Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

MEMAHAMI HUKUM WARIS

KELOMPOK : Alpin Permana


Hilda Yanti
Lenda Audina
XII FARMASI 2

SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN


BINA PUTERA NUSANTARA
TASIKMALAYA
2014

KATA PENGANTAR
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kami kemudahan sehingga
dapat menyelesaikan makalah ini. Tanpa pertolongan-Nya mungkin penyusun
tidak akan sanggup menyelesaikannya dengan baik. Shalawat dan salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yakni Nabi Muhammad SAW.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang
Memahami hukum waris", yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari
berbagai sumber. Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan.
Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun
dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Tuhan akhirnya makalah
ini dapat terselesaikan.
Walaupun makalah ini kurang sempurna dan memerlukan perbaikan tapi
juga memiliki detail yang cukup jelas bagi pembaca.
Semoga makalah ini dapat memberikan pengetahuan yang lebih luas kepada
pembaca. Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun
membutuhkan kritik dan saran dari pembaca yang membangun.
Terimakasih.

Tasikmalaya, 06 November 2014

Penyusun

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................

KATA PENGANTAR ....................................................................................

ii

DAFTAR ISI ...................................................................................................

iii

BAB I PENDAHULUAN
1 1. Latar Belakang ..........................................................................................

1.2. Tujuan Penulisan .......................................................................................

BAB II PEMBAHASAN
2 .1. Pengertian hukum waris ...........................................................................

2.2. kedudukan hukum waris dalam hukum islam ..........................................

2.3. sumber hukum waris islam .......................................................................

2.4. Prinsip hukum waris islam ........................................................................

2.5 praktek kewarisan islam ............................................................................

11

BAB III

PENUTUP

3 l. Kesimpulan ...............................................................................................

12

3 l. Saran .........................................................................................................

12

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................

13

ii

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hukum waris Islam mengatur peralihan harta dari seseorang yang telah
meninggal kepada yang masih hidup. Bagi umat Islam melaksanakan syariat
yang ditunjuk oleh nas-nas yang sahih adalah keharusan. Oleh sebab itu
pelaksanaan hukum waris Islam bersifat wajib. Persoalan waris sering timbul
menjadi salah satu persoalan krusial dan sensitif dalam sebuah keluarga. Manusia
tidak jarang menjadi lupa karena masalah harta, maka berhati-hatilah dengan harta
jika tidak mampu mempertanggung jawabkan nya dikemudian hari.
Sesuai dengan sistem ilmu hukum pada umumnya, dimana ditemui perincian
nantinya maka perincian yang khusus itulah yang mudah memperlakukannya dan
yang akan diperlukan dalam kasus-kasus yang akan diselesaikan. Ketentuan
dalam pembagian harta waris sudah ditentukan oleh Allah SWT.

1.2 Tujuan Penulisan :


1. Tujuan Umum

: Memperoleh

gambaran

tentang

bagaimana

pengetahuan tentang agama khususnya dalam


bidang agama dalam pengetahuan sumber hukum
islam dalam ilmu mawaris atau faroid
2. Tujuan Khusus

: Agar masyarakat lebih memahami dan mengetahui


seberapa penting dasar dasar hukum islam
khususnya dalam bidang kewarisan harta benda.

:.
:

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Hukum Waris


Hukum waris dalam dalam ajaran islam disebut dengan istilah faraid.
Kata faraid adalah bentuk jamak faridah yang berasal dari kata fardu yang berarti
ketetapan,pemberian[sedekah].
Para ulama fiqih memberikan definisi ilmu faraid sebagai berikut :
1. penentuan bagian bagi ahli waris
2. ketentuan bagian warisan yang ditetapkan oleh syariat islam
3. ilmu fikih yang berkaitan dengan pembagian pusaka serta mengetahui
perhitungan dan kadar harta pusaka bagi ahli waris
Dengan singkat ilmu faraid dapat didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan
yang mempelajari tentang ketentuan-ketentuan harta pusaka bagi ahli waris.
Menurut istilah hukum di Indonesia, ilmu faraid ini disebut dengan hukum
waris [ERFRECHT] yaitu hukum yang mengatur tentang apa yang harus terjadi
dengan harta kekayaan seseorang yang meninggal dunia. Dalam kompilasi hokum
islam dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan hokum kewarisan adalah hokum
yang mengatur pemindahan hak kepemilikan serta peninggalan[tirkah] pewaris,
menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagianya
masing-masing. (pasal 171 ayat a KHI).
Pengertian Hukum Waris menurut para ahli :
1. Hukum Waris adalah peraturan-peraturan yang mengatur proses
meneruskan serta mengoper barang-barang yang tidak berwujud benda
(IMMATERIELE GOEDEREN) dari suatu angkatan manusia (generasi )
kepada turunannya. (Supomo, 1967)
2. Hukum waris adalah Aturan-aturan yang mengenai cara bagaimana dari
abad ke abad penerusan & peralihan dari harta kekayaan yang berwujud
& tidak berwujud dari generasi pada generasi.(Ter Haar , 1950 : 197)

