Anda di halaman 1dari 17

Makalah

Waris
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi Tugas Mata Kuliah Hadis Ahkam yang diampu
oleh bapak Drs. Harun Rasyid M. Ag.

Disusun oleh kelompok 5 :

 Ramdhani Ramadhan : 11220360000085


 Harman : 11220360000092
 Ahmad Arkan : 112203600000100
 Nadifa Zalma : 11220360000084

PRODI ILMU HADIST


FAKULTAS USHULUDIN
SEMESTER TIGA
UIN SYARIF HIDAYATULLOH
2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya,
penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "Waris ”dengan tepat waktu.
Makalah disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hadis Ahkam Selain itu,
makalah ini bertujuan menambah wawasan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak dosen Drs. Harun Rasyid M. Ag.
selaku guru Hadis Ahkam Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak
yang telah membantu diselesaikannya makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran
dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR ISI

COVER……………………………………………………………………………i

KATA PENGANTAR………………………………………….…………………ii

DAFTAR ISI………………………………..……………………………………iii

BAB I PENDAHULUAN

BAB II PEMBAHASAN

A. Definisi Waris…..………………………..……………….………….1
B. Pemahaman Dasar Al-Quran tentang Warisan………………………2
C. Harta Peninggalan ( Tirkah)……………………………...………….3
D. Penerima Waris …………………………………….……………….4
E. Kelompok Ahli Waris..........................................................................5
F. BAB I

PENDAHULUAN

Warisan atau waris dalam Islam merupakan salah satu aspek yang sangat penting
dalam hukum dan tata cara kehidupan umat Muslim. Konsep waris dalam Islam tidak
hanya memiliki relevansi dalam konteks hukum, tetapi juga memiliki implikasi sosial,
ekonomi, dan budaya yang sangat signifikan. Sejak zaman Nabi Muhammad SAW,
hukum waris telah menjadi bagian integral dari ajaran Islam, dan pengaturannya terdapat
dalam Al-Quran dan Hadis.
Makalah ini akan menggali lebih dalam tentang konsep waris dalam Islam, dengan
mempertimbangkan prinsip-prinsip, aturan, dan nilai-nilai yang mendasarinya. Selain itu,
kami juga akan membahas aspek-aspek praktis terkait dengan penyelesaian warisan
dalam masyarakat Muslim, termasuk peran hukum Islam dalam menyelesaikan konflik
dan perbedaan pendapat yang mungkin timbul dalam proses pewarisan.
Melalui pembahasan dalam makalah ini, kami berharap untuk memberikan
pemahaman yang lebih mendalam tentang konsep waris dalam Islam, serta
mempertimbangkan implikasi etis, sosial, dan hukumnya dalam kehidupan sehari-hari
umat Muslim. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang hal ini, diharapkan
masyarakat Muslim dapat menghadapi berbagai tantangan dalam pengaturan warisan
dengan bijak dan sesuai dengan ajaran agama mereka.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definsi Waris

Istilah Fara’id adalah bahasa yang menunjukkan bentuk plural/jamak. Adapun


bentuk mufradnya adalah "Faridah” yang berarti : suatu ketentuan; atau dapat pula
diartikan bagian-bagian yang yang tertentu. Di dalam hukum waris Islam dikenal dengan
istilah “ilmul fara’id” atau disebut pula ilmul mirats; yakni ilmu yang membahas tentang
pembagian warisan dari seseorang yang meninggal dunia.1
Dalam hukum kewarisan Islam, para fukaha/ulama mendefinisikan hukum
kewarisan Islam sebagai suatu ilmu yang dengan dialih dapat kita ketahui orang yang
menerima pusaka, orang yang tidak menerima pusaka,serta kadar yang diterima tiap-tiap
ahli waris dan cara membaginya. Jadi hukum waris Islam adalah perangkat ketentuan
hukum yang mengatur pembagian harta kekayaan yang dimiliki seseorang pada waktun ia
meninggal dunia.

