Anda di halaman 1dari 22

MAWARIST

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas:


Mata Kuliah: Fiqh
Dosen Pengampu: Hafidz taqiyuddin, MA.Hk.

Disusun oleh Kelompok 7 :


Ela alawiyah (191350088)
Hannah Luthfiyanah (191350080)
Ifa Muftahillh (191350094)
Shavirin Rahmatullah (191350090)

JURUSAN SEJARAH PERADABAN ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN DAN ADAB
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN
2019

1
KATA PENGANTAR

Segala puji serta syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang mana telah
memberikan perlindungan, keselamatan, hidayah dan karunianya. Sehingga kami mampu
menyelesaikan tugas makalah Fiqh mengenai hukum mawaris.

Sholawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada junjungan alam Nabi
Besar Muhamad SAW, yang mana telah berjasa menyebarkan islam bagi kehidupan manusia
di bumi ini, kepada para sahabat, para pahlawan – pahlawan serta kepada kita semua.

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini jauh dari sempurna, banyak hal
yang kurang memadai. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik serta saran yang positip
dari semua pihak yang membaca untuk perbaikan penyusun dimasa yang akan datang.

2
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI 1
BAB I PENDAHULUAN 2

1.1 Latar Belakang 2


1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan 2

BAB II PEMBAHASAN 4

A. Pengertian Mawarits 4
B. Sebab-sebab Kewarisan Dan Terhalangnya 6
C. Ahli Warits Dari Golongan Laki-laki Dan Perempuan 8
D. Ashhabul Furudh Dan Bagian-bagiannya 11
E. Metode Pembagian Harta Warisan Dan Contoh-contohnya 12

BAB III PENUTUP 19


DAFTAR PUSTAKA 20

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Diantara aturan yang mengatur hubungan sesama manusia yang di tetapkan Allah SWT
adalah aturan tentang harta warisan, yaitu harta dan pemilikan yang timbul sebagai akibat
dari suatu kematian. Harta yang ditinggalkan oleh seorang yang meninggal dunia
memerlukan pengaturan tentang siapa yang berhak menerimanya, berapa jumlahnya, dan
bagaimna cara mendapatkannya.
Aturan tentang waris tersebut di tetapkan oleh Allah SWT melalui firmannya yang
terdapat dalam Al-Qur’an, terutama surah an-nisa’ ayat 7,8,11,12, dan 176. Pada dasarnya
ketentuan Allah SWT yang berkenaan dengan warisan telah jelas maksud, arah dan
tujuannya. Hukum kewarisan islam atau yang juga di kenal The Islamic Law of

3
Inheritance mempunyai karakteristik tersendiri jika di bandingkan dengan sistem hukum
lainnya.
Ditinjau dari perspektif sejarah, implementasi hukum kewarisan islam pada zaman
penjajahan belanda tenyata tidak berkembang, bahkan secara politis posisinya di kalahkan
oleh sistem kewarisan hukum adat. Pada masa itu diintrodusir teori persepsi yang
bertujuan untuk mengangkat hukum kewarisan adat dan penyisihan penggunaan hukum
kewarisan islam.
1.2 Rumusan masalah
a. Apa itu mawarits?
b. Apa saja sebab-sebab kewaritsan dan sebab terhalangnya?
c. Bagaimana pembagian ahli waris dari golongan Laki-laki dan dari golongan
Perempuan
d. Apakah yang di maksud Ashabul Furudh dan sebutkan bagian-bagiannya serta
Ashobah?
e. Bagaimana metode pembagian harta warisan dan contoh-contoh nya?
1.3 Tujuan
a. Agar mengetahui pengertian mawarits.
b. Agar mengetahui sebab-sebab kewarisan dan terhalang nya.
c. Agar mengetahui ahli waris dari golongan laki-laki dan golongan perempuan.
d. Agar lebih memahami apa itu ashbabul furudz dan bagian-bagian nya serta ashobah
nya.
e. Agar lebih mendalami bagaimana metode pembagian harta warisan dan contoh-
contoh nya.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Mawarits
Mawarits berasal dari bahasa Arab, yang asal katanya atau mufrad nya miiraats,
miiraats dalam bahasa Arab merupakan bentuk masdar dari kata waratsa-yaritsu-irtsa-
miiratsan-miiraats maknanya secara bahasa ialah berpindah nya sesuatu dari
seseorang kepada orang lain. Ilmu yang mempelajari mawarits di sebut faraidh.
Adapun ilmu faraidh merupakan ilmu yang di gunakan untuk mencegah perselisihan-
perselisihan dalam pembagian harta warits, sehingga orang yang mempelajarinya
mempunyai kedudukan yang tinggi dan mendapatkan pahala yang besar.
Adapun dasar-dasar hukum mawarits menurut hukum islam adalah sebagai berikut:
1. Al-Qur’an
Yakni terkandung dalam Q.S An-Nisa(4) : 7
َ ‫ب ِم َّم ا ت َ َر‬
‫ك‬ ٌ ‫َص ي‬ ْ ‫ك الْ َو ا ل ِ د َ ا ِن َو‬
ِ ‫اْل َقْ َر ب ُو َن َو لِ لن ِ سَ ا ِء ن‬ َ ‫ب ِم َّم ا ت َ َر‬ٌ ‫َص ي‬ ِ ‫لر َج ا ِل ن‬ ِ ِ‫ل‬
ْ ‫الْ َو ا ل ِ د َ ا ِن َو‬
ِ ‫اْل َقْ َر ب ُو َن ِم َّم ا ق َ َّل ِم نْ ه ُ أ َ ْو كَ ث ُ َر ۚ ن‬
‫َص ي ب ًا َم فْ ُر و ضً ا‬
Artinya:”Bagi orang-orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-
bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian
yang telah di tetapkan”. (Q.S An-Nissa (4): 7).1
2. Hadist
Hadist yang menjadi sumber hukum mempelajari mawarits antara lain hadist
Rasulullah SAW. Sangat menganjurkan untuk di pelajari dan di ajarkan kepada

