Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

PENGERTIAN, DASAR, DAN RUKUN MAWARIS


Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
Fiqih Ibadah, Mu’ammalah, dan Mawaris
Dosen Pengampu:

Dr. Nurul Hidayat, M.Ag

Disusun oleh: Kelompok 9

1. Dewi Lathifa Rahmadani (126201202101)


2. Zulfa Ainia (126201203250)
3. Roymart Dorisa (126201203266)

SEMESTER III
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UIN SAYYID ALI RAHMATULLAH TULUNGAGUNG
OKTOBER 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat serta
taufik dan hidayahNya, sehingga kita dapat menyelesaikan tugas pembuatan
makalah ini. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan pada junjungan kita
Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan kita dari jalan jahiliyah menuju
jalan terang benderang ini yaitu agama islam.
Atas dukungan moral dan materi yang diberikan dalam penyusunan
makalah ini, maka penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Maftukhin, M. Ag selaku Rektor UIN Sayyid Ali Rahmatullah
Tulungagung.
2. Prof. Dr. Hj. Binti Maunah, M.Pd.I selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan
Ilmu Keguruan.
3. Dr. Muhammad Zaini, MA selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama
Islam.
4. Dr. Nurul Hidayat, M.Ag selaku dosen pengampu mata kuliah Fiqih
Ibadah, Mu’ammalah, dan Mawaris.
5. Sifitas akademik UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung yang telah
membantu kami dalam menyusun makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
kata sempurna. Maka dari itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak untuk penyempurna makalah ini.

Tulungagung, Oktober 2021

Kelompok 9

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...........................................................................................2

DAFTAR ISI ..........................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................4

A. Latar Belakang ............................................................................................4


B. Rumusan Masalah .......................................................................................4
C. Tujuan Pembahasan ....................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................5

A. Pengertian Mawaris ....................................................................................5


B. Dasar Mawaris ............................................................................................7
C. Rukun dan Syarat Mawaris .......................................................................14

BAB III PENUTUP..............................................................................................17

A. Kesimpulan................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................18

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu mawaris merupakan ilmu yang sangat penting dalam Islam,
karena dengan ilmu mawaris harta peninggalan seseorang dapat disalurkan
kepada orang yang berhak menerimanya, dan juga mencegah adanya
perselisihan antar pihak karena memperebutkan sebuah warisan. Dengan
adanya ilmu mawaris ini, pihak-pihak tersebut tidak akan ada yang merasa
dirugikan, karena pembagian harta warisan ini adalah yang terbaik dalam
pandangan Allah dan manusia. Permasalahannya adalah banyak orang
yang belum memahami ilmu mawaris, dan juga sulit menemukan orang
yang benar-benar menguasai ilmu ini. Di sisi lain, banyak masyarakat
yang tidak mau tahu dengan ilmu ini hingga akhirnya masyarakat tersebut
membagi sebuah warisan dengan kehendak mereka sendiri dan tidak
sesuai dengan hukum Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan mawaris ?
2. Apa saja dasar hukum dalam ilmu mawaris ?
3. Apa saja rukun dan syarat mawaris ?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui ilmu mawaris.
2. Untuk mengetahui dasar-dasar hukum ilmu mawaris.
3. Untuk mengetahui rukun dan syarat mawaris.

4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mawaris
Ilmu mawaris adalah ilmu yang diberikan status hukum oleh Allah
Swt. sebagai ilmu yang sangat penting, karena ia merupakan ketentuan
Allah Swt. dalam firman-Nya yang sudah terinci sedemikian rupa tentang
hukum mawaris, terutama mengenai ketentuan pembagian harta warisan.
Kata mawaris diambil dari bahasa Arab. Mawaris bentuk jamak dari al-
mirats adalah bentuk masdar dari waritsa- yaritsu-irtsan-miratsan yang
semakna dengan yang berarti harta peninggalan; yaitu harta peninggalan
dari orang yang meninggal.1