Menurut para ahli hukum, mengenai pengertian hukum kewarisan mengemukakan


sebagai berikut.

1. Wirjono Prodijodikoro menulis bahwa warisan adalah soal apakah dan


bagaimanakah pelbagai hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada
waktu ia meninggal dunia akan beralih pada orang lain yang masih hidup.
2. Soepomo menyatakan bahwa hukum waris memuat peraturan-praturan yang
mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda
dan barang-barang tidak berwujud benda dari suatu angkatan manusia kepada
keturunannya. Proses tersebut dimulai pada waktu orang tua masih hidup.
Proses tersebut tidak menjadi akut oleh sebab orang tua meninggal dunia.

Selanjutnya, Zaenuddin Ali mengutip beberapa definisi atau pengertian hukum waris adat,
yaitu sebagai berikut.

1. Betrand Ter Haar. Hukum waris adat adalah proses penerusan dan
peralihan kekayaan materiil dan immateriil dari turunan keturunan.

1
Drs. Sudarsono, S.H. Hukum Waris dan Sistem Bilateral. Jakarta, Pt Rineka Cipta
2. Hilman Hadikusuma. Hukum waris adat adalah hukum adat yang
memuat garis-garis ketentuan-ketentuan tentang sistem dan asas-
asas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan ahli waris
serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasaan dan
kepemilikannya dari kepada ahli waris.

Dari beberapa definisi di atas, nyatalah bahwa hukum kewarisan (baik menurut
hukum perdata, hukum adat, dan hukum islam) adalah seperangkat norma atau aturan
hukum yang mengatur kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai siapa yang
menerima pemindahan baik karena undang-undang maupun karena kehendak sebelum
yang bersangkutan meninggal dunia.

Dengan demikian, itu berarti bahwa hukum kewarisan pada prinsipnya mengatur
tentang :

1. Bagaimana proses pemindahan kekayaan seseorang yang meninggal dunia


kepada satu atau beberapa orang lain ;
2. Harta kekayaan tersebut baik berwujud maupun tidak berwujud atau
materiil maupun immateriil;
3. Perpindahan tersebut dari yang disebut sebagain “pewaris” dan kepada
orang lain yang disebutn “ahli waris” yang karena undang-undang;
4. Perpindahan tersebut dapat juga karena kehendak “pewaris” sebelum yang
bersangkutan meninggal dunia.2

B. Pemahaman Dasar Al-Quran tentang Warisan

Prof. Mr. Dr. Hazairin secara lugas membahas tentang “turunnya ayat-ayat
kewarisan”.

1. Muhammad bin Munkadir mendengar Jabir bin ‘Abdillah berkata bahwa


dalam sakitnya ia dikunjungi oleh Rasulullah Saw. dan Abu Bakar, maka Jabir
bertanya kepada Rasulullah Saw.: ”innama li ikhwatun….kaifa asna’u (akdi)
bi mali?” (“Aku hanya mempunyai saudara-saudara Perempuan...maka
betapalah aku perbuat dengan hartaku?”). Rasulullah Saw tidak menjawab
sampailah turun ayat-ayat kewarisan (Bukhari). Maka dari itu dapatlah

2
H. Zaeni Asyhadie, S.H., M.um. Prinsip-Prinsip Dasar Hukum Kewarisan di Indonesia, Depok. PT
Rajagrafindo Perdada
ditaksir bahwa ayat-ayat kewarisan yang dimaksud dalam hadis tersebut ialah
surat An-Nisa ayat 176, di mana antara lain ditetapkan bahwa jika orang mati
tidak berketurunan dengan meninggalkan dua orang bersaudara Perempuan
maka mereka ini mendapat ⅔ bagian dari harta peninggalan setelah
dikurangkan hutang dan wasiat.
Adapun surat An-Nisa ayat 176 menjelaskan sebagai berikut ;