1
Nur Asyiah Siregar, “Penerapan Strategi Pembelajaran Kooperatif”:Wahana Inovasi: [Online] vol.6
No.1, Juni 2017 hal- 215-216.

5
manusia, sebagaimana dapat di pahami dalam hadist, Darimi Nomor 223 yang
berbunyi:
‫ج ٍل ي ُ ق َ ا ُل ل َ ه ُ س ُ ل َ يْ َم ا ُن ب ْ ُن َج ا ب ِ ٍر‬ ُ ‫ف عَ ْن َر‬ ٌ ‫أ َ ْخ ب َ َر ن َا ع ُ ث ْ َم ا ُن بْ ُن الْ َه ي ْ ث َ ِم َح د َّث َن َا عَ ْو‬
َ‫ص ل َّ ى َّللاَّ ُ عَ ل َ ي ْ ِه َو سَ ل َّ م‬
َ ِ َّ‫ِم ْن أ َهْ ِل هَ َج َر ق َ ا َل ق َ ا َل ا بْ ُن َم سْ ع ُ و ٍد ق َ ا َل لِ ي َر س ُ و ُل َّللا‬
‫اس ت َع َ ل َّ ُم وا الْ ق ُ ْر آ َن‬ َ َّ ‫ض َو عَ ل ِ ُم و ه ُ ال ن‬ َ ِ ‫اس ت َع َ ل َّ ُم وا الْ ف َ َر ا ئ‬
َ َّ ‫ت َع َ ل َّ ُم وا الْ ِع لْ مَ َو عَ ل ِ ُم و ه ُ ال ن‬
‫ض َو ت َظْ َه ُر الْ فِ ت َ ُن َح ت َّى‬ ُ َ ‫ُوض َو الْ ِع لْ مُ سَ ي ُ قْ ب‬ ٌ ‫اس ف َ إ ِن ِ ي ا ْم ُر ٌؤ َم قْ ب‬ َ َّ ‫َو عَ ل ِ ُم و ه ُ ال ن‬
ِ ْ‫ض ةٍ ََل ي َ ِج د َ ا ِن أ َ َح د ًا ي َ ف‬
‫ص ُل ب َ يْ ن َ هُ َم ا‬ َ ‫ف اث ْ ن َا ِن ف ِ ي ف َ ِر ي‬
َ ِ‫ي َ ْخ ت َل‬
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami [Utsman bin Al Haitsam] telah
menceritakan kepada kami ['Auf] dari seseorang -ia dikenal dengan sebutan
[Sulaiman bin Jabir] dari penduduk Hajar-, ia berkata: " [Ibnu Mas'ud] pernah
berkata: 'Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda kepadaku:
Hendaklah kalian belajar ilmu, dan ajarkanlah kepada manusia, pelajarilah ilmu
fara`idl dan ajarkanlah kepada manusia, pelajarilah Al Qur`an dan ajarkanlah
kepada manusia, karena aku seorang yang akan dipanggil (wafat), dan ilmu
senantiasa akan berkurang sedangkan kekacauan akan muncul hingga ada dua
orang yang akan berselisih pendapat tentang (wajib atau tidaknya) suatu
kewajiban, dan keduanya tidak mendapatkan orang yang dapat memutuskan
antara keduanya".
Hadist tersebut mengandung beberapa pengertian sebagai berikut:
a. Ilmu faraidh (ilmu mawarits), merupakan salah satu ilmu yang di khawatirkan
oleh rosulullah terhadap kelestarian di kalangan umat islam, karena dengan
ilmu mawarits dapat mencegah terjadinya pertikaian dan perselisihan antara
sesama ahli warits yang masih hidup.
b. Allah akan mengangkat ilmu tersebut dengan cara meninggalnya orang-orang
yang menuasai ilmu mawarits.
3. Ijma’ dan ijtihad sahabat
Masalah ‘aul pada zaman Rasulullah SAW dan Abu Bakar As-Shiddiq R.A
masalah itu belum pernah timbul. Baik dalam al-qur’an maupun di dalam hadist
tidak ada satu masalah ijtihadiah. Menurut As-Sabuni dalam turamadhan, masalah
‘aul pada masa khalifah Umar bin Khatab pada persoalan wanita yang wafat dan
meninggalkan suami dan dua saudara perempuan kandung. Sangat mashur dalam
faraidh bagian suami adalah ½ dan dua saudara kandung perempuan 2/3 dengan
demikian ahli warits melebihi penginggalan pewarits.