Pengertian al-mirats adalah perpindahan sesuatu dari seseorang


kepada orang lain atau dari suatu kaum kepada kaum lain. Dengan
demikian, obyek kewarisan sangat luas tidak hanya terbatas pada harta
benda.2

Ilmu yang mempelajari hal-hal yang menyangkut waris disebut


dengan ilmu mawaris atau dikenal juga dengan istilah fara’id . Kata (

‫ ) افرائض‬faraid jamak dari ( ‫ ) افرىضة‬faridlah dan berasal dari kata (‫) افرض‬
fardlu yang dalam pengertian kewarisan yaitu ketentuan atau ketetapan
syara’. Sedangkan secara istilah, mawaris atau Warisan  diartikan sebagai
perpindahan harta atau kepemilikan suatu benda dari orang meninggal
dunia atau pewaris kepada ahli warisnya yang masih hidup.

Harta warisan atau harta peninggalan dalam ilmu mawaris dikenal


dengan sebutan tirkah yang artinya peninggalan. Tirkah diartikan sebagai
sesuatu atau harta yang berupa materi  ditinggalkan oleh pewaris atau

1
M Dhamrah Khair, Hukum Kewarisan Islam menurut Ajaran Suni, (Bandar Lampung: Fakultas
Syariah IAIN Raden Intan Lampung, 2011), hal.11
2
Muhammad Ali Al-Sabouni, Hukum Kewarisan Menurut AlQur‟an dan Sunnah, (Jakarta: Dar
Al-Kutub Al-Islamiyah, 2005), hal.41

5
orang yang meninggal, dan pembagiannya harus sesuai dengan syariat
Islam.

Ditinjau dari segi istilah Ilmu Faraid, pengertian almirats adalah


perpindahan hak pemilikan dari mayit (orang yang meninggal dunia)
kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik pemilikan tersebut berupa
harta, tanah maupun hak-hak lain yang sah. Mawaris adalah suatu disiplin
ilmu yang membahas tentang harta peninggalan, tentang bagaimana proses
pemindahan, siapa saja yang berhak menerima harta peninggalan itu serta
berapa bagian masing-masing.3

Prof Hasby As-Shiddiqi memberikan pengertian hukum waris


(fiqh mawaris) yaitu ilmu yang dengan dia dapat diketahui orang-orang
yang mewarisi, orang-orang yang tidak dapat mewarisi, kadar yang
diterima oleh masing-masing ahli waris, serta cara pengembaliannya.4

Mawaris adalah ilmu yang berkaitan dengan pembagian warga


warisan berdasarkan prinsip dan syariat Islam. Umumnya disebut juga
dengan ilmu faraidh. Ilmu inilah yang digunakan untuk melakukan
pembagian harta kepada para ahli waris. Memahami ilmu mawaris
hukumnya adalah fardu kifayah. Artinya jika ada yang sudah
mempelajarinya maka gugurlah kewajiban bagi yang lainnya. Akan tetapi,
saat ini semakin sedikit orang yang memahami ilmu ini. 

Pentingnya pengertian di balik ilmu mawaris bertujuan untuk


menciptakan kedamaian di tengah-tengah keluarga. Tak jarang keluarga
pecah bahkan hingga terjadi pertumpahan darah karena pembagian warisan
yang dianggap tidak adil. Itulah mengapa ilmu tersebut disebut-sebut oleh
baginda Nabi Muhammad SAW sebagai separuh dari inti agama.

3
Muhammad Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai pembaharuan
Hukum Positif di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal.7
4
Teungku Muhammad Hasbi As-Shiddiqi, Fiqih Mawaris, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001),
hal.5

6
Alasannya karena menurut Ibnu Uyainah bahwa pembagian warisan
merupakan keniscayaan yang akan dihadapi oleh setiap manusia.