3. Wirjono Prodjodikoro, 1976


Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang kedudukan harta
kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia, dan cara-cara
berpindahnya harta kekayaan itu kepada orang lain.
4. Prof. Mr.M.J.A Von Mourik Hukum waris merupakan seluruh aturan
yang menyangkut penggantian kedudukan harta kekayaan yang
mencakup himpunan aktiva dan pasifa orang yang meninggal.
2.2. Sumber Hukum Islam
Hukum islam telah menerangkan dan mengatur hal-hal ketentuan yang
berkaitan dengan pembagian harta warisan dengan aturan yang sangat adil sesuai
dengan ketentuan yang terdapat dalam al-quran dan al-hadist,dalam hukum
warisini telah ditetapkan dengan rinci bagian masing-masing ahli waris baik lakilaki ataupun perempuan mukai dari bapak, ibu, kakek ,nenek, suami, istri, anak,
saudara, dan seterusnya. adapun ketetapan mawaris dijelaskan pula dalam
hadist.hanya hukum warislah yang dijelaskan secara terperinci dalam al-quran
sebab waris merupakan salah satu bentuk kepemilikan yang legal dalam islam
ataupun dalam negara serta di benarkan adanya oleh Alloh swt.
Adapun sumber hukum ilmu mawaris adalah al-quran dan hadist atau sunah
rosul kemudian ijtihat para ulama bukan bersumber kepada pendapat seseorang
yang terlepas dari jiwa al-quran maupun sunah rosul.adapun sumber-sumber
hukum islam yang berhubungan dengan masalah mawaris ,antara lain;

1. al-quran surah an-nisa ayat 7


Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan
kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian [pula] dari harta
peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut
bahagian yang telah ditetapkan.

2. al-quran surah an-nisa ayat 176


Mereka meminta fatwa kepadamu tentang kalalah 1. Katakanlah: "Allah
memberi fatwa kepadamu tentang kalalah yaitu: jika seorang meninggal
dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan,

maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang
ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai [seluruh
harta saudara perempuan], jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika
saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka [ahli
waris itu terdiri dari] saudara-saudara laki dan perempuan, maka
bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang
saudara perempuan. Allah menerangkan [hukum ini] kepadamu, supaya
kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Adapun dasar atau sumber hukum waris yang berasal dari sunah rasul
ataupun hadist di antaranya;
1) yang artinyaalloh telah menurunkan hukum waris bagi saudarasaudaramu yang perempuan itu dan alloh telah menerangkan bahwa
mereka mendapat bagian dua pertiga
2) yang artinyabagi yang membunuh tidak mendapatkan hak waris atau
bagian harta warisan(HR.An nasai)
3) yang artinyaseorang muslim tidak berhak mendapat bagian harta warisan
dari seorang kafir,dan sebaliknya seorang kafir tidak berhak mandapat
bagian harta warisan dari seorang muslim(HR.jamaah ahlu hadist)
4) Dari Ibnu Abbas RA dari Nabi SAW, beliau bersabda: "Berikanlah faraidh
(bagian-bagian yang telah ditentukan) kepada yang berhak, dan selebihnya
berikanlah kepada laki-laki dari keturunan laki-laki yang terdekat." (HR
Bukhari dan Muslim)kesimpulan atau intisari hadits ini: Dalam pembagian
warisan, ahli waris yang mendapat bagian lebih dahulu adalah ahli waris
golongan ashhabul-furudh (ahli waris yang bagian mereka sudah tertentu),
kemudian kalau ada sisanya baru diberikan kepada ahli waris golongan
ashabah (ahli waris penerima sisa).
Meskipun Al-Quran dan Sunnah Rasul telah memberi ketentuan terperinci
tentang pembagian harta warisan, tetapi dalam beberapa hal masih diperlukan
adanya ijtihad, yaitu terhadap hal-hal yang tidak ditentukan dalam kedua sumber
hukum tersebut. Misalnya mengenai bagian warisan orang banci, harta warisan