6
Hukum mempelajari dan melaksanakan mawarits:
Mempelajari ilmu mawarits adalah fardu kifayah apabila sudah ada orang yang
cukup untuk melaksanakannya, maka sunnah hukumnya bagi yang lain. Hanya
saja kewajiban belajar dan mengajarkannya itu gugur bila ada sebagian orang
yang telah melaksanakan nya. Tetapi tidak ada seorang pun yang mau
melaksanakannya, orang-orang islam semuanya menanggung dosa, lantaran
melalaikan suatu kewajiban, tak ubahnya sebagai meninggalkan kewajiban-
kewajiban kifayah yang lain.
Hal-hal yang harus di lakukan sebelum pembagian waritsan:
Harta waritsan memiliki kaitan dengan lima hak yang berbeda ikatannya menurut
urgensi (kepentingan) nya. Apabila seseorang meninggal dunia, tentunya tidak
terlepas dari apakah si mayit mempunyai tirkah, tirkah adalah apa-apa yang di
tinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang di benarkan oleh syariat untuk
di pusakai oleh ahli warits. Sebelum harta waritsan di bagikan kepada ahli warits
yang berhak menerimanya, hendak nya di keluarkan untuk keperluan tirkah
tersebut berkaitan erat dengan lima hak:
a. Biaya perawatan dan penguburan mayit.
b. Hak-hak yang terkait dengan harta warits.
c. Utang-utang mursalah.
d. Wasiat.
e. Harta warits.
B. Sebab-sebab Kewarisan Dan Terhalangnya

1. Sebab-sebab Kewarisan
Ada tiga hubangan hal seseorang menerima warisan: hubungan kekerabatan,
perkawinan dengan akad yang sah, dan wala' (perwalian). Kita juga dapat
membaginya dalam dua bagian saja, yaitu sabab dan nasab. Nasab ialah hubungan
kekerabatan, sedangkan sabab mencakup perkawinan dan perwalian (wala'). Wala'
adalah hubungan antara dua orang yang menjadikan keduanya seakan sudah sedarah-
sedaging laksana hubungan nasab. Kekrabatan terjadi karena adanya hubungan
keturunan yang sah antara dua orang baik keduanya berada dalam satu titik hubungan
(satu jalur) seperti ayah ke atas, atau anak ke bawah, maupun pada jalur yang
memunculkan orang yang ketiga, yaitu saudara-saudara, para paman dari Ayah dan
Ibu. Keturunan yang sah (syar'i) mencakup pernikahan yang sah dan pencampuran

7
syubhat sedangkan perkawinan tidak bisa terjadi kecuali dengan adanya akad yang
sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Dalam hal ini tidak ada
perbedaan pendapat di kalangan para ulama mazhab, bahwa mereka saling mewarisi.2
Perbedaan justru terdapat pada hak waris beberapa kerabat, yang oleh Syafi'i dan Maliki
di anggap sebagai tidak berhak menerima waris sama sekali sehingga keadaan mereka persis
orang luar. Mereka adalah : anak laki-laki dari anak-anak wanita, anak laki-laki dari saudara-
saudara perempuan, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki, anak laki-laki dari saudara
seibu, saudara perempuan ayah dari semua jalur, paman seibu (saudara laki-laki ayah yang
seibu), paman dan bibi dari jalur ibu, anak-anak perempuan paman, dan kakek dari jalur ibu
(ayahnya ibu). Menurut Imam Syafi'i dan Imam Malik, tidak ada seorang pun di antara
mereka itu yang memperoleh warisan sebab mereka itu bukanlah orang-orang yang menerima
bagian tetap (dzaw al-furudh) dan tidak pula termasuk kelompok orang yang menerima
ashabah. Hanafi dan Hambali berpendapat bahwa mereka itu dapat menerima waris dalam
keadaan- keadaan tertentu, yaitu manakala tidak ada lagi ahli waris yang menerima bagian
tetap dan ashabah.
2. Penghalang Kewarisan
Para ulama mazhab sepakat bahwa, ada tiga hal yang menghalangi warisan yaitu:
peebedaan agama, pembunuhan, dan perbudakan.
a. Perbedaan Agama
Para ulama Mazhab sepakat bahwa non-Muslim tidak bisa mewarisi Muslim, tetapi
mereka berbeda pendapat tentang apakah seorang Muslim bisa mewarisi non-Muslim?
Imamiyah berpendapat seorang muslim bisa mewarisi non Muslim. Mazhab empat
mengatakn: tidak boleh. Imamiyah dan Hambali mengatakn: Dia berhak atas waris. Syafi'i,
Maliki, dan Hanafi mengatakan dia tidak berhak atas waris. Seterusnya Imamiyah
mengatakab apabila pewaris Muslim itu hanya satu, maka hanya dialah yang menerima waris.
Keislaman seseorang kemudian tidak berpengaruh sama sekali bagi hak mewarisi. 3
b. Orang Murtad

2
Nur Asyiah Siregar, “Penerapan Strategi Pembelajaran Kooperatif”:Wahana Inovasi: [Online] vol.6
No.1, Juni 2017 hal- 217.