B. Dasar Hukum Mawaris


Dasar dan sumber utama dari hukum Islam sebagai hukum agama
(Islam) adalah nash atau teks yang terdapat dalam Al-Qur’an dan sunnah
Nabi (Al-Hadist). Ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang secara
langsung mengatur kewarisan tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Ayat-ayat Al-Qur’an
QS. An-Nisa’ : 7
ِ ِ ‫ان وٱأْل َقْربو َن ولِلن‬
ِ ‫صيب ِّم َّما َتر َك ٱل ْٰولِ َد‬ ِ ِ ِ ِ ‫لرج‬
‫ان‬ َ َ ٌ َ‫ِّسٓاء ن‬
َ َ ُ َ َ ‫يب ِّم َّما َت َر َك ٱل َْٰول َد‬
ٌ ‫ال نَص‬ َ ِّ ِّ‫ل‬

‫ضا‬ ِ َ‫وٱأْل َقْربو َن ِم َّما قَ َّل ِم ْنهُ أَو َك ُثر ۚ ن‬


ً ‫صيبًا َّم ْف ُرو‬ َ ْ َُ َ
Arti: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-
bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari
harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bahagian yang telah ditetapkan.”
Ketentuan dalam ayat diatas merupakan merupakan landasan
utama yang menunjukkan, bahwa dalam Islam baik laki-laki maupun
perempuan sama-sama mempunyai hak waris, dan sekaligus merupakan
pengakuan Islam, bahwa perempuan merupakan subjek hukum yang
mempunyai hak dan kewajiban. Tidak demikian halnya pada masa
jahiliyah, dimana wanita dipandang sebagai objek bagaikan benda biasa
yang dapat diwariskan. 5
Sebagai pertanda yang lebih nyata, bahwa Islam mengakui wanita
sebagai subjek hukum, dalam keadaan tertentu mempunyai hak waris,
sedikit ataupun banyak yang telah dijelaskan dalam beberapa ayat al-
Qur’an. Diantara nya terdapat dalam surah An-Nisa’ ayat 11:

5
Mohammad Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam (Sebagai Prmbaharuan
Hukum Positif di Indonesia), (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 12

7
QS. An-Nisa’ : 11
ِ َّ ِ‫وصي ُكم ٱللَّهُ فِ ٓى أ َْو ٰلَ ِد ُك ْم ۖ ل‬
ِّ ‫لذ َك ِر ِمثْل َح‬ ِ ‫ي‬
ً ‫ُنثَي ْي ِن ۚ فَِإن ُك َّن ن َس‬
‫ٓاء َف ْو َق ٱ ْثنََت ْي ِن‬ َ ‫ظ ٱأْل‬ ُ ُ ُ

‫ف ۚ َوأِل ََب َويْ ِه لِ ُك ِّل َٰو ِح ٍد ِّم ْن ُه َما‬


ُ ‫ِّص‬ ِ ْ َ‫َفلَه َّن ُثلُثَا ما َتر َك ۖ وإِن َكان‬
ْ ‫ت َٰوح َد ًة َفلَ َها ٱلن‬ َ َ َ ُ

ۚ‫ث‬ ُّ ‫س ِم َّما َت َر َك إِن َكا َن لَهُۥ َولَ ٌد ۚ فَِإن لَّ ْم يَ ُكن لَّهُۥ َولَ ٌد َو َو ِرثَهُۥٓ أ ََب َواهُ فَأِل ُِّم ِه‬
ُ ُ‫ٱلثل‬ ُ ‫ٱلس ُد‬
ُّ

‫وصى بِ َهٓا أ َْو َديْ ٍن ۗ َءابَٓا ُؤ ُك ْم‬ ِ ِ


ِ ‫صيَّ ٍة ي‬ ِ ‫ٱلس ُد‬ ِ ‫أِل‬ ِ ِ
ُ ‫س ۚ م ۢن َب ْعد َو‬
ُ ُّ ‫فَإن َكا َن لَهُٓۥ إ ْخ َوةٌ فَ ُِّمه‬
ِ ِ
ً ‫ضةً ِّم َن ٱللَّه ۗ إِ َّن ٱللَّهَ َكا َن َعل‬
‫يما‬ َ ‫ب لَ ُك ْم َن ْف ًعا ۚ فَ ِري‬
ُ ‫َوأ َْبنَٓا ُؤ ُك ْم اَل تَ ْد ُرو َن أ َُّي ُه ْم أَق َْر‬