ۚ ‫َيْسَتْفُتْو َنَۗك ُقِل ُهّٰللا ُيْفِتْيُك ْم ِفى اْلَك ٰل َلِةۗ ِاِن اْم ُر ٌؤ ا َهَلَك َلْيَس َلٗه َو َلٌد َّو َلٓٗه ُاْخ ٌت َفَلَها ِنْص ُف َم ا َتَر َۚك َو ُهَو َيِرُثَهٓا ِاْن َّلْم َيُك ْن َّلَها َو َلٌد‬
ۗ‫َفِاْن َك اَنَتا اْثَنَتْيِن َفَلُهَم ا الُّثُلٰث ِن ِمَّم ا َتَر َكۗ َو ِاْن َك اُنْٓو ا ِاْخ َو ًة ِّر َج ااًل َّوِنَس ۤا ًء َفِللَّذ َك ِر ِم ْث ُل َح ِّظ اُاْلْنَثَيْيِۗن ُيَبِّيُن ُهّٰللا َلُك ْم َاْن َتِض ُّلْو ا‬
ࣖ . ‫َو ُهّٰللا ِبُك ِّل َش ْي ٍء َع ِلْيٌم‬

“ Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi


fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai
anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya
itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi
(seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara
perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan.
Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan,
maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan.
Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.” ( Q.S An- Nisa : 176).

2. Jabir menceritakan bahwa istri peninggalan Sa’ad bin Robi’ datang


menghadap Rasulullah dengan membawa dua orang anak
perempuannya dari sa’ad tersebut maka berkatalah janda itu. “Ya
Rasulullah, inilah dua orang anak Perempuan Sa’ad bin Robi yang
telah mati perang di Uhud di bawah komandomu. Maka sekarang
paman anak-anak ini ( yaitu saudara laki-laki bagi sa’ad) telah
mengambil harta mereka dengan tiada pula menyediakan
pembelanjaan bagi mereka..” Bersabda Rasulullah: “Allah akan
memberikan penetapan mengenai perkara ini”. Maka turunlah ayat
kewarisan, lalu Rasulullah: “Berikan kepada kedua orang anak
Perempuan Sa’ad ⅔ dan kepada wali anak-anak itu ⅛ dan sisanya
untuk kamulah” (Ahmad, At-Tirmidzi, Abu Daud, Ibn Majah dari
Nail’l Awtar dan Masykat’iwasilah). Dari Hadis tersebut dapatlah
kita psatikan bahwa telah serentak turun surat An-Nisa ayat 11 dan
12.3

C. Harta Peninggalan (Tirkah)

Secara umum, harta peninggalan berarti semua yang ditinggalkan oleh orang yang
meninggal dunia yang dibenarkan oleh syariat untuk diwarisi oleh para ahli warisnya.
Maka peninggalan mencakup hal-hal berikut ini :

a. Sifat-sifat yang memiliki nilai kebendaan. Misalnya benda tidak bergerak (rumah,
tanah, kebun), benda bergerak (kendaraan), piutang muwarrits yang menjadi
tanggungan orang lain, denda wajib yang dibayarkan kepadanya oleh si pembunuh
yang melakukan pembunuhan karena tidak sengaja, uang pengganti qishash
karena tindakan pembunuhan yang diampuni atau karena yang membunuh adalah
ayahnya sendiri.
b. Hak-hak kebendaan. Misalnya hak monopoli untuk mendayagunakan dan menarik
hasil dari suatu jalan lalu lintas, sumber air minum, irigasi.
c. Hak-hak yang bukan kebendaan. Misalnya hak khiyar, hak syuf’ah, hak
memanfaatkan barang yang diwasiatkan.
d. Benda-benda yang bersangkutan dengan hak orang lain. Misalnya benda-benda
yang sedang digadaikan oleh si muwarrits ketika ia masih hidup yang harganya
sudah dibayar tetapi barangnya belum diterima.