3
Muhammad Jawwad Mughniyah, Fiqh Lima Madzhab, (Jakarta: PT Lentera Basritama, 2004), hal. 541.

8
Orang murtad menurut pendapat mazhab empat, tifak berahak atas waris baik
murtadnya itu dari fitrah, maupun dari millah. Kecuali bila dia tobat sebelum di lakukan
pembagian tirkah.
c. Warisan Orang-orang Beragama Lain (Non-Muslim)
Maliki dan hambali mengatakan para penganut agama-agama non-islam tidak boleh
mewarisi satu sama lain. Imamiyah, Hanafi, Dan Syafi'i mengatakan mereka bisa saling
waris-mewarisi satu sama lain. Sebab mereka mempunyai millah yang sama.

d. Kaum Ghulat

Kaum Muslimin sepakat bahwa, orang-orang ghulat adalah tergolong musyrik dan
bukan orang-orang Muslim dan tidak ada hubungan nya dengan kaum Muslimin sedikitpun.

e. Orang yang mengingkari

Para ulama mazhab sepakat tentang kafirnya orang yang mengingkari hal-hal yang di
nyatakan dan di ketahui sebagai suatu kepastian dalam agama (al ma' lum min al-din bi al-
dharurah).
Contohnya:
"(Pembunuhan)", pembunuhan menurut para ulama mazhab sepakat bahwa pembunuhan
yang sengaja dan tidak memiliki alasan yang benar mengakibatkan pelakunya terhalang
menerima waris.

C. Ahli Waris Dari Golongan Laki-laki Dan Perempuan


1. Warisan Ayah
Terdapat beberapa persoalan dalam warisan seorang ayah, Yaitu:
a. para ulama mazhab sepakat bahwa ayah, apabila sendirian, dan tidak berada bersama-
sama ibu, anak-anak, anaknya anak-anak, nenek, dan salah seorang di antara suami
atau istri maka dia berhak atas seluruh harta. Haknya atas seluruh harta, menurut
Imamiyah berdasar garabah, dan menuntut kalangan Sunni sebagai ashabah. Artinya,
perbedaan yang ada di kalangan Sunni dan Imamiyah ini hanyalah terletak pada
penanaman sebab yang mengharuskan dia, menerima warisan tersebut, dan tidak pada
prinsip pewarisan dan jumlah warisannya.4
b. Apabila ayah berada bersama-sama seorang atau beberapa orang anak laki-laki mayit,
atau beberapa orang anak laki-laki dan wanita, atau berada bersama-sama dengan

4
Muhammad Jawwad Mughniyah, Fiqh Lima Madzhab, (Jakarta: PT Lentera Basritama), hal. 582.

9
anak laki-laki dari anak laki-laki mayit terus ke bawah, maka ayah mengambil bagian
seperenam, sedangkan sisanya di berikan kepada ahli waris lainnya. Begitulah
kesepakatan para ulama mazhab.
c. Apabila ayah berada bersama-sama seorang anak perempuan, maka menurut kalangan
Sunni ayah mengambil bagian seperenam sebagai faradh, sedangkan anak perempuan
mayit menerima bagian seperdua sebagai fardh, sehingga masih tersisa sepertiga
tirkah, yang di kembalikan kepada ayah sebagai radd.
Menurut Imamiyah mengatakan sisa tirkah di berikan kepada ayah dan anak
perempuan sebagai bagian bersama, dan bukan kepada ayah saja. Sisa ini di bagi
menjadi empat: seperenamnya untuk ayah dan tiga perempuannya untuk anak
perempuan. Sebab setiap persoalan yang berkaitan dengan radd, yg ahli warisnya
terdiri dari dua orang yang memiliki bagian fardh, maka sisa tirkah di bagi menjadi
empat bagian sedangkan bila yang mempunyai bagian fardh tiga orang maka radd
(sisa tirkah) di bagi menjadi lima (dapat di lihat dari Miftah Al-karamah jilid XXVIII,
halaman 115).
d. Apabila ayah bersama-sama dengan dua orang anak peremuan atau lebih maka anak-
anak perempuan mayit mengambil bagian dua pertiga sedangkan untuk ayah menurut
ulama mazhab Sunni menerima bagian sepertiga.
2. Warisan Ibu
Imamiyah mengatakan: Ibu memperoleh seluruh tirkah apabila tidak terdapat ayah, anak
laki-laki dan anaknya anak laki-laki (awlad al-awlad) serta salah seorang di antara suami atau
istri.5
Imamiyah mengatakan: seluruh harta di berikan kepada Ibu dan kakek tidak
mendapatkan apa pun, sebab dia berada di peringkat kedua, sedangkan ibu di peringkat
pertama. Apabila ibu beraa bersama-sama seorang saudara perempuan mayit yang sekandung
dan seorang saudara perempuan seayah, maka ibu menerima bagian sepertiga, saudara
perempuan kandung memperoleh bagian seperdua, sedangkan saudara perempuan seayah
menerima bagian seperenam untuk melengkapi bagian saudara perempuan kandung sehingga
jumlah bagian keduanya menjadi dua pertiga, sedangkan menurut Imamiyah seluruh harta di
berikan kepada ibu. Imamiyah mengatakan: keadaan ibu ketika bersama-sama dengan anak
perempuan mayit dari anak perempuan (bint al-bint) sama dengan ketika dia bersama-sama