‫يما‬ ِ
ً ‫َحك‬
Arti: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan
bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta
yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia
memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-
masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya
mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa
saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian
tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan)
sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu,
kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat
(banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
QS.An-Nisa’ : 176

8
ٌ ‫س لَهُۥ َولَ ٌد َولَهُٓۥ أُ ْخ‬
‫ت‬ َ َ‫ك قُ ِل ٱللَّهُ ُي ْفتِي ُك ْم فِى ٱلْ َك ٰلَلَ ِة ۚ إِ ِن ْٱم ُر ٌؤ ۟ا َهل‬
َ ‫ك ل َْي‬ َ َ‫يَ ْسَت ْفتُون‬

‫ف َما َت َر َك ۚ َو ُه َو يَ ِر ُث َهٓا إِن لَّ ْم يَ ُكن لَّ َها َولَ ٌد ۚ فَِإن َكا َنتَا ٱ ْثنََت ْي ِن َفلَ ُه َما‬ ْ ِ‫َفلَ َها ن‬
ُ ‫ص‬

‫ُنثَي ْي ِن ۗ ُيَبيِّ ُن‬ ِّ ‫لذ َك ِر ِمثْل َح‬


َ ‫ظ ٱأْل‬ َّ ِ‫ٓاء فَل‬ ِ ِ ِ ُّ
ً ‫ٱلثلُثَان م َّما َت َر َك ۚ َوإِن َكانُ ٓوا إِ ْخ َو ًة ِّر َجااًل َون َس‬
۟
ُ
‫ضلُّو ۟ا ۗ َوٱللَّهُ بِ ُك ِّل َش ْى ٍء َعلِي ۢ ٌم‬
ِ َ‫ٱللَّهُ لَ ُكم أَن ت‬
ْ
Arti: “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah:
"Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang
meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara
perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari
harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai
(seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi
jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka
(ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka
bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang
saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya
kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

2. Al-Hadist
Hadist Nabi Muhammad yang secara langsung mengatur tentang
kewarisan adalah sebagai berikut :
Hadist dari Ibnu Abbas ra.

‫ول اَللَّ ِه صلى اهلل عليه وسلم‬


ُ ‫ال َر ُس‬
َ َ‫ ق‬: ‫ال‬ ِ ‫اس – ر‬
َ َ‫ ق‬-‫ض َي اَللَّهُ َع ْن ُه َما‬ َ ٍ َّ‫َع ِن ابْ ِن َعب‬
‫ فَ َما بَِق َي َف ُه َو أِل َْولَى َر ُج ٍل ذَ َك ٍر ) ُمَّت َف ٌق َعلَْي ِه‬, ‫ض بِأ َْهلِ َها‬ ِ
َ ِ‫( أَلْح ُقوا اَلْ َف َرائ‬
Artinya : “Dari Ibnu Abbas ra. Dari Nabi saw, berkata ia: berikanlah
faraidh (bagian yang telah ditentukan dalam al-Qur‟an) kepada yang

9
berhak dan sisanya berikanlah kepada keluarga laki-laki yang terdekat”
(HR. Muttafaq Alaih).6

Hadist dari Ibnu Mas’ud ra.