Secara khusus, pengertian harta peninggalan berbeda-beda menurut para ahli


fikih. Dikalangan ahli fikih bermadzhab Hanafi, terdapat 3 pendapat :

1. Tirkah adalah harta benda yang ditinggalkan oleh si muwarrits yang tidak
mempunyai hubungan hak dengan orang lain. Tirkah ini nantinya harus
digunakan untuk memenuhi biaya pengurus jenazah si muwarrits sejak
meninggalnya sampai dikuburkan, pelunasan utang, penunaian wasiat, dan hak
ahli waris.
2. Tirkah adalah sisa harta setelah diambil biaya pengurusan jenazah dan pelunasan
utang. Jadi tirkah disini adalah harta peninggalan yang harus dibayarkan untuk
melaksanakan wasiat dan yang harus diberikan kepada para ahli waris.4

3
Drs. Sudarsono, S.H. Hukum Waris dan Sistem Bilateral. Jakarta, Pt Rineka Cipta
4
Yani Achmad, Faraidh&Mawaris, hal.21
3. Tirkah secara mutlak, yaitu setiap harta benda yang ditinggalkan oleh si mayit.
Tirkah mencakup benda-benda yang bersangkutan dengan hak orang lain, biaya
pengurusan jenazah, pelunasan utang, pelaksanaan wasiat, dan pembagian warisan
kepada para ahli waris.

Ibnu Hazm sepemdapat dengan madzhab Hanafi yang menyatakan bahwa harta
peninggalan yang dapat diwariskan adalah yang berupa harta benda saja, sedangkan yang
berupa hak-hak tidak dapat diwariskan, kecuali jika hak-hak itu mengikuti kepada
bendanya, misalnya hak mendirikan bangunan atau menanam tumbuh-tumbuhan.

Menurut madzhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, tirkah mencakup semua yang
ditinggalkan si mayit, berupa harta benda dan hak-hak kebendaan serta hak-hak bukan
kebendaan. Hanya Imam Malik yang memasukkan hak-hak yang tidak dapat dibagi,
misalnya hak menjadi wali nikah.5

D. Penerima waris

Orang-orang yang berhak menerima harta waris dari seseorang yang meninggal
sebanyak 25 orang yang terdiri dari 15 orang dari pihak laki-laki dan 10 orang dari pihak
perempuan. Golongaan ahli waris dari pihak laki-laki, yaitu :

1.Anak laki-laki.

2.Anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu) dari pihak anak laki-laki, terus ke bawah, asal
pertaliannya masih terus laki-laki.

3.Bapak.

4.Kakek dari pihak bapak, dan terus ke atas pertalian yang belum putus dari pihak bapak.

5.Saudara laki-laki seibu sebapak.

6.Saudara laki-laki sebapak saja.

7.Saudara laki-laki seibu saja.

8.Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu sebapak.

9.Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak saja.

5
Yani Achmad, Faraidh&Mawaris, hal.22
10.Saudara laki-laki bapak (paman) dari pihak bapak yang seibu sebapak.

11.Saudara laki-laki bapak yang sebapak saja.

12. Anak laki-laki saudara bapak yang laki-laki (paman) yang seibu sebapak.

13. Anak laki-laki saudara bapak yang laki-laki (paman) yang sebapak saja.

14.Suami.

15. Laki-laki yang memerdekakannya (mayat).Apabila 10 orang laki-laki tersebut di atas


semua ada, maka yang mendapat harta warisan hanya 3 orang saja, yaitu :

1.Bapak.

2.Anak laki-laki.

3.Suami.

Golongan dari pihak perempuan, yaitu :

1.Anak perempuan.

2.Anak perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah, asal pertaliannnya
dengan yang meninggal masih terus laki-laki.

3.Ibu.

4.Ibu dari bapak.

5.Ibu dari ibu terus ke atas pihak ibu sebelum berselang laki-laki.

6.Saudara perempuan seibu sebapak.

7.Saudara perempuan yang sebapak.