yang tidak habis terbagi kepada siapa sisanya diberikan, bagian ibu apabila hanya
bersama-sama dengan ayah dan duda atau janda.

2.3. Kedudukan Hukum Waris Dalam Hukum Islam


Masalah harta pusaka sering menjadi sumber sengketa dalam keluarga.
Terutama untuk menentukan siapa-siapa yang berhak dan yang tidak berhak
mendapatkan warisan yang pada giliranya bias menimbulkan keretakan keluarga.
Menurut salah satu pihak dianggap adil sedang menurut pihak lain masih
menganggap tidak adil. Keadilan menurut pemikiran sangat subjektif.
Karena itu, agama islam datang membawa ketentuan dari allah SWT, dalam
hal waris mewaris ini. Sehingga apabila orang-orang telah dilandasi ketakwaan
kepada allah swt, semuanya akan berjalan dengan lancar,tidak akan menimbulkan
sengketa lagi bahkan kerukunan keluarga pun akan terjadi. Ketentuan-ketentuan
dari allah swt itu sudah pasti serta bagian masing-masing pun sudah ditentukan
secara rinci dan semua kebijaksanaan dalam hal ini adalah allah swt. Dengan
demikian, ukuran keadilan adalah dari allah swt bukan dari pemikiran manusia,
sebagaimana firman allah swt dalam al-quran surat al-nisa(4):11 :
tentang orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara
mereka yang lebih dekat(banyak) manfaat bagimu. Ini adalah ketetapan dari
allah sesungguhnya allah maha mengetahui lagi maha bijaksana.
Berbeda halnya dengan aturan pembagian harta pusaka dalam masyarakat
arab sebelum islam, mereka mendasarkan pembagian harta pusaka dengan
pemikiran tradisional yang tidak rasional. Mereka membatasi penyebab seseorang
mendapat pusaka, hanya laki-laki yang mampu berperang untuk mnedapatkan
harta rampasan perang serta dapat mempertahankan kepentingan keluarga mereka.
Wanita dan anak-anak tidak berhak untuk mendapatkan pusaka.
Malah menurut adat sebagaian masyarakat arab sebelum islam apabila
seseorang meninggal dunia maka anak laki-laki tertua atau anggota keluarga lain
berhak mewarisi bekas istri-istri ayahnya(yang

bukan ibunya), dan boleh di

kawini sendiri atau dikawinkan dengan orang lain atau tidak di bolehkan kawin
lagi.Di sinilah terlihat keadilan syariat islam mengangkat kedudukan wanita, baik