‫ لِ ِإل ْبنَ ِة‬: )‫ضى النَّبِ ُّي (ص‬


َ ‫ت _ َف َق‬ َ
ٍ ِ ِ ٍ
ٍ ‫ت وبِْنتِابْ ٍن و أُ ْخ‬
َ ‫َع ِن ابْ ِن َم ْسعُ ْود _ ف ْي ب ْن‬
ِ ‫ وما ب ِقي فَلِألُ ْخ‬,‫الثلَُث ْي ِن‬
‫ت‬ ُّ َ‫ تَ ْك ِملَة‬,‫س‬ ُّ ‫ َو ِال ْبنَ ِة ا ِإلبْ ِن‬,‫ف‬
َ َ ََ ُ ‫الس ُد‬ ُ ‫ِّص‬
ْ ‫الن‬
Artinya : “Dari Ibnu Mas’ud, tentang anak perempuan dan cucu
perempuan dan saudara perempuan. Maka Nabi SAW telah
memutuskan : Bagi anak perempuan separuh dan bagi cucu perempuan
seperenam sebagai penyempurna dua per tiga, dan yang lebih itu bagi
saudara perempuan. (HR. Bukhari).”.7

Hadist dari Usamah bin Zaid ra.

َ َ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ق‬ ِ ٍ ُ ‫َح ِد‬


ُ ‫ال اَل يَ ِر‬
‫ث‬ َ ‫َن النَّبِ َّي‬
َّ ‫ أ‬: ُ‫ضي اللَّهُ َع ْنه‬
َ ‫ُس َامةَ بْ ِن َزيْد َر‬
َ ‫يث أ‬

‫ث الْ َكافِ ُر ال ُْم ْسلِ َم‬


ُ ‫ال ُْم ْسلِ ُم الْ َكافِ َر َواَل يَ ِر‬.
Artinya : “Dari Usamah bin Zaid bahwa Nabi saw bersabda: seorang
muslim tidak meneria hak kewarisan dari non muslim dan yang non
muslim tidak menerima hak kewarisan dari seorang muslim”.
(HR.Bukhari dan Muslim)8

3. Ijtihad para ulama’


Meskipun Al-Qur’an dan Al-Hadis| sudah memberikan ketentuan
terperinci mengenai pembagian harta warisan, dalam beberapa hal
masih diperlukan adanya ijtuhad, yaitu terhadap hal-hal yang tidak
ditentukan dalam al-Qur’an maupun al-Hadis|. Misalnya, mengenai
6
Al-Bukhari, Al-Jami’ li al-Shahih al-Bukhari, Jilid VII (Kairo: Daru al-Mathaba‟ah al-Sya‟bi,
t.th), hal.181
7
Al-Bukhari, Al-Jami’ li al-Shahih al-Bukhari, Jilid VII (Kairo: Daru al-Mathaba‟ah al-Sya‟bi,
t.th), hal. 188
8
Al-Bukhari, op.cit., hal. 94

10
waris banci (waria), diberikan kepada siapa harta warisan yang tidak
habis terbagi, bagian ibu apabila hanya bersama-sama dengan ayah dan
suami atau istri dan sebagainya.9
Contoh lain adalah: Status saudara yang mewarisi bersama-sama
dengan kakek, didalam al-Qur’an hal ini tidak dijelaskan, yang
dijelaskan hanyalah status saudara-saudara bersama dengan ayah atau
bersama-sama dengan anak laki-laki yang dalam kedua keadaan ini
mereka tidak mendapatkan apa-apa lantaran terhijab, kecuali dalam
masalah kalalah maka mereka mendapat bagian. Menurut pendapat
kebanyakan sahabat dan imam-imam madz|hab yang mengutip
pendapat Zaid bin s|abit, saudara-saudara tersebut mendapatkan pusaka
secara muqasamah dengan kakek.10
Staus cucu yang ayahnya lebih dahulu meninggal daripada kakek
yang bakal diwarisi yang mewarisi bersama dengan saudara-saudara
ayahnya. Menurut ketentuan, mereka tidak mendapatkan apa-apa
lantaran dihijab oleh saudara ayahnya, tetapi menurut Kitab Undang-
Undang Hukum Wasiat Mesir mereka diberi bagian berdasarkan atas
wasiat wajibah.11
Para fuqaha tabi’in dan imam-imam fiqih, di antaranya Said Ibnu
Musayyab, Ad-Dahak, Thaus, Al hasnul Bisri, Ahmad Ibnu Hambal,
Daud ibnu Ali, Ishak Ibnu Ruhawaih, Ibnu Jarir, dan Ibnu Hazm
berpendapat bahwa wasiat itu wajib untuk kerabat-kerabat terdekat
yang tidak mendapat harta pusaka. Hal ini ditetapkan berdasarkan
firman Allah SWT. Dalam surat Al-Baqarah ayat 180:

‫صيَّةُ لِل َْٰولِ َديْ ِن‬


ِ ‫ت إِن َتر َك َخ ْيرا ٱلْو‬
َ ً َ ُ ‫َح َد ُك ُم ٱل َْم ْو‬ َ ‫ب َعلَْي ُك ْم إِ َذا َح‬
َ ‫ض َر أ‬
ِ
َ ‫ُكت‬
ِ ِ ِ ِ‫وٱأْل َقْرب‬
َ ‫ين بٱل َْم ْع ُروف ۖ َح ًّقا َعلَى ٱل ُْمتَّق‬
‫ين‬ َ َ َ

9
Ahmad Azar Basyir. 2004. Hukum Waris Islam. Yogyakarta: UII Press. hal. 9
10
Mohammad Muhibbin dan Abdul Wahid. 2009. Hukum Kewarisan Islam (Sebagai
Prmbaharuan Hukum Positif di Indonesia). Jakarta: Sinar Grafika. Hal.. 22
11
Mohammad Muhibbin dan Abdul Wahid, Ibid

11
Arti: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu
kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang
banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf,
(ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”
Kata kutiba dalam ayat tersebut artinya furida, yaitu difardukan,
sedangkan perkataan bil ma’rufi haqqan ‘alal muttaqin artinya menurut
ma’ruf sebagai suatu hak (kewajiban) atas setip orang yang bertaqwa,
merupakan suatu lafal yang sangat kuat menunjuk kepada kewajiban
wasiat.
Dalam hal tersebut, ulama berselisih pendapat tentang masih
berlakunya hukum yang telah di-nash-kan oleh ayat tersebut, yaitu
tentang wajibnya wasiat untuk bapak dan kerabat-kerabat terdekat atau
tidak berlaku lagi.
Kebanyakan ahli tafsir jumhur fiqih berpendapat bahwa wajibnya
wasiat itu sudah mansukh, baik terhadap yang menerima wasiat
maupun tidak. Karena ayat wasiat itu telah dimansukh oleh ayat-ayat
mawaris dan oleh sabda Nabi SAW yang artinya, ‚tidak ada wasiat
untuk para ahli waris.
Abu Muslim Al-Ashbahani mengemukakan bahwa ayat wasiat itu
sama sekali tidak mansukh, karena tidak ada pertentangan antara ayat
wasiat dan ayat mawaris. 12
Golongan yang diwajibkan wasiat untuk kerabat-kerabat yang
tidak mendapat waris berpendapat bahwa ayat wasiat tidak mansukh
dan tetap berlaku sampai sekarang untuk kerabat-kerabat yang tidak
mendapat warisan, karena ada penghalang atau ada orang yang lebih
utama daripada mereka. Oleh karena itu, wajiblah dibuat wasiat untuk
mereka. Terhadap kerabat-kerabat yang mendapat warisan,
dipergunakan ayat-ayat mawaris.13

12
Dian Khairul Umam, 2000. Fiqih Mawaris, Bandung: Pustaka Setia, hal. 243
13
Ibid

12
Atas dasar inilah cucu yang ayahnya lebih dahulu meninggal
daripada kakek yang bakal diwarisi dan mewarisi bersama dengan
saudara-saudara ayahnya, untuk diberikan wasiat wajibah karena cucu
terhijab oleh saudara-saudara ayahnya.
4. Ijma’
Ijma’ yaitu kesepakatan para ulama atau sahabat sepeninggal
Rasullullah Saw. Tentang ketentuan warisan yang terdapat dapat Al-
Qur’an maupun sunah. Karena telah disepakati olh para sahabat dan
ulama,ia dapat dijadikan sebagai referensi hukum.