8.Saudara perempuan seibu.

9.Istri.

10.Perempuan yang memerdekakan si mayat.

Apabila 10 orang tersebut di atas ada semuanya, maka yang dapat mewarisi dari
mereka itu hanya 5 orang saja, yaitu :
1.Isteri.

2.Anak perempuan.

3.Anak perempuan dari anak laki-laki.

4.Ibu.

5.Saudara perempuan yang seibu sebapak.

Sekiranya 25 orang tersebut di atas dari pihak laki-laki dan dari pihak perempuan
semuanya ada, maka yang pasti mendapat hanya salah seorang dari dua suami isteri, ibu
dan bapak, anak laki-laki dan anak perempuan. Anak yang berada dalam kandungan
ibunya juga mendapatkan warisan dari keluarganya yang meninggal dunia sewaktu dia
masih berada di dalam kandungan ibunya. Sabda Rasulullah SAW.

“apabila menangis anak yang baru lahir, ia mendapat pusaka.” (HR. Abu Dawud6

E. Kelompok Ahli Waris

Hal utama ketika menentukan bagian ahli waris adalah mengetahui hubungannya
dengan si mayit. Sehingga pada proses penentuan tidak terjadi kesalahan dalam
menentukan angka bagian. Karena, dengan adanya hubungan kekerabatan, maka hak
seseorang dapat ditentukan. Selain itu, hubungan seseorang dengan si mayit juga dapat
menentukan posisinya pada kelompok ahli waris. Adapun kelompok ahli waris dapat
diklasifikasikan menjadi 3 kelompok:
a. Kelompok Ashabul Furudh
Kelompok ahli waris yang telah ditentukan bagiannya dalam syariat, tidak
bertambah kecuali dengan raad dan tidak berkurang kecuali dengan ‘aul.
b. Kelompok Ashobah
Kelompok ahli waris yang tidak ditentukan bagiannya, kalau sendirian
mewarisi seluruh harta dan kalau bersama ashabul furudh mereka hanya mendapat
sisa harta jika masih ada yang tersisa.

6
-Muhammad Ali ash-Sahabuni, Al-Mawaris Fisy Syari’atil Islamiyyah ‘Ala Dhau’ Al- Kitab waSunnah.
Terj. A.M. Basalamah
“ Pembagian Waris Menurut
Islam”, Jakarta: Gema Insani Press,1995
c. Kelompok Dzawil Arham
Kelompok ahli waris yang kekerabatanya kepada orang yang meninggal
melalui jalur perempuan. Kelompok ini berbeda dengan kelompok ashabul furudh
dan ashobah.
Pada waktu melakukan penentuan bagian ahli waris, maka kelompok
ashabul furudh diutamakan terlebih dahulu, selanjutnya sisa harta diberikan
kepada kelompok ashobah. Kemudian, apabila kelompok ashabul furudh dan
kelompok ashobah tidak ada, maka harta warisan diserahkan kepada kelompok
dzawil arham.
Maka akan digambarkan sistem penentuan bagian ahli waris sebagai
berikut.