dalam kehidupan keluarga maupun di dalam masyarakat demikian juga anak-anak


dan orang tua yang tidak mampu lagi berperang.
Syariat islam memandang bahwa ilmu faraid adalah suatu ilmu yang vital
dan hokum yang mempelajarinya adalah fardhu kifayah sebagaimana dalam hadist
riwayat ibnu majah, Rasul bersabdah :
` pelajarilah ilmu faraid dan ajarkanlah kepada orang lain, sesungguhnya ilmu
ini adalah setengah dari semua ilmu dan ilmu inilah yang pertama kali tercabut
dari umatku (tidak di amalkan lagi). (HR.IBNU MAJAH DARUT QUTHNI)
Kemajuan dan perkembangan zaman merupakan tantangan dalam
mengamalkan hokum waris islam. Perubahan dan keragaman sistem kehidupan
keluarga dan masyarakat, munculnya pemikirain emansipasi kaum wanita,
mengakibatkan timbul suatu pemikiran seolah-olah hokum waris islam tidak
mencermirkan rasa keadilan dan tidak lagi relevan dengan kehidupan masa kini.
Hal ini mengakibatkan sebagaian umat islam meninggalkan hokum waris islam
dan menggantinya dengan hokum adat atau budaya setempat yang menurut
anggapan mereka lebih sesuai dengan rasa keadilan. Padahal sebenarnya bukanlah
hokum waris islam yang tercantum dalam al-quran dan al-hadist tidak sesuai
dengan perkembangan zaman tetapi metode pembagian dan penetapan harta
warisan hokum islam yang tidak sesuai dengan perkembangan zaman.
Mengingat pentingnya ilmu faraid tersebut, di samping adanya beberapa
masalah khilafiyah dalam ketentuan warisan islam, maka di Indonesia di susun
sebuah kompilasi hokum islam yang di ambil dari pendapat pendapat para sahabat
dan imam mujtahid dengan merujuk kepada 38 kitab fiqih yang terkenal. Isi dari
kompilasi huku islam ini terdiri dari hokum perkawinan,kewarisan dan hokum
pewakafan. Walaupun kompilasi hokum islam ini merupakan instruksi presidan
(inpres no. 1 tahun 1991 tanggal 10 juni 1991), namun sudah bisa dijadikan
pedoman dalam memeriksa,memutuskan, dan menyelesaikan perkara antara
orang-orang beragama islam ,di bidang kewarisan,wasiat, dan hibah pada
pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama.
Dalam undang-undang nomor 7 tahum1989, pengadilan agama adalah salah
satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama
islam mengenai perkara, kewarisan,wasiat,hibah,wakaf dan sedekah yang

dilakukan berdasarkan hokum islam. Bidang kewarisan yang dimaksud ialah


menentukan siapa-siapa yangmenjadi ahli waris, penentuan mengenai harta
peninggalan,penentuan bagian masing-masing ahli waris dan melaksanakan
pembagian peninggalan atau harta warisan.
Hokum warisan di Indonesia telah diakui eksistensinya oleh undang-undang
sebagai salah satu hokum posotif yang mempunyai kekuatan hokum bagi orangorang yang beragama islam.

2.4. Prinsip Hukum Waris Dalam Islam


A. Syarat-Syarat Pewarisan
Dalam syariat islam ada tiga syarat supaya pewarisan dinyatakan ada
sehingga dapat memberi hak kepada seseorang atau ahli waris untuik
menerima warisan yaitu :
1. Orang yang mewariskan benar telah meninggal dunia dan dapat di
buktikan secara hokum bahwa ia telah meninggal. Ini berarti bahwa
apabila tidak ada kematian maka tidak ada pewarisan. Pembagian atau
pemberian harta pada keluarga pada masa hidupnya tidak termasuk ke
dalam kategori waris tetapi disebut hibah.
2. Orang yang mewarisi atau ahli waris hidup pada saat orang yang
mewariskan meninggal dunia dan bias di buktikan secara hokum.
3. Ada hubungan pewarisan antara orang yang mewariskan dengan orang
yang mewarisi yaitu:
a. Hubungan nasab: (keturunan,kekerabatan) baik pertalian garis lurus
ke atas seperti ayah, kakek, dan lainya atau pertalian lurus kebawah
seperti

anak,cucu

atau

saudara,paman,dan

anak

turunanya

sebagaimana firman allah SWT.


bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak
dan kerabatnya

dan bagi wanita ada hak bagian dari harta

peninggalan ibu bapak dan kerabatnya baik sedikit atau banyak


menurut bagian yang telah ditetapkan.