C. Rukun dan Syarat Mawaris


Pada dasarnya persoalan waris-mewarisi selalu identik dengan
perpindahan kepemilikan sebuah benda, hak dan tanggung jawab dari
pewaris kepada ahli warisnya. Dan dalam hukum waris Islam penerimaan
harta warisan didasarkan pada asas ijbari, yaitu harta warisan berpindah
dengan sendirinya menurut ketetapan Allah swt tanpa digantungkan pada
kehendak pewaris atau ahli waris.14 Pengertian tersebut akan terwujud jika
syarat dan rukun mewarisi telah terpenuhi dan tidak terhalang mewarisi.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pembagian harta
warisan. Syarat-syarat tersebut selalu mengikuti rukun, akan tetapi
sebagian ada yang berdiri sendiri. Ada tiga syarat warisan yang telah
disepakati oleh para ulama, tiga syarat tersebut adalah:

1. Pewaris baik secara haqiqy, hukmy (misalnya dianggap telah


meninggal) maupun secara taqdiri.
2. Adanya ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menguasai atau
menerima harta penenggalan pewaris. Lalu diketahui dengan jelas
adanya ikatan kekerabatan (nasab), atau ikatan pernikahan, atau
lainnya antara ahli waris dengan pewaris.

14
Muhammad Daut Ali. 1990. Asas Hukum Islam, Jakarta: Rajawali press hal. 129

13
3. Harta warisan, yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang
ditinggalankan pewaris baik berupa uang, tanah. 15
Adapun syarat waris harus terpenuhi pada saat pembagian harta warisan.

Rukun waris dalam hukum kewarisan Islam, diketahui ada tiga macam,
yaitu:

1. Muwaris, yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang,


yang mewariskan hartanya. Syaratnya adalah muwaris benar-benar
telah meninggal dunia. Kematian seorang muwaris itu, menurut ulama
dibedakan menjadi 3 macam:

a. Mati Haqiqy (mati sejati). Mati haqiqy (mati sejati) adalah


matinya muwaris yang diyakini tanpa membutuhkan putusan
hakim dikarenakan kematian tersebut disaksikan oleh orang
banyak dengan panca indera dan dapat dibuktikan dengan alat
bukti yang jelas dan nyata.
b. Mati Hukmy ( mati menurut putusan hakim atau yuridis). Mati
Hukmy (mati menurut putusan hakim atau yuridis) adalah suatu
kematian yang dinyatakan atas dasar putusan hakim karena
adanya beberapa pertimbangan. Maka dengan putusan hakim
secara yuridis muwaris dinyatakan sudah meninggal meskipun
terdapat kemungkinan muwaris masih hidup. Menurut pendapat
Malikiyyah dan Hambaliyah, apabila lama meninggalkan tempat
itu berlangsung selama 4 tahun, sudah dapat dinyatakan mati.
Menurut pendapat ulama mazhab lain, terserah kepada ijtihad
hakim dalam melakukan pertimbangan dari berbagai macam segi
kemungkinannya.
c. Mati Taqdiry (mati menurut dugaan). Mati taqdiry (mati menurut
dugaan) adalah sebuah kematian (muwaris) berdasarkan dugaan
yang sangat kuat, misalnya dugaan seorang ibu hamil yang
dipukul perutnya atau dipaksa minum racun. Ketika bayinya lahir
15
Op. Cit.Addys Aldizar, Faturraman, Hukum Waris ,hal.28