5
Muhammad Jawwad Mughniyah, Fiqh Lima Madzhab, (Jakarta: PT Lentera Basritama), hal. 584.

10
dengan anak peremuan (bint) yang ketentuannya seperti telah di jelaskan pada butir empat
terdahulu.
3. Warisan Anak-anak Dan Anak-anak Mereka
a. Warisan Anak-anak (Al-Banun)
Anak (al-ibn) kesepakatan para ulama mazhab disaat anak laki-laki tidak ada,
maka anak laki-laki dari anak anak laki-laki (ibn al-ibn) itu menggunakan dan menggantikan
posisinya menurut semua mazhab.
b. Anak-anak Perempuan (Al-Banat)
Mazhab Empat mengatakan para saudara perempuan mayit yang sekandung dan
seayah adalah ashabah bila berada bersama-sama seorang atau lebih anak perempuan.
Artinya, seorang anak perempuan kandung atau seayah, menerima bagian seperdua sebagai
fardh. Imamiyah mengatakn tidak ada seorang pun di antara saudara laki-laki dan perempuan
mayit yang bisa menerima waris bila kita berada bersama-sama seorang atau beberapa orang
anak perempuan, dan ketika bersama-sama dengan anak peremuan dari anak laki-laki (bint
al-ibn) atau anak perempuan dari anak perempuan (bint al-bint). sebab anak perempuan terus
ke bawah menempati peringkat pertama, sedangkan saudara menempati peringkat kedua.6
c. Anak - anak dari Anak-anak Laki-laki (Awlad Al - Awlad)
Para ulama mazhab berbeda pendapat tentang apabila mayit meninggalkan beberapa
anak-anaknya dan anak-anak dari anak-anaknya (awlad al-awlad). Mazhab Empat sepakat
bahwa, anak laki-laki (ibn) mayit menghalangi anak-anak dari anak-anak mayit (awlad al-
awlad) baik laki-laki maupun perempuan. Artinya anak-anak dari anak-anak mayit tidak bisa
menerima waris dengan adanya anak laki-laki (al-ibn) mayit. Akan tetapi kalau mayit
meninggalkan seorang anak perempuan dan beberapa anak dari anak laki-laki (awlad ibn)
nya, apabila mereka adalah laki-laki saja, atau laki-laki dan perempuan maka anak
perempuan mayit menambil bagian seperdua, sedangkan seperdua lainnya di berikan kepada
beberapa anak dari anak-anak.
4. Warisan Saudara Laki-laki Dan Perempuan
a. Saudara Laki-laki dan Perempuan
Apabila anak Laki-laki dan ayah mayit tidak ada, maka yang mewarisinya adalah
saudara laki-laki dan perempuannya, dan menurut ulama mazhab Sunni, mereka bisa
menerima waris bersama-sama dengan ibu dan anak-anak perempuan mayit, sedangkan
menurut Imamiyah mereka tidak bisa menerima waris kecuali bila tidak ada lagi ayah-ibu,

6
Muhammad Jawwad Mughniyah, Fiqh Lima Madzhab, (Jakarta: PT Lentera Basritama), hal. 590.

11
anak-anak, dan anak-anak dari anak-anak mayit, baik laki-laki maupun perempuan.7 Saudara
laki-laki dan perempuan mayit itu terdiri dari tiga kelompok:
1) Seibu-sebapak (kandung)
2) Seayah saja
3) Seibu saja
b. Saudara Laki-laki dan Perempuan Kandung
c. Saudara Laki-laki dan Perempuan Seayah
d. Saudara Laki-laki Perempuan Seibu
e. Anak-anak dari Saudara-saudara Laki-laki dan Perempuan
f. Kakek dari Pihak Ibu (Al-Jadd Li Umm)
g. Nenek
h. Kakek dari Pihak Ayah

D. Ashhabul furudh dan bagian-bagiannya


a. Pengertian fardhu dan Ashhabul furudh
Fardhu disini di maksud mafrudh, sebagaimana ridhah di maksudkan mafrudhah. Dan
fardhu, menurut istilah fiqh mawaris, adalah " bagian yang sudah ditentukan jumlahnya untuk
waris dari harta peninggalan, baik dengan nash ataupun dengan ijma' ". Dan nash itu baik dari
Al-Qura'n maupun dari As-sunnah.
Furudh, (jamak dari fardhu) yaitu bagian-bagian yang sudah di tetapkan dalam kitabullah
ada enam, yaitu: setengah (nisf), seperempat (rubu'), seperdelapan (tsumun), dua pertiga
(tsulutsani), sepertiga (tsulus) dan seperenam (sudus).
Ringkasannya furudh ada dua macam:
1) seperdelapan dan gandaannya dan gandaan dari gandaannya.
2) seperenam dan gandaannya dan gandaan dari gandaannya.
Ashhabul furudh, adalah " waris-waris yang mempunyai bagian yang telah di tentukan
pada harta peninggalan dengan nash atau dengan ijma' ". Mereka semuanya ada dua belas
orang, emapat orang lelaki, delapan wanita. Ashhabul furudh dari lelaki adalah suami, ayah,
kakek sejati dan saudara seibu. Ashhabul furudh dari wanita, adalah istri, ibu, nenek sejati,

