua kakek dan kedua
nenek pewaris.
"Allah SWT melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang
menyerupai laki-laki."
Oleh karena itu, adanya dua jenis kelamin pada seseorang --atau bahkan
sama sekali tidak ada-- -disebut sebagai musykil. Keadaan ini
membingungkan karena tidak ada kejelasan, kendatipun dalam keadaan
tertentu kemusykilan tersebut dapat diatasi, misalnya dengan mencari tahu
dari mana ia membuang "air kecil". Bila urinenya keluar dari penis, maka ia
divonis sebagai laki-laki dan mendapatkan hak waris sebagaimana kaum
laki-laki. Sedangkan jika ia mengeluarkan urine dari vagina, ia divonis
sebagai wanita dan memperoleh hak waris sebagai kaum wanita. Namun,
bila ia mengeluarkan urine dari kedua alat kelaminnya (penis dan vagina)
secara berbarengan, maka inilah yang dinyatakan sebagai khuntsa munsykil.
Dan ia akan tetap musykil hingga datang masa akil baligh.
Dikisahkan bahwa Amir bin adz-Dzarb dikenal sebagai seorang yang bijak
pada masa jahiliah. Suatu ketika ia dikunjungi kaumnya yang mengadukan
suatu peristiwa, bahwa ada seorang wanita melahirkan anak dengan dua
jenis kelamin. Amir kemudian memvonisnya sebagai laki-laki dan
perempuan.
Untuk banci --menurut pendapat yang paling rajih-- hak waris yang
diberikan kepadanya hendaklah yang paling sedikit di antara dua
keadaannya --keadaan bila ia sebagai laki-laki dan sebagai wanita.
Kemudian untuk sementara sisa harta waris yang menjadi haknya dibekukan
sampai statusnya menjadi jelas, atau sampai ada kesepakatan tertentu di
antara ahli waris, atau sampai banci itu meninggal hingga bagiannya
berpindah kepada ahli warisnya.
Makna pemberian hak banci dengan bagian paling sedikit menurut kalangan
fuqaha mawarits mu'amalah bil adhar-- yaitu jika banci dinilai sebagai
wanita bagiannya lebih sedikit, maka hak waris yang diberikan kepadanya
adalah hak waris wanita; dan bila dinilai sebagai laki-laki dan bagiannya
ternyata lebih sedikit, maka divonis sebagai laki-laki. Bahkan, bila ternyata
dalam keadaan di antara kedua status harus ditiadakan haknya, maka
diputuskan bahwa banci tidak mendapatkan hak waris.
Bahkan dalam mazhab Imam Syafi'i, bila dalam suatu keadaan salah
seorang dari ahli waris gugur haknya dikarenakan adanya banci dalam salah
satu dari dua status (yakni sebagai laki-laki atau wanita), maka gugurlah hak
warisnya.
Beberapa Contoh Amaliah Hak Waris Banci
6 8 6 24
3 3 9
Suami 1/2 Suami 1/2
2 2 6
Ibu 1/3 Ibu 1/3
3 1 4
Banci Banci kandung
Pada tabel tersebut sisa harta yang ada yaitu lima (5) bagian dibekukan
sementara, dan akan dibagikan kembali ketika keadaan yang sebenamya
telah benar-benar jelas.
Bila banci ini dikategorikan sebagai laki-laki, maka pokok masalahnya dua
(2), sedangkan bila dikategorikan sebagai perempuan maka pokok
masalahnya dari tujuh (7), dan penyatuan dari keduanya menjadi empat
belas (14).
Bagian suami enam (6), saudara kandung perempuan enam (6) bagian,
sedangkan yang banci tidak diberikan haknya. Adapun sisanya, yakni dua
(2) bagian dibekukan. Ini tabelnya:
2 6 7 14
1 3 6
Suami 1/2 Suami 1/2
1 3 6
Sdr. kdg. pr. 1/2 Sdr. kdg. pr. 1/2
- 1 -
Banci lk. Sdr. pr. seayah 1/6
SUMBER RUJUKAN
1. Muhammad Ali As-Sabuni, Al-Mawaris fi asy-syari’atil Islam,
Makkah, tt
2. Abdullah Siddik, Hukum Waris Islam, Widjaya, Jakarta, 1984
3. Dian Khairul Umam, Fiqih mawaris, Pustaka Setia, Bandung, 1999
4. Fatchur rahman, Ilmu waris, PT. Al-Ma’arif, Bandung, m1975
5. Komite Fakultas Syari’ah Universitas Al-Azhar, Mesir, Hkum
Waris, SenayanAbadi Publising, Jakarta, 2004
6. Abd al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Mazahib al-arba’ah, Darusl
Hadis, Kairo, 2004
7. Sayi Sabiq, Fiqh al-Sunnah
8. Ibnu Rusy, Bidayatul Mujtahid.
9. Wahbah al-Zuhaili, Fiqhul Islam wa adillatuh, darul Fikri, Mesir,
2002
10. Qamaruddin Saleh, Ayat-ayat larangan dan perintah dalam al-
Qur’an, Diponogoro, Bandung, 2004.
11. Amir Syarifuddin: Hukum Kewarisan Islam, Kencana, Jakarta, 2008