1) Suami
Mendapat 1/2 apabila tidak ada furu’waris, yaitu keturunan si mayit baik
anak atupun cucu. Namun mendapat 1/4 apabila ada furu’ waris.
2) Istri
Mendapat 1/4 apabila tidak ada furu’ waris. Namun mendapat 1/8 apabila
ada furu’ waris.
3) Anak laki-laki kandung
Ashobah binnafsi jika tidak ada anak perempuan kandung, dan Ashobah
bilghoir bila bersama dengan anak perempuan kandung.
4) Anak perempuan kandung
Mendapat 1/2 apabila sendirian serta tidak ada mu’ashshib-nya, yaitu
saudaranya yang sederajat dengannya (anak laki-laki kandung), dan mendapat 2/3
apabila jumlahnya dua orang atau lebih dan tidak ada mu’ashshib-nya, serta
Ashobah bilghoir apabila dengan mu’ashshib-nya yaitu anak laki-laki kandung
5) Cucu laki-laki dari anak laki-laki kandung.
Ashobah binnafsi apabila tidak ada cucu perempuan kandung dari anak
laki-laki kandung dan tidak ada furu’ waris a’la, yaitu anak laki-laki kandung, dan
Ashobah bilghoir apabila ada cucu perempuan kandung dari anak laki-laki
kandung dan tidak ada furu’ waris a’la, yaitu anak laki-laki kandung.
6) Cucu perempuan dari anak laki-laki kandung
Mendapat 1/2 jika sendirian, tidak ada cucu laki-laki kandung
(mu’ashshib), dan tidak ada furu’ waris a’la, yaitu yang di atasnya, dan mendapat
2/3 jika dua orang atau lebih, tidak ada cucu laki-laki kandung (mu’ashshib), dan
tidak ada furu’ waris a’la, yaitu yang di atasnya. Serta, mendapat 1/6 jika anak
perempuan mendapat 1/2, tidak ada cucu laki-laki kandung (mu’ashshib), dan
tidak ada furu’ waris laki-laki di atasnya. Dan Ashobah bilghoir jika ada cucu
laki-laki kandung dari anak laki-laki kandung, dan tidak ada furu’ waris laki-laki.
7) Ayah
Mendapat 1/6 apabila dengan furu’ waris laki-laki dan perempuan secara
bersamaan. Namun mendapat 1/6 apabila dengan furu’ waris laki-laki saja. Serta,
mendapat 1/6 ditambah sisa atau sekaligus menjadi ashobah apabila dengan furu’
waris perempuan saja, dan Ashobah apabila tidak ada furu’ waris.
8) Ibu
Mendapat 1/3 apabila tidak ada furu’ waris sama sekali dan atau jumlah
saudara tidak lebih dari satu orang, dan mendapat 1/6 apabila ada furu’ waris dan
atau jumlah saudara dua orang atau lebih.
9) Kakek
Mendapat 1/6 apabila tidak ada ayah, ada furu’ waris laki-laki dan
perempuan secara bersamaan. Namun mendapat 1/6 apabila tidak ada ayah dan
furu’ warisnya laki-laki saja, dan mendapat 1/6 ditambah sisa apabila ayah tidak
ada dan furu’ warisnya perempuan saja. Serta, Ashobah apabila ayah tidak ada
dan furu’ waris juga tidak ada.
10) Nenek
Mendapat 1/6 apabila ayah dan ibu tidak ada serta tidak ada nenek yang
lebih dekat kepada orang yang meninggal.
11) Saudara Laki-laki Kandung
Ashobah binnafsi apabila tidak ada saudara perempuan kandung dan
penghalang lainnya, yaitu ushul dzukur, yaitu ayah atau kakek dan furu’ waris
laki-laki. Menjadi Ashobah bilghoir apabila ada saudara perempuan kandung,
tidak ada penghalangnya, yaitu ushul dzukur, dan furu’ waris laki-laki.
12) Saudara Perempuan Kandung
Mendapat 1/2 jika sendirian, tidak ada mu’ashshibnya (saudara laki-
laki kandung) dan penghalang lainnya, yaitu ushul dzukur, dan furu’ waris.
Namun, mendapat 2/3 apabila mereka berjumlah dua orang atau lebih, tidak ada
mu’ashshibnya dan penghalang lainnya, yaitu ushul dzukur, dan furu’ waris.
Menjadi Ashobah bilghoir apabila ada mu’ashshibnya, tidak ada penghalangnya,
yaitu ushul dzukur, dan furu’ waris laki-laki, dan menjadi Ashobah ma’alghoir,
apabila ada furu’ waris perempuan, tidak ada mu’ashshibnya dan penghalangnya,
yaitu ushul dzukur, dan furu’ waris laki-laki.
13) Saudara Laki-laki Seayah
Ashobah binnafsi, apabila tidak ada saudara perempuan seayah, saudara
laki-laki kandung, saudara perempuan kandung dalam posisi ashobah ma’alghoir,
ushul dzukur, dan furu’ waris. Dan Ashobah bilghoir, apabila tidak ada saudara
perempuan seayah, saudara laki-laki kandung, saudara perempuan kandung dalam
posisi ashobah ma’alghoir, ushul dzukur, dan furu’ waris laki-laki.
14) Saudara Perempuan Seayah
Mendapat 1/2 jika sendirian, tidak ada mu’ashshibnya (saudara laki-laki
seayah) dan penghalang lainnya, yaitu saudara perempuan kandung, saudara laki-
laki kandung, ushul dzukur, dan furu’ waris, dan mendapat 2/3 apabila mereka
berjumlah 2 orang atau lebih, tidak ada mu’ashshibnya dan penghalang lainnya,
yaitu saudara perempuan kandung, saudara laki-laki kandung, ushul dzukur, dan
furu’ waris. Serta, mendapat 1/6 apabila saudara perempuan kandung sendirian,
tidak ada mu’ashshibnya dan penghalang lainnya, yaitu saudara perempuan