7
Muhammad Jawwad Mughniyah, Fiqh Lima Madzhab, (Jakarta: PT Lentera Basritama), hal. 595.

12
anak perempuan sekandung, cucu perempuan dari anak lelaki, saudara perempuan
sekandung, saudara perempuan seayah dan saudara perempuan seibu.8
b. Bagian-bagian Ashhabul Furudh
1). Dzawul Furudh yang Berhak Menerima Setengah (Nishf) Harta
Nishfu, adalah fardhu bagi lima orang wanita.
2). Dzawul Furudh yang Berhak Menerima Seperempat (Rubu') Harta
Rubu' (seperempat) adalah fardhu bagi dua orang Waris, yaitu suami dan istri.
3). Dzawul Furudh yang Berhak Menerima Seperdelapan (Tsumun) Harta
Tsumun (seperdelapan), adalah hak seorang waris, yaitu istri, apabila si suami yang
meninggal, meninggalkan anak baik dari istri itu ataupun dari istri lain.
4). Dzawul furudh yang Berhak Menerima Dua Pertiga (Tsulutsani) Harta
Tsulutsani (dua pertiga) di terima oleh waris-waris perempuan bila mereka berbilang,
yang jika seorang diri menerima senisfhu. Yakni dua pertiga ialah fardhu untuk dua anak
perempuan kandung, cucu- cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara-saudara perempuan
sekandung, saudara-saudara perempuan seayah dengan syarat-syarat yang telah di terangkan
tentang berhaknya mereka menerima nisfhu jika seorang diri.9
5). Dzawul Furudh yang Berhak Menerima Sepertiga (tsuluts) Harta
Tsuluts (sepertiga) adalah fardhu yang di tetapkan untuk dua orang waris, yaitu:
a. Ibu, dengan syarat orang yang meninggal itu tidak meninggalkan anak dan tidak pula
meninggalkan beberapa saudara, baik sekandung atau seayah atau seibu.
b. Dua orang saudara seibu, baik lelaki maupun perempuan, baik mereka semuanya lelaki
ataupun semuanya perempuan ataupun ada yang lelaki dan ada yang perempuan. Dua
orang saudara dan seterusnya seibu, mendapat sepertiga harta.
6). Dzawul Furudh Yang Berhak Menerima Seperenam (sudus) Harta
Sudus (seperenam) adalah fardhu bagi tujuh orang waris, yaitu:
a. Ayah, Jika yang meninggal itu mempunyai anak
b. Kakek sejati, Jika yang meninggal itu meninggalkan anak, tidak meninggalkan
ayah.

8
Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawarist Hukum Pembagian Warisan Menurut
Syariat Islam, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2010), hal. 57.
9
Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawarist Hukum Pembagian Warisan Menurut
Syariat Islam, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2010) hal. 59.

13
c. Ibu, Jika yang meninggal itu, meninggalkan anak atau dua orang dan seterusnya
dari saudara-saudara lelaki dan saudara perempuan baik sekandung baik seayah
seibu.
d. Nenek sejati, Jika tidak ada ibu.
e. Cucu perempuan dari anak lelaki, seorang saja atau lebih bersama seorang anak
perempuan kandung.
f. Saudara perempuan seayah, seorang ataupun lebih bersama orang saudara
perempuan sekandung.
g. Seorang anak ibu (saudara seibu), baik lelaki ataupun perempuan.10

E. Metode Pembagian Harta Warisan Dan Contoh-contohnya


1) Munasakhat
Munasakhat adalah metode yang digunakan dalam kasus dimana salah satu ahli waris
meninggal sebelum warisan dibagikan. Hal ini sering berlaku dalam kehidupan masyarakat
umumnya di pedesaan, yang belum melek hukum atau terikat dengan istiadat lokal, sehingga
sering terjadi di kemudian hari anak cucu yang memperkarakan harta peninggalan ayah atau
kakeknya yang belum terbagi, atau sudah dinikmati oleh sebagian ahli waris, seperti terjadi
akhir-akhir ini sebuah kasus dimana ahli waris yang berpangkat cucu kepada pewaris
menuntut harta warisan dengan klaim bahwa yang banyak menikmati dan mengelola harta
warisan adalah keluarga dari anak angkat si pewaris yang notabene tidak masuk dalam
kelompok ahli waris. Menurut keterangan salah satu ahli warisnya hal itu terjadi disebabkan
ketika pewaris meninggal anak-anak kandungnya masih kecil-kecil sehingga harta
peninggalan dikelola oleh anak angkat. Kendati kasus ini diselesaikan secara kekeluargaan,
pembagian warisan kepada ahli waris yang sebagian sudah berpangkat cucu atau cicit ini,
harus melalui tahapan pembagian yang runtut. Dari sinilah fuqaha‟ memformulasikan sebuah
metode khusus untuk semisal kasus tersebut dengan menggunakan rumus yang simple dan
mudah yang mempermudah dalam penghitungan harta waris temurun ini yang dikenal
dengan metode munasakhat. Sebelum munasakhat dibahas ada beberapa rumus yang harus
diketahui guna mempermudah sistem pembagian dalam munasakhat.11
2) Inkisar

10
Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawarist Hukum Pembagian Warisan Menurut
Syariat Islam, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2010), hal. 61.
11
Ainun Barokah, “metode praktis dalam pembagian harta waris”: Cendekia: Study Keislaman
[Online], Vol. 1 No.2, Desember 2015, hal- 188.

14
Inkisar adalah metode yang digunakan untuk memperoleh angka bulat dalam proses
pembagian yaitu dengan cara memperbesar angka. Inkisar mempunyai dua keadaan. Pertama
apabila yang diinkisarkan hanya satu golongan dan yang kedua adalah dua golongan atau
lebih.
3) Tamaatsul
Istilah ini digunakan apabila dua angka yang akan diinkisarkan berupa angka yang sama
maka langkah selanjutnya adalah dengan diambil salah satu angka, seperti angka 6 dengan 6,
atau angka 5 dengan 5 dan lain-lain.
4) Tadaakhul (Kelipatan)
Istilah tadakhul dipakai untuk dua angka yang salah satunya merupakan kelipatan dari
angka yang lain. Maka langkah selanjutnya dengan mengambil angka yang lebih besar,
seperti angka 4 dengan 8, atau angka 2 dengan 6 dan lain-lain.