b. Hubungan pernikahan yaitu seseorang dapat mewarisi disebabkan


menjadi suami atau istri dari orang yang mewariskan, sebagaimana
firman allah swt :
dan bagimu(suami) seperdua dari harta yang di tinggalkan oleh
istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Dan para istri
memperolah seperempat yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak.
Yang dimaksud dengan perkawinan disini ialah perkawinan yang sah
menurut syariat islam dimulai sejak akad nikah sampai putusnya ikatan
perkawinan(telah habis masa idah).
Suami istri tersebut dapat saling mewarisi apabila hubungan
perkawinan mereka memenuhi dua syarat ;
1) Perkawinan mereka sah menurut syariat islam yakni dengan akad
nikah yang memenuhi rukun dan syarat-syaratnya.
2) Masih berlangsung hubungan perkawinan yakni hubungan
perkawinan mereka masih berlangsung sampai saat kematian salah
satu pihak suami atau istri tidak dalam keadaan bercerai.
3) Hubungan

perbudakan

[wala],

yaitu

seseorang

berhak

mendapatkan warisan dari bekas budak (hamba) yang telah


dimerdekakanya. Pembebasan seorang budak seperti pemberian
kemerdekaan sehinggan budak tersebut mempunyai kedudukan
yang sama dengan manusia lainya.
4) Karena hubungan agama islam yaitu apabila seseorang meninggal
dunia tidak meninggalkan orang yang mewarisi maka hartanya
akan diserahkan kepada baitul Mal (perbendaharaan Negara islam)
untuk dimanfaatkan kemaslahatan umat islam.
B. Penghalang Pewarisan
Yang

dimaksud

mawani

dengan

al-irs

ialah

penghalang

terlaksanaanya waris mewarisi, dalam istilah ulama faraid ialah suatu


keadaan / sifat yang menyebabkan orang tersebut tidak menerima warisan
padahal sudah cukup syarat dan ada hubungan pewarisan. Pada awalnya

seseorang sudah berhak mendapatkan warisan tetapi oleh karena ada suatu
keadaan tertentu berakibat dia tidak mendapat harta warisan.
Keadaan-keadaan yang menyebabkan seseorang ahli waris tidak dapat
memperoleh harta warisan adalah sebagai berikut:
1. Pembunuhan
Seseorang yang membunuh orang lain, maka ia tidak dapat mewarisi
harta orang yang terbunuh itu, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
dari Amr bin syuaib dari ayahnya dari kakeknya ia berkata
Rasulullah SAW bersabda: orang yang membunuh tidak dapat mewarisi
sesuatu pun dari harta warisan orang yang di bunuhnya.
Ketentuan ini mengandung kemaslahatan agar orang tidak mengambil
jalan pintas untuk mendapat harta warisan dengan membunuh orang
yang mewariskan.
2. Berlainan agama
Berlainan agama dalam hukum waris islam di maksudkan bahwa
seseorang yang beragama islam tidak dapat mewarisi kepada orang non
muslim, demikian juga sebaliknya sebagaimana sabda rasulullah SAW :
tidak mewarisi orang islam kepada orang islam kepada orang kafir
dan orang kafir tidak akan mewarisi kepada orang lain.
3. Perbudakan
Seorang budak adalah milik tuanya secara mutlak karenan itu tidak
berhak untuk memiliki harta sehingga ia tidak bisa menjadi orang yang
mewariskan dan tidak akan mewarisi dari siapapun

sesuai dengan

firman alla SWT dalam surat AL-NAHL (16):75


allah memberikan perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang
dimiliki dan tidak dapat bertindak untuk sesuatu pun.
C. Tabir, Halangan Mewarisi(Hijab)
Hijab menurut bahasa berarti tabir,dinding, halangan menurut istilah
ulama faraid, hijab ialah mencegah atau menghalangi orang tertentu menjadi
tidak berhak menerima bagian harta warisan atu menjadi berkurang
peneriamaan bagianyakarena adanya pewaris lainya. Orang yang menjadi
pengahalang disebut hijab, sedang orang yang terhalang mendapat warisan