kandung, saudara laki-laki kandung, ushul dzukur, dan furu’ waris. Menjadi
Ashobah bilghoir apabila ada mu’ashshibnya, tidak ada penghalangnya, yaitu
saudara perempuan kandung dalam posisi ashobah ma’alghoir, saudara laki-laki
kandung, ushul dzukur, dan furu’ waris laki-laki, dan Ashobah ma’alghoir,
apabila ada furu’ waris perempuan, tidak ada mu’ashshibnya dan penghalangnya,
yaitu saudara perempuan kandung, saudara laki-laki kandung, ushul dzukur, dan
furu’ waris laki-laki.
15) Saudara Laki-laki Seibu
Mendapat 1/6 apabila sendirian, kemudian tidak ada ushul dzukur yaitu
ayah dan kakek dan atau tidak ada furu’ waris sama sekali, dan mendapat 1/3
apabila jumlahnya dua orang atau lebih, kemudian tidak ada ushul dzukur dan atau
furu’ waris sama sekali.
16) Saudara Perempuan Seibu
Mendapat 1/6 apabila sendirian, kemudian tidak ada ushul dzukur yaitu
ayah dan kakek dan atau tidak ada furu’ waris sama sekali, dan mendapat 1/3
apabila jumlahnya dua orang atau lebih, kemudian tidak ada ushul dzukur dan atau
furu’ waris sama sekali.
17) Anak Laki-laki dari Saudara Laki-laki Kandung
Ashobah binnafsi apabila tidak ada ashobah sebelumnya, yaitu tidak ada
saudara perempuan seayah dalam posisi ashobah ma’alghoir, saudara laki-laki
seayah, saudara perempuan kandung dalam posisi ashobah ma’alghoir, saudara
laki-laki kandung, kakek, ayah, cucu laki-laki kandung dari anak laki-laki
kandung dan anak laki-laki kandung tidak ada.
18) Anak Laki-laki dari Saudara Seayah
Ashobah binnafsi apabila tidak ada ashobah sebelumnya, yaitu tidak ada
anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung, saudara perempuan seayah dalam
posisi ashobah ma’alghoir, saudara laki-laki seayah, saudara perempuan kandung
dalam posisi ashobah ma’alghoir, saudara laki-laki kandung, kakek, ayah, cucu
laki-laki kandung dari anak laki-laki kandung dan anak laki-laki kandung.
19) Paman Kandung
Ashobah binnafsi apabila tidak ada ashobah sebelumnya, yaitu tidak ada
anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah, anak laki-laki dari saudara laki-laki
kandung, saudara perempuan seayah dalam posisi ashobah ma’alghoir, saudara
laki-laki seayah, saudara perempuan kandung dalam posisi ashobah ma’alghoir,
saudara laki-laki kandung, kakek, ayah, cucu laki-laki kandung dari anak laki-laki
kandung dan anak laki-laki kandung tidak ada.
20) Paman Seayah
Ashobah binnafsi apabila tidak ada ashobah sebelumnya, yaitu tidak ada
paman kandung, anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah, anak laki-laki dari
saudara laki-laki kandung, saudara perempuan seayah dalam posisi ashobah
ma’alghoir, saudara laki-laki seayah, saudara perempuan kandung dalam posisi
ashobah ma’alghoir, saudara laki-laki kandung, kakek, ayah, cucu laki-laki
kandung dari anak laki-laki kandung dan anak laki-laki kandung tidak ada.
21) Anak Laki-laki Paman Kandung
Ashobah binnafsi apabila tidak ada ashobah sebelumnya, yaitu tidak ada
paman seayah, paman kandung, anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah,
anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung, saudara perempuan seayah dalam
posisi ashobah ma’alghoir, saudara laki-laki seayah, saudara perempuan kandung
dalam posisi ashobah ma’alghoir, saudara laki-laki kandung, kakek, ayah, cucu
laki-laki kandung dari anak laki-laki kandung dan anak laki-laki kandung.
22) Anak Laki-laki Paman Seayah
Ashobah binnafsi apabila tidak ada ashobah sebelumnya, yaitu tidak ada
anak laki-laki dari paman kandung, paman seayah, paman kandung, anak laki-
laki dari saudara laki-laki seayah, anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung,
saudara perempuan seayah dalam posisi ashobah ma’alghoir, saudara laki-laki
seayah, saudara perempuan kandung dalam posisi ashobah ma’alghoir, saudara
laki-laki kandung, kakek, ayah, cucu laki-laki kandung dari anak laki-laki
kandung dan anak laki-laki kandung.
23) Mu’tiq dan Mu’tiqoh atau orang yang memerdekakan hamba sahaya
Ashobah binnafsi apabila tidak ada ashobah sebelumnya, yaitu tidak ada
anak laki-laki dari paman seayah, anak laki-laki dari paman kandung, paman
seayah, paman kandung, anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah, anak laki-
laki dari saudara laki-laki kandung, saudara perempuan seayah dalam posisi
ashobah ma’alghoir, saudara laki-laki seayah, saudara perempuan kandung dalam
posisi ashobah ma’alghoir, saudara laki-laki kandung, kakek, ayah, cucu laki-laki
kandung dari anak laki-laki kandung dan anak laki-laki kandung.
7