5) Tawafuuq

Tawafuq adalah istilah untuk dua angka yang berbeda dan bukan termasuk kategori
tadaakhul akan tetapi memiliki pembagi yang sama. Maka langkah selanjutnya adalah dengan
membagi salah satu angka dengan wifiq (pembaginya yang sama), kemudian hasilnya
dikalikan dengan angka yang lain, seperti angka 4 dengan 6. Kedua angka ini sama-sama bisa
dibagi 2.
6) Tabaayun
Angka yang tidak termasuk salah satu kategori di atas maka diistilahkan dengan
tabaayun, langkahnya adalah dengan mengalikan kedua angka, seperti 3 dengan 4, atau 3
dengan 8 dan lain-lain.
Inkisar ini digunakan untuk menentukan asal masalah dalam penentuan masing-masing
saham dari ahli waris, juga digunakan dalam keadaan dimana saham ahli waris tidak terbagi
secara sempurna (menghasilkan angka desimal) kepada ahli waris.12
Contoh kasus 1:
(1)
12
Suami ¼ 3

12
Ainun Barokah, “metode praktis dalam pembagian harta waris”: Cendekia: Study Keislaman
[Online], Vol. 1 No.2, Desember 2015, hal- 189.

15
Ibu 1/6 2
Anak perempuan ½ 6
Saudara perempuan Sisa 1

(2)
24
Istri 1/8 3
Ibu 1/6 4
Ayah 1/6 4
Anak laki-laki Sisa 13

(3)
12=13
Suami ¼ 3
Ibu 1/6 2
Anak perempuan ½ 6
Cucu perempuan 1/6 2

Pada contoh nomer satu, ahli waris adalah suami, ibu, ayah, anak perempuan, dan
saudara perempuan, suami mendapatkan 1/4 dikarenakan adanya keturunan dari mayit yaitu
anak perempuan, kemudian ibu dapat 1/6 karena adanya keturunan, dan saudara mendapatkan
sisa karena bersama keturunan perempuan serta tidak ada yang menghajabnya (menghalangi
posisinya), apabila kita lihat antara angka empat, enam dan dua, dengan menggunakan empat
pembanding dalam inkisar maka akan diperoleh angka 12 yang menjadi asal masalah.
Adapun pada contoh kedua, ahli waris adalah istri, ibu, ayah dan anak laki-laki, dalam
masalah ini istri mendapatkan 1/8 karena ada keturunan mayit kemudian ibu mendapatkan
1/6 karena adanya keturunan dan ayah juga mendapatkan 1/6 sebab adanya keturunan dan
anak laki-laki mendapatkan sisa, apabila angka 8 dan 6 dilihat dari empat pembanding maka
akan diperoleh angka 24.13

13
Ainun Barokah, “metode praktis dalam pembagian harta waris”: Cendekia: Study Keislaman
[Online], Vol. 1 No.2, Desember 2015, hal- 189.

16
Pada contoh nomer tiga asal masalah dari 12 menjadi 13 sesuai dengan total saham dari
masing-masing ahli waris, hal ini disebut dengan aul. Apabila saham yang diperoleh tidak
terbagi kepada ahli waris, maka antara saham dengan jumlah orang (kepala) dibandingkan
dengan dua perbandingan yaitu tawafuuq dan tabaayun. Jika tawafuuq maka jumlah kepala
dibagikan wifiq, kemudian hasilnya dikalikan dengan asal masalah dan semua saham ahli
waris, dan jika tabaayun maka semua kepala dikalikan dengan asal masalah dan semua saham
ahli waris.14
Contoh kasus II:
(1) Tabayun
24×2 48
2 istri 1/8 3 6
Ibu 1/6 4 8
Anak laki-laki Sisa 17 34

(2) Tawafuq
12=13×3 39
Suami ¼ 3 9
Ayah 1/6+sisa 2 6
6 Anak perempuan 2/3 8 24

12×3 36
Istri ¼ 3 9
3 Nenek 1/6 2 6
Saudara Laki-laki Sisa 7 21

Contoh (1), 2 istri mendapatkan saham 3, sehingga masing-masing mendapatkan 1,5, untuk
menghindari angka desimal dan mendapatkan angka bulat, maka angka diperbesar dengan
metode inkisar, dengan cara:

14
Ainun Barokah, “metode praktis dalam pembagian harta waris”: Cendekia: Study Keislaman
[Online], Vol. 1 No.2, Desember 2015, hal-190.