14
dalam keadaan mati, maka dengan dugaan kuat kematian itu
diakibatkan oleh pemukulan terhadap ibunya.16
2. Waris (ahli waris) Yaitu orang yang dinyatakan mempunyai hubungan
kekerabatan baik hubungan darah (nasab), hubungan sebab semenda
atau perkawinan, atau karena memerdekakan hamba sahaya. Syaratnya
adalah pada saat meninggalnya muwaris, ahli waris diketahui benar-
benar dalam keadaan hidup. Termasuk dalam hal ini adalah bayi yang
masih dalam kandungan (al-haml). Terdapat juga syarat lain yang
harus dipenuhi, yaitu, antara muwaris dan ahli waris tidak ada
halangan saling mewarisi.
3. Al –Mauruts Adalah segala sesuatu harta benda yang menjadi warisan.
Baik berupa harta atau hak yang termasuk dalam kategori warisan.

16
Long. Cit Ahmad Rofiq h.28

15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ilmu mawaris merupakan ilmu yang berkaitan dengan pembagian
warga warisan berdasarkan prinsip dan syariat Islam. Umumnya disebut
juga dengan ilmu faraidh. Ilmu inilah yang digunakan untuk melakukan
pembagian harta kepada para ahli waris. Memahami ilmu mawaris
hukumnya adalah fardu kifayah. Pentingnya pengertian di balik ilmu
mawaris bertujuan untuk menciptakan kedamaian di tengah-tengah
keluarga.
Adapun dasar-dasar dari ilmu mawaris yakni berasal dari Al-
Qur’an, Al-Hadist, Ijtihad para ulama, serta ijma’. Lalu ada beberapa
syarat yang harus dipenuhi dalam pembagian harta warisan. Syarat-syarat
tersebut selalu mengikuti rukun, akan tetapi sebagian ada yang berdiri
sendiri.
Ada tiga syarat warisan yang telah disepakati oleh para ulama,
yakni :
1. Pewaris baik secara haqiqy, hukmy (misalnya dianggap telah
meninggal) maupun secara taqdiri;
2. Adanya ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menerima
harta penenggalan pewaris yang diketahui dengan jelas adanya
ikatan kekerabatan (nasab), atau ikatan pernikahan atau lainnya,
antara ahli waris dengan pewaris.;
3. Harta warisan, yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang
ditinggalankan pewaris baik berupa uang, tanah
Adapun rukun mawaris yakni : adanya pewaris (muwaris), ahli
waris (waris), serta warisan (Al-Mauruts)
.

16
DAFTAR PUSTAKA

Abu Daud, Sunan Abi Daud, (Bandung: Maktabah Dahlan, t.th)


Abu Isa‟At-Tarmizi, Al-Jami’ al-Shahih, (Kairo: Musthafa al-babi, 1938)
Ahmad Azar Basyir. 2004. Hukum Waris Islam. Yogyakarta: UII Press
Al-Bukhari, Al-Jami’ li al-Shahih al-Bukhari, Jilid VII (Kairo: Daru al-
Mathaba‟ah al-Sya‟bi, t.th)
Dian Khairul Umam, 2000. Fiqih Mawaris, Bandung: Pustaka Setia
M Dhamrah Khair. 2011. Hukum Kewarisan Islam menurut Ajaran Suni. Bandar
Lampung: Fakultas Syariah IAIN Raden Intan Lampung.
Mohammad Muhibbin dan Abdul Wahid. 2009. Hukum Kewarisan Islam
(Sebagai Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia). Jakarta: Sinar
Grafika.
Muhammad Ali Al-Sabouni. 2005. Hukum Kewarisan Menurut AlQur‟an dan
Sunnah. Jakarta: Dar Al-Kutub Al-Islamiyah.
Muhammad Daut Ali. 1990. Asas Hukum Islam, Jakarta: Rajawali press
Muhammad Muhibbin dan Abdul Wahid. 2011. Hukum Kewarisan Islam Sebagai
pembaharuan Hukum Positif di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Op. Cit.Addys Aldizar, Faturraman, Hukum Waris.
Teungku Muhammad Hasbi As-Shiddiqi. 2001. Fiqih Mawaris. Semarang:
Pustaka Rizki Putra.

17

Anda mungkin juga menyukai