DAFTAR PUSTAKA

Drs. Sudarsono, S.H. Hukum Waris dan Sistem Bilateral. Jakarta, Pt Rineka Cipta
2
H. Zaeni Asyhadie, S.H., M.um. Prinsip-Prinsip Dasar Hukum Kewarisan di Indonesia,
Depok. PT Rajagrafindo Perdada
3
Drs. Sudarsono, S.H. Hukum Waris dan Sistem Bilateral. Jakarta, Pt Rineka Cipta
4
Yani Achmad, Faraidh&Mawaris, hal.21
5
Yani Achmad, Faraidh&Mawaris, hal.22
6
-Muhammad Ali ash-Sahabuni, Al-Mawaris Fisy Syari’atil Islamiyyah ‘Ala Dhau’
Al- Kitab waSunnah.Terj. A.M. Basalamah“ Pembagian Waris Menurut Islam”,
Jakarta: Gema Insani Press,1995
7
AL-SYAKHSHIYYAH: Jurnal Hukum Keluarga Islam dan Kemanusiaanp-ISSN
2685-3248; e-ISSN 2685-5887

7
AL-SYAKHSHIYYAH: Jurnal Hukum Keluarga Islam dan Kemanusiaan
p-ISSN 2685-3248; e-ISSN 2685-5887

Anda mungkin juga menyukai