17
1) Membandingkan antara saham yaitu 3 dengan jumlah kepala (orang) yaitu 2, 3 dan 2
masuk kategori tabayun, sehingga diperoleh angka 2.15
2) Angka 2 (jumlah semua kepala) dikalikan kepada asal masalah dan semua saham ahli
waris Contoh (2). 6 anak perempuan mendapatkan saham 8, angka delapan tidak
terbagi kepada enam, untuk memperoleh angka bulat maka dapat digunakan metode
inkisar yaitu membandingkan antara saham yaitu 8 dengan jumlah kepala yaitu 6, 8
dan 6 masuk kategori tawaafuq, sehingga diperoleh angka 3 (jumlah kepala dibagi
wifiq (2)), lalu 3 dikalikan kepada asal masalah dan semua saham ahli waris.
Munasakhat dapat dilihat dari dua keadaan, yang pertama adalah ahli waris dari
pewaris pertama sama dengan ahli waris dari pewaris kedua, maka harta dari pewaris
pertama dan pewaris kedua dijadian satu lalu dibagikan kepada ahli waris, dalam hal
ini seakan-akan pewaris pertama meninggalkan ahli waris yang tersisa. Kedua, ahli
waris dari pewaris pertama adalah ahli waris dari pewaris kedua, akan tetapi bagian
dari masing-masing ahli waris berbeda, atau pewaris kedua meninggalkan ahli waris
yang lain, dan atau ahli waris dari pewaris pertama diantaranya bukan ahli waris dari
pewaris kedua, untuk memahami dua keadaan tersebut bisa dilihat dari dua contoh di
bawah ini:
Contoh kasus: Seseorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, anak perempuan, saudari,
kemudian anak perempuan wafat meninggalkan mereka dan suami, anak perempuan dan anak
laki-laki.
3 1
24 12×3 36 72
Istri 1/8 3 Ibu 1/6 2 6 15
Ibu 1/6 4 Nenek Mahjub 12
Anak ½ 12
perempuan
Saudari Sisa 5 15
Suami 1/4 3 9 9
Anak Sisa 7 7 7

15
Ainun Barokah, “metode praktis dalam pembagian harta waris”: Cendekia: Study Keislaman
[Online], Vol. 1 No.2, Desember 2015, hal- 190.

18
perempuan
Anak laki- Sisa 14 14
laki

a. 3 = hasil bagi 36 dibagi wifiq (12)


b. 3 = jumlah kepala anak perempuan dan anak laki-laki
c. 24= masalah pertama
d. 36= masalah kedua (inkisar)
e. 1= hasil bagi 12 (saham anak perempuan yang wafat) dengan wifiq (12)
f. 72 = hasil kali masalah pertama dengan 3 (jami‟ah) Untuk menentukan masalah
jami‟ah maka dilihat antara saham mayit (12) dengan masalah yang kedua (36)
dengan dua perbandingan yaitu tawafuq dan tabayun, jika tawafuq maka masalah
yang kedua dibagi wifiq (12) dan hasilnya diletakkan di atas masalah yang pertama
(3) yang kemudian dikalikan kepada masalah dan semua saham pada masalah yang
pertama dan saham mayit dibagi wifiq dan hasilnya diletakkan di atas masalah yang
kedua dengan langkah yang sama. Kemudian masalah jami‟ah diperoleh dari hasil
perkalian antara masalah pertama dengan hasil bagi masalah kedua dengan wifiq yaitu
tiga diperoleh angka 72.16
Kasus 2:
Seseorang wafat meninggalkan suami, ibu, ayah, anak laki-laki, kemudian anak
laki-laki wafat meninggalkan mereka, anak perempuan dan istri.17
24 5
12 24 288
Suami ¼ 3 Ayah 1/6+sisa 5 97
Ibu 1/6 2 Nenek 1/6 4 68

Ayah 1/6 2 Kakek Mahjub - 48


Anak Sisa 5 Wafat - -

16
Ainun Barokah, “metode praktis dalam pembagian harta waris”: Cendekia: Study Keislaman
[Online], Vol. 1 No.2, Desember 2015, hal- 191.

17
Ainun Barokah, “metode praktis dalam pembagian harta waris”: Cendekia: Study Keislaman
[Online], Vol. 1 No.2, Desember 2015, hal- 192.

19
laki-laki
Anak 1/2 12 60
perempuan
Istri 1/8 3 15

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Harta warisan adalah harta yang dalam istilah fara’id di namakan tirkah
(peninggalan) merupakan sesuatu atau harta kekayaan oleh yang meninggal, baik berupa
uang atau materi lain nya yang di benarkan oleh syariat islam untuk di waris kan kepada
ahli warisnya. Dan dalam pelaksanaan nya atau apa-apa yang di tinggalkan oleh yang
meninggal harus di artikan sedemikian luas sehingga mencakup hal-hal yang ada pada
bagian nya.
Pentingnya pembagian warisan untuk orang-orang yang di tinggalkan dengan seadil-
adilnya sudah di atur dalam islam,mencegah terjadinya konflik antar ahli waris dan
menghindari perpecahan ukhuah persaudaraan antar sesama keluarga yang masih hidup.
Pembagian tersebut sudah di atur dalam al-qur’an dan al-hadist namun ada beberapa
ketentuan yang di sepakati dengan ijma’ dengan seadil-adilnya.

20
DAFTAR PUSTAKA

Siregar, Nurasiyah. “Penerapan Strategi Pembelajaran Kooperatif” :Wahana inofasi [Online], volume
6 Number 01 (June 2017)
Mughniyah Muhammad. 2004. Fiqh Lima Madzhab. Jakarta: PT Lentera Basritama
Hasbi Muhammadi. 2010. Fiqh Mawarist Hukum Pembagian Warisan Menurut Syariat Islam.
Semarang: PT Pustaka Rizki Putra

Barokah, Ainun. “metode praktis dalam pembagian harta waris” :Cendekia: Study Keislaman [Online],
Volume 1 Number 02 (Desember 2015)

21
22

Anda mungkin juga menyukai