disebut mahjub. pada prinsipnya kerabat yang lebih dekat hubungan


darahnya menghalangi hubungan yang lebih jauh hubunganya.
Hijab ada dua jenis yaitu:
1. Hijab hirman yaitu terhalangnya seseorang mendapatkan harta
warisan karena ada pengahalang yang menyebabkan seseorang
tersebut tidak mendapat harta warisan sama sekali .
2. Hjab nuqsan yaitu terhalangnya seseorang mendapat bagian warisan
maksimal(berkurang harta warisan yang diterimanya) karena ada
penghalang yang menyebabkan berkurangnya bagian ahli waris
tersebut.
D. Cara Cara Penyelesaian Masalah Warisan
Apabila kita akan menyelesaikan pembagian warisan dari seseorang
yang meninggal agar penyelesaiaanya mudah dan terarah hendaklah
mengikuti tata tertib penyelesaiaanya soal warisan seperti di bawah ini:
Tahap pertama :
1. Menentukan dan menginventariskan harta peninggalannya
2. Mencatat dan memperhitungkan jumlah pembiayaan pengurusan
jenazah, tajhiz orang yang menjadi tanggung jawab secara wajar,
utang utang semasa hidupnya, wasiat
3. Menentukan harta warisan
Tahap kedua:
1. Siapa yang mahjub
2. Siapa yang ashabah(penerima sisa)
3. Menetukan bagian zawil furudl yang tidak mahjub dan bukan
asabah
Tahap ketiga:
Menentukan asal masalah (kelipatan persekutuan kecil) bilangan
penyebut dari pecahan bagian masing-masing ahli waris

10

Dilihat dari segi bilangan penyebut masing-masing bagian ada empat


macam, yaitu:
1. Mudhakalafah
2. Mumatsalah
3. Mubayana
4. Muwafaqa

2.5. Praktek Kewarisan Islam


Apabila hukum waris dalam prakteknya dibicarakan, saya memberiakn
contoh di salah satu wilayah kabupaten di Indonesia yaitu kabupaten donggala
untuk dijadikan studi kasus. Dalam menguraikan pelaksanaan hokum kewarisan
dimaksud perlu di ungkapkan: 1 bentuk pelasanaan hokum kewarisan di luar
pengadilan agama dan 2 bentuk pelasanaan di pengadilan agama.
1. Pelaksanaan hokum waris di luar pengadulan agama: kalau di perhatikan
pembagian harta warisan yang dilakukan masyarakat donggala di luar
pengadilan agama ada 3 bentuk pelaksanaan yaitu pembagian harta
melalui musyawarah ahli waris, pembagian harta warisan melalui
musyawarah dewan adat, pembagian harta warisan melalui pengadilan
negeri.
2. Pelaksanaan hokum waris di pengadilan agama: kalau di perhatikan
pelaksanaan hokum kewarisan melalui pengadilan agama di kabupaten
donggala tahun 1989 sampai tahun 1993 tanpak penyelesain 26 buah
buah permohonan putusan yang terdiri 17 buah penetapan ahli waris, 6
buah kasus pembagian harta warisan dan tiga buah akta persetujuan
pembagian harta warisan dari masyarakat muslim di kabupaten
donggala.

11

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Pembahasan mengenai hukum kewarisan islam pada dasarnya menyangkut
tiga hal pokok yaitu pewaris,ahli waris,dan harta warisan. Ketiga hal pokok itu
dapat diklasifikasikan dalam dua kategori hubungan yaitu hubungan kekerabatan
dan hubungan perkawinan

3.2. Saran
Hukum kewarisan islam sebagai hokum yang berkaitan dengan ajaran agama
islam bagi masyarakat muslim, perlu dikaji secara mendalam, dalam pelaksanaan
yang dilakukan oleh masyarakat muslim yang bersistem kekrabatan patrilineal,
matrilineal, bilateral dalam rangaka pembianaan hukum kewarisan islam yang
bercirikan budaya hukum ke indonesiaan.

12

DAFTAR PUSTAKA

Moch. Koesnoe, Perbandingan antara Hukum Islam, Hukum Eropa dan


Hukum Adat.

Seminar Pembinaan Kurikulum Hukum Islam di Perguruan Tinggi, Badan


Kerjasama PTIS, Kaliurang, 1980.

Biro Pusat Statistik, Penduduk Indonesia Menurut Propinsi, Seri L No. 3,


Tabel 6. Cf. Tabel 9.

Ahmad Azhar Basyir, Hukum Adat Bagi Umat Islam, Yogyakarta, Nur
Cahaya, 1983. Cf. Sajuti Thalib, Receptio A Contrario (Hubungan Hukum
Adat dengan Hukum Islam),

13

Anda mungkin juga